Anda di halaman 1dari 22

KELAS REGULER II

KODE MK: SPM


SEMESTER II

SISTEM PENGENDALI MANAJEMEN (SPM)


TUGAS RESUME CHAPTER 15 AND CASE

Kelompok E

Arief Ichwanul H (S411808040)


Joko Suliyono (S411808314)
Muhammad Pringgo P (S411808015)
Roberto (S411808022)
Tara Ferdiana (S411808033)

Dosen
Dr. Bambang Hadinugroho SE,. M.Si

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2019
CHAPTER 15
BAB 15 ORGANISASI MULTINASIONAL

Terdapat tiga masalah khusus dalam organisasi global: perbedaan kebudayaan,


harga transfer, dan perbedaan nilai tukar mata uang.

PERBEDAAN BUDAYA
Salah satu variabel konteksual yang penting yang memengaruhi pengendalian
manajemen di dalam sebuah perusahaan multinasional adalah perbedaan budaya antar
Negara.Menurut definisinya, sebuah organisasi multinasional akan beroperasi di
banyak negara dan harus siap menghadapi perbedaan budaya seiring dengan
koodinasi dan pengendalian yang dilakukan oleh kantor pusat terhadap anak-
anak perusahaannya. Baik dalam konteks sebuah organisasi atau suatu bangsa,
kata “budaya” akan merujuk kepada nilai-nilai, asumsi dan norma perilaku yang
diakui bersama. Ketika sebuah organisasi merentangkan operasinya melintasi
berbagai Negara, perbedaan budaya yang sangat besar yang berkaitan dengan
karakter nasional dan regional yang ada, mempunyai hubungan yang penting dengan
pengendalian manajemen.

Jangkauan kekuasaan
Merujuk kepada sejauh mana kekuasaan didistribusikan dan dipusatkan secara
tidak seimbang. Budaya dengan jangkauan kekuasaan yang tinggi termasuk Filipina,
Venezuela, dan Meksiko. Budaya dengan jangkauan kekuasaan yang rendah termasuk
Israel, Denmark, dan Austria.

Individualisme/ koltivisme
Merujuk kepada sejauh mana seseorang mendefinisikan dirinya sendiri sebagai
seorang individu atau sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Budaya
individualistik yang tinggi termasuk Amerika Serikat, Australia, dan Inggris. Budaya
kolektiitas yang tinggi termasuk Saudi Arabia, Venezuela, dan Peru.

Menghindari ketidakpastian
Merujuk sampai sejauh mana seseorang akan merasa terancam oleh situasi
yang tidak menentu budaya penghindaran ketidakpastian tertinggi termasuk Jepang,
Portugal, dan Yunani. Budaya penghindaran ketidakpastian terendah termasuk
Singapura, Hongkong, dan Denmark.

Maskulinitas/feminitas
Merujuk kepada sampai sejauh apakah pengaruh yang dimiliki oleh salah satu
dari kedua nilai dominant tersebut apakah pengaruh yang dimiliki oleh salah satu dari
kedua nilai dominant tersebut berupa
HARGA TRANSFER
Harga transfer untuk barang, jasa, dan teknologu merupakan salah satu dari
perbedaan besar yang terjadi antara pengendalian manajemen operasi domestik dan
luar negeri. Namun dalam operasi luar negeri, dibutuhkan beberapa pertimbangan
penting lainnya untuk dapat sampai kepada suatu harga transfer. Pertibangan-
pertimbangan tersebut termasuk perpajakan, peraturan pemerintah, tarif pengendalian
devisa, akumulasi dana, dan joint venture.

Perpajakan
Tingkat pajak penghasilan efektif dapat memiliki perbedaan yang sangat jauh di
masing-masing negara-negara asing, sistem harga transfer yang memungkinkan
pengalihan keuntungan ke negara-negara dengan tingkat pajak yang rendah dapat
mengurangi jumlah pajak penghasilan perusahaan yang digabungkan dari seluruh
dunia.

Peraturan Pemerintah
Jika tidak diatur oleh pemerintah, perusahaan akan menetapkan harga transfer
untuk meminimalkan laba kena pajak di Negara-negara dengan tingkat pajak
penghasilan yang tinggi. Namun demikian, otoritas pajak pemerintah menyadari
adanya kemungkinan ini dan mengeluarkan peraturan yang menentukan bagaimana
harga transfer dapat dihitung.
Tarif
Tarif sering kali dipungut berdasarkan persentase tertentu dari nilai impor suatu
produk. Semakin rendah harganyasenakin rendah pula tarif yang akandikenakan.
Timbulnya tarifbiasanya memiliki hubungan terbalik dengan timbulnya pajak
pendapatan didalam harga transfer. Meskipun tarif untuk barang-barang yang
dikirimkan ke suatu Negara tertentu akan lebih rendah jika harga transfernya juga
rendah, keuntungan yang dicatat di Negara itu dan karenanya pajak penghasilan lokal
atas laba akan ikut tinggi. Jadi, efek bersih dari faktor-faktor ini harus ikut
diperhitungkan dalam menentukan harga transfer yang tepat. Karena pajak
penghasilan umumnya memiiki jumlahnya yang lebih besar daripada tarif, harga
transfer internasional biasanya lebih banyak didasarkan pada pajak penghasilan
daripada tarif.

Pengendalian Devisa
Beberapa Negara membatasi jumlah devisa yang tersedia untuk mengimpor
beberapa komoditas tertentu. Dalam kondisi ini, harga transfer yang lebih rendah
memungkinkan anak perusahaan untuk memasukkan komoditas tersebut dalam
jumlah yang lebih besar.

Akumulasi Dana
Perusahaan mungkin ingin mengakumulasikan dananya di satu Negara tertenttu
daripada di negara lain. Harga transfer adalah salah satu cara untuk mengalihkan dana
tersebut ke dalam atau ke luar Negara tertentu.
Joint Venture
Joint ventu rememberikan komplikasi tambahan dalam harga transfer.Andai
kata sebuah perusahaan AS mempunyai operasi joint venture di Jepang dengan
perusahaan local Jepang. Jika induk perusahaan AS membebankan harga lebih tinggi
bagi komponen yang dikirimkan ke Jepang, mitra joint venture Jepang kemungkinan
besar akan menolak harga tersebut karena harga itu akan memperkecil laba
operasinya dan mengakibatkan bagian keuntungan dari mitra joint venture Jepang
tersebut juga semakin kecil.

PENGGUNAAN METODE HARGA TRANSFER

Pertimbangan Hukum
Hampir semua Negara melakukan beberapa pembatasan pada fleksibilitas
perusahaan dalam menetapkan harga transfer untuk transaksi dengan anak-anak
perusahaan diluar negeri. Alasannya adalah untuk mencegah perusahaan
multinasional melakukan penghindaran pajak penghasilan di Negara tuan rumah.
Perhatikanlah contoh-contoh berikut ini:
Section 482 memberikan aturan-aturan untuk menentukan harga transfer pada
penjualan antar anggota dari kelompok yang sepengendali. Metode-metode harga
antar perusahaan sepengendali yang dapat diterima, disusun menurut prioritasnya dari
yang paling penting adalah sebagai berikut :
1. Metode perbandingan dengan harga tidak sepengendali
Harga yang wajar dapat dipastikan dari penjualan barang atau jasa yang
dapat diperbandingkan antara perusahaan multinasional dan pelanggan
yang tidak memiliki hubungan istimewa, atau antara dua perusahaan yang
masing-masing tidak saling memiliki hubungan istimewa.
Hal-hal yang dapat memengaruhi harga adalah antara lain, kualitas
produk, syarat penjualan, tingkat pasar, dan wilayah geografis di mana jenis
barang tersebut dijual, tetapi untuk diskon jumlah, penyisihan promosi dari
kerugian khusus yang disebabkan oleh perbedaan nilai tukar mata uang dan
selisih kredit tidak diperhitungkan. Harga yang lebih rendah dan bahkan
penjualan di bawah harga penuh, diizinkan dalam hal-hal tertentu seperti
selama penetrasi sebuah pasar baru atau dalam mempertahankan pasar yang ada
di suatu wilayah tertentu.
2. Metode harga jual kembali.
Bila tidak ada penjualan yang dapat dibandinkan, metode berikutnya yang
diperbolehkan adalah metode hargajual kembali. Dalam metode ini, wajib pajak
bekerja mundur dari harga penjualan final pada saat kekayaan yang dibeli dari
perusahaan afiliasi dijual kembali dalamsebuahpenjualantidaksepengendali.
Hargajualkembaliinidikurangidengan persentase keuntungan (markup)
yang semestinya berdasarkan penjualan tidak sepengendali oleh afiliasi yang
sama atau oleh penjual lain yang menjual barang yang sama di pasar yang dapat
diperbandingkan. Persentase markup dari pesaing dan rata-rata industri juga
dapat membantu dalam kaitannya dengan hal ini.
3. Metode harga-plus.
Menurut metode ini, yang menjadi prioritas terendah di antara ketiga
metode yang diuraikan, titik awal untuk menentukan harga yang wajar adalah
biaya untuk memproduksi produk, dihitung menurut praktik akuntansi yang
benar. Ke dalam biaya ini ditambahkan laba kotor yang wajar yang dinyatakan
dalam presentase tertentu dari biaya dan didasarkan pada penjualan tidak
sepengendali yang serupa yang dilakukan oleh pihak penjual, atau penjual lain,
atau tingkat yang berlaku untuk industri tersebut.

Implikasi dari Section 482


Dari sudut pandang pengendalian manajemen, terdapat dua implikasi penting
dari section 482, yang masing-masing dibahas di bawah ini:
1. Meskipun terdapat pembatasan hukum terhadap fleksibilitas perusahaan dalam
menentukan harga transfer, namun masih terdapat cukup ruang gera di dalam
pembatasan ini.
2. Dalam situasi tertentu, pembatasan hokum dapat mendikte jenis-jenis harga
transfer yang harus diterapkan.

Ruang Gerak dalam Harga Transfer


Ada dua kebijakan ekstrem dalam menangani masalah ini. Beberapa
perusahaan mengizinkan anak perusahaan berurusan satu sama lain sesuai dengan
prinsip ekonomi yang wajar dan membiarkan dampak akibat pajak serta tariff apa
adanya. Dengan kebijakan ini, tak ada lagi keraguan tentang legalitas harga transfer
karena anak perusahaan mencoba melakukan hal ini sesuai dengan yang diminta oleh
peraturan yang berlaku – melakukan transaksi secara wajar.
Dengan kebijakan ini, kebijakan harga transfer untuk Negara asing pada
pokoknya akan sama dengan harga transfer untuk domestic. Akibatnya, system harga
transfer akan mendukung system pengendalian manajemen. Namun pada sisi yang
lain, kebijakan ini dapat menghasilkan total biaya yang lebih tinggi. Pada sisi eksterm
yang lain, harga transfer untuk Negara asing dapat hamper seluruhnya dikontrol oleh
kantor pusat perusahaan dengan maksud untuk meminimalkan biaya total perusahaan,
memaksimalkan arus kas dalam dolar atau memperoleh kombinasi yang optimum
untuk posisi mata uang. Akan tetapi, kebijakan semacam ini dapat sangat membatasi
kegunaan system pengendalian, karena dalam keadaan tertentu harga transfer tersebut
tidak berhubungan dengan harga yang berlaku jika unit-unit yang melakukan
pembelian dan penjualan adalah Independent.

Pembatasan Hukum dalam Sistem Harga Transfer


Di dalam situasi tertentu, pembatasan hukum dapat memint digunakannya
sIstem harga transfer tertentu, atau sebuah system transfer yang disukai untuk tidak
digunakan.
Kepentingan Minoritas
Ketika kepentingan minoritas ikut terlibat, fleksibilitas manajemenpuncak
dalam mendistribusikan laba antara anak-anak perusahaan dapat sangat dibatasi
karena pihak minoritas mempunyai hak hokum untuk memperoleh pembagian yang
adil dari laba perusahaan. Dalam kasus ini, anak perusahaan harus sebisa mungkin
melakukan transaksi secara wajar.

NILAI TUKAR MATA UANG

Arus kas dari sebuah perusahaan domestik dinominasikan dalam dolar, dan
pada suatu waktu tertentu, setiap dolar mempunyai nilai yang sama dengan nilai dolar
lainnya. Sebaliknya, arus kas perusahaan multinasional didenominasikan dalam
beberapa mata uang di mana nilai setiap mata uang relative kepada nilai dlarakan
berbeda seiring dengan perbedaan waktu. Variasi ini memperumit masalah
pengukuran kinerja anak perusahaan dan para manajernya. Lebih spesifik lagi,
perusahaan multinasional memiliki eksposur akibat translasi, transaksi dan ekonomi
perubahan nilai tukar. Pertama-tama kita akan membahas nilai tukar secara sinkat dan
kemudian mendiskusikan tiga jenis eksposur nilai tukar dan implikasinya kepada
perancangan system pengendalian.

Nilai Tukar
Nilai tukar adalah harga dari sebuah mata uang jika dibandingkan dengan mata
uang yang lainnya. Hal ini dapat dinyatakan baik sebagai jumlah unit dari mata uang
negara induk perusahaan yang diperlukan untuk membeli satu unit mata uang asing
(kita sebut penawaran langsung) atau sejumlah unit mata uang asing yang diperlukan.
Nilai tukar yang biasanya ditawarkan disebut nilai tukar nominal. Nilai tukar spot
adalah nilai tukar nominal yang berlaku pada satu hari tertentu. Nilai tukar riil adalah
nilai tukar spot setelah penyesuaiaan perbedaan inflasi antara dua Negara yang
dihitung. Ada juga nilai tukar forward, yaitu nilai tukar hari ini yang dapat digunakan
menjadi dasar penyelesaian suatu transaksi yang terjadi di suatu waktu di masa depan.

Berbagai Jenis Eksposur Nilai Tukar


Eksposur translasi atas nilai tukar adalah eksposur dari neraca dan laporan laba
rugi perusahaanmultinasional terhadap perubahan yang terjadi di dalam nilai tukar
nominal. Hal ini dikarenakanadanya faktabahwaperusahaan multinasional harus
mengonsolidasikan pembukuanmerekadalam satu mata uang (biasanya mata uang
Negara induk perusahaan), meskipun arus kas merekadidenominasi dalam banyak
mata uang. Memahami eksposur translasi yang terjadi di dalamperusahaan
multinasional berarti memahami pengertian dari jawaban atas pernyataan berikut ini:
Jika arus kas perusahaan didenominasi di dalam berbagai mata uang dan jika terjadi
perubahannominal di dalam nilai tukar mata uang selama tahun berjalan,
bagaimanakah seharusnya caramengonsolidasikan pendapatan, pengeluaran, aktiva,
dan utang ke dalam satu jenis mata uangpada satu titik waktu?
Eksposur transaksi adalah eksposur nilai tukar yang dimiliki oleh perusahaan
untuk transaksi-transaksi antar negaranya ketika transaksi semacam itu dicatat hari ini
tetapi penyelesaian pembayarannya dilaksanakan dikemudian hari. Selama masa
dimana pembayaran atau komitmen penerimaannya masih belum dilakukan, nilai
tukar nominal dapat berubah dan menimbulkan adanya resiko pada nilai dari
transaksi. Contoh transaksi semacam ini termasukpiutang, kewajiban dan utang atau
pembayaran bunga yang belum dilaksanakan dalam mata uang asing. Eksposur
ekonomi adalah eksposur nilai tukar atas arus kas perusahaan terhadap perubahan
nilaitukar riil. Eksposur ekonomi juga disebut eksposur operasional atau eksposur
kompetitif terhadapnilai tukar.

Pilihan Metrik dalam Evaluasi Kerja


Dalam survey di perusahaan-perusahaan multinasional, Choi dan Czechowicz
menemukan bahwahamper semuaresponden memiliki system evaluasi performa
kinerja yangmembandingkanaktual terhadap anggarannya dalam menilai kinerja anak
perusahaan. Pada dasarnya, terdapat tigakemungkinan pemilihan metric dalam
penetapan dan pelacakan anggaran: nilai tukar yangberlaku pada saat anggara
ditentukan (nilai tukar awal), nilai tukar yang diproyeksikan pada saatanggaran
ditentukan (nilai tukar yang diproyeksikan), atau nilai tukar aktual yang berlaku

Permasalahan Dalam Perancangan Sistem Pengendalian


Dari Sudut pandang evaluasi kinerja, di bawah ini adalah pertanyaan-
pertanyaan penting di dalamperancangan suatu system pengendalian:
a. Haruskah para manajer anak perusahaan dianggap bertanggung hawab atas
dasar fluktuasi nilai tukar terhadao hasil akhir mereka?
b. Haruskah induk perusahaan menggunakan mata uang neara induk perusahaan,
atau haruskah mereka menggunakan mata uang local dalam evaluasi kinerja?
Selanjutnya, haruskah induk peursahaan mengendalikan nilai tukar awal, nilai
tukar proyeksi, dan nilai tukar akhir dalam menetapkan anggaran?
c. Haruskah perusahaan membedakan akibat dari perbedaan jenis eksposur nilai
tukar sembari mengevaluasi kinerja dari manajer anak perusahaan?
d. Bagaimana seharusnya perbedaan jenis eksposur nilai tukar akan memengaruhi
evaluasi kinerja, ekonomi dari anak perusahaan, apakah seperti yang
membedakan dari evaluasi manajer yang bertanggung jawab atas anak
perusahaan tersebut?
Efek Transaksi
Pendekatan mendasar dalam menangani eksposur transaksi adalah dengan
menggunakan strategi lindung nilai mata uang asing yang tepat. Lindung nilai
(hedging) adalah transaksi-transaksi yang dapat menurunkan kemungkinan risiko
yang berhubungan dengan arus kas dimasa depan. Dalam prosesnya, perusahaan yang
membeli instrument lindung nilai mengalihkanrisiko kepada entitas yang menjual
instrument tersebut biasanya adalah bank komersial dalamkasus untuk pasar valuta.
Tentunya sudah pasti jasa semacam itu membutuhkan biaya.
Lindung nilai adalah praktik yang berlaku umum di banyak perusahaan
sebagai contoh,kapan saja perusahaan membeli asuransi, secara tidak langsung
perusahaan tersebut tengahmelakukan transaksi lindung nilai internasional, dan hal
itu dipergunakan sebagai cara untukmengatasi efek eksposur transaksi. Untung
memberikan ilustrasi yang sederhana; jika sebuahperusahaan Amerika menjual
produknya kepada perusahaan Prancis dengan harga yangdinyatakan dalam franc
Prancis, ia dapat secara bersamaan membeli hak untuk membeli francPrancis dengan
nilai tukar yang sama seperti jika terjadi pada tanggal di masa depan di
manapiutangnya akanjatuh tempo.Jika perusahaantersebut mengalamirugi transaksidi
dalampenjualan, maka ia akan mendapatkan keuntungan pasar opsi dan menyamakan
aktiva/ pasiva dan pendapatan/ pengeluaran dengan mata uang yang sama.Teknik
lindung nilai yang umum, menggunakan pasar transaksi forward dan masa depan,
juga pasar opsi valuta asing. Dari perspektif evaluasi kinerja, pertanyaan kuncinya
adalah apakah para manjer anak perusahaan bertanggung jawab atas eksposur dari
transaki lindung nilai.

Kinerja Anak Perusahaan


Jika kinerja ekonomi jangka panjang anak perusahaan (setelah memasukkan
efek nilai tukar) terus memburuk, meskipun kinerja manajernya memuaskan, maka
induk perusahaan harus mengeluarkan pertanyaan yang lebih mendasar: apakah hal
itu memberikan artian ekonomis secara berkelanjutan bagi perusahaan multinasional
untuk meneruskan beroperasi di Negara tersebut, atau apakahia sebaiknya
memindahkan bisnisnya ketempatlain? Jawaban atas pertanyaan ini akan kembali
kepada keputusan lokasi bisnis, dari pada keputusan evaluasi kinerja;hal ini
seharusnya merupakan sebuah keputusan independent.

Pertimbangan Manajemen
Dalam mendesain system evaluasi kinerja anak perusahaan multinasional,
perusahaan dapatmengunakan pedoman-pedoman berikut ini:
1. Para manajer anak perusahaan seharusnya tidak dianggap bertanggung jawab
terhadap efek. Para manajer anak perusahaan seharusnya tidak dianggap
bertanggung jawab terhadap efek translasi. Cara termudah untuk mencapai
tujuan ini adalah membandingkan anggaran dengan hasil actual dengan
menggunakan metrik yang sama dan mengisolasi efek yang berhubungan
dengan inflasi melalui analisis varians. Tak ada gunanya bagi para manajer
untuk khawatir tentang metrik yang tepat. Perusahaan multinasional hendaknya
memilih metrik apa saja yang ia anggap lebih mudah untuk digunakan.
2. Efek transaksi paling baik ditangani melalui koordinisasi terpusat dari
kebutuhan lindung nilaiperusahaan multinasional secara keseluruhan. Hal ini
kemungkinan besar akan jauh lebih mura. Efek transaksi paling baik ditangani
melalui konsolidasi terpusat dari kebutuhan lindung nilai perusahaan
multinasional secara keseluruhan. Efek transaksi paling baik ditangani melalui
koordinisasi terpusat dari kebutuhan lindung nilai perusahaan multinasional
secara keseluruhan. Hal ini kemungkinan besar akan jauh lebih murah.
CASE STUDY
ANALISIS KASUS TRANSFER PRICING PT TOYOTA MOTOR
MANUFACTURING INDONESIA

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam era globalisasi seperti saat ini, dunia seolah-olah tanpa batas. Pengaruh
globalisasi juga terjadi dalam bidang ekonomi dan bisnis. Perusahaan-perusahaan
tidak hanya melakukan kegiatan bisnisnya hanya satu negara saja. Banyak perusahaan
yang melaksanakan kegiatan lintas negara, baik melalui cabang maupun anak
perusahaannya. Perusahaan-perusahaan semacam ini dinamakan perusahaan
multinasional (multinational corporation atau multinational company/ MNC).
Salah satu perusahaan multinasional terbesar di dunia adalah Toyota. Toyota adalah
perusahaan otomotif yang berpusat di Jepang. Toyota memiliki banyak cabang, anak
perusahaan, dan perusahaan terafiliasi di berbagai negara di seluruh dunia. Salah satu
anak perusahaan Toyota di adalah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia yang
berkedudukan di Indonesia. Pengelolaan perusahaan multinasional tentunya berbeda
dengan pengelolaan yang hanya berbasis di satu negara. Pengelolaan keuangan
perusahaan multinasional menggunakan suatu skema yang lebih kompleks guna
memaksimalkan keuntungannya. Salah satu skema pengelolaan keuangan yang
digunakan oleh perusahaan multinasional adalah transfer pricing, terutama untuk
perencanaan pajaknya.
Transfer pricing adalah suatu mekanisme yang umum digunakan oleh
perusahaan multinasional untuk perencanaan pajaknya. Transfer pricing untuk tujuan
perencanaan pajak tidak sepenuhnya ilegal, asalkan memenuhi persyaratan-
persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah suatu negara. Idealnya, transfer pricing
suatu perusahaan multinasional dapat mengurangi beban pajak perusahaan dari sudut
pandang konsolidasi, sementara di sisi lain tetap memenuhi persyaratan-persyaratan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Akan tetapi, hal yang terjadi untuk kasus PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia tidaklah demikian. Berdasarkan hasil pemeriksaan
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan (SPT Tahunan PPh) PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Tahun
Pajak 2005 sampai dengan Tahun Pajak 2008, PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia dianggap telah melakukan transfer pricing yang ilegal sehingga
mengecilkan pajak yang harus dibayarnya di Indonesia. Atas hasil pemeriksaan DJP
ini PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia telah melakukan upaya hukum sampai
dengan tingkat banding ke Pengadilan Pajak. Namun, sampai saat ini putusan
banding atas kasus ini belum terbit. Kasus pajak terkait praktik transfer pricing PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia menarik untuk dibahas. DJP, selaku otoritas
pajak Indonesia, dapat mengambil pelajaran berharga dari kasus transfer pricing PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Pada makalah ini, penulis akan melakukan
analisis tentang kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia,
kendala yang dihadapi DJP dalam kasus ini, serta alternatif pemecahan masalah bagi
DJP untuk menghadapi kasus-kasus transfer pricing di masa mendatang.
LANDASAN TEORI

Pengertian Transfer Pricing


Menurut Hansen dan Mowen (2007, 440), “a transfer price is the price charged
for a component by the selling division to the buying division of the same company”.
Sementara menurut Garrison, Noreen, dan Brewer (2010, 558), “a transfer price is
the price charged when one segment of a company provides goods or services to
another segment of the same company”. Senada dengan kedua definisi di atas,
Bhimani, Horngren, Datar, dan Foster (2008, 619) mendefinisikan transfer price
sebagai “the price one subunit (segment, department, division, and so on) of an
organisation charges for a product or service supplied to another subunit of the same
organisation”. Jadi, dalam konteks satu perusahaan, transfer pricing adalah suatu
kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang terjadi dalam internal
satu perusahaan.
Jika dilihat dari sudut pandang perusahaan multinasional, transfer pricing
menurut Madura (2014, 708) adalah “policy for pricing goods sent by either the
parent or a subsidiary to a subsidiary of an MNC”. Definisi ini tidaklah jauh berbeda
dari definisi yang diberikan oleh Hansen dan Mowen, Bhimani, Horngren, Datar, dan
Foster, serta Garrison, Noreen, dan Brewer di atas. Pada intinya, transfer pricing
adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang terjadi dalam
internal satu perusahaan atau satu kelompok perusahaan. Transfer pricing memiliki
dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja divisi dan penentuan beban pajak yang
optimal. Pada umumnya, terdapat tiga pendekatan untuk penentuan kebijakan
transfer price yang digunakan, yaitu market price, cost-based transfer price, dan
negotiated transfer price. Namun, Atkinson, Kaplan, Matsumura, dan Young (2012,
485) menambahkan satu pendekatan penentuan transfer price, yaitu administered
transfer price.

1. Market-Based Transfer Price


Jika barang/jasa yang akan ditransfer memiliki pasar ekternal yang kompetitif,
maka harga yang digunakan sebagai transfer price adalah harga pasar.
Pendekatan harga pasar ini adalah pendekatan yang paling baik digunakan
untuk penentuan transfer price. Akan tetapi, pendekatan harga pasar ini sulit
untuk diterapkan karena jarang sekali terdapat suatu pasar eksternal yang
kompetitif untuk semua jenis barang/jasa.
2. Cost-Based Transfer Price
Karena jarang sekali terdapat suatu pasar eksternal yang kompetitif untuk
semua jenis barang/jasa, maka perusahaan dapat menggunakan pendekatan
biaya untuk penentuan transfer price. Transfer price ditentukan berdasarkan
biaya untuk memproduksi barang/jasa. Perusahaan dapat menggunakan biaya
berdasarkan variable costing atau full (absorption) costing.
3. Negotiated Transfer Price
Pendekatan ketiga yang dapat digunakan untuk penentuan transfer price adalah
negosiasi antara manajer divisi penjual dan manajer divisi pembeli. Divisi
penjual dan divisi pembeli akan menyetujui terjadinya penjualan internal
barang/jasa apabila kedua divisi sama-sama memperoleh laba dari penjualan
internal tersebut. Oleh karena itu, transfer price yang disepakati berada dalam
range of acceptable transfer prices, yaitu harga yang menyebabkan divisi
penjual dan divisi pembeli sama-sama memperoleh laba dari penjualan internal.
Menurut Atkinson, Kaplan, Matsumura, dan Young (2012, 485), pendekatan
negotiated transfer price memiliki kelemahan, yaitu “can lead to decisions that
do not provide the greatest economic benefits”.
4. Administered Transfer Price
Berdasarkan pendekatan ini, transfer price ditentukan oleh suatu pembuat
kebijakan (arbitrator), yang umumnya adalah manajemen puncak.
Administered transfer price biasanya digunakan saat terjadi transaksi yang
sifatnya sering terjadi dalam organisasi. Pendekatan ini mudah diterapkan dan
dapat menghindari terjadinya konflik divisi penjual dan pembeli dalam
penentuan transfer price. Akan tetapi, pendekatan administered transfer price
umumnya mengorbankan semangat pengukuran kinerja dari konsep transfer
pricing karena transfer price ditentukan berdasarkan pertimbangan perencanaan
keuangan perusahaan, bukan pertimbangan ekonomi dan akuntabilitas.

Aspek Perpajakan Transfer Pricing


Hansen dan Mowen (2007, 834) menyatakan bahwa “if all countries had the
same tax structure, then transfer prices would be set independently of taxes”. Namun,
karena negara-negara di dunia ini memiliki struktur dan peraturan perpajakan yang
berbeda-beda, kebijakan transfer pricing juga dipengaruhi oleh aspek perpajakan.
Malahan, transfer pricing kebanyakan digunakan oleh perusahaan multinasional
untuk tujuan perencanaan pajak daripada untuk tujuan pengukuran kinerja.
Penggunaan transfer pricing untuk tujuan perencanaan pajak sebenarnya sah-sah saja.
Menurut Madura (2014, 468), “multinational corporations are subject to certain
guidelines on transfer pricing, but they usually have some flexibility and tend to use a
transfer pricing policy that will minimize taxes while satisfying the guidelines”.
Secara umum, skema perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan
multinasional dengan transfer pricing adalah memindahkan laba dari negara dengan
tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah (lihat Gambar 1).
INDONESIA

Pendapatan
Beban

Negara dengan Tarif Pajak Lebih Rendah

Gambar 1 Skema Umum Perencanaan Pajak dengan Transfer Pricing

Belakangan ini, isu transfer pricing menjadi fokus utama bagi perusahaan-
perusahaan multinasional. Berdasarkan 2010 Global Transfer Pricing Survey (Ernst
& Young, 2011), transfer pricing adalah isu perpajakan terpenting bagi perusahaan
induk (parent company), sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Bahkan, sebanyak
32% dan 42% dari responden menyatakan bahwa isu transfer pricing adalah isu yang
sangat kritis dan sangat penting yang akan dihadapi perusahaan dalam dua tahun ke
depan, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

Gambar 2 Isu-Isu Perpajakan Terpenting bagi Perusahaan Induk


Sumber: Ernst & Young (2011, 7)
Di Indonesia, menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan
Istimewa, Wajib Pajak dalam melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa wajib menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha. Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle/ALP)
merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan istimewa sama atau sebanding
dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sama
dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding.
Jadi, menurut peraturan perpajakan Indonesia, transfer pricing diperbolehkan,
asalkan penentuan transfer price dilaksanakan dengan menggunakan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha.
Tabel 1
Pentingnya Transfer Pricing dalam Dua Tahun ke Depan

Sumber: Ernst & Young (2011, 7)

Apabila transfer pricing dilaksanakan di luar prinsip kewajaran dan kelaziman


usaha, maka sesuai Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai
modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran
dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan
menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode
harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya. Dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011, metode yang digunakan
untuk penentuan transfer price yang sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha adalah Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP), Metode Harga
Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM), Metode Biaya-Plus (Cost Plus
Method), Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM), atau Metode Laba
Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).

PEMBAHASAN

Analisis Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia


Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dapat ditelusuri mulai tahun
2003. Pada tahun 2003, Toyota Indonesia melakukan restrukturisasi mendasar pada
bisnisnya. Sebelumnya, semua lini bisnis produksi dan distribusi mereka dilakukan di
bawah satu bendera, yaitu PT Toyota Astra Motor. Pemilik saham PT Toyota Astra
Motor terdiri atas dua pihak, yaitu PT Astra International, Tbk (sebesar 51%) dan
Toyota Motor Corporation Jepang (sebesar 49%). Pada pertengahan 2003, PT Astra
International, Tbk menjual sebagian besar sahamnya di PT Toyota Astra Motor
kepada Toyota Motor Corporation Jepang. PT Astra International, Tbk menjual
sahamnya di PT Toyota Astra Motor karena mereka mempunyai utang jatuh tempo
yang tak bisa ditangguhkan lagi. Setelah penjualan saham tersebut, Toyota Motor
Corporation Jepang menjadi pemegang saham mayoritas PT Toyota Astra Motor
dengan kepemilikan saham sebesar 95%. Akibat dari perubahan kepemilikan tersebut,
nama perusahaan berubah dari PT Toyota Astra Motor menjadi PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia (TMMIN). PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
menjalankan fungsi produksi Toyota Indonesia.
Sementara itu, untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan
Toyota Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal
pemegang merek (ATPM). Perusahaan ini agen tunggal pemegang merek ini
menggunakan nama lama, yaitu PT Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini,
Astra menjadi pemegang saham mayoritas dengan menguasai 51% saham, sementara
sisanya sebesar 46% menjadi milik Toyota Motor Corporation Jepang.
Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai tercium karena Wajib
Pajak melakukan permohonan pengembalian pajak (restitusi) untuk Tahun Pajak
2005, 2007, dan 2008. Atas permohonan restitusi tersebut, DJP melakukan
pemeriksaan pajak terhadap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dari
pemeriksaan pajak terhadap SPT Toyota pada Tahun Pajak 2005, petugas pajak
menemukan sejumlah kejanggalan. Pada 2004 misalnya, laba bruto Toyota turun
lebih dari 30%, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu, rasio
gross margin (perbandingan antara laba kotor dengan tingkat penjualan) juga
mengalami penurunan, dari sebelumnya 14,59% pada tahun 2003 menjadi hanya
6,58% pada tahun 2004.
Sebelum restrukturisasi, gross margin PT Toyota Astra Motor mengalami
peningkatan 11% hingga 14% per tahun. Namun setelah dilakukan restrukturisasi,
gross margin PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8% hingga
3% per tahun. Sementara di PT Toyota Astra Motor (perusahaan agen tunggal
pemegang merek yang didirikan setelah restrukturisasi), gross margin mencapai 3,8%
hingga 5%. Jika gross margin PT Toyota Astra Motor digabung dengan PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia, persentasenya masih sebesar 7%. Hal ini berarti
margin laba sebelum pajak setelah restrukturisasi lebih rendah 7% dibandingkan
dengan margin laba kotor sebelum restrukturisasi yang mencapai 14%. Berdasarkan
hasil pemeriksaan pajak SPT Toyota, petugas pajak menyimpulkan penyebab
turunnya gross margin adalah adanya transfer pricing dengan harga di luar prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha serta pembayaran royalti yang dinilai tak wajar. Pada
pembahasan kali ini penulis hanya akan membahas mengenai transfer pricing PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia.
Untuk penjualan ekspornya, Toyota memiliki kebijakan bahwa PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia harus melakukan penjualan kepada Toyota Motor
Asia Pacific Pte., Ltd, unit bisnis Toyota yang berkedudukan di Singapura. Toyota
Motor Asia Pacific Pte., Ltd inilah yang nantinya akan menyalurkan penjualan PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke negara-negara lainnya seperti Filipinan
dan Thailand. Skema jual-beli melalui negara perantara semacam itu sebenarnya
lazim saja dalam perdagangan internasional, apalagi penjual dan pembelinya adalah
bagian dari kelompok perusahaan multinasional yang sama. Namun, hal ini akan
menjadi permasalahan di bidang perpajakan jika transfer price yang digunakan tidak
berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta digunakan untuk
melakukan penghindaran pajak.

PT Toyota Toyota Motor


Motor Asia Pacific negara tujuan
Manufacturing Pte., Ltd ekspor
Indonesia (Singapura)

Gambar 3 Skema Penjualan Ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia

Kebijakan Toyota dengan memilih Singapura sebagai negara perantara


penjualan ekspornya menarik untuk diperhatikan. Singapura adalah negara yang
mempunyai tarif Pajak Penghasilan korporasi yang paling rendah di Asia Tenggara,
yaitu sebesar 15% sampai dengan 17%. Tarif Pajak Penghasilan korporasi Singapura
jauh berada di bawah Indonesia, di mana untuk tahun pajak sebelum 2009 (tahun
pajak untuk kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia), tarif
Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan Indonesia adalah progresif sebesar 10%, 15%,
dan 30%. Hal ini tentunya memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan
multinasional, seperti Toyota, untuk memindahkan pendapatannya dari Indonesia ke
Singapura guna meringankan beban pajaknya secara keseluruhan. Petugas pajak
menganggap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer pricing
di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang ditujukan untuk mengecilkan
pembayaran pajaknya di Indonesia. Temuan DJP dari pemeriksaan pajak SPT PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2007 menunjukkan bahwa
sepanjang tahun 2007, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia tercatat
mengekspor 17.181 unit Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan
keuangan Toyota, petugas pajak menemukan bahwa harga pokok penjualan atau cost
of goods sold (COGS) Fortuner itu adalah Rp 161 juta per unit. Anehnya, dokumen
internal Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner itu dijual 3,49% lebih murah
dibandingkan nilai tersebut. Dengan demikian, Toyota Indonesia menanggung
kerugian dari penjualan mobil-mobil itu ke Singapura. Petugas pajak juga
mendapatkan temuan pemeriksaan yang sama pada penjualan mobil Innova diesel
dan Innova bensin. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjual Innova diesel
dan Innova bensin kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd masing-masing
dengan harga 1,73% dan 5,14% lebih murah dari biaya produksinya per unit.
Sementara itu, pada ekspor Rush dan Terios, PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia hanya memperoleh keuntungan yang tipis, yaitu hanya 1,15% dan 2,69%
dari biaya produksinya per unit. Temuan petugas pajak atas penjualan ekspor PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjadi semakin menarik apabila
disandingkan dengan penjualan domestiknya. Toyota Indonesia menjual produk-
produk serupa kepada pembeli lokal di Indonesia dengan harga yang berbeda. Ketika
dijual di dalam negeri, mobil-mobil tersebut dijual dengan gross margin sebesar
3,43% sampai dengan 7,67%.
Akan tetapi, temuan pemeriksaan pajak tersebut belum cukup untuk
menyimpulkan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
penghindaran pajak melalui transfer pricing. Kebijakan diskriminasi harga antara
penjualan ekspor dan domestik adalah hal yang wajar apabila penentuan harganya
berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Selain itu, mungkin saja
proses produksi yang dilakukan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia atas
produk-produk yang menjadi temuan petugas pajak tersebut tidak efisien sehingga PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia terpaksa melakukan penjualan ekspor dengan
harga jual di bawah biaya produksinya. Untuk membuktikan terjadinya penghindaran
pajak melalui transfer pricing, petugas pajak harus memeriksa nilai kewajaran dari
semua transaksi dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor
Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura.
Adapun cara yang digunakan oleh DJP untuk menilai kewajaran transfer price
dari transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia
Pacific Pte., Ltd di Singapura adalah dengan cara membandingkan harga itu dengan
traksaksi perusahaan sejenis di luar negeri. Metode ini disebut dengan Metode
Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price/CUP). Cara ini merujuk pada Transfer Pricing
Guideline yang disusun Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD). Petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang
dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima
perusahaan itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor
Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). Dari penelaahan atas
transaksi afiliasi kelima perusahaan tersebut, pemeriksa pajak menetapkan bahwa
kisaran gross margin yang dapat dinilai wajar (arm’s length range) untuk perusahaan
otomotif yang melakukan ekspor adalah 3,22% sampai dengan 13,58%. DJP
menyimpulkan bawah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
transfer pricing guna penghindaran pajak.
Kendala yang Dihadapi oleh DJP dalam Kasus Transfer Pricing PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia
Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode
Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
(Comparable Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode
ini adalah mencari data pembanding yang sesuai. Berdasarkan hasil wawancara
penulis dengan petugas pajak lainnya, ketersediaan data pembanding ini adalah
persoalan utama dalam kasus transfer pricing yang dihadapi oleh DJP. Dalam kasus
transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, petugas pajak
menggunakan Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor
Limited (India), Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). DJP menganggap
bahwa kelima perusahaan tersebut memiliki karakteristik serupa dengan Toyota
sehingga layak dijadikan pembanding.
Akan tetapi, simpulan DJP bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak dibantah oleh pihak PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia. Dalam sidang di Pengadilan Pajak, pihak PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan yang
digunakan sebagai perbandingan oleh petugas pajak, yaitu Hindustan Motors (India),
Yulon Motor (Taiwan), dan Force Motor Limited (India), berstatus merugi.
Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada tahun 2008 masih
untung. Dengan demikian, pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak layak dijadikan sebagai
pembanding dalam kasus tersebut.
Penentuan besarnya transfer price yang wajar memang sangat susah untuk
dilaksanakan. Permasalahan yang dihadapi oleh DJP terutama adalah ketersediaan
data pembanding untuk menentukan besarnya transfer price yang wajar. Terhadap
beberapa komoditas, seperti minyak mentah dan crude palm oil (CPO), memang
lebih mudah menentukan besarnya transfer price yang wajar karena datanya tersedia
dan mudah diakses. Namun, sebagian besar produk perusahaan-perusahaan
multinasional susah dicari pembandingnya karena setiap produk mempunyai
spesifikasi, fungsi, dan brand yang berbeda. Permasalahan penentuan besarnya
transfer price yang wajar tidak hanya dialami oleh DJP, tetapi juga oleh otoritas-
otoritas pajak negara lainnya di dunia.
Untuk mengatasi permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar,
otoritas pajak di dunia, terutama negara anggota OECD, banyak yang menggunakan
Advance Pricing Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP).
Advance Pricing Agreement dan Mutual Agreement Procedure terbukti cukup sukses
untuk menangani kasus transfer pricing. Oleh karena itu, terbitnya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan Pelaksanaan
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) patut diapresiasi.
Advance Pricing Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP)
Menurut OECD, APA adalah “an administrative approach that attempts to
prevent transfer pricing disputes from arising by determining criteria for applying
the arm's length principle to transactions in advance of those transactions taking
place”. APA menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 adalah
adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak, atau
Direktur Jenderal Pajak dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
P3B yang melibatkan Wajib Pajak, untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau
menentukan harga wajar atau laba wajar di muka. Sementara itu, MAP adalah
prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan
yang timbul dalam penerapan P3B. Jadi, pembentukan APA dilakukan melalui MAP
dalam hal APA dimaksud melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi
Mitra P3B.

Gambar 4 Negara-Negara yang Menggunakan APA sampai dengan Tahun


2011
Sumber:http://www.ey.com/Media/vwLUExtFile/guide_to_advance_pricing_agreem
ents $FILE/map_large.jpg
APA sudah banyak digunakan oleh otoritas pajak di dunia. Daftar negara yang
telah menggunakan APA sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 5 di
atas. Secara formal, Indonesia telah menggunakan APA sejak 2010, dengan
diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010. Akan
tetapi, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 belum mengatur
secara jelas prosedur pembentukan dan pelaksanaan APA. Tata cara pembentukan
dan pelaksanaan APA baru diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
7/PMK.03/2015.
APA memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi Wajib Pajak
maupun DJP selaku otoritas pajak. Dengan membuat kontrak harga transfer (APA)
dengan otoritas pajak, Wajib Pajak akan memperoleh dua keuntungan utama, yaitu
kepastian dalam transfer pricing dan penghematan biaya dan waktu. APA akan
membuat Wajib Pajak lebih nyaman dalam menjalankan kegiatan usahanya karena
sudah ada batasan yang telah disepakati dengan otoritas pajak mengenai besarnya
transfer price yang dianggap wajar. Hal ini akan mengurangi potensi terjadinya
sengketa pajak. Pemeriksaan pajak dan upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa
pajak terkait transfer pricing seringkali memakan biaya yang besar dan waktu yang
lama. Karena potensi terjadinya sengketa pajak dapat dikurangi dengan adanya APA,
maka Wajib Pajak dapat menghemat biaya dan waktu.
Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar
yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Jika Wajib Pajak
melakukan transfer pricing dengan harga di bawah APA, maka DJP sudah dapat
menyimpulkan bahwa Wajib Pajak melakukan transfer pricing untuk penghindaran
pajak. Di sisi lain, APA juga dapat meningkatkan basis data perpajakan DJP karena
APA paling sedikit memuat tentang para pihak yang memiliki hubungan istimewa,
transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA, metode transfer pricing,
pembanding (comparables), jangka waktu berlakunya APA, asumsi kritikal (critical
assumptions), dan penyesuaian transfer pricing (transfer pricing adjustment).
Sementara itu, dengan melakukan APA yang melibatkan otoritas pajak negara mitra
atau yurisdiksi mitra P3B, DJP dapat menghindari terjadinya pengenaan pajak
berganda terhadap Wajib Pajak.
Meskipun memberikan keuntungan, DJP tetap harus berhati-hati dalam
membuat APA. Jangan sampai APA yang dibuat DJP dengan Wajib Pajak berpotensi
menurunkan penerimaan negara. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas
mungkin agar tidak terjadi perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak.
Analisis yang mendalam dan hati-hati perlu dilakukan DJP sebelum menandatangani
APA dengan Wajib Pajak, terutama terkait transaksi yang termasuk dalam ruang
lingkup APA, metode transfer pricing, pembanding (comparables), jangka waktu
berlakunya APA, asumsi kritikal (critical assumptions), dan penyesuaian transfer
pricing (transfer pricing adjustment).
PENUTUP

Simpulan
Adapun hal-hal yang dapat disimpulkan dari makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa
yang terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu kelompok perusahaan.
2. Transfer pricing memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja dan
penentuan beban pajak yang optimal. Namun, belakangan ini transfer pricing
lebih banyak digunakan untuk tujuan perencanaan pajak daripada untuk
pengukuran kinerja divisi.
3. DJP menganggap bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak. Adapun modus yang
dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah melakukan
penjualan dengan transfer price di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
kepada perusahaan afiliasinya yang berada di Singapura.
4. Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan
Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam
penggunaan metode ini adalah mencari data pembanding yang sesuai.
5. Metode yang digunakan DJP untuk penentuan transfer price yang wajar
disanggah oleh pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia karena
perusahaan yang menjadi perbandingan petugas pajak, yaitu Hindustan Motors
(India), Yulon Motor (Taiwan), dan Force Motor Limited (India), berstatus
merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada 2008
masih untung sehingga tidak bisa dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan
tersebut.
6. Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata
Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance
Pricing Agreement/APA) patut diapresiasi.
7. Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar
yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Selain itu, APA
juga dapat meningkatkan basis data perpajakan DJP.

Saran
Adapun alternatif saran yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalah
terkait kasus transfer pricing yang mirip dengan kasus PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia antara lain:
1. DJP agar mensosialisasikan APA sehingga menarik Wajib Pajak untuk
melaksanakan program APA.
2. DJP perlu melakukan analisis yang mendalam dan hati-hati sebelum
menandatangani APA dengan Wajib Pajak.
3. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi
perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak.

Anda mungkin juga menyukai