Anda di halaman 1dari 14

PENDIDIKAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK KESEHATAN

MENTAL
(STUDI TERHADAP PEMIKIRAN ZAKIAH DARADJAT)

A. Pendahuluan.
Era globalisasi memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara
keseluruhan dan perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan
yang wajar. Sebab, mau tidak mau, siap atau tidak siap perubahan itu bakal
terjadi. Dalam kondisi ini, barangkali rnanusia akan menghadapi konflik batin
secara besar-besaran.
Konflik tersebut sebagai dampak ketidakseimbangan antara
kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan kebudayaan
materi dengan kekosongan rohani manusia. Kegoncangan batin yang melanda
manusia, akan mempengaruhi kehidupan psikologis batin, di antaranya adalah
masalah agama.
Sehubungan dengan hal di atas, Abdul Aziz el-Quussiy menjelaskan,
bahwa kondisi pendidikan seperti di atas akan berakibat pada sikap anak atau
peserta didik menjadi negatif terhadap lingkungan, kaku dan konservatit
bukan sikap yang inovatif konstruktif. Akibatnya peserta didik dan orang yang
terlibat dalam pendidikan tersebut, sulit mendapatkan ketenangan dan
kebahagiaan. El-Quussiy mengisyaratkan bahwa semakin maju suatu
masyarakat dan semakin banyak yang harus diketahui, maka semakin sulit
untuk mencapai ketenteraman dan ketenangan hidup. Atau dengan kata lain,
tersedianya materi yang cukup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang pesat, di samping membawa dampak positif juga berpengaruh negatif
terhadap perkembangan mental anak didik, yang dapat menimbulkan
dekadensi moral, tindakan asusila dan kegiatan negatif lainnya.1
Untuk menanggulangi hal di atas, perlu diciptakaan suasana dan ikiim
yang kondusif dalam lingkungan keluarga, sehingga ketenangan, ketenteraman
dan kebahagiaan dapat dirasakan oleh setiap orang yang ada di dalamnya-
Kebahagiaan dan ketenangan hidup merupakan simbol bagi orang yang tenang
jiwanya atau sehat mentalnya. Sebaliknya, orang yang gagal memperoleh
kebahagiaan dan ketenangan, akan mengalami gangguan kejiwaan bahkan

1
Abdul Aziz el-Quussiy, Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa dan Mental, (Jakarta Bulan
Bintang, 1974), hlm 17.
penyakit jiwa. Oleh karena itu manusia berupaya mencari kebahagiaan, yaitu
dengan jalan menjalin keharmonisan hubungan, baik antara sesama manusia,
dengan alam maupun dengan dirinya dan Tuhannya.
Keluarga adalah salah satu mata rantai kehidupan yang paling esensial
dalam sejarah perjalanan hidup manusia. Rumahku adalah surgaku, adalah
sebuah ungkapan yang paling tepat tentang bangunan keluarga ideal. Untuk
membangun keluarga yang ideal, mawaddah warrahmah dan sakinah haruslah
dilandasi fondasi yang kokoh berupa iman, kelengkapan bangunan dengan
Islam, dan pengisian ruang kehidupannya dengan ihsan, tanpa mengurangi
tuntutan kebutuhan hidup manusia yang bersifat keduniaan.
Keluarga sebagai pranata sosial pertama dan utama, mempunyai arti
paling strategis dalam mengisi dan membekali nilai-nilai kehidupan yang
dibutuhkan oleh anak yang sedang mencari makna kehidupannya. Meskipun
diakui bahwa keluarga bukan merupakan satu-satunya pranata yang menata
kehidupan anak, karena di samping keluarga masih banyak pranata sosial
lainnya yang secara kontributif mempunyai andil dalam pembentukan
kepribadian. Dengan kata lain, pranata keluarga adalah titik awal
keberangkatan, sekaligus sebagai modal awal perjalanan hidup anak yang
kemudian dilengkapi dengan rambu-rambu perjalanan yang digariskan pranata
sosial lainnya di lingkungan pergaulan sehari-hari.
Efektivitas pendidikan agama dalam keluarga akan tercapai apabila
kedua orang tua mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap
pentingnya pembentukan dan pengembangan keimanan dan ketakwaan anak-
anaknya. Agar hal ini dapat tercapai dengan baik, kedua orang tua harus
memiliki pengetahuan, pernahaman dan pengalaman agama yang memadai,
sehingga dapat membimbing anak-anaknya meningkatkan keimanan dan
ketakwaan mereka.
Pendidikan, terutama pendidikan agama harus ditanamkan sejak dini
dalam keluarga. Tugas ibu menjadi amat dominan, mengingat unsur kedckatan
secara psikotogis antara anak dengan ibu menjadi bahan pertimbangan
tersendiri. Dengan kondisi seperti ini dapat dinyatakan, bahwa tugas ibu bagi
suksesnya program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan terpadu
amat menentukan.2

2
Mansur, dkk., Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1995),
hlm.115.
Salah satu tokoh pendidik sekaligus pcmikir pendidikan Islam di
Indonesia yang sangat concern dengan kesehatan mental adalah Prof. Dr.
Zakiah Daradjat. Zakiah Daradjat adalah sosok multidimensi. la tidak hanya
dikenal sebagai psikolog, tetapi juga muballigah, dan sekaligus pendidik.
Sebagai pendidik, aktivitas Zakiah memang tidak terbatas pada mengajar. la
bahkan pernah menggeluti dunia birokrasi pendidikan Di lingkungan
Departemen Agama, Zakiah pernah menduduki jabatan Direktur Pembinaan
Perguruan Agama Islam, lembaga yang paling bertanggung jawab atas
eksistensi dan kemajuan lembaga-lembaga pendidikan Islam di tingkat dasar
dan menengah. Tidak hanya itu, ia juga pernah menduduki jabatan Direktur
Pembinaan Perguman Tinggi Agama yang bertanggung jawab atas keberadaan
dan kualitas IAIN serta perguruan tinggi Islam swasta di Indonesia. Kedua
lembaga itulah yang mengendalikan lembaga-lembaga pendidikan Islam di
seluruh Indonesia, khususnya dalam segi kualitas.3
Salah satu pemikiran Zakiah Daradjat yang menarik dibanding dengan
tokoh pendidik Islam lamnya adalah penekanannya pada pentingnya kesehatan
mental dalam keluarga. Pendidikan di lingkungan keluarga mempunyai
hubungan yang erat dengan kesehatan mental, yaitu menciptakan hubungan
yang harmonis antara ayah, ibu dan anak-anak sehingga tercipta kebahagiaan.

B. Konscp Kesehatan Mental Menumt Zakiah Daradjat


Berbicara tentang mental yang sehat menurut Zakiah Daradjat
(selanjutnya disebut Zakiah) paling tidak ada empat batasan tentang kesehatan
mental. Konsep pertama menurut Zakiah mengatakan bahwa, "Kesehatan
mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan Jiwa (neurose)
dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose)"4
Dalam konsep kedua, dikatakan bahwa, "Kesehatan mental adalah
kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain
dan masyarakat serta lingkungan di mana ia hidup". 5 Jika diamati lebih jauh
konsep kedua ini lebih luas dan bersifat umum, karena dihubungkan dengan
kehidupan secara keseluruhan. Kesanggupan untuk menyesuaikan diri akan

3
Arief Subhan, Prof. Dr. Zakiah Daradjat : Pendidik dan Pemikir dalam Ulama
Perempuan Indonesia, (ed.) Jajat Burhanudin, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h, 139.

4
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), Cet. XVI, hlm. ll.

5
Ibid.
membawa orang kepada kenikmatan hidup dan terhindar dari kecemasan,
kegelisahan dan ketidakpuasan. Di samping itu, seseorang penuh semangat
dalam menghadapi hidup untuk mencapai kebahagiaan.
Di samping dua konsep kesehatan mental di atas, menurut Zakiah ada
lagi konsep ketiga yang disebut dengan pola pengembangan potensi secara
maksimal. Dalam hal ini ia menjelaskan: Kesehatan mental adalah
pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan
memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal
mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta
terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
Konsep ini mendorong orang untuk mengembangkan dan
memanfaatkan segala potensi yang ada Bakat yang tidak dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik, akan membawa kepada kegelisahan dan
pertentangan batin. Dalam bergaul dengan orang atau keluarganya akan
terlihat kaku dan mungkin sekali tidak akan memperhatikan orang, karena ia
merasa menderita, sedih, marah kepada dirinya dan orang lain.
Konsep yang ketiga ini lebih menekankan pada pengembangan dan
pemanfaatan segala daya dan pembawaan yang dibawa sejak lahir, sehingga
benar-benar membawa manfaat dan kebaikan bagi orang lain dan dirinya
sendiri.
Dalam konsep yang keempat dikemukakan bahwa: Kesehatan mental
adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi
jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem
biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan
dirinya.
Fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan
keyakinan hidup, harus dapat saling membantu dan bekerja sama satu sama
lain, sehingga terdapat keharmonisan, yang menjauhkan orang dari perasaan
ragu dan bimbang, serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin
(konflik).
Empat konsep tentang kesehatan jiwa di atas, disempurnakan oleh
Zakiah dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar untuk Kesehatan Jiwa
di 1AFN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1984. Dia menyempumakan
bahwa kesehatan mental adalah: “Terwujudnya keserasian yang sungguh-
sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri
antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan
dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan
bahagia di dunia dan bahagia di akhirat”6
Konsep ini memasukkan unsur agama yang sangat penting dan harus
diupayakan penerapannya dalam kehidupan, sejalan dengan penerapan
prinsip-prinsip kesehatan mental dan pengembangan hubungan baik dengan
sesama manusia. Menurut Dadang Hawari, pengertian kesehatan jiwa/mental
dalam paham ilmu kedokteran pada saat sekarang adalah, "Satu kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal
dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang
lain",7 Oleh karena itu, makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat harmonis
(serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam penghidupan manusia
dalam hubungannya dengan manusia lain.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa Organisasi Kesehatan sedunia
(WHO) tahun 1959 memberikan delapan kriteria jiwa atau mental yang sehat
Orang dapat dikatakan sehat mentalnya apabila dapat menyesuaikan diri
secara konstruktif, puas memberi daripada menerima, bebas dari rasa tegang
dan cemas, tolong menolong, mempuiiyai rasa kasih sayang yang besar.
Sebagaimana dijelaskan di bawah ini:
1. Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun
kenyataan itu buruk baginya.
2. Memperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya.
3. Merasa lebih puas memberi daripada menerima.
4. Secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas.
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling
memuaskan.
6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran untuk di
kemudian hari.
7. Menjuruskan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang kreatif dan
konstruktif.
8. Mempunyai rasa kasih sayang yang besar.

6
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental: Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran,
Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar 1AIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1984.

7
Dadang Hawari, Al-Qur'an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. (Yogyakarta:
Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), hlm. ll.
Kemudian WHO pada tahun 1984 telah menyempurnakan batasan
sehat dengan menambahkan satu elemen spiritual (agama) sehingga sekarang
ini yang dimaksud dengan sehat adalah tidak hanya sehat dalam arti fisik,
psikologik dan sosial, tetapi juga sehat dalam arti spiritual/agama.
Tanda-tanda kesehatan mental menurut Muhammad Mahmud dalam
bukunya Ilm al-Nafe al-Kia'ahir fi Dhaw'i al-Islam menjelaskan ada sembilan
kriteria yang menjadi indikator kesehatan mental dalam Islam, yaitu:
1. Adanya kemapanan (al-sakinah), ketenangan (al-th-umi'- nilwh) dan rileks
(al-rahah) batin dalam menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap
dirinya, masyarakat, maupun Tuhan.
2. Adanya kemampuan yang memadai (af-kifayah) dalam beraktivitas.
3. Mampu menerima keberadaan dirinya dan orang lain.
4. Adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri.
5. Adanya kemampuan untuk memikul tanggung jawab, baik tanggungjawab
keluarga, sosial maupun agama.
6. Memiliki kemampuan untuk berkorban dan menebus kesalahan yang
diperbuat.
7. Adanya kemampuan individu untuk membentuk hubungan sosial yang
baik yang dilandasi sikap saling percaya dan saling mengisi.
8. Memiliki keinginan yang realistis, sehingga dapat dicapai secara baik.
9. Adanya rasa kepuasan, kegembiraan (al-farh/al-surur) dan kebahagiaan
(al-sa'adah') dalam menyikapi atau menerima nikmat yang diperoleh.
Dalam pandangan psikologi Islam, kriteria kepuasan, kesehatan mental
atau kebahagiaan batin seseorang tidak semata-mata disebabkan terpenuhinya
kebutuhan material, namun terdapat penyebab lain yang hakiki, yaitu
kebutuhan meta-material, seperti kebutuhan spiritual. Dengan demikian
nampaknya kriteria kebahagiaan dalam pandangan Islam kalau dibandingkan
dengan teori kebutuhan Abraham Maslow yang membagi kebutuhan manusia
pada dua hirarki, yaitu kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) yang
meliputi kebutuhan fisik, rasa aman, cinta, harga diri, dan metakebutuhan-
meta-kebutuhan (meia needs) seperti yang terkandung dalam aktualisasi diri
seperti keadilan, kebaikan, keindahan, dan sebagainya, tentu belumlah
lengkap.
Kepuasan dan kebahagiaan yang esensial menurut Islam, terutama
yang dikembangkan dalam psiko-sufistik adalah kepuasan dan kebahagiaan
yang disebabkan adanya keridhaan Allah swt. Ridha Allah menjadi sumber
kepuasan hidup, sebab kondisi itu tidak akan diperoleh seseorang kecuali ia
beraktivitas dengan baik, jujur, benar dan mentaati segala aturan, tanpa
mengganggu hak-hak orang lain. Kepuasan ini bersifat teosentris yang
jangkauannya lebih subsantif, transendental dan mencakup semua lapisan
sebagaimana dalam firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 119 yang artinya
"...Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya. Itulah
keberuntungan yang paling besar".
Menurut Dadang Hawari, dewasa ini nampaknya perhatian kaum
psikiatri terhadap agama semakin besar. Mereka menyadari bahwa tindakan
kedokteran tidak selamanya berhasil, dokter yang mengobati, tetapi Tuhan
yang menyembuhkan.8
Dan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat Zakiah
tentang kesehatan mental senada dengan apa yang dikemukakan oleh WHO.
Kesehatan mental adalah keharmonisan/keserasian yang sungguh-sungguh
antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia
dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan,
serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia
dan bahagia di akhirat. Akan tetapi, Zakiah menegaskan bahwa kesehatan
mental itu bersifat relatif, di mana keharmonisan yang sempurna antara
seluruh fungsi-fungsi tubuh itu tidak ada. Yang dapat diketahui adalah berapa
jauh jaraknya seseorang dari kesehatan mental yang normal.
Konsep Zakiah tentang kesehatan mental secara sepintas memang
banyak kesamaan dengan apa yang dikemukakan oleh Dadang Hawari dan
yang telah dirumuskan oleh WHO. Namun apabila diamati lebih jauh, ternyata
terdapat perbedaan dan spesifikasi tersendiri. Dadang Hawari dalam melihat
dan memberikan terapi bagi orang yang mempunyai gangguan kejiwaan lebih
menitikberatkan pada pendekatan dan diagnosa psikiatri, artinya klien diobati
secara medis, kemudian diberi siraman rohani dengan pendekatan agama.
Sedangkan Zakiah dalam memberikan bimbingan kesehatan mental tersebut
melalui pendekatan psikologi agama sekaligus pengamalan ajaran agama
secara baik dan benar, seperti meluruskan akidah, menjalankan ibadah dan
memperbaiki akhlak. Berbeda dengan WHO yang mengartikan agama tersebut

8
Ibid, hlm 12.
hanya pada aspek spiritual belaka dan tidak jarang meninggalkan dimensi
ritualnya.

C. Pentingnya Pendidikan Agama dalam Keluarga


Dalam Islam, penanaman rasa beragama dimulai sejak pertemuan ayah
dan ibu yang membuahkan janin dalam kandungan, yang dimulai dengan doa
kepada Allah. Selanjutnya memanjat doa dan harapan kepada Allah agar
janinnya kelak lahir dan besar menjadi anak yang saleh.
Jika berbicara tentang pendidikan agama dalam keluarga, maka tentu
tidak terlepas dari aspek-aspek pendidikan agama itu sendiri, yaitu aspek
akidah, ibadah dan akhlak. Akidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan
bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan, harus semakin
kokoh fondasi yang dibuat, kalau fondasinya lemah maka bangunan akan
cepat runtuh.
Seseorang yang memiliki akidah yang kuat, pasti akan melaksanakan
ibadah dengan tertib dan memiliki akhlak yang mulia. Akidah (keyakinan)
sebaiknya didahulukan kepada anak-anak pada awal pertumbuhannya. Supaya
dihafalkan dengan baik, kemudian senantiasalah terbuka pengertiannya nanti
sedikit demi sedikit sewaktu dia telah besar. Jadi permulaannya dengan
menghafal, lalu memahami, kemudian beri'tikad, mempercayai dan
membenarkan, dan yang berhasil pada anak-anak, tanpa memerlukan bukti
Pendidikan akidah di sini meliputi keyakinan yang teguh terhadap Allah,
Malaikat, Rasul, Kitab-kitab Allah, Hari Akhir serta qada dan qadar Allah
yang lazim disebut dengan rukun iman.9

D. Pendidikan Ibadah.
Menurut Zakiah pembinaan ibadah harus dimulai dan lingkungan
keluarga sedini mungkin. Sebab semua pengalaman keagamaan yang diterima
di lingkungan keluarga merupakan unsur-unsur positif di dalam pembentukan
kepribadiannya yang sedang tumbuh dan berkembang. Sebagaimana
dijelaskannya: “Pembinaan ketaatan beribadah pada anak, juga mulai dari
dalam keluarga. Anak yang masih kecil, kegiatan ibadah yang lebih menarik
baginya adalah yang mengandung gerak, sedangkan pengertian tentang

9
Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),
hlm. 98.
ajaran agama belum dapat dipahaminya. Karena itu, ajaran agama yang
abstrak tidak menarik perhatiannya. Semua pengalaman keagamaan yang
diterima di lingkungan keluarga, merupakan unsur-unsur positif di dalam
pembentukan kepribadiannya yang sedang tumbuh dan berkembang.”10
Pokok-pokok ibadah yang diwajibkan dalam ajaran Islam adalah
dimulai dengan ibadah bersuci (thuhurah) shalat lima waktu, puasa di bulan
Ramadhan, zakat, dan naik haji yang merupakan kewajiban yang harus
dilakukan oleh setiap orang mukmin. Kelima pokok ibadah tersebut
mengandung nilai-nilai yang membawa kebaikan bagi yang melaksanakannya
maupun

E. Pendidikan Keluarga dalam Membentuk Kesehatan Mental


Perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh lingkungannya.
Lingkungan yang terdekat, yang paling awal dan yang terlama dialami
seseorang adalah lingkungan keluarga. Jika lingkungan keluarganya baik,
maka akan tumbuhlah generasi yang baik pula, dan sebaliknya, jika
lingkungan keluarga tidak baik, maka akan tumbuh generasi yang tidak baik
pula.
Dalam kenyataan yang ada, banyak keluarga-keluarga muslim yang
gagal dalam mengasuh dan mendidik anak yang menyebabkan anak gagal
dalam kehidupannya kelak, bahkan lahir generasi yang kurang memperhatikan
ajaran agama. Hal yang demikian terjadi mungkin disebabkan keluarga yang
kurang menghayati tuntunan agama yang berkaitan dengan masalah keluarga
dan pendidikan yang dapat dijadikan sebagai pengarah bagi setiap keluarga
muslim. Dan sebagai keluarga muslim yang meyakini adanya tuntrnan dari
Allah dan RasulNya dalam setiap aspek kehidupan tanpa kecuali tuntunan
yang berkaitan dengan pendidikan keluarga.11
Menurut Zakiah, pengalaman-pengalaman yang dilalui anak ketika
kecil, termasuk perilaku orang tua dan sikap mereka terhadap anak
mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan anak nantinya. Karena
kepribadian terbentuk dari pengalaman sejak kecil. Sebagaimana diterangkan
Zakiah berikut ini: “Pengalaman-pengalaman yang dilalui anak ketika kecil,

10
Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, Pokok-Pokok Keimanan, (Jakarta:
Gunung Agung, 1982), hlm. 60-61.
11
Kamrani Buseri, Pendidikan Keluarga Dalam Islam. (Yogyakarta: Bina Usaha, 1990),
hlm. iii.
baik pengalaman pahit ataupun yang menyenangkan, mempunyai pengaruh
dalam kehidupan nantinya. Karena kepribadian (kebiasaan, sikap dan
pandangan hidup) terbentuk dari pengalaman sejak kecil, terutama pada
tahun-tahun pertama kehidupan anak. Pengalaman itu termasuk pendidikan,
perlakuan orang tua, sikap orang tua terhadap anak atau sikap orang tua
satu sama lain (ayah dan ibu).”12
Selanjutnya Zakiah mengatakan bahwa pengalaman-pengalaman pada
tahun-tahun pertama itulah yang menentukan kesehatan mental seseorang,
bahagia atau tidaknya di kemudian hari. Kesehatan mental mempunyai
pengaruh atas keseluruhan hidup seseorang, yaitu terhadap perasaan, pikiran,
kelakuan dan kesehatannya.
Pcndidikan dalam hubungannya dengan kesehatan mental, bukanlah
pendidikan yang disengaja yang ditujukan kepada objek didik yaitu anak, akan
tetapi yang lebih penting dari itu adalah keadaan dan suasana rumah tangga,
keadaan jiwa ayah dan ibu, hubungan antara satu dengan yang lainnya, dan
sikap jiwa mereka terhadap rumah tangga dan anak-anak. Segala persoalan
orang tua akan berpengaruh terhadap anak, karena apa yang ia rasakan akan
tercermin dalam tindakan-tindakan mereka.
Perkembangan/pembentukan kepribadian anak tidaklah terjadi dengan
begitu saja, melainkan merupakan perpaduan (interaksi) antara faktor-faktor
konstitiisi biologi, psiko-edukatif, psikosial dan spiritual dalam hal ini peran
orang tua sangatlah penting.13
Menurut Dadang Hawari, anak akan tumbuh dan berkembang dengan
baik dan memiliki kepribadian yang matang jika ia diasuh dan dibesarkan
dalam lingkungan keluarga yang sehat dan bahagia. Kepribadian menurut
paham kesehatan jiwa adalah segala corak kebiasaan manusia yang terhimpun
dalam dirinya, yang digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri
tcrhadap segala rangsangan, baik yang timbul dari lingkungannya (dunia luar)
maupun yang datang dari dirinya sendiri (dunia dalam), sehingga corak dan
kebiasaan itu merupakan satu kesatuan fungsional yang khas untuk individu
itu.14 Kehadiran orang tua (terutama ibu) dalam perkembangan jiwa anak
menurut Dadang Hawari amat penting. Bila anak kehilangan peran dan fungsi

12
Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental dalam Keluarga, hlm. 60.
13
Dadang Hawari, Al-Qur'an, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. hlm. l73.
14
Ibid, hlm 175.
ibunya, sehingga seorang anak dalam proses tumbuh kcmbangnya kehilangan
haknya untuk dibina, dibimbing, diberikan kasih sayang, perhatian dan
sebagainya, maka disebut anak ini mengalami deprivasi maternal, bila peran
kedua orang tua tidak berfungsi disebut deprivasi parental, dan bila seorang
ayah yang tidak berfungsi disebut sebagai deprivasi paternal.15
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi
perkawinan dan mengalami ueprivasi maternal/paternal/parental menurut
Dadang Hawari, mempunyai resiko tinggi untuk menderita gangguan
perkembangan kepribadiannya, yaitu perkembangan mental intelektual,
perkembangan mental-emosional dan bahkan perkembangan psikososial serta
spiritualnya. Tidak jarang dari mereka bila kelak dewasa akan memperlihatkan
berbagai perilaku yang menyimpang, antisosial, dan bahkan sampai kepada
tindak kriminal.16
Peran dan fungsi seorang ibu sebagai "tiang rumah tangga" amat
penting bagi terselenggaranya rumah tangga sakinah, yaitu keluarga yang
sehat dan bahagia. Dengan demikian pembentukan keluarga yang diawali
dengan proses perkawinan bukanlah semata-mata bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan biologis saja, akan tetapi yang lebih penting adalah terpenuhinya
aspek afeksional, yaitu kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang,
rasa aman dan terlindung, dihargai, diperhatikan dan sebagainya. Kebutuhan
materi semata, bukanlah merupakan landasan utama untuk mencapai
kebahagiaan.
Di tinjau dari segi kesehatan jiwa, suami isteri yang terikat dalam suatu
perkawinan tidak akan mendapatkan kebahagiaan, jika perkawinannya hanya
berdasarkan pemenuhan kebutuhan biologis dan materi semata, tanpa
terpenuhinya kebutuhan afeksional (kasih sayang). Faktor afeksional yang
merupakan pilar utama bagi stabilitas suatu rumah tangga, adalah pembuktian
dari Alquran Surah ar-Rum ayat 21. Jika seseorang menginginkan
pembentukan anak yang diridhai Allah, yang bertakwa, berilmu, terampil,
berakhlak mulia, sehat tubuh dan mental, maka diperlukan orang tua yang
mampu melaksanakan fungsi pendidikan bagi anak-anaknya. Orang tua harus
kuat imannya, taat beragama, baik akhlaknya, sehat mentalnya.

15
Ibid.
16
Ibid.
F. Kesimpulan
Kesehatan mental menurut Zakiah Daradjat adalah terwujudnya
keserasian yang ungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan seperti
pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan. Sehingga tercipta
kemampuan menyesuaikan diri antara seseorang dengan dirinya sendiri,
dengan orang lain dan dengan lingkungannya. Berlandaskan keimanan dan
ketakwaan serta bertujuan mencapai hidup yang bermakna dan berbahagia di
dunia dan di akhirat. Pandangannya ini memasukkan unsur agama yang sangat
penting dan harus diupayakan penerapannya dalam kehidupan.
Pendidikan agama dalam keluarga mempunyai dampak yang besar
dalam pembentukan kepribadian dan kesehatan mental seseorang. Karena
agama mengatur seluruh segi kehidupan manusia. Oleh sebab itu, semua
tingkah laku, sikap, penampilan dan pandangan orang tua dalam kehidupan
sehari-hari yang dilihat dan dialami bersama anak haruslah bemafaskan
agama.
Dalam hal ini perlu keteladanan, latihan, pembiasaan tentang agama.
Baik yang berkenaan dengan akidah, terutama yang menyangkut tentang
penanaman keyakinan kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya,
Kitab-kitab-Nya, Hari Akhir serta Qada dan Qadar (rukun iman yang enam),
Begitu juga yang berkenaan dengan ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan
haji. Dan tidak kalah pentingnya penanaman nilai-nilai moral/akhlak, seperti
sifat jujur, sabar, syukur, tawakal, adil dan sifat-sifat terpuji lainnya.
Perkembangan kepribadian dan kesehatan mental seorang anak
menurut Zakiah Daradjat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan yang
terdekat, yang paling awal dan yang terlama dialami seseorang adalah
hngkungan keluarga. Jika lingkungan keluarganya baik, maka akan tumbuhlah
generasi yang baik pula, dan sebaliknya jika lingkungan keluarga tidak baik,
maka akan tumbuh generasi yang tidak baik pula.
Demikian telah dikemukakan beberapa pemikiran Zakiah Daradjat
tentang pendidikan keluarga dalam mewujudkan kesehatan mental. Tentu saja
masih banyak lagi pemikiran beliau yang tidak bisa dijangkau oleh penelitian
ini. Hal itu apakah karena masalah tersebut di luar ruang lingkup penelitian
ini. Justru itulah perlu adanya penelitian lanjutan, baik yang berhubungan
dengan bidang akidah, syariah, maupun tasawuf.
G. Daftar Pustaka

'Abd al-'Ati, Mahmudah., Keluarga Muslim, terj. Anshari Thayib, Surabaya, Bina
Ilmu, 1984.

Arifin, Hubungan Timbal Batik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan


Keluarga. Jakarta, Bulan Bintang, 1977.

Azra, Azyumardi, dan Saiful Umam (ed.), Menteri-Menteri Agama Rl : Biografi


Sosial-Politik, Jakarta, Balitbang Depag RI dan PPIM-IAIN Jakarta, 1998.

Bastaman, Hanna Djumhara, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi


Islami, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1995.

Buseri, Kamrani, Pendidikan Keluarga dalam Islam,Yogyakarta, Bina Usaha,


1990.

Daradjat, Zakiah, Islam dan Kesehatan Mental, Pokok-Pokok Keimanan, Jakarta,


GunungAgung, 1982.

__, Kesehatan Mental dalam Keluarga, Jakarta, Pustaka Antara, 1992.

__, Kesehatan Mental, Jakarta, Haji Masagung, 1990.

__, Kesehatan Mental: Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran, Pidato


Pengukuhan Sebagai Guru Besar IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1984.

__, Ketenangan dan Kebahagiaan dalam Keluarga, Jakarta, Bulan Bintang, 1974.

Djamas, Nurhayati. Prof. Dr. Zakiah Daradjat Membangun Lembaga Pendidikan


Islam Berkualitas, dalam Perkembangan Psikologi Agama dan Pendidikan
Islam di Indonesia, 70 Tahun Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Jakarta, Logos
Wacana Ilmu, 1999.

El-Qussyy, Abdul 'Aziz, Pokok-Pokok Kesehatan Jiwa/Mental,Jakarta, Bulan


Bintang, 1974.

Harahap, Syahrin, Metodologi Studi dan Penelitian Hmu-ilmu Ushuluddin,


Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000.

__, (ed.), Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, Yogyakarta, Tiara Wacana,
1998.

Hawari, Dadang, Al-Qur'an. Kmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa,


Yogvakarta, Dana Bhakti Prima Yasa, 1995.

Ma'ruf, Imam, Prof. Dr. Zakiuh Daradjat Mengembalikan Kefenangan Orang


yung Susah Butinnya, Hidayah II, Nopember, 2002.

Sadii, Saparinah, Pengantar dalam Kesehaian Jiwa dalam Buku Pedoman


Bimbimgan dan Konseling, Jakarta, Badan Konsultasi Mahasiswa UI,
1982.
Subhan, Arief, Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Pendidik dan Pemikir dalam Ulama
Pcrempuan Indonesia, (ed.) Jajat Burhanudin, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2002.

Sudjana, Nana Teknologi Terapan, Bandung, Sinar Baro, 1989

Zainuddin dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali,Jakarta, Bumi Aksara,


1991.

Anda mungkin juga menyukai