Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/323796785

PERANG JAWA DALAM PERSPEKTIF PONOROGO

Presentation · May 2015

CITATIONS READS

0 783

1 author:

Rido Kurnianto
Universitas Muhammadiyah Ponorogo
12 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

DINAMIKA TRADISI LARUNGAN DI PONOROGO (Perspektif Sosial Keagamaan) View project

All content following this page was uploaded by Rido Kurnianto on 16 March 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SEMINAR INTERNASIONAL

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA UNIVERSITAS


MUHAMMADIYAH PONOROGO, TANGGAL 22 MEI 2015

PERANG JAWA DALAM PERSPEKTIF


PONOROGO

Oleh :
Rido Kurnianto
(Dosen FAI UNMUH Ponorogo)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO


PONOROGO, 22 Mei 2015
0
PERANG JAWA DALAM PERSPEKTIF PONOROGO
Oleh: Rido Kurnianto
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo
(Disajikan dalam Seminar Internasional Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Ponorogo, Tanggal 22 Mei 2015)

Pendahuluan
Perang Diponegoro adalah perang antara bangsa Indonesia melawan
penjajah Belanda. Perang ini disebut perang Diponegoro, karena sejak awal
berkaitan dengan Pangeran Diponegoro (putra Sultan Hamengkubuwono III), dan
beliau sendiri yang menjadi sentral komando. Konflik itu mengalami puncaknya
saat pemerintah Hindia Belanda berencana membangun sarana transportasi dan
militer di Yogyakarta pada tahun 1825. Proyek ini akan menggusur banyak lahan,
termasuk tanah milik keluarga besar Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, yang di
dalamnya terdapat makan keluarga. Sebelumnya memang telah terjadi banyak
kedhaliman bangsa colonial Belanda terhadap rakyat pribumi dalam berbagai
bentuk, hingga melahirkan sentiment persatuan dan kesatuan penduduk pribumi
untuk menyatakan perang terhadap penjajah.
Perang ini juga disebut perang Jawa karena peperangan ini terjadi di
seluruh wilayah Jawa. Peperangan ini berlangsung selama 5 tahun, yakni tahun
1825 hingga 1830 dan tercatat sebagai perang terbesar dan pertempuran terberat
bagi pemerintah Belanda selama menjajah Nusantara. Dalam pertempuran yang
menelan biaya sangat tinggi di pihak penjajah Belanda ini, juga telah membawa
korban manusia yang sangat banyak, baik dari pihak Belanda maupun pribumi.
Dokumen-dokumen Belanda mencatat korban peperangan ini; 200.000 jiwa
korban dari pihak pribumi, 8000 jiwa korban dari pihak penjajah Belanda.
Peperangan ini menjadi pertempuran terberat bagi penjajah Belanda
berdasarkan pengalaman mereka selama menjajah Nusantara. Berat dan rumitnya,
bukan saja terkait dengan militansi pejuang-pejuang Jawa, tetapi juga oleh
kecerdikan Pangeran Diponegoro beserta laskarnya dalam menerapkan strategi
1
peperangan multi metode dengan basis taktik hit and run – sebuah taktik perang
yang sangat canggih dan modern.
Wilayah Ponorogo adalah salah satu wilayah strategis dalam konteks
perang Diponegoro, karena telah dipilih oleh Pangeran Diponegoro sebagai jalur
gerilya, terutama di wilayah Ponorogo selatan, hingga dipilih oleh penjajah
Belanda sebagai titik penyerbuan penting sekaligus sebagai wilayah yang
diterapkan benteng stelsel. Disamping itu, perang Diponegoro ini telah menjadi
media penting aktualisasi diri para pejuang Ponorogo untuk menunjukkan jati
dirinya sebagi seorang Warok Ponorogo.
Akar Peperangan
Pasca kekalahan pemerintah Belanda dalam peperangan era Napoleon
di Eropa, mereka mengalami kesulitan ekonomi yang luar biasa di segala sektor
kehidupan. Untuk mengatasinya, mereka memberlakukan berbagai pajak dan
eksploitasi ekonomi di daerah-daerah jajahannya, termasuk di Nusantara. Mereka
memberlakukan berbagai pajak dan juga monopoli usaha dan perdagangan untuk
memaksimalkan keuntungan. Mereka juga mengambil hasil bumi rakyat
Indonesia dengan paksa dan tanpa imbalan apapun. Praktik pajak di berbagai
sektor yang diberlakukan penjajah Belanda berikut monopoli perdagangan telah
berakibat rakyat Indonesia mengalami kesulitan hidup.
Kemudian untuk semakin memperkuat kekuasaan dan
perekonomiannya, Belanda melebarkan agresinya dengan cara menguasai
kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang salah satunya adalah Kerajaan Yogyakarta.
Tragisnya, dalam banyak kepentingan, justru para pejabat kerajaan membantu
memuluskan tujuan dan kepentingan agresi penjajah di bumi tanah airnya dan
bangsanya sendiri.
Perang Diponegoro terjadi secara serius dimulai dari pertentangan
Pangeran Diponegoro terhadap tindakan penjajah Belanda yang arogan; tidak mau
menghargai adat-istiadat setempat dan mengeksploitasi rakyat melalui
pembebanan pajak. Puncaknya, ketika kolonial Belanda menjalankan proyek
pembangunan jalan dan menggusur tanah milik keluarga besar Pangeran

2
Diponegoro,1 yang diantaranya lahan tersebut berupa makam keluarga. Namun,
dibalik semua aspek penyulut perlawanan masyarakat Jawa terhadap pemerintah
Belanda adalah kekesalan dan kebencian mereka terhadap penjajah Belanda yang
terus menerus melakukan kejahatan kepada penduduk pribumi Jawa melalui

berbagai bidang kehidupan.


Strategi Peperangan
Strategi perang Diponegoro populer dengan perang gerilya yang
dikenal banyak orang sebagai strategi konvensional. Padahal yang sebenarnya
terjadi, strategi prang gerilya yang diterapkan Pangeran Diponegoro ini, dalam
konteks kekinian, ternyata termasuk perang modern dan bukan seperti strategi
perang suku (tribal ware). Dari sudut kemiliteran, perang gerilya yang diterapkan
pejuang Jawa dalam komando Pangeran Diponegoro berbasis multi metode
dengan taktik hit and run dan penghadangan. Siasat perang ini diakui Belanda
sebagai siasat perang yang sangat canggih, dan belum pernah dipraktikkan. Dalam
perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psyware) dan mata-
mata (spionase, telik sandi).
Hebatnya lagi, strategi perang Diponegoro juga sangat
mempertimbangkan kondisi cuaca. Para pejuang tanah air ini memilih
penyerangan pada saat musim penghujan. Alam dijadikan sebagai senjata yang
sangat ampuh. Pihak penjajah Belanda sangat menghindari musim penghujan ini
untuk bertempur. Karena itu, mereka selalu menyerukan gencatan senjata dan
berunding saat musim penghujan ini tiba. Pihak Belanda sangat menyadari
hambatan besar jika peperangan berlangsung saat hujan, karena hujan tropis yang
lebat bias membahayakan pasukan; menghambat gerak pasukan dan yang sangat
ditakutkan adalah musuh dari alam berupa penyakit malaria dan desentri. Inilah

1
Aspek ini yang dibesar-besarkan Belanda untuk membiaskan motif perang bangsa
pribumi dan melecehkan Diponegoro sebagai seorang pahlawan, sehingga motif perang ini
terkesan dipicu oleh kepentingan keluarga Diponegoro., yakni penggusuran tanah keluarga dan
terutama penggusuran area makam keluarga Diponegoro. Padahal yang sebenarnya terjadi
adalah bahwa perang ini dipicu oleh tindakan sewenang-wenang penjajah Belanda terhadap
rakyat pribumi.

3
fakta yang terjadi, bahwa akibat strategi perang seperti ini, pihak Belanda banyak
kehilangan pasukan yang mati disebabkan berbagai musuh alam yang tidak
tampak nyata tersebut. Inilah alasan utama, penjajah Belanda mengerahkan
pasukan yang sangat besar, yakni sekitar 23.000 serdadu, suatu hal yang belum
pernah dilakukan Belanda, apalagi hanya untuk wilayah yang tidak terlalu luas
seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tragedi Stelsel
Benteng stelsel bisa diartikan sebagai “aturan benteng”. Ia merupakan
sebuah strategi perang yang diterapkan oleh Belanda untuk mengalahkan musuh-
musuhnya. Siasat perang ini dicetuskan oleh Jenderal de Kock dan diterapkan
pada perang Diponegoro.2 Strategi stelsel ini diterapkan pertama kali pada perang
Diponegoro, atas pertimbangan gigih dan kerasnya perlawanan rakyat dibawah
komando Pangeran Diponegoro. Di kemudian hari, strategi perang dengan
menggunakan benteng stelsel ini diterapkan pada perang Padri di Sumatra untuk
menghadapi perlawanan pejuang-pejuang Nusantara di bawah komando Imam
Bonjol.
Strategi stelsel mengikuti pola sebagai berikut; setiap kawasan atau
daerah yang telah dikuasai Belanda dibangun benteng (kubu) pertahanan,
kemudian dari masing-masing kubu dibangun infrastruktur penghubung antar
kubu pertahanan tersebut melalui jalan atau jembatan. Tujuan utama strategi
stelsel antara lain adalah; mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro,
memecah belah pasukan Diponegoro, mencegah masuknya bantuan terhadap
pasukan Diponegoro, memperlancar koordinasi pihak Belanda, dan memperlemah
pasukan Diponegoro.3

2
Baca selengkapnya Poesponegoro, MD., Nasution, N., 1982. Sejarah Nasional
Indonesia, Volume 4, Jakarta, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
3
http://astridaulia-astrid.blogspot.com/2012/02/sejarah-perlawanan- kolonisme.html
(diakses tanggal 19 Mei 2015). Lihat juga D.H, Astrid dan Faisal A. Nadif. 2011. Sejarah
Perang-Perang Besar Didunia.Yogyakarta: Familia.
4
Untuk menerapkan strategi stelsel, Belanda membangunnya di banyak
tempat di Jawa, meliputi; Semarang, Ambarawa, Muntilan, Kulonprogo,
Magelang, dan di wilayah lainnya hingga mencapai 165 stelsel. 4 Banyaknya
stelsel ini ternyata tidak terlepas dari strategi peperangan yang diterapkan Pangera
Diponegoro, yakni taktik gerilya berbasis taktik perang modern hit and run serta
posisi komandonya yang berpindah-pindah tempat.
Strategi stelsel ternyata cukup efektif dan benar-benar mampu
mempersempit gerak pasukan Diponegoro, sehingga berhasil melumpuhkan
perlawanan Pangeran Diponegoro dan laskarnya; tahun 1828 banyak pejuang
yang ditangkap, tahun 1829 banyak pejuang yang menyerahkan diri, dan
puncaknya pada tahun 1830 Pangeran Diponegoro ditangkap di daerah

Magelang.5
Makna Perang Jawa Perspektif Ponorogo
Dalam peta perang Jawa atau perang Diponegoro, Ponorogo
merupakan wilayah penting dalam dinamika perlawanan rakyat terhadap kolonial
Belanda. Pangeran Diponegoro bersama pasukan (laskar) nya pernah singgah di
Kabupaten Ponorogo pada tahun 1825, yakni di Polorejo (sekarang wilayah
kecamatan Babadan) disaat tumenggung di kawasan ini di jabat oleh tumeggung
Brotonegoro. Pangeran Diponegoro beserta laskarnya sempat tinggal beberapa
waktu di Ponorogo ini, kemudian meneruskan perjalanan gerilya menuju Jawa
Tengah melalui jalur Somoroto, Badegan, Purwantoro, dan Wonogiri.
Kedatangan Pangeran Diponegoro di Ponorogo ternyata tidak luput
dari pemantauan Belanda, sehingga setelah meninggalkan Ponorogo (Polorejo),
Belanda mengirim pasukan dengan persenjataan lengkap untuk menyerbu daerah
Polorejo tersebut. Peperangan tidak dapat dielakkan lagi, tetapi karena kondisi
pasukan dan persenjataan yang dimiliki oleh para pejuang Ponorogo sama sekali
tidak seimbang, maka perlawanan rakyat ini bisa dipatahkan. Di kemudian hari,

4
Lihat JB. Sudarmanto, 2007. Jejak-Jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia,
Jakarta, Grasindo,
5
Lihat Joko Santoso HP., 2006. Jalan Tikus menuju Kekuasaan, Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama.
5
wilayah Polorejo sebagai tempat yang telah merekam peran rakyat Ponorogo
dalam perjuangan membela tanah air (khususnya Jawa) dinamakan “Petilasan”
(sebuah tempat sebagai bukti empiris sejarah perjuangan rakyat Ponorogo dalam
membela tanah air dari tangan penjajah Belanda). Petilasan ini terletak sekitar 7,5
km kearah utara kota Ponorogo.6
Bukti empiris peran rakyat Ponorogo dalam perang Jawa atau
Diponegoro adalah adanya benteng stelsel di wilayah Sawoo, sebagaimana
dituturkan Peter Carey, bahwa Sawoo yang dahulu turut menjadi wilayah
kekuasaan kesultanan Yogyakarta menjadi wilayah yang mbalelo (memberontak)
terhadap Belanda dan kesultanan Yogyakarta. Peter menambahkan bahwa
perlawanan rakyat di Sawoo ini dipmpin oleh Raden Ronggo, seorang bangsawan
yang kelak menjadi bupati Madiun dengan sebutan Raden Ronggo I sampai III.
Dalam konteks kekinian, perang Diponegoro yang melibatkan rakyat
Ponorogo ini menjadi bukti, bahwa Ponorogo berikut rakyatnya memiliki andil
besar dalam sejarah perjuangan menuju kemerdekaan. Bagi masyarakat Ponorogo,
perang melawan penjajah merupakan perang suci yang karenanya merupakan
kemuliaan untuk menyambutnya.
Karakter masyarakat Ponorogo yang diturunkan dari nilai budaya
Warok sangat mendukung untuk turut andil dalam perang suci seperti ini. Warok
adalah ksatria pembela kebenaran. Warok adalah orang yang memiliki posisi diri
sebagai “weruh ing kasunyatan lan kasukmanan”(orang yang memiliki
pemahaman tentang kenyataan hidup yang bersifat empiris dan sekaligus tentang
hal-hal yang bersifat non empiris/dunia makna/batini). Kesaktian para Warok
yang disebut dengan ilmu kanoragan7 menjadi kata kunci kesiap-siagaan untuk
menghadapi tantangan dalam bentuk apapun, termasuk musuh-musuh yang ingin

6
http://www.wengker.com/2012/04/peperangan-brotonegoro-melawan-belanda.html,
diakses tanggal 19 Mei 2015)
7
Kanoragan adalah istilah kemampuan puncak berupa ngelmu kasunyatan dan
kasukmanan yang dimiliki orang (tokoh) Ponorogo. Melalui ngelmu kasunyatan Warok Ponorogo
menguasai secara baik tentang ilmu yang dibutuhkan untuk kehidupan keseharian dalam
berinteraksi dengan sesame. Sedagkan melalui ngelmu kasukmanan, Warok Ponorogo menguasai
secara baik tentang diri dan kepribadiannya, sehingga seluruh hidupnya diabdikan untuk
kemanfaatan dan kebaikan negeri dan bangsanya.
6
membuat kekacauan di bumi pertiwi. Warok Ponorogo tidak mau bertengkar,
bahkan berperang apabila tidak terpaksa, karena tuntutan kebenaran. Dalam
konteks inilah, peran para Warok Ponorogo dalam perang Jawa/Perang
Diponegoro ini sangat signifikan. Mereka memiliki semboyan sebagai pahlawan
pembela tanah air, yakni "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati";
(sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati).
Sebelum perang berlangsung, rakyat Ponorogo telah mengingatkan
Sultan Mataram akan bahaya penjajah Belanda dibalik politik uang dan kekuasaan
mereka melalui seni Reyog Ponorogo, yakni penari pujangganong versi Bathara
Katong (telah dilakukan islamisasi). Sebagaimana yang dilakukan Ki Ageng Kutu
terhadap Raja Brawijaya V, yakni melakukan sindiran melalui pujangganong,
menari dengan pesan mengejek di depan singa barong (Raja Brawijaya V yang
dalam kepemimpinannya di kendalikan oleh isterinya), maka kritik yang
dilakukan melalui seni Reyog versi Ki Ageng Mirah (tokoh yang membantu
Raden Katong) dalam pertempuran melawan Ki Ageng Kutu, ini juga sebagai
kritik atas sikap Sultan Mataram yang berpihak kepada Belanda dan mengabaikan
rakyat pribumi. Kritik melalui sindiran seni Reyog ini dilatari oleh ajaran Islam
yang menyatakan bahwa kesalahan harus segera diingatkan, baik melalui tindakan
maupun sikap.
Berdasar fakta terbentuknya seni Reyog Ponorogo yang telah
diislamkan (dipergunakan sebagai media untuk menyampaikan ajaran Islam) pada
jaman pemerintahan Raden Katong (Batharakatong) ini, maka bisa jadi motif
perlawanan rakyat Ponorogo terhadap Belanda adalah masuk kategori perang sabil
(perang melawan orang kafir). Jika demikian, maka keterlibatan rakyat Ponorogo
dalam perang Diponegoro ini termasuk perang jihad, yag tidak sekedar membela
pertiwi, tetapi sekaligus perang melawan orang kafir.
Kesimpulan
Perang Jawa atau perang Diponegoro bagi rakyat Ponorogo tidak saja
berarti sebagai perang melawan penjajah Belanda, tetapi juga perang melawan
kemunkaran dan kejahatan. Bagi rakyat Ponorogo yang dijiwai oleh nilai

7
Ponoragan, yakni nilai Warok Ponorogo (bersifat ksatria, pembela kebenaran),
maka keterlibatan dalam peperangan melawan penjajah Belanda adalah sebuah
kewajiban diri sebagai seorang ksatria. Perlawanan rakyat Ponorogo terhadap
penjajah Belanda di wilayah Sawo dan Polorejo menjadi bukti empiris
keterlibatan rakyat Ponorogo dalam peperangan ini.
Filosofi Warok menjadi sangat penting dalam sejarah perang Jawa ini,
mengingat begitu banyak kejahatan yang mengiringi penyerbuan yang dilakukan
Belanda terhadap orang Jawa, yakni berupa pengkhianatan oleh bangsa pribumi
terhadap bangsanya sendiri. Para Warok dituntut untuk membuktikan integritas
dirinya sebagai orang yang kuat lahir dan batinnya (menguasai ilmu kanoragan).
Penting dicatat, bahwa setelah seni Reyog dilakukan islamisasi melalui tangan Ki
Ageng Mirah, di masa pemerintahan Raden Katong, maka keterlibatan rakyat
Ponorogo dalam perang Diponegoro adalah tuntunan ajaran Islam, yakni jihad fi
sabilillah, yang di beberapa tempat di Jawa disebut dengan perang Sabil, seperti
di Ambarawa, dan sebagainya.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai