Anda di halaman 1dari 17

BAB 15

KETERAMPILAN MENGAJAR BAHASA

Memadukan Empat Kemahiran Berbahasa


Praktek dan penelitian di bidang pengajaran bahasa telah mengidentifikasi kemahiran
berbahasa menjadi empat, yakni, menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat
kemahiran tersebut dianggap sangat penting dalam proses pemelajaran bahasa. Oleh karena itu,
kemahiran berbahasa seseorang bisa diidentikasi berdasarkan kemahirannya ketika dia
berbicara, menulis, menyimak, dan membaca.
Keempat kemahiran tersebut biasanya bisa dikelompokkan menjadi dua: reseptif dan
produktif. Reseptif mencakup menyimak dan membaca, sedangkan produktif mencakup
berbicara dan menulis. Sepanjang sejarah, keempat kemahiran tersebut umumnya, di dalam
kurikulum, dipisah-pisahkan. Namun, saat ini ada kecenderungan untuk memadukan keempat
kemahiran tersebut ketika proses belajar mengajar berlangsung. Contohnya, kelas membaca
biasanya akan diawali dengan diskusi mengenai topik yang akan dibahas dalam teks yang akan
dibaca, atau bisa juga diawali dengan menyimak bahan kuliah yang disampaikan oleh seorang
pengajar dan masih berkaitan dengan teks yang akan dibaca. Di akhir kelas, menulis parafrasa
bisa dilakukan agar pengajar bisa mengukur sampai sejauh mana pemelajar mampu menuliskan
kembali apa yang sudah mereka pahami dari teks dengan menggunakan kata-kata mereka
sendiri.

Mengapa Memadukan ?
Memadukan beberapa kemahiran, seperti kemahiran berbicara, menyimak, membaca, dan
menulis, menjadi satu kesatuan ketika mempelajari bahasa sebenarnya merupakan satu cara
yang bisa memotivasi pemelajar agar bisa memahami prinsip-prinsip yang efektif mengenai
kemahiran-kemahiran tersebut. Namun, ada anggapan bahwa memadukan keempat kemahiran
tersebut dalam proses pemelajaran bahasa bisa mengaburkan prinsip-prinsip mendasar dari
setiap kemahiran yang sifatnya dianggap unik dan penting. Di samping alasan tersebut, ada
beberapa alasan lain mengapa pada awalnya keempat kemahiran tersebut tidak dipadukan.
1. Sebelum CLT (communicative language teaching), yang dalam bahasa Indonesia disebut
pengajaran bahasa yang bersifat komunikatif, terkenal, pada saat membentuk lembaga
kursus, penyusun kurikulum lebih banyak fokus pada bentuk-bentuk bahasa. Lembaga

1|Page
kursus itu biasanya berlandaskan pada masing-masing kemahiran berbahasa secara
terpisah.
2. Pertimbangan administratif menjadi alasan utama untuk menyusun kursus bahasa
berdasarkan setiap kemahiran secara terpisah. Jadi karena alasan praktis, kelas bisa saja
dibagi menjadi kelas menyimak, membaca, menulis, dan berbicara. Setiap kelas bisa
berlangsung selama 3 jam per minggu dan setiap kelas akan diampu oleh pengajar yang
berbeda.
3. Alasan ketiga menyangkut perlunya pemelajar mendalami kemahiran tertentu karena
tujuan tertentu. Situasi seperti ini biasanya berlaku di lingkup universitas dan berlaku bagi
pemelajar yang sudah berada di tingkat menengah atas sampai tingkat lanjut. Jadi seringkali
dalam kelas menyimak dijumpai modul yang hanya berisi instruksi tentang cara-cara
menyimak secara efektif materi kuliah di kelas, percakapan dengan rekan kuliah, atau
percakapan yang berlatar belakang akademis. Modul semacam ini biasanya tidak disertai
dengan petunjuk visual yang berkaitan dengan konteks akademis.

Terlepas dari alasan-alasan di atas, pemaduan keempat kemahiran di atas merupakan satu-
satunya pendekatan yang paling bisa diterima untuk pengajaran bahasa dengan pendekatan
interaktif dan komunikatif. Sebagian besar teknik interaktif yang sudah dijabarkan dan dirujuk
dalam buku ini semuanya melibatkan pemaduan keempat kemahiran. Teknik-teknik tersebut
didukung oleh pengamatan-pengamatan berikut ini:
1. Kemahiran produktif dan reseptif seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya
tidak bisa dipisahkan.
2. Interaksi berarti mengirim dan menerima pesan.
3. Bahasa tulis dan lisan seringkali saling melengkapi; keduanya menjadi bagian dari
kekayaan bahasa.
4. Bagi yang memelajari susastra, hubungan antara bahasa lisan dan tulisan pada hakikatnya
merupakan refleksi hubungan antara bahasa, budaya, dan masyarakat.
5. Apabila fokus utama adalah pada apa yang pemelajar sudah bisa lakukan dan bukan pada
bentuk-bentuk bahasa, hal itu berarti keempat kemahiran yang sudah disebutkan di atas
menjadi relevan dengan kegiatan belajar mengajar yang sudah dilakukan di kelas.
6. Seringkali satu kemahiran akan memperkuat kemahiran yang lain. Ketika kita belajar
berbicara, sebenarnya kita sedang meniru apa yang sudah kita simak, dan kita belajar
menulis dengan cara memelajari apa yang kita baca.

2|Page
7. Penasehat bahasa yang memanfaatkan pendekatan menyeluruh (lihat bab 3) telah
menunjukkan kepada kita bahwa di dunia nyata, kemampuan alami kita tidak hanya
melibatkan pemaduan lebih dari satu kemahiran, akan tetapi juga melibatkan hubungan
antara bahasa dengan cara kita berpikir, merasa, dan bertindak.

Ada beberapa model pendekatan yang bisa digunakan untuk mempraktikkan kegiatan belajar
mengajar yang memadukan keempat kemahiran.

INSTRUKSI BERBASIS ISI


Model pendekatan yang pertama adalah instruksi berbasis isi. Dalam pengajaran bahasa
yang menggunakan metode berbasis isi, proses pemelajaran dilakukan dengan cara
memadukan materi dari beberapa subjek tertentu dengan bahasa yang sedang dipelajari oleh
pemelajar. Bentuk kurikulum berbasis isi ini sangat berbeda dengan bentuk kurikulum kelas
Bahasa yang sifatnya tradisional yang biasanya ditentukan oleh hakikat dari subjek yang
dijadikan isi atau muatan materi untuk proses pemelajaran bahasa, jadi bukan ditentukan oleh
bentuk-bentuk bahasa yang sedang dipelajari. Oleh karena itu, bahasa yang dipelajari di kelas
hanyalah menjadi alat untuk menyampaikan isi subjek yang menarik minat pemelajar atau
relevan dengan pemelajar. Contoh pemelajaran bahasa yang menggunakan metode ini adalah:
• Program pembauran untuk anak-anak sekolah dasar
o Contoh Menceritakan suatu dongeng yang ditekankan dalam hal ini adalah isi
dari cerita dari dongeng tersebut sedangkan bahasa menjadi media.
• Sheltered English Program, dalam kegiatan pemelajaran Bahasa Indonesia contohnya
adalah BIPA mengadakan program kunjungan belajar ke beberapa institusi dalam
waktu tertentu.
• Kelas menulis akademik untuk subjek-subjek khusus
• Kelas Bahasa untuk tujuan tertentu, contoh tes UKBI yang diadakan oleh pusat Bahasa
Indonesia
Model berbasis isi ini juga dianggap paling cocok untuk pemelajar bahasa karena
metode ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan pemelajar. Misalnya, pemelajar tingkat dasar
akan belajar menggunakan bahasa dalam konteks memperkenalkan diri, berbelanja atau ketika
akan memperpanjang identitas.
Bagi pengajar, metode ini menjadi metode yang cukup menantang karena pengajar
paling tidak harus menguasai materi subyek yang akan dibahas menggunakan bahasa yang

3|Page
akan dipelajari di kelas. Misalnya materi subyek yang akan dibahas adalah Geografi, maka
pengajar harus mampu menguasai materi geografi yang akan dijadikan topik dan pengajar juga
harus mampu menyampaikan topik tersebut dengan menggunakan bahasa yang dipelajari di
kelas. Otomatis kegiatan-kegiatan belajar yang dilakukan di kelas sudah pasti akan melibatkan
kemahiran membaca, menulis, menyimak, dan berbicara.

INSTRUKSI BERBASIS TEMA


Model yang satu ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai versi yang merupakan
kekurangan dari model pendekatan berbasis isi. Dianggap sebagai kekurangan karena dalam
model berbasis isi, fokus utama adalah pada tema atau topik yang dibahas dan bukan pada
bahasa yg dipelajari. Hal ini terjadi karena memang model berbasis isi menjadikan bahasa
sebagai media atau alat saja untuk menyampaikan materi atau topik tertentu sesuai dengan
minat pemelajar. Konsekuensinya adalah pemelajar memang dapat meningkatkan kemahiran
berbahasa mereka melalui pembahasan berbagai topik, tetapi tidak terlalu terfokus pada bahasa
yang dipelajari. Topik yang dibahas bisa bermacam-macam; kesehatan masyarakat, kesadaran
terhadap lingkungan, ekonomi dunia, dan lain lain.
Karena merupakan kekurangan dari model pendekatan berbasis isi, perbedaan di antara
keduanya tidak begitu kelihatan. Seperti apa pun perbedaannya, keduanya memiliki prinsip-
prinsip yang sama ketika diaplikasikan di dalam kelas. Prinsip-prinsip tersebut mencakup:
• Kondisi otomatis
• Pemelajaran yang bermakna
• Motivasi dari dalam
• Kompetensi komunikatif
Pada saat ini, banyak dijumpai buku-buku mengenai penggunaan atau belajar bahasa
oleh penutur dengan bahasa ibu yang berbeda atau dalam istilah asing disebut ESL (English As
a Second Language), khususnya tingkat madya sampai lanjut, yang menggunakan model
berbasis tema ini. Topik-topik yang dibahas pun beragam, mulai dari yang sederhana sampai
yang kompleks.
Di samping keberagaman topik yang disediakan, model berbasis tema ini juga biasanya
mengadopsi kegiatan-kegiatan yang menarik untuk mendukung proses belajar mengajar.
Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup:

4|Page
1. Menggunakan fakta dan data-data statistik yang berkaitan dengan lingkungan untuk
kegiatan membaca, menulis, diskusi, dan debat. Dengan adanya fakta dan data-data
tersebut, pemelajar bisa melakukan:
(untuk tingkat menengah sampai lanjut)
• Menyeleksi (scan) informasi yang dibutuhkan
• Mengerjakan latihan untuk melatih kemampuan membandingkan
• Mencari tahu bias dalam statistik
• Menggunakan statistik dalam berargumen
• Memelajari fitur-fitur wacana dalam menulis persuasif
• Menulis esai mengenai opini pribadi
• Mendiskusikan isu-isu
• Mengikuti debat formal (untuk pemula)
• Menggunakan kalimat imperative (perintah) (misalnya “jangan membeli rokok”)
• Memahami dan melatih penggunaan verba yang dikaitkan dengan kata
• Menambah kosakata
• Memelajari angka ordinal dan kardinal
• Berlatih percakapan sederhana
2. Melakukan riset dan proyek menulis. Biasanya topik yang paling menarik untuk proyek
riset adalah topik yang berkaitan dengan lingkungan. Pemelajar bisa memperoleh sumber
data melalui perpustakaan, took buku, berita, televisi, radio, atau kampanye politik.
Kegiatan ini bisa dilakukan secara individu ataupun kelompok. Pemelajar bisa
menyampaikan hasil riset dalam bentuk presentasi lisan ataupun tulisan.
3. Mendorong pemelajar menciptakan materi mereka sendiri yang berkaitan dengan
kesadaran terhadap lingkungan. Terlepas siapa pemelajarnya, dewasa ataupun anak-anak,
tingkat dasar ataupun lanjut, seorang pengajar bisa memperoleh topik dan materi bahasa
di luar dari “Pendekatan Pengalaman Bahasa” (lihat bab 17). Dalam hal ini, pemelajar
bisa membuat leaflet, poster, papan bulletin, artikel berita, atau bahkan buklet yang
memberikan petunjuk tentang hal-hal praktis yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan
bumi. Apabila waktu dan peralatan yang tersedia memungkinkan, karya proyek yang
menarik bisa diaplikasikan, misalnya dengan menggunakan video kamera, pemelajar bisa
membuat program informasi, drama, wawancara, atau laporan berita.
4. Menyusun perjalanan lapangan. Kegiatan ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan modul
praperjalanan (untuk beberapa hari) untuk kegiatan membaca, riset, temuan-temuan fakta,

5|Page
dan modul pasca perjalanan untuk menyusun ringkasan dan simpulan. Perjalanan lapangan
dapat dilakukan di pusat-pusat daur ulang, pabrik-pabrik yang memberlakukan daur ulang,
cagar alam, atau tempat-tempat yang memerlukan pembersihan sampah.
5. Melakukan permainan simulasi. Beberapa permainan bisa dilakukan dengan
memanfaatkan krisis lingkungan yang sedang terjadi sebagai skenario untuk kegiatan
permainan.

PROSES BELAJAR BERBASIS PENGALAMAN


Konsep pemelajaran bahasa berbasis pengalaman ini sangat terkait erat dengan model
pembelajaran berbasis isi dan model pembelajaran berbasis tema. Proses belajar berbasis
pengalaman ini mencakup kegiatan-kegiatan yang melibatkan otak kiri dan kanan. Dalam
proses belajar ini, pengajar mencoba mengontekstualisasikan bahasa, menyatukan semua
kemahiran dalam kegiatan belajar, dan menekankan pada tujuan-tujuan praktis dan sehari-hari.
Oleh karena itu, proses belajar berbasis pengalaman mengajak pemelajar terlibat dalam
pengalaman nyata yang memungkinkan mereka menemukan sendiri prinsip-prinsip dasar
bahasa melalui proses uji coba, umpan balik, pembentukan hipotesis, dan revisi asumsi yang
bertujuan agar pemelajar bisa berbahasa dengan lebih fasih. Jadi pengajar memberikan
kesempatan kepada pemelajar untuk menggunakan bahasa yang mereka pelajari melalui
situasi-situasi sehari-hari sehingga pemelajar benar-benar merasakan bagaimana mereka harus
berjuang memakai bahasa yang dipelajari untuk langsung berkomunikasi.
Menurut Morris Keeton dan Pamela Tate, di dalam proses pemelajaran berbasis
pengalaman ini, pemelajar secara langsung berhadapan dengan situasi-situasi sehari-hari yang
sedang dipelajari. Berbeda dengan metode tradisional, dalam metode berbasis pengalaman ini,
pemelajar tidak hanya membaca, menyimak, berbicara, atau menulis tentang situasi-situasi
tersebut, tetapi mereka langsung terlibat di dalamnya sebagai bagian dari proses belajar.
Proses belajar berbasis pengalaman ini bukanlah konsep yang benar-benar baru karena
merupakan gabungan antara dua metode yang dianggap paling efektif dalam proses belajar,
yakni metode belajar sambil praktik yang diperkenalkan oleh John Dewey dan metode belajar
induktif. Metode belajar induktif memungkinkan pemelajar untuk menentukan sendiri
kemajuannya. Pada dasarnya, metode induktif ini merupakan konsep yang sangat berguna
untuk anak-anak yang kemampuan intelektualnya belum bener-benar matang.
Pada dasarnya, teknik pemelajaran berbasis pengalaman cenderung berfokus pada
pemelajar. Contoh-contoh aktivitas yang menggunakan teknik berbasis pengalaman dan
berfokus pada pemelajar mencakup:
6|Page
• Proyek yang melibatkan pengalaman secara langsung (contohnya proyek alam)
• Aktivitas yang melibatkan komputer (khususnya dalam kelompok kecil)
• Proyek riset
• Pengalaman lintas budaya (Camps, kelompok makan malam)
• Perjalanan lapangan dan kegiatan-kegiatan kunjungan ke lapangan (misalnya
kunjungan ke toko makanan)
• Bermain peran dan simulasi
Namun ada juga teknik-teknik yang dipandu oleh pengajar dan dianggap berbasis pengalaman:
• Penggunaan perlengkapan tertentu, realia, alat bantu visual, sesi memperagakan dan
bercerita.
• Penggunaan permainan (yang seringkali melibatkan strategi) dan menyanyi
• Penggunaan media (televisi, radio, dan film)
Proses belajar berbasis pengalaman cenderung untuk memberikan penekanan pada aspek
psikomotorik pemelajar ketika mereka belajar bahasa melalui kegiatan-kegiatan fisik yang
melibatkan penggunaan bahasa secara intensif. Melalui tindakan, pemelajar dilibatkan ke
dalam kegiatan yang menggunakan berbagai kemahiran.
Salah satu contoh pendekatan yang menggunakan teknik berbasis pengalaman dan
sangat popular di sekolah dasar selama beberapa puluh tahun adalah Language Experience
Approach (LEA) (Van Allen & Allen 1967). Pendekatan yang memadukan berbagai kemahiran
ini pada awalnya digunakan untuk mengajar kemahiran membaca, akan tetapi akhirnya
diadopsi untuk mengajar bahasa. Melalui berbagai macam adaptasi, pengalaman pribadi
pemelajar (perjalanan ke kebun binatang, cerita di televisi, gambar dan lain sebagainya)
digunakan sebagai landasan untuk diskusi dan kemudian pengajar akan menuliskan
pengalaman-pengalaman tersebut. Pemelajar kemudian bisa menyalin, menyunting, dan/atau
menggambarkan cerita tersebut, yang kemudian disimpan dalam bentuk buku. Keuntungan
dari LEA adalah pemelajar harus benar-benar menyusun cerita mereka sendiri alih-alih
diberikan cerita dari orang lain. Seperti di dalam teknik-teknik lain yang juga berbasis
pengalaman, pemelajar secara langsung terlibat dalam proses pembuatan hasil karya mereka
sendiri.

HIPOTESIS EPISODE
Lebih dari seratus tahun yang lalu, Francois Gouin merancang suatu metode pengajaran
bahasa yang disebut sebagai metode perangkaian. Salah satu kunci keberhasilan metode ini

7|Page
terletak pada cara penyampaikan bahasa yang dipelajari. Biasanya bentuknya adalah alur cerita
yang mudah dipahami. Salah satu contoh adalah cerita mengenai seorang anak perempuan yang
sedang memotong kayu disampaikan dengan cara menceritakan secara berurutan kegiatan kayu
mulai mulai dari mencari kayu menyiapkan peralatan sampai kayu terpotong. Dalam cerita ini,
Gouin mengajarkan sejumlah verba, bentuk-bentuk verba, dan kosakata lainnya.
Melalui langkah-langkah yang digambarkan secara sederhana, pemelajar diajak masuk
ke dalam proses memotong dan mengumpulkan kayu dan langkah-langkah tersebut dirancang
untuk tingkat kemahiran dasar.
Dalam beberapa hal, Gouin menggunakan perangkat psikologi yang, seratus tahun
kemudian, oleh John Oller disebut sebagai hipotesis episode. Menurut Oller (1983b:12), teks
(contohnya wacana dalam bentuk apapun) akan lebih mudah diproduksi ulang, dipahami, dan
diingat sejauh teks tersebut disusun secara episodik. Artinya, penyampaian bahasa akan
menjadi maksimal apabila pemelajar menerima kalimat-kalimat yang saling berhubungan
dalam satu episode yang bisa membangkitkan minat pemelajar dibandingkan apabila pemelajar
hanya menerima serangkaian kalimat yang tidak saling berhubungan.
Hipotesis episode bisa memberikan pengalaman belajar yang sangat menarik dan
bermakna bagi pemelajar. Mari kita lihat perbedaan dua dialog berikut ini yang dipakai untuk
belajar bahasa.
Dialog pertama memang terlihat sesuai untuk pemelajar yang sedang belajar bahasa.
Isinya mudah dipahami dan penyampaiannya juga jelas, akan tetapi kurang menyentuh situasi
sehari-hari. Dalam hal ini, teks tersebut kurang menarik minat pemelajar untuk menduga-duga
kira-kira peristiwa apa yang berikutnya akan terjadi. Kebanyakan buku teks seringkali
menampilkan tipe percakapan seperti dialog pertama dan tentunya kurang memancing emosi
pemelajar.
Berbeda dengan dialog kedua. Dalam dialog kedua, konteksnya sehari-hari dan tokoh-
tokohnya juga biasa-biasa saja agar bisa memancing rasa ingin tahu pembaca. Karena akhir
cerita dari dialog kedua tidak jelas, pemelajar menjadi lebih termotivasi untuk ikut terlibat ke
dalam isi teks daripada bahasanya. Oleh karena itu, dialog kedua ini bisa membangun rasa
episodik. Oller menekankan bahwa interaksi antara kognisi dan bahasa memungkinkan
pemelajar untuk membangun keinginan-keinginan mereka. Hal ini dimungkinkan karena
pemelajar terpapar oleh kalimat-kalimat dalam teks yang terkait satu sama lain baik secara
logis maupun episodik.
Berikut ini adalah beberapa kondisi yang menunjukkan bahwa hipotesis episode benar-
benar bisa memberikan sumbangan bagi proses belajar yang memadukan semua kemahiran:
8|Page
• Cerita ataupun episode mengajak pengajar maupun penulis buku untuk menyampaikan
materi bahasa secara natural dan menarik, baik itu wacana lisan ataupun tulisan.
• Episode bisa berbentuk tilisan ataupun lisan sehingga membutuhkan kemahiran membaca
ataupun menulis dari sisi pemelajar.
• Episode bisa menjadi bahan untuk membuat pertanyaan baik lisan maupun tertulis yang
kemudian bisa dijawab oleh pemelajar secara lisan ataupun tertulis.
• Pemelajar dapat didorong untuk menulis cerita atau episode mereka sendiri atau
menyelesaikan subuah episode yang akhir ceritanya tidak ditampilkan (contohnya seperti
dialog kedua)
• Episode tersebut kemungkinan bisa dipraktikkan di kelas oleh pemelajar.

PENGAJARAN BERBASIS TUGAS


Pengajaran berbasis tugas sudah didefinisikan dan secara singkat didiskusikan dalam bab
3 dan 9. Dalam bab-bab tersebut, ada sejumlah interpretasi mengenai pengertian tugas. Namun,
semua pengertian tersebut pada dasarnya menekankan pentingnya tugas dalam pengajaran
bahasa, yakni sebagai media yang bisa melibatkan pemelajar untuk berkomunikasi secara aktif
di luar kelas menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya. Menurut Peter Skehan
(1998a:95), tugas adalah aktivitas yang di dalamnya:
• Makna menjadi penting
• Terdapat masalah komunikasi yang perlu dipecahkan
• Berisi kegiatan-kegiatan yang langsung mencerminkan aktivitas di dunia nyata
• Penyelesaian tugas itu sendiri menjadi prioritas
• Penilaian tugas menjadi hasil akhir
Pengajaran berbasis tugas membedakan tugas menjadi dua, yakni tugas target dan tugas
pedagogis. Tugas target merupakan tugas utama yang berkaitan erat dengan pemakaian bahasa
dalam kehidupan sehari-hari dan harus diselesaikan oleh pemelajar. Tugas target ini berkaitan
erat dengan instruksi-instruksi yang diberikan pengajar di dalam kelas. Contohnya, di dalam
kelas, dibahas mengenai topik “memberikan informasi pribadi” sebagai salah satu bentuk
komunikasi sehari-hari. Dari bentuk komunikasi ini, tugas target yang diberikan bisa berupa
“memberikan informasi pribadi untuk wawancara pekerjaan”. Di sini tugas yang diberikan
membentuk konteks.
Tugas pedagogis mencakup serangkaian teknik-teknik yang disusun dan diajarkan
kepada pemelajar agar mereka mampu menyelesaikan tugas target. Bentuk tugas pedagogis

9|Page
bisa berupa simulasi dari tugas target yang dilakukan pemelajar di dalam kelas. Apabila
merujuk pada tugas target “memberikan informasi pribadi untuk wawancara pekerjaan”, tugas
pedagogis yang diberikan bisa mencakup tahap-tahap berikut ini:
1. Latihan pemahaman tentang pertanyaan dengan menggunakan kata tanya ‘mengapa-‘ dan
intonasi naik di dalam pertanyaan berikut ini ; Mengapa kamu bekerja di Macy’s?
2. Tujuan untuk penggunaan adverbia yang berkaitan dengan frekuensi. Contoh: Saya
biasanya bekerja sampai jam 5 sore.
3. Menyimak cuplikan wawancara pekerjaan.
4. Menganalisis tata Bahasa dan wacana dalam wawancara.
5. Simulasi wawancara: pengajar dan seorang pemelajar
6. Pemelajar bermain peran dalam wawancara pekerjaan.
Dari keenam tahap di atas, sekilas memang terlihat bahwa tahap keenam sepertinya merupakan
tahap yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari dan paling berguna bagi pemelajar, akan
tetapi sebenarnya tahap satu sampai lima merupakan rangkaian tahap yang juga sangat penting
karena tahap-tahap tersebut menjadi latihan awal untuk bisa menyelesaikan tahap keenam.
Jadi, kurikulum berbasis tugas memerinci apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh
pemelajar ketika berlatih berbahasa Inggris untuk menyelesaikan tugas target dan mengatur
serangkaian tugas pedagogis yang bisa membantu pemelajar menyelesaikan tugas target.
Pengajaran berbasis tugas ini sebaiknya dilihat bukan sebagai sekumpulan hal-hal kecil yang
berguna untuk dilakukan oleh pemelajar, akan tetapi harus dilihat sebagai teknik satu urutan
tugas pedagogis yang mempunyai tujuan tertentu, yakni tercapainya tugas target oleh
pemelajar. Pengajar dan perencana kurikulum diminta untuk mempertimbangkan secara
seksama beberapa hal berikut ini:
• Tujuan
• Masukan dari pengajar
• Teknik-teknik
• Peran pengajar
• Peran pemelajar
• Evaluasi
Di dalam instruksi berbasis tugas, prioritas utama bukanlah bentuk-bentuk bahasa yang
dipelajari, melainkan penggunaan bahasa untuk tujuan-tujuan tertentu. Sementara instruksi
berbasis isi terfokus pada materi subjek yang dijadikan topik pengajaran bahasa, instruksi

10 | P a g e
berbasis tugas terfokus pada serangkaian keseluruhan tugas. Masukan untuk tugas dapat
berasal dari berbagai macam sumber:
• Pidato
• Percakapan
• Narasi
• Pengumuman public
• Cuplikan kartun
• Wawancara
• Deskripsi lisan
• Cuplikan media
• Permainan dan teka teki
• Foto
• Surat
• Puisi
• Petunjuk
• Undangan
• Buku teks
• Catatan harian
• Lagu
• Daftar nomor telepon
• Menu
• Label
Dan masih banyak lagi yang bisa dijadikan sumber. Tugas pedagogis memerinci secara khusus
apa saja yang akan dilakukan pemelajar terhadap masukan yang didapatnya dan juga
memerinci apa saja peran pengajar dan pemelajar. Keberhasilan tugas pedagogis ini bisa dilihat
dari hasil evaluasinya.
Kurikulum berbasis tugas berbeda dengan kurikulum berbasis isi, tema, dan
pengalaman karena tujuannya agak lebih terfokus kepada bahasa yang dipelajari. Namun,
kurikulum berbasis tugas ini tidak seperti kurikulum-kurikulum yang bersifat tradisional dan
benar-benar terfokus pada tata bahasa dan fonologi saja. Aspek bahasa yang menjadi fokus dari
kurikulum ini adalah fungsi-fungsinya, seperti memberikan salam, menyatakan pendapat,
meminta informasi, dan lain-lain. Jadi, tujuan pembelajarannya adalah kompetensi pragmatis.

11 | P a g e
Intinya, pengajaran berbasis tugas menggunakan pendekatan yang bisa memberikan
kesempatan kepada pemelajar untuk benar-benar menggunakan bahasa sesuai kondisi dan
situasi yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pendekatan ini menyiratkan
pentingnya penggunaan beberapa kemahiran secara bersamaan, tidak secara terpisah-pisah.
Prinsip-prinsip dasar tentang menyimak, berbicara, membaca, dan menulis menjadi penting
untuk diikutsertakan di dalam rubrik yang nantinya akan menjadi acuan bagi pemelajar ketika
ingin mengetahui tentang apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh mereka terhadap aspek-aspek
fungsional dari Bahasa yang sedang mereka pelajari.

12 | P a g e
BAB 16
PENGAJARAN MENYIMAK

Banyak terjadi kasus percakapan santai berbasa-basi yang tanggapannya tidak sesuai dengan
pernyataan awal yang diungkapkan.
Dalam sebuah percakapan dalam bus ada tiga orang berbincang-bincang:
A: Ini stadion ya?
B : Bukan, kalau stasiun sebelah sana.
C : tidak, saya turun di sini saja
Pentingnya menyimak dalam pembelajaran bahasa sulitlah diabaikan. Melalui penerimaan, kita
menginternalisasi informasi linguistik yang tanpanya kita tidak dapat menghasilkan bahasa.
Di ruang kelas, siswa selalu lebih banyak menyimak daripada berbicara. Kompetensi
menyimak secara universal lebih besar daripada kompetensi berbicara. Tak mengherankan
akhir tahun ini profesi pengajaran bahasa telah menekankan pada pemahaman menyimak.

SEBUAH MODEL IENTERAKTIF MENYIMAK PEMAHAMAN


Menyimak bukanlah suatu jalan satu arah. Menyimak tidak hanya sebagai proses menerima
simbol simbol yang dapat didengar secara tak langsung. Namun penyimak pemahaman adalah
proses psikomotor menerima bunyi gelombang melalui telinga dan bertransmisi ke otak.
Namun ini hanyalah permulaan dari apa yang proses interaktif yang jelas sebagai aksi otak
yang membawa sejumlah mekanisme kognitif dan afektif yang berbeda.
Berikut adalah delapan proses yang terlibat dalam pemahaman menyimak
1. Proses pendengar yang kita sebut “bahan ujaran” dan menunggu suatu imaji dalam kala
waktu memeori singkat. Imaji ini mengandung beberapa konstituen seperti frase, klausa,
penanda kohesif, intonasi dan pola penekanan) dari suatu arus ujaran.
2. Pendengar menentukan tipe ujaran bahkan yang sedang diproses sebagai contoh sebuah
percakapan, pidato, siaran radio) dan kemudian tepatnya adalah “warna” interpretasi dari
pesan yang diterima.
3. Pendengar mempengaruhi tujuan pembicara melalaui pertimbangan tipe ujaran, konteks
dan isi. Sebagai contoh yang menentukan apakah pembicara berharap membujuk, meminta,
mengubah, mengafirmasi, menyangkal, menginformasikan dan lain-lain.
4. Pendengar menyebut informasi latar belakang berkaitan dengan konteks tertentu dan
subjek masalah. Pengalaman sepanjang hidup dan pemngetahuan digunakan untuk

13 | P a g e
menampilkan asosiasi pengetahuan untuk menghasilkan inerpretasi pesan yang masuk
akal.
5. Pendengar menetapkan makna literal dari suatu ujaran. Proses ini melibatkan serangkaian
penafsiran semantik yang diterima telinga. Sebagai contoh seorang guru berkata kepada
murud-muridnya, “wah udaranya panas ya?” maka siswa menafsirkanya bahwa mereka
harus membuat ruangannya sedikit lebih sejuk.
6. Pendengar menetapkan makna yang dimaksud terhadap ujaran.
7. Pendengar menentukan apakah informasi harus disimpan dalam memory jangka pendek
atau jangka jauh.
8. Pendengar menghapus bentuk pesan yang pesannyasecara asli diterima, kata-kata, frasa-
frasa dan kalimat-kalimat secara cepat dilupakan.

TIPE-TIPE BAHASA TUTURAN


Tipe-tipe bahasa tuturan ( diadaptasi dari Nunan 1991 b: 20-21)
Monolog Dialog

Terencana Takterencana interpersonal Transaksional

Tidak familiar familiar Tidak familiar familiar

Dalam monolog, ketika seorang pembicara menggunakan bahasa tuturan selama waktu
tertentu, seperti dalam ceramah, kuliah, membaca, siaran berita dan serupanya pendengar
harus memproses lamanya ceramah tanpa interupsi. Terencana, sebagai kebalikan dari
takterencana, biasanya mencerminkan sedikit rendundansi dan karenanya secara relatif
sulit dipahami. Monolog yang takterencana(ceramah dadakan dan cerita panjang dalam
percakapan sebagai contohnya) menerapkan lebih banyak redundansi yang membuat
mudah pemahaman, namun kehadiran variabel penampilan dan keraguan dapat membantu
atau menghindari pemahaman.
Dialog melibatkan dua atau lebih pembicara dan dapat terbagi kedalam pertukaran yang
memunculkan relasi sosial dan tujuannya adalah untuk menghantarkan informasi faktual
(transaksional). Dalam suatu kasus partisipan mungkin memiliki pengetahuan yang baik
karenanya familiaritas lawan bicara akan menghasilkan percakapan dengan lebih asumsi,
impilkasi dan makna lain yang tersembunyi antar tuturan. Dalam percakapan antara atau
antar partisipan yang tidak familiar satu sama lain, referensi dan makna harus dibuat lebih
14 | P a g e
eksplisit untuk menjamin pemahaman yang efektif. Ketika referensi tidak eksplisit maka
akan menimbulkan kesalahpahaman.

YANG MEMBUAT MENYIMAK MENJADI SULIT


1. Klustering
Dalam bahasa tulis, kita terkondisi menghadirkan kalimat sebagai unit organisasi.
Dalam bahasa tuturan, karena keterbatasan memori dan kecenderungan “chunking”
atau clustering yaitu memecah tuturan ke dalam kelompok kata-kata. Klausa-klausa
merupakan namun frasa antara kalusa-kalusa bahkan lebih mudah dipahami.
2. Redundansi
Bahasa tuturan tidak seperti kebanyakan bahasa tulis yaitu memiliki banyak redundansi
(suatu hal berlebihan). Dalam suatu percakapan terdapat memparafrasekan kembali,
repetisi, uraian penjelasan, dan sedikit penyisispan contoh “ maksudku... dan anda
tahu”. Redundansi sangat membantu pendengar untuk memproses makna dengan
menawarkan waktu lebih dan informasi lebih. Pembelajaran dapat melatih mereka
untuk mengambil manfaat dari redundansi menjadi lebih waspada bahwa tidak seluruh
kalimat atau frasa baru akan mengandung informasi baru dan dengan mencari tanda-
tanda redundansi.
3. Penyingkatan bentuk
Penyingkatan dapat berupa fonologis, morfologis, sintaksis dan pragmatis.
Penyingkatan ini menyulitkan bagi pembelajar bahasa asing.
4. Variabel penampilan
Dalam bahasa tuturan, kecuali untuk wacana terencana (pidato, ceramah, dll),
keraguan, kekeliruan, perhentian, dan koreksi koreksi adalah hal biasa.
5. Bahasa percakapan sehari-hari
Penggunaan idiom, slang, bentuk penyingkatan dalam dialog sering menyulitkan
pendengar.
6. Rentang penyampaian
Setiap pembelajar bahasa seringkali mengira bahwa penutur asli berbicara terlalu
cepat. Dalam menyimak, seorang pendengar tidak memiliki kesempatan untuk
menghentikan pembicara.
7. Penekanan, ritme, dan intonasi
Bahasa inggris adalah bahasa yang memiliki jeda penekanan, ritme, dsn intonasi yang
menyulitkan pendengar bahasa asing.
15 | P a g e
8. Interaksi
Belajar menyimak adalah juga belajar merespon dan melanjutkan sebuah rantai
menyimak dan merespon. Teknik ruang kelas melibatkan komponen menyimak yang
melibatkan instruksi dalam dua arah alamiah menyimak. Siswa perlu memahami bahwa
penyimak yang baik dalam percakapan adalah perespon yang baik. Mereka tahu
dengan bernegosiasi (memberikan umpan balik, meminta klarifikasi, mempertahankan
sebuah topik) sehingga proses pemahaman dapat lengkap.

TIPE-TIPE PENAMPILAN MENYIMAK DI RUANG KELAS


1. Reaktif
2. Intensif
Hal ini melibatkan keterampilan atas-bawah yang penting pada seluruh level kecakapan.
Contoh penampilan menyimak intensif meliputi:
1. Siswa menyimak petunjuk dan latihan secara individu.
2. Guru mengulang sebuah kata atau kalimat beberapa saat untuk mengingatnya.
3. Guru meminta murid untuk menyimak sebuah kalimat atau wacana dan mengarah
elemen khusus seperti intonasi, penekanan, penyingkatan, struktur gramatikal.
3. Responsif
Berlatih bertanya dan merespon.
4. Selektif
Tujuan penampilan bukanlah untuk mencari maksud global atau umum tetapi untuk
mencari informasi penting dalam bidang informasi yang potensial. Menyimak selektif
berbeda dari menyimak intensif yang dalam wacana secara relatif lebh panjang.
5. Ekstensif
Penampilan ekstensif dapat berentang dari menyimak ceramah panjang, kapan dan
menyimak percakapan dan menghasilkan pesan yang komprehensif. Menyimak ekstensif
membutuhkan siswa memunculkan keterampilan interaktif yang lain.
6. Interaktif
Ada penampilan menyimak yang dapat melibatkan lima tipe yang sudah dijelaskan sebagai
pembelajaran secar aktif berpartisipasi dalam diskusi, debat, percakapan, bermain peran,
dan kerja kelompok . penampilan menyimak harus terintegrasi dengan berbicara.

16 | P a g e
PRINSIP-PRINSIP MENDISAIN TEKNIK MENYIMAK
1. Dalam suatu interaktif, Kurikulum empat keterampilan, meyakinkan bahwa anda tidak
meremehkan pentingnya teknik yang secara khusus mengembangkan kompetensi
menyimak pemahaman.
2. Menggunakan teknik yang secara intrinsik memotivasi
3. Memanfaatkan bahasa dan konteks yang autentik
4. Mempertimbangkan secara hati-hati bentuk respon penyimak
5. Mendorong pengembangan strategi menyimak
6. Menggunakan teknik menyimak batas atas dan batas bawah

17 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai