Anda di halaman 1dari 16

Bab 5 Munakahat

A. Ketentuan hukum islam tentang pernikahan

Hukum pernikahan
Hadist Rasulullah saw riwayat Ibnu Majah: “Nikah adalah sunahku,
barangsiapa tidak menjalankan sunnahku, dia bukan umatku.”
Memahami hadist tersebut, bisa diambil pemaknaan bahwa nikah
adalah anjuran (bukan kewajiban) yang bisa dikatagorikan sebagai
sunah yang mendekati wajib, atau sunah muakkad. Meskipun
demikian, anjuran untuk menikah ini bobotnya bisa berubah-ubah
menjadi wajib, makruh, mubah atau kembali ke hukum asalnya yaitu
sunah, sesuai dengan kondisi dan situasi yang melingkupinya. Hukum
Pernikahan • Wajib : bagi mereka yang berkeinginan menikah dan
mempunyai kemampuan untuk berumah tangga, apabila tidak
segera menikah, mereka dikhawatirkan terlibat zina • Haram : bagi
mereka yang mempunyai niat jelek dalam pernikahannya • Sunah :
bagi mereka yang berkeinginan menikah dan mempunyai
kemampuan untuk membiayai keluarga dan mengurusi rumah
tangga • Makruh : bagi mereka yang belum berkeinginan untuk
menikah, apabila menikah dikhawatirkan mereka akan teledor dalam
menunaikan kewajibannya. • Jaiz / mubah : inilah hukum asal
pernikahan

B. Hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan

Pernikahan dalam Islam


Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu.
Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang
mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan
oleh kata-kata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan,
sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam. Kata zawaj digunakan
dalam al-Quran artinya adalah pasangan yang dalam penggunaannya
pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allah s.w.t. menjadikan
manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan
mengharamkan zina.

Hikmah Pernikahan
 Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui
ini selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang
dibenci Allah dan amat merugikan.
 Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman
 Memelihara kesucian diri
 Melaksanakan tuntutan syariat
 Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.
 Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan
lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak
yang dibesarkan tanpa orang tua akan memudahkan untuk membuat
sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu,
institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat tidak
terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-
anak
 Mewujudkan kerjasama dan tanggung jawab
 Dapat mengeratkan silaturahim

Pemilihan calon
Islam mensyaratkan beberapa ciri bagi calon suami dan calon isteri
yang dituntut dalam Islam. Namun, ini hanyalah panduan dan tidak
ada paksaan untuk mengikuti panduan-panduan ini.

Ciri-ciri bakal suami


 beriman & bertaqwa kepada Allah s.w.t
 bertanggungjawab terhadap semua benda
 memiliki akhlak-akhlak yang terpuji
 berilmu agama agar dapat membimbing calon isteri dan anak-anak ke
jalan yang benar
 tidak berpenyakit yang berat seperti gila, AIDS dan sebagainya
 rajin bekerja untuk kebaikan rumahtangga seperti mencari rezeki yang
halal untuk kebahagiaan keluarga.

Penyebab haramnya sebuah pernikahan


 Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan
karena keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan dalam surah
an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi, “Diharamkan kepada kamu
menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara perempuan bagi
saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara
perempuan.”:
o Ibu

o Nenek dari ibu maupun bapak


o Anak perempuan & keturunannya
o Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu
o Anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, uaitu
semua anak saudara perempuan

 Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh


susuan ialah:
o Ibu susuan

o Nenek dari saudara ibu susuan


o Saudara perempuan susuan
o Anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan
o Sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan

 Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah:


o Ibu mertua
o Ibu tiri
o Nenek tiri
o Menantu perempuan
o Anak tiri perempuan dan keturunannya
o Adik ipar perempuan dan keturunannya
o Sepupu dari saudara istri
 Anak saudara perempuan dari istri dan keturunannya

Peminangan
Pertunangan atau bertunang merupakan suatu ikatan janji pihak laki-
laki dan perempuan untuk melangsungkan pernikahan mengikuti hari
yang dipersetujui oleh kedua pihak. Meminang merupakan adat
kebiasaan masyarakat Melayu yang telah dihalalkan oleh Islam.
Peminangan juga merupakan awal proses pernikahan. Hukum
peminangan adalah harus dan hendaknya bukan dari istri orang,
bukan saudara sendiri, tidak dalam iddah, dan bukan tunangan orang.
Pemberian seperti cincin kepada wanita semasa peminangan
merupakan tanda ikatan pertunangan. Apabila terjadi ingkar janji
yang disebabkan oleh sang laki-laki, pemberian tidak perlu
dikembalikan dan jika disebabkan oleh wanita, maka hendaknya
dikembalikan, namun persetujuan hendaknya dibuat semasa
peminangan dilakukan. Melihat calon suami dan calon istri adalah
sunat, karena tidak mau penyesalan terjadi setelah berumahtangga.
Anggota yang diperbolehkan untuk dilihat untuk
seorang wanita ialah wajah dan kedua tangannya saja.
Hadist Rasullullah mengenai kebenaran untuk melihat tunangan dan
meminang:
"Abu Hurairah RA berkata,sabda Rasullullah SAW kepada
seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang
perempuan: "Apakah kamu telah melihatnya?jawabnya tidak(kata
lelaki itu kepada Rasullullah).Pergilah untuk melihatnya supaya
pernikahan kamu terjamin kekekalan." (Hadis Riwayat Tarmizi dan
Nasai)

Hadis Rasullullah mengenai larangan meminang wanita yang telah


bertunangan:
"Daripada Ibnu Umar RA bahawa Rasullullah SAW telah
bersabda: "Kamu tidak boleh meminang tunangan saudara kamu
sehingga pada akhirnya dia membuat ketetapan untuk
memutuskannya". (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-
Syaikhan))
Nikah
Rukun nikah
 Pengantin laki-laki
 Pengantin perempuan
 Wali
 Dua orang saksi laki-laki
 Mahar
 Ijab dan kabul (akad nikah)

Syarat calon suami


 Islam
 Laki-laki yang tertentu
 Bukan lelaki muhrim dengan calon istri
 Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut
 Bukan dalam ihram haji atau umroh
 Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
 Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu
 Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah
dijadikan istri

Syarat bakal istri


 Islam
 Perempuan yang tertentu
 Bukan perempuan muhrim dengan calon suami
 Bukan seorang banci
 Bukan dalam ihram haji atau umroh
 Tidak dalam iddah
 Bukan istri orang
Syarat wali
 Islam
 Lelaki dan bukannya perempuan
 Telah pubertas
 Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
 Bukan dalam ihram haji atau umroh
 Tidak fasik
 Tidak cacat akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya
 Merdeka
 Tidak dibatasi kebebasannya ketimbang membelanjakan hartanya

Sebaiknya calon istri perlu memastikan syarat WAJIB menjadi wali.


Jika syarat-syarat wali terpenuhi seperti di atas maka sahlah sebuah
pernikahan itu.Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah
menitik beratkan hal-hal yag wajib seperti ini.Jika tidak, kita hanya
akan dianggap hidup dalam berzinahan selamanya.
Jenis-jenis wali
 Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang
mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu
perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan
kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan)

 Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak
dan berhak menjadi wali

 Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi
wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali ab‟ad ini akan
digantikan oleh wali ab‟ad lain dan begitulah seterusnya mengikut
susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
 Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh
pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang
telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu
Syarat-syarat saksi
 Sekurang-kurangya dua orang
 Islam
 Berakal
 Telah pubertas
 Laki-laki
 Memahami isi lafal ijab dan qobul
 Dapat mendengar, melihat dan berbicara
 Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak
melakukan dosa-dosa kecil)
 Merdeka
Syarat ijab
 Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
 Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
 Diucapkan oleh wali atau wakilnya
 Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(nikah kontrak
atau pernikahan (ikatan suami istri) yang sah dalam tempo tertentu
seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)
 Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab
dilafalkan)

Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada calon


suami:"Aku nikahkan Anda dengan Diana Binti Daniel dengan mas
kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai".
Syarat qobul
 Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
 Tidak ada perkataan sindiran
 Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
 Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah
kontrak)
 Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul
dilafalkan)
 Menyebut nama calon istri
 Tidak ditambahkan dengan perkataan lain
C. Proses pernikahan dalam islam

I. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya
ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang
dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang
muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain
(Muttafaq „alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang
akan dipinang (HR: [shahih] Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093
dan Darimi).

II. Aqad Nikah


Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus
dipenuhi :
A. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
B. Adanya ijab Qabul
C. Adanya Mahar
D. Adanya Wali
E. Adanya Saksi-saksi
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih
dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.

III. Walimah
Walimatul „urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana
mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang
miskin. Rasululloh shallallahu „alaihi wa sallam bersabda tentang
mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek
makanan.
Sabda Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, yang artinya: “Makanan
paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya
mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-
orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri
undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-
Nya”. (HR: [shahih] Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu
Hurairah).
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang
shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu
„alaihi wa sallam, yang artinya: “Janganlah kamu bergaul melainkan
dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu
melainkan orang-orang yang taqwa”. (HR: [shahih] Abu Dawud,
Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa‟id Al-Khudri).

D. Hikmah pernikahan dalam islam

Pertama, sebagai wadah birahi manusia yang halal


Allah ciptakan manusia dengan menyisipkan hawa nafsu dalam
dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi positif dan ada kalanya
negatif. Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu birahi
dan menempatakannya sesuai wadah yang telah ditentukan,
akan sangat mudah terjebak pada ajang baku syahwat
terlarang. Pintu pernikahan adalah sarana yang tepat nan jitu
dalam mewadahi aspirasi nulari normal seorang anak
keturunan Adam.
Hubungan biologis antara laki dan perempuan dalam ikatan
suci pernikahan terhitung sebagai sedekah. Seperti diungkap
oleh Rasul dalam haditsnya, “Dan persetubuhan salah seorang
di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.” “Wahai
Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami
memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah
menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi
syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika
ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat
pahala.” (HR. Muslim)
Kedua, meneguhkan moralitas yang luhur
Dengan menikah dua anak manusia yang berlawanan jenis
tengah berusaha dan selalu berupaya membentengi serta
menjaga harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah. Akhlak
dalam Islam sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri
seseorang merupakan lonceng kebinasaan, bukan saja bagi
dirinya bahkan bagi suatu bangsa.
Kenyataan yang ada selama ini menunjukkkan gejala tidak baik,
ditandai merosotnya moral sebagian kawula muda dalam
pergaulan. Percintaan berujung pada hubungan intim di luar
pernikahan, melahirkan bayi-bayi yang tidak berdosa tanpa
diinginkan oleh mereka yang melahirkannya. Angka aborsi
semakin tinggi. Akibatnya, kerusakan para pemuda dewasa ini
semakin parah.
Jauh sebelumnya, Nabi telah memberikan suntikan motivasi
kepada para pemuda untuk menikah, “Wahai para pemuda,
barangsiapa sudah memiliki kemampuan untuk menafkahi,
maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat meredam
keliaran pandangan, pemelihara kemaluan. Barangsiapa yang
belum mampu, hendaknya ia berpuasa, sebab puasa adalah
sebaik-baik benteng diri.” (HR. Bukhari-Muslim)
Ketiga, membangun rumah tangga Islami
Slogan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi
kenyataan jika tanpa dilalui proses menikah. Tidak ada kisah
menawan dari insan-insan terdahulu mapun sekarang, hingga
mereka sukses mendidik putra-putri dan keturunan bila tanpa
menikah yang diteruskan dengan membangun biduk rumah
tangga Islami.
Layaknya perahu, rumah tangga kadang terombang-ambing
oleh ombak di lautan. Ada aral melintang. Ada kesulitan yang
datang menghadang. Semuanya adalah tantangan dan riak-
riak yang berbanding lurus dengan keteguhan sikap dan
komitmen membangun rumah tangga ala Rasul dan
sahabatnya. Sabar dan syukur adalah kunci meraih hikmah
ketiga ini.
Diriwayatkan, Sayidina Umar pernah memperoleh cobaan
dalam membangun rumah tangga. Suatu hari, seorang laki-laki
berjalan tergesa-gesa menuju kediaman Khalifah Umar bin
Khatab. Ia ingin mengadu pada khalifah, tak tahan dengan
kecerewetan istrinya.
Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun.
Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-
marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada
Umar. Tapi, tak sepatah kata pun terdengar keluhan dari mulut
khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang
gundah.
Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan
istrinya pada Umar.
Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani
kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel?
Beliau berkata, “Wahai saudaraku, istriku adalah yang
memasak masakan untukku, mencuci pakaian-pakaianku,
menunaikan hajat-hajatku, menyusui anak-anakku. Jika
beberapa kali ia berbuat tidak baik kepada kita, janganlah kita
hanya mengingat keburukannya dan melupakan kebaikannya.”
Oleh karena itu, pasangan yang ingin membangun rumah
tangga islami mesti menyertakan prinsip kesalehan dalam hari-
harinya.
Keempat, memotivasi semangat dalam beribadah
Risalah Islam tegas memberikan keterangan pada umat
manusia, bahwa tidaklah mereka diciptakan oleh Allah kecuali
untuk bersembah sujud, beribadah kepada-Nya. Dengan
menikah, diharapkan pasangan saling mengingatkan
kesalahan dan kealpaan masing-masing. Dengan menikah satu
sama lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan
Rasul-Nya, shalat, mengajarkan Al Quran, dan sebagainya.
Kelima, melahirkan keturunan/generasi yang baik
Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang shalih,
berkualitas dalam iman dan takwa, cerdas secara spiritual,
emosianal, maupun intelektual. Sehingga dengan menikah,
orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya
sebagai generasi yang bertakwa dan beriman kepada Allah.
Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak akan mampu
melahirkan generasi yang baik.
Lima hikmah menikah di atas merupakan satu sisi dari sekian
banyak aspek di balik titah menikah yang digaungkan Islam.
Saatnya, muda-mudi berpikir keras, mencari jodoh yang baik,
bermusyawarah dengan Allah dan keluarga, cari dan temukan
pasangan yang beriman, berperangai mulia, lalu menikahlah
dan nikmati hikmah-hikmahnya. Wallahu A`lam.

E. Ketentuan pernikahan di indonesia

Persyaratan Perkawinan Indonesia: UU Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU


Perkawinan) mengatur beberapa hal yang menjadi syarat bagi
pelaksanaan perkawinan. Adapun syarat-syarat perkawinan
yang dimaksud yaitu:

1. Adanya persetujuan dari kedua belah pihak, yaitu


mempelai pria dan mempelai wanita;
2. Adanya izin dari pihak-pihak tertentu untuk
melangsungkan perkawinan bagi yang belum mencapai
usia 21 tahun, yaitu:
a. Orang tua atau salah satu orang tua dalam hal salah
satunya telah meninggal dunia atau tidak mampu
menyatakan kehendaknya;
b. Wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
ke atas (kakek-nenek);
Lebih lanjut mengenai syarat perkawinan menurut UU
Perkawinan dapat dilihat dalam artikel ini. Akan tetapi
persyaratan tersebut di atas bukan hanya satu-satunya yang
perlu diperhatikan. Perkawinan hanya sah jika dilangsungkan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Jadi
perlu diperhatikan keabsahan pernikahan menurut hukum
agama dan kepercayaan. Berikut syarat sah perkawinan
menurut agama Islamsebagai contoh.

Syarat Sah Perkawinan Menurut Agama Islam

Terdapat empat persyaratan sahnya perkawinan menurut


jumhur ulama dalam Islam, antara lain: akad nikah (Ijab dan
Qabul); calon mempelai laki-laki dan perempuan; wali; dan
saksi. Sementara Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
mengatur bahwa untuk melaksanakan perkawinan dibutuhkan:
calon suami; calon istri; wali nikah; dua saksi; ijab dan qabul.

Ijab dan Qabul

Ijab yaitu ucapan penyerahan yang diucapkan wali (dari pihak


perempuan) atau wakilnya sebagai penyerahan kepada
mempelai laki-laki. Sedangkan qabul adalah ucapan pengantin
laki-laki sebagai tanda penerimaan. Ijab dan Qabul dapat
diucapkan dalam Bahasa Indonesia.

Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas
beruntun dan tidak berselang waktu. Yang berhak
mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.
Dalam hal-hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat dilakukan
pada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi
kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas
akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

Calon Mempelai

Persyaratan calon mempelai pria adalah sebagai berikut: calon


suami beragama Islam; terang bahwa calon suami itu betul
laki-laki; orangnya diketahui dan tertentu; calon suami itu jelas
halal dikawin dengan calon istri; calon laki-laki tahu calon istri;
calon suami rela untuk melakukan perkawinan itu; tidak sedang
melakukan ihram; tidak mempunyai istri yang haram dimadu
dengan calon istri; dan tidak punya istri empat.

Sementara persyaratan calon mempelai perempuan adalah


sebagai berikut: beragama Islam; terang bahwa ia wanita;
wanita itu tentu orangnya; halal bagi calon suami; wanita
tersebut tidak berada dalam ikatan perkawinan dan tidak dalam
masa iddah; tidak dipaksa; dan tidak sedang berihram.

Wali

Pasal 19 KHI menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan


merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi calon mempelai
wanita yang bertindak untuk menikahinya. Syarat wali
adalah: Islam; sudah baligh; berakal sehat; merdeka; laki-laki;
adil; dan sedang tidak melakukan ihram.

Sementara urutan orang yang boleh menjadi wali adalah:


Bapak; Kakek dari jalur Bapak; Saudara laki-laki kandung;
Saudara laki-laki tunggal bapak; Kemenakan laki-laki (anak
laki-lakinya saudara laki-laki sekandung); Kemenakan laki-laki
(anak laki-laki saudara laki-laki bapak); Paman dari jalur bapak;
Sepupu laki-laki anak paman; Hakim bila sudah tidak ada wali–
wali tersebut dari jalur nasab.

Saksi

Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad


nikah. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang
saksi. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah
ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu
ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung akad nikah serta
menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad
nikah dilangsungkan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pernikahan
secara sederhana atau secara bermewah-mewahan tidak
mengapa dari segi persyaratan pernikahan. Selama pernikahan
diselenggarakan menurut hukum negara dan sesuai dengan
hukum agama dan kepercayaan masing-masing, maka tidak
ada masalah.

Anda mungkin juga menyukai