Anda di halaman 1dari 25

Laporan Kasus

Myasthenia Gravis

Disusun oleh:

Gracita Geminica

11-2017-151

Pembimbing:

dr. Hexanto M, Sp.S., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

SMF ILMU PENYAKIT SARAF

RS PANTI WILASA DR. CIPTO, SEMARANG

PERIODE 08 APRIL 2019 – 11 MEI 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Presentasi Kasus : Selasa, 30 April 2019
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT PANTI WILASA DOKTER CIPTO SEMARANG

Nama : Gracita Geminica Tanda Tangan


NIM : 11-2015-207
..............................
Tanda Tangan
Dr. Pembimbing : dr. Hexanto M, Sp.S., M.Kes
…..………………..
A. STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. WA
Umur : 44 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Pederesan Besar 32, Semarang
No RM : 167778
Dirawat diruang : Poli rawat jalan
Tanggal masuk : 27/04/19

PASIEN DATANG KE RS
Sendiri / bisa jalan / tak bisa jalan / dengan alat bantu
Dibawa oleh keluarga : ya / tidak
B. ANAMNESIS
Anamnesis diambil secara auto dan alloanamnesis pada tanggal 27 April 2019
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan lemas pada kedua tangan dan kaki sejak ± 4 bulan SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli saraf RS Panti Wilasa Dokter Cipto dengan keluhan lemas pada
kedua tangan dan kaki sejak ± 4 bulan SMRS. Keluhan lemas ini sudah diderita pasien sejak
1 tahun yang lalu namun semakin memberat sampai menganggu aktivitas pada 4 bulan terakhir
ini. Keluhan lemas dirasakan hilang-timbul. Lemas terutama timbul/bertambah berat pada sore
dan malam hari hingga pasien kesulitan untuk tertidur. Selain itu pasien juga merasakan
kelopak mata terasa berat dan kesulitan menelan. Pasien juga mengeluhkan sejak 1 tahun
terakhir ini bicaranya sengau. Keluhan lain seperti sulit menelan, suara sengau, sulit
mengunyah, sesak nafas, pusing, kelemahan anggota gerak, bicara pelo, kesemutan / kebas /
kekakuan anggota gerak, flu dan penurunan berat badan dialami oleh pasien, sementara mual,
muntah, dan tremor disangkal oleh pasien. BAK dan BAB tidak terdapat keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan seperti ini. Pasien memiliki riwayat
penyakit myastenia gravis yang sudah di diagnosis sejak sekitar satu bulan yang lalu hingga
dirawat di RS Karyadi. Pasien rutin control ke RS, baik di RS Panti Wilasa maupun RS
Karyadi. Pasien memiliki riwayat hipertensi. Riwayat kencing manis atau DM disangkal
pasien. Riwayat alergi terhadap obat dan makanan disangkal. Penyakit asma juga disangkal
oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan seperti ini. Tidak ada riwayat hipertensi,
diabetes dan asma pada keluarga pasien.

Riwayat Sosial Ekonomi Pribadi

Pasien tinggal dirumah bersama suaminya. Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk
dengan higienitas yang cukup baik. Kesan ekonomi pasien cukup. Biaya pengobatan
ditanggung oleh BPJS. Pasien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minuman keras dan
bukan pengguna obat-obatan terlarang. Pasien sehari-hari mengurus rumah sebagai ibu rumah
tangga.

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 GCS : E4M6V5 (15)
 TD : 130/90 mmHg
 Nadi : 70x/menit
 Pernafasan : 22x/menit
 Suhu : 36,7 oC
 SpO2 : 98%
 Kepala : normocephal, distribusi rambut merata
 Mata : pupil isokor, 3mm/3mm, refleks cahaya +/+
 Leher : pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar
 Paru : SN vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
 Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Perut : supel, BU (+) normal, NT abdomen (-), hepar,lien tidak teraba
 Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan

2. Status Neurologikus
 Kesadaran : Compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)
 Kepala
 Bentuk : normocephal
 Nyeri tekan : (-)
 Simetris : (+)
 Pulsasi : (-)
 Leher
 Sikap : normal
 Pergerakan : normal
 Kaku kuduk : tidak ada
3. Syaraf Kepala
N I. (Olfaktorius) Kanan Kiri

Subjektif
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Dengan bahan
N II. (Optikus)

Tajam penglihatan Normal Normal

Lapangan penglihatan Normal Normal

Melihat warna Normal Normal

Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N III. (Okulomotorius)

Kelopak mata Terbuka Terbuka

Gerakan bola mata:

 Superior Normal Normal


 Inferior Normal Normal
 Medial Normal Normal
Endoftalmus Tidak ada Tidak ada

Eksoftalmus Tidak ada Tidak ada

Pupil:

Diameter 3 mm 3 mm

Bentuk Bulat isokor Bulat isokor

Posisi Tengah Tengah

Reflex cahaya langsung + +

Reflex cahaya tak langsung + +

Strabismus + +
Nistagmus - -

Ptosis + +

N IV. (Troklearis)

Gerakan bola mata:

Medial bawah Normal Normal

Strabismus + +

Diplopia - -

N V. (Trigeminus)

Membuka mulut Tidak ada kelainan


+
Mengunyah
+
Menggigit
Tidak dilakukan
Reflex kornea
Tidak dilakukan
Sensibilitas
N VI. (Abduscens)

Pergerakan mata ke lateral Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan


Strabismus divergen - -
Diplopia - -

N VII. (Fascialis)

Mengerutkan dahi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Kerutan kulit dahi Kerutan (+) Kerutan (+)

Menutup mata Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

Sudut mulut Simetris Simetris

Meringis Tidak ada kelainan Tidak ada kelanan

Memperlihatkan gigi Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan


Bersiul Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Daya mengecap 2/3 depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N VIII. (Vestibulokoklear)

Detik arloji + +
Suara berbisik + +

Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan

N IX. (Glossofaringeus)

Faring Normal
Daya mengecap 1/3 belakang Tidak dilakukan
Refleks muntah Tidak dilakukan
Sengau +
Tersedak +

N X. (Vagus)

Arcus pharynx Simetris


Bicara Pelo
Menelan Kesulitan menelan
Nadi +

N XI. (Asesorius)

Mengangkat bahu + +

Memalingkan kepala + +

N XII. (Hypoglossus)

Pergerakan lidah
+
Tremor lidah -

Artikulasi Kurang baik


 Badan dan Anggota Gerak
1. Badan
(a) Motorik
 Respirasi : Spontan, abdominotorakal
 Duduk : Normal
 Bentuk Kolumna Vertebralis : Normal
 Pergerakan Kolumna Vertebralis : Tidak dilakukan
(b) Sensibilitas
Taktil Tidak dilakukan
Nyeri Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan

(c) Refleks
 kulit perut atas : tidak dilakukan
 kulit perut bawah : tidak dilakukan
 kulit perut tengah : tidak dilakukan

2. Anggota gerak atas


(a) Motorik
Kanan Kiri
Pergerakan + +
Kekuatan 444 444
Tonus Normotonus Normotonus
Atrofi - -
(b) Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
(c) Refleks
Kanan Kiri
Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
Radius Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Ulna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tromner-Hoffman - -

3. Anggota gerak bawah


(a). motorik
Kanan Kiri
Pergerakan + +
Kekuatan 111 111
Tonus Normotonus Normotonus
Atrofi - -
(b) Sensibilitas
Kanan Kiri
Taktil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nyeri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Termi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diskriminasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lokalisasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

(c) refleks
Kanan Kiri
Patella ++ ++
Achilles ++ ++
Wartenberg + +
4. Koordinasi Gait dan Keseimbangan
Cara berjalan : normal
Test romberg : Tidak dilakukan
Ataksia : Tidak dilakukan
Rebound phenomena : Tidak dilakukan
Dismetria : Tidak dilakukan
5. Gerakan-gerakan Abnormal
Tremor : Tidak ada
Miokloni : Tidak ada
Chorea : Tidak ada
Atetose : Tidak ada
6. Alat vegetative
Miksi : Normal
Defekasi : Normal

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
18 April 2018
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Cholesterol total 229 <220
HDL 47.2 34.0-88.0
LDL 131.8 <130
Trigliserida 79 70-140

E. RESUME
Pasien datang ke poli saraf RS Panti Wilasa Dokter Cipto dengan keluhan lemas pada
kedua tangan dan kaki sejak ± 4 bulan SMRS. Keluhan lemas ini sudah diderita pasien sejak
1 tahun yang lalu namun semakin memberat sampai menganggu aktivitas pada 4 bulan terakhir
ini. Keluhan lemas dirasakan hilang-timbul. Lemas terutama timbul/bertambah berat pada sore
dan malam hari hingga pasien kesulitan untuk tertidur. Selain itu pasien juga merasakan
kelopak mata terasa berat dan kesulitan menelan. Pasien juga mengeluhkan sejak 1 tahun
terakhir ini bicaranya sengau. Keluhan lain seperti sulit menelan, suara sengau, sulit
mengunyah, sesak nafas, pusing, kelemahan anggota gerak, bicara pelo, kesemutan / kebas /
kekakuan anggota gerak, flu dan penurunan berat badan dialami oleh pasien, sementara mual,
muntah, dan tremor disangkal oleh pasien. BAK dan BAB tidak terdapat keluhan. Pada
pemeriksaan fisik Tekanan darah : 130/90 , nadi: 70 x/menit , RR: 22x/menit, suhu : 36,7.
kondisi umum baik dan pada pemeriksaan neurologis didapatkan kelainan pada N. III, N. IX
dan N. X. Pada pemeriksaan laboratorium terkahir didapatkan peningkatan cholesterol total
dan LDL.

F. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis klinis : Disfagia, ptosis dextra dan sinistra.
Diagnosis etiologis : Myastenia gravis
Diagnosis topis : Neuromuscular Junction(motor end plate)
G. PENATALAKSANAAN
Non-medikaMentosa :
- RL 500CC 20 tpm + 1 Ampul Neurobion/ 24 jam
MedikaMentosa :
- Neostigmine (prostigmine) 3x1 Amp
- Metylprednisolon 3x 125 mg
- Omeprazole 1vial/ 12 jam
- Ceftriaxone 1 gr / 12 jam

Oral:
- Mestinon (Pyridostigmine) 5 x 1 tablet PO
 Pasang NGT

H. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Myasthenia gravis (MG) adalah suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh
rusaknya reseptor asetilkolin pada post sinaptik sehingga menganggu transmisi neuromuscular
dan menyebabkan kelemahan dan kelelahan otor rangka.1,2 Sedangkan krisis miastenik adalah
salah satu kegawatan neurologi yang terjadi pada kasus-kasus MG. Krisis miastenik ditandai
oleh kelemahan otot-otot bulbar dan otot pernafasan. Krisis miastenia adalah komplikasi MG
yang paling berbahaya dan mengancam hidup yang memerlukan perawatan intensif. Krisis
miastenia biasanya terjadi dalam 2 tahun pertama setelah onset MG (74% pasien) dan 15-20%
pasien dengan MG akan mengalami krisis miastenia.3,4 Istilah Myasthenia adalah bahasa latin
untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk salah
satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri adalah
suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia
Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang
mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah.
Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan
juga dapat terserang.1,5

Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia Gravis


sebagai penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot skelet. Otot-otot skelet
adalah serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi (striasi otot) yang
berhubungan dengan tulang. Myasthenia Gravis menyebabkan kelelahan yang cepat
(fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas, dan membaik setelah istirahat.3
Kemudian terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari
AchR serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi,spesifisitas, dan
fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis telah dianalisis dengan
sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi
neuromuskular telah diinvestigasi lebih jauh.5
Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-
beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi dan imunosupresif dapat
memberikan prognosis yang baik pada penyakit ini. Ironisnya, beberapa dari terapi ini justru
diperkenalkan saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat
kurang.5

2. Epidemiologi
Myasthenia Gravis dapat dikatakan sebagai penyakit yang masih jarang ditemukan.
Umumnya menyerang wanita dewasa muda dan pria tua. Penyakit ini bukan suatu penyakit
turunan ataupun jenis penyakit yang bisa menular. Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta
populasi per tahun, yang mengakibatkan kelaziman di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus.
MG betul-betul dipertimbangkan sebagai penyakit yang jarang, artinya MG kelihatannya
menyerang dengan sembarangan dan tanpa disengaja dan tidak dalam hubungan keluarga.
Tidak ada kelaziman rasial, tapi orang-orang yang terkena MG pada usia < 40 tahun, 70 % nya
adalah wanita. Yang > 40 tahun, 60 % nya adalah pria. Pola ini sering disimpulkan dengan
menyebutkan bahwa MG adalah penyakit wanita muda dan pria tua. Pada pasien yang
mengalami MG sebagai akibat karena memiliki thymoma, tidak ada kelaziman usia dan jenis
kelamin.5
Menurut James F.Howard, Jr, M.D, kelaziman dari Myasthenia Gravis di Amerika
Serikat diperkirakan sekitar 14/100.000 populasi, kira-kira 36.000 kasus. Tetapi Myasthenia
Gravis dibawah diagnosa dan kelaziman, mungkin lebih tinggi. Sebelum dipelajari, terlihat
bahwa wanita lebih sering terserang disbanding pria. Usia yang paling umum terserang adalah
pada usia 20 dan 30-an pada wanita dan 70 dan 80-an pada pria. Berdasarkan populasi umur,
rata-rata usia yang terserang meningkat, dan sekarang pria lebih sering terserang dibanding
wanita, dan permulaan munculnya tanda-tanda biasanya setelah usia 50.5
Pada Myasthenia bayi, janin mungkin memperolah protein imun (antibodi) dari ibu
yang terkena Myasthenia Gravis. Umumnya, kasus-kasus dari Myasthenia bayi adalah
sementara dan gejala-gejala anak-anak umumnya hilang dalam beberapa minggu setelah
kelahiran. Myasthenia Gravis tidak secara langsung diwarisi ataupun menular. Adakalanya,
penyakit ini mungkin terjadi pada lebih dari satu orang dalam keluarga yang sama.5

3. Anatomi, Fisiologis dan Biokimia Neuromuscular Junction


a. Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-
tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga
beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan
yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuskular.6
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang
disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post
sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction.6
b. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post
sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis,
yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh
cairan ekstraselular secara difusi.7
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat
diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal
terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate).7
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong
asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian
dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan
berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada
membran post sinaptik.7
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu6:
1) Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini: Asetil-
KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA
2) Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang
disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3) Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal
(sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu
vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan
aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan
asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps
ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian
yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin
(AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf.
Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini
akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor
yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+
akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial
end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran
otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang
serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps
6) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif
di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran


yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5
protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan
gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah
melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post
sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada
membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng
akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu
potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot

4. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain.8
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah
yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia
gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum
90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.8
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”, dimana antibodi yang
merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral
terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala
miastenik.5,8
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik
utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin.
Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan
terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang
reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan
sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan
yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.8

5. Manifestasi Klinis
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat.4 Gejala klinis miastenia
gravis antara lain:4,5
 Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis .Ptosis yang merupakan salah satu
gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita
miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh,
namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut
kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis7.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan
ekstensi kepala.4
 Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan
tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot
ekstremitas.4
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan
berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu
bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.4

6. Klasifikasi Miastenia Gravis


Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:7
a. Klas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan kekuatan
otot-otot lain normal.
b. Klas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan
pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Klas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan
otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Klas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada
otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
e. Klas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain
otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Klas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Klas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
h. Klas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat,
sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Klas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial.
Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Klas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa
dilakukan intubasi.
k. Klas V
Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak
pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan
tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun
Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah ini:
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut
menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

7. Diagnosis Miastenia Gravis


a. Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal.4,8
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face
dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan
makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk
dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus
terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga
terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.8
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas
lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.
Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan
otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi
panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan
plantarfleksi jari-jari kaki.8
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat
sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan
retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan
otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang
ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat
diperlukan.8
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan
sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas
pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang
sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus
rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu
mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.8

b. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti4,7


1. Pemeriksaan Laboratorium
 Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-
AChR antibody
 Antistriated muscle (anti-SM) antibody
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
 Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-
MuSK Ab.
 Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin
dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda
dengan miastenia gravis.
2. Imaging
a. Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak,
thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.
b. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan untuk
mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis, terutama pada
penderita dengan usia tua.
c. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
3. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuromuscular melalui 2 teknik :
i. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,
sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
ii. Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam
serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek
transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density
yang normal.
c. Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara lain:9
- Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :
 Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
 Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
 Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
 Paralisis pasca difteri
 Pseudoptosis pada trachoma
 Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks.
 Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot
anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif pada otot-otot
ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik
awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali
dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru.
EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis. Defek pada
transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz) tetapi akan terjadi
ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada miastenia
gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan pada LEMS terjadi
pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan
normal, sehingga jumlah asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik
tidak mencukupi untuk menimbulkan depolarisasi.

8. Penatalaksanaan4,5,7
a. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila
diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat menginaktifkan
atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera dihancurkan.
Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari
kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat
bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil,
kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial
berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram
atau diare dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting
sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda
terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk
menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah
menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar pasien
mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
b. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan
diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek
samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat
dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau
dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon
dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan
efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan
klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada
perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan
tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon
secara mendadak harus dihindari.
c. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik,
efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan
laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama
dengan azatioprin sangat dianjurkan.
d. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase
sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi
dengan fisioterapi dan antibiotik.
e. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg
BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.
Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat
bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas
bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu
hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik
karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi
tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, Myasthenia Gravis. Available at:


http://www.myasthenia.org/docs/MGFA_Brochure_Ocular.pd. Diakses pada tanggal 28
April 2019.
2. Frotscher, M., M. Baehr. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi, Fisiologi,
Tanda dan Gejala, Ed. 4. EGC. Jakarta.
3. Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm.
Diakses pada tanggal 28 April 2019.
4. Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 9th ed. Dian Rakyat, Jakarta.
5. Miastenia Gravis Indonesia. 2013. http://www.mgindonesia.org/myasthenia-gravis.html.
Diakses pada tanggal 29 April 2019.
6. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar Biokimia Beberapa
Kelainan Neuropsikiatri. ssEdisi 29. EGC. Jakarta.
7. Baehr M, Frotscher M. Duus' Topical Diagnostic in Neurology. New York: Thieme
Stuttgart; 2005.
8. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.
9. Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai