Kelompok E
Dosen
Dr. Bambang Hadinugroho SE,. M.Si
PERBEDAAN BUDAYA
Salah satu variabel konteksual yang penting yang memengaruhi pengendalian
manajemen di dalam sebuah perusahaan multinasional adalah perbedaan budaya antar
Negara.Menurut definisinya, sebuah organisasi multinasional akan beroperasi di
banyak negara dan harus siap menghadapi perbedaan budaya seiring dengan
koodinasi dan pengendalian yang dilakukan oleh kantor pusat terhadap anak-
anak perusahaannya. Baik dalam konteks sebuah organisasi atau suatu bangsa,
kata “budaya” akan merujuk kepada nilai-nilai, asumsi dan norma perilaku yang
diakui bersama. Ketika sebuah organisasi merentangkan operasinya melintasi
berbagai Negara, perbedaan budaya yang sangat besar yang berkaitan dengan
karakter nasional dan regional yang ada, mempunyai hubungan yang penting dengan
pengendalian manajemen.
Jangkauan kekuasaan
Merujuk kepada sejauh mana kekuasaan didistribusikan dan dipusatkan secara
tidak seimbang. Budaya dengan jangkauan kekuasaan yang tinggi termasuk Filipina,
Venezuela, dan Meksiko. Budaya dengan jangkauan kekuasaan yang rendah termasuk
Israel, Denmark, dan Austria.
Individualisme/ koltivisme
Merujuk kepada sejauh mana seseorang mendefinisikan dirinya sendiri sebagai
seorang individu atau sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Budaya
individualistik yang tinggi termasuk Amerika Serikat, Australia, dan Inggris. Budaya
kolektiitas yang tinggi termasuk Saudi Arabia, Venezuela, dan Peru.
Menghindari ketidakpastian
Merujuk sampai sejauh mana seseorang akan merasa terancam oleh situasi
yang tidak menentu budaya penghindaran ketidakpastian tertinggi termasuk Jepang,
Portugal, dan Yunani. Budaya penghindaran ketidakpastian terendah termasuk
Singapura, Hongkong, dan Denmark.
Maskulinitas/feminitas
Merujuk kepada sampai sejauh apakah pengaruh yang dimiliki oleh salah satu
dari kedua nilai dominant tersebut apakah pengaruh yang dimiliki oleh salah satu dari
kedua nilai dominant tersebut berupa
HARGA TRANSFER
Harga transfer untuk barang, jasa, dan teknologu merupakan salah satu dari
perbedaan besar yang terjadi antara pengendalian manajemen operasi domestik dan
luar negeri. Namun dalam operasi luar negeri, dibutuhkan beberapa pertimbangan
penting lainnya untuk dapat sampai kepada suatu harga transfer. Pertibangan-
pertimbangan tersebut termasuk perpajakan, peraturan pemerintah, tarif pengendalian
devisa, akumulasi dana, dan joint venture.
Perpajakan
Tingkat pajak penghasilan efektif dapat memiliki perbedaan yang sangat jauh di
masing-masing negara-negara asing, sistem harga transfer yang memungkinkan
pengalihan keuntungan ke negara-negara dengan tingkat pajak yang rendah dapat
mengurangi jumlah pajak penghasilan perusahaan yang digabungkan dari seluruh
dunia.
Peraturan Pemerintah
Jika tidak diatur oleh pemerintah, perusahaan akan menetapkan harga transfer
untuk meminimalkan laba kena pajak di Negara-negara dengan tingkat pajak
penghasilan yang tinggi. Namun demikian, otoritas pajak pemerintah menyadari
adanya kemungkinan ini dan mengeluarkan peraturan yang menentukan bagaimana
harga transfer dapat dihitung.
Tarif
Tarif sering kali dipungut berdasarkan persentase tertentu dari nilai impor suatu
produk. Semakin rendah harganyasenakin rendah pula tarif yang akandikenakan.
Timbulnya tarifbiasanya memiliki hubungan terbalik dengan timbulnya pajak
pendapatan didalam harga transfer. Meskipun tarif untuk barang-barang yang
dikirimkan ke suatu Negara tertentu akan lebih rendah jika harga transfernya juga
rendah, keuntungan yang dicatat di Negara itu dan karenanya pajak penghasilan lokal
atas laba akan ikut tinggi. Jadi, efek bersih dari faktor-faktor ini harus ikut
diperhitungkan dalam menentukan harga transfer yang tepat. Karena pajak
penghasilan umumnya memiiki jumlahnya yang lebih besar daripada tarif, harga
transfer internasional biasanya lebih banyak didasarkan pada pajak penghasilan
daripada tarif.
Pengendalian Devisa
Beberapa Negara membatasi jumlah devisa yang tersedia untuk mengimpor
beberapa komoditas tertentu. Dalam kondisi ini, harga transfer yang lebih rendah
memungkinkan anak perusahaan untuk memasukkan komoditas tersebut dalam
jumlah yang lebih besar.
Akumulasi Dana
Perusahaan mungkin ingin mengakumulasikan dananya di satu Negara tertenttu
daripada di negara lain. Harga transfer adalah salah satu cara untuk mengalihkan dana
tersebut ke dalam atau ke luar Negara tertentu.
Joint Venture
Joint ventu rememberikan komplikasi tambahan dalam harga transfer.Andai
kata sebuah perusahaan AS mempunyai operasi joint venture di Jepang dengan
perusahaan local Jepang. Jika induk perusahaan AS membebankan harga lebih tinggi
bagi komponen yang dikirimkan ke Jepang, mitra joint venture Jepang kemungkinan
besar akan menolak harga tersebut karena harga itu akan memperkecil laba
operasinya dan mengakibatkan bagian keuntungan dari mitra joint venture Jepang
tersebut juga semakin kecil.
Pertimbangan Hukum
Hampir semua Negara melakukan beberapa pembatasan pada fleksibilitas
perusahaan dalam menetapkan harga transfer untuk transaksi dengan anak-anak
perusahaan diluar negeri. Alasannya adalah untuk mencegah perusahaan
multinasional melakukan penghindaran pajak penghasilan di Negara tuan rumah.
Perhatikanlah contoh-contoh berikut ini:
Section 482 memberikan aturan-aturan untuk menentukan harga transfer pada
penjualan antar anggota dari kelompok yang sepengendali. Metode-metode harga
antar perusahaan sepengendali yang dapat diterima, disusun menurut prioritasnya dari
yang paling penting adalah sebagai berikut :
1. Metode perbandingan dengan harga tidak sepengendali
Harga yang wajar dapat dipastikan dari penjualan barang atau jasa yang
dapat diperbandingkan antara perusahaan multinasional dan pelanggan
yang tidak memiliki hubungan istimewa, atau antara dua perusahaan yang
masing-masing tidak saling memiliki hubungan istimewa.
Hal-hal yang dapat memengaruhi harga adalah antara lain, kualitas
produk, syarat penjualan, tingkat pasar, dan wilayah geografis di mana jenis
barang tersebut dijual, tetapi untuk diskon jumlah, penyisihan promosi dari
kerugian khusus yang disebabkan oleh perbedaan nilai tukar mata uang dan
selisih kredit tidak diperhitungkan. Harga yang lebih rendah dan bahkan
penjualan di bawah harga penuh, diizinkan dalam hal-hal tertentu seperti
selama penetrasi sebuah pasar baru atau dalam mempertahankan pasar yang ada
di suatu wilayah tertentu.
2. Metode harga jual kembali.
Bila tidak ada penjualan yang dapat dibandinkan, metode berikutnya yang
diperbolehkan adalah metode hargajual kembali. Dalam metode ini, wajib pajak
bekerja mundur dari harga penjualan final pada saat kekayaan yang dibeli dari
perusahaan afiliasi dijual kembali dalamsebuahpenjualantidaksepengendali.
Hargajualkembaliinidikurangidengan persentase keuntungan (markup)
yang semestinya berdasarkan penjualan tidak sepengendali oleh afiliasi yang
sama atau oleh penjual lain yang menjual barang yang sama di pasar yang dapat
diperbandingkan. Persentase markup dari pesaing dan rata-rata industri juga
dapat membantu dalam kaitannya dengan hal ini.
3. Metode harga-plus.
Menurut metode ini, yang menjadi prioritas terendah di antara ketiga
metode yang diuraikan, titik awal untuk menentukan harga yang wajar adalah
biaya untuk memproduksi produk, dihitung menurut praktik akuntansi yang
benar. Ke dalam biaya ini ditambahkan laba kotor yang wajar yang dinyatakan
dalam presentase tertentu dari biaya dan didasarkan pada penjualan tidak
sepengendali yang serupa yang dilakukan oleh pihak penjual, atau penjual lain,
atau tingkat yang berlaku untuk industri tersebut.
Arus kas dari sebuah perusahaan domestik dinominasikan dalam dolar, dan
pada suatu waktu tertentu, setiap dolar mempunyai nilai yang sama dengan nilai dolar
lainnya. Sebaliknya, arus kas perusahaan multinasional didenominasikan dalam
beberapa mata uang di mana nilai setiap mata uang relative kepada nilai dlarakan
berbeda seiring dengan perbedaan waktu. Variasi ini memperumit masalah
pengukuran kinerja anak perusahaan dan para manajernya. Lebih spesifik lagi,
perusahaan multinasional memiliki eksposur akibat translasi, transaksi dan ekonomi
perubahan nilai tukar. Pertama-tama kita akan membahas nilai tukar secara sinkat dan
kemudian mendiskusikan tiga jenis eksposur nilai tukar dan implikasinya kepada
perancangan system pengendalian.
Nilai Tukar
Nilai tukar adalah harga dari sebuah mata uang jika dibandingkan dengan mata
uang yang lainnya. Hal ini dapat dinyatakan baik sebagai jumlah unit dari mata uang
negara induk perusahaan yang diperlukan untuk membeli satu unit mata uang asing
(kita sebut penawaran langsung) atau sejumlah unit mata uang asing yang diperlukan.
Nilai tukar yang biasanya ditawarkan disebut nilai tukar nominal. Nilai tukar spot
adalah nilai tukar nominal yang berlaku pada satu hari tertentu. Nilai tukar riil adalah
nilai tukar spot setelah penyesuaiaan perbedaan inflasi antara dua Negara yang
dihitung. Ada juga nilai tukar forward, yaitu nilai tukar hari ini yang dapat digunakan
menjadi dasar penyelesaian suatu transaksi yang terjadi di suatu waktu di masa depan.
Pertimbangan Manajemen
Dalam mendesain system evaluasi kinerja anak perusahaan multinasional,
perusahaan dapatmengunakan pedoman-pedoman berikut ini:
1. Para manajer anak perusahaan seharusnya tidak dianggap bertanggung jawab
terhadap efek. Para manajer anak perusahaan seharusnya tidak dianggap
bertanggung jawab terhadap efek translasi. Cara termudah untuk mencapai
tujuan ini adalah membandingkan anggaran dengan hasil actual dengan
menggunakan metrik yang sama dan mengisolasi efek yang berhubungan
dengan inflasi melalui analisis varians. Tak ada gunanya bagi para manajer
untuk khawatir tentang metrik yang tepat. Perusahaan multinasional hendaknya
memilih metrik apa saja yang ia anggap lebih mudah untuk digunakan.
2. Efek transaksi paling baik ditangani melalui koordinisasi terpusat dari
kebutuhan lindung nilaiperusahaan multinasional secara keseluruhan. Hal ini
kemungkinan besar akan jauh lebih mura. Efek transaksi paling baik ditangani
melalui konsolidasi terpusat dari kebutuhan lindung nilai perusahaan
multinasional secara keseluruhan. Efek transaksi paling baik ditangani melalui
koordinisasi terpusat dari kebutuhan lindung nilai perusahaan multinasional
secara keseluruhan. Hal ini kemungkinan besar akan jauh lebih murah.
CASE STUDY
ANALISIS KASUS TRANSFER PRICING PT TOYOTA MOTOR
MANUFACTURING INDONESIA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam era globalisasi seperti saat ini, dunia seolah-olah tanpa batas. Pengaruh
globalisasi juga terjadi dalam bidang ekonomi dan bisnis. Perusahaan-perusahaan
tidak hanya melakukan kegiatan bisnisnya hanya satu negara saja. Banyak perusahaan
yang melaksanakan kegiatan lintas negara, baik melalui cabang maupun anak
perusahaannya. Perusahaan-perusahaan semacam ini dinamakan perusahaan
multinasional (multinational corporation atau multinational company/ MNC).
Salah satu perusahaan multinasional terbesar di dunia adalah Toyota. Toyota adalah
perusahaan otomotif yang berpusat di Jepang. Toyota memiliki banyak cabang, anak
perusahaan, dan perusahaan terafiliasi di berbagai negara di seluruh dunia. Salah satu
anak perusahaan Toyota di adalah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia yang
berkedudukan di Indonesia. Pengelolaan perusahaan multinasional tentunya berbeda
dengan pengelolaan yang hanya berbasis di satu negara. Pengelolaan keuangan
perusahaan multinasional menggunakan suatu skema yang lebih kompleks guna
memaksimalkan keuntungannya. Salah satu skema pengelolaan keuangan yang
digunakan oleh perusahaan multinasional adalah transfer pricing, terutama untuk
perencanaan pajaknya.
Transfer pricing adalah suatu mekanisme yang umum digunakan oleh
perusahaan multinasional untuk perencanaan pajaknya. Transfer pricing untuk tujuan
perencanaan pajak tidak sepenuhnya ilegal, asalkan memenuhi persyaratan-
persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah suatu negara. Idealnya, transfer pricing
suatu perusahaan multinasional dapat mengurangi beban pajak perusahaan dari sudut
pandang konsolidasi, sementara di sisi lain tetap memenuhi persyaratan-persyaratan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Akan tetapi, hal yang terjadi untuk kasus PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia tidaklah demikian. Berdasarkan hasil pemeriksaan
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan (SPT Tahunan PPh) PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia Tahun
Pajak 2005 sampai dengan Tahun Pajak 2008, PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia dianggap telah melakukan transfer pricing yang ilegal sehingga
mengecilkan pajak yang harus dibayarnya di Indonesia. Atas hasil pemeriksaan DJP
ini PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia telah melakukan upaya hukum sampai
dengan tingkat banding ke Pengadilan Pajak. Namun, sampai saat ini putusan
banding atas kasus ini belum terbit. Kasus pajak terkait praktik transfer pricing PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia menarik untuk dibahas. DJP, selaku otoritas
pajak Indonesia, dapat mengambil pelajaran berharga dari kasus transfer pricing PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Pada makalah ini, penulis akan melakukan
analisis tentang kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia,
kendala yang dihadapi DJP dalam kasus ini, serta alternatif pemecahan masalah bagi
DJP untuk menghadapi kasus-kasus transfer pricing di masa mendatang.
LANDASAN TEORI
Pendapatan
Beban
Belakangan ini, isu transfer pricing menjadi fokus utama bagi perusahaan-
perusahaan multinasional. Berdasarkan 2010 Global Transfer Pricing Survey (Ernst
& Young, 2011), transfer pricing adalah isu perpajakan terpenting bagi perusahaan
induk (parent company), sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Bahkan, sebanyak
32% dan 42% dari responden menyatakan bahwa isu transfer pricing adalah isu yang
sangat kritis dan sangat penting yang akan dihadapi perusahaan dalam dua tahun ke
depan, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
PEMBAHASAN
Simpulan
Adapun hal-hal yang dapat disimpulkan dari makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa
yang terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu kelompok perusahaan.
2. Transfer pricing memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja dan
penentuan beban pajak yang optimal. Namun, belakangan ini transfer pricing
lebih banyak digunakan untuk tujuan perencanaan pajak daripada untuk
pengukuran kinerja divisi.
3. DJP menganggap bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak. Adapun modus yang
dilakukan oleh PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia adalah melakukan
penjualan dengan transfer price di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
kepada perusahaan afiliasinya yang berada di Singapura.
4. Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan
Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Adapun kendala dalam
penggunaan metode ini adalah mencari data pembanding yang sesuai.
5. Metode yang digunakan DJP untuk penentuan transfer price yang wajar
disanggah oleh pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia karena
perusahaan yang menjadi perbandingan petugas pajak, yaitu Hindustan Motors
(India), Yulon Motor (Taiwan), dan Force Motor Limited (India), berstatus
merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia pada 2008
masih untung sehingga tidak bisa dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan
tersebut.
6. Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata
Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance
Pricing Agreement/APA) patut diapresiasi.
7. Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar
yang lebih kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Selain itu, APA
juga dapat meningkatkan basis data perpajakan DJP.
Saran
Adapun alternatif saran yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalah
terkait kasus transfer pricing yang mirip dengan kasus PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia antara lain:
1. DJP agar mensosialisasikan APA sehingga menarik Wajib Pajak untuk
melaksanakan program APA.
2. DJP perlu melakukan analisis yang mendalam dan hati-hati sebelum
menandatangani APA dengan Wajib Pajak.
3. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi
perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak.