Anda di halaman 1dari 140

Kegagalan demokrasi

oleh
Frank Karsten & Karel Beckman

Diterjemahkan dari bahasa Inggris


oleh Sebastian Kwame Braun

Jakarta, April 2013

Judul asli: Beyond Democracy


Kegagalan demokrasi

Mengapa demokrasi tidak mengarah pada solidaritas,


kemakmuran dan kebebasan tetapi konflik sosial,
anggaran belanja negeri yang berlebihan dan
pemerintahan yang bersifat menindas.

www.kegagalandemokrasi.com
Desain sampul: Frank Karsten

ISBN-13: 978-1484049860
ISBN-10: 1484049861

Versi: 1.1
April 2013
Penulis

Karel Beckman adalah seorang


penulis dan jurnalis. Dia adalah
pemimpin redaksi media online
European Energy Review.
Sebelum itu ia bekerja sebagai
wartawan di surat kabar
keuangan Belanda Financieele
Dagblad. Situs web pribadinya
adalah charlieville.nl.

Frank Karsten adalah pendiri


Mises Instituut Nederland,
sebuah organisasi libertarian
Belanda yang memperjuangkan
pengurangan pajak dan campur
tangan pemerintah. Dia sering
tampil di depan umum untuk
berbicara menentang
perkembangan gangguan campur
tangan negara dalam kehidupan
rakyat. www.mises.nl

5
6
Penterjemah

Sebastian Braun
Sebastian Braun memegang
Ph.D. dalam subjek Ilmu
Pengetahuan Asia Tenggara dan
telah bekerja di Asia sejak tahun
2008. Saat ini Ia sedang berusaha
untuk melawan propaganda
pemerintahan di Indonesia yang
berkaitan dengan pengembangan
ekonomi dan lingkungan.

Penyelaras

Bonar Armando
Bonar Armando, seorang
cendekiawan Internet yang
terperangkap di kehidupan dunia
ketiga di mana kebebasan adalah
hal yang mewah dan
ketidaktahuan dirayakan
(menurut dia). Sekarang dia
sedang berusaha keras untuk
menyebarkan kebebasan individu melalui budaya pop.

Diantini Ida Viatrie


Diantini Ida Viatrie adalah alumni
Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada dan saat ini bekerja
sebagai pengajar bidang psikologi
klinis di sebuah universitas negeri
di Malang. Pada waktu luangnya
dia bekerja sebagai penerjemah
paruh waktu sehingga dengan
demikian pengetahuannya makin luas dan beragam.

7
Daftar isi

Kata pengantar oleh Sebastian Kwame Braun 11


Kata pengantar oleh Frank Karsten 15
Pengantar 21
Iman demokrasi 23
Demokrasi = kolektivisme 25

I – Mitos demokrasi
Mitos 1 - Setiap suara diperhitungkan 31
Mitos 2 - Rakyat memerintah dalam demokrasi 34
Mitos 3 - Mayoritas selalu benar 40
Mitos 4 - Demokrasi adalah politik yang netral 43
Mitos 5 - Demokrasi mengakibatkan 51
kemakmuran
Mitos 6 - Demokrasi diperlukan untuk 58
menjamin distribusi kekayaan yang
adil dan membantu masyarakat miskin
Mitos 7 - Untuk bisa hidup bersama dalam 63
harmoni diperlukan demokrasi
Mitos 8 - Demokrasi sangat diperlukan untuk 70
rasa kebersamaan masyarakat
Mitos 9 - Demokrasi sama dengan kebebasan 74
dan toleransi
Mitos 10 - Demokrasi mempromosikan 81
perdamaian dan membantu
memerangi korupsi
Mitos 11 - Orang-orang mendapatkan apa yang 86
mereka inginkan dalam demokrasi
Mitos 12 - Kita semua demokrat 92
Mitos 13 - Tidak ada alternatif yang lebih baik 96

II - Krisis demokrasi 99

8
Dosa-dosa demokrasi 101
Mengapa semuanya menjadi lebih buruk 107
Mengapa kita perlu mengurangi demokrasi 110

III - Menuju kebebasan baru 112


Desentralisasi dan kebebasan individu 114
Sebuah Pasar untuk Pemerintahan 115
Desentralisasi di Swiss 117
Sebuah masyarakat kontrak 120
Jalan menuju kebebasan 123
Sebuah masa depan yang cerah 127

Penutup - Libertarianisme dan demokrasi 132

Kutipan 137

9
10
Kata pengantar

Oleh Sebastian Kwame Braun

Ketika pertama kali saya membaca buku ini, saya langsung


berpikir "ini harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia!"
Rakyat Indonesia khususnya terganggu oleh kolektivisme yang
disebut demokrasi. Setelah jatuhnya diktator Suharto, harapan
untuk perbaikan ("reformasi") dalam bidang politik dan
ekonomi besar. Namun, seperti kasus di negara-negara
berkembang lainnya seperti Indonesia, demokrasi bekerja jauh
kurang baik di sini daripada di negara-negara industri. Akan
tetapi karena ada konsensus global pada "kebaikan" demokrasi,
hampir tidak ada orang di sini yang mempertanyakan sistem
itu sendiri. Komentator politik Indonesia membeo mainstream
Barat dalam menyerukan pemerintahan yang lebih baik, bersih
dan efisien - yang pada dasarnya berarti meminta peran
pemerintah yang lebih besar lagi. Hal ini sangat tragis karena
pemerintah dan demokrasi yang menyebabkan semua
masalah. Bukanlah individu yang mengisi jajaran birokrasi dan
politik yang rusak melainkan sistem itu sendiri yang rusak. 100
tahun yang lalu ahli ekonomi Austria terkenal, Ludwig von
Mises, berpendapat bahwa kalau pun birokrat memiliki
integritas moral dan kompetensi yang tinggi dia tetap tidak
akan dapat menciptakan hasil yang baik untuk semua orang
karena dia tidak dapat mengetahui kuantitas dan kualitas
pelayanan apa yang dibutuhkan oleh setiap orang. Pemerintah
adalah kepura-puraan pengetahuan, pemenang Nobel,
Friedrich August von Hayek telah menunjukkannya. Dan
pemerintahan demokratis adalah kepura-puraan pemerintahan
oleh rakyat.

Mengingat semua permasalahan yang sedang kita lihat di


Indonesia – mulai dari korupsi pemerintah yang merajalela,
tingginya inflasi, ketimpangan yang tinggi (terutama diciptakan
oleh pemerintah melalui inflasi dan kronisme/nepotisme),
bermain-main dengan sinyal pasar melalui pengendalian
harga, subsidi, proteksionisme untuk kepentingan pribadi dll
sampai dengan jalan-jalan milik pemerintah yang macet tak

11
berdaya di Jakarta - sudah saatnya untuk protes terhadap
kejahatan pemerintahan demokratis. Alih-alih memerangi
korupsi melalui pengurangan kekuasaan negara dan dengan
demikian mengurangi kesempatan untuk tindakan korup,
jumlah pasal hukum semakin banyak, kekuasaan negara
ditingkatkan dan dengan demikian lebih banyak kesempatan
bagi praktek korupsi. Alih-alih menendang pemerintah dan
kroni-kroninya keluar dari sistem transportasi publik di Jakarta
yang mengerikan dan membiarkan perusahaan swasta bersaing
satu sama lain untuk mendapatkan dukungan pelanggan dan
bukan untuk mendapatkan dukungan pemerintah yang korup,
orang memilih seorang gubernur baru dan mengharap bahwa
entah bagaimana ia bisa secara ajaib memecahkan masalah
dan semuanya akan berubah dengan satu orang ini. Rakyat
Indonesia perlu bangun dan menyadari bahwa mereka
bermimpi buruk yang disebabkan oleh para elit mereka
sendiri yang hanya menyalin model demokrasi Barat yang
sudah cacat. Alasan bahwa demokrasi mendukung
pembangunan terdengar dangkal bila kita mengingat angka
kemiskinan di Indonesia yang 18,7 persen (penduduk yang
hidup di bawah $ 1,25 per hari) dan tingkat pengangguran
kaum muda sebesar 18 persen, yang enam kali lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata dunia, menurut Worldbank. 53
persen dari pemuda menemukan pekerjaan di sektor informal,
di mana mereka sering melakukan pekerjaan keluarga yang
tidak dibayar.

Buku yang sedang Anda pegang di tangan atau yang sedang


Anda baca di tablet Anda cenderung dapat membantu
memicu revolusi. Buku ini menjelaskan demokrasi dengan
cara yang sangat sederhana dan logis dan menggunakan
contoh-contoh praktis untuk menunjukkan apa itu demokrasi
dan mengapa hasil-hasilnya tidak pernah bisa baik. Yang
penting juga, dua penulis buku ini menjelaskan bahwa ada
alternatif untuk demokrasi - dan itu bukan kediktatoran tapi
kebebasan individu. Pembaca akan menyadari bahwa
pertahanan kebebasan pribadi ketat ini merusak beberapa
tabu sejarah dan sosial di Indonesia. Misalnya, penciptaan dan
pemeliharaan negara kesatuan Indonesia telah menyebabkan

12
terlalu banyak kekerasan yang tidak perlu, hanya karena
prinsip kebebasan pribadi telah dikorbankan untuk persatuan
nasional. Pikirkanlah pembunuhan massal mereka yang diduga
komunis oleh pemerintahan anti-komunis pada tahun 1965-
1966, penganiayaan minoritas agama masa kini atau
penghancuran gerakan separatis daerah. Solusi untuk masalah-
masalah ini sebenarnya sangat sederhana: yang ingin hidup
dalam masyarakat komunis dimungkinkan untuk
melakukannya tanpa memaksa orang lain untuk mengikuti
langkah ini, yang ingin menganut agama tertentu
dimungkinkan untuk melakukannya tanpa memaksa orang lain
untuk mengikuti langkah ini, yang ingin menciptakan
komunitas independen mereka sendiri berdasarkan identitas
etnis atau regional apa pun dimungkinkan untuk
melakukannya tanpa memaksa orang lain untuk mengikutinya.
Persaingan ekonomi antara komunitas komunis bebas dan
komunitas kapitalis bebas mungkin akan mengakibatkan
kepunahan komunitas komunis karena dia tidak akan mampu
bersaing – tetapi kejadian ini akan sepenuhnya berjalan damai
dan tanpa kekerasan. Indonesia dengan 17.508 pulau, sekitar
300 etnis pribumi yang berbeda dan 742 bahasa dan dialek
sangat cocok untuk desentralisasi dan dibagi menjadi banyak
komunitas yang independen dan lebih kecil. Kemungkinan
penurunan konflik sosial dan kekerasan sangat besar,
mengingat bertambahnya jumlah konflik sosial di Indonesia.
The Jakarta Post melaporkan pada bulan Februari 2013 bahwa
jumlah serangan terhadap kelompok-kelompok minoritas
meningkat secara signifikan dari 144 kasus pada tahun 2011
menjadi 264 kasus tahun lalu, menurut data dari Setara
Institute.

"Kegagalan Demokrasi" diperkuat oleh penelitian ilmiah


tentang akibat-akibat negatif dari demokrasi seperti buku “The
God That Failed” (“Tuhan Yang Gagal”) oleh profesor Hans-
Hermann Hoppe dan tulisan-tulisan oleh pendiri sekolah
Public Choice dan pemenang Nobel, James M. Buchanan,
yang sangat kritis – namun tidak anti-demokratis – terhadap
demokrasi. Bahkan sekolah tersebut, yang mainstream
(diterima oleh kebanyakan peneliti), mengakui kalau

13
pemungutan suara tidak berguna: "Ketidaktahuan pemilih
rasional karena biaya mengumpulkan informasi tentang pemilu
relatif tinggi dibandingkan dengan manfaat pemungutan suara.
Mengapa pemilih repot-repot mencari informasi jika suaranya
memiliki pengaruh yang sangat kecil untuk menentukan
pemilu." Setiap orang yang tertarik untuk mendidik dirinya
sendiri dan mau mengetahui lebih banyak tentang
ketidakadilan dan inefisiensi yang berasal dari demokrasi juga
harus membaca buku-buku Hoppe dan Buchanan tersebut.
Tentu saja, Murray N. Rothbard dan banyak penulis libertarian
lainnya juga harus dipelajari oleh pembaca karena beberapa
konsep yang disebutkan atau tersirat dalam buku ini tidak
dijelaskan. Konsep-konsep ini tidak dijelaskan karena mereka
tidak secara langsung berhubungan dengan demokrasi, -
misalnya uang fiat (“fiat money”), inflasi, fungsi bank sentral,
pengeluaran defisit (“deficit spending”), Keynesianisme, Teori
Siklus Bisnis Austria (“Austrian Business Cycle Theory”), standar
emas (“gold standard”) - tetapi merupakan aspek-aspek
penting dari sistem politik-ekonomi kita dan seharusnya juga
dipelajari oleh pembaca.

Saya ingin mengakhiri pengantar ini dengan komentar pribadi.


Saya ingin berterima kasih kepada Frank Karsten yang
mengizinkan saya untuk menulis kata pengantar untuk versi
Bahasa Indonesia ini dan dua pembaca Indonesia Bonar
Armando dan Diantini Ida Viatrie yang membantu saya
dengan terjemahan. Tanpa mereka versi Indonesia tidak
pernah akan berhasil seperti ini. Kami berharap bahwa banyak
masyarakat Indonesia akan menikmati membaca buku ini dan
akan cukup berani untuk menggunakannya untuk mendidik
orang lain tentang cara mencapai kebebasan dan kemakmuran
sejati.

14
Kata pengantar

Oleh Frank Karsten

Kelihatannya mungkin tidak masuk akal atau bahkan gila untuk


mengkritik demokrasi dengan kuat seperti yang kami lakukan
di dalam buku ini. Setelah keruntuhan komunisme demokrasi
dielu-elukan sebagai alternatif yang tepat. Di seluruh dunia
orang-orang yang tertindas merindukan kebebasan dan
demokrasi, jadi siapa yang berani berbicara menentang hal
itu?

Meskipun kami dengan tegas mengkritik demokrasi, hanya ada


sedikit alasan untuk tersinggung atau khawatir. Karena kami
tidak ingin menahan demokrasi dari rakyat, rakyat harus bebas
untuk hidup dalam sistem politik apa pun yang mereka
inginkan. Kami tidak mengklaim bahwa demokrasi lebih buruk
atau lebih baik dari kediktatoran atau bahwa masalah yang
kami jelaskan dalam buku ini eksklusif untuk demokrasi.
Namun, kami menjelaskan masalah yang melekat di demokrasi
parlementer dan kami menjelaskan mengapa prinsip-prinsip
dan dinamika sistem politik yang sangat dipuji ini tidak
mengarah pada hasil yang diinginkan.

Saat ini kita dapat melihat krisis yang muncul di banyak


negara-negara demokrasi, paling jelas di Amerika Serikat,
Yunani, dan Spanyol. Masalah-masalah ini tidak pernah
dikaitkan dengan sistem demokrasi itu sendiri, melainkan
kepada pasar bebas, kurangnya demokrasi, bankir yang
serakah, atau politisi yang curang.

Seperti kebanyakan orang, saya dulu juga memiliki


kepercayaan terhadap demokrasi parlementer. Tapi itu adalah
lima belas tahun yang lalu. Pada waktu itu, saya benar-benar
hanya sedikit mengetahui tentang hal itu, tetapi dengan
keyakinan yang kuat bagaimanapun. Seperti kebanyakan dari
kita, saya diberitahu - melalui sistem pendidikan, media, dan
politisi-politisi kita - bahwa demokrasi adalah sesuatu yang
harus dihargai dan dikembangkang, bahwa tidak ada alternatif

15
yang masuk akal. Tapi setelah mempelajari dan merenungkan
sistem demokrasi itu, saya mencapai pengertian yang berbeda.

Banyak orang masih percaya bahwa demokrasi adalah sama


dengan kebebasan. Dan banyak orang yang mencintai
kebebasan individu masih percaya bahwa jalan yang tepat
untuk mencapai lebih banyak kebebasan adalah jalan yang
melalui proses demokrasi. Banyak kritikus demokrasi yakin
bahwa demokrasi perlu diperbaiki tetapi mereka tidak
menemukan masalah fundamental pada prinsip-prinsip
demokrasi itu sendiri. Buku kami membantah gagasan
tersebut.

Demokrasi merupakan kebalikan dari kebebasan – yang lekat


pada proses demokrasi adalah bahwa ia cenderung ke arah
mengurangi kebebasan bukannya menambah - dan demokrasi
bukanlah sesuatu yang harus diperbaiki. Demokrasi adalah
sistem kolektif yang sudah rusak secara permanen, seperti
sosialisme.

Ide-ide yang melawan pendapat-pendapat kebanyakan orang


ini cukup unik, bahkan pada skala dunia. Profesor Hans-
Hermann Hoppe, yang lahir di Jerman, telah menulis sebuah
buku akademis tentang hal itu yang berjudul “Demokrasi:
Tuhan Yang Gagal” (“Democracy: The God that Failed”) dan
beberapa artikel lain tentang subjek ini juga telah ditulis. Tapi
setahu kami belum ada buku yang mudah untuk dibaca, yang
terstruktur, dan yang dengan singkat, padat, dan jelas
menunjukkan kelemahan yang melekat di demokrasi dan
dinamikanya dari perspektif yang mencintai kebebasan
individu, yang libertarian.

Buku kami ditulis untuk orang biasa. Waktunya tepat sekali


karena sekarang banyak demokrasi sedang mengalami
masalah-masalah sosial dan ekonomi dan semakin banyak
orang mencari penjelasannya dan solusinya. Mungkin Anda
juga kecewa dengan politisi Anda dan berharap untuk yang
lebih baik. Buku ini menjelaskan mengapa Anda tidak perlu
menyalahkan mereka melainkan sistem demokrasi itu sendiri.

16
Jangan menyalahkan para pemain, salahkan permainannya.
Daripada menganggap politisi dengan serius, lebih baik Anda
mengejek mereka. Ini akan melemahkan legitimasi dan
kekuasaan mereka. Sistem demokrasi secara otomatis
melahirkan politisi yang selalu menjanjikan lebih dari apa yang
bisa mereka berikan, karena politisi yang paling menjanjikan
adalah politisi yang akan terpilih. Jadi mengapa menyalahkan
mereka? Dan karena politisi demokratis tahu mereka hanya
akan berkuasa sementara, mereka akan menyebar uang,
menaikkan pajak dengan berlebihan, dan meminjamkan
dengan berlebihan, karena mereka mengetahui bahwa
penerus merekalah (atau, lebih tepatnya, generasi masa
depan) akan harus membayar tagihannya. Dan uang yang
mereka habiskan bukan uang mereka tapi uang orang lain. Jadi
mengapa Anda berharap sebaliknya? Apakah Anda akan
berperilaku dengan baik di DPR jika Anda diberikan
kesempatan untuk menjadi seorang politikus? Saya
meragukannya.

Sepuluh tahun yang lalu saya kecewa dengan politik dan


sering mengalami frustrasi karenanya. Waktu itu, saya berpikir
bahwa saya harus berperan secara aktif di dalam politik untuk
mengubah keadaannya menjadi lebih baik. Kini saya telah
menyadari bahwa saya tidak perlu melakukan apa-apa
melainkan menunjukkan kelemahan-kelemahan sistem
demokrasi, mengolok-olok politisi, dan tidak mengharapkan
apa-apa yang baik dari mereka. Penulis terkenal George
Orwell pernah berkata, "Setiap lelucon adalah sebuah revolusi
kecil." Humor memang dianggap ikut bertanggung jawab atas
jatuhnya komunisme Soviet. Ini memperlihatkan absurditas
politik dan merendahkan status politisi. Jadi, tertawalah yang
baik tentang politisi Anda, itu akan jauh lebih baik bagi
kesehatan Anda daripada frustrasi. Mereka adalah ‘kaisar
tanpa busana’: janji-janji mereka adalah palsu dan solusi-solusi
mereka tidak akan berhasil. Solusi politisi demokratis Anda
selalu terdiri dari menyarankan kepada Anda bahwa Anda
harus memberi mereka uang dan kekuasaan yang lebih
banyak, tidak peduli seberapa sering mereka telah gagal.

17
Wawasan-wawasan tentang demokrasi yang telah saya peroleh
dengan menulis tentang demokrasi telah memberi saya lebih
banyak ketenangan pikiran. Politik dan politisi tidak
mengecewakan saya lagi. Saya membagi ide-ide dalam buku
ini dengan harapan bahwa mereka akan memiliki efek yang
sama pada Anda.

18
Buku ini didedikasikan untuk mengenang Ludwig von Mises
dan Murray Rothbard.

Kedua raksasa intelektual libertarianisme ini tidak pernah


goyah dalam mengejar kebenaran. Mereka bertahan di
hadapan obstruksi yang besar. Cita-cita dan wawasan mereka
memperoleh sedikit penghargaan dalam masa hidup mereka,
tetapi karena upaya orang-orang yang mencintai kebebasan di
seluruh dunia, cita-cita mereka secara perlahan tapi pasti
mendapatkan perhatian dan dukungan. Jika kebebasan
memiliki masa depan, itu akan terjadi sebagian besar karena
prestasi mereka.

19
20
Pengantar

Demokrasi - Tabu terkini

"Apabila saat ini demokrasi menderita sebuah penyakit, maka


hanya demokrasi jugalah yang dapat menyembuhkannya."
Kutipan lawas dari seorang politikus Amerika tersebut dengan
ringkas menunjukkan bagaimana sistem demokrasi politik kita
umumnya dipandang. Rakyat sudah siap untuk menyetujui
bahwa demokrasi mungkin memiliki masalah - mereka bahkan
mungkin setuju bahwa banyak demokrasi parlementer Barat,
termasuk yang ada di Amerika Serikat, mungkin berada di
ambang kehancuran - tetapi mereka tidak dapat
membayangkan adanya sebuah sistem politik alternatif. Satu-
satunya obat yang dapat mereka pikirkan adalah, memang,
demokrasi lagi.

Sedikit yang akan menyangkal bahwa sistem demokrasi


parlementer kita berada dalam krisis. Di mana-mana rakyat
dari negara demokrasi merasa tidak puas dan sangat terpecah
belah. Politisi mengeluh bahwa pemilih berperilaku seperti
anak manja, rakyat mengeluh bahwa politisi tuli dengan
keinginan mereka. Pemilih berubah menjadi sosok yang gemar
berganti partai. Secara rutin mengalihkan kesetiaan mereka
dari satu partai politik ke yang lain. Mereka juga merasa
semakin tertarik dengan partai yang radikal dan populis
(memperjuangkan keinginan rakyat). Di mana-mana
pandangan politik terus terpecah-belah, semakin sulit untuk
mengatasi perbedaan dan membentuk pemerintah yang dapat
bekerja dengan baik.

Partai-partai politik yang ada tidak memiliki jawaban untuk


tantangan ini. Mereka tidak mampu untuk mengembangkan
alternatif yang nyata. Mereka terjebak dalam struktur partai
yang kaku, cita-cita mereka dibajak oleh kelompok
kepentingan khusus dan pelobi. Hampir tidak ada
pemerintahan demokratis yang mampu mengontrol
pengeluarannya. Sebagian besar negara demokrasi telah
meminjam, mengeluarkan dan menarik pajak secara

21
berlebihan sehingga mengakibatkan krisis keuangan yang
membawa berbagai negara ke jurang kebangkrutan. Dan pada
kesempatan langka ketika keadaan memaksa pemerintah
untuk mengurangi pengeluarannya mereka setidaknya untuk
sementara, pemilih bangkit memprotes apa yang mereka
yakini adalah sebuah serangan terhadap hak-hak mereka, hal
ini membuat segala jenis pengurangan pengeluaran yang nyata
menjadi mustahil.

Meskipun dengan pengeluaran yang boros, tetap saja tingkat


pengangguran yang tinggi ada di hampir semua negara
demokratis. Sekelompok besar orang tetap berada di dalam
ketidakpastian. Hampir tidak ada negara demokratis yang
membuat ketentuan yang memadai untuk kaum lansia.

Biasanya masyarakat demokratis menderita atas banyaknya


birokrasi dan hambatan peraturan. Tangan-tangan Negara
menjangkau ke kehidupan semua orang. Ada aturan dan
peraturan untuk segalanya. Dan setiap masalah akan diatasi
melalui aturan dan peraturan itu lagi daripada solusi
sesungguhnya.

Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa demokrasi telah


menjadi sebuah agama (kepercayaan). Agama yang modern dan
sekuler.

Pada saat yang sama pemerintahan demokratis melakukan


pekerjaan yang buruk dalam melaksanakan apa yang menjadi
tugas mereka yang utama - menjaga hukum dan ketertiban.
Kejahatan dan vandalisme merajalela. Polisi dan sistem
peradilan tidak dapat diandalkan dan dapat disuap. Perilaku
yang tak bersalah dihukum. Sebagai persentase dari populasi,
Amerika Serikat memiliki jumlah tahanan penjara yang
terbesar di dunia. Banyak dari mereka yang dipenjara karena
perilaku yang memang tidak berbahaya, tetapi hanya karena
kebiasaan mereka dianggap aneh atau tidak biasa oleh kaum
mayoritas.

22
Menurut penelitian, kepercayaan masyarakat terhadap politisi
yang dipilih secara demokratis telah menurun secara drastis ke
titik yang paling rendah. Ada rasa ketidakpercayaan yang
mendalam terhadap pemerintah, penguasa politik, kaum elit
dan lembaga internasional yang tampaknya telah
menempatkan diri mereka di atas hukum. Banyak yang
menjadi pesimis dengan masa depan. Mereka takut anak-anak
mereka akan mengalami nasib yang lebih buruk dari mereka.
Mereka takut dengan serbuan imigran (pendatang), khawatir
bahwa budaya mereka terancam dan bernostalgia merindukan
kondisi masa lalu.

Iman demokrasi

Meskipun krisis dari demokrasi telah diakui secara luas, hampir


tidak ada kritik terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Hampir
tidak ada yang menyalahkan demokrasi untuk masalah-
masalah yang kita alami. Tanpa kecuali pemimpin politik - baik
nasionalis, religius atau sekular - berjanji untuk mengatasi
masalah kita dengan lebih banyak demokrasi lagi, bukan lebih
sedikit. Mereka berjanji akan mendengarkan rakyat dan
menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi. Mereka berjanji akan mengurangi birokrasi, menjadi
lebih terus terang, memberikan pelayanan yang lebih baik -
membuat sistem politik berfungsi lagi. Tapi mereka tidak
pernah mempertanyakan mengapa sistem demokrasi itu
sendiri diinginkan. Mereka akan lebih cepat berpendapat
bahwa masalah kita disebabkan oleh terlalu banyaknya
kebebasan daripada terlalu banyaknya demokrasi. Satu-
satunya perbedaan antara kaum progresif dan kaum
konservatif adalah yang pertama cenderung mengeluh tentang
terlalu banyaknya kebebasan ekonomi, dan yang kedua
mengeluh tentang terlalu banyaknya kebebasan sosial. Padahal
ini terjadi pada saat di mana begitu banyak hukum yang
berlaku dan pajak juga belum pernah setinggi ini!

Pada kenyataanya, kritik terhadap ide demokrasi sepertinya


tabu atau dilarang secara moral di masyarakat barat. Anda

23
diperbolehkan untuk mengkritik bagaimana cara demokrasi
dipraktekkan, atau untuk mengkritik pemimpin politik atau
partai politik yang sedang menjabat - tetapi cita-cita demokrasi
itu sendiri tidak dikritisi.

Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa demokrasi telah


menjadi sebuah agama (kepercayaan) – agama yang modern
dan sekuler. Anda bisa menyebutnya sebagai kepercayaan
terbesar di bumi. Semua kecuali sebelas negara - Myanmar,
Swaziland, Vatikan dan beberapa negara Arab – menyebut
dirinya sebagai negara demokrasi, bahkan walapun hanya
dalam perkataan. Kepercayaan terhadap Tuhan Demokrasi
berhubungan erat dengan pengagungan sistem negara
demokrasi nasional yang muncul sepanjang abad ke-19. Tuhan
dan Gereja digantikan dengan Negara sebagai pemimpin suci
masyarakat. Pemilu demokratis adalah ritual di mana kita
berdoa kepada Negara untuk pekerjaan, tempat tinggal,
keamanan, pendidikan. Kita memiliki keyakinan mutlak
kepada Negara Demokrasi. Kita percaya Dia bisa mengurus
semuanya. Dia adalah pemberi upah, hakim, yang Mahatahu,
Mahakuasa. Kita bahkan mengharapkan Dia untuk
memecahkan semua masalah pribadi dan sosial.

Keindahan Tuhan Demokrasi adalah bahwa Dia menyediakan


kebaikan-Nya benar-benar tanpa pamrih. Sebagai Tuhan,
Negara tidak memiliki kepentingan pribadi. Dia adalah murni
penjamin dan pelindung kepentingan umum. Dia juga tidak
membutuhkan biaya apapun. Dia membagikan roti, ikan dan
kemurahan lainnya dengan bebas.

Setidaknya, begitulah pikiran rakyat mengenai pemerintah.


Kebanyakan orang cenderung hanya melihat manfaat yang
bisa pemerintah berikan, bukan biayanya. Salah satu alasan
untuk ini adalah pemerintah suka mengumpulkan pajak
dengan berputar-putar dan tidak langsung - misalnya
mewajibkan bisnis atau penjual untuk mengumpulkan pajak
penjualan, atau mewajibkan perusahaan untuk
mengumpulkan pajak jaminan sosial, atau dengan meminjam
uang di pasar keuangan (yang suatu hari akan harus dibayar

24
kembali oleh pembayar pajak) atau dengan menambah jumlah
uang beredar - sehingga rakyat tidak menyadari berapa banyak
pendapatan mereka yang sebenarnya disita oleh pemerintah.
Alasan lain adalah bahwa hasil dari tindakan pemerintah
terlihat dan nyata, tapi semua hal yang sebenarnya bisa
dilakukan dan akan dilakukan apabila pemerintah tidak
menyita uang rakyat tersebut tetap tidak terlihat. Rakyat bisa
melihat pesawat militer yang telah dibangun, tetapi semua hal
yang tidak bisa dilakukan karena uang masyarakat dihabiskan
untuk membangun pesawat militer tersebut tetap tidak
terlihat.

Kepercayaan terhadap demokrasi telah menjadi begitu teguh


sehingga demokrasi bagi kebanyakan orang adalah sama
dengan segala sesuatu yang (secara politik) tepat dan moral.
Demokrasi berarti kebebasan (semua orang diperbolehkan
untuk memilih), kesetaraan (setiap suara dihitung sama),
keadilan (semua orang setara), kesatuan (kita semua
memutuskan bersama), perdamaian (demokrasi tidak pernah
memulai perang yang tidak adil). Dalam cara berpikir ini satu-
satunya pilihan lain selain demokrasi adalah kediktatoran. Dan
kediktatoran, tentu saja, merupakan segala sesuatu yang
buruk: kurangnya kebebasan, ketidaksetaraan, ketidakadilan,
perang.

Pemikir neo-konservatif Francis Fukuyama dalam esainya pada


tahun 1989 yang terkenal, 'The End of History?" (Akhir
Sejarah?) dengan berani menyatakan bahwa sistem demokrasi
modern barat adalah puncak dalam perkembangan atau
evolusi politik umat manusia. Atau, seperti yang ia katakan,
hari ini kita menyaksikan 'universalisasi demokrasi liberal barat
sebagai bentuk final sistem pemerintahan manusia'. Jelas hanya
kelompok yang sangat jahat (teroris, kaum fundamentalis,
kaum fasis) akan berani bersuara menentang ide demokrasi
yang suci ini.

Demokrasi = kolektivisme

25
Namun ini justru apa yang akan kita lakukan dalam buku ini:
berbicara menentang Tuhan Demokrasi, terutama demokrasi
parlementer nasional. Pengambilan keputusan secara
demokratis bermanfaat dalam beberapa situasi, seperti di
komunitas kecil atau di dalam organisasi. Tapi demokrasi
parlementer nasional, yang dimiliki hampir semua negara
barat, memiliki kelemahan jauh lebih banyak daripada
keuntungannya. Kami berpendapat bahwa demokrasi
parlementer, adalah tidak adil, menyebabkan birokrasi (cara
kerja yang lama karena banyaknya peraturan) dan segalanya
menjadi tersendat, mengurangi kebebasan, kemandirian dan
keberanian berusaha, dan pasti akan mengarah pada
pertentangan, campur tangan pemerintah, kelambanan dan
pengeluaran pemerintah yang boros. Dan bukan karena
politisi tertentu gagal dalam pekerjaan mereka - atau karena
partai yang salah berkuasa - tetapi karena seperti itulah
bagaimana sistem demokrasi bekerja.

Ciri khas demokrasi adalah 'rakyat' memutuskan bagaimana


masyarakat harus diatur. Dengan kata lain, kita semua
'bersama-sama' memutuskan segala sesuatu yang menjadi
perhatian kita. Seberapa tinggi pajak seharusnya, berapa
banyak uang yang akan dibutuhkan untuk perawatan anak dan
lansia, pada usia berapa kita diperbolehkan untuk minum
minuman beralkohol, berapa banyak jumlah pensiun yang
harus dibayar pengusaha kepada karyawan mereka, apa yang
harus dicantumkan pada label produk, apa yang harus
dipelajari anak-anak di sekolah, berapa banyak uang yang
harus dikeluarkan untuk bantuan pembangunan negara miskin
atau energi ramah lingkungan atau pada pendidikan olahraga
atau untuk orkestra, bagaimana seorang pemilik restoran harus
menjalankan restorannya dan apakah tamunya diperbolehkan
untuk merokok, bagaimana rumah harus dibangun, bagaimana
tinggi tingkat suku bunga seharusnya, berapa banyak uang
yang harus beredar dalam perekonomian, apakah bank harus
diselamatkan dengan uang pembayar pajak jika mereka
hampir bangkrut, siapa yang diizinkan untuk menyebut dirinya
dokter, siapa yang diperbolehkan untuk mendirikan rumah
sakit, apakah seseorang diperbolehkan untuk mengakhiri

26
hidupnya ketika mereka lelah dengan kehidupan, dan apabila
dan ketika apa kita akan berperang. Dalam demokrasi, 'rakyat'
diharapkan untuk memutuskan semua hal ini - dan ribuan hal
lainnya.

Dengan demikian, demokrasi menurut definisinya adalah


sebuah sistem kolektif. Ini adalah sosialisme secara diam-diam.
Ide dasar di balik demokrasi adalah bahwa sangat diperlukan
dan tepat apabila semua keputusan penting yang mengatur
bentuk fisik, sosial dan ekonomi masyarakat diambil secara
kolektif oleh rakyat. Dan rakyat memberikan kewenangan
kepada wakil-wakil mereka di parlemen (dewan perwakilan
rakyat) - dengan kata lain, pemerintah - untuk mengambil
keputusan ini untuk mereka. Dengan kata lain, dalam
demokrasi seluruh komponen masyarakat diarahkan
Negara/pemerintah.

Maka jelas menyesatkan untuk menegaskan bahwa demokrasi


adalah, entah bagaimana, puncak dari evolusi politik umat
manusia. Itu hanyalah propaganda untuk menyamarkan
bahwa demokrasi mewakili orientasi politik yang sangat
spesifik. Yang mana sebenarnya memang ada banyak pilihan
alternatif yang masuk akal.

Tidak sulit untuk melihat bahwa kebebasan adalah tidak sama


dengan demokrasi. Pertimbangkan ini: apakah kita memutuskan
secara demokratis berapa banyak uang yang dapat dihabiskan
setiap orang untuk membeli pakaian?

Salah satu pilihan alternatif adalah liberalisme yang berarti


kebebasan - dalam arti kata sesungguhnya (yang memiliki
makna yang berbeda dari liberalisme sebagai kata yang
populer digunakan di Amerika Serikat saat ini). Tidak sulit
untuk melihat bahwa kebebasan adalah tidak sama dengan
demokrasi. Pertimbangkan ini: apakah kita memutuskan
secara demokratis berapa banyak uang yang dapat dihabiskan
setiap orang untuk membeli pakaian? Atau di mana kita harus

27
berbelanja? Jelas tidak. Setiap orang memutuskan hal tersebut
untuk dirinya sendiri. Dan kebebasan memilih ini berfungsi
dengan baik. Jadi mengapa dikatakan lebih baik jika semua hal
lain yang mempengaruhi kita – dari perawatan kesehatan kita,
tempat kita bekerja, pensiun kita, perdagangan kaki lima dan
restoran yang kita sukai – diputuskan secara demokratis?

Bahkan, bukankah fakta ini - bahwa kita sesungguhnya


memutuskan segala sesuatu secara demokratis, tetapi hampir
semua masalah ekonomi dan sosial dikendalikan oleh atau
melalui negara - adalah penyebab dari banyaknya hal yang
salah dalam masyarakat kita? Bahwa birokrasi, campur tangan
pemerintah, parasitisme, kejahatan, korupsi, pengangguran,
inflasi, standar pendidikan yang rendah, dan sebagainya,
bukan karena kurangnya demokrasi, melainkan disebabkan
oleh demokrasi? Bahwa mereka merupakan akibat dari
demokrasi seperti toko-toko yang kosong dan mobil Trabant
(mobil kualitas jelek di Jerman Timur pada masa komunis)
merupakan akibat komunisme?

Itulah yang kami harapkan dapat kami tunjukkan kepada Anda


dalam buku ini.

Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama


kami membahas iman kita kepada Tuhan Demokrasi
parlementer. Seperti agama, demokrasi memiliki seperangkat
kepercayaan - dogma yang diterima setiap orang sebagai
kebenaran yang tak terbantahkan. Kami akan
menunjukkannya dalam bentuk 13 mitos populer tentang
demokrasi.

Pada bagian kedua kami menggambarkan konsekuensi praktis


dari sistem demokrasi. Kami mencoba untuk menunjukkan
mengapa demokrasi pasti akan mengarah pada kelambanan
dan apa yang membuatnya tidak efisien dan tidak adil.

Pada bagian ketiga, kami menguraikan alternatif bagi


demokrasi, yatu sistem politik yang berdasarkan penentuan

28
nasib sendiri secara individu, bercirikan desentralisasi,
pemerintahan daerah dan keragaman.

Meskipun kami mengkritisi sistem demokrasi nasional saat ini,


kami optimis dengan masa depan. Salah satu alasan mengapa
banyak orang pesimis adalah mereka merasa bahwa sistem
yang ada saat ini tidak beranjak kemana-mana, tetapi mereka
tidak bisa membayangkan sistem alternatif yang menarik.
Mereka tahu bahwa pemerintah mengontrol sebagian besar
hal dalam kehidupan mereka, tetapi mereka tidak bisa
mengontrol pemerintah. Satu-satunya sistem alternatif yang
bisa mereka bayangkan merupakan bentuk kediktatoran,
misalnya 'model Cina' atau beberapa bentuk nasionalisme atau
fundamentalisme.

Tapi di situlah mereka keliru. Demokrasi tidak berarti


kebebasan. Demokrasi juga merupakan sebuah jenis
kediktatoran - kediktatoran kaum mayoritas dan Negara.
Demokrasi juga tidak sama artinya dengan keadilan,
kesetaraan, solidaritas, atau perdamaian.

Demokrasi merupakan sebuah sistem yang diperkenalkan di


kebanyakan negara-negara barat sekitar 150 tahun yang lalu,
karena berbagai alasan, terutama untuk mencapai ide-ide
sosialis dalam masyarakat liberal. Apapun alasannya pada
waktu itu, sekarang tidak ada alasan yang baik untuk
mempertahankan demokrasi parlementer nasional. Demokrasi
sudah tidak berfungsi. Sekarang waktunya untuk cita-cita
politik yang baru, di mana produktivitas dan solidaritas tidak
diselenggarakan atas dasar kediktatoran demokratik, namun
adalah hasil dari hubungan sukarela antara orang-orang. Kami
berharap untuk meyakinkan pembaca bahwa kemungkinan
untuk mewujudkan ide ini lebih besar dari yang banyak orang
hari ini mungkin bayangkan - dan layak untuk diupayakan.

29
30
I. Mitos-mitos demokrasi

Mitos 1
Setiap suara diperhitungkan

Selama musim pemilu kita sering mendengar pernyataan


bahwa suara Anda benar benar penting dan diperhitungkan.
Tentu saja benar - untuk satu dari seratus juta (jika kita
berbicara tentang pemilihan presiden AS). Dalam prakteknya
jika Anda memiliki satu suara dari seratus juta itu adalah
0.000001%, maka pengaruhnya nol. Kemungkinan bahwa
suara Anda memutuskan siapa yang akan memenangkan
pemilu sangat kecil.

Dan itu sebenarnya bahkan lebih buruk, karena suara Anda


bukan untuk kebijakan atau keputusan tertentu. Suara Anda
untuk calon atau partai politik yang akan mengambil
keputusan atas nama Anda. Tapi Anda tidak memiliki
pengaruh apapun terhadap keputusan yang akan diambil oleh
calon atau partai politik tersebut! Anda tidak dapat
mengendalikan mereka. Selama empat tahun mereka dapat
memutuskan apa yang mereka inginkan, dan Anda tidak dapat
berbuat apa-apa. Anda dapat menghujani mereka dengan e-
mail, berlutut dan memohon di depan mereka atau mengutuk
mereka – tetap saja mereka yang memutuskan.

Pemilu adalah ilusi pengaruh suara rakyat untuk menggantikan


hilangnya kebebasan.

Setiap tahun pemerintah mengambil ribuan keputusan. Suara


Anda tidak memiliki dampak terukur pada salah satu
keputusan tersebut - politikus bisa melakukan apapun yang
mereka suka tanpa harus berdiskusi dulu dengan Anda.

Suara yang Anda berikan dalam pemilu biasanya bahkan


bukan pilihan sesungguhnya, tetapi seperti sebuah pilihan
yang samar. Jarang ada orang atau partai politik yang Anda bisa

31
setuju dengannya dalam segala hal. Misalkan Anda tidak ingin
uang dihabiskan untuk memberi bantuan kepada negara-
negara di Dunia Ketiga, atau perang di Afghanistan. Anda
kemudian dapat memilih partai yang menentang hal itu. Tapi
mungkin partai yang telah Anda dukung menaikkan usia
pensiun, sesuatu yang Anda mungkin tidak setuju dengannya.

Yang lebih parah lagi, setelah partai atau calon yang Anda
pilih, telah terpilih, mereka semua seringkali tidak menepati
janji pemilu mereka. Lalu apa yang dapat Anda lakukan?
Seharusnya, Anda dapat menuntut mereka untuk tindak
penipuan, tetapi pada kenyataannya Anda tidak bisa. Paling-
paling Anda bisa memilih partai yang lain atau calon yang lain
setelah lima tahun – dan hasilnya kurang-lebih akan sama
seperti itu lagi.

Pemilu adalah ilusi pengaruh suara rakyat untuk menggantikan


hilangnya kebebasan. Ketika Adrian dan Putri pergi ke kotak
suara, mereka berpikir mereka akan mempengaruhi ke mana
arah negara ini. Benar dalam cakupan yang sangat kecil. Tetapi
99,9999% dari pemilih juga memutuskan ke mana arah
kehidupan Adrian dan Putri. Melalui cara ini mereka
kehilangan lebih banyak kontrol atas kehidupan mereka
sendiri daripada pengaruh yang mereka miliki terhadap
kehidupan orang lain. Mereka akan memiliki lebih banyak
'pengaruh' seandainya mereka bisa membuat pilihan untuk
mereka dirinya sendiri. Misalnya, jika mereka bisa
memutuskan sendiri untuk apa mereka membelanjakan uang
mereka, tanpa terlebih dahulu harus membayar setengah dari
pendapatan mereka kepada pemerintah melalui berbagai jenis
pajak.

Sebagai contoh lain, dalam sistem demokrasi kita, rakyat


memiliki sedikit kontrol langsung atas pendidikan anak-anak
mereka. Jika mereka ingin mengubah praktik pendidikan dan
ingin memiliki pengaruh lebih dari hanya melalui kotak suara,
mereka harus bergabung dengan atau memulai sebuah
kelompok lobi, atau memberikan petisi kepada politisi, atau
melakukan demo di depan gedung-gedung pemerintah. Ada

32
organisasi orang tua yang mencoba untuk mempengaruhi
kebijakan pendidikan dengan cara ini. Dibutuhkan banyak
waktu dan energi dan hasilnya hampir nol. Jauh lebih
sederhana dan efisien jika negara tidak campur tangan dengan
pendidikan, dan apabila guru, orang tua dan siswa dapat
membuat pilihan mereka sendiri, baik secara individu maupun
bersama-sama.

Tentu saja kelas yang berkuasa terus mendorong orang untuk


memilih. Mereka selalu menekankan bahwa suara rakyat
benar-benar mempengaruhi kebijakan pemerintah. Tapi apa
yang benar-benar penting bagi mereka adalah bahwa tingkat
partisipasi pemilu tinggi dan itu memberi mereka cap
persetujuan, hak moral untuk memerintah rakyat.

Banyak orang memikir kalau berpartisipasi dalam pemilu


adalah kewajiban moral. Sering dikatakan bahwa jika Anda
tidak memilih, Anda tidak punya hak untuk mengatakan
pendapat Anda dalam debat publik atau untuk mengeluh
tentang keputusan politik. Karena Anda tidak berpartisipasi
dalam pemilu, pendapat Anda tidak diperhitungkan lagi.
Orang-orang yang mengatakan ini tampaknya tidak dapat
membayangkan bahwa ada beberapa orang yang menolak
untuk percaya ilusi pengaruh suara rakyat yang dijual
demokrasi. Mereka menderita sindrom Stockholm. Mereka
telah terbiasa bahkan mencintai penculik kebebasan mereka
dan tidak menyadari bahwa mereka memberikan otonominya
(kebebasan pribadinya) untuk kekuasaan yang dimiliki para
politisi dan pejabat atas mereka.

33
Mitos 2:
Rakyat memerintah dalam demokrasi

Ini merupakan ide dasar demokrasi. Ini adalah arti kata


demokrasi secara harafiah, pemerintahan oleh rakyat. Tapi
apakah rakyat benar-benar memerintah dalam demokrasi?

Masalah pertama adalah bahwa ‘rakyat’ tidak ada. Yang ada


hanyalah jutaan orang dengan pendapat dan kepentingan yang
berbeda. Bagaimana mereka bisa memerintah bersama-sama?
Itu tidak mungkin. Seperti seorang pelawak Belanda pernah
berkata: "Demokrasi adalah kehendak rakyat. Setiap pagi saya
terkejut membaca berita di koran mengenai apa yang saya
inginkan."

Pada kenyataannya, tak seorang pun akan mengatakan sesuatu


seperti "konsumen menginginkan Microsoft" atau “rakyat ingin
Pepsi”. Beberapa menginginkannya dan beberapa tidak ingin
itu. Hal yang sama berlaku untuk pilihan politik.

Selain itu, sebenarnya bukan 'rakyat' yang memutuskan dalam


demokrasi, namun 'mayoritas' dari rakyat, atau lebih tepatnya,
mayoritas dari pemilih. Kaum minoritas ternyata tidak
termasuk ke dalam kategori ’rakyat'. Ini sedikit aneh. Bukannya
semua orang adalah bagian dari rakyat? Sebagai pelanggan
sebuah toko/warung, Anda tidak ingin belanjaan/makanan dari
toko/warung lain yang tidak menjadi pilihan Anda dipaksa ke
dalam mulut Anda, tapi itulah cara kerja dalam demokrasi. Jika
Anda berada di pihak yang kalah dalam pemilu, Anda tetap
harus mengikuti politik dari pihak yang memenangkan pemilu.

Baiklah, anggap saja bahwa mayoritas sama dengan rakyat.


Apakah benar kalau sesungguhnya adalah rakyat yang
memutuskan? Mari kita lihat. Ada dua jenis demokrasi:
langsung dan tidak langsung (atau perwakilan). Dalam
demokrasi langsung, setiap warga memilih pada setiap
keputusan politik, seperti dalam penentuan pendapat rakyat
(referendum). Dalam sebuah demokrasi tidak langsung rakyat
memilih wakil yang kemudian mengambil keputusan untuk

34
mereka. Jelas dalam kasus kedua rakyat memiliki lebih sedikit
pengaruh dalam pengambilan keputusan politik daripada
dalam yang pertama. Namun, hampir semua negara
demokrasi modern menerapkan jenis demokrasi tidak
langsung ini, meskipun pemerintah demokrasi mungkin
melaksanakan referendum sesekali.

Sebagai alasan atas sistem representasi (demokrasi perwakilan)


dikatakan bahwa a) akan sangat repot untuk melakukan
referendum pada semua keputusan pemerintah yang banyak
dan harus diambil setiap hari. b) orang awam tidak memiliki
keahlian yang cukup untuk memutuskan segala macam
masalah politik yang sulit dan kompleks.

Alasan a) mungkin masuk akal di masa lalu, karena sulit untuk


memberikan informasi yang diperlukan kepada semua orang
dan membiarkan mereka mengutarakan pendapatnya dan
memilih, kecuali di dalam komunitas yang sangat kecil. Kini
alasan ini tidak berlaku lagi. Dengan internet dan berbagai
teknologi komunikasi modern lainnya, sangat mudah untuk
membiarkan sekelompok besar orang untuk berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan dan referendum.
Namun hal ini hampir tidak pernah dilakukan. Mengapa tidak
melaksanakan referendum mengenai apakah AS harus pergi
berperang dengan Afghanistan atau Libya atau dengan siapa
pun? Bukankah rakyat yang memerintah? Mengapa mereka
tidak bisa mengambil keputusan untuk hal seperti ini yang
sangat penting bagi kehidupan mereka? Sebenarnya semua
orang tahu kalau banyak keputusan yang diambil pemerintah
tidak akan didukung rakyat jika rakyat diberikan kesempatan
untuk memutuskan itu. Gagasan bahwa 'rakyat memerintah'
hanyalah sebuah mitos.

Tapi bagaimana dengan alasan b)? Apakah benar bahwa


sebagian besar masalah terlalu rumit untuk diputuskan oleh
rakyat? Tentunya tidak. Apakah masjid/gereja harus dibangun
di suatu tempat, berapa usia sah untuk minuman beralkohol,
seberapa berat hukuman untuk kejahatan tertentu, apakah
perlu membangun lebih banyak jalan tol, seberapa tinggi utang

35
pemerintah seharusnya, apakah perlu menginvasi (menyerang)
beberapa negara asing, dan lain sebagainya - semua ini adalah
pertanyaan cukup jelas. Jika penguasa kita serius tentang
demokrasi, bukankah seharusnya mereka setidaknya
membiarkan rakyat memilih langsung jawaban untuk sejumlah
pertanyaan ini?

Bukanlah 'kehendak rakyat', tetapi kehendak politisi – yang


dipengaruhi oleh kelompok-kelompok pelobi profesional,
kelompok kepentingan dan aktivis - yang memerintah dalam
demokrasi.

Atau apakah alasan b) berarti bahwa rakyat tidak cukup cerdas


untuk dapat membentuk pendapat wajar pada segala macam
masalah sosial dan ekonomi? Jika memang demikian,
bagaimana mereka bisa cukup cerdas untuk memahami
program-program partai politik dalam pemilu dan memilih
berdasarkan program-program itu? Siapapun yang
menganjurkan demokrasi sepertinya menganggap bahwa
rakyat hanya mampu untuk memahami hal-hal biasa dalam
bahasa yang sederhana. Selain itu, mengapa politisi yang
terpilih selalu dianggap lebih pintar dari para pemilih (rakyat
biasa). Apakah politisi diberikan kunci menuju air mancur
kebijaksanaan dan pengetahuan yang tidak dimiliki rakyat?
Atau apakah para politisi memiliki moral yang lebih murni dari
rakyat pada umumnya? Tidak ada bukti nyata untuk semua itu.

Pembela demokrasi mungkin akan berpendapat bahwa,


bahkan jika rakyat tidak bodoh, tidak ada orang yang memiliki
pengetahuan yang cukup dan kecerdasan untuk mengambil
keputusan mengenai masalah-masalah kompleks yang sangat
mempengaruhi kehidupan jutaan orang. Itu adalah kebenaran
yang tidak diragukan, tetapi hal yang sama berlaku bagi para
politisi dan pegawai negeri sipil yang mengambil keputusan
dalam demokrasi. Misalnya, bagaimana mereka bisa tahu
pendidikan seperti apa yang diinginkan orang tua, guru dan
siswa. Atau seperti apa pendidikan yang terbaik? Semua orang

36
memiliki keinginan dan pendapat yang berbeda tentang
seperti apakah pendidikan yang terbaik itu. Dan kebanyakan
dari mereka cukup cerdas untuk setidaknya memutuskan apa
yang baik bagi mereka sendiri dan anak-anak mereka. Tapi ini
sangat bertentangan dengan sistem demokrasi yang terpusat
dan bersifat satu-ukuran-cocok-untuk-semua.

Kalau begitu, tampaknya, kemudian, dalam demokrasi kita


rakyat tidak memerintah sama sekali. Ini juga bukan
penemuan baru yang mengejutkan. Semua orang tahu bahwa
pemerintah sering mengambil keputusan yang ditentang oleh
kebanyakan orang. Bukanlah 'kehendak rakyat' tetapi
kehendak politisi – yang diminta atau dipengaruhi oleh
kelompok-kelompok pelobi profesional, kelompok
kepentingan dan aktivis - yang memerintah dalam demokrasi.
Perusahaan minyak besar, perusahaan pertanian besar,
perusahaan farmasi besar, dengan kepentingan tersendiri di
bidang kedokteran, hubungan akrab antara tentara nasional
dan industri, perbankan - mereka semua tahu bagaimana
memanfaatkan sistem demokrasi untuk keuntungan mereka.
Sekelompok kecil kaum elit mengambil keputusan - seringkali
secara tersembunyi. Tidak terganggu oleh apa 'rakyat' inginkan,
mereka menghambur-hamburkan tabungan kita pada perang
dan program bantuan untuk negara lain, memungkinkan
imigrasi besar-besaran yang tidak diinginkan oleh kebanyakan
warga, mengakibatkan defisit (kerugian) yang sangat besar,
membuat sistem mata-mata yang menghabiskan banyak dana
untuk mengintai warga negara mereka sendiri, memulai
perang yang hanya diinginkan sebagian kecil dari pemilih,
menghabiskan uang pajak kita untuk memberi subsidi bagi
kelompok-kelompok kepentingan khusus, melakukan
perjanjian - seperti serikat mata uang di Uni Eropa (EU) atau
Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA, North
American Free Trade Agreement) - yang menguntungkan
kalangan yang tidak produktif dengan mengorbankan kalangan
yang produktif. Apakah ini yang menjadi keinginan kita secara
demokratis selaku rakyat atau itu adalah apa yang diinginkan
oleh para penguasa?

37
Berapa banyak orang yang dengan sukarela akan mentransfer
(mengirim) jutaan rupiah ke rekening bank pemerintah
sehingga para prajurit dapat berperang di Afghanistan atas
nama mereka? Mengapa kita tidak bertanya kepada rakyat
hanya untuk sekali? Bukannya rakyat yang memerintah?

Sering dikatakan bahwa demokrasi adalah cara yang baik


untuk membatasi kekuasaan para penguasa, tetapi seperti
yang kita bisa lihat ini ternyata adalah lagi-lagi sebuah mitos.
Para penguasa dapat melakukan apa aja yang mereka
inginkan!

Selain itu, kekuatan para politisi meluas lebih jauh daripada


tindakan mereka di parlemen dan pemerintahan. Ketika
mereka diusir dari jabatannya oleh pemilih, mereka sering
mendapat pekerjaan yang menguntungkan dalam lembaga-
lembaga yang bersimbiosis atau berhubungan erat dengan
Negara - perusahaan penyiaran, serikat buruh, asosiasi
perumahan, universitas, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat),
kelompok orang yang mencoba mempengaruhi undang-
undang (pelobi), think tank (organisasi yang melakukan
penelitian dan advokasi tentang topik-topik seperti kebijakan
sosial, strategi politik, ekonomi, militer, teknologi, dan
budaya), dan ribuan perusahaan penasihat yang
memanfaatkan Negara seperti rayap menggerogoti pohon yang
busuk. Dengan kata lain, adanya pemerintahan yang baru
tidak selalu berarti perubahan dalam kekuasaan di masyarakat.
Tanggung jawab pemerintah demokrasi jauh lebih terbatas
daripada tampaknya.

Yang juga patut diperhatikan bahwa sama sekali tidak mudah


untuk ikut serta dalam pemilihan umum di Amerika Serikat.
Agar diizinkan untuk mencalonkan diri dalam pemilu federal,
Anda harus memenuhi syarat perundang-undangan yang
mencakup 500 halaman. Aturan-aturan itu begitu rumit
sehingga tidak bisa dipahami oleh orang awam.

Namun, terlepas dari semua ini, para pendukung demokrasi


selalu bersikeras bahwa ketika pemerintah menerapkan

38
beberapa hukum baru 'kitalah yang memilih dan
menginginkan itu'. Ini berarti bahwa ‘kita’ tidak lagi memiliki
hak untuk menentang hukum baru tersebut. Tapi alasan ini
sering digunakan secara berubah-ubah (tidak konsisten). Kaum
homoseksual akan menggunakannya untuk membela hak-hak
homoseksual, tetapi mereka tidak menerimanya ketika sebuah
negara demokratis melarang homoseksualitas. Aktivis-aktivis
lingkungan menuntut kalau keputusan-keputusan mengenai
lingkungan yang diambil secara demokratis ditegakkan, tetapi
mereka merasa bebas untuk melakukan protes ilegal jika
mereka tidak setuju dengan keputusan demokratis lainnya.
Dalam kasus-kasus tersebut bisa dibilang kalau 'kita' tidak
memilih untuk itu dalam pemilu.

39
Mitos 3: Mayoritas selalu benar

Atas penjelasan ini, untuk sejenak mari kita anggap bahwa


rakyat benar-benar memerintah dalam demokrasi dan bahwa
setiap suara benar-benar diperhitungkan. Akankah proses ini
secara otomatis menghasilkan sesuatu yang baik atau benar?
Bukankah ini merupakan alasan mengapa kita memiliki
sebuah demokrasi - agar kita melakukan hal yang benar? Tapi
sulit untuk melihat mengapa atau bagaimana proses demokrasi
tentu akan menyebabkan adanya hasil yang baik atau benar.
Jika banyak orang yang percaya kepada sesuatu, kepercayaan
itu tidak membuat hal yang dipercaya tersebut benar. Ada
banyak contoh di masa lalu tentang khayalan kolektif ini.
Misalnya, dulu orang berpikir bahwa hewan mati rasa (tidak
bisa merasakan sakit/nyeri) atau bahwa bumi kita datar, atau
bahwa raja atau sultan adalah wakil Tuhan di bumi.

Juga tidak tepat untuk mengatakan sesuatu menjadi moral dan


adil karena banyak orang yang mendukungnya. Pikirkanlah
semua kejahatan kolektif yang telah dilakukan oleh orang-
orang di masa lalu. Kekejian seperti perbudakan atau
penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi pernah dianggap
pantas oleh kebanyakan orang.

Dalam demokrasi, kehendak mayoritas lebih penting dari


pertimbangan moral. Kuantitas mengalahkan kualitas -
kehendak mayoritas lebih penting dari pertimbangan moral.

Kenyataannya adalah orang biasanya dipandu oleh


kepentingan pribadinya dalam memilih. Mereka
memilih partai politik yang mereka harapkan akan paling
menguntungkan mereka. Mereka tahu bahwa keuntungan
yang mereka terima biayanya akan ditanggung oleh semua
orang. Apakah ini adil atau merupakan sesuatu
yang diinginkan? Kebenaran yang memalukan adalah bahwa
orang-orang kemungkinan besar mendukung demokrasi
karena mereka berharap atau mengharapkan untuk jadi bagian

40
dari mayoritas, sehingga mereka bisa mendapatkan
keuntungan dari menjarah kekayaan kaum minoritas. Mereka
berharap bahwa beban mereka akan dibagi oleh orang lain
dan keuntungan yang mereka dapatkan akan dibayar oleh
orang lain. Perilaku tersebut agaknya merupakan kebalikan
dari sesuatu yang moral.

Apakah kami melebih-lebihkan? Jika Anda dan teman Anda


merampok seseorang di jalan, Anda akan dihukum. Jika kaum
mayoritas mensahkan hukum untuk merampok kaum
minoritas (pajak baru pada alkohol atau rokok misalnya), itu
adalah keputusan yang demokratis dan dengan demikian itu
adalah hukum. Tapi apa bedanya dengan perampokan
jalanan?

Ketika Anda berpikir tentang hal ini, Anda harus


menyimpulkan bahwa mekanisme dasar demokrasi - fakta
bahwa mayoritas yang memerintah - pada dasarnya adalah
tidak bermoral. Dalam demokrasi, kehendak mayoritas lebih
penting dari pertimbangan moral. Kuantitas mengalahkan
kualitas – banyaknya jumlah orang-orang yang menginginkan
sesuatu mengesampingkan pertimbangan moral dan rasional.

Auberon Herbert seorang politisi dan penulis dari Inggris di


abad ke-19 berpendapat mengenai logika dan moralitas
demokrasi:

"Lima orang berada di sebuah ruangan. Karena tiga orang


punya pendapat yang sama dan dua punya pendapat yang
lain, apakah tiga orang pertama ini memiliki hak moral untuk
memaksa dua orang lainnya untuk setuju dan mengikuti
pendapat mereka?
Kekuatan gaib apa yang datang kepada ketiga orang itu
sehingga walaupun hanya lebih banyak satu orang tapi mereka
bisa memiliki hak untuk mengatur pikiran dan tubuh dari dua
orang lainnya tersebut.
Selama kelompok pertama seimbang dengan yang kedua kita
masih dapat menganggap setiap orang memiliki kuasa atas
pikirannya dan tubuhnya sendiri, tetapi ketika seseorang entah

41
karena alasan apa bergabung dengan salah satu pihak dan
menjadikannya tiga lawan dua – ketiga orang ini (mayoritas)
langsung memiliki kuasa atas tubuh dan pikiran pihak
minoritas (dua orang lainnya). Apakah pernah ada
kepercayaan yang begitu merendahkan dan tidak dapat
dipertahankan seperti ini? Bukankah ini merupakan turunan
langsung dari kepercayaan lama mengenai raja dan imam
tinggi dan otoritas mereka atas tubuh dan jiwa seseorang.“

42
Mitos 4: Demokrasi adalah politik yang netral

Demokrasi dibilang cocok dengan setiap arah politik yang ada.


Bagaimanapun para pemilih menentukan politik dari partai-
partai yang memerintah. Dengan demikian, sistem itu sendiri
melampaui semua perbedaan dalam pandangan pendapat
politik: Sistem itu menjadi dirinya sendiri tidak nasionalis atau
religius, sosialis atau kapitalis, konservatif atau progresif.

Setidaknya begitulah kelihatannya. Namun dalam


kemungkinan yang paling besar sekalipun hal tersebut hanya
separuh benarnya. Dalam kenyataannya demokrasi selalu
mewujudkan arah politik tertentu.

Demokrasi berdasarkan definisinya adalah ide kolektivis, yaitu


ide bahwa kita harus memutuskan segalanya bersama-sama
dan semua orang harus mematuhi keputusan tersebut. Ini
berarti bahwa dalam demokrasi hampir semua hal adalah
masalah umum. tidak ada dasar pembatasan untuk
kolektivisasi ini. Jika mayoritas (atau lebih tepatnya:
pemerintah) menginginkannya, mereka dapat memutuskan
bahwa kita semua harus memakai baju besi ketika berjalan-
jalan karena lebih aman. Atau berdandan seperti badut karena
akan membuat orang tertawa. Tidak ada kebebasan individu
yang dihormati. Ini adalah pintu terbuka bagi bertambahnya
campur tangan pemerintah dalam kehidupan rakyat. Dan
itulah sebenarnya yang terjadi di masyarakat demokratis.

Benar adanya bahwa kecenderungan politik dapat berubah


dan sering terjadi hal yang sebaliknya. Misalnya, peraturan
terus bertambah kemudian berkurang, lalu kemudian kembali
bertambah lagi. Tapi dalam jangka panjang terlihat bahwa
demokrasi terus melaju kearah di mana campur tangan
pemerintah terus betambah, ketergantungan yang lebih besar
kepada negara dan pengeluaran uang pajak yang semakin
tinggi.

Ini mungkin tidak begitu terlihat pada masa Perang Dingin,


ketika demokrasi Barat dibandingkan dengan negara-negara

43
totaliter (yang tidak memberikan kebebasan politik dan
melanggar hak asasi manusia) seperti Uni Soviet dan China
pada masa Mao. Perbandingan ini membuat demokrasi
kelihatan lebih bebas. Pada waktu itu kurang terlihat bahwa
demokrasi kita sendiri juga menjadi semakin kolektivis. Sejak
tahun 1990-an, bagaimanapun, pasca keruntuhan komunisme,
menjadi jelas bahwa prinsip ekonomi dan kesejahteraan rakyat
diatur oleh negara yang kita miliki telah terperosok ke lubang
yang sama. Sekarang negara-negara barat sedang tersusul oleh
ekonomi dari negara-negara baru yang menawarkan lebih
banyak kebebasan, pajak yang lebih rendah, dan regulasi yang
lebih sedikit dari yang dimiliki sistem demokratis barat saat ini.

Tentu saja banyak politisi demokrasi yang mengatakan bahwa


mereka mendukung "pasar bebas." Tindakan mereka malah
menunjukkan yang sebaliknya. Pertimbangkan Partai Republik
di AS yang sering dianggap sebagai partai usaha bebas. Mereka
kini telah mengadopsi hampir semua kebijakan campur tangan
negara yang mengurangi kebebasan ekonomi seperti yang
selalu diajukan oleh saingan politik mereka - negara yang
mengatur ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya (welfare
state), pajak yang tinggi, pengeluaran uang pajak yang tinggi,
perumahan publik, undang-undang ketenagakerjaan, upah
minimum, politik luar negeri yang campur tangan - dan
menambahkan beberapa kebijakan sendiri, seperti subsidi bagi
bank-bank dan bisnis besar, dan hukum terhadap kejahatan
tanpa korban seperti penggunaan narkoba dan prostitusi yang
sukarela. Meskipun "deregulasi" sesekali, di bawah kedua
partai politik AS besar (Republican dan Democratic) kekuasaan
negara tumbuh terus-menerus, padahal mereka bilang mereka
mendukung usaha bebas. Waktu Presiden Ronald Reagan,
yang Republican dan ‘konservatif’, memerintah pengeluaran
uang pemerintah naik, tidak turun. Di bawah pemerintah
Presiden George W. Bush, yang Republican juga, pengeluaran
uang pemerintah lebih naik lagi. Hal ini menunjukkan bahwa
demokrasi tidak netral, tetapi memiliki cenderung ke arah
peningkatan kolektivisme dan kekuasaan pemerintah, siapa
pun yang berkuasa di setiap saat.

44
Kecenderungan ini tercermin dalam pertumbuhan
pembelanjaan umum yang stabil. Pada awal abad ke-20
pengeluaran publik sebagai persentase dari produk nasional
bruto di kebanyakan negara demokrasi barat biasanya sekitar
10 persen. Sekarang meningkat jadi sekitar 50 persen. Jadi
selama enam bulan dalam setahun, rakyat telah menjadi
budak yang bekerja untuk negara.

Pada zaman di mana segalanya masih lebih bebas - dan tidak


terlalu demokratis - beban pajak jauh lebih rendah dari
sekarang. Selama berabad-abad Inggris memiliki sistem di
mana raja memiliki hak untuk menghabiskan uang, tapi tidak
untuk menaikkan pajak, dan Dewan Perwakilan Rakyat Inggris
memiliki hak untuk menentukan jumlah pajak, tetapi tidak
untuk menghabiskan uang pajak tersebut. Akibatnya, pajak
nasional relatif rendah pada waktu itu. Pada abad ke-20,
ketika Inggris menjadi lebih demokratis, pajak melonjak naik
dengan pesatnya.

Revolusi Amerika dimulai sebagai pemberontakan pajak oleh


kolonis Amerika terhadap ibu negara mereka yaitu Inggris.
Para pendiri Amerika Serikat suka dengan demokrasi sama

45
seperti mereka suka pajak yang tinggi – yang berarti: tidak
sama sekali. Tidak ada Kata 'Demokrasi' di dalam Deklarasi
Kemerdekaan atau UUD mereka.

Pada abad ke-19, beban pajak di Amerika Serikat paling


banyak hanyalah beberapa persen saja, kecuali dalam masa
perang. Tidak ada pajak penghasilan dan itu bahkan dilarang
oleh konstitusi (UUD) AS. Tapi karena Amerika Serikat telah
berubah dari sebuah negara desentralisasi federal menjadi
negara demokrasi parlementer nasional, kekuasaan
pemerintah terus meningkat. Sebagai contoh pada tahun 1913
pajak penghasilan diperkenalkan ke masyarakat dan Federal
Reserve System (sistem bank sentral AS) didirikan.

Contoh menarik lainnya dapat dilihat di dalam Kode Peraturan


Federal AS (CFR) - yang berisi semua hukum yang disahkan
oleh pemerintah federal. Pada tahun 1925 ini hanyalah
sebuah buku. Pada tahun 2010 buku itu telah berkembang
menjadi lebih dari 200 jilid, untuk indeksnya saja
membutuhkan lebih dari 700 halaman. Ini berisi aturan untuk
segala sesuatu di muka bumi ini - dari bagaimana bentuk jam
tangan seharusnya sampai bagaimana menyiapkan bawang
goreng untuk disajikan di restoran. Hanya pada masa

46
pemerintahan Presiden George W. Bush saja, 1000 halaman
dari peraturan federal ditambahkan setiap tahunnya, demikian
dilaporkan oleh majalah The Economist. Menurut majalah
tersebut, dari tahun 2001 sampai ke tahun 2010 kode pajak
Amerika meningkat dari 1,4 juta kata-kata menjadi 3,8 juta
kata kata.

Kebanyakan rancangan undang-undang (RUU) di Departemen


Perwakilan Rakyat AS (Kongres) begitu tebal sehingga para
anggota Kongres AS tidak mau bersusah-payah untuk
membacanya terlebih dahulu sebelum memberikan suara
untuk RUU itu. Singkatnya, kemunculan demokrasi telah
menyebabkan semakin bertambahnya campur tangan
pemerintah di Amerika Serikat, meskipun orang sering
mengatakan bahwa Amerika adalah negara 'bebas'.

Perubahan yang sama juga telah terjadi di negara demokrasi


barat lainnya. Misalnya, di Belanda, negara darimana penulis
buku ini berasal, pada tahun 1850 beban pajak total adalah 14
persen dari Produk Domestik Bruto. Sekarang menjadi 55
persen, menurut sebuah studi dari Biro Perencanaan Sentral
Belanda. Menurut studi lain, pengeluaran uang pemerintah
sebagai persentase dari pendapatan nasional pada tahun 1900
adalah 10 persen dan pada tahun 2002 menjadi 52 persen.

Jumlah undang-undang dan peraturan di Belanda juga telah


berkembang dengan pesat. Jumlah undang-undang yang
diresmikan antara tahun 1980 dan 2004 meningkat sebesar 72
persen, menurut sebuah studi oleh Pusat Riset Ilmiah dan
Dokumentasi Departemen Kehakiman Belanda. Pada tahun
2004 Belanda memiliki total 12.000 hukum dan peraturan,
yang mengandung lebih dari 140.000 ayat.

Satu masalah dengan semua undang-undang ini adalah bahwa


mereka cenderung untuk saling memperkuat. Dengan kata
lain, satu aturan mengarah ke yang lain. Misalnya, jika Anda
memiliki sistem asuransi perawatan kesehatan yang ditetapkan
oleh negara, pemerintah akan cenderung untuk mencoba
memaksa orang-orang untuk mengikuti gaya hidup yang

47
(diduga) sehat. Bagaimanapun juga dikatakan bahwa 'kita’
semua membayar biaya kedokteran yang tinggi karena banyak
orang yang tidak hidup sehat. Ini benar, tetapi hanya karena
pemerintah telah menempatkan sistem kolektif. Jenis fasisme
kesehatan ini biasa bagi negara-negara demokratis dan kini
secara rutin diterima oleh kebanyakan orang. Mereka berpikir
adalah normal apabila pemerintah memutuskan bahwa
mereka seharusnya tidak makan makanan berlemak atau
bergula, bahwa mereka seharusnya tidak merokok, bahwa
mereka seharusnya mengenakan helm atau sabuk pengaman,
dan sebagainya. Tentu saja semua ini adalah pelanggaran
kebebasan perorangan secara langsung.

Sebenarnya, pada intinya, demokrasi adalah ideologi totaliter,


meskipun tidak se-ekstrim nazisme, fasisme atau komunisme.

Dikatakan bahwa sejak puluhan tahun yang lalu kebebasan


sudah begitu maju di sejumlah sektor. Di negara-negara barat
banyak perusahaan televisi swasta ('komersial') yang telah
mematahkan monopoli stasiun penyiaran nasional, jam
operasional toko telah diperpanjang, lalu lintas udara
dideregulasi, pasar telekomunikasi telah dibebaskan, dan di
banyak negara wajib militer dihapuskan. Namun, banyak dari
prestasi ini harus direbut dari tangan politisi demokratis.
Dalam banyak kasus, perubahan ini tidak bisa dihentikan oleh
politisi, karena perubahan ini adalah hasil dari perkembangan
teknologi (seperti pada sektor media atau pada sektor
telekomunikasi) atau karena persaingan dengan negara-negara
lain (seperti dalam kasus deregulasi penerbangan). Perubahan-
perubahan ini dapat dibandingkan dengan runtuhnya
komunisme di Uni Soviet. Itu tidak terjadi karena pihak yang
berkuasa ingin menyerahkan kekuasaannya dengan sukarela,
tetapi karena pihak yang berkuasa tidak punya pilihan - karena
sistemnya telah rusak dan tidak dapat diperbaiki. Dengan cara
yang sama politisi demokrasi kita sering harus menyerahkan
sebagian dari kekuasaan mereka.

48
Tapi politisi kita biasanya berhasil memulihkan kehilangannya
dengan sigap. Misalnya, kebebasan di internet yang semakin
dibatasi oleh campur tangan pemerintah. Kebebasan berbicara
yang terkikis oleh hukum anti-diskriminasi. Hak kekayaan
intelektual (paten dan hak cipta) digunakan untuk membatasi
kebebasan produsen dan konsumen. Pembebasan pasar
biasanya disertai dengan pembentukan birokrasi baru yang
dimaksudkan untuk mengatur pasar baru tersebut. Badan-
badan birokrasi ini kemudian cenderung bertumbuh menjadi
semakin besar dan menciptakan aturan yang lebih banyak lagi.
Di Belanda, bidang ekonomi seperti energi dan telekomunikasi
memang diliberalisasi (dibebaskan), tetapi pada saat yang sama
lembaga birokrasi baru didirikan - enam lembaga birokrasi
dalam sepuluh tahun terakhir ini.

Di AS, menurut para peneliti dari Universitas Virginia, biaya


peraturan federal dari tahun 2003 ke 2008 naik 3% ke $
1.750.000.000.000 per tahunnya, atau 12% dari PDB. Setelah
tahun 2008, muncul gelombang peraturan-peraturan baru
untuk pasar keuangan, industri minyak, industri makanan dan
tanpa diragukan untuk banyak sektor usaha lainnya. Di Eropa,
bisnis dan rumah tangga tidak hanya harus berurusan dengan
pemerintah nasional mereka, mereka juga harus menderita
lapisan peraturan-peraturan tambahan dari Uni Eropa di
Brussels. Dan padahal pada tahun 1990-an tema pembebasan
merupakan segalanya di Brussels, tren pada saat ini malah
sebaliknya: semakin menuju ke arah (re-) regulasi
(bertambahnya peraturan).

Singkatnya, dalam prakteknya demokrasi tidak netral secara


politik. Sistem ini memang bersifat kolektif dan mengakibatkan
intervensi (campur tangan) pemerintah yang terus bertambah
dan mengurangi kebebasan perorangan. Hal ini terjadi karena
rakyat terus menuntut berbagai hal dari pemerintah namun
ingin biayanya dibayar oleh orang lain.

Sebenarnya, pada intinya, demokrasi adalah ideologi totaliter,


meskipun tidak se-ekstrim nazisme, fasisme atau komunisme.
Pada prinsipnya, tidak ada kebebasan yang dihormati secara

49
tetap dalam demokrasi, setiap bidang kehidupan perorangan
bisa diatur oleh kendali pemerintah. Pada akhirnya, kaum
minoritas hanya bisa berharap belas kasihan dari apapun yang
menjadi keinginan mayoritas. Bahkan jika demokrasi memiliki
konstitusi (UUD) yang membatasi kekuasaan pemerintah,
konstitusi ini juga dapat diganti oleh mayoritas. Satu-satunya
hak dasar yang Anda miliki dalam demokrasi, selain menjadi
calon untuk menjabat di pemerintahan, adalah hak untuk
memilih partai politik. Dengan suara Anda yang satu itu Anda
menyerahkan kemandirian dan kebebasan Anda untuk
kehendak mayoritas.

Kebebasan nyata yang sesungguhnya adalah hak untuk


memilih tidak berpartisipasi dalam sistem demokrasi dan hak
memilih untuk tidak harus ikutan membayar untuk itu semua.
Sebagai konsumen, Anda tidak memiliki kebebasan jika Anda
dipaksa untuk membeli sebuah pesawat TV dari pilihan merek
yang disediakan, tidak peduli berapapun banyaknya merek
yang disediakan. Anda hanya betul-betul bebas kalau Anda
juga bisa memutuskan untuk tidak membeli pesawat TV.
Dalam demokrasi Anda harus membeli apa yang dipilih oleh
mayoritas – tidak peduli apakah Anda setuju atau tidak.

50
Mitos 5: Demokrasi mengakibatkan kemakmuran

Banyak negara demokratis yang makmur dan karenanya orang


sering berpikir bahwa demokrasi diperlukan untuk mencapai
kemakmuran. Kenyataannya adalah sebaliknya. Demokrasi
tidak mengakibatkan kemakmuran, demokrasi menghancurkan
kekayaan.

Memang benar banyak negara demokrasi barat yang makmur.


Namun di bagian lain dari bumi ini korelasi/hubungan tersebut
tidak terlihat. Singapura, Hong Kong dan sejumlah negara Arab
makmur dan mereka bukan negara demokratis. Banyak negara
di Afrika dan Amerika Latin yang demokratis, tetapi tidak
makmur, kecuali untuk sebagian kecil kaum elite. Negara-
negara demokratis barat makmur bukan karena sistem
demokrasinya. Kemakmuran itu mereka peroleh dari tradisi
kebebasan (liberalisme) yang merupakan ciri khas mereka.
Karena tradisi itu ekonomi negara-negara tersebut belum
sepenuhnya dikuasai oleh pemerintah. Namun tradisi ini terus
melemah karena demokrasi. Sektor swasta semakin terkikis,
sebuah proses yang mengancam kemakmuran yang telah
dibangun di negara-negara barat itu selama berabad-abad.

Dalam demokrasi warga didorong untuk mendapatkan


keuntungan dengan mengorbankan orang lain - atau untuk
melimpahkan beban mereka kepada orang lain.

Kemakmuran akan tercapai apabila hak-hak individu


dilindungi secara memadai - terutama hak milik. Dengan kata
lain, kekayaan akan ada dimanapun bila orang dapat memiliki
buah dari pekerjaan mereka. Dalam keadaan yang seperti itu
orang-orang akan termotivasi untuk bekerja keras, mengambil
risiko dan menggunakan sumber daya yang tersedia secara
efisien.

Sebaliknya, jika orang dipaksa untuk menyerahkan hasil kerja


mereka kepada Negara - yang mana merupakan sebagian dari

51
masalah dalam demokrasi – mereka akan kurang termotivasi
untuk melakukan yang terbaik. Selain itu, Negara pasti akan
menggunakan sumber daya secara tidak efisien.
Bagaimanapun juga pemerintah demokratis tidak harus
bekerja untuk mendapatkan sumber daya tersebut - dan
pemerintah memiliki tujuan yang sangat berbeda dari tujuan
orang-orang yang memproduksinya.

Bagaimana cara kerjanya dalam demokrasi? Anda dapat


membandingkannya dengan sebuah kelompok yang terdiri
dari sepuluh orang makan malam di sebuah restoran dan
sebelumnya telah memutuskan untuk membagi tagihan secara
merata. Karena 90 persen dari tagihan akan dibayar oleh orang
lain, setiap orang termotivasi untuk memesan hidangan mahal,
yang mana tidak akan terpikirkan jika setiap orang harus
membayar tagihannya sendiri. Sebaliknya, karena apabila satu
orang berhemat manfaatnya hanyalah 10 persen, tidak ada
motivasi untuk hemat. Hasilnya adalah bahwa tagihan akhir
akan menjadi jauh lebih tinggi dari apabila setiap orang
membayar hanya untuk dirinya sendiri.

Dalam ilmu ekonomi, fenomena ini dikenal sebagai “tragedi


milik bersama”. ‘Milik bersama’ adalah sebidang tanah yang
dimiliki dan digunakan oleh beberapa petani. Para petani yang
berbagi tanah itu termotivasi untuk membiarkan sapi mereka
merumput sebanyak mungkin (dengan mengorbankan petani
lain), dan tidak ada motivasi untuk memindahkan sapi mereka
pada waktunya (karena khawatir rumput akan habis dimakan
oleh ternak dari petani lain). Jadi, karena padang rumput itu
dimiliki oleh semua dan karena itu bukan milik seorangpun,
hasilnya adalah penggembalaan ternak yang berlebihan.

Demokrasi bekerja dengan cara yang sama. Warga didorong


untuk mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan orang
lain - atau untuk meneruskan beban mereka kepada orang
lain. Orang memilih partai politik yang memaksa orang lain
untuk menanggung biaya untuk keinginan pribadi mereka
(pendidikan gratis, tunjangan kesejahteraan yang lebih tinggi,
subsidi untuk perawatan anak, pembangunan jalan raya, dan

52
sebagainya). Dalam contoh kasus makan malam di atas,
kemungkinan hasilnya akan menjadi sangat buruk tidak begitu
besar karena dalam kelompok yang kecil, orang dibatasi oleh
kontrol sosial, tetapi dalam demokrasi dengan jutaan pemilih
kontrol sosial ini tidak bekerja.

Politisi terpilih untuk memanipulasi sistem ini. Mereka


mengelola sumber daya 'umum'. Mereka tidak memiliki
sumber daya itu, oleh sebab itu mereka tidak harus hemat.
Sebaliknya, mereka memiliki motivasi untuk menghabiskan
sumber daya umum sebanyak mungkin, agar mereka bisa
mendapatkan keuntungan dan membiarkan penerus mereka
membayar tagihannya. Ini terjadi karena para politisi harus
menyenangkan para pemilih. Ini lebih penting bagi mereka
daripada kepentingan negara dalam jangka panjang. Hasilnya
adalah ketidakefisienan dan pemborosan.

Para politisi tidak hanya sangat tergoda untuk mengeluarkan


terlalu banyak uang, mereka juga memiliki motivasi untuk
mengambil sebanyak mungkin untuk diri mereka sendiri
selama mereka dapat mengelola 'dana publik'. Ini terjadi
karena setelah periode legislatif/masa jabatan mereka, mereka
tidak bisa memperkaya diri lagi dengan begitu mudahnya.

Sistem ini merupakan bencana bagi perekonomian. Orang


belum menyadari sepenuhnya sebesar apa bencana yang ada.
Kita tetap harus membayar tagihan dari berlebihannya
pengeluaran pemerintahan demokratis kita.

Utang pemerintah yang sangat besar adalah hasil dari defisit


anggaran yang besar - tidak secara kebetulan - hampir semua
negara demokrasi menderita masalah yang sama. Di Amerika
Serikat pengeluaran demokratis sudah jauh di luar kendali
hingga utang nasionalnya sekarang lebih dari $ 14.000 miliar,
sekitar $ 50.000 per kapita. Sebagian besar negara Eropa ada
di kondisi yang sama. Utang nasional Belanda naik menjadi €
380.000.000.000 pada akhir 2010 atau hampir € 25.000 per
kapita. Suatu saat utang ini harus dibayar oleh wajib pajak.
Sekarang saja wajib pajak sudah harus membayar banyak

53
hanya untuk bunga dari utang itu. Di Belanda bunga atas
utang nasional sebesar sekitar € 22 miliar pada 2009, lebih
dari dana yang dihabiskan pada pertahanan dan infrastruktur.
Semua ini adalah murni buang-buang uang, sebagai hasil dari
pemborosan uang wajib pajak di masa lalu.

Tapi kebusukan tersebut merajalela lebih dalam lagi. Para


politisi demokrasi kita tidak hanya mengumpulkan pajak yang
kemudian mereka buang-buang dan boroskan, mereka juga
berhasil mengamankan hak untuk mengontrol sistem
keuangan kita - uang kita. Melalui bank sentral seperti Federal
Reserve di AS dan Bank Sentral Eropa pemerintahan
demokratis kita menentukan apa yang merupakan uang,
berapa banyak uang yang akan dibuat dan disuntikkan ke
dalam perekonomian dan seberapa tinggi tingkat suku bunga.
Selain itu, mereka telah menceraikan hubungan di antara uang
kertas dan nilai-nilai yang mendasarinya, seperti emas. Seluruh
sistem keuangan kita - termasuk seluruh tabungan kita dan
dana pensiun, semua uang yang kita pikir kita miliki -
didasarkan pada uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara.

Keuntungan dari sistem ini bagi pemerintah kita terlihat jelas.


Mereka memiliki 'keran uang' yang dapat dihidupkan
kapanpun mereka mau. Tidak pernah ada monarki absolut di
masa lalu yang memiliki sesuatu seperti itu! Pemimpin
Demokratik bisa 'memompa' ekonomi (dan mengisi pundi-
pundi mereka sendiri) jika mereka ingin meningkatkan
popularitas mereka. Mereka melakukan hal ini melalui Bank
Sentral, yang pada gilirannya akan menggunakan bank-bank
swasta untuk melaksanakan proses pengeluaran uang. Sistem
ini dirancang sedemikian rupa sehingga bank swasta diberikan
izin khusus untuk meminjamkan kelipatan dari uang deposito
klien mereka (pecahan cadangan perbankan, “fractional
reserve banking”). Dengan demikian, melalui berbagai trik,
semakin banyak uang kertas atau uang elektronik disuntikkan
ke dalam perekonomian.

Sistem ini memiliki beberapa dampak negatif. Pertama, nilai


uang menurun. Proses ini telah berlangsung selama satu abad.

54
Dolar AS telah kehilangan 95 persen dari nilainya sejak sistem
Federal Reserve diciptakan pada tahun 1913. Itulah sebabnya
kita sebagai warga negara melihat harga produk-produk dan
layanan jasa terus bertambah mahal. Dalam pasar yang benar-
benar bebas harga-harga cenderung untuk turun terus sebagai
akibat dari peningkatan produktivitas dan persaingan
produsen. Tetapi dalam sistem kita yang dimainkan
pemerintah, di mana jumlah uang yang beredar terus
meningkat, semua harga selalu naik. Beberapa orang
mengambil manfaat dari sistem ini (misalnya orang-orang yang
memiliki hutang besar, seperti pemerintah sendiri), Sisanya
menderita karena sistem tersebut, misalnya orang-orang yang
hidup dengan pensiun tetap atau yang memiliki tabungan.

Dampak negatif kedua adalah dengan semua uang yang


dipompa ke dalam perekonomian, perkembangan ekonomi
yang palsu muncul satu-persatu. Oleh karena itu kita bisa lihat
perkembangan properti, perkembangan komoditas,
perkembangan pasar saham. Tapi semua mukjizat ini
didasarkan pada udara panas - semua perkembangan ekonomi
berubah menjadi gelembung yang akan meletus pada
akhirnya. Perkembangan palsu ini terjadi hanya karena
pasarnya dibanjiri dengan kredit yang mudah dan semua orang
dapat berutang dengan gampang. Tapi pesta-pesta ini tidak
bisa berlangsung selamanya. Ketika telah menjadi jelas bahwa
utang-utang ini tidak dapat dilunasi, gelembungnya meletus.
Begitulah terjadinya resesi/krisis ekonomi.

Pihak berwenang biasanya menanggapi resesi dengan cara


yang sudah diduga akan dilakukan oleh politisi demokratis,
yaitu dengan menciptakan uang buatan lebih banyak lagi dan
memompa jumlah uang yang semakin besar ke dalam
perekonomian (sambil mereka tentu saja menyalahkan 'pasar
bebas' atau 'spekulan' untuk krisisnya). Mereka melakukannya
karena ini diharapkan oleh pemilih. Para pemilih
menginginkan pestanya dilanjutkan selama mungkin - dan
para politisi biasanya memenuhi keinginan para pemilih
karena politisi ingin terpilih kembali. Penulis dan politikus
Amerika Benjamin Franklin sudah melihat masalah ini pada

55
awal abad ke-18. "Ketika masyarakat sadar bahwa mereka
dapat memilih sendiri uang seperti apa yang mereka mau, ini
akan menjadi kabar berakhirnya republik," tulisnya.

Menghidupkan mesin cetak biasanya menyediakan hiburan -


tapi selalu sementara saja. Sepertinya sekarang kita telah
mencapai titik di mana gelembung baru tidak dapat dibuat
tanpa merusak semua sistem yang ada. Pihak berwenang tidak
tahu harus berbuat apa lagi. Jika mereka terus mencetak uang,
mereka menjalankan risiko hiperinflasi (inflasi berarti nilai uang
turun), seperti pada tahun 1920 di Jerman atau 1965 di
Indonesia atau lebih baru-baru ini di Zimbabwe. Para politikus
tidak berani untuk berhenti meningkatkan perekonomian,
karena itu akan menjerumuskan ekonomi ke resesi dan para
pemilih tidak menyukai resesi. Singkatnya, sistem ini
tampaknya ada di jalan buntu. Pemerintah tidak bisa
mempertahankan ilusi yang mereka ciptakan, tetapi mereka
juga tidak bisa membiarkan ilusi tersebut pergi.

Jadi kita melihat bahwa demokrasi tidak mengakibatkan


kemakmuran, tetapi inflasi yang tidak ada ujungnya dan resesi,
dan semua ketidakpastian dan ketidakstabilan yang datang
dengannya. Apa alternatifnya? Solusi untuk borosnya anggaran
belanja demokratis adalah dengan mengembalikan rasa
hormat terhadap hak milik pribadi. Jika semua petani memiliki
bagian tanah mereka sendiri, mereka akan memastikan
penggembalaan ternak yang berlebihan tidak terjadi. Jika
semua warga dapat menjaga hasil kerja mereka sendiri,
mereka akan memastikan bahwa sumber daya mereka tidak
sia-sia.

Ini juga berarti bahwa sistem keuangan harus dibebaskan dari


tangan politisi. Sistem moneter, sama seperti kegiatan ekonomi
lainnya, harus kembali menjadi bagian dari pasar bebas. Setiap
orang harus bisa menciptakan uang mereka sendiri atau
menerima uang dalam bentuk apapun yang mereka sukai.
Maka mekanisme pasar bebas akan memastikan bahwa tidak
ada gelembung ekonomi yang diciptakan lagi - setidaknya

56
bukan dalam ukuran yang kita alami karena manipulasi
pemerintah dengan sistem keuangan kita.

Bagi banyak orang, sistem moneter pasar bebas mungkin


terdengar menakutkan. Tetapi secara historis itu lebih
merupakan kebiasaan daripada pengecualian. Dan kita harus
menyadari bahwa kemakmuran kita---kekayaan fantastis yang
saat ini kita nikmati---pada dasarnya tanpa terkecuali terdiri
dari apa yang kita hasilkan secara bersama-sama sebagai warga
negara produktif, dalam bentuk barang nyata dan jasa. Tidak
lebih, tidak kurang. Semua trik dan ilusi pemerintahan
demokratis kita dengan uang kertasnya tidak dapat mengubah
fakta ini.

57
Mitos 6: Demokrasi diperlukan untuk menjamin distribusi
kekayaan yang adil dan membantu masyarakat miskin

Tapi bukankah demokrasi diperlukan untuk menjamin


pembagian kekayaan yang adil? Politisi sering berbicara
tentang solidaritas dan pembagian yang adil, tapi seberapa adil
rencana-rencana mereka sebenarnya? Pertama, sebelum
kekayaan dapat didistribusikan, kekayaan harus diproduksi.
Subsidi dan layanan pemerintah tidak gratis, meskipun banyak
orang tampaknya berpikir begitu. Kira-kira setengah dari apa
yang diperoleh oleh orang-orang yang produktif, diambil dan
kemudian didistribusikan oleh pemerintah.

Anggap saja bahwa bahwa negara harus mendistribusikan


kekayaan di antara rakyat, masih ada pertanyaan apakah
sistem demokrasi dapat mengarah kepada distribusi yang adil.
Apakah uang itu diberikan ke orang-orang yang benar-benar
membutuhkannya? Seandainya saja itu benar. Kebanyakan
hibah dan subsidi diberikan ke kelompok-kelompok
kepentingan. Misalnya, dua-perlima dari anggaran Uni Eropa
dihabiskan untuk subsidi pertanian.

Para pelobi melancarkan perjuangan tanpa akhir untuk hibah,


hak istimewa dan kontrak. Semua orang ingin makan dari
palung di mana dana ‘publik’ disimpan. Dalam sistem ini,
parasitisme, pilih kasih dan ketergantungan digalakkan,
sedangkan tanggung jawab individu dan kemandirian
dihalangi. Beberapa kelompok kepentingan khusus yang
sebenarnya berkecukupan (tidak miskin) dan bukan termasuk
kaum yang kurang beruntung mendapatkan manfaat dari
pengaturan ini, mereka adalah: lembaga bantuan
pembangunan negara miskin, bank-bank, perusahaan besar,
petani, stasiun penyiaran publik, organisasi lingkungan,
lembaga kebudayaan. Mereka bisa mendapatkan miliaran
dalam bentuk hibah dan subsidi karena mereka memiliki
koneksi langsung ke kekuasaan politik. Pengeruk keuntungan
paling besar tentu saja adalah PNS yang menjalankan sistem
ini. Mereka memastikan bahwa mereka sangat diperlukan dan
memberi gaji yang besar kepada diri mereka sendiri.

58
Kelompok kepentingan khusus tidak hanya mendapatkan
keuntungan dari kemurahan pemerintah, tetapi mereka juga
tahu cara mempengaruhi undang-undang untuk
menguntungkan diri mereka dengan mengorbankan seluruh
masyarakat. Banyak sekali contoh tentang hal ini. Pikirkan
pembatasan impor dan kuota yang menguntungkan sektor
pertanian tetapi meningkatkan harga pangan. Atau serikat
buruh yang, bersama dengan politisi, menetapkan upah gaji
minimum (UMR) yang tinggi, sehingga membatasi persaingan
di pasar tenaga kerja. Ini mengorbankan kaum yang kurang
berpendidikan, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan
karena terlalu mahal bagi perusahaan untuk bisa
mempekerjakan dan membayar mereka (akibat gaji
minimum).

Para pelobi melancarkan perjuangan tanpa akhir untuk hibah,


hak istimewa dan kontrak. Semua orang ingin makan dari
palung di mana dana ‘publik’ disimpan.

Contoh lain adalah hukum perizinan yang merupakan cara


cerdas untuk mengalahkan pesaing. Apoteker menggunakan
hukum perizinan untuk memblokir persaingan dari toko obat
dan pemasok dari internet. Profesi medis mencegah
persaingan dari penyedia layanan kesehatan yang 'tidak punya
izin'. Sebuah contoh terkait adalah sistem paten dan hak cipta
yang diberikan pemerintah dan yang digunakan perusahaan,
misalnya industri farmasi dan industri hiburan, untuk
mempersulit kemunculan persaing baru.

Tapi bukankah para pemilih bisa berontak menentang manfaat


khusus dan perlakuan spesial yang dinikmati kelompok-
kelompok lobi? Dalam teori ini bisa saja terjadi. Tapi dalam
prakteknya jarang terjadi, karena kelompok kepentingan
menikmati manfaat yang jauh lebih besar daripada biaya yang
harus ditanggung satu orang anggota masyarakat. Misalnya, jika
satu kilogram gula dibuat lebih mahal lima ribu rupiah karena

59
bea masuk, ini bisa jadi sangat menguntungkan bagi produsen
gula dalam negeri (dan pemerintahnya), tetapi untuk
konsumen sebagai individu hal itu tidak layak untuk
diproteskan. Jadi, kelompok kepentingan sangat termotivasi
untuk melestarikan manfaat khusus itu, sementara masyarakat
(pemilih) terlalu sibuk untuk repot-repot protes mengenainya.

Kebanyakan orang bahkan mungkin tidak menyadari


keberadaan transaksi-transaksi manis yang menguntungkan
kelompok kepentingan khusus ini. Namun demikian, semua
transaksi tersebut bila dijumlah mengakibatkan biaya besar -
dan dengan demikian standar hidup yang lebih rendah - bagi
kita semua yang tidak memiliki pelobi yang berkerja untuk kita
di Jakarta atau ibu kota lainnya. Dengan demikian politik
demokrasi tanpa bisa dihindari akan merosot menjadi mesin
redistribusi di mana kelompok yang paling berpengaruh dan
paling terorganisir mendapat keuntungan dengan
mengorbankan kita semua. Dan sangat jelas bahwa sistem ini
bekerja dua arah; kelompok lobi membalas budi atas
keuntungan yang mereka dapatkan dengan menjadi sponsor
kampanye politik.

Di negara asal penulis, Belanda, yang dapat dianggap negara


kesejahteraan demokratis khas Eropa, Biro Perencanaan Sosial
dan Budaya (sebuah badan pemerintah) dalam laporan yang
diterbitkan pada bulan Agustus 2011 menyimpulkan bahwa
kelompok berpenghasilan menengah hanya mendapatkan
sedikit keuntungan dari tunjangan pemerintah dibandingkan
dengan keuntungan yang didapat oleh kedua kelompok yang
pendapatannya lebih rendah dan lebih tinggi. Bahkan, para
peneliti menemukan bahwa kelompok dengan pendapatan
tertinggilah yang mendapatkan keuntungan paling banyak dari
tunjangan pemerintah! Penelitian mereka hanya bisa
diterapkan pada tahun 2007, tetapi tidak ada alasan untuk
menganggap bahwa hasilnya akan berbeda di tahun-tahun
lainnya. Di Belanda, kelompok dengan pendapatan yang tinggi
mendapatkan keuntungan terutama dari subsidi untuk
pendidikan tingkat universitas, perawatan anak, dan seni.

60
Banyak orang takut apabila pendidikan, perawatan kesehatan,
transportasi umum, perumahan, dan sebagainya, dilepaskan
kepada 'kekuatan pasar bebas', orang miskin tidak akan
mampu membayar layanan ini. Tapi pasar bebas sesungguhnya
benar-benar melakukan pekerjaan yang cukup baik dalam
mengurus masyarakat miskin. Misalnya, supermarket yang
menyediakan kebutuhan kita yang paling penting dalam hidup
yaitu makanan. Mereka memberikan produk berkualitas tinggi,
dengan harga rendah, dan tersedia banyak pilihan. Melalui
inovasi dan kompetisi, pasar bebas telah memungkinkan
kelompok berpendapatan rendah seperti buruh dan
mahasiswa untuk bisa menikmati barang-barang seperti
kendaraan bermotor, komputer pribadi, telepon seluler, dan
perjalanan dengan pesawat terbang yang sebelumnya hanya
dapat dinikmati oleh orang kaya. Jika perawatan untuk lansia
diselenggarakan seperti supermarket, tanpa intervensi/campur
tangan negara, bukankah kita akan melihat hasil yang sama?
Dengan demikian lansia dan kerabat mereka akan
menentukan layanan yang mereka butuhkan dan harganya.
Mereka akan lebih memiliki kontrol atas perawatan yang
diterima mereka dan berapa mereka membayar untuk itu.

Bukankah kualitas akan menurun jika negara tidak campur


tangan lagi dengan sekolah (pendidikan), rumah sakit dan
sektor perawatan? Justru sebaliknya. Seperti apakah kualitas
makanan di toko-toko apabila itu diurus oleh pemerintah
seperti halnya sekolah umum? Kita tidak bisa mengharapkan
sejumlah kecil ‘pakar’ di Jakarta dapat mengelola sektor besar
dan kompleks seperti pendidikan dan kesehatan dengan
efektif. Dengan reformasi-reformasi mereka yang tak berujung,
fatwa-fatwa, komite-komite, komisi-komisi, dokumen-
dokumen, arahan-arahan, pedoman-pedoman, dan
pengurangan-pengurangan mereka pada akhirnya tidak
menghasilkan apa-apa selain birokrasi yang semakin banyak.

Para pakar sesungguhnya ada di sekolah dan di rumah sakit.


Merekalah yang paling mengerti bidang keahlian mereka.
Merekalah yang paling mampu untuk mengatur lembaga
mereka secara efisien. Dan jika mereka tidak melakukannya

61
dengan baik, mereka tidak akan bertahan dalam pasar bebas.
Oleh karena itu, kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan
tanpa campur tangan pemerintah akan terus naik bukannya
menurun. Birokrasi, daftar tunggu dan ruang kelas sekolah
yang penuh sesak akan lenyap. Sama seperti sangat sedikit
supermarket yang kotor dan memiliki makanan yang buruk,
atau toko kacamata yang membiarkan konsumennya
menunggu selama setengah tahun, di pasar bebas mereka
tidak akan bertahan.

Tentu saja akan selalu ada beberapa orang yang tidak mampu
menghidupi dirinya sendiri, yang membutuhkan bantuan. Tapi
tidak perlu untuk membangun mesin redistribusi besar-besaran
dari sistem demokrasi kita untuk membantu mereka. Hal ini
dapat dilakukan oleh lembaga swasta dan amal - atau oleh
siapapun yang ingin membantu. Anggapan bahwa kita perlu
demokrasi untuk membantu orang yang miskin dan kurang
beruntung merupakan selubung untuk menutupi pihak-pihak
dengan kepentingan pribadi yang mendapatkan keuntungan
dari mesin redistribusi tersebut.

62
Mitos 7: Untuk bisa hidup bersama dalam harmoni
diperlukan demokrasi

Kita sering berpikir bahwa konflik dapat dihindari dengan


pengambilan keputusan secara demokratis. Jika semua orang
hanya mengikuti keinginannya sendiri, kita tidak bisa hidup
bersama dalam damai, begitulah argumennya.

Hal ini mungkin benar ketika sekelompok orang harus


memutuskan apakah hendak pergi ke bioskop atau ke pantai.
Tapi kebanyakan pertanyaan sebenarnya tidak perlu
diputuskan secara demokratis. Bahkan, pengambilan
keputusan secara demokratislah yang sering menimbulkan
konflik. Ini terjadi karena semua jenis masalah-masalah pribadi
dan sosial berubah menjadi masalah kolektif dalam demokrasi.
Dengan memaksa orang untuk mematuhi keputusan yang
demokratis, demokrasi jadi mengarah ke permusuhan
ketimbang hubungan yang harmonis antara manusia.

Anggap saja kita secara demokratis memutuskan berapa banyak


dan jenis roti apa yang dipanggang setiap harinya? Ini akan
menyebabkan lobi tak berujung, kampanye, perdebatan, rapat
dan pertemuan tidak penting serta demo.

Misalnya, yang diputuskan secara 'demokratis' adalah apa yang


harus diajarkan ke anak-anak di sekolah, berapa banyak uang
dihabiskan untuk perawatan lansia, berapa banyak bantuan
diberikan kepada dunia ketiga, apakah merokok di restoran
diperbolehkan, stasiun TV yang mana yang disubsidi, apakah
perawatan medis termasuk dalam asuransi kesehatan, berapa
harga sewa seharusnya, apakah perempuan diperbolehkan
untuk memakai jilbab (di negara-negara barat), obat yang
mana yang diperbolehkan untuk dikonsumsi, dan sebagainya.
Semua keputusan ini membuat konflik dan ketegangan.
Konflik-konflik ini dengan mudah dapat dihindari. Biarkanlah
masyarakat membuat pilihan mereka sendiri dan bertanggung
jawab atas akibatnya.

63
Misalnya kita secara demokratis memutuskan berapa banyak
dan jenis roti yang mana dipanggang setiap harinya? Ini akan
menyebabkan lobi tak berujung, kampanye, perdebatan, rapat
dan pertemuan tidak penting serta demo. Para pendukung roti
tawar biasa akan menganggap pendukung roti gandum sebagai
musuh politik mereka. Jika pendukung roti gandum
mendapatkan suara mayoritas, semua subsidi roti akan
diberikan ke roti gandum dan roti tawar biasa bahkan mungkin
akan dilarang. Dan tentu saja sebaliknya.

Demokrasi adalah seperti sebuah bus yang penuh dengan


orang-orang yang harus memutuskan secara bersama-sama ke
mana pengemudi akan membawa mereka. Sebagian ingin ke
Jakarta, sebagian ingin ke Bandung, ada juga yang ingin ke
Cirebon dan sisanya ingin pergi ke ribuan arah lain lagi.
Akhirnya bus ini akan tiba di tempat yang tidak dinginkan oleh
kebanyakan orang. Bahkan jika pengemudi tidak memiliki
kepentingan pribadi dan mendengarkan dengan seksama apa
yang penumpang-penumpangnya inginkan, ia tidak pernah
akan bisa memuaskan semua keinginan mereka. Dia hanya
memiliki satu bus dan keinginan orang-orang di dalam bus itu
hampir sebanyak jumlah penumpang yang ada.

Ini juga alasan mengapa pendatang baru dalam politik yang


pada awalnya dianggap sebagai penyelamat pada akhirnya
selalu mengecewakan rakyat. Tidak ada politisi yang dapat
mencapai hal yang mustahil. "Ya, kita mampu” (“Yes, we can”
adalah slogan kampanye Obama di AS) pada akhirnya selalu
menjadi ‘’kita tidak mampu“ (“No, we cannot“). Orang yang
paling bijaksana di dunia ini sekalipun tidak dapat memenuhi
keinginan-keinginan yang berbeda.

Bukan kebetulan bahwa diskusi politik antara orang-orang


sering begitu emosional. Bahkan banyak orang tidak suka
membicarakan politik pada pertemuan sosial dengan kerabat
dan sahabat. Ini karena mereka biasanya memiliki pendapat
yang sangat berbeda tentang 'bagaimana hidupnya seharusnya'

64
dan dalam demokrasi pendapat-pendapat ini entah bagaimana
harus dirembukan dan dimufakatkan.

Solusi untuk masalah bus di atas sederhana saja. Biarkanlah


mereka memutuskan sendiri hendak pergi ke mana dan
dengan siapa. Biarkanlah mereka memutuskan sendiri
bagaimana mereka ingin hidup, biarkanlah mereka
menyelesaikan masalah mereka sendiri, membentuk
kelompok mereka sendiri. Biarkanlah mereka memutuskan
sendiri apa yang mereka ingin lakukan dengan tubuh, pikiran
dan uang mereka. Banyak 'masalah' politik kita akan
menghilang seperti disulap.

Namun, dalam sebuah demokrasi, sebaliknya terjadi hal yang


sangat berlawanan. Sistem ini memaksa orang-orang untuk
mengubah pilihan mereka masing-masing menjadi tujuan
kolektif (bersama) yang harus diikuti oleh setiap orang. Dengan
demikian orang-orang yang ingin pergi ke tempat X terdorong
untuk memaksa orang lain untuk ikut ke tujuan yang sama.
Salah satu akibat dari sistem demokrasi yang sangat
disayangkan adalah bahwa orang-orang dipaksa untuk
membentuk kelompok yang tentu akan berkonflik dengan

65
kelompok lain. Ini terjadi karena hanya ketika Anda menjadi
anggota di kelompok yang cukup besar (atau sebuah
kelompok pemilih) Anda mungkin dapat mengutarakan ide-
ide Anda dan membuatnya menjadi hukum negara. Dengan
demikian, orang tua menjadi musuh orang muda, petani
menjadi musuh penduduk kota, pendatang menjadi musuh
warga, Kristen menjadi musuh Muslim, orang religius menjadi
musuh orang ateis, pemilik perusahaan menjadi musuh
karyawan, dan sebagainya. Semakin besar perbedaan diantara
orang-orang, hubungan akan menjadi lebih tajam. Ketika satu
kelompok percaya bahwa homoseksualitas adalah sebuah dosa
dan kelompok lain ingin pengertian mengenai homoseksualitas
dan kaum gay diajarkan di sekolah dan menjadi materi
pendidikan untuk mencegah diskriminasi, mereka pasti akan
berbenturan.

Solidaritas paksa benar-benar sebuah kontradiksi. Solidaritas


untuk menjadi nyata membutuhkan tindakan sukarela.

Hampir semua orang memahami bahwa kebebasan beragama


yang berkembang berabad-abad yang lalu adalah gagasan yang
masuk akal dan mengurangi ketegangan sosial antara
kelompok-kelompok agama. Umat Katolik tidak bisa memaksa
orang Protestan untuk mengikuti cara hidup mereka lagi, atau
sebaliknya. Tetapi saat ini hanya sedikit tampaknya orang yang
memahami bahwa ketegangan muncul ketika, melalui sistem
demokrasi kita, karyawan dapat menentukan cara bagaimana
pemilik bisnis (pengusaha) menjalankan bisnisnya, lansia dapat
memaksa orang muda untuk membayar pensiun mereka, bank
dapat memaksa warga untuk membayar biaya investasi
mereka yang salah, orang yang tergila-gila dengan makanan
sehat dapat memaksakan ide-ide mereka ke dalam mulut
orang lain, dan sebagainya.

Juga sangat bermanfaat untuk menyajikan kelompok Anda


sebagai kaum yang lemah, atau kurang beruntung, atau
kehilangan haknya, atau didiskriminasi. Semua itu akan

66
membantu Anda untuk mendapatkan tunjangan pemerintah,
dan pemerintah akan memiliki alasan untuk membenarkan
keberadaan bantuan tersebut dan untuk membagikannya atas
nama 'keadilan sosial'.

Seperti yang dikatakan seorang penulis Amerika H.L.


Mencken, "Apa yang dinilai orang-orang di dunia ini bukanlah
hak, tetapi hak istimewa (manfaat)". Ini berlaku untuk banyak
kelompok dalam masyarakat dan cukup terlihat dalam
demokrasi. Dulu perempuan-perempuan, orang-orang kulit
hitam dan kaum homoseksual berjuang untuk kebebasan dan
keadilan, kini perwakilan mereka lebih sering menuntut hak
istimewa atau manfaat seperti kuota (misalkan dalam
persentase tertentu harus ada posisi manager untuk kaum
tersebut), hak istimewa untuk kaum minoritas (affirmative
action) dan hukum anti-diskriminasi yang membatasi
kebebasan berbicara. Semua ini disebut “hak” tetapi karena
hak-hak ini berlaku hanya untuk kelompok-kelompok tertentu,
hak-hak ini sebenarnya adalah hak istimewa yang hanya
dimiliki oleh kelompok terkait. Hak yang nyata, seperti hak
untuk memiliki kebebasan berbicara, berlaku untuk semua
orang. Keistimewaan hanya berlaku untuk kelompok tertentu
dan tergantung pada kekuatan yang mereka miliki karena
hanya hak ini hanya dapat diberikan melalui pemaksaan
kepada orang lain untuk membayarnya.

Taktik lain untuk mendapatkan bantuan atau hak istimewa dari


sistem demokrasi adalah dengan menyajikan misi Anda
sebagai sesuatu yang diperlukan untuk menyelamatkan
masyarakat dari beberapa jenis bencana. Jika kita tidak
menyelamatkan iklim, atau euro, atau bank, masyarakat akan
hancur, kekacauan terjadi dan jutaan orang akan menderita.
H.L. Mencken yang juga melihat tipu muslihat ini berkata,
"Dorongan untuk menyelamatkan umat manusia hampir selalu
menjadi sebuah alasan palsu bagi dorongan untuk
memerintah".

Perhatikanlah bahwa dalam demokrasi orang-orang tidak


harus memakai uang mereka sendiri untuk menanggung akibat

67
dari ide-ide mereka. Mereka dapat membela imigran ilegal jika
mereka tinggal di tempat di mana mereka tidak terganggu oleh
para imigran ini. Mereka bisa mendukung subsidi untuk
orkestra atau museum karena mereka sendiri tidak akan mau
membeli tiket yang mahal, karenanya lebih baik apabila biaya
subsidi ditanggung oleh orang lain.

Orang-orang seperti ini bahkan sering menampilkan sikap


moral yang superior (mereka pura-pura peduli tentang
masyarakat). Pendukung subsidi seni menyatakan, "Kami tidak
ingin melepaskan seni ke pasar bebas". Sebenarnya yang ia
maksudkan adalah ia tidak menginginkan itu dan bahwa dia
pikir seluruh masyarakat harus membayar biaya subsidi untuk
keinginannya itu.

'Kita' adalah kata yang paling disalahgunakan dalam


demokrasi. Pendukung sebuah kebijaksanaan politik selalu
mengatakan "kita menginginkan sesuatu," "kita harus
melakukan sesuatu", "kita membutuhkan sesuatu", "kita
memiliki hak". Seolah-olah semua orang secara alami setuju
dengannya. Sebenarnya yang mereka maksudkan adalah
bahwa mereka menginginkannya tetapi tidak ingin
bertanggung jawab sendiri. Orang akan mengatakan "kita harus
membantu Dunia Ketiga (negara miskin)" atau "kita harus
berjuang di Afghanistan". Mereka tidak pernah berkata, "Aku
akan membantu Dunia Ketiga, siapa yang mau ikut?" Atau
"Aku akan berperang melawan Taliban." Dengan demikian
demokrasi menyiapkan cara yang nyaman untuk mengalihkan
tanggung jawab pribadi kepada orang lain. Dengan
mengatakan 'Kita' daripada 'Saya' 99,999% dari beban sebuah
keputusan dipegang oleh orang lain.

Dan partai-partai politik siap untuk melayani panggilan ini.


Mereka (eksplisit atau implisit, terbuka atau tersembunyi)
menjanjikan pemilih-pemilih mereka bahwa beban dari tujuan
kesukaan mereka akan dipegang oleh seluruh rakyat. Jadi
kelompok sosialis mengatakan, "Pilihlah kami, kami akan
mengambil uang dari orang kaya dan memberikannya kepada
Anda." Kelompok nasionalis memberitahu orang-orang kalau

68
"Berikanlah suara Anda ke kita, biar kita bisa membiayai
perang di Afghanistan dengan uang dari orang-orang yang
menentangnya." Semua politikus mengatakan kepada para
petani, "Pilihlah kami, kami akan memastikan bahwa subsidi
pertanian akan dibayar oleh orang-orang yang bukan petani".

Apakah sistem ini merupakan sistem yang bersifat baik dan


solidaritas, atau sistem yang bersifat benalu dan anti-sosial?

Yang disebut ‘solidaritas’ dalam demokrasi pada akhirnya


didasarkan pada kekuatan dan paksaan. Tapi solidaritas yang
ditegakkan/dipaksa benar-benar sebuah kontradiksi. Solidaritas
untuk menjadi nyata membutuhkan tindakan sukarela. Anda
tidak bisa mengatakan bahwa seseorang yang dirampok di
jalanan menunjukkan solidaritas dengan perampoknya, tidak
peduli betapa mulianya motif sang perampok.

Faktanya adalah bahwa mereka yang menggunakan sistem


demokrasi untuk menegakkan solidaritas dapat melakukan hal
ini karena mereka tidak harus membayar untuk itu sendiri.
Perhatikanlah bahwa mereka tidak pernah menganjurkan
bahwa redistribusi kekayaan yang serupa harus dilakukan
dalam skala global. Jika berbagi dengan orang-orang yang
kurang beruntung adalah benar, mengapa tidak memperluas
kebijaksanaan politik ini ke seluruh dunia? Mengapa tidak
menciptakan keadilan sosial dalam skala global? Jelas, para
pendukung redistribusi menyadari bahwa redistribusi global
akan menurunkan pendapatan mereka menjadi beberapa ribu
dolar per tahun. Tapi tentu saja mereka tidak keberatan
'berbagi secara adil' dengan orang-orang yang lebih kaya.

Jika Anda ingin memberikan uang Anda ke orang lain, Anda


tidak perlu dukungan dari mayoritas untuk melakukannya.
Kebebasan sudah cukup. Anda bebas untuk membuka dompet
Anda dan memberikan apa yang Anda inginkan. Anda dapat
menyumbang untuk amal atau bertemu dengan orang-orang
yang berpikiran sama dan memberikannya bersama-sama.
Tidak ada pembenaran untuk memaksa orang lain untuk
melakukan hal yang sama.

69
Mitos 8: Demokrasi sangat diperlukan untuk rasa
kebersamaan masyarakat

Dalam sebuah demokrasi, setiap perbedaan pendapat akan


mengarah kepada sebuah perjuangan untuk mendapat
kekuasaan dan sumber daya, kelompok yang satu mendapat
keuntungan dengan mengorbankan kelompok lain. Semua
orang membuat tuntutan pada Negara dan Negara memaksa
orang lain untuk memenuhi tuntutan itu. Ini terjadi hampir
secara otomatis, karena negara memang adalah instrumen
kekuasaan yang beroperasi dengan paksaan.

Hasilnya rakyat menjadi manja, semakin banyak tuntutan


mereka kepada penguasanya dan mereka akan mengeluh jika
mereka tidak mendapatkan apa yang dimintanya. Pada saat
yang sama mereka tidak memiliki banyak pilihan selain untuk
terlibat di dalam sistem ini, karena jika mereka tidak ikut serta,
mereka akan diperas oleh penduduk lain yang terlibat di
dalamnya. Dengan cara ini sistem demokrasi merongrong
kemandirian rakyat dan kemampuan mereka untuk mencari
rejeki sendiri. Yang lebih parah lagi, sistem ini merusak
kesediaan orang untuk mau membantu orang lain, karena
mereka sudah terus-menerus dipaksa untuk 'membantu' orang
lain.

Kini mentalitas rakyat telah menjadi begitu 'didemokratisasi'


sehingga mereka bahkan tidak menyadari lagi betapa
antisosialnya tindakan dan ide-ide mereka sebenarnya. Kini
siapa saja yang ingin memulai sebuah klub olahraga, acara
budaya, pusat penitipan anak, sebuah organisasi lingkungan,
dan sebagainya, akan mencoba untuk mendapatkan beberapa
jenis subsidi dari pemerintah lokal atau nasional. Dengan kata
lain, mereka ingin orang lain untuk membiayai hobi mereka.
Ini sebenarnya juga masuk akal karena jika Anda tidak ikut
bermain game ini, Anda harus membayar untuk hobi orang
lain dan Anda tidak akan mendapatkan imbalan apapun.
Namun sistem ini hampir tidak ada hubungannya dengan ide
bahwa ‘masyarakat merupakan sebuah keluarga besar’ yang
sering dianggap sebagai bagian dari demokrasi. Lebih tepatnya

70
sistem ini menggambarkan perjuangan kelangsungan hidup
(‘survival of the fittest’) dalam kompetisi penjarahan pajak.

Demokrasi adalah sebuah organisasi yang keanggotaannya


wajib. Sedangkan sebuah komunitas yang sejati didasarkan
pada partisipasi yang sukarela.

Ludwig Erhard, mantan Kepala Pemerintahan Jerman dan


arsitek utama dari keajaiban ekonomi Jerman pascaperang,
mengakui masalah demokrasi ini. "Bagaimana kita bisa terus
memastikan kemajuan jika kita semakin mengadopsi gaya
hidup di mana tidak ada yang bersedia untuk bertanggung
jawab untuk diri mereka sendiri dan semua orang mencari
keselamatan dalam kolektivisme?" dia bertanya. "Jika kegilaan
ini terus berlanjut, masyarakat kita akan berubah menjadi
suatu sistem sosial di mana setiap orang menaruh tangannya di
saku orang lain."

Namun, ada yang akan bertanya, bukankah kita akan


kehilangan rasa persatuan nasional jika kita tidak memutuskan
segala sesuatu secara 'bersama-sama'? Tidak diragukan bahwa
negara adalah, dalam arti tertentu, sebuah komunitas. Tidak
ada yang salah dengan itu - bahkan itu bisa menjadi hal yang
baik. Memang kebanyakan orang bukanlah tipe penyendiri.
Mereka membutuhkan persahabatan dan mereka juga saling
membutuhkan karena alasan ekonomi.

Tapi pertanyaannya adalah: apakah demokrasi adalah hal yang


penting untuk perasaan persatuan ini? Sulit untuk mengiyakan
pertanyaan tersebut. Ketika Anda berbicara tentang sebuah
komunitas, Anda berbicara tentang adanya lebih dari satu
sistem politik. Rakyat berbagi satu sama lain, baik itu budaya,
bahasa dan sejarah. Setiap negara memiliki pahlawan nasional,
selebriti dan bintang olahraga, juga sastra, nilai-nilai budaya,
etos kerja dan gaya hidup. Semua ini tidak terkait dengan
sistem demokrasi. Semuanya sudah ada sebelum demokrasi

71
dan tidak ada alasan hal tersebut akan berhenti tanpa
demokrasi.

Tetap saja tidak ada negara yang memiliki budaya yang benar-
benar seragam. Dalam setiap negara ada perbedaan besar
antara para penduduknya. Ada banyak komunitas kedaerahan
dan etnis yang ikatan kebersamaannya kuat. Dan tidak ada
yang salah dengan hal tersebut. Dalam kerangka masyarakat
bebas semua struktur sosial dan komitmen yang ada dapat
hidup berdampingan. Titik utama yang harus disadari adalah
bahwa semua komunitas tersebut sukarela. Mereka tidak
didirikan dengan paksa oleh Negara, yang juga mustahil,
karena budaya-budaya dan komunitas-komunitas tersebut
adalah ‘entitas organik’ (yang muncul dengan sendirinya).
Komunitas sukarela tidak dapat dipertahankan dengan
kekuatan dan paksaaan dari pemerintah, dan mereka tidak
terkait dengan pemilu.

Perbedaaan komunitas-komunitas sosial ini dengan demokrasi


adalah bahwa demokrasi adalah sebuah organisasi yang
keanggotaannya wajib. Sedangkan sebuah komunitas yang
sejati didasarkan pada partisipasi yang sukarela. Komunitas itu
tentu saja dapat memiliki aturan 'demokratis’. Para anggota
klub tenis dapat memutuskan untuk memilih ketua mereka
dan seberapa tinggi biaya keanggotaannya, dan sebagainya.
Tidak ada yang salah dengan hal itu. Ini adalah asosiasi swasta
yang anggotanya bebas untuk bergabung atau tidak. Jika dia
tidak menyukai peraturan klub itu dia dapat bergabung
dengan klub lain atau memulai sebuah klub baru sendiri. Sifat
sukarela memastikan pengelolaan yang cenderung berjalan
dengan baik. Jika, misalkan, dewannya melakukan nepotisme
dan pilih kasih, banyak anggota yang akan meninggalkannya.
Namun dalam sistem demokrasi kita saat ini Anda tidak
memiliki pilihan untuk meninggalkan klub. Demokrasi adalah
wajib.

Kadang-kadang orang mengatakan "Love it or leave it" (cintai


atau tinggalkan) ketika mereka berbicara tentang negara
mereka. Itu menyiratkan bahwa negara adalah milik negara,

72
kepada kolektif, dan bahwa semua orang yang kebetulan
dilahirkan di dalamnya, didefinisikan, sebagai warga Negara.
Meskipun rakyat tidak pernah diberi pilihan.

Jika seseorang di Sisilia diperas oleh Mafia, tidak ada yang


mengatakan, "cintai atau tinggalkan.” Jika sebuah negara
memenjarakan seorang homoseksual, orang tidak akan
mengatakan, "mereka tidak memiliki alasan untuk mengeluh,
karena jika mereka tidak suka dengan aturannya mereka
harusnya pindah ke negara lain.” Sama seperti Sisilia yang
tidak seluruhnya dimiliki oleh Mafia, demikian pula AS (atau
negara apapun) tidak dimiliki oleh kaum mayoritas atau
pemerintah. Setiap orang memiliki kehidupannya sendiri dan
tidak harus melakukan apa yang diinginkan oleh mayoritas.
Semua orang berhak untuk melakukan apa yang mereka
inginkan dengan hidup mereka selama mereka tidak
merugikan orang lain melalui kekerasan, pencurian atau
penipuan. Sebagian besar dari hak yang seharusnya mereka
miliki ini ditolak oleh demokrasi parlementer nasional kita.

73
Mitos 9: Demokrasi sama dengan kebebasan dan toleransi

Salah satu mitos tentang demokrasi yang paling kuat adalah


bahwa demokrasi sama dengan 'kebebasan'. Untuk banyak
orang 'kebebasan dan demokrasi' merupakan satu pasangan
seperti bintang dan bulan. Namun, pada kenyataannya,
demokrasi adalah kebalikan dari kebebasan. Dalam demokrasi
setiap orang harus tunduk kepada keputusan pemerintah.
Kenyataan bahwa pemerintah dipilih oleh mayoritas tidaklah
penting. Pemaksaan adalah pemaksaan, apakah itu dilakukan
oleh mayoritas atau oleh penguasa tunggal.

Dalam demokrasi tidak seorangpun bisa lolos dari keputusan


yang diambil oleh pemerintah. Jika Anda tidak mematuhinya,
Anda akan didenda, dan jika Anda menolak untuk membayar
dendanya, Anda akan ditempatkan di penjara. Memang
sesederhana itu. Cobalah untuk tidak membayar tilang atau
pajak Anda. Dalam hal ini tidak ada perbedaan mendasar
antara demokrasi dan kediktatoran. Untuk seseorang seperti
Aristoteles, yang hidup pada saat demokrasi belum
dikeramatkan, hal ini sangat jelas. Dia menulis: "Demokrasi tak
terbatas sama saja dengan oligarki, tirani yang menjalar ke
sejumlah besar rakyat."

Kebebasan berarti bahwa Anda tidak harus melakukan apa


yang kaum mayoritas ingin Anda lakukan, tetapi bahwa Anda
dapat mengambil keputusan untuk diri sendiri. Sebagai ahli
ekonomi John T. Wenders pernah berkata, "Ada perbedaan
antara demokrasi dan kebebasan. Kebebasan tidak dapat
diukur dengan kesempatan untuk memilih politikus atau partai
politik. Kebebasan dapat diukur dengan ruang lingkup hal-hal
yang tidak kita putuskan secara kolektif dalam pemilu."

Ruang lingkup itu sangat terbatas dalam demokrasi. Demokrasi


tidak membawa kita kepada kebebasan, tetapi sebaliknya.
Pemerintah telah memberlakukan undang-undang yang tak
terhitung jumlahnya sehingga membuat banyak interaksi dan
hubungan sosial sukarela tidak mungkin. Penyewa dan tuan
tanah tidak bebas untuk membuat kontrak dengan cara yang

74
mereka inginkan, pengusaha dan karyawan tidak bebas untuk
menyetujui upah dan kondisi kerja yang mereka inginkan,
dokter dan pasien tidak diperbolehkan untuk bebas
memutuskan perawatan atau obat-obatan apa yang akan
mereka gunakan, sekolah tidak bebas untuk mengajarkan apa
yang mereka inginkan, warga tidak diperbolehkan untuk
'mendiskriminasi' (memilih apa atau siapa yang mereka suka),
bisnis tidak diperbolehkan untuk memperkerjakan siapa saja
yang mereka inginkan, orang tidak bebas untuk mengambil
profesi apa saja yang mereka inginkan, di banyak negara partai
politik harus memberi kesempatan kandidat perempuan
mencalonkan diri untuk memiliki jabatan, lembaga pendidikan
harus tunduk pada kuota rasial, dll. Semua ini tak ada
hubungannya dengan kebebasan. Mengapa orang tidak
memiliki hak untuk membuat jenis kontrak apa aja atau
perjanjian apa aja yang mereka inginkan? Mengapa orang yang
tidak punya urusan memiliki suara dalam perjanjian dimana
mereka tidak ikut serta di dalamnya?

Hukum yang mengganggu kebebasan orang untuk terlibat di


dalam perjanjian sukarela, mungkin dapat menguntungkan
kelompok tertentu, tetapi tanpa kecuali merugikan pihak lain.
Undang-undang upah minimum menguntungkan pekerja
tertentu, tetapi undang-undang itu merugikan orang-orang
yang kurang produktif, karena untuk bisa mengikuti upah
minimum yang tidak sebanding dengan produktivitas, mereka
akan menjadi terlalu mahal untuk bisa dipekerjakan dan
akhirnya mereka akan menjadi pengganguran.

Demikian juga, hukum yang melindungi orang agar tidak


mudah dipecat mungkin bermanfaat bagi beberapa orang,
tetapi hukum itu menghalangi pemilik perusahaan untuk
mempekerjakan orang-orang baru. Semakin kaku dan
kerasnya undang-undang perburuhan, semakin para
pengusaha takut menjadi terjebak dengan pekerja-pekerja
yang tidak bisa disingkirkan ketika bisnisnya mengharuskannya
untuk melakukannya. Hasilnya adalah para pengusaha
mempekerjakan pegawai dengan jumlah sesedikit mungkin,
bahkan ketika keadaan ekonomi sedang baik. Sekali lagi, efek

75
ini cenderung merugikan orang berketerampilan rendah pada
khususnya. Tingkat pengangguran yang tinggi mengakibatkan
orang-orang yang memiliki pekerjaan takut untuk mengubah
jalur karirnya.

Sama halnya, hukum pembatasan harga sewa menguntungkan


penyewa lama, tetapi menghalangi pemilik rumah untuk
menyewakan ruang perumahan, dan mencegah investor untuk
mengembangkan proyek perumahan. Dengan demikian
undang-undang ini menyebabkan kelangkaan perumahan dan
menaikkan harga sewa. Akibatnya orang-orang yang mencari
tempat tinggal baru dirugikan.

Atau lihatlah undang-undang yang menentukan standar


minimum untuk produk dan jasa. Bukankah mereka
menguntungkan semua orang? Tidak juga. Kelemahan dari
undang-undang ini adalah bahwa mereka membatasi pasokan,
mengurangi pilihan konsumen dan menaikkan harga (jadi,
sekali lagi, mereka terutama merugikan kaum miskin).
Misalnya, undang-undang yang mewajibkan standar
keselamatan dan keamanan untuk mobil berakibat kenaikan
harga yang membuat mobil menjadi diluar jangkauan
kelompok berpenghasilan terendah, yang terampas haknya
untuk mengambil keputusan sehingga mereka menanggung
sendirinya apabila mereka ingin membeli mobil yang murah.

Untuk melihat mengapa peraturan yang bersifat ‘melindungi'


seperti itu memiliki kelemahan yang serius, bayangkanlah
apabila pemerintah melarang penjualan mobil apapun yang
kualitasnya di bawah Mercedes Benz. Bukankah itu akan
memastikan bahwa kita semua akan mengendarai mobil yang
terbaik dan paling aman? Tapi tentu saja hanya orang yang
mampu membeli Mercedes Benz-lah yang masih akan
memiliki mobil. Atau bertanyalah pada diri anda sendiri:
mengapa pemerintah tidak menaikan upah minimum hingga
tiga kali lipat? Bukannya kita semua akan mendapat lebih
banyak uang?! Hanyalah orang-orang yang tetap akan
memiliki pekerjaan. Yang lainnya, tidak. Pemerintah tidak

76
dapat melakukan keajaiban dengan hukum-hukumnya,
sekalipun banyak orang yang berpikir begitu.

Dalam demokrasi Anda tidak hanya harus melakukan apa yang


pemerintah inginkan, untuk semua hal yang Anda ingin
lakukan Anda perlu izin dari negara. Dalam prakteknya
individu masih diberikan kebebasan yang cukup banyak,
namun penekanannya adalah pada kata ‘diperbolehkan’.
Semua kebebasan yang kita miliki dalam sebuah negara
demokratis diberikan oleh Negara, dan dapat diambil dari kita
setiap saat.

Meskipun tidak ada orang yang meminta izin dari pemerintah


sebelum minum bir, persetujuan ini tetap diperlukan secara
implisit. Pemerintah kita yang dipilih secara demokratis bisa
menetapkan larangan minum bir apabila ia menginginkannya.
Bahkan, ini memang terjadi di Amerika Serikat pada masa
Larangan (“prohibition”). Kini di AS Anda harus berumur 21
tahun untuk diperbolehkan mengkonsumsi bir.

Negara demokratis lain memiliki aturan serupa. Di Swedia


Anda hanya boleh membeli minuman keras di toko milik
negara. Di banyak negara dan propinsi prostitusi terlarang
secara hukum. Warga Norwegia bahkan tidak diizinkan untuk
'membeli seks' di luar Norwegia. Di Belanda Anda perlu izin
dari pemerintah untuk membangun gudang atau mengubah
tampilan rumah Anda. Jelas ini semua merupakan contoh
kediktatoran, bukan kebebasan.

Kadang-kadang dibalas bahwa dalam demokrasi Barat


mayoritas tidak bisa melakukan apa pun yang diinginkan
mereka atau bahkan bahwa demokrasi pada kenyataannya
biasanya melindungi 'hak-hak minoritas'. Itu adalah sebuah
mitos. Adalah benar kalau memang ada beberapa kaum
minoritas yang menikmati 'perlindungan' khusus oleh Negara,
seperti kelompok feminis, kaum gay dan etnis minoritas.
Minoritas lain, seperti orang Meksiko, perokok, pengguna
narkoba, pengusaha, penghuni liar, penganut agama Kristen
tidak bisa mengandalkan perlakuan istimewa tersebut.

77
Popularitas beberapa kaum minoritas lebih berkaitan dengan
fashion/trend (gaya) daripada dengan demokrasi.

"Ada perbedaan antara demokrasi dan kebebasan. Kebebasan


tidak dapat diukur dengan kesempatan untuk memilih. Hal ini
dapat diukur dengan ruang lingkup hal-hal yang tidak kita
putuskan secara kolektif dalam pemilu." John T. Wenders

Dalam demokrasi beberapa kaum minoritas tidak diganggu


atau diberikan hak-hak yang istimewa, semuanya berdasarkan
pada alasan yang berbeda. Beberapa kaum minoritas sangat
terang-terangan dan segera berdemo di jalan ketika 'hak-hak'
mereka (yang istimewa) terancam, misalnya pegawai negeri
tertentu (seperti guru-guru sekolah atau polisi), atau serikat
pekerja, atau para petani di Perancis. Yang lainnya
diperlakukan dengan hati-hati karena mereka diduga akan
bereaksi secara agresif ketika mereka dipaksa mematuhi
aturan, seperti pengemar sepakbola, atau geng etnik/religius
(di Indonesia misalnya FPI), atau aktivis pencinta lingkungan
(misalnya dari Greenpeace). Jika kaum perokok, yang dulunya
mayoritas, menanggapi secara keras penindasan atas
kebebasan mereka, banyak hukum anti-merokok mungkin
tidak dibuat.

Intinya adalah: tidak ada hal apapun di dalam sistem


demokrasi atau dalam prinsip demokrasi yang menjamin hak-
hak kaum minoritas. Prinsip dasar demokrasi justru di mana
minoritas tidak memiliki hak-hak asasi. Parlemen atau Kongres
dapat mengadopsi hukum apa aja yang mereka inginkan tanpa
harus memperhatikan kaum minoritas. Dan mode/trend
berubah. Minoritas yang diuntungkan hari ini dapat menjadi
kambing hitam di keesokan harinya.

Tapi bukankah demokrasi memiliki UUD untuk melindungi


kita terhadap undang-undang tirani oleh mayoritas? Sampai
tingkat tertentu adalah benar. Tetapi perhatikan bahwa
misalnya UUD AS diadopsi sebelum AS menjadi demokrasi.

78
Dan UUD/Konstitusi AS dan UUD Indonesia dapat diubah
oleh sistem demokrasi dengan cara apapun yang diinginkan
mayoritas – dan itu sudah sering terjadi juga. Larangan di AS
disetujui oleh Amandemen (perubahan) UUD AS. Sama
dengan pajak penghasilan. Keberadaan Amandemen
UUD/Konstitusi menunjukkan bahwa UUD tunduk pada
kendali demokratis, yaitu aturan mayoritas. UUD AS asli juga
tidak sempurna: dia memungkinkan perbudakan.

Negara-negara demokratis lainnya bahkan memiliki UUD yang


kurang melindungi kebebasan individu dibandingkan dengan
UUD AS. Di bawah UUD Belanda, negara harus menyediakan
pekerjaan, perumahan, mata pencaharian masyarakat,
perawatan kesehatan, redistribusi kekayaan, dan sebagainya.
UUD ini lebih mirip seperti sebuah program kampanye partai
politik yang ‘sosial-demokratik’ (yang mendukung redistribusi
dan tidak percaya pada kebebasan ekonomi) daripada
manifesto kebebasan individu. Uni Eropa memiliki UUD yang
mengatakan “Kami akan bekerja untuk pembangunan
berkelanjutan Eropa didasarkan pada pertumbuhan ekonomi
yang seimbang dan stabilitas harga, ekonomi pasar sosial yang
sangat kompetitif, menuju kesempatan kerja yang cukup dan
kemajuan sosial, dan perlindungan tingkat tinggi dan
perbaikan kualitas lingkungan.” Ini dan artikel lainnya dalam
dokumen itu memberikan banyak kelonggaran bagi otoritas
Uni Eropa untuk mengatur urusan rakyat. Sebenarnya,
penduduk Perancis dan Belanda melawan UUD UE di dalam
sebuah referendum, tapi UUD UE tetap aja diresmikan.

Sering dikatakan kalau demokrasi adalah selaras dengan


kebebasan berbicara, tapi sekali lagi ini adalah sebuah mitos.
Tidak ada satu hal pun dalam gagasan demokrasi yang
mendukung kebebasan berbicara, seperti yang ditemukan oleh
Socrates. Negara demokratis memiliki banyak jenis aturan yang
membatasi kebebasan berbicara. Misalnya, di Belanda
menghina ratu adalah terlarang.

Di Amerika Serikat, Amandemen Pertama UUD menjamin


kebebasan berbicara, tapi “dengan pengecualian pada

79
kecabulan, pencemaran nama baik, hasutan untuk kerusuhan,
dan pidato yang menyebarkan kebencian dan kekerasan, serta
intimidasi, komunikasi yang bersifat rahasia, rahasia dagang,
hal-hal bersifat rahasia, hak cipta, paten, saluran militer, pidato
komersial seperti iklan, dan pembatasan waktu, tempat dan
cara.” Ini adalah pengecualian yang cukup banyak.

Yang harus diperhatikan, meskipun itu adalah UUD AS -


kebebasan berbicara yang terkait dengannya diadopsi sebelum
munculnya demokrasi. Alasan mengapa rakyat di dalam
demokrasi menikmati sejumlah kebebasan bukan kerena
demokrasinya tetapi karena negara-negara demokratis
memiliki tradisi liberal-klasik atau libertarian yang muncul di
abad 17 dan 18 sebelum mereka menjadi demokratis. Banyak
orang di negara-negara tersebut tidak ingin menyerahkan
kebebasan-kebebasan mereka, meskipun semangat kebebasan
terus-menerus terkikis oleh gairah campur tangan demokrasi.

Di bagian dunia yang lainnya orang-orang kurang melekat


pada rasa kebebasan pribadi. Banyak negara demokrasi yang
tidak berada di bagian Barat dari dunia ini yang menunjukkan
rasa hormat yang sangat sedikit untuk kebebasan individu. Di
negara-negara Islam yang demokratis seperti Pakistan
perempuan memiliki sedikit kebebasan dan juga tidak ada
kebebasan berbicara atau kebebasan beragama. Di negara-
negara tersebut, demokrasi merupakan pembenaran atas
penindasan. Jika demokrasi diadopsi oleh monarki absolut
seperti Dubai, Qatar atau Kuwait, kemungkinan besar
kebebasan malah akan menurun. Orang-orang Palestina di
Jalur Gaza secara demokratis memilih kaum fundamentalis
Hamas yang tidak terlalu mencintai kebebasan (ini adalah hasil
pemilu yang kemudian, ironisnya, tidak diterima oleh AS dan
pemerintahan demokratis Barat lainnya).

80
Mitos 10 - Demokrasi mempromosikan perdamaian dan
membantu memerangi korupsi

Dalam politik internasional, negara-negara demokrasi hampir


secara otomatis dianggap sebagai pihak yang baik dan negara-
negara lainnya adalah jahat. Bukankah demokrasi cinta damai?
Kurang tepat sebenarnya, demokrasi seringkali menunjukkan
jati dirinya yang cukup gila perang. Amerika Serikat, negara
demokrasi yang paling kuat di dunia, memulai puluhan
perang. Pemerintah Amerika melakukan banyak kudeta,
menumbangkan pemerintahan, mendukung diktator-diktator
(Mobutu, Soeharto, Pinochet, Marcos, Somoza, Batista, Shah
Iran, Saddam Hussein, dan sebagainya) dan menjatuhkan bom
terhadap warga sipil yang tak berdaya. Bahkan bom atom. Saat
ini, AS memiliki pasukan di lebih dari 700 pangkalan militer di
lebih dari 100 negara dan menghabiskan dana untuk
'pertahanan' yang sama besarnya dengan bila seluruh negara-
negara lain di dunia ini dijadikan satu.

Inggris yang demokratis membuat kamp konsentrasi (di Afrika


Selatan) dan merupakan yang pertama menindas oposisi
nasionalis di koloni melalui pengeboman udara yang
menghancurkan seluruh desa (di Irak pada tahun 1920).
Kerajaan Inggris yang demokratis menekan banyak
pemberontakan kemerdekaan di wilayah jajahannya, seperti di
Afghanistan, India dan Kenya. Setelah dibebaskan oleh Sekutu
dari Jerman Nazi, Belanda yang demokratis mengobarkan
perang di Indonesia terhadap orang-orang yang ingin
merdeka. Perancis melakukan hal yang sama di Indocina.
Negara-negara demokratis seperti Belgia dan Perancis telah
terlibat dalam banyak perang kotor di Afrika (misalnya Kongo
Belgia dan Aljazair). Kini Amerika Serikat masih berperang di
Irak dan Afghanistan yang disertai dengan penyiksaan dan
ribuan korban yang tidak bersalah.

Sebuah variasi dari mitos ini menyatakan bahwa sesama


demokrasi tidak saling berperang. Mantan Perdana Menteri
Inggris Margaret Thatcher mengatakan ini selama
kunjungannya ke Cekoslowakia pada tahun 1990 ("sesama

81
demokrasi tidak saling berperang") dan Bill Clinton
mengatakan hal serupa dalam pidatonya kepada Kongres AS
pada tahun 1994 ("sesama demokrasi tidak saling menyerang").
ini berarti bahwa semua perang yang telah dilakukan oleh
demokrasi adalah adil karena perang-perang tersebut tidak
ditujukan kepada demokrasi lainnya, dan juga berarti bahwa,
jika seluruh dunia adalah demokratis, tidak akan ada perang
lagi.

Memang benar bahwa sejak Perang Dunia II sejumlah besar


negara 'Barat' - yang kebetulan memang 'demokrasi' - telah
bersatu dalam NATO dan saling berdamai. Tapi keadaan ini
tidak berhubungan dengan demokrasi atau menyatakan
bahwa secara historis sesama demokasi telah saling berdamai.

Pada zaman Yunani kuno negara-kota yang demokratis sering


saling berperang. Pada tahun 1898, AS berperang dengan
Spanyol. Perang Dunia Pertama dilancarkan terhadap Jerman
yang tidak kurang demokratisnya dibandingkan Inggris atau
Perancis. India yang demokratis dan Pakistan yang demokratis
berperang beberapa kali sejak tahun 1947. Amerika Serikat

82
telah mendukung kudeta anti-demokrasi terhadap pemerintah
yang terpilih secara demokratis di Iran, Guatemala dan Chile.
Israel telah melancarkan perang melawan negara-negara
demokratis seperti Lebanon dan Jalur Gaza. Rusia yang
demokratis baru-baru terlibat dalam pertempuran dengan
Georgia yang demokratis.

Alasan kenapa demokrasi-demokrasi Barat modern tidak saling


berperang setelah Perang Dunia II terkait dengan keadaan
sejarah yang sangat spesifik dan sulit untuk disamaratakan.
Alasan yang paling penting adalah bahwa mereka bersatu
dalam aliansi militer NATO.

'Hak-hak' demokrasi berdampingan dengan kewajiban


demokratis. Anda diberikan hak suara dalam pemilu dan karena
itu Anda diwajibkan untuk memperjuangkan pertahanan negara
Anda.

Ada juga ‘hukum’ atau ‘kepercayaan’ kalau tidak akan pernah


terjadi perang di antara dua negara di mana ada restoran
McDonald’s. Keadaan yang sepertinya memang benar adanya
sampai ketika terjadi peristiwa pemboman Serbia oleh NATO
pada tahun 1999 (kemudian contoh lainnya adalah invasi
Lebanon oleh Israel dan konflik antara Rusia dan Georgia).
Tapi ‘kepercayaan’ itu tidak lebih berarti dari pernyataan
Clinton dan Thatcher.

Bahkan bisa dikatakan bahwa demokrasi telah menyebabkan


semakin bertambahnya peperangan. Sebelum demokrasi
menjadi populer, sampai abad ke-18, raja-raja berperang
dengan tentara bayaran. Tidak ada wajib militer dan rakyat
tidak harus berperang atau membenci bangsa-bangsa lain.

Dengan kemunculan negara-negara demokrasi-nasionalis


keadaan ini berubah. Di semua negara demokrasi,
diperkenalkan wajib militer umum, dimulai di Perancis dengan
Revolusi Perancis. Seluruh penduduk dikerahkan untuk

83
berperang melawan orang-orang dari negara lain. Para anggota
wajib militer dengan mudah dapat digunakan sebagai umpan
meriam, karena mereka bisa digantikan oleh anggota wajib
militer yang baru.

Mungkin tidak adil kalau demokrasi disamakan dengan


nasionalisme, tetapi kedua ideologi ini menjadi populer secara
bersamaan karena ada alasannya. Demokrasi berarti
pemerintahan oleh 'rakyat'. Gagasan ini tentu memiliki
kecenderungan nasionalistik. 'Hak-hak' demokrasi
berdampingan dengan kewajiban demokratis. Anda diberikan
hak suara dalam pemilu dan karena itu Anda diwajibkan untuk
memperjuangkan pertahanan negara Anda.

Jangan lupa bahwa bencana Perang Dunia Pertama - yang


membuka jalan bagi negara-negara totaliter abad ke-20 dan
Perang Dunia Kedua - sebagian besar dilancarkan oleh negara-
negara demokratis atau semi-demokratis. Perang Dunia
Pertama terjadi di Eropa setelah demokrasi-nasionalisme
mengalahkan pemikiran liberal klasik.

Hal serupa terjadi di Amerika Serikat, dorongan untuk perang


berasal dari kaum demokrat progresif, yang mulai
mendominasi opini publik pada akhir abad ke-19. Amerika
Serikat berpartisipasi dalam Perang Dunia Pertama di bawah
slogan terkenal Presiden Wilson "untuk membuat dunia aman
bagi demokrasi". Jika rakyat Amerika tetap setia pada prinsip-
prinsip pendiri mereka yang libertarian 'isolasionis' (tidak ikut
campur), AS tidak akan turut serta dalam Perang Dunia
Pertama. Kemudian, perang tersebut mungkin akan berakhir
tanpa kesimpulan yang jelas. Kalau ini terjadi, Sekutu tidak
akan mampu memaksa Perjanjian Versailles yang fatal kepada
Jerman, Hitler mungkin tidak akan pernah sukses
memenangkan pemilu sehingga Perang Dunia II dan Holocaust
mungkin tidak pernah terjadi.

Demokrasi juga tidak menyebabkan lebih banyaknya


'transparansi' atau akuntabilitas secara otomatis, seperti yang
sering dikatakan. Memang, fakta bahwa para politisi

84
membutuhkan suara untuk terpilih mendukung terjadinya
korupsi. Mereka harus melakukan sesuatu untuk konstituen
(pemilih) agar mereka dapat memenangkan suaranya. Korupsi
seperti ini sangat luas terjadi di Amerika Serikat, negara politik
“pork barrel” (‘membeli’ suara-suara pemilih dengan proyek-
proyek). Politisi Amerika jarang ragu-ragu untuk memenangkan
dana pemerintah sentral atau proyek untuk propinsi atau
kabupaten mereka. Politisi Amerika juga cenderung menjadi
pion dari organisasi lobi yang kuat, yang membayar biaya
kampanye pemilu mereka yang mahal. 'Pintu-pintu berputar'
di Washington telah menjadi sangat terkenal: orang-orang
yang berpengaruh beralih dari politik ke bisnis (atau militer)
dan kembali lagi tanpa ada rasa penyesalan.

Negara-negara demokratis lainnya menampilkan jenis-jenis


korupsi yang sama. Di negara berkembang, demokrasi hampir
selalu berjalan beriringan dengan korupsi. Hal yang sama
berlaku untuk negara-negara seperti Rusia, Italia, Perancis dan
Yunani. Korupsi hampir tak terelakkan di mana pun negara
memiliki banyak kekuasaan, apapun sistem politiknya, dan
yang pasti demokrasi termasuk kedalamnya.

85
Mitos 11 - Orang-orang mendapatkan apa yang mereka
inginkan dalam demokrasi

Ide dasar dibalik demokrasi adalah bahwa rakyat


mendapatkan apa yang mereka inginkan. Atau setidaknya, apa
yang diinginkan mayoritas. Dengan kata lain, kita mungkin
mengeluh tentang hasil dari sistem demokrasi kita, tapi pada
akhirnya apa yang kita miliki sekarang adalah yang kita
inginkan, karena kita memilih itu secara demokratis.

Kedengarannya bagus dalam teori, namun kenyataannya


berbeda. Misalnya, kita dapat mengasumsikan bahwa setiap
orang mendukung pendidikan yang lebih baik. Namun kita
tidak mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Malah yang
kita dapatkan adalah guru yang dilecehkan, kekerasan di
sekolah, sekolah sebagai pabrik pembelajaran, siswa yang
tidak mampu lagi membaca, menulis dan berhitung. Tapi
bukan pendidikan yang lebih baik.

Bagaimana ini bisa terjadi? Bukanlah karena kurangnya


demokrasi, sebaliknya, itu adalah hasil dari cara kerja sistem
demokrasi. Kenyataan bahwa pendidikan dikelola melalui
sistem demokrasi berarti bahwa politisi dan birokrat mendikte
aturan pendidikan dan seberapa banyak uang dihabiskan
untuknya. Ini berarti bahwa peran orang tua, guru dan siswa
untuk memilih sendiri diminimalkan. Intervensi/campur tangan
negara berarti bahwa sekolah dan universitas dibanjiri dengan
rencana-rencana, persyaratan, aturan dan peraturan dari
Departemen Pendidikan. Birokratisasi ini membuat pendidikan
tidak lebih baik tapi lebih buruk.

Dalam arti tertentu, pasar bebas lebih 'demokratis' daripada


demokrasi itu sendiri karena warga dapat membuat pilihan
mereka sendiri daripada pemerintah memilihkan untuk mereka.

Ketika rakyat kemudian mengeluh tentang kualitas pendidikan,


politisi merespon dengan menerapkan bahkan lebih banyak

86
peraturan. Apa lagi yang mereka bisa lakukan? Ide bahwa
mereka harus mengakhiri campur tangan mereka, tidak masuk
dalam pikiran politisi dan birokrat. Jika mereka berhenti ikut
campur, mereka secara implisit mengakui bahwa mereka tidak
diperlukan atau bahkan kontraproduktif, yang tentu saja tidak
akan pernah mereka lakukan. Tindakan ini tidak sesuai dengan
kepentingan mereka.

Peraturan baru ini membuat masalahnya lebih buruk karena


mereka lebih membatasi peran siswa, orang tua dan guru.
Mereka juga menyebabkan lebih banyak birokrasi dan sering
membuat insentif yang sesat. Misalnya, di Belanda sekolah-
sekolah diperlukan oleh birokrat untuk mengajar jumlah
minimum jam, seolah-olah untuk menjamin kualitas
pendidikan. Tapi ini tidak mengatasi kekurangan guru sekolah,
sehingga sekolah-sekolah digiring untuk memaksa siswa-siswa
duduk di kelas tanpa melakukan apa-apa selama berjam-jam.
Maka tidak mengherankan bila pemerintah akan mencoba
untuk mengelola berdasarkan data angka. Satu-satunya yang
dapat diukur dari kejauhan adalah kuantitas. Kualitas terlihat
hanya oleh yang terlibat langsung.

Sistem demokrasi dapat dibandingkan dengan pabrik-pabrik


negara di bekas Uni Soviet. Mereka dikontrol dan dikelola
pusat atas dasar angka. Meskipun (atau lebih tepatnya karena)
mereka mendapat semua perhatian dari Negara, kualitas
produksi buruk. Tidak ada mobil komunis yang bisa bersaing
dengan mobil perusahaan pribadi. Ini karena produksi
dikendalikan oleh birokrat, bukan konsumen. Bagaimana
birokrat bisa tahu apa yang konsumen inginkan? Dan birokrat
punya insentif apa untuk memperbaiki diri?

Perencanaan sentral di Uni Soviet hampir tidak menyebabkan


inovasi teknologi atau budaya. Berapa banyak penemuan yang
dibuat di negara-negara komunis? Kualitas dan inovasi adalah
hasil dari persaingan dan pilihan, bukan dari kontrol pusat dan
pemaksaan negara. Jika perusahaan swasta ingin bertahan
hidup, dia harus bersaing melalui penurunan harga mereka
sebanyak mungkin, atau melalui inovasi atau kualitas yang

87
lebih baik atau layanan yang lebih baik. Badan usaha milik
negara (BUMN) tidak memiliki insentif seperti itu, karena
mereka didukung oleh uang pemerintah.

Karena sistem pendidikan kita (sebagian) diselenggarakan


melalui sistem demokrasi, sistem itu adalah (sejauh itu) produk
negara, sehingga mirip dengan pabrik milik negara di Uni
Soviet. Kebetulan, contoh ini menunjukkan bagaimana
demokrasi pasti akan mengarah ke sosialisme. Pasar bebas
tidak berfungsi melalui proses demokratis. Namun dalam arti
tertentu, pasar bebas lebih 'demokratis' daripada demokrasi
sendiri karena warga dapat membuat pilihan mereka sendiri
daripada pemerintah memilihkan untuk mereka.

Apa yang berlaku untuk pendidikan juga berlaku untuk sektor-


sektor lain yang dikendalikan secara demokratis, seperti
perawatan kesehatan dan pengendalian kejahatan.
Kebanyakan orang menginginkan perlindungan yang lebih baik
dari kejahatan. Namun demokrasi tidak memberikan apa yang
rakyat inginkan. Rakyat memilih politisi yang berjanji untuk
memerangi kejahatan, tapi hasilnya biasanya malah lebih
banyak ketidakamanan dan kejahatan, bukannya kurang.

Politisi selalu menawarkan solusi yang sama: Beri kami lebih


banyak uang dan lebih banyak kekuatan dan kami akan
mengatasi masalahnya.

Di Belanda, kejahatan per orang meningkat enam kali antara


1961 dan 2001 dan setiap tahun 700.000 tindak pidana yang
dilaporkan tetap tidak diselidiki. Dalam banyak kasus
(setidaknya 100.000), polisi mengetahui pelaku, tetapi mereka
tidak menindaklanjuti kasus tersebut karena mereka tidak
memiliki waktu atau tidak peduli. Petugas polisi harus
menghabiskan sebagian besar waktu mereka pada pekerjaan
di atas kertas. Namun, mereka masih ada waktu untuk
menutup perkebunan ganja dan mendenda orang karena
pelanggaran lalu lintas ringan.

88
Kinerja buruk polisi merupakan akibat langsung dari
pengendalian kinerja itu secara demokratis. Polisi telah diberi
hak monopoli dalam penegakan hukum. Semua orang
memahami bahwa jika ExxonMobil diberi hak monopoli di
pasar minyak, harga bensin akan naik dan kualitas layanannya
akan menurun. Hal yang sama berlaku untuk polisi. Polisi
adalah sebuah organisasi yang menerima lebih banyak uang
kalau jumlah penjahat yang ditangkap turun. Jika polisi
berhasil dalam pengurangan kejahatan anggaran mereka akan
dipotong dan polisi akan kehilangan pekerjaan mereka. Hal
yang sama berlaku untuk semua organisasi pemerintah. Anda
bahkan tidak bisa menyalahkan orang-orang yang bekerja
dalam sistem ini. Hanya yang paling rajin dan paling bermoral
akan berperilaku berbeda, mengingat insentif negatif dari
sistemnya.

Meskipun polisi tidak pandai menangkap penjahat, mereka


sangat terampil dengan satu hal: mengisi formulir. Siapa pun
yang pernah melaporkan kejahatan bisa bersaksi untuk ini.
Anda tidak bisa menyalahkan mereka - mereka terus-menerus
dibanjiri dengan aturan baru yang harus mereka patuhi. Di
Belanda, dari 7000 petugas polisi tambahan yang mulai
bekerja antara tahun 2005 dan 2009, hanya 127 akhirnya
yang aktif di jalan melakukan pekerjaan mereka. Menurut
polisi, ini adalah hasil dari beban kerja birokrasi besar yang
diciptakan oleh peraturan pemerintah.

Keadaan ini menjadi lebih buruk, polisi mendapat semakin


banyak - bukan semakin sedikit - kekuatan. Hal ini terutama
berlaku di AS, setelah serangan 9/11, di mana organisasi
penegakan hukum telah diberi kekuasaan makin besar--
meskipun ini masih disangsikan--, seperti pemeriksaan badan
di bandara untuk mencegah kejahatan, hak penyadapan
telepon, menyiksa tersangka teroris dan mengabaikan
perlindungan hukum warga negara yang dulu dianggap hal
yang lumrah, seperti surat perintah penangkapan atau
pelepasan dari penangkapan yang melanggar hukum.

89
Kenyataan bahwa pendidikan dikelola melalui sistem
demokrasi berarti bahwa politisi dan birokrat mendikte aturan
pendidikan dan berapa banyak uang dihabiskan untuk itu.

Apakah ada pilihan bagi kita selain mendapat keamanan top-


down yang dipaksakan pada kita? Tentu saja. Pilihannya
adalah bahwa individu, bisnis, lingkungan dan kota
mendapatkan kesempatan lebih besar mengontrol keamanan
mereka sendiri. Monopoli polisi harus diganti dengan
persaingan di antara perusahaan keamanan swasta.
Seharusnya rakyat tidak dipaksa lagi untuk membayar pajak
untuk polisi pemerintah dan diperbolehkan untuk menyewa
perusahaan keamanan swasta. Ini akan menurunkan harga dan
meningkatkan kualitas. Bahkan sekarang, sektor keamanan
swasta tumbuh pesat karena rakyat semakin menyadari bahwa
mereka tidak bisa mengandalkan polisi untuk
perlindungannya.

Apa yang berlaku untuk pendidikan dan polisi, juga berlaku


untuk sektor 'publik' lain, seperti perawatan kesehatan. Sekali
lagi, di bidang ini kontrol demokratis menyebabkan kualitas
yang rendah dan biaya yang tinggi. Kita hanya bisa
membayangkan inovasi yang akan terjadi dalam perawatan
kesehatan jika itu benar-benar menjadi bagian dari pasar
bebas.

Faktanya adalah bahwa rakyat biasanya tidak mendapatkan


apa yang mereka inginkan dalam demokrasi. Prinsip
demokrasi ‘satu ukuran cocok untuk semua’ mengarah ke
sentralisasi, birokrasi dan monopoli (semua ini karakteristik
sosialisme). Ini pasti akan mengarah pada kualitas yang buruk
dan biaya yang tinggi.

Jika Anda perlu bukti bahwa demokrasi tidak memenuhi


janjinya, anggaplah bahwa pada setiap pemilu, politisi
mengakui bahwa pemerintah telah membuat kekacauan.
Setiap kali mereka berjanji akan mengubah segalanya -
pendidikan, keselamatan, kesehatan, dan sebagainya -
menjadi lebih baik. Tapi mereka selalu menawarkan solusi

90
yang sama: Beri kami lebih banyak uang dan lebih banyak
kekuatan dan kami akan memperbaiki masalahnya. Hal ini
tidak pernah terjadi, tentu saja, karena masalah ini disebabkan
oleh uang dan kekuasaan para politisi yang sama.

91
Mitos 12: Kita semua demokrat

Jika demokrasi gagal untuk memberikan apa yang benar-benar


diinginkan orang, bagaimana mungkin masih banyak orang
yang mendukungnya? Karena bukankah setiap warga negara
yang otaknya sehat adalah seorang demokrat, meskipun dia
kadang-kadang mungkin mengeluh tentang pemerintah?

Nah, hal yang terakhir ini bisa didiskusikan. Apakah orang


benar-benar mempercayai sesuatu, tidak tergantung pada apa
yang dikatakan orang, tetapi pada apa yang dilakukan orang
ketika dia memiliki kebebasan memilih. Jika seseorang dipaksa
untuk makan ayam setiap hari dan dia bilang dia suka makan
ayam, itu tidak begitu meyakinkan. Ini hanya dipercaya jika ia
bebas untuk tidak makan ayam. Hal yang sama berlaku untuk
demokrasi. Demokrasi adalah wajib. Setiap orang harus
berpartisipasi di dalamnya. Individu, kota, ibu kota,
kabupaten, propinsi mereka semua harus menyerahkan
dirinya dan tidak ada yang bisa 'memisahkan diri'. Apakah
orang akan pindah ke kota lain, 20 kilometer jauhnya, jika
pajak di sana lebih rendah dan birokrasinya kurang
mengganggu, meskipun jika mereka tidak diizinkan untuk ikut
serta pada pemilu di sana? Sepertinya banyak yang akan
pindah. Banyak orang sudah bermigrasi ke tempat yang lebih
menguntungkan dan pindah ke daerah makmur di dunia di
mana hanya ada sedikit demokrasi atau tidak ada demokrasi
(misalnya Singapur).

Seseorang dalam sistem demokrasi yang mengatakan dia


mendukung demokrasi terdengar seperti warga dari negara
bekas Uni Soviet yang mengatakan ia akan memilih Lada
(mobil komunis jelek) bahkan meskipun ia memiliki
kesempatan untuk membeli Chevrolet (mobil AS) atau
Volkswagen (mobil Jerman). Bisa jadi, tapi kemungkinannya
kecil. Seperti warga negara Soviet yang tidak punya pilihan
selain Lada, kita tidak punya pilihan selain demokrasi.

Sebenarnya, banyak orang demokrat yang berakal sehat pasti


akan senang kalau bisa menghindari tindakan yang seharusnya

92
mereka lakukan melalui kotak suara. Jika mereka punya
pilihan, apakah rakyat benar-benar secara sukarela membayar
pajak jaminan sosial kepada pemerintah tanpa tahu apakah
jaminan sosial itu masih bermanfaat pada saat mereka
pensiun? Berapa banyak layanan pemerintah yang berkualitas
rendah, tapi harganya tinggi, yang mereka bersedia
membayarnya secara sukarela jika mereka memiliki pilihan
untuk menghabiskan uang mereka untuk apapun yang mereka
inginkan?

Ahli ekonomi Amerika Walter Williams mengakui fakta bahwa


pada umumnya kita tidak ingin keputusan pribadi kita untuk
menjadi keputusan yang demokratis. Dia menulis: "Untuk
menyoroti serangan terhadap kebebasan yang dilakukan
demokrasi dan kekuasaan mayoritas, tanyalah pada diri sendiri
berapa banyak keputusan dalam hidup Anda yang ingin Anda
ambil secara demokratis. Misalnya, tentang mobil yang Anda
kendarai, di mana Anda tinggal, dengan siapa Anda menikah,
apakah Anda mau makan babi atau ayam untuk makan
malam? Jika keputusan-keputusan ini dibuat melalui proses
yang demokratis, rata-rata orang akan menganggapnya sebagai
tirani dan bukan kebebasan pribadi. Bukankah itu tirani kalau
proses demokratis yang memutuskan tentang membeli
asuransi kesehatan atau menyisihkan uang untuk masa
pensiun? Kita seharusnya menganjurkan kebebasan, baik bagi
kita sendiri maupun bagi semua manusia di dunia, bukan
demokrasi yang telah kita terapkan dimana DPR yang korup
bisa melakukan apa saja selama dapat mengumpulkan suara
mayoritas."

Kenyataan bahwa banyak pendukung demokrasi tidak benar-


benar percaya pada ide-ide yang mereka promosikan dapat
dilihat dalam perilaku munafik politisi demokratis dan pejabat
pemerintah yang sering sekali tidak mempraktekkan yang
mereka khotbahkan. Pikirkanlah politisi sosialis yang
mengkritik gaji tinggi eksekutif bisnis dan kemudian bekerja
untuk perusahaan ketika mereka pensiun dari politik. Atau
politisi yang memberitakan berkah toleransi terhadap budaya
lain dan orang asing tetapi tinggal di lingkungan orang berkulit

93
putih dan menyekolahkan anak mereka ke sekolah-sekolah di
mana semua murid berkulit putih. Atau politisi yang
mendorong perang tetapi tidak pernah akan mengirimkan
anak-anak mereka sendiri untuk berperang.

Demokrasi adalah wajib. Setiap orang harus berpartisipasi di


dalamnya. Individu, kota kecil, kota besar, kabupaten, propinsi,
mereka semua harus menyerahkan dirinya dan tidak ada yang
bisa 'memisahkan diri'.

Ada beberapa alasan mengapa orang-orang mendukung


demokrasi, meskipun perilaku mereka menunjukkan
sebaliknya. Pertama, hal itu dapat dimengerti karena orang
berpikir, kemakmuran kita tergantung pada sistem politik kita.
Rakyat di alam demokrasi Barat cukup kaya dan hidup di
dalam sistem demokrasi, jadi demokrasi pastilah sistem yang
baik, demikian pendapat mereka. Tapi ini keliru.
Bandingkanlah hal ini dengan yang dikatakan beberapa
pembela Uni Soviet tentang Lenin dan Stalin. Tentu saja,
diktator-diktator ini mungkin memang telah melakukan
kekejaman, tetapi rakyat tetap harus berterima kasih kepada
mereka karena di bawah kekuasaan mereka Uni Soviet
berkembang dan semua orang mendapat pasokan listrik. Tapi
Rusia tetap akan dialiri 'listrik' dan perkembangan industri di
abad ke-20, sekalipun jika Lenin dan Stalin tidak pernah
hidup. Demikian pula, kemajuan yang telah kita buat dalam
masyarakat kita tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan sistem
politik kita. Lihatlah Cina. Perekonomian Cina tumbuh dengan
kecepatan sangat tinggi, namun negara ini tidak memiliki
demokrasi. Kemakmuran didasarkan pada tingkat kebebasan
ekonomi yang dinikmati orang dan pada keamanan hak milik
mereka, bukan pada tingkat demokrasi.

Alasan kedua mengapa orang cenderung mendukung sistem


demokratis kita adalah karena mereka merasa sulit untuk
membayangkan hidupnya kalau bisa menyimpan semua uang
yang mereka dapatkan dan tidak harus membayar pajak. Anda

94
dapat melihat jalan-jalan yang ‘gratis’ (tanpa tol) untuk umum
tempat Anda mengendarai mobil Anda tetapi Anda tidak
dapat melihat pusat perawatan kesehatan baru yang dibangun
dengan uang yang sama. Anda juga tidak bisa membayangkan
dapat melakukan perjalanan liburan jika Anda tidak harus
membayar untuk perang yang dilakukan negara Anda. Contoh
lebih halus adalah inovasi yang akan terjadi jika pemerintah
tidak ikut campur dalam perekonomian. Dalam era pasar
bebas pasti lebih banyak perawatan medis baru dan mampu
menyelamatkan nyawa yang telah dikembangkan, bila tidak
tertutupi oleh birokrasi.

Rakyat sering berpikir pemerintah menyediakan banyak


layanan secara gratis tetapi ada harga tersembunyi yang harus
dibayar: semua kemungkinan - layanan, produk, inovasi - yang
tidak diciptakan karena sarana untuk melakukannya telah
dirampas oleh Negara. Rakyat hanya melihat apa yang disulap
keluar dari topi pemerintah bukan yang menghilang ke
dalamnya.

Alasan ketiga mengapa kita semua berpikir bahwa kita semua


orang demokratis yaitu karena kita terus diberitahu begitu.
Sekolah, media, politisi, mereka semua terus-menerus
memberikan pesan bahwa satu-satunya kemungkinan
pengganti dari demokrasi adalah kediktatoran. Mengingat
status demokrasi ini yang saleh, sebagai benteng melawan
kejahatan, siapa yang berani menentang demokrasi?

95
Mitos 13: Tidak ada alternatif yang lebih baik

Jika Anda mengatakan Anda menentang demokrasi maka


orang segera curiga Anda mendukung kediktatoran. Tapi itu
omong kosong. Kediktatoran bukanlah satu-satunya pengganti
demokrasi. Pilihan untuk membeli mobil secara demokratis
bukanlah seorang diktator memilih mobil untuk Anda tetapi
Anda memilihnya untuk diri sendiri.

Winston Churchill mengatakan: "Demokrasi adalah bentuk


pemerintah terburuk kecuali semua bentuk pemerintah yang
lain yang telah dicoba". Dengan kata lain, demokrasi memiliki
kekurangan tetapi tidak ada sistem yang lebih baik. Dalam
bukunya yang terkenal "The End of History and the Last Man”
Francis Fukuyama bahkan menulis tentang "universalisasi
demokrasi liberal Barat sebagai bentuk pemerintahan manusia
terakhir. "Agaknya, sesuatu yang lebih baik tidak pernah akan
bisa diciptakan.

Dengan demikian, setiap kritik terhadap demokrasi dapat


dengan mudah langsung ditangani. Demokrasi seharusnya
berdiri 'di atas partai-partai politik dan ideologi' (tanpa
kepentingan sendiri) dan karena statusnya yang mulia ini maka
alternatif yang berbeda atau lebih baik jadi tak terpikirkan.
Tapi ini adalah propaganda murni. Demokrasi adalah sebuah
bentuk organisasi politik. Tidak ada alasan untuk menganggap
demokrasi sebagai prinsip politik terbaik. Kita tidak
menggunakan demokrasi dalam dunia ilmiah, kita tidak
memberikan suara untuk mendapatkan kebenaran ilmiah, tapi
kita menggunakan logika dan fakta, dan karena alasan yang
baik. Jadi tidak ada alasan untuk menganggap demokrasi
sistem yang terbaik yang diperlukan di ranah politik.

Alternatif untuk memilih mobil secara demokratis bukanlah


seorang diktator memilih mobil untuk Anda tetapi Anda
memilihnya untuk diri sendiri.

96
Mengapa rakyat tidak dibolehkan mengorganisir dirinya sendiri
secara berbeda dari aturan yang ada dalam sistem
demokratis? Mengorganisir diri dalam komunitas yang lebih
kecil, misalnya? Karena desentralisasi sangat ditentang oleh
penguasa demokratis kita dan bahkan dibuat tidak mungkin.
Jika demokrasi benar-benar adalah suatu sistem yang baik,
Anda akan berharap orang diberi pilihan untuk secara sukarela
bergabung - atau memisahkan diri dari - sebuah negara yang
demokratis. Mengingat berkah yang didapat dari demokrasi,
tentunya banyak orang pasti akan antri untuk bergabung? Tapi
ini tidak terjadi. Tidak ada negara demokratis, termasuk
Amerika Serikat, di mana propinsi-propinsi atau daerah-
daerah diizinkan untuk memisahkan diri.

Bahkan, kecenderungan di negara-negara demokrasi agak


bergerak ke arah sebaliknya, ke arah sentralisasi yang makin
besar dan makin besar. Misalnya, Eropa secara bertahap
berubah menjadi negara demokratis besar. Hasilnya, yang
meragukan, Jerman sekarang dapat memutuskan cara hidup
orang Yunani dan sebaliknya. Dalam demokrasi besar ini suatu
negara dapat membebani warga negara-negara lain dengan
akibat kebijakan ekonomi mereka yang sangat cupet – sama
seperti warga dalam demokrasi nasional yang dapat hidup dari
rezeki warga-warga lain. Beberapa negara memboroskan uang
- mereka tidak menabung, memanjakan PNS mereka dengan
pensiun yang banyak, membuat utang yang tidak pernah bisa
dilunasi - dan jika mereka bisa mendapatkan dukungan dari
cukup banyak negara Uni Eropa lainnya mereka dapat
memaksa para pembayar pajak di negara yang dikelola secara
lebih baik untuk membayar tagihannya. Itulah logika
demokrasi di tingkat Eropa.

Semakin besar negara demokratis dan semakin heterogen


(berbeda) populasinya semakin besar ketegangan yang akan
timbul. Berbagai kelompok dalam demokrasi tidak akan ragu-
ragu untuk menggunakan proses demokratis untuk menjarah
dan mengganggu orang lain sebanyak mungkin untuk
keuntungan mereka sendiri. Semakin kecil unit administrasi
dan semakin homogen (sama) populasinya semakin besar

97
kemungkinan bahwa akibat-akibat jelek dari demokrasi akan
terbatas. Orang-orang yang saling mengenal secara pribadi
atau merasa terkait satu sama satu lain tidak akan cenderung
untuk saling merampok dan saling menindas.

Oleh sebab ini maka gagasan yang baik adalah bila rakyat
diberi opsi 'pemisahan administrasi'. Jika New Hampshire
diizinkan untuk memisahkan diri dari AS dia akan memiliki
lebih banyak kebebasan untuk mengatur sistem politiknya
secara berbeda dengan yang dilakukan California, misalnya.
New Hampshire akan bisa menerapkan sistem pajaknya
sendiri agar menguntungkan bagi pengusaha maupun
karyawan. Daerah-daerah akan saling bersaing dan hukum
akan lebih sesuai dengan apa yang orang inginkan. Rakyat
akan bisa 'pindah tempat memberikan suara’ dan pindah ke
negara lain. Pemerintahan akan menjadi jauh lebih dinamis
dan birokrasinya akan kurang. Daerah-daerah bisa belajar satu
sama satu lain karena mereka akan bisa mencoba kebijakan
yang berbeda.

Kesejahteraan bagi masyarakat miskin, misalnya, dapat diatur


lebih efisien di tingkat lokal. Kontrol lokal mencegah
penyalahgunaan dan merupakan jaminan terbaik untuk
membantu mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan
dan mencegah pengeluaran uang bagi mereka yang hanya
terlalu malas untuk kerja. Perubahan negara kesejahteraan
nasional-demokratis juga penting untuk keberhasilan integrasi
minoritas. Banyak imigran hidup hanya dari bantuan negara.
Mereka imigran yang tidak diinginkan. Tapi kebanyakan orang
tidak keberatan dengan imigran yang bisa mengurus diri
sendiri dan bersedia untuk membaur.

Omong-omong, Churchill juga mengatakan: "Alasan terbaik


melawan demokrasi adalah percakapan lima menit dengan
pemilih rata-rata".

98
II. Krisis demokrasi

Demokrasi mungkin berawal sebagai cita-cita untuk


memberdayakan rakyat yang sangat hebat, tapi setelah
dipraktekkan lebih dari 150 tahun, kita bisa melihat hasilnya
sekarang dan hasilnya tidak positif. Jelas sekarang bahwa
demokrasi adalah sebuah tirani bukannya sebuah kekuatan
yang membebaskan. Semua demokrasi telah mengikuti jalan
negara sosialis dan menjadi terhambat, korup, menindas dan
terbirokratisasi. Seperti telah kami coba tunjukkan di atas, hal
ini terjadi bukan karena cita-cita demokrasi itu ditumbangkan
tetapi, sebaliknya, karena sifat cita-cita kolektif dari demokrasi
itu sendiri.

Jika Anda ingin tahu bagaimana demokrasi benar-benar


bekerja, pertimbangkanlah contoh ini. George Papandreou,
politikus Sosialis Yunani, memenangkan pemilu di negaranya
pada tahun 2009 dengan slogan sederhana: ADA UANG!
Lawannya yang konservatif telah mengurangi upah pegawai
negeri dan pengeluaran umum lainnya. Papandreou
mengatakan ini tidak diperlukan. "Lefta yparchoun" adalah
seruan kampanyenya - ada uang. Ia memenangkan pemilu
dengan mudah. Pada kenyataannya tentu saja uang tersebut
tidak ada - atau lebih tepatnya, uang itu harus dipasok dari
pembayar pajak di negara-negara lain di Uni Eropa. Namun
mayoritas selalu benar dalam demokrasi, dan ketika mereka
menemukan mereka dapat memilih kekayaan untuk diri
mereka sendiri, mereka pasti akan melakukannya. Harapan
kalau mereka akan melakukan hal yang sebaliknya adalah naif.

Apa yang ditunjukan oleh contoh Yunani tersebut juga


menunjukkan bahwa rakyat dalam demokrasi secara alamiah
ingin agar Negara merawat mereka. Pemerintahan demokratis
berarti pemerintahan oleh Negara. Akibatnya, rakyat akan
terus membuat tuntutan kepada Negara. Mereka akan
menjadi semakin dan semakin bergantung pada pemerintah
untuk memecahkan masalah mereka dan menjalankan
kehidupan mereka. Apapun masalah yang mereka hadapi,
mereka mengharapkan pemerintah untuk memperbaikinya.

99
Obesitas (kegemukan), penyalahgunaan obat, pengangguran,
kekurangan guru atau perawat, penurunan jumlah pengunjung
museum, apa saja, Negaralah yang harus bertanggung jawab.
Apapun yang terjadi - kebakaran di teater, kecelakaan
pesawat, sebuah perkelahian di bar - rakyat akan
mengharapkan pemerintah untuk mengejar para pelaku dan
untuk memastikan hal itu tidak terjadi lagi. Jika mereka tidak
punya pekerjaan, mereka mengharapkan pemerintah untuk
"menciptakan lapangan kerja". Jika harga bensin naik, rakyat
ingin pemerintah untuk melakukan sesuatu untuk
menyelesaikannya. Di Youtube ada video yang menunjukkan
sebuah wawancara dengan seorang wanita yang baru saja
mendengarkan pidato Presiden Obama, dan dia hampir
menangis karena bahagia. Dia berseru bahwa "Saya tidak perlu
khawatir lagi untuk membayar bensin untuk mobil saya atau
membayar cicilan rumah saya!". Itulah mentalitas yang
disebabkan oleh demokrasi.

Dan politisi cukup bersedia untuk memasok apa yang menjadi


tuntutan rakyat kepada mereka. Mereka seperti pria dalam
pepatah yang hanya memiliki sebuah palu dan melihat segala
sesuatu sebagai paku untuk dipalu. Dengan cara yang sama,
untuk setiap masalah dalam masyarakat, mereka melihat diri
mereka sebagai sang pemecah masalah. Memang itulah
sebabnya mereka terpilih. Mereka berjanji akan ‘membuat
lapangan pekerjaan’, menurunkan suku bunga, mendorong
daya beli masyarakat, membuat kepemilikan rumah terjangkau
bagi kaum paling miskin sekalipun, memperbaiki pendidikan,
membuat taman bermain dan lapangan olahraga untuk anak-
anak kita, memastikan bahwa semua produk dan tempat
bekerja adalah aman, menyediakan layanan kesehatan yang
baik dan terjangkau bagi semua kalangan, menyelesaikan
masalah kemacetan jalan raya, kejahatan, vandalisme
(perusakan fasilitas umum), membela ‘kepentingan’ nasional
kita di depan masyarakat dunia, melaksanakan ‘hukum
internasional’ di seluruh dunia, mempromosikan emansipasi
dan melawan diskriminasi dimanapun, memastikan bahwa
makanan aman untuk dikonsumsi dan air bersih,
‘menyelamatkan iklim’, membuat negara menjadi yang paling

100
bersih, hijau, dan paling inovatif di dunia, dan menghapus
kelaparan dari muka bumi. Mereka akan mewujudkan semua
mimpi dan keinginan kita, melindungi kita sejak kecil hingga
ke liang kubur, memastikan kedamaian dan kebahagiaan kita
dari pagi hingga larut malam - dan tentu saja memotong
anggaran dan mengurangi pajak.

Demokrasi terbuat dari impian-impian tersebut.

Dosa-dosa demokrasi

Sangat jelas bahwa pada kenyataannya semua ini tidak akan


pernah bisa dilakukan. Pemerintah tidak bisa menyelesaikan
semuanya. Pada akhirnya, para politisi akan melakukan satu-
satunya hal yang bisa mereka lakukan, yaitu:

1. Membuang uang pada permasalahan yang ada


2. Menciptakan undang-undang dan peraturan baru
3. Membentuk komite untuk mengawasi pelaksanaan
peraturan mereka

Memang tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan, sebagai
politisi. Mereka bahkan tidak mampu membayar tagihan untuk
kegiatan mereka, yang mana diserahkan kepada pembayar
pajak.

Setiap hari anda dapat melihat akibat-akibat dari sistem ini di


sekitar Anda:

Birokrasi. Dimana-mana demokrasi telah melahirkan birokrasi


yang besar, yang berkuasa atas hidup kita dengan kekuatan
yang semakin sewenang-wenang. Karena birokrat-birokrat
adalah pemerintah, mereka dapat memastikan bahwa mereka
terlindung dengan baik dari realitas ekonomi yang keras untuk
orang biasa. Departemen mereka tidak pernah bisa bangkrut,
mereka sendiri tidak bisa dipecat, dan mereka jarang akan
bertabrakan dengan hukum, karena mereka adalah hukum.
Mereka juga menempatkan beban yang besar pada kita semua
dengan undang-undang dan peraturan mereka. Di mana-

101
mana sulit untuk memulai bisnis/usaha karena terhalang oleh
banyaknya hukum dan biaya birokrasi yang dikenakan pada
mereka. Bisnis yang sudah berjalan juga menderita di bawah
beban birokrasi. Di Amerika Serikat menurut “Small Business
Administration” (administrasi bisnis kecil) besar biaya regulasi
per tahunnya - perhatikanlah bahwa ini adalah lembaga
pemerintah - adalah $1.750.000.000.000 (berdasarkan
sebuah artikel di Wikipedia). Kaum miskin dan yang
berpendidikan rendah adalah kaum yang paling menderita
dari sistem ini: mereka tidak dapat menemukan pekerjaan,
tenaga kerja mereka menjadi terlalu mahal karena adanya
undang-undang upah minimum dan hukum lain yang
menaikkan biaya tenaga kerja. Juga sangat sulit bagi mereka
untuk mendirikan bisnis/usaha sendiri karena mereka tidak
tahu seluk-beluk hutan birokrasi.

Parasitisme. Selain birokrat dan politisi, ada kelompok lain


yang mendapat manfaat yang sangat besar dari sistem
demokrasi: pengelola perusahaan dan lembaga yang dibayar
oleh pemerintah atau mendapat hak-hak istimewa dari
pemerintah. Pikirkanlah seorang manajer dari perusahaan di
lingkungan industri-militer, dan dari bank dan lembaga
keuangan yang didukung oleh sistem bank sentral. Juga tidak
ketinggalan orang-orang di "sektor bersubsidi" - lembaga
kebudayaan, televisi publik, badan-badan bantuan negara atau
bantuan orang miskin, kelompok lingkungan, dan sebagainya -
belum lagi seluruh ‘sirkus’ 'lembaga-lembaga internasional'.
Banyak orang yang bekerja di bidang-bidang ini memiliki
pekerjaan yang menguntungkan dan berhutang kepada
hubungan intim mereka dengan lembaga pemerintah atau
pemerintah. Ini adalah bentuk parasitisme yang dilembagakan
serta dibantu dan didukung oleh sistem demokrasi kita.

Megalomania (pengagungan diri). Karena frustrasi oleh


ketidakmampuan mereka untuk benar-benar merubah
masyarakat, pemerintah secara rutin meluncurkan proyek-
proyek besar untuk membantu memulihkan sektor industri
yang gagal atau untuk melayani beberapa tujuan mulia
lainnya. Tindakan seperti itu selalu hanya meningkatkan

102
masalah dan harganya selalu jauh lebih mahal dari yang
direncanakan. Pikirkanlah reformasi pendidikan, rencana
reformasi perawatan kesehatan, proyek-proyek infrastruktur
dan pemborosan energi seperti program etanol (bahan bakar
organik) di AS atau proyek pembangkit listrik tenaga angin
lepas di laut di Eropa. Perang juga dapat dilihat sebagai
'proyek-proyek publik' yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah dalam negeri,
membangkitkan dukungan publik kepada pemerintah,
menciptakan lapangan kerja untuk kaum miskin, dan
keuntungan besar yang langsung mengarah ke perusahaan-
perusahaan favorit yang menjadi sponsor kampanye politisi
dalam pemilu dan yang akan menyediakan pekerjaan bagi
para politisi itu ketika mereka ‘terpaksa’ meninggalkan posisi
politik mereka. (Sudah menjadi rahasia umum, para politisi itu
sendiri tidak pernah ikut berperang di dalam perang yang
mereka mulai.)

Dorongan utama bagi para politisi dalam demokrasi adalah


keinginan untuk terpilih kembali. Oleh karena itu, cakrawala
mereka biasanya tidak melampaui pemilu mendatang.

Kesejahteraan. Masalah “welfare state” (negara yang


mengusahakan kesejahteraan bagi rakyatnya). Para politisi
yang ditunjuk untuk memerangi kemiskinan dan ketimpangan
secara alami berpikir kalau mereka memiliki tugas suci untuk
terus memperkenalkan program kesejahteraan yang baru (dan
pajak baru untuk membayar untuk program tersebut). Ini tidak
hanya untuk melayani kepentingan mereka sendiri tetapi juga
kepentingan orang-orang birokrat yang bertugas untuk
melaksanakan program tersebut. Program kesejahteraan
sekarang merupakan bagian penting dari pengeluaran
pemerintah di kebanyakan negara-negara demokratis.
Pemerintah Inggris menghabiskan sepertiga dari anggarannya
untuk program kesejahteraan. Di Italia dan Perancis angka ini
mendekati 40 persen. Banyak lembaga sosial (misalnya serikat
buruh, lembaga dana pensiun publik, lembaga tenaga kerja

103
pemerintah) memiliki kepentingan dalam melestarikan dan
memperluas program kesejahteraan. Cara yang biasa
ditempuh oleh pemerintahan demokrasi adalah pemerintah
tidak akan memberikan pilihan atau membuat perjanjian
dengan rakyatnya. Semua orang dipaksa untuk membayar
asuransi pengangguran yang tinggi dan setoran jaminan sosial,
tapi tidak ada yang tahu apa manfaat yang bisa mereka
nikmati di masa depan. Uang yang telah dibayar oleh
pembayar pajak akan dihabiskan dan ketika semua sudah
habis, bencana keamanan sosial yang akan menghadang
semua negara dengan program kesejahteraan ini adalah
contoh yang paling mengerikan dari jenis pemborosan
demokrasi. Dan ingatlah kesejahteraan tidak hanya untuk
kaum miskin. Banyak 'kesejahteraan' yang diberikan kepada
orang kaya, misalnya untuk bank-bank yang diselamatkan
dengan harga sebesar $700 miliar (yang mana sesudah itu para
eksekutifnya akan menikmati bonus yang besar).

Perilaku antisosial dan kejahatan. Negara kesejahteraan


demokratis mendorong perilaku tidak bertanggung jawab dan
perilaku antisosial. Dalam masyarakat bebas orang yang
berkelakuan tidak pantas, gagal untuk menepati janji mereka,
atau bertindak tanpa peduli terhadap orang lain, akan

104
kehilangan bantuan dan dukungan dari teman-temannya,
lingkungannya dan keluarganya. Namun, negara kesejahteraan
demokratis mengatakan kepada mereka: Jika tak ada
seorangpun yang mau membantu Anda lagi, kami akan
membantu anda! Jadi orang dihargai untuk perilaku antisosial
mereka. Karena mereka terbiasa dengan pemerintah yang
memberikan segala sesuatu yang mereka butuhkan, maka
berkembanglah mentalitas orang yang tidak mau bekerja untuk
mendapatkan uang mereka sendiri. Untuk membuat keadaan
ini menjadi lebih buruk, undang-undang tenaga kerja yang
kaku (serta hukum anti-diskriminasi) menyulitkan pengusaha
untuk bisa menyingkirkan karyawan yang tidak menunjukkan
hasil yang memuaskan. Demikian pula, peraturan pemerintah
membuat hampir tidak mungkin untuk mengusir siswa atau
guru yang berlaku tidak pantas atau kerjanya tidak
memuaskan. Dalam proyek perumahan rakyat sangat sulit
untuk mengusir seseorang dari rumahnya apabila dia menjadi
gangguan bagi para tetangganya. Orang-orang yang
berkelakuan semena-mena di tempat hiburan malam tidak
dapat ditolak masuk karena hukum anti-diskriminasi. Yang
lebih parah lagi, pemerintah sering menyiapkan program
bantuan yang mahal untuk orang-orang antisosial, seperti
pengemar sepak bola yang liar misalnya. Dengan demikian,
kenakalan dan kejahatan malah dihargai dan didukung.

Standar sangat biasa dan semakin menurun. Karena di


setiap masyarakat kaum mayoritas cenderung lebih miskin dari
kaum minoritas yang lebih sukses dan kompeten, politisi
dalam demokrasi ditekan untuk melakukan redistribusi
kekayaan - untuk mengambil dari orang kaya dan
memberikannya kepada orang miskin. Dengan cara ini,
kesuksesan bisnis dan keunggulan dihukum melalui pajak
progresif. Dengan demikian, demokrasi dapat mengarah
kepada pembodohan masyarakat dan penurunan standar
budaya umum. Dimana kaum mayoritas memerintah, standar
rata-rata akan menjadi norma.

Budaya ketidakpuasan. Dalam demokrasi perbedaan


pendapat pribadi akan terus berakhir menjadi konflik sosial.

105
Hal ini terjadi karena negara mencampuri semua hubungan
personal dan sosial. Segala sesuatu yang dianggap tidak beres
di suatu tempat, dari sekolah umum yang kurang berfungsi
hingga ke kerusuhan lokal, menjadi masalah nasional yang
besar (atau bahkan internasional) yang harus ditemukan
solusinya oleh para politisi. Semua orang merasa terdorong
dan didorong untuk memaksakan pandangan mereka
terhadap dunia kepada orang lain. Orang-orang yang merasa
dikalahkan membuat pemblokiran, melakukan demo atau
pemogokan. Ini menciptakan perasaan frustrasi dan
ketidakpuasan umum.

Dalam demokrasi perbedaan pendapat pribadi akan terus


berakhir menjadi konflik sosial. Hal ini terjadi karena negara
mencampuri semua hubungan personal dan sosial.

Jangka pendek-isme. (mementingkan segala sesuatunya secara


jangka pendek dan tidak peduli tentang akibat negatif jangka
panjang). Dorongan utama bagi para politisi dalam demokrasi
adalah keinginan untuk terpilih kembali. Oleh karena itu,
cakrawala dan tujuan mereka biasanya tidak melampaui
pemilu mendatang. Selain itu, politisi yang terpilih secara
demokratis bekerja dengan sumber daya yang bukan milik
mereka dan yang hanya sementara mereka miliki. Mereka
menghabiskan uang orang lain. Itu berarti mereka tidak harus
berhati-hati dengan apa yang mereka lakukan dan berpikir
mengenai masa depan. Karena itulah kebanyakan kebijakan
dalam demokrasi menciptakan manfaat yang segera (jangka
pendek) tapi akibatnya buruk di masa yang akan datang. Salah
satu mantan menteri Belanda dari Dinas Sosial pernah berkata,
"Para pemimpin politik harus memerintah seolah-olah tidak
ada pemilu lagi. Dengan cara itu mereka akan mampu
mengambil pandangan jangka panjang untuk semuanya." Tapi
tentu saja itu justru apa yang tidak bisa mereka lakukan.
Seperti seorang penulis Amerika Fareed Zakaria mengatakan
dalam sebuah wawancara: "Saya pikir kita menghadapi krisis
yang nyata di dunia barat. Yang Anda lihat adalah

106
ketidakmampuan mendasar dalam setiap masyarakat barat
untuk melakukan satu hal, yaitu untuk memaksakan segala
jenis pengorbanan jangka pendek untuk keuntungan jangka
panjang. Setiap kali pemerintah mencoba untuk mengusulkan
beberapa jenis pengorbanan muncul pemberontakan. Dan
pemberontakan tersebut hampir selalu berakhir dengan
sukses." Karena rakyat di dalam demokrasi didukung untuk
menuntut semuanya menjadi serba gratis dan para politisi
berperilaku lebih seperti penyewa daripada seorang pemilik
properti, karena mereka hanya memerintah sementara, hasil
ini harusnya tidak mengejutkan siapa pun. Seseorang yang
hanya menyewa sesuatu memiliki kecenderungan untuk tidak
terlalu berhati-hati atau berpikir jangka panjang dibandingkan
dengan seorang pemilik properti.

Mengapa semuanya terus menjadi lebih buruk

Secara teori rakyat bisa memilih sebuah sistem yang berbeda,


yang tidak terlalu birokratik dan lebih irit. Dalam prakteknya,
ini tidak mungkin terjadi karena terlalu banyak orang yang
memiliki kepentingan didalamnya dan ingin melestarikan
sistem tersebut. Dan seiring dengan pemerintah yang secara
perlahan tumbuh menjadi lebih besar, kelompok ini juga ikut
bertumbuh lebih besar. Seperti yang ditunjukan oleh Ludwig
von Mises, ahli ekonomi Austria yang terkenal, birokrasi akan
menolak setiap jenis perubahan dengan semua kekuatannya.
"Birokrat bukan hanya pegawai pemerintah", Mises menulis.
"Di bawah UUD yang demokratis dia pada saat yang sama
adalah seorang pemilih dan juga bagian dari sang penguasa,
majikannya. Dia berada dalam posisi yang aneh: dia adalah
majikan dan karyawan. Dan tujuan keuangannya sebagai
karyawan lebih penting dari minatnya sebagai majikan karena
ia mendapatkan lebih banyak dari dana publik daripada apa ia
berikan kepada dana publik. Hubungan ganda ini menjadi
semakin penting dengan semakin meningkatnya gaji pegawai
pemerintahan. Birokrat sebagai pemilih lebih bersemangat
untuk mendapatkan kenaikan gaji daripada menjaga
keseimbangan anggaran. Perhatian utamanya adalah
pembengkakan gaji mereka."

107
Milton Friedman seorang ahli ekonomi membagi pengeluaran
uang menjadi empat jenis. Yang pertama adalah ketika Anda
menghabiskan uang Anda untuk diri sendiri. Anda akan
mencari kualitas dan menghabiskan uang Anda secara efisien.
Ini secara umum adalah bagaimana uang dibelanjakan di
sektor swasta. Jenis kedua adalah ketika Anda menghabiskan
uang Anda untuk orang lain, misalnya ketika membelikan
makan malam untuk seseorang. Anda pasti masih peduli
tentang jumlah yang akan Anda belanjakan, tetapi Anda sudah
tidak terlalu peduli tentang kualitasnya. Jenis ketiga adalah
ketika Anda menghabiskan uang orang lain untuk diri sendiri,
seperti ketika Anda membeli makan siang dengan rekening
pengeluaran perusahaan Anda. Anda akan cenderung untuk
tidak memilih berhemat, tetapi Anda akan tetap berusaha
untuk memilih makan siang yang tepat. Jenis keempat adalah
ketika menghabiskan uang orang lain untuk orang lain. Di sini
Anda tidak akan peduli lagi tentang kualitas atau biaya. Pada
umumnya, inilah cara pemerintah menghabiskan uang pajak
Anda.

Politisi jarang diminta bertanggung jawab atas tindakan mereka


yang ternyata merugikan dalam jangka panjang. Mereka
mendapatkan pujian atas niat baik mereka dan hasil positif
awal dari program mereka. Konsekuensi negatif jangka panjang
(misalnya, utang yang harus dibayar) akan menjadi tanggung
jawab penerus mereka. Sebaliknya, politisi cenderung untuk
tidak begitu peduli pada program-program yang akan akan
terlihat hasilnya setelah mereka meninggalkan posisi mereka
karena penerus merekalah yang akan dapat mendapatkan
manfaatnya.

Pemerintah menghabiskan uang orang lain untuk orang lain.


Jadi mereka tidak memiliki alasan untuk peduli tentang kualitas
atau biaya.

108
Dengan demikian, pemerintahan demokratis selalu
menghabiskan uang lebih banyak dari apa yang mereka
terima. Mereka memecahkan masalah ini dengan menaikkan
pajak atau bahkan lebih baik - karena pajak cenderung
dibenci oleh orang-orang yang harus membayarnya - dengan
meminjam uang atau hanya dengan mudah mencetaknya.
(Perhatikanlah bahwa politisi demokrasi cenderung untuk
meminjam dari bank-bank favorit yang kemudian bisa
diselamatkan oleh pemerintah jika bank-bank ini jadi memiliki
terlalu banyak hutang.) Pemerintah demokratis jarang
memotong anggaran mereka sendiri. Ketika mereka berbicara
tentang "pengurangan", itu biasanya berarti pertumbuhan
pengeluaran yang lebih lambat.

Mencetak uang tentu saja menyebabkan inflasi (nilai uangnya


menurun) yang berarti terjadinya penurunan yang tetap
terhadap nilai tabungan masyarakat. Meminjam uang
menyebabkan peningkatan hutang nasional dan menyebabkan
pembayaran bunga yang ditanggung oleh generasi mendatang.
Kini hutang publik di hampir semua negara demokrasi di dunia
telah menjadi begitu tinggi sehingga mereka tidak mungkin
dapat dilunasi. Yang lebih buruk lagi adalah bahwa lembaga
yang mengurus dana pensiun telah secara besar-besaran
membeli hutang pemerintah karena dipikirnya hal itu akan
menjadi investasi jangka panjang yang baik. Itu adalah lelucon
yang kejam. Banyak orang yang tidak akan pernah menerima
pensiun yang mereka harapkan karena uang yang mereka
masukkan ke dalam dana pensiun telah habis disia-siakan.

Namun terlepas dari semua masalah yang diberikan oleh


demokrasi kepada kita, kita terus berharap dan percaya
bahwa, setelah pemilu berikutnya, segalanya akan berubah.
Pikiran ini membuat kita terjebak ke dalam lingkaran setan:
Ketika sistem tidak memberikan apa yang dijanjikan, rakyat
menjadi tidak puas dan menuntut adanya peningkatan, politisi
lebih banyak lagi mengobral janji-janjinya, harapan naik
menjadi lebih tinggi lagi, kekecewaan yang tak terelakkan
menjadi lebih besar lagi, dan sebagainya. Warga di dalam
sebuah demokrasi adalah seperti pecandu alkohol yang perlu

109
minum alkohol lebih banyak untuk menjadi mabuk, setiap kali
mereka minum akan berakhir dengan rasa sakit karena mabuk
yang lebih besar. Bukannya menyimpulkan bahwa mereka
harus menjaga jarak dengan alkohol, mereka malahan
menginginkan lebih banyak lagi. Mereka telah benar-benar
lupa bagaimana cara mengurus dirinya sendiri dan tidak lagi
bertanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri.

Mengapa kita perlu mengurangi demokrasi

Pertanyaannya adalah berapa lama situasi ini dapat berlanjut,


mengingat ketidakpuasan dalam masyarakat dan
ketidakstabilan sistem politik dan ekonomi. Banyak orang
menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan sistem ini.
Politisi dan pemuka opini meratapi perpecahan lanskap
politik, perilaku pemilih yang tidak stabil, pendangkalan dan
sensasionalisme media. Rakyat mengeluh bahwa politisi tidak
mendengarkan mereka, bahwa mereka tidak mendapatkan
yang apa dijanjikan dan bahwa Kongres adalah sandiwara,
sebuah ejekan dari pemerintahan yang baik. Namun, mereka
berpikir inti permasalahan adalah terpilihnya politisi yang salah
atau isu-isu sampingan seperti imigrasi atau globalisasi, bukan
pada kekurangan yang melekat dalam sistem demokrasi itu
sendiri.

Warga di dalam sebuah demokrasi adalah seperti pecandu


alkohol yang perlu minum alkohol lebih banyak untuk menjadi
mabuk, setiap kali mereka minum akan berakhir dengan rasa
sakit yang lebih kuat karena mabuk.

Saat ini tidak ada yang benar-benar tahu ke mana harus pergi
dari sini. Setiap orang terjebak dalam visi terowongan yang
disebut demokrasi. Satu-satunya 'solusi' yang terpikirkan oleh
rakyat adalah 'lebih banyak demokrasi', yaitu lebih banyaknya
campur tangan pemerintah. Apakah anak muda terlalu banyak
minum alkohol? Naikkan batas usia minum alkohol! Apakah
penderita penyakit kronis diabaikan di panti jompo? Kirim

110
lebih banyak pengawas pemerintah! Apakah ada kekurangan
inovasi? Buatlah Dewan Inovasi pemerintah! Apakah terlalu
sedikit yang dipelajari oleh anak-anak di sekolah? Paksakan
lebih banyak ujian! Apakah kejahatan terus meningkat?
Dirikan sebuah departemen pemerintah baru! Mengatur,
melarang, memaksa, mencegah, memeriksa, menginspeksi,
memanjakan, mereformasikan dan, yang paling utama,
menghabiskan uang untuk mengatasi masalahnya.

Dan bagaimana jika semua itu tidak berhasil? Akhirnya akan


terdengar seruan untuk seorang Pemimpin Besar, orang yang
mampu mengakhiri semua kegagalan dan akan menegakkan
hukum dan ketertiban. Tentu saja ada logikanya untuk hal ini.
Jika semuanya perlu diatur oleh negara, maka mengapa tidak
sekalian saja dilakukan dengan benar oleh seorang diktator
yang baik hati? Berakhirlah semua penundaan tak berujung,
keraguan, pertengkaran, pemborosan. Tapi ini akan menjadi
sebuah kesepakatan dengan iblis yang terselubung. Memang
benar kita akan mendapatkan “hukum dan ketertiban”. Tapi
harga yang harus dibayar adalah berakhirnya kebebasan,
semangat hidup dan pertumbuhan.

Untungnya, ada cara yang lain, meskipun banyak orang


mungkin merasa sulit untuk membayangkannya. Caranya
adalah: kurangi demokrasi. Kurangi pemerintahan. Tambahkan
kebebasan individu.

Bagaimana cita-cita libertarian ini mungkin terlihat dalam


prakteknya akan dibahas pada bab terakhir buku ini.

111
III. Menuju kebebasan baru

Merupakan sebuah ilusi untuk berpikir bahwa masalah yang


dihadapi masyarakat kita dapat diselesaikan dengan ‘lebih
banyak demokrasi'. Apalagi mengatakan bahwa demokrasi
adalah yang terbaik dari semua sistem yang mungkin ada.

Demokrasi berasal pada masa di mana ruang lingkup


pemerintahan relatif kecil. Satu setengah abad kemudian,
bagaimanapun juga demokrasi telah mengakibatkan ekspansi
pemerintahan yang luar biasa di semua negara demokrasi. Hal
ini juga menyebabkan situasi di mana kita tidak hanya harus
takut dengan Pemerintah tetapi juga sesama warga negara
yang mampu memperbudak kita melalui kotak suara.

Kepercayaan buta terhadap demokrasi di masyarakat kita


merupakan hal yang tidak jelas. Ini sebenarnya adalah sebuah
fenomena yang muncul belakangan ini. Mungkin adalah hal
yang mengejutkan bagi banyak pembaca, tetapi para pendiri
utama negara Amerika Serikat - seperti Benjamin Franklin,
Thomas Jefferson dan John Adams - yang tanpa pengecualian
menentang demokrasi. "Demokrasi," kata Benjamin Franklin,
"adalah dua serigala dan seekor domba memilih untuk
memutuskan apa yang mereka inginkan untuk untuk makan
siang. "Kebebasan," ia menambahkan, "adalah domba yang
memiliki senjata ikut serta dalam pemungutan suara." Thomas
Jefferson mengatakan bahwa demokrasi "tidak lebih dari
aturan masyarakat, di mana 51% dari masyarakat dapat
mengambil hak-hak 49% lainnya."

Mereka tidak sendirian. Sebagian besar kaum intelektual


liberal-klasik dan konservatif di abad 18 dan 19, termasuk
pemikir terkenal seperti Lord Acton, Alexis de Tocqueville,
Walter Bagehot, Edmund Burke, James Fenimoore Cooper,
John Stuart Mill dan Thomas Macaulay, menentang demokrasi.
Penulis konservatif terkenal Edmund Burke menulis:
"Mengenai hal ini saya yakin, bahwa dalam demokrasi
mayoritas warga bisa melakukan penindasan yang paling
kejam terhadap kaum minoritas ... dan bahwa penindasan

112
terhadap kaum minoritas akan mencakup jumlah yang jauh
lebih besar dan akan dilakukan pada tingkat kemarahan yang
jauh lebih besar, daripada yang bisa diakibatkan oleh seorang
penguasa tunggal."

Thomas Macalauy, pemikir liberal terkenal dari Inggris,


menyatakan sentimen yang sama: "Saya telah lama yakin
bahwa lembaga-lembaga demokrasi murni secara cepat atau
lambat akan menghancurkan kebebasan, atau peradaban, atau
keduanya." Ini adalah ide yang sangat bisa diterima pada masa
itu, seperti yang ditunjukan oleh Erik Ritter von Kuehnelt-
Leddihn di dalam bukunya "Kebebasan atau Kesetaraan"
(“Liberty or Equality”, 1951).

Selama akhir abad ke-19 dan abad ke-20, bagaimanapun,


cita-cita liberal klasik semakin terdorong ke belakang dan
digantikan oleh iman kepercayaan terhadap kolektivisme -
sebuah gagasan bahwa individu adalah bawahan kelompok.
Liberalisme (kebebasan) digantikan oleh berbagai bentuk
kolektivisme - komunisme, sosialisme, fasisme dan demokrasi.
Yang terakhir yaitu demokrasi, malahan dinilai menjadi ide
untuk kebebasan. Tetapi seperti yang telah ditunjukkan di
dalam buku ini, adalah benar-benar salah untuk menyamakan
demokrasi dengan kebebasan. Seperti yang diakui para
pemikir liberal-klasik di masa lalu, demokrasi sebenarnya -
adalah bentuk sosialisme - yang cukup cerdas. Kemerdekaan
yang masih tersisa dan kita miliki saat ini, adalah karena tradisi
liberal klasik yang masih hidup di bagian barat bumi ini, bukan
disebabkan oleh demokrasi.

Tradisi liberal-klasik ini, bagaimanapun, berada di bawah


tekanan yang berat. Dengan setiap generasi baru yang tumbuh
dikelilingi oleh propaganda demokrasi sehari-harinya, satu per
satu bagian dari warisan liberal kita musnah. Tidak ada yang
terkejut lagi ketika perempuan menuntut kuota pada posisi
pimpinan perusahaan, ketika Negara mengeluarkan larangan
untuk merokok di restoran atau ketika pemerintah
memutuskan apa yang harus diajarkan kepada anak-anak kita
di sekolah. Tidak semua orang setuju dengan gagasan itu - tapi

113
semua orang merasa adalah normal bahwa pemerintah harus
memutuskan hal-hal tersebut. Hampir tidak ada perlawanan
terhadap kenyataan bahwa kita hidup di bawah sistem yang
mengganggu hidup kita sampai ke detail terkecil. Tidak ada
prinsip perlawanan kepada gagasan bahwa bagaimana kita
semua harus hidup harus diputuskan secara 'demokratis'.

Desentralisasi dan kebebasan individu

Apakah mungkin ada sebuah alternatif untuk demokrasi?


Sebuah masyarakat tanpa negara utama, tanpa aturan
mayoritas, masyarakat yang bebas dan mau berkerja-sama?

Tentu saja. Alternatif tersebut sangat diperlukan jika kita tidak


ingin terpeleset kepada tirani (penindasan) dan stagnasi
(kemacetan). Dunia membutuhkan ideal yang baru. Sebuah
cita-cita yang menggabungkan dinamika dan kebebasan
individu dengan harmoni sosial.

Ideal seperti itu tidak utopis (sebuah khayalan). Hal itu dapat
dicapai. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengurangi
peran pemerintah. Rakyat perlu untuk mendapatkan kembali
kontrol atas hidup mereka dan hasil kerja mereka. Tanpa
aturan-aturan yang menggangu dan perpajakan rakyat akan
membuat lingkungan yang aman, nyaman untuk ditinggali dan
komunitas yang berkelanjutan. Mengapa rakyat tidak bisa
menghabiskan uang mereka sendiri seperti yang mereka
inginkan dan membeli asuransi, perawatan kesehatan dan
pendidikan yang mereka pilih? Apakah bencana besar yang
akan menimpa kita apabila itu terjadi? Mengapa Negara harus
mengambil uang rakyat melalui pajak dan membuat semua
keputusan itu untuk mereka? Rakyat harus diberikan
kebebasan mereka kembali untuk memilih sendiri, untuk
memecahkan masalah mereka seperti yang mereka lihat sesuai
- secara individual atau, mungkin lebih sering, bersama-sama.
Karena tanpa kerjasama, ketertiban dan kemakmuran adalah
tidak mungkin. Tetapi kerjasama hanya dapat benar-benar
bekerja apabila atas dasar sukarela, berdasarkan kesepakatan
bersama.

114
Rakyat harus kembali mendapatkan kontrol atas hasil kerja
mereka sendiri. Mereka harus memiliki kebebasan untuk
membuat komunitas lokal mereka sendiri - agama, komunis,
kapitalis, etnis, dan sebagainya. Ini mungkin bisa diatur secara
'demokratis', apabila warga menginginkannya, atau tidak, jika
mereka tidak menginginkannya.

Mengapa tidak membuat sebuah pasar untuk pemerintahan, di


mana pemerintah harus bersaing satu sama lain, dan di mana
warga negara dapat dengan mudah pindah ke daerah
pemerintah yang lain untuk hidup dan bekerja?

Sebuah pasar untuk pemerintahan

Patri Friedman, cucu pemenang Nobel Milton Friedman,


pernah berkata: "Pemerintah merupakan sektor dengan
penghalang yang sangat tinggi dan sulit untuk masuk ke
dalamnya. Bahkan, Anda harus memenangkan pemilu atau
memulai revolusi untuk mencoba sebuah bentuk
pemerintahan yang baru."

Memang hanya ada sedikit pilihan dan persaingan di dalam


pemerintahan. Orang menganggap penting bagi perusahaan-
perusahaan untuk bersaing. Orang-orang menginginkan
adanya pasar bebas yang fleksibel dalam industri mobil,
pakaian dan asuransi dari pemasok yang berbeda. Lalu
mengapa tidak ada pasar untuk pemerintahan, di mana
pemerintah harus saling bersaing, dan di mana warga negara
dapat dengan mudah pindah ke daerah pemerintah yang lain
untuk hidup dan bekerja? Saat ini orang bisa pindah ke kota
lain, tetapi karena kebanyakan pajak dan hukum berasal dari
pemerintah pusat, hal ini tidak mengubah apa pun. Untuk bisa
mendapatkan jenis pemerintahan yang lain, orang dipaksa
untuk pindah, ini merupakan penghalang besar.

Kita tahu bahwa perusahaan memiliki kecenderungan untuk


membentuk monopoli dan kongsi dagang, untuk mengurangi
persaingan. Pemerintah memiliki kecenderungan yang sama.

115
Lihatlah konsentrasi kekuasaan pemerintah di Washington atau
Brussels. Dalam pasar bebas, bagaimanapun, adalah selalu
mungkin bagi seseorang untuk memulai bisnis baru, untuk
menantang monopoli dan kongsi dagang yang sudah ada.
Itulah sebabnya monopoli cenderung berumur pendek di
sektor swasta. Ketika pelaku monopoli menetapkan harga yang
tinggi atau menyalahgunakan posisi pasar mereka, hal ini
mendorong perusahaan lain untuk memasuki pasar tersebut.

Desentralisasi, berbeda dengan demokrasi nasional, adalah


sistem untuk 'hidup dan biarkan hidup'.

Dalam pemerintahan kurang ada kompetisi seperti itu. Seperti


pelaku monopoli sejati politisi tidak menginginkan adanya
kompetisi dalam pemerintahan. Mereka lebih memilih apabila
semua hal diputuskan secara kolektif oleh tingkat pusat.
Mereka akan berkata: "Imigrasi ilegal hanya dapat diselesaikan
dalam konteks Eropa." Atau: "Krisis hutang hanya dapat
ditangani secara internasional." Atau: "Terorisme hanya bisa
dilawan melalui lembaga pusat yang kuat." Namun, ternyata
ada banyak negara-negara kecil di dunia ini yang tidak
menjadi bagian dari 'blok' tersebut dan yang tidak menderita
krisis ekonomi atau terorisme. Demikian pula kita harus
percaya bahwa pendidikan, perawatan kesehatan, keuangan,
asuransi sosial, dan sebagainya, harus dikoordinasikan dan
diatur setidaknya pada tingkat nasional. Tapi tidak ada alasan
dibalik semua itu.

Desentralisasi akan sangat bermanfaat bagi banyak kelompok


dalam masyarakat. Dengan otonomi daerah, para pemikir
progresif dapat membawa ide-ide progresif mereka ke dalam
praktek di dunia nyata dan pemikir konservatif dapat
melakukan hal yang sama dengan nilai-nilai mereka, tanpa
memaksa orang lain untuk menyesuaikan diri dengan cara
hidup mereka. Orang-orang yang ingin memulai sebuah
komunitas ala hippies yang serba ‘hijau’ dapat hidup sesuai
dengan impian mereka. Tentu saja dengan biaya sendiri.

116
Sebuah komunitas agama ingin kalau toko-toko milik mereka
tutup pada hari Minggu bisa melakukannya. Satu ukuran
cocok untuk semua adalah tidak perlukan dan tidak
diinginkan. Desentralisasi, berbeda dengan demokrasi
nasional, adalah sistem untuk 'hidup dan biarkan hidup'. Jadi
biarkan ribuan negara tumbuh dan berkembang.

Keanekaragaman dalam pemerintahan menyiratkan bahwa


orang dapat lebih mudah memutuskan di dalam sistem seperti
apa mereka ingin hidup. Mereka bisa pergi ke kota lain atau
daerah lain jika mereka menginginkan pemerintahan yang
berbeda. Kompetisi tersebut memastikan bahwa para
penguasa harus bertanggung jawab, yang hampir tidak pernah
disinggung ketika pengaruh warga negara dibatasi hanya untuk
mengikuti pemilu setiap empat tahun sekali. Bahkan apabila
hanya sedikit warga yang benar-benar pindah ke daerah lain,
akan ada dorongan yang kuat bagi penguasa untuk
memperbaiki kebijakan mereka.

Jika tidak semuanya ditentukan oleh pusat, daerah-daerah


dapat memilih arah yang sesuai dengan keadaan dan
preferensi mereka. Misalnya, daerah tertentu dapat memilih
untuk mengurangi pajak dan regulasi untuk merangsang
kegiatan ekonomi. Seorang sejarawan Amerika Thomas E.
Woods menunjukkan bahwa kebebasan politik yang muncul di
Eropa Barat justru disebabkan karena fragmentasi dan
diferensiasi yang dimiliki para penguasa di sana berdasarkan
sejarahnya. Banyaknya daerah-daerah yurisdiksi kecil
memungkinkan orang-orang untuk melarikan diri dari tempat-
tempat di mana pemerintahnya bersifat menindas ke tempat-
tempat yang lebih liberal (bebas). Penguasa tirani dengan
demikian menemukan diri mereka dipaksa untuk memberikan
lebih banyak kebebasan.

Desentralisasi di Swiss

Swiss telah lama membuktikan bahwa desentralisasi dapat


bekerja dengan baik. Orang sering berpikir bahwa ukuran dan
sentralisasi membawa kemakmuran dan segala macam

117
manfaat lainnya. Namun, Swiss, yang bukan anggota dari Uni
Eropa maupun NATO, membuktikan sebaliknya. Dengan
hampir 8 juta penduduk, negara ini memiliki jumlah
penduduk yang hampir mendekati Jakarta dan pemerintahan
yang sangat terdesentralisasi. 26 kanton - kabupaten - bersaing
satu sama lain dan menikmati banyak otonomi. Kanton-kanton
dulunya adalah negara otonom yang terpisah, dan beberapa
memiliki kurang dari 50.000 jiwa. Selain itu ada beberapa
2.900 kota di Swiss - yang terkecil memiliki sekitar tiga puluh
jiwa. Ini jauh lebih banyak dari negara-negara Eropa lainnya.
Bagian utama dari pajak penghasilan di Swiss dibayarkan
kepada pemerintah kota dan canton, bukan kepada
pemerintah pusat. Kota-kota dan kanton memiliki kebijakan
yang sangat berbeda dalam perpajakan dan peraturan yang
berlaku dan dengan demikian bersaing untuk membuat warga
dan perusahaan berminat untuk bergabung dengannya.

Swiss dikenal sebagai negara yang sangat sukses. Di kelompok


paling top di dunia dalam hal harapan hidup, pekerjaan,
kesejahteraan dan kemakmuran. Ini adalah salah satu dari
sedikit negara di dunia yang belum mengalami perang selama
lebih dari satu abad. Meskipun memiliki empat bahasa
(Jerman, Perancis, Italia dan Romansh), terdapat harmoni sosial
yang tinggi, kontras dengan situasi di Belgia di mana selalu ada
ketegangan dan konflik kepentingan antara orang Flemish yang
berbahasa Belanda dan orang Walloon yang berbahasa
Perancis yang mengancam kesatuan negara. Di mana orang
Flemish mengeluh bahwa mereka harus membayar untuk
orang Walloon yang tidak begitu kaya, Swiss tidak mengalami
gesekan-gesekan seperti itu karena sistem desentralisasi
mereka.

Tentu saja, Swiss adalah negara demokrasi, namun negara ini


memiliki begitu banyak unit-unit demokrasi kecil, sehingga
mereka berhasil menghindari banyak efek negatif dari
demokrasi parlementer nasional.

Swiss juga menunjukkan bagaimana kemungkinan pemisahan


dapat mengurangi ketegangan. Pada 1970-an penduduk

118
berbahasa Perancis di kanton Bern merasa tidak terwakili di
tempat di mana mereka tinggal yang didominasi oleh orang-
orang berbahasa Jerman. Kemudian pada tahun 1979
penduduk yang berbahasa Perancis memisahkan diri dan
membentuk kanton Jura. Selama berabad-abad, perselisihan
antara kelompok-kelompok etnis dan bahasa yang berbeda
telah diselesaikan secara damai dengan cara itu. Karena
kanton-kanton di Swiss dan masyarakatnya kecil, orang-orang
tidak hanya dapat memilih di kotak suara, tetapi juga memiliki
pilihan untuk pindah jika mereka tidak puas dengan
pemerintahan yang ada. Dengan cara ini, kebijakan yang
buruk tersingkir oleh kebijakan yang baik.

Ini tidak berarti bahwa kita menganjurkan model Swiss sebagai


sesuatu yang ideal atau pilihan satu-satunya. Tapi itu adalah
contoh yang menunjukkan bagaimana tata kelola
pemerintahan yang terdesentralisasi bisa bekerja dan
bagaimana hal itu mengarah kepada pajak yang lebih rendah
dan kebebasan individu yang lebih besar. Kami juga tidak
mangatakan bahwa demokrasi selalu menjadi hal yang baik
asalkan dalam ukuran kecil. Sebuah demokrasi diantara tiga
orang masih salah jika ada satu orang yang bisa melarikan diri
darinya. Kemudian hal itu dapat memiliki efek negatif yang
sama dengan negara demokrasi dengan 10 juta warga.

Yang penting adalah bahwa orang-orang itu sendiri


diperbolehkan untuk menentukan seberapa besar unit
pemerintahan di mana mereka ingin tinggal dan apa bentuk
pemerintahan yang ingin mereka miliki. Hal itu tidak
memerlukan demokrasi. Liechtenstein (160 km2), Monako (2
km2), Dubai, Hong Kong (1100 km2) dan Singapura (710
km2) tidak menganut demokrasi parlementer. Tapi mereka
berhasil. Negara-negara ini menunjukkan bahwa seringkali
'kecil adalah indah'.

Orang mungkin berpikir bahwa hak untuk memisahkan diri


dan memerintah dirinya sendiri akan menyebabkan konflik.
Tapi itu tidak begitu kenyataanya. Pertimbangkan bagaimana
pasar bebas bekerja. Setiap orang memiliki hak untuk memulai

119
bisnisnya sendiri. Tetap saja, sebagian besar orang bekerja
untuk perusahaan. Kerja sama tersebut membawa manfaat
bagi semua pihak. Itu juga berlaku untuk negara. Orang dapat
memilih untuk mandiri, tetapi sebagian besar akan
menemukan kepentingan mereka untuk bergabung dengan
masyarakat. Dan berbagai masyarakat juga akan menemukan
kepentingan mereka untuk saling bekerja sama. Tentu, skala
ekonomi dapat mengurangi biaya, tetapi pada skala apa ini
akan terjadi hanya bisa ditentukan jika orang bebas untuk
memilih.

Pemisahan diri tidak perlu berarti harus mengarah pada


otonomi daerah yang penuh secara langsung. Setiap bentuk
desentralisasi di mana tanggung jawab tertentu ditransfer dari
pusat ke pemerintah daerah bisa disebut sebagai pemisahan
politik. Ini bisa menjadi bentuk (transisi) yang menarik antara
pemisahan lengkap dan situasi saat ini.

Bagaimana ini bisa bekerja dapat dilihat dalam contoh yang


disebut Zona Ekonomi Khusus seperti Shenzhen yang
diciptakan pemerintah Cina pada 1980-an dan 1990-an.
Daerah ini memiliki sedikit peraturan, mengizinkan beberapa
investasi asing dan membuka jalan bagi seluruh bagian Cina
lainnya untuk menjadi lebih bebas. Dubai juga telah mengatur
sedemikian rupa zona perdagangan bebas di mana hanya ada
sedikit peraturan mengenai perdagangan dan ketenagakerjaan.
Zona Ekonomi Bebas seperti itu bisa menjadi model bagi Zona
Politik Bebas di mana orang bisa bereksperimen dengan
berbagai bentuk pemerintahan.

Sebuah masyarakat kontrak

Orang-orang sering berpikir apabila Negara tidak mengatur


dan menyediakan hal-hal seperti membayar kelangsungan
teater dan acara kebudayaan, atau perawatan kaum lansia,
semua itu tidak akan ada. Tapi itulah mentalitas orang-orang di
bekas Uni-Soviet yang berkata: akan ada di manakah kita
sekarang apabila Negara tidak lagi mengurus kita? Ketika ahli
ekonomi Amerika Milton Friedman mengunjungi Negara Cina

120
yang komunis, para pejabat Cina bertanya, siapakah yang
menjabat sebagai Menteri Amerika untuk Sumber Daya Alam
pada saat itu. Ketika ia menjawab bahwa tidak ada jabatan
semacam itu, mereka menatapnya dengan tidak percaya.
Mereka tidak bisa membayangkan bahwa produksi dan
distribusi dari bahan-bahan mentah dapat mungkin terjadi
tanpa kontrol dari pemerintah.

Kini orang merasa sulit membayangkan rakyat - sebelum


kedatangan demokrasi - bisa menerima kekuasaan raja. Tapi
anehnya mereka bisa menerima kekuasaan kaum mayoritas
tanpa banyak keluhan.

Di masa lampau, orang-orang tidak bisa membayangkan


bagaimanakah hidup akan berlangsung tanpa seorang raja.
Sang raja diharapkan untuk menyediakan kebutuhan
rakyatnya. Sekarang kita memandang Negara dan demokrasi
dengan cara yang sama. Sekarang orang-orang merasa sulit
membayangkan rakyat - sebelum kedatangan demokrasi - bisa
menerima kekuasaan sang raja. Tapi anehnya mereka bisa
menerima kekuasaan kaum mayoritas tanpa banyak komentar.

Namun tetap saja setiap hari kita melihat organisasi pribadi


yang berdiri tanpa paksaan dan kontrol dari atas. Sering
berlawanan dengan harapan yang ada. Tidak ada yang berpikir
bahwa sesuatu yang begitu anarkis seperti Wikipedia,
ensiklopedia Internet, bisa begitu sukses tanpa adanya kontrol
dari pusat. Tetapi nyatanya itu bisa bekerja. Seluruh Internet
adalah sebuah koleksi dari banyak organisasi-organisasi yang
terpisah, individu-individu dan teknologi-teknologi yang
bekerja sama tanpa manajemen pusat. Pada awal worldwide
web (jaringan web seluruh dunia) banyak yang tidak percaya
bahwa Internet tidak dimiliki oleh siapapun, bahwa Internet
didasarkan pada kesukarelaan perorangan, persetujuan antara
ribuan organisasi (penyedia layanan Internet, perusahaan-
perusahaan, lembaga-lembaga), masing-masing dari mereka
mengontrol sebagian kecil dari jaringan itu.

121
Sama halnya, dalam sebuah masyarakat bebas, peraturan
utamanya adalah untuk tidak melakukan
pemalsuan/penipuan, kekerasan dan pencurian. Selama
orang-orang mengikuti aturan ini, mereka bisa menawarkan
jasa apapun, termasuk apa yang sekarang dianggap sebagai
layanan “masyarakat”. Mereka juga bisa mendirikan
komunitasnya dengan apa yang mereka anggap sesuai -
monarkis, komunis, konservatif, religius atau bahkan otoriter,
selama ‘pelanggan’ mereka bergabung dengan sukarela dan
selama mereka tidak mengganggu organisasi lain. Dan
komunitas tersebut bisa hanya beranggotakan sepuluh orang
atau bahkan dengan jutaan anggota (catat bahwa perusahaan
swasta seperti Walmart memiliki dua juta pegawai).

Sebuah masyarakat bebas akan sama dengan model yang


menjadi dasar berdirinya Internet. Dengan Internet, hanya ada
beberapa aturan yang sederhana; Selebihnya adalah terbuka
kepada siapapun untuk berpartisipasi di dalamnya dengan apa
yang mereka anggap sesuai.

Ketika Anda memiliki banyak unit administratif yang berbeda,


orang akan selalu bisa pindah apabila mereka tidak menyukai
sesuatu dan pemerintahnya sangat menyadari hal tersebut.
Penduduk mereka bukan hanya warga yang sesekali
diperbolehkan untuk memilih tapi pelanggan yang harus
dilayani dengan baik agar mereka tidak pindah. Hal yang sama
terjadi di pasar. Apabila pelanggan tidak menyukai apa yang
ditawarkan oleh tukang rotinya, maka mereka tidak berkumpul
untuk mengadakan aksi protes untuk mempengaruhi pemilik
toko roti, mereka hanya cukup pindah ke toko roti yang lain.

Kelompok-kelompok kecil cenderung lebih didasarkan pada


persetujuan yang jelas daripada pengaruh melalui kotak suara.
Di AS dan negara demokratis yang lainnya, tidak seorangpun
memiliki kontrak dengan pemerintah yang menjelaskan
kewajiban mereka satu sama lain, misalnya apa yang akan
disediakan oleh pemerintah dan berapa besar biaya yang

122
dibutuhkan. Pikirkan hal-hal seperti pensiun, perawatan
kesehatan, pendidikan, subsidi, peraturan ketenagakerjaan,
dan seterusnya. Warga memiliki kewajiban yang samar-samar
dan tidak jelas untuk membayar pajak dan menaati hukum,
sedangkan pemerintah tidak memiliki kewajiban yang pasti
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan pemerintah bisa
mengganti peraturannya kapan saja, terlepas dari bagaimana
hasil pemilu. Ini mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum.
Anda bisa saja telah membayar dana pensiun selama
bertahun-tahun dengan harapan setelah Anda pensiun Anda
akan menerima manfaatnya juga. Namun pemerintah bisa saja
mengganti manfaat pensiun tersebut hanya dengan sebuah
guratan pena. Atau Anda menyewa sebuah ruangan dan
berpikir kalau anda bisa memutuskan sewanya kapan saja,
ketika pemerintah tiba-tiba memutuskan akan berlaku kondisi
yang berbeda untuk batas lama penyewaan.

Di AS dan negara demokratis yang lainnya, tidak seorangpun


memiliki kontrak dengan pemerintah yang menjelaskan
kewajiban mereka satu sama lain, misalnya apa yang akan
disediakan oleh pemerintah dan berapa besar biaya yang
dibutuhkan.

Sebuah masyarakat yang baik seharusnya berdasar kepada


kontrak di mana hak-hak dihargai dan semua pihak tahu di
mana mereka harus berdiri. Di mana peraturan tidak bisa
dirubah di tengah-tengah permainan oleh sang penguasa. Dan
kontrak tersebut tidak harus sama untuk semua orang. Seperti
karyawan perusahaan, setiap warga bisa memiliki kontrak yang
berbeda, tergantung di area mana mereka tinggal atau bekerja.

Jalan menuju kebebasan

Apabila perkembangan teknologi adalah indikasi


pembangunan masa depan, maka desentralisasi akan
berprospek cerah. Sebuah penemuan teknologi seperti mobil
membuat orang bebas dalam mobilitasnya. Penemuan pil

123
hormon (kontrasepsi) membuat orang punya kebebasan sexual
dan wanita kini memiliki lebih banyak kontrol atas hidup
mereka. Kedatangan Internet mengakhiri cekikan elit penguasa
terhadap media. Sekarang semua orang bisa mempulikasikan
berita, mengirim ide-idenya kepada dunia dan mulai menjual
barang di Internet.

Faktanya, teknologi adalah pendorong demokratisasi


sesungguhnya, lebih daripada sistem demokratik itu sendiri. Di
mana demokrasi memberikan kekuatan kepada kaum
mayoritas untuk berkuasa atas kaum minoritas, teknologi
cenderung menawarkan kebebasan lebih banyak kepada
orang per orang atas kehidupannya. Demokrasi merampas
kekuatan dari individu, teknologi memperkuatnya. Teknologi
merupakan pendorong desentralisasi yang menggantikan
peran pemerintah yang berlebihan di bidang seperti
komunikasi, keuangan, pendidikan, media massa, dan
perdagangan. Dan karena pasar bebas membuat teknologi
semakin murah, kini kaum paling miskin sekalipun memiliki
sebagian kontrol atas nasibnya. Bahkan di Afrika sekarang
jutaan orang mendapatkan kesempatan yang baru, bukan
karena bantuan dana pembangunan, tapi terima kasih kepada
komputer dan telepon genggam yang semakin murah.

Demikianlah, umat manusia mengalami perkembangan yang


begitu pesat selama abad terakhir ini, bukan karena
demokrasi, tapi karena teknologi dan perusahaan swasta.
Peralatan seperti iPhone, Walkman dan PC (komputer) telah
membawa kemampuan teknologi tingkat tinggi ke jangkauan
orang-orang dan mendukung emansipasi mereka. Melalui
layanan seperti Facebook, orang-orang bisa memilih ingin
terlibat di hubungan sosial yang mana, bahkan melampaui
batas antara negara, dan tanpa campur tangan pemerintah.
Sebagai tambahan, perkembangan bahasa Inggris sebagai
bahasa dunia dan biaya perjalanan yang semakin murah telah
memuat dunia menjadi lebih ‘kecil’ dan membuat menjadi
lebih mudah untuk pindah ke negara lain.

124
Semua ini menyiratkan bahwa kompetisi mengenai
pemerintahan mungkin akan bekerja dengan sangat baik.
Sudah semakin banyak orang yang memilih di mana mereka
ingin hidup dan bekerja di bawah pemerintahan seperti apa.
Jutaan orang hidup dan bekerja di luar negeri. Sebuah dunia
dengan banyak unit pemerintahan yang kecil, dengan
karakteristiknya masing-masing, adalah sejalan dengan
perkembangan ini. Unit-unit kecil ini bisa memilih untuk
bekerja sama dalam hal-hal tertentu apabila itu
menguntungkan bagi mereka, misalnya dalam teknologi,
imigrasi, dan transportasi. Mereka juga bisa bekerja sama
dalam pertahanan yang menjadi masalah penting apabila
negara besar bangkit dan ingin menghancurkan masyarakat
yang lebih kecil. Masyarakat yang sukses dan inovatif secara
ekonomi akan cenderung menemukan cara cerdas untuk
melindungi diri mereka dari agresi semacam itu.

Faktanya, teknologi adalah pendorong demokratisasi


sesungguhnya, lebih daripada sistem demokratik itu sendiri.

Teknologi baru bahkan membuat pembentukan negara yang


benar-benar baru menjadi mungkin. Organisasi Seasteading
(www.seasteading.org) didirikan bersama oleh Patri Friedman
tersebut, mencoba membangun pulau buatan di perairan
internasional. Pulau-pulau ini bisa memberikan alternatif
kepada bentuk pemerintahan yang sudah ada.

Untuk mencapai desentralisasi, perlu ada perubahan yang


radikal pada sistem politik yang kita miliki saat ini, dan
perubahan radikal itu tidak sesulit yang Anda bayangkan untuk
bisa diwujudkan. Organisasi pemerintahan yang besar bisa
dibongkar. Kementerian pendidikan, kesehatan, dalam negeri,
ekonomi, pertanian, luar negeri, bantuan biaya pembangunan
dan keuangan bisa dihilangkan. Sebuah masyarakat hanya
membutuhkan layanan umum yang mendasar untuk
memastikan hukum dan keteraturan dalam masyarakat serta
masalah lingkungan hidup.

125
Jaminan kesejahteraan rakyat dari negara juga bisa diubah
menjadi perusahaan asuransi swasta. Ini akan memberikan
keamanan dan kebebasan kepada rakyat. Mereka akan bisa
mengambil asuransinya secara perorangan atau kolektif
melalui serikat pekerja atau perusahaan di mana mereka
bekerja. Jaminan kesejahteraan dari negara seperti yang kita
ketahui terus mengalami perubahan demi perubahan dari
pemerintah. Keamanan yang ditawarkan oleh negara adalah
palsu dan hanya menjadi subjek hasrat politik belaka. Ini harus
dihentikan. Bantuan untuk kaum miskin dan yang
membutuhkan bisa dikelola secara lokal.

Kontrol pemerintah atas sistem keuangan harus dihapuskan


sehingga pemerintah tidak lagi bisa mengikis nilai mata uang
kita, dan mengakibatkan ledakan dan kehancuran. Dengan
cara ini pasar keuangan Internasional yang adil bisa diciptakan,
tidak lagi dimanipulasi oleh pemerintah yang kuat dan
lembaga keuangan pemerintah.

Secara singkat, negara demokratik yang besar harus memberi


jalan kepada unit-unit politik yang lebih kecil di mana rakyat
sendiri memilih bagaimana mereka ingin membentuk
masyarakatnya. Dimanapun hal-hal yang ada harus diputuskan
secara lokal dalam tingkat sistem administrasi yang paling
rendah.

Apabila itu berarti berakhirnya Uni-Eropa, maka akan lebih


baik. Para politisi di Eropa sangat suka membuat skenario
kehancuran dunia apabila Uni-Eropa dibubarkan. Tetapi
negara-negara seperti Norwegia dan Swiss tidak pernah
bergabung kedalamnya dan mereka baik-baik saja dengan
sendirinya.

Kadang diperdebatkan bahwa Uni-Eropa memastikan


perdagangan bebas diantara negara Eropa. Apabila itu adalah
satu-satunya hal yang dilakukan, tentu tidak akan ada masalah,
tetapi ternyata lebih dari sekedar itu. ‘Pasar internal’ yang
dibuat di Brussel tidak ada hubungannya dengan kebebasan

126
ekonomi. Sebaliknya, Uni-Eropa membuat hukum dan
undang-undang yang membatasi kebebasan ekonomi. Uni-
Eropa merupakan Negara Super yang sedang dalam proses
pembangunan dan akan menghancurkan kebebasan warga
dan bisnis pada umumnya. Uni-Eropa merepresentasikan
kebalikan dari desentralisasi - dan merupakan lambang dari
sentralisasi, sebuah hambatan birokrasi yang tidak efektif, di
mana kebebasan individu bahkan akan lebih terancam
daripada di sebuah negara demokrasi nasional. Semakin cepat
dibubarkan semakin baik.

Sebuah masa depan yang cerah

Dalam banyak hal, masa depan terlihat cerah. Umat manusia


telah mengumpulkan pengetahuan yang luar biasa dan
kapasitas produksi yang besar - lebih dari cukup untuk
menciptakan kemakmuran bagi semua orang di dunia.

Sebagai tambahan, setelah runtuhnya rezim fasis dan komunis


yang penuh dengan pertumpahan darah di abad ke-20, seperti
di Uni-Soviet, Cina dan beberapa negara lainnya, ada
kecenderungan di seluruh dunia untuk adanya lebih banyak
kebebasan. Sekelompok besar orang telah mendapatkan lebih
banyak kebebasan personal dan ekonomi, menuju kepada
kemakmuran dan kesejahteraan. Yang lainnya berdiri dan
berjuang melawan kediktatoran dan menuntut lebih banyak
kebebasan. Tidak ada alasan mengapa kecenderungan ini
tidak akan terus berlanjut.

Mungkin sulit untuk membayangkan adanya kehidupan tanpa


Negara Demokrasi, tapi perubahan radikal yang sama telah
terjadi di masa lampau. Seperti yang ditulis Linda dan Morris
Tannehill dalam buku anti-demokratik Libertarian klasik
mereka, ‘Pasar untuk Kebebasan’ (‘The Market For Liberty’,
1970): “Bayangkan seorang hamba pada sistem feodal, secara
hukum terikat kepada tanah di mana ia dilahirkan dan posisi
sosial di mana ia dilahirkan, bekerja membanting tulang dari
matahari terbit hingga terbenam dengan peralatan primitif
untuk mencari nafkah yang nantinya harus dibagi kepada tuan

127
pemilik tanahnya, mentalnya terjerat dengan ketakutan dan
takhayul. Bayangkan untuk mencoba memberi tahu hamba ini
akan struktur sosial di Amerika pada abad ke-20. Anda
mungkin akan sangat sulit untuk meyakinkannya bahwa
struktur sosial seperti itu benar-benar ada, karena ia
memandang apapun yang Anda kemukakan dari sudut
pandangnya yang sesuai dengan pengetahuannya mengenai
masyarakat pada saat itu. Ia akan berkata kepada anda, tanpa
ragu dan bahkan cenderung bangga, bahwa kecuali setiap
individu terlahir kedalam komunitas dengan posisi sosial yang
spesifik dan permanen, akan terjadi kekacauan dalam
masyarakat. Sama halnya, memberi tahu seseorang dari abad
ke-20 bahwa pemerintah adalah jahat, dan maka dari itu,
tidak diperlukan, dan bahwa kita akan memiliki kehidupan
masyarakat yang lebih baik tanpa adanya pemerintah, ia tentu
akan merasa tidak percaya …. terutama apabila orang tersebut
tidak biasa berpikir mandiri. Akan selalu sulit untuk
membayangkan bagaimana bentuk masyarakat yang berbeda
dari yang kita miliki, bisa bekerja, dan terutama sebuah
masyarakat yang lebih maju. Ini karena kita sudah begitu
terbiasa dengan struktur sosial yang kita miliki sehingga kita
cenderung menilai setiap unsur dari bentuk masyarakat yang
lebih maju, berdasarkan sudut pandang kita saat ini, sehingga
mengaburkan gambaran masyarakat lebih maju, menjadi tidak
berarti.”

Kita percaya bahwa negara-nasional dan demokrasi dengan


masyarakat yang lebih maju adalah fenomena abad ke-20,
bukan abad ke-21. Jalan menuju otonomi dan pemberdayaan
akan terus berlanjut tetapi bukan melalui demokrasi yang
besar. Semuanya akan menuju kepada desentralisasi dan
pengorganisiran orang dalam unit administrasi yang lebih kecil,
yang diciptakan oleh mereka sendiri.

Beberapa orang mungkin akan berargumen kalau kebanyakan


orang tidak mampu hidup bebas. Bahwa mereka tidak
memiliki tanggung jawab atau keinginan untuk hidup mandiri.
Bahwa mereka harus diatur oleh pemerintah untuk kebaikan
mereka sendiri. Tetapi ini argumen serupa dengan yang

128
digunakan untuk melawan penghapusan perbudakan atau
emansipasi kaum perempuan. Perbudakan tidak boleh
dihapuskan karena katanya orang kulit hitam tidak akan bisa
mengatur dirinya sendiri - dan lagipula, kebanyakan malahan
tidak ingin bebas. Perempuan tidak seharusnya memiliki hak
yang setara, begitulah dikatakan, karena mereka tidak bisa
membiayai kehidupannya sendiri dan menghadapi segala
kebutuhan untuk hidup mandiri. Tetapi kenyataan
membuktikan yang sebaliknya. Dan akan sama halnya ketika
negara demokrasi yang serba menjaga dan ikut campur
dihapuskan. Orang-orang akan terbukti bisa mengurus dirinya
sendiri ketika mereka diberikan kesempatan. Tentu saja
mereka tidak akan memilih untuk hidup sendirian, tetapi akan
turut serta berorganisasi dalam kelompok yang mereka pilih, di
perusahaan dan perkantoran, klub-klub, serikat pekerja,
asosiasi, kelompok kepentingan khusus, komunitas dan
keluarga.

Untuk dirinya sendiri, orang lebih memilih kebebasan dari


paksaan. Mereka lebih suka punya pilihan langsung di pasar
bebas daripada secara samar-samar menentukan pilihannya di
kotak suara saja.

Bila terlepas dari tekanan birokrasi dan peraturan kaum


mayoritas demokrasi, maka orang akan membawa perubahan
kepada dunia dengan cara yang tidak bisa kita ramalkan
sekarang. Seperti Linda dan Morris Tannehill mengatakan:
“Banyak dari kondisi-kondisi merugikan yang dianggap biasa
oleh rakyat saat ini akan berubah menjadi kondisi sangat
berbeda pada masyarakat yang benar-benar bebas dari
pemerintah. Perbedaan ini akan banyak muncul dari sebuah
pasar yang merdeka dari cekikan tangan pemerintah - baik
sosialis maupun fasis - dan karenanya mampu memproduksi
sebuah ekonomi yang sehat dan perbaikan standar kehidupan
yang lebih tinggi untuk semua orang.

129
Inilah saatnya orang-orang bangun dari tidurnya dan melihat
fakta di mana demokrasi tidak mengarah kepada kebebasan
ataupun otonomi. Demokrasi itu tidak menyelesaikan masalah
dan tidak mendorong produktivitas dan kreativitas. Bahkan
sebaliknya. Demokrasi membuat permusuhan dan
pembatasan. Aspek terpusat dan kompulsif (terpaksa) dalam
demokrasi berujung pada kekacauan yang terorganisir,
sedangkan kebebasan individu dan dinamisme pasar yang
bebas membawa ketertiban dengan sendirinya dan
kemakmuran.

Untuk dirinya sendiri, orange lebih memilih kebebasan dari


paksaan. Mereka lebih suka punya pilihan langsung di pasar
bebas daripada secara samar-samar menentukan pilihannya di
kotak suara. Adakah orang yang lebih suka agar pemerintah
menentukan mobil apa yang harus ia beli dari pada
memilihnya sendiri?

Ini adalah saat sangat penting bagi orang untuk menyadari


bahwa kebebasan yang mereka inginkan untuk dirinya sendiri
juga harus diberikan kepada orang lain. Bahwa kebebasan
mereka tidak akan berlangsung lama apabila orang lain tidak
menikmati kebebasan yang sama. Bahwa pada akhirnya
mereka sendiri menjadi korban dari paksaan yang mereka -
secara demokratis - kenakan kepada orang lain. Mereka akan
jatuh ke dalam perangkapnya sendiri.

Sebuah pergerakan menuju pengurangan demokrasi dan lebih


banyak kebebasan mungkin terlihat menakutkan bagi
beberapa orang. Kita semua telah tumbuh menjadi dewasa di
negara nasional demokratis dan telah begitu banyak dijejali
ide-ide sosial demokratis. Kita telah diajarkan bahwa
masyarakat kita adalah ‘yang terbaik dari apa yang bisa
dibayangkan.’

Bagaimanapun, kenyataannya kurang begitu menarik. Inilah


saatnya untuk menghadang kenyataan tersebut. Pemerintah
bukanlah Santa Klaus yang baik hati. Ia hanya ingin
menguntungkan dirinya sendiri, monster yang selalu ingin ikut

130
campur dan tidak pernah terpuaskan dan pada akhirnya akan
mencekik kebebasan dan otonomi pengikutnya. Dan monster
ini dipertahankan hidup oleh demokrasi: melalui pemikiran
bahwa kehidupan setiap orang bisa diatur oleh kaum
mayoritas.

Inilah waktunya untuk meninggalkan pikiran bahwa orang -


dan dengan demikian negara - memiliki hak untuk mengatur.
Pikiran bahwa kita hidup lebih baik bila pemerintah
menentukan bagaimana kita harus hidup dan menentukan
bagaimana membelanjakan uang kita daripada bila kita
mengatur semuanya sendiri. Bahwa ideologi demokrasi satu-
untuk-semua akan mendatangkan keselarasan dan
kemakmuran. Bahwa kita memiliki keuntungan dari
pemaksaan demokratis.

Inilah saatnya kita membebaskan diri kita dari jajahan


mayoritas. Kita tidak akan kehilangan apapun selain rantai
yang mengikat kita satu sama lain itu.

131
Catatan tambahan

Libertarianisme dan demokrasi

Kritik kami terhadap demokrasi ditulis dari perspektif


libertarian. Libertarianisme adalah filsafat politik didasarkan
pada kepemilikan pribadi, yaitu hak setiap individu atas
tubuhnya, hidupnya dan dengan demikian hasil kerjanya.
Alternatif bagi pemerintahan diri sendiri adalah bahwa
beberapa orang memerintah kehidupan dan pekerjaan orang
lain (atau - tapi ini sangat kurang realis - bahwa setiap orang
memerintah setiap orang lainnya). Menurut libertarianisme
situasi seperti ini tidak adil. Libertarianisme didasarkan pada
prinsip bahwa individu tidak memiliki kewajiban untuk
mengorbankan dirinya kepada kepentingan kolektif (negara),
seperti yang dituntut dalam sosialisme, fasisme dan demokrasi.

Untuk seorang libertarian kebebasan individu atau


kepemilikan pribadi (self-ownership) tidak berarti setiap orang
‘berhak’ untuk bekerja, pendidikan, kesehatan, perumahan
atau beberapa hal lainnya, karena 'hak' menyiratkan adalah
menjadi tugas orang lain untuk memberikan hal-hal tersebut.
Jika seseorang dipaksa untuk mengorbankan dirinya bagi orang
lain, itu bukan kebebasan, tapi perbudakan. Kebebasan berarti
bahwa setiap orang memiliki hak untuk melakukan apa yang
dia inginkan dengan kehidupannya dan hartanya, selama dia
tidak mengganggu kehidupan dan milik orang lain. Singkatnya,
libertarian menentang inisiasi kekuatan fisik.

Tujuan utama dari sistem keadilan libertarian adalah


melindungi individu terhadap segala bentuk kekerasan. Orang-
orang libertarian mendukung semua bentuk kebebasan yang
mengikuti prinsip pemerintahan pribadi. Misalnya, kami
mendukung kebebasan beragama, kebebasan untuk
mengakhiri hidup (euthanasia), legalisasi narkoba, kebebasan
berbicara, dan sebagainya. Kami juga mendukung hak
masyarakat untuk berserikat, bekerja-sama, bergotong-royong
dan berdagang dengan bebas, seperti untuk pasar bebas.

132
Kami percaya bahwa individu dan kelompok/komunitas
memiliki hak untuk membuat aturan mereka sendiri mengenai
penggunaan properti milik mereka. Sama seperti semua orang
diperbolehkan untuk memutuskan siapa mereka ingin ajak
berkunjung ke rumahnya, pemilik bar harus diizinkan untuk
memutuskan sendiri apakah orang-orang diizinkan untuk
merokok di barnya dan majikan harus diizinkan untuk
memutuskan sendiri kode berpakaian dalam perusahaannya.
Siapapun bebas untuk tidak mengunjungi sebuah bar, atau
tidak bekerja untuk sebuah perusahaan, jika mereka tidak
menyukai aturannya.

Oleh sebab ini, libertarianisme menentang hukum anti-


diskriminasi. Hukum tersebut tidak sesuai dengan prinsip
asosiasi bebas. Pemerintah memutuskan bahwa: Engkau harus
bergabung! Tidak menjadi masalah Anda suka atau tidak.
Sebaliknya, libertarianisme didasarkan pada kebebasan untuk
memilih. Semua hubungan dan transaksi harus bersifat
sukarela.

Diskriminasi berarti: Memperlakukan masing orang secara


berbeda. Tentu saja sifat tidak mau bergaul dengan orang gay,
Yahudi, Jerman atau siapa pun konyol, tetapi prinsip
kebebasan berarti pilihan pribadi tidak harus disahkan, tidak
peduli seberapa konyol pilihannya. Anda tidak perlu alasan
yang bagus untuk menolak melakukan sesuatu. Libertarianisme
membela hak orang untuk melakukan hal-hal, atau tidak
melakukan hal-hal, yang mungkin akan berbeda dengan
pandangan orang lain. Sama seperti kebebasan berbicara
berarti bahwa orang memiliki hak untuk mengekspresikan
pendapat yang mungkin berbeda dengan pendapat orang lain.
Kewajiban utama rakyat adalah menahan diri dan tidak
melakukan kekerasan terhadap orang lain.

Hukum-hukum anti-diskriminasi sendiri pada kenyataannya


adalah bentuk kekerasan, karena mereka memaksa orang
untuk bergaul dengan orang lain yang bertentangan dengan
keinginannya. Haruskah kita memaksa wanita tua untuk
memasuki lorong-lorong gelap di mana berandalan yang suka

133
kekerasan nongkrong? Haruskah kita memaksa orang-orang
yand tidak saling menyukai untuk berpacaran? Tentu saja
tidak. Tapi kemudian dengan hak apa pemerintah memaksa
pengusaha untuk mempekerjakan orang-orang yang
sebenarnya tidak mau pengusaha itu mempekerjakan? Dan
dengan hak apa pemerintah memaksa pemilik klub untuk
menerima pelanggan yang tidak diinginkan oleh pemilik klub
itu? Sebagai libertarian kami percaya bahwa hukum dengan
bentuk seperti itu tidak hanya salah, tetapi juga
kontraproduktif (mengakibatkan terjadinya hal yang sebaliknya
dari yang diinginkan). Hukum tersebut menyebabkan
kebencian dan konflik ketimbang toleransi dan harmoni.

Libertarianisme bukanlah ‘nationalisme’ atau ‘politik yang


memuja negara’, tidak progresif dan tidak konservatif, tidak
‘kekirian’ (demokratis-sosialis) dan tidak ‘kanan’ (politik yang
menginginkan negara yang kuat). Orang-orang progresif
mendukung campur tangan pemerintah dalam perekonomian
tetapi bersedia (kadang-kadang) membuka peluang bagi
tingkat kebebasan pribadi yang wajar. Orang konservatif
mendukung campur tangan pemerintah dalam hal pilihan
pribadi tetapi bersedia (kadang-kadang) untuk membuka
peluang bagi tingkat kebebasan ekonomi yang wajar. Namun
keduanya memiliki kesamaan bahwa mereka menganggap
individu adalah anak buah negara, anak buah dari kolektif.
Libertarianisme adalah satu-satunya filsafat politik yang
mengatakan bahwa kolektif tidak memiliki hak untuk
memerintah individu. Libertarianisme adalah satu-satunya
filsafat politik yang bertentangan dengan inisiasi kekuatan pada
prinsipnya, yaitu menolak segala jenis penggunaan kekuatan
kecuali dalam membela diri. Berdasarkan prinsip ini
libertarianisme juga melawan kolonialisme, imperialisme dan
intervensi asing (seperti perang).

Libertarianisme bukanlah filosofi baru, melainkan didasarkan


pada tradisi lama. Cita-cita liberal pemikir-pemikir terkenal
abad ke-17 dan ke-18 sangat dekat dengan cita-cita
libertarian. Kini kita menyebut filosofi mereka 'liberal klasik'
untuk membedakannya dari 'liberalisme' masa kini, yang

134
sesungguhnya lebih merupakan sebuah versi demokrasi sosial
daripada filosofi kebebasan. Pada abad ke-19, libertarianisme
dipertahankan oleh sejumlah orang 'kapitalis-anarko' dan
sekelompok ahli ekonomi liberal klasik, terutama dari Austria.
Kini sebuah pusat akademik libertarianisme di AS adalah
Institut Mises, dinamai atas ahli ekonomi pasar bebas yang
terkenal Ludwig von Mises. Pada tahun 1974 Friedrich Hayek,
seorang murid Mises, menerima penghargaan Nobel di bidang
ekonomi. Pemikir libertarian abad ke-20 yang paling terkenal
adalah seorang murid Mises yang lain, ahli ekonomi dan
intelektual AS Murray Rothbard yang memiliki pengetahuan
yang sangat luas. Bukunya ‘For a New Liberty’ (‘Untuk
Mencapai Kebebasan yang Baru‘) mungkin masih merupakan
pengenalan ke dalam libertarianisme yang terbaik yang
tersedia saat ini.

Namun, Mises dan Rothbard tidak pernah menghasilkan


analisis mengenai fenomena demokrasi yang begitu
mendalam. Pemikir libertarian yang pertama melakukannya
adalah ahli ekonomi Jerman Hans-Hermann Hoppe, yang
tinggal dan bekerja di Amerika Serikat. Bukunya yang berjudul
‘Democracy: The God that Failed’ (2001) (‘Demokrasi: Tuhan
yang Gagal’) untuk sekarang adalah standar karya tulis
libertarian di bidang ini.

Beberapa tahun terakhir ini, sebagian berkat hasil kerja


Hoppe, ide demokrasi telah lebih diperhatikan oleh para
penulis-penulis libertarian, tetapi sebagian besar kritik mereka
hanya dapat ditemukan dalam artikel yang diterbitkan di
berbagai majalah dan website libertarian seperti Mises.org.
Sejauh yang kami ketahui, tidak ada kritik libertarian populer
secara menyeluruh tentang demokrasi yang pernah
diterbitkan. Kami berharap celah ini telah terisi dengan adanya
buku ini.

Untuk informasi lebih lanjut tentang buku ini, Anda bisa


berkunjung ke website kami www.kegagalandemokrasi.com.
Di Belanda informasi lebih lanjut mengenai libertarianisme

135
dapat ditemukan di situs web berbahasa Belanda milik Frank
Karsten, www.meervrijheid.nl.

136
Beberapa kutipan pada demokrasi

"Demokrasi adalah dua serigala dan satu domba memutuskan


berdasar penghitungan suara, apa yang akan dimakan untuk
makan siang. Kebebasan adalah domba bersenjata melawan
penghitungan suara. "
Benjamin Franklin, negarawan, ilmuwan, filsuf, dan salah satu
pendiri Amerika Serikat.

"Demokrasi tidak pernah berlangsung lama. Dia segera jadi


limbah, kehabisan energi, dan membunuh diri. Tidak pernah
ada demokrasi yang tidak melakukan bunuh diri. "
John Adams, presiden kedua Amerika Serikat.

"Demokrasi tidak lebih dari pemerintahan oleh majoritas, di


mana 51% anggota masyarakat dapat mengambil hak-hak 49%
anggota masyarakat lainnya."
Thomas Jefferson, presiden ketiga Amerika Serikat.

"Kami percaya sosialisme dan demokrasi adalah satu dan tak


terpisahkan."
Partai Sosialis U.S.A.

"Setiap pemilu adalah semacam lelang pendahuluan barang


curian."
HL Mencken (1880 - 1956), wartawan Amerika dan esais.

"Bagaimana kita bisa terus memastikan kemajuan jika kita


semakin mengadopsi gaya hidup di mana tidak ada yang
bersedia bertanggung jawab untuk diri mereka sendiri dan
semua orang mencari keselamatan dalam kolektivisme? Jika
kondisi mania ini terus berlanjut, sistem sosial kita akan
menurun menjadi sistem sosial di mana tangan setiap orang di
kantong orang lain. "
Ludwig Erhard, mantan Kanselir Jerman dan arsitek dari
keajaiban ekonomi pascaperang Jerman.

"Demokrasi tanpa batas, seperti oligarki, merupakan tirani


yang berlaku di sejumlah besar orang."
137
Aristotel.

"Pemerintahan adalah ilusi di mana semua orang berpikir


bahwa melalui prmrtintah dia bisa dan berupaya untuk
dibiayai orang lain."
Frédéric Bastiat (1801 - 1850), teori liberal klasik Perancis dan
ekonom politik.

"Ketika rakyat menyadari bahwa mereka dapat memilih politik


yang membiayai mereka, maka saat itu akan memberitakan
berakhirnya republik."
Benjamin Franklin, negarawan, ilmuwan, filsuf, dan salah satu
pendiri dari Amerika Serikat.

"Mereka yang meminta lebih banyak campur tangan


pemerintah pada dasarnya meminta lebih banyak kewajiban
dan berkurangnya kebebasan."
Ludwig von Mises, ahli ekonomi Austria dan bek besar untuk
pasar bebas.

"Tidak ada kehidupan manusia, kebebasan seorang, atau


properti seorang yang aman sementara DPR sedang
bersidang."
Mark Twain (1835 - 1910), penulis Amerika.

"Demokrasi adalah kehendak rakyat. Setiap pagi saya terkejut


membaca di koran apa yang saya inginkan. "
Wim Kan, komedian Belanda.

138
139
140

Anda mungkin juga menyukai