Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN FRAKTUR FEMUR DI RUANG JENGGALA A

RSUD GAMBIRAN KOTA KEDIRI

DISUSUN OLEH :

AMALIA NURLAILY

NIM. 10216001

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI

TAHUN 2019
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusya kontinuitas jaringan tulang dan tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Brunner and Suddarth, 2001).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari
trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang
menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer, 2002).
Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal
paha yang disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot dan kondisi tertentu, seperti
degenerasi tulang atau osteoporosis (Muttaqin, 2008).
1.2 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur femur (Muttaqin, 2008) terbagi menjadi:
1. Fraktur leher femur
Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada orang
tua terutama wanita usia 60 tahun ke atas disertai tulang yang osteoporosis. Fraktur
leher femur pada anak anak jarang ditemukan fraktur ini lebih sering terjadi pada
anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 3:2. Insiden tersering
pada usia 11-12 tahun.
2. Fraktur subtrokanter
Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada semua usia, biasanya disebabkan
trauma yang hebat. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur yang terjadi dibawah
trokanter minor.
3. Fraktur intertrokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur. Fraktur
daerah troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter mayor dan minor.
Frkatur ini bersifat ekstraartikular dan sering terjadi pada klien yang jatuh dan
mengalami trauma yang bersifat memuntir. Keretakan tulang terjadi antara trokanter
mayor dan minor tempat fragmen proksimal cenderung bergeser secara varus.
Fraktur dapat bersifat kominutif terutama pada korteks bagian posteomedial.
4. Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada daerah femur pada setiap usia dan
biasanya karena trauma hebat, misalnya kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian.
5. Fraktur suprakondilar femur
Daerah suprakondilar adalah daerah antar batas proksimal kondilus femur dan
batas metafisis dengan diafisis femur. Trauma yang mengenai femur terjadi karena
adanya tekanan varus dan vagus yang disertai kekatan aksial dan putaran sehingga
dapat menyebabkan fraktur pada daerah ini. Pergeseran terjadi karena tarikan otot.
1.3 Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan
daya pegas untuk menahan tekanan. Penyebab fraktur batang femur antara lain (Muttaqin,
2011) :
1. Fraktur femur terbuka
Fraktur femur terbuka disebabkan oleh trauma langsung pada paha.
2. Fraktur femur tertutup
Fraktur femur tertutup disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu,
seperti degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang
menyebabkan fraktur patologis.
1.4 Manifestasi klinis
Tanda dan gejala fraktur femur (Brunner & Suddarth, 2001) terdiri atas :
1. Nyeri
Nyeri yang terjadi terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas yang normal. Ektremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena
fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pemendekan tulang
Terjadi pada fraktur panjang karena kontraksi otot yang melekat di atas dan
dibawah tempat fraktur. Leg length discrepancy (LLD) atau perbedaan panjang
tungkai bawah adalah masalah ortopedi yang biasanya muncul di masa kecil, di mana
dua kaki seseorang memiliki panjang yang tidak sama. Penyebab dari masalah Leg
length discrepancy (LLD), yaitu osteomielitis, tumor, fraktur, hemihipertrofi, di
mana satu atau lebih malformasi vaskular atau tumor (seperti hemangioma) yang
menyebabkan aliran darah di satu sisi melebihi yang lain. Pengukuran Leg length
discrepancy (LLD) terbagi menjadi, yaitu true leg length discrepancy dan apparent
leg length discrepancy.True leg length discrepancy adalah cara megukur perbedaan
panjang tungkai bawah dengan mengukur dari spina iliaka anterior superior ke
maleolus medial dan apparent leg length discrepancy adalah cara megukur perbedaan
panjang tungkai bawah dengan mengukur dari xiphisternum atau umbilikus ke
maleolus medial.
4. Krepitus tulang (derik tulang)
Krepitasi tulang terjadi akibat gerakan fragmen satu dengan yang lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna tulang
Pembengkakan dan perubahan warna tulang terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi setelah beberapa jam atau hari.
1.5 Patofisiologi
Pada dasarnya penyebab fraktur itu sama yaitu trauma, tergantung dimana fraktur
tersebut mengalami trauma, begitu juga dengan fraktur femur ada dua faktor penyebab
fraktur femur, faktor-faktor tersebut diantaranya, fraktur fisiologis merupakan suatu
kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga fisik, olahraga, dan
trauma dan fraktur patologis merupakan kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit
dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur (Rasjad, 2009).
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan adanya
gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik dan patologik.
Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup.
Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah
menurun. COP atau curah jantung menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan.
Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edema lokal maka terjadi
penumpukan didalam tubuh. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan
lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan
kerusakan jaringan lunak yang akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolik,
patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau tertutup akan
mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain
itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi masalah neurovaskuler yang akan
menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Pada umumnya pada pasien
fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk
mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
1.6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur femur
(Muttaqin, 2008), antara lain:
1. Fraktur leher femur
Komplikasi yang bersifat umum adalah trombosis vena, emboli paru,
pneumonias, dan dekubitus. Nekrosis avaskular terjadi pada 30% klien fraktur femur
yang disertai pergeseran dan 10% fraktur tanpa pergeseran. Apabila lokasi fraktur
lebih ke proksimal, kemungkinan terjadi nekrosis avaskular lebih besar.
2. Fraktur diafisis femur
Komplikasi dini yang biasanya terjadi pada fraktur diafisis femur adalah sebagai
berikut :
a. Syok terjadi perdarahan sebanyak 1-2 liter walapun fraktur bersifat tertutup.
b. Emboli lemak sering didapatkan pada penderita muda dengan fraktur femur.
c. Trauma pembuluh darah besar. Ujung fragmen tulang menembus jaringan lunak
dan merusak arteri femoralis sehingga menmyebakan kontusi dan oklusi atau
terpotong sama sekali.
d. Trauma saraf pada pembuluh darah akibat tusukan fragmen dapat disertai
kerusakan saraf yang bervariasi dari neuropraksia sampai ke aksonotemesis.
Trauma saraf dapat terjadi pada nervus iskiadikus atau pada cabangnya, yaitu
nervus tibialis dan nervus peroneus komunis.
e. Trombo emboli. Klien yag mengalami tirah baring lama, misalnya distraksi di
tempat tidur dapat mengalami komplikasi trombo-emboli.
f. Infeksi terjadi pada fraktur terbuka akibat luka yang terkontaminasi. Infeklsi
dapat pula terjadi setelah dilakukan operasi.

Komplikasi lanjut pada fraktur diafisis femur yang sering terjadi pada klien
dengan fraktur diafisis femur adalah sebagai berikut :
a. Delayed Union, yaitu fraktur femur pada orang dewasa mengalami union dalam
empat bulan.
b. Non union apabila permukaan fraktur menjadi bulat dan sklerotik.
c. Mal union apabila terjadi pergeseran kembali kedua ujung fragmen. Mal union
juga menyebabkan pemendekan tungkai sehingga dipelukan koreksi berupa
osteotomi.
d. Kaku sendi lutut. Setelah fraktur femur biasanya terjadi kesulitan pergerakan
pada sendi lutut. Hal ini dapat dihindari apabila fisioterapi yang intensif dan
sistematis dilakukan lebih awal.
e. Refraktur terjadi pada mobilisasi dilakukan sebelum union yang solid.
1.7 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi, luasnya fraktur, trauma, dan jenis fraktur.
2. Scan tulang, temogram, CT scan/MRI :memperlihatkan tingkat keparahan fraktur,
juga dan mengidentifikasi kerusakan jaringan linak.
3. Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multipel trauma)
peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal setelah trauma.
5. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban tratinin untuk klien ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi mulpel
atau cedera hati (Lukman & Ningsih, 2009).
1.8 Penatalaksanaan
1. Fraktur femur terbuka harus dinilai dengan cermat untuk mengetahui ada tidaknya
kehilangan kulit, kontaminasi luka, iskemia otot, cedera pada pembuluh darah dan
saraf. Intervensi tersebut meliputi :
a. Profilaksis antibiotik
b. Debridemen
Pembersihan luka dan debridemen harus dilakukan dengan sedikit
mungkin penundaan. Jika terdapat kematian jaringan yang mati dieksisi
dengan hati-hati. Luka akibat penetrasi fragmen luka yang tajam juga perlu
dibersihkan dan dieksisi.
c. Stabilisasi dilakukan pemasangan fiksasi interna atau eksterna.
2. Fraktur femur tertutup
Pengkajian ini diperlukan oleh perawat sebagai peran kolaboratif dalam
melakukan asuhan keperawatan.
a. Fraktur diafisis femur, meliputi:
1) Terapi konservatif.
2) Traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan
terapi definitif untuk mengurangi spasme otot.
3) Traksi tulang berimbang dengan bagian pearson pada sendi lutut.
Indikasi traksi utama adalah faraktur yang bersifat kominutif dan
segmental.
4) Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah union fraktur secara
klinis.
3. Terapi Operasi
a. Pemasangan plate dan screw pada fraktur proksimal diafisis atau distal femur.
b. Mempengaruhi k nail, AO nail, atau jenis lain, baik dengan operasi tertutup
maupun terbuka. Indikasi K nail, AO nail terutama adalah farktur diafisis.
c. Fiksassi eksterna terutama pada fraktur segmental, fraktur kominutif, infected
pseudoarthrosis atau fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang
hebat.
4. Fraktur suprakondilar femur, meliputi:
a. Traksi berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan lutut
Pearson, cast bracing, dan spika panggul.
b. Terapi operatif dilakukan pada fraktur yang tidak dapat direduksi secara
konservatif. Terapi dilakukan dengan mempergunakan nailphorc dare screw
dengan berbagai tipe yang tersedia (Muttaqin, 2011).
1.9 Prinsip Penanganan Fraktur Secara Umum
Prinsip penanganan fraktur ada 4, yaitu : rekognisi, reduksi, retensi dan rehabilitasi.
1. Rekognisi, mengenal jenis fraktur, lokasi dan keadaan secara umum; riwayat
kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi kejadian oleh pasien, menentukan
kemungkinan tulang yang patah dan adanya krepitus.
2. Reduksi, mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis normal untuk
mencegah jarinagn lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
dan perdarahan. Reduksi ada 3 (tiga), yaitu :
a. Reduksi tertutup (close reduction), dengan cara manual/ manipulasi, dengan
tarikan untuk menggerakan fragmen tulang/ mengembalikan fragmen tulang
ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan).
b. Traksi, digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi, dimana
beratnya traksi di sesuaikan dengan spasme otot. Sinar X digunakan untuk
memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang.
c. Reduksi terbuka, dengan memasang alat untuk mempertahankan pergerakan,
yaitu fiksasi internal (kawat, sekrup, plat, nail dan batang dan implant logam)
dan fiksasi ekterna (pembalutan, gips, bidai, traksi kontinue, pin dan tehnik
gips.
Jenis-jenis Traksi, yaitu:
1) Traksi kulit
Traksi kulit digunakan untuk mengontrol sepasme kulit dan
memberikan imobilisasi . Traksi kulit apendikuler ( hanya pada ektermitas
digunakan pada orang dewasa) termasuk “ traksi ektensi Buck, traksi
russell, dan traksi Dunlop”.
a) Traksi buck Ektensi buck ( unilateral/ bilateral ) adalah bentuk traksi
kulit dimana tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya
imobilisasi parsial atau temporer yang diinginkan . Digunakan untuk
memberikan rasa nyaman setelah cidera pinggul sebelum dilakukan
fiksasi bedah (Smeltzer & Bare,2001 ). Traksi buck merupakan
traksi kulit yang paling sederhana, dan paling tepat bila dipasang
untuk anak muda dalam jangka waktu yang pendek. Indikasi yang
paling sering untuk jenis traksi ini adalah untuk mengistirahatkan
sendi lutut pasca trauma sebelum lutut tersebut diperiksa dan
diperbaiki lebih lanjut.
b) Traksi Russell Dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong
lutut yang fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarik
horizontal melalui pita traksi balutan elastis ketungkai bawah. Bila
perlu, tungkai dapat disangga dengan bantal agar lutut benar- benar
fleksi dan menghindari tekanan pada tumit (Smeltzer & Bare, 2001 ).
c) Traksi Dunlop Adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal
diberikan pada lengan bawah dalam posisi fleksi.
d) Traksi kulit bryant Traksi ini sering digunakan untuk merawat anak
kecil yang mengalami patah tulang paha. Traksi Bryant sebaiknya
tidak dilakukan pada anak-anak yang berat badannya lebih dari 30
kg. kalau batas ini dilampaui maka kulit dapat mengalami kerusakan
berat.
2) Traksi skelet
Traksi skelet dipasang langsung pada tulang. Metode traksi ini
digunakan paling sering untuk menangani fraktur femur, tibia, humerus
dan tulang leher.
a) Traksi rangka seimbang
Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk merawat
patah tulang pada korpus femoralis orng dewasa. Sekilas pandangan
traksi ini tampak komplek, tetapi sesunguhnya hanyalah satu pin
rangka yang ditempatkan tramversal melalui femur distal atau tibia
proksimal. Dipasang pancang traksi dan tali traksi utama dipasang
pada pancang tersebut. Ektermitas pasien ditempatkan dengan posisi
panggul dan lutut membentuk sekitar 35°.
b) Traksi 90-90-90
Traksi 90-90-90 sangat berguna untuk merawat anak- anak usia
3 tahun sampai dewasa muda. kontrol terhadap fragmen – fragmen
pada fraktur tulang femur hamper selalu memuaskan dengan traksi
90-90-90 penderita masih dapat bergerak dengan cukup bebas diatas
tempat tidur.
3. Reposisi
Setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi penyatuan yang tepat. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan cara fiksasi internal dan eksternal.
a. Fiksasi internal
Fragmen tulang dapat diikat dengan skrup, pen, atau paku pengikat, plat
logam yang diikat dengan skrup, paku intramedular yang panjang (dengan
atau tanpa skrup pengunci) , ciscumferential bands, atau kombinasi dari
metode ini.
b. Fiksasi eksternal
Fraktur dipertahankan dengan skrup pengikat atau kawat penekan yang
melalui tulang diatas dan dibawah fraktur, dan dilekatkan pada suatu
kerangka luar.
4. Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Pada umumnya, sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, bagian yang
mengalami operasi yaitu 1/3 distal femur pasien dalam keadaan dielevasikan sekitar
30˚
a. Static Contraction
Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan tanpa
gerakan pada sendi. Latihan ini dapat meningkatkan tahanan perifer
pembuluh darah, vena yang tertekan oleh otot yang berkontraksi
menyebabkan darah di dalam vena akan terdorong ke proksimal yang dapat
mengurangi oedem, dengan oedem berkurang, maka rasa nyeri juga dapat
berkurang.
b. Passive Movement
Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya
kekuatan dari luar sementara itu otot pasien lemas. Passive movement ada 2,
yaitu :
1) Relaxed Passive Movement
Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila
pasien sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi tertentu,
maka gerakan dihentikan.
2) Forced Passive Movement
Forced Passive Movement bertujuan untuk menambah lingkup
gerak sendi. Tekniknya hampir sama dengan relaxed passive
movement, namun di sini pada akhir gerakan diberikan penekanan
sampai pasien mampu menahan rasa nyeri.
3) Active Movement
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak
tubuh pasien itu sendiri. Pada kondisi oedem, gerakan aktif ini dapat
menimbulkan “pumping action” yang akan mendorong cairan
bengkak mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga dapat
digunakan untuk tujuan mempertahankan kekuatan otot, latihan
koordinasi dan mempertahankan mobilitas sendi.
Active Movement terdiri dari :
a) Free Active Movement
Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat
meningkatkan sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang,
jika oedem berkurang maka nyeri juga dapat berkurang.
Gerakan ini dapat menjaga lingkup gerak sendi dan memelihara
kekuatan otot.
b) Assisted Active Movement
Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis
memfasilitasi gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan
licin ataupun tangan terapis sendiri. Latihan ini dapat
mengurangi nyeri karena merangsang relaksasi propioseptif.
c) Ressisted Active Movement
Ressisted Active Movement merupakan gerakan yang
dilakukan oleh pasien sendiri, namun ada penahanan saat otot
berkontraksi. Tahanan yang diberikan bertahap mulai dari
minimal sampai maksimal. Latihan ini dapat meningkatkan
kekuatan otot.
d) Hold Relax
Hold Relax adalah teknik latihan gerak yang
mengkontraksikan otot kelompok antagonis secara isometris dan
diikuti relaksasi otot tersebut. Kemudian dilakukan penguluran
otot antagonis tersebut. Teknik ini digunakan untuk
meningkatkan lingkup gerak sendi.
e) Latihan Jalan
Latihan transfer dan ambulasi penting bagi pasien agar
pasien dapat kembali ke aktivitas sehari-hari. Latihan transfer
dan ambulasi di sini yang penting untuk pasien adalah latihan
jalan. Mula-mula latihan jalan dilakukan dengan menggunakan
dua axilla kruk secara bertahap dimulai dari non weight bearing
atau tidak menumpu berat badan sampai full weight bearing atau
menumpu berat badan. Metode jalan yang digunakan adalah
swing, baik swing to ataupun swing through dan dengan titik
tumpu, baik two point gait, three point gait ataupun four point
gait. Latihan ini berguna untuk pasien agar dapat mandiri
walaupun masih menggunakan alat bantu.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.1.Pengkajian
Pada tahap pengkajian dapat dilakukan anamnesa/wawancara terhadap pasien
dengan fraktur femur yaitu :
1. Identitas pasien
a. Nama : Nama pasien
b. Usia : usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami osteoporotik,
penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan, fraktur batang
femur pada anak terjadi karena jatuh waktu bermain dirumah atau disekolah
c. Suku : Suku pasien
d. Pekerjaan : Pekerjaan pasien
e. Alamat : Alamat pasien
2. Riwayat keperawatan
a. Riwayat perjalanan penyakit
1) Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan : nyeri pada
paha.
2) Apa penyebabnya, waktu : kecelakaan atau trauma, berapa jam/menit
yang lalu.
3) Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll.
4) Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan.
5) Kehilangan fungsi.
6) Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
1) Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis kortikosteroid dalam
jangka waktu lama
2) Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama pada
wanita
3) Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
4) Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
3. Pemeriksaan fisik
Mengidentifikasi tipe fraktur
a. Inspeksi daerah mana yang terkena
1) Deformitas yang nampak jelas
2) Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
3) Laserasi
4) Perubahan warna kulit
5) Kehilangan fungsi daerah yang cidera
b. Palpasi
1) Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
2) Krepitasi
3) Nadi, dingin
4) Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Rontgen
1) Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung.
2) Mengetahui tempat dan tipe fraktur.
b. Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses
penyembuhan secara periodik.
c. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multiple).
2.2. Diagnosa keperawatan
1. Pre operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder pada
fraktur.
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar/fraktur.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan kerusakan
jaringan lunak.
d. Ansietas berhubungan dengan prosedur pengobatan atau pembedahan.
2. Intra operasi
Resiko syok hipovolomik berhubungan dengan perdarahan akibat pembedahan.
3. Post operasi
a. Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post
pembedahan.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi
2.3. Intervensi Keperawatan
1. Pre Operatif
NO. DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI
KEPERAWATAN HASIL
1. Nyeri akut NOC : NIC :
berhubungan dengan 1. Tingkat nyeri 1. Manajemen nyeri
spasme otot dan 2. Kontrol nyeri 2. Lakukan pengkajian nyeri
kerusakan sekunder 3. Tingkat kenyamanan secara komprehensif termasuk
pada fraktur lokasi, karakteristik, durasi,
Kriteria Hasil : frekuensi, kualitas dan faktor
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu presipitasi.
penyebab nyeri, mampu 3. Observasi reaksi nonverbal
menggunakan tehnik dari ketidaknyamanan.
nonfarmakologi untuk 4. Kurangi faktor presipitasi
mengurangi nyeri, mencari nyeri.
bantuan). 5. Ajarkan tentang teknik non
2. Melaporkan bahwa nyeri farmakologi.
berkurang dengan 6. Evaluasi keefektifan kontrol
menggunakan manajemen nyeri.
nyeri. 7. Kolaborasikan dengan dokter
3. Mampu mengenali nyeri (skala, jika ada keluhan dan tindakan
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri tidak berhasil
nyeri).
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang.
5. Tanda vital dalam rentang
normal
2. Hambatan mobilitas NOC : NIC :
fisik berhubungan 1. Gerakan : aktif Latihan Kekuatan
dengan cedera 2. Tingkat mobilitas 1. Ajarkan dan berikan
jaringan 3. Perawatan diri: ADL dorongan pada klien untuk
sekitar/fraktur melakukan program latihan
Kriteria Hasil : secara rutin
1. Klien meningkat dalam Latihan untuk ambulasi
aktivitas fisik.
2. Mengerti tujuan dari 1. Ajarkan teknik ambulasi &
peningkatan mobilitas. perpindahan yang aman
3. Memverbalisasikan perasaan kepada klien dan keluarga.
dalam meningkatkan kekuatan 2. Sediakan alat bantu untuk
dan kemampuan berpindah. klien seperti kruk, kursi roda,
4. Memperagakan penggunaan dan walker.
alat Bantu untuk mobilisasi 3. Beri penguatan positif untuk
(walker) berlatih mandiri dalam
batasan yang aman.
Latihan mobilisasi dengan kursi
roda.
1. Ajarkan pada klien &
keluarga tentang cara
pemakaian kursi roda & cara
berpindah dari kursi roda ke
tempat tidur atau sebaliknya.
2. Dorong klien melakukan
latihan untuk memperkuat
anggota tubuh.
3. Ajarkan pada klien/ keluarga
tentang cara penggunaan
kursi roda
3. Resiko tinggi infeksi NOC : NIC :
berhubungan dengan 1. Status imun. Kontrol infeksi
fraktur terbuka dan 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan setelah
kerusakan jaringan dipakai pasien lain.
lunak 2. Gunakan sabun antimikrobia
Kriteria Hasil : untuk cuci tangan.
1. Klien bebas dari tanda dan 3. Cuci tangan setiap sebelum
gejala infeksi. dan sesudah tindakan
2. Menunjukkan kemampuan keperawatan.
untuk mencegah timbulnya 4. Gunakan baju, sarung tangan
infeksi. sebagai alat pelindung.
3. Jumlah leukosit dalam batas 5. Pertahankan lingkungan
normal. aseptik selama pemasangan
4. Menunjukkan perilaku hidup alat.
sehat 6. Tingktkan intake nutrisi.
7. Berikan terapi antibiotik bila
perlu
4. Ansietas NOC NIC
berhubungan dengan Kontrol ansietas Penurunan kecemasan
prosedur pengobatan 1. Tenangkan klien.
atau pembedahan Kriteria hasil 2. Berikan informasi tentang
1. Monitor intensitas kecemasan. diagnosa prognosis dan
2. Menyikirkan tanda kecemasan. tindakan.
3. Mencari informasi untuk 3. Kaji tingkat kecemasan dan
menurunkan kecemasan. reaksi fisik pada tingkat
4. Merencanakan strategi koping. kecemasan.
5. Menggunakan teknik relaksasi 4. Gunakan pendekatan dan
untuk menurunkan kecemasan. sentuhan.
6. Melaporkan penurunan durasi 5. Temani pasien untuk
dan episode cemas. mendukung keamanan dan
7. Melaporkan tidak adanya penurunan rasa takut.
manifestasi fisik dan 6. Sediakan aktifitas untuk
kecemasan. menurunkan ketegangan.
8. Tidak adaa manifestasi 7. Intruksikan kemampuan klien
perilaku kecemasan untuk menggunakan teknik
relaksasi.
2. Intra Operatif

NO. DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI


KEPERAWATAN HASIL
1. Resiko syok NOC : NIC :
hipovolomik
berhubungan dengan Deteksi resiko Manajemen syok : volume.
perdarahan akibat Kriteria hasil : 1. Monitor tanda dan gejala
pembedahan perdarahan yang konsisten.
1. Kenali tanda dan gejala yang 2. Cegah kehilangan darah (ex :
mengindikasikan risiko. melakukan penekanan pada
2. Cari validasi dari risiko yg tempat terjadi perdarahan).
dirasakan. 3. Berikan cairan IV.
3. Pertahankan info terbaru 4. Catat Hb/Ht sebelum dan
tentang riwayat keluarga. sesudah kehilangan darah
4. Pertahankan info terbaru sesuai indikasi.
tentang riwayat pribadi. 5. Berikan tambahan darah (ex :
5. Gunakan sumber informasi platelet, plasma) yang sesuai
tentang risiko potensial

3. Post operatif

NO. DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI


KEPERAWATAN HASIL

1. Nyeri berhubungan NOC : NIC :


dengan proses
pembedahan 1. Tingkat nyeri. Manajemen nyeri
2. Kontrol nyeri.
3. Tingkat kenyamanan 1. Lakukan pengkajian nyeri
secara komprehensif
Kriteria Hasil : termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
1. Mampu mengontrol nyeri frekuensi, kualitas dan faktor
(tahu penyebab nyeri, mampu presipitasi.
menggunakan tehnik 2. Observasi reaksi nonverbal
nonfarmakologi untuk dari ketidaknyamanan.
mengurangi nyeri, mencari 3. Kurangi faktor presipitasi
bantuan). nyeri.
2. Melaporkan bahwa nyeri 4. Ajarkan tentang teknik non
berkurang dengan farmakologi.
menggunakan manajemen 5. Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri. nyeri.
3. Mampu mengenali nyeri 6. Kolaborasikan dengan dokter
(skala, intensitas, frekuensi jika ada keluhan dan tindakan
dan tanda nyeri). nyeri tidak berhasil
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang.
5. Tanda vital dalam rentang
normal
2. Kerusakan integritas NOC : NIC :
kulit berhubungan
dengan trauma Intergritas jaringan : kulit and Manajemen tekanan
jaringan post membran mukus
1. Anjurkan pasien untuk
pembedahan Kriteria Hasil : menggunakan pakaian yang
longgar.
1. Integritas kulit yang baik bisa 2. Hindari kerutan pada tempat
dipertahankan. tidur.
2. Melaporkan adanya 3. Jaga kebersihan kulit agar
gangguan sensasi atau nyeri tetap bersih dan kering.
pada daerah kulit yang 4. Mobilisasi pasien (ubah
mengalami gangguan. posisi pasien) setiap dua jam
3. Menunjukkan pemahaman sekali.
dalam proses perbaikan kulit 5. Monitor kulit akan adanya
dan mencegah terjadinya kemerahan.
sedera berulang. 6. Monitor aktivitas dan
4. Mampu melindungi kulit dan mobilisasi pasien.
mempertahankan 7. Monitor status nutrisi pasien.
kelembaban kulit dan 8. Memandikan pasien dengan
perawatan alami sabun dan air hangat
3. Resiko tinggi infeksi NOC : NIC :
berhubungan dengan
luka operasi 1. Status imun Kontrol infeksi.
2. Kontrol resiko
1. Bersihkan lingkungan setelah
Kriteria Hasil : dipakai pasien lain.
2. Gunakan sabun antimikrobia
1. Klien bebas dari tanda dan untuk cuci tangan.
gejala infeksi. 3. Cuci tangan setiap sebelum
2. Menunjukkan kemampuan dan sesudah tindakan
untuk mencegah timbulnya keperawatan.
infeksi. 4. Gunakan baju, sarung tangan
3. Jumlah leukosit dalam batas sebagai alat pelindung.
normal. 5. Pertahankan lingkungan
4. Menunjukkan perilaku hidup aseptik selama pemasangan
sehat alat.
6. Tingktkan intake nutrisi.
7. Berikan terapi antibiotik bila
perlu

2.4.Implementasi Keperawatan

Tiap pelaksanaan merupakan tahap proses keperawatan dalam melaksanakan


strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana
tindakan keperawatan.
Pelaksanaan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan. Pada tahap ini perawat menerapkan ilmu – ilmu
keperawatan dan ilmu lain yang terkait secara terintegrasi, beberapa faktor dapat
mempengaruhi pelaksanaan rencana pelayanan keperawatan, antara lain sumber – sumber
yang ada, pengorganisasian pekerjaan perawat serta lingkungan fisik untuk pelayanan
keperawatan (Hidayat, A, 2008).
Prinsip tindakan perawat :
a. Independen adalah tindakan keperawatan yang diprakarsai sendiri oleh perawat
untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahya.
b. Interdependen adalah tindakan perawatan atas dasar kerja sama tim perawat dengan
tim kesehatan lain.
c. Dependen adalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain.
Pelaksanaan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang
telah disusun pada perencanaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasien secara
optimal.
2.5.Evaluasi

Merupakan langkah akhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan


identifikasi sejauh mana tujuan dan rencana keperawatan tercapai. Pada tahap evaluasi ini
terdiri dari dua kegiatan menurut (Hidayat, A, 2008) yaitu :
a. Evaluasi proses
Yaitu evaluasi yang dilakukan dengan mengevaluasi selama proses perawatan
berlangsung atau menilai dari respon Pasien.
b. Evaluasi hasil
Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada
waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan. ada
beberapa tujuan dalam evaluasi hasil yaitu :
1) Tujuan tercapai
Tujuan ini dikatakan tercapai apabila Pasien telah menunjukkan perubahan
dan kemajuan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak tercapai secara
keseluruhan sehingga masih perlu dicari berbagai penyebab atau masalahnya.
3) Tujuan tidak tercapai
4) Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukkan adanya perubahan kearah
kemajuan sebagaimana kriteria yang diharapkan.
Untuk memudahkan dalam evaluasi keperawatan dapat digunakan format
SOAPIE antara lain :
S : Data subyektif sehubungan dengan masalah Pasien
O : Data obyektif sehubungan dengan masalah Pasien
A : Analisa masalah
P : Perencanaan
I : Implementasi
E : Evaluasi
2.6.Discharge planning
1. Persiapan Perawatan Rumah
Klien membutuhkan orang terdekat klien yang akan membantu perawatan atau
proses penyembuhan di rumah. Hal – hal yang perlu diperhatikan, yaitu mencegah
kemungkinan jatuh harus dihilangkan, ruangan harus bebas atau minimal perabot
untuk memudahkan pergerakan klien dengan menggunakan kruk atau alat bantu lain.
2. Edukasi Klien dan Keluarga
Klien dengan fraktur biasanya dipulangkan kerumah dalam keadaan memakai
pembalut / bandage, splint, gips atau fiksasi eksternal. Perawat harus menyiapkan
instruksi verbal / tertulis untuk klien dan keluarga tentang mengkaji dan merawaqt
luka untuk meningkatkan penyembuhan dan pencegahan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Lukman, N & Ningsih, N. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Mansjoer, A. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Medica Aesculpalus. Moffat,
D & Faiz, O. 2002. At a Glance Series Anatomi. Jakarta: PT. Glora Aksara Pratama.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Muskuloskeletal. Jakarta:EGC.
Muttaqin, A. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi pada Praktik Klinik
Keperawatan. Jakarta:EGC.
Rasjad, C. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.Yarsif Watampone.

Smeltzer,Suzanne C, dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Sudarth (ED.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo...(dkk),EGC,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai