Anda di halaman 1dari 15

Clinical Science Session

MASTITIS

Oleh:

Januvia Rizfamila 1110312011

Nazla Putri Sukma 1110313048

Preseptor :

Dr. Mutiara Islam, SpOG (K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD PARIAMAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


ASI merupakan makanan alamiah terbaik yang diberikan seorang ibu
kepada bayi yang baru dilahirkan. ASI mengandung zat pelindung yang dapat
melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. Pemberian ASI juga dapat
memberikan pengaruh emosional antara ibu dan bayi, sehingga akan mempererat
hubungan batin antara ibu dengan bayi yang disusuinya. Selain keuntungan di
atas, pemberian ASI dengan cara yang benar dapat memberikan hubungan yang
bermakna antara menyusui dengan proses penjarangan kehamilan.1
Menyusui merupakan salah satu komponen dari proses reproduksi yang
terdiri atas haid, konsepsi, kehamilan, menyusui, dan penyapihan. Jika semua
komponen berlangsung baik, maka proses menyusui akan berhasil. Keberhasilan
menyusui bukan sesuatu yang datang dengan sendirinya, tetapi merupakan suatu
keterampilan yang perlu diajarkan. Agar ibu berhasil menyusui perlu dilakukan
berbagai kegiatan saat antenatal, intranatal, dan postnatal.1
Data sentra laktasi Indonesia mencatat berdasarkan survei demografi dan
kesehatan Indonesia pada tahun 2007-2010, hanya sebanyak 48% ibu yang mau
memberikan ASI eksklusif. Rata-rata ibu di Indonesia memberikan ASI eksklusif
berlangsung selama 2 bulan, sementara pemberian susu formula meningkat hingga
3 kali lipat. Berdasarkan data dari Bappenas tahun 2010 didapatkan bahwa hanya
31% bayi di Indonesia yang mendapatkan ASI Eksklusif hingga usia 6 bulan.2
Mastitis merupakan suatu proses peradangan pada satu atau lebih segmen
payudara yang mungkin disertai infeksi atau tanpa infeksi. Mastitis diperkirakan
dapat terjadi pada 3-20% ibu yang menyusui. Tahun 2005 Word Health
Organisation (WHO) menyebutkan bahwa jumlah kasus infeksi payudara yang
terjadi pada wanita seperti kanker, tumor, mastitis, penyakit fibrokustik terus
meningkat dimana 12% diantaranya merupakan infeksi payudara berupa mastitis
pada wanita postpartum. Angka kesakitan mastitis akibat infeksi di Indonesia
hanya 0,001/100.000.2
1.2 Batasan Masalah
Tulisan ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor
risiko, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis mastitis.

1.3 Tujuan Penulisan


Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca dan penulis
tentang mastitis.

1.4 Metode Penulisan


Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi


Mastitis adalah peradangan payudara yang biasa terjadi pada masa nifas
atau sampai 3 minggu setelah persalinan.1 Hal yang perlu diperhatikan pada kasus
mastitis adalah menurunnya produksi ASI sehingga akan menjadi alasan ibu untuk
berhenti menyusukan bayinya. Sebagian besar mastitis terjadi dalam 6 minggu
pertama setelah bayi lahir (paling sering pada minggu ke-2 dan ke-3), meskipun
mastitis juga dapat terjadi sepanjang masa menyusui.2
The American Society memperkirakan sebanyak 241.240 wanita Amerika
Serikat didiagnosa dengan mastitis, di Kanada sebanyak 24.600 orang, dan di
Australia sebanyak 14.791 orang. Indonesia memperkirakan wanita yang
didiagnosa mastitis berjumlah 876.665 orang. Studi terbaru menunjukkan kasus
mastitis meningkat hingga 12-35% pada ibu dengan puting susu lecet dan tidak
diobati dengan antibiotik. Mengonsumsi antibiotik pada saat puting susu
bermasalah atau lecet kemungkinan untuk mengalami mastitis hanya sekitar 5%.2q

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab tersering dari mastitis adalah sumbatan saluran susu atau statis
ASI serta terjadinya infeksi dapat menyebabkan mastitis, sehingga menyebabkan
pengeluaran ASI yang kurang sempurna.3
a) Statis ASI
Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari payudara
ibu. Hal ini terjadi jika payudara terbendung segera setelah melahirkan,
atau setiap saat jika bayi tidak minum ASI. Kenyutan bayi yang buruk
pada payudara, pengisapan yang tidak efektif karena frenulum bayi yang
pendek, pembatasan frekuensi atau durasi menyusui dapat menyebabkan
sumbatan pada saluran ASI. Situasi lain yang mempengaruhi predisposisi
terhadap stasis ASI, termasuk suplai ASI yang sangat berlebihan, atau
menyusui untuk kembar dua atau lebih. Berikut faktor-faktor penyebab
stasis ASI:
1. Bendungan payudara
Kondisi ini sering terjadi bila bayi yang tidak disusui segera setelah
lahir. Pentingnya pengeluaran ASI yang segera pada tahap awal mastitis,
atau kongesti, untuk mencegah perkembangan penyakit dan pernbentukan
abses. Isapan bayi adalah sarana pengeluaran ASI yang efektif.

2. Frekuensi menyusui
Tahun 1952, Illingworth dan Stone menemukan bahwa dalam uji
coba dengan kontro1, bahwa insiden stasis ASI dapat dikurangi hingga
setengahnya bila bayi disusui sesering mungkin. Hubungan antara
pembatasan frekuensi dan durasi menyusui dan mastitis telah diuraikan
oleh beberapa penulis. Banyak wanita menderita mastitis bila mereka tidak
menyusui atau bila frekuensi menyusui berkurang karena bayi tidur
semalaman, sehingga waktu antar menyusui semakin lama.

3. Pengisapan pada payudara


Pengisapan yang buruk menyebabkan pengeluaran ASI menjadi
tidak efisien, hal ini merupakan faktor predisposisi utama mastitis.
Penyebab nyeri dan trauma puting yang tersering adalah pengisapan yang
buruk pada payudara, kedua kondisi ini dapat terjadi bersama-sama. Selain
itu, nyeri puting akan menyebabkan ibu menghindar untuk menyusui pada
payudara yang sakit dan karena itu mencetuskan stasis ASI dan
bendungan.
4. Sisi yang disukai dan pengisapan yang efisien
Banyak ibu merasa lebih mudah untuk menyusui bayinya pada satu
sisi payudara dibandingkan dengan payudara yang lain. Selain itu juga
dikatakan bahwa pengisapan yang tidak tepatdapat menyebabkan stasis
ASI dan mastitis yang lebih mungkin terjadi pada sisi payudara yang lebih
sulit untuk menyusui.

5. Faktor mekanis lain

- Frenulum yang pendek (tounge tie) pada bayi mengganggu pengisapan


pada payudara dan menyebabkan puting luka dan pecah-pecah. Hal ini
juga mengurangi efisiensi pengeluaran ASI dan predisposisi untuk
mastitis.
- Pakaian yang ketat dan posisi tidur telungkup.
b) Infeksi
Organisme yang paling sering ditemukan pada mastitis dan abses
payudara adalah golongan koagulase-positif seperti Staphylococcus aureus,
Staphylococcus albus, Escherichia coli, dan Streptococcus .
Kolonisasi bakteri pada bayi dan payudara adalah proses normal yang
terjadi segera setelah lahir. Saluran susu ibu dan nasofaring bayi terkolonisasi
oleh berbagai organisme, beberapa di antaranya potensial bersifat patogenik,
seperti Staphylococcus aureus. Namun, kehadiran bakteri-bakteri tersebut tidak
dengan sendirinya menyebabkan mastitis. Bila ibu melakukan kontak yang erat
dengan bayinya segera setelah lahir, ibu memindahkan organisme saluran
napas dan kulit dari strainnya kepada bayinya. Organisme ini tumbuh dan
membentuk populasi pada usus, kulit, dan saluran napas bayi. Bila organisme
flora komensal terbentuk, pertumbuhan bakteri patogen terhambat. Proses ini
dikenal sebagai interferensi bakterial, telah digunakan secara luas pada keadaan
klinis untuk mencegah dan mengendalikan wabah infeksi bentuk Staph.aureus
yang lebih virulen. Karena itu, dukungan untuk menyusui dan memeluk,
kontak kulit dini antara ibu dan bayinya, dan rawat gabung, merupakan cara
yang paling alami dan efisien untuk mencegah penyebaran infeksi, termasuk
penyebaran organisme yang bertanggung jawab untuk mastitis.
Bagaimana infeksi memasuki payudara belum diketahui. Beberapa jalur
yang diduga, yaitu melalui duktus laktiferus ke dalam lobus, dengan
penyebaran hematogen dan melalui fisura puting susu ke dalam sistem limfatik
periduktal. Frekuensi fisura puting susu telah dilaporkan meningkat dengan
adanya mastitis.
2.3 Anatomi Payudara dan Patofisiologi Mastitis
2.3.1 Anatomi Payudara

Gambar 1. Anatomi Payudara Normal

Keterangan Gambar :
1. Chest wall (dinding dada)
2. Pectoralis muscles (otot pektoralis)
3. Lobules
4. Nipple surface
5. Areola
6. Duktus Lactiferus
7. Fatty Tissue (jaringan lemak)
8. Skin (kulit)

2.3.2 Patofisiologi Mastitis


Mastitis diawali dengan terjadinya peningkatan tekanan di dalam duktus
akibat dari stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka akan terjadi
tegangan alveoli yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang memproduksi
ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan ikat meningkat.
Beberapa komponen terutama protein kekebalan tubuh dan natrium dari plasma
masuk ke dalam ASI selanjutnya ke jaringan sekitar sel sehingga memicu respons
imun.4
Stasis ASI menyebabkan munculnya respons inflamasi, dan kerusakan
jaringan, sehingga akan memudahkan terjadinya infeksi. Terdapat beberapa cara
masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus sekresi, melalui puting
yang retak atau lecet ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui
hematogen. Pada umumnya yang dianggap porte d’entrée dari kuman penyebab
ialah puting susu yang luka atau lecet, dan kuman perkontinuitatum menjalar ke
duktulus-duktulus dan sinus. Sebagian besar yang ditemukan pada pembiakan pus
ialah Staphylococcus aureus.4

2.3 Diagnosis
2.4.1 Anamnesis :
a) Mastitis akut
Pada proses awal peradangan penderita hanya merasa nyeri setempat pada
salah satu lobus payudara dan terasa lebih berat jika bayi menyusu.
b) Mastitis kronis
Hampir selalu orang yang datang sudah dalam keadaan abses. Proses dari
tingkat radang ke abses berlangsung sangat cepat, dimana peradangan dari
duktulus akan menyebabkan edema dari kelenjar, sehingga ASI akhirnya
terbendung, dan air susu yang terbendung ini akan segera bercampur dengan
nanah jika terinfeksi oleh kuman.5

2.4.2 Pemeriksaan fisik


Pada pemeriksaan tanda-tanda vital ibu yang mengalami mastitis biasanya
mengalami peningkatan suhu tubuh hingga lebih dari 380C. Payudara biasanya
berwarna kemerahan, bengkak, nyeri tekan, lecet pada putting susu, dan terdapat
nanah jika terjadi abses. Pada abses, nyeri bertambah hebat pada payudara, kulit
diatas abses mengkilat dan bayi dengan sendirinya tidak mau minum pada
payudara yang sakit, seolah-olah dia tahu bahwa ASI tersebut bercampur dengan
nanah.
Tanda dan gejala lain mastitis meliputi :
a) Peningkatan suhu dari 39,5 – 400C
b) Peningkatan frekuensi nadi
c) Menggigil
d) Malaise dan sakit kepala
e) Nyeri hebat, bengkak, merah, dan keras pada area payudara
f) Peningkatan kadar natrium dalam ASI yang membuat bayi menolak menyusu
karena ASI terasa asin
g) Timbul garis-garis merah ke arah ketiak.5,6

2.5 Tatalaksana
Tatalaksana mastitis bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi dan
komplikasi lanjut. Penatalaksanaan berupa nonmedikamentosa berupa tindakan
suportif dan medikamentosa pemberian antibiotik dan pemberian analgesik.
2.5.1 Nonmedikamentosa
Intervensi dini pada mastitis berupa tindakan suportif dapat mencegah
terjadinya perburukan. Intervensi meliputi beberapa tindakan higiene dan
kenyamanan : 5,6
a) Gunakan bra yang tidak ketat
b) Biasakan mencuci tangan sebelum menyusui dan lakukan perawatan payudara
c) Kompres hangat area yang sakit
d) Masase area yang sakit saat menyusui untuk melancarkan aliran ASI. Jangan
lakukan pemijatan jika dikhawatirkan akan menyebabkan penyebaran kuman
sehingga meningkatkan risiko infeksi.
e) Meningkatkan asupan gizi
f) Edukasi ibu
Bayi sebaiknya terus menyusu kepada ibu dan jika menyusu tidak
memungkinkan karena nyeri payudara atau adanya penolakan oleh bayi pada
payudara ibu yang sakit, selalu dilakukan pemompaan secara teratur dan terus-
menerus. Pengosongan payudara dengan sering akan mencegah terjadinya statis
ASI. Tetap berikan ASI kepada bayi, terutama gunakan payudara yang sakit
sesering dan selama mungkin sehingga sumbatan tersebut lama-kelamaan akan
menghilang. Bayi masih boleh menyusu kecuali bila terjadi abses.
2.5.2 Medikamentosa 5,6
a) Antibiotik
Terapi antibiotik diberikan jika antara 12-24 jam tidak terjadi perbaikan. Terapi
antibiotik meliputi :
- Penicillin
- Eritromisin digunakan jika alergi terhadap penicillin.
- Terapi awal yang paling umum adalah Amoxicilin 500 mg atau 875 mg untuk
10-14 hari atau Clyndamicin 300 mg untuk 10 – 14.
Pada setiap kasus penting untuk dilakukan tindak lanjut dalam 72 jam untuk
mengevaluasi kemajuan dari terapi. Jika infeksi tidak berkurang atau tidak
hilang maka pemeriksaan kultur dari ASI harus dilakukan.
b) Analgetik
Rasa nyeri merupakan faktor penghambat dari produksi hormon oksitosin yang
berguna dalam proses pengeluaran ASI. Analgetik diberikan untuk mengurangi
rasa nyeri pada mastitis. Analgetik yang dianjurkan adalah obat anti inflamasi
seperti ibuprofen. Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan gejala yang
berhubungan dengan peradangan dibandingkan parasetamol atau asetaminofen.
Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari tidak terdeteksi pada ASI sehingga
direkomendasikan untuk ibu menyusui yang mengalami mastitis.

2.6 Komplikasi 5,6


a) Penghentian Menyusui Dini
Mastitis dapat menimbulkan berbagai gejala akut yang membuat
seorang ibu memutuskan untuk berhenti menyusui. Berhentinya menyusui
secara mendadak dapat meningkatkan risiko terjadinya abses. Selain itu ibu
juga khawatir kalau obat yang mereka konsumsi tidak aman untuk bayi
mereka. Oleh karena itu penatalaksanaan yang efektif, informasi yang jelas dan
dukungan tenaga kesehatan serta keluarga sangat diperlukan saat ini.
b) Abses
Abses merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena
pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba
keras, merah, dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus pikirkan
kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian mastitis
berlanjut menjadi abses. Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk
mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan
dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik. Abses yang
sangat besar terkadang memerlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini ibu
harus mendapat antibiotik dan ASI dari sekitar abses dikultur agar antibiotik
yang diberikan sesuai dengan jenis kumannya.

Gambar 2. Abses
c) Mastitis berulang (kronis)
Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat
atau antibiotik yang tidak adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak
minum, makanan dengan gizi berimbang, serta mengatasi stres. Pada kasus
mastitis berulang karena infeksi bakteri diberikan antibiotik dosis rendah
seperti pemberian eritromisin 500 mg sebanyak satu kali sehari selama masa
menyusui.
d) Infeksi jamur
Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur
seperti Candida albicans. Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat
terapi antibiotik. Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa
rasa terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Diantara waktu menyusu
permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak nampak kelainan. Ibu
dan bayi perlu diobati. Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin krem yang
juga mengandung kortison ke puting dan areola setiap selesai bayi menyusu
dan bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat yang sama.
Gambar 3. Payudara yang terinfeksi Candida
2.7 Prognosis
Pemberian antibiotik yang benar dan adekuat akan memberikan hasil yang
baik pada mastitis. Tetapi jika tidak ditatalaksana dengan cepat dapat berkembang
menjadi abses dan bisa menyebabkan kelainan bentuk dari payudara. Pencegahan
dengan melakukan perawatan pada payudara terutama puting susu yang lecet saat
proses laktasi sangat dianjurkan agar tidak berkembang menjadi mastitis.5,6
BAB 3
KESIMPULAN

Mastitis adalah peradangan payudara yang biasa terjadi pada masa nifas
atau sampai 3 minggu setelah persalinan. Sebagian besar mastitis terjadi dalam 6
minggu pertama setelah bayi lahir (paling sering pada minggu ke-2 dan ke-3),
meskipun mastitis juga dapat terjadi sepanjang masa menyusui. Penyebab
tersering dari mastitis adalah sumbatan saluran susu atau statis ASI serta
terjadinya infeksi sehingga akan menyebabkan pengeluaran ASI yang kurang
sempurna.
Stasis ASI menyebabkan munculnya respons inflamasi, dan kerusakan
jaringan sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Terdapat beberapa cara
masuknya kuman, yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus sekresi, melalui puting
yang retak atau lecet ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui
penyebaran hematogen . Pada umumnya yang dianggap porte d’entrée dari kuman
penyebab ialah puting susu yang luka atau lecet, dan kuman perkontinuitatum
menjalar ke duktulus-duktulus dan sinus. Sebagian besar yang ditemukan pada
pembiakan pus ialah Staphylococcus aureus.
Tatalaksana mastitis bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi dan
komplikasi lanjut. Penatalaksanaan berupa nonmedikamentosa berupa tindakan
suportif dan medikamentosa pemberian antibiotik dan pemberian analgesik.
Pengosongan payudara dengan sering akan mencegah terjadinya statis ASI. Tetap
berikan ASI kepada bayi, terutama gunakan payudara yang sakit sesering dan
selama mungkin sehingga sumbatan tersebut lama-kelamaan akan menghilang.
Bayi masih boleh menyusu kecuali bila terjadi abses. Kalau demikian keadaannya,
untuk mengurangi bengkak, ASI harus tetap dipompa keluar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawiroharjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina


Pustaka.
2. Pusdiknakes WHO, JHPIEGO, 2003. Asuhan Ante Natal.
3. Prawiroharjo , Sarwono. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
4. Price A Sylvia. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC.
5. Varney, H dkk. 1997. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC.
6. Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai