Anda di halaman 1dari 6

1

EPILOG
Pengetahuan seperti Budaya

Kerja sosiologi merupakan sebuah tradisi penelitian. Dengan literalisme yang membingungkan,
pikiran ini, yang kita diskusikan di Bab 1, diuraikan secara mengesankan bagi saya ketika, sebagai
mahasiswa pada 1970, Saya mengetahuinya melalui teks ideologi dan utopia Mannheim yang guru saya
konsultasikan dengan saya salinan Mannheim sendiri, yang diberikan pada guru Saya oleh Mannheim
dan secara bebas ditambahkan penjelasan-penjelasan Mannheim sendiri.

Sosiologi merupakan tradisi penelitian modernitas. Sejak persepsinya, ilmu sosial Barat tidak
memungkinkan melepaskan diri dari keterkaikan pada modernitas, baik dukungan atau kritik dari
formasi sosial khususnya. Dan dalam kebaruan dan tahap-tahap masa depan modernitas --apakah kita
menyebutnya "post" atau "modernitas-tinggi"-- disiplin kita akan melanjutkan merefleksikan dan
membentuk pengembangannya.

Sosiologi merupakan tradisi penelitian itu secara inheren adalah revisionis; seperti masyarakat,
yang dikaji, ia mendapatkan kekiniannya dengan penetapan kembali masa lalunya secara terus-menerus.

Buku ini ditulis dalam spirit seperti revisionisme, keduanya mengalamatkan pada kebutuhan
disiplin kita di akhir abad ini dan melanjutkan tugas menjenguk dan merevisi tema-tema dan
perhatiannya secara gigih. Perhatian khusus Saya ditujukan pada kekinian dan akan datang, Saya
berpendapat bahwa keunggulan modern berbicara pada kita sekarang. Seperti klaim dari kajian
modernisme Marshall Berman (1982). "Melangkah ke belakang bisa jadi cara melangkah ke depan", di
menulis; "mengingat kembali modernisme abad 19 dapat membantu kita mendapatkan visi dan
keteguhan hati untuk menciptakan modernitas abad ke-21 (h. 36). Pada 1992, Berman menambahkan:
"Saya berharap untuk membawa pikiran sosial kembali ke masa yang akan datang" (1992, h. 14). Jika dia
benar, dan saya pikir begitu, gerakan-gerakan intelektual baru-baru ini, seperti strukturalisme dan
poststrukturalisme, menyajikan kembali secara aktual, ketimbang meninggalkan di belakang, beberapa
krisis dan keprihatinan yang lebih penting dari modernitas --pada akhirnya, modernisme pada yang
terbaiknya, membiasakan pada konteks gagasan-gagasannya sendiri.

Pada tiap Bab sebelumnya, gagasan-gagasan kunci dari sosiologi pengetahuan--ideologi,


struktur, budaya, keagenan manusia, ruang sosial--diperiksa ulang dalam terang saat ini. Tujuan dari
tugas ini untuk memunculkan pertanyaan pada adekuasi konsep-konsep dan metode-metode sosiologi
bagi pemahaman dunia-dalam-transisi saat ini, pertanyaan apakah pengembangan dan
pengilangan konsep-konsep kita telah melangkah seiring perubahan lanskap sosial dan politik, seiring
perubahan sistem-dunia, budaya globalnya, yang beberapa menyebut "internasionalisasi hidup
keseharian", mempengaruhi manusianya, kelas-kelanya sebanyak komoditinya dan bentuk-bentuk
budayanya, etos rasionalnya mentransformasikan tidak hanya kehidupan material tapi juga pikiran dan
jiwa sebagai kebaikan.

Tentu salah satu wawasan jamak sosiologi pengetahuan bagi penelitian ilmu sosial adalah
untuk menemukan dalam klaimnya bahwa kehidupan sosial tidak berhenti pada "pintu-pintu"
2

keberadaan kita, tapi melintasi pada bilik-bilik kesadaran kita dan psikis kita, dan menyindir secara tak
langsung diri sendiri bahkan pada wilayah pikiran dan hasrat yang terucapkan dan yang tak terucapkan.
Kehidupan sosial tidak hanya satu aspek, tapi lingkungan keberadaan manusia. Sosiologi pengetahuan
selalu meneliti dengan cermat kehidupan kolektif dari gagasan, makna, imaji, simbol--sesuatu yang
sentral untuk "masyarakat" dan "keberadaan manusia". Ini secara tidak meragukan mengapa ia
merupapkan bidang dari studi yang keluar dari ilmu sosial, bekerja dalam ilmu sastra, filosof, kritik
sastra, teolog, diambil secara reguler. Ini bukan melulu suatu perkara. Karena sosiologi pengetahuan –
jika kita bisa menilai dengan merespon kritik-kritiknya yang paling awal—sekaligus memberikan
ancaman yang dapat dipertimbangkan bagi ilmu sastra dan ilmu-ilmu. 1 Lebih baru-baru ini, hanya
mengenai empat dekade sekarang, "sosial" dan "budaya" telah dilihat sebagai bagian yang tidak
memungkinkan keluar dari semua pengetahuan. Sisi luar ilmu sosial, dari studi literatur dan biologi
sampai etika, telah berkembang biasa untuk menggunakan premis-premis yang Karl Mannheim dan Max
Scheler berjuang untuk menunjukkan: semua aspek keberadaan manusia dan pengetahuan adalah
ditentukan; bentuk pikiran dan tindakan merupakan kesatuan; pengembangan intelektual masyarakat
tidak bisa dipisahkan dari sejarah konkretnya dan konteks sosialnya.

Dalam pandangan Saya, bagaimanapun, nilai kekal (untuk sekarang) dari sosiologi
pengetahuan adalah kapasitasnya untuk menarik perhatian pada dirinya sendiri sebagai bagian dari
penelitiannya sendiri: untuk memungkinkan kita meneliti dengan cermat arus "berpaling pada budaya",
dalam masyarakat dan dalam ilmu sosial; untuk memahami--dengan lebih dari satu ons sikap kritis yang
tak memihak-- dampak bahwa gagasan-gagasan dan metode-metode ilmu sosial memiliki kehidupan
kontemporer yang sedang berlangsung; untuk bertanya bagaimana pengetahuan budaya dan
pengoperasiannya bisa menjalankan sebagai bentuk donimasi, sejak ia merupakan sumber daya, dari
sumber daya itu beberapa manusia dikeluarkan. Dalam kapasitasnya untuk menarik perhatian pada
pengoperasiannya sendiri, sosiologi pengetahuan mengklaim bahwa pengetahuan ilmu sosial --seperti
semua pengetahuan-- adalah budaya.

Namun apa tepatnya maksud rumusan akademis ini? Seluruh buku ini, Saya mencoba untuk
memeriksa apa yang ia maksudkan, menggunakan beberapa tradisi utama teori sosial untuk menerangi
kondisi pengetahuan dalam dunia kita sekarang ini: teori sosial Marxis (Bab 2), sosiologi dan antropologi
Perancis (Bab 3), dan pragmatisme Amerika (Bab 4). Ragam feminisme kontemporer (Bab 5) menyusun
beberapa tubuh kerja terbaru yang mengalamatkan topik pengetahuan –melukiskan dari, sementara
memahami kembali secara substantif, gagasan-gagasan dari marxisme, sosiologi pengetahuan dan ilmu,
dan postsrukturalisme. Sekarang, tiap "interpretasi komunitas" 2 yang berbeda ini telah menempatkan

1
Gunter Remmling membuka pengantar esainya, "Existence and Thought", untuk kumpulan terbitan Toward the
Sociology of Knowledge (1973) dengan tepat poin ini. Sebagaimana Remmling mengindikasikan dalam
komentarnya, esai Arthur Child (1940-1941) menyingkap bagaimana kuat dan defensif tulisan akademik dalam ilmu
dan dalam reaksi ilmu sastra kepada sosiologi pengetahuan dalam tahun-tahun awalnya. Serupa, dalam dua
tanggapan kepada Franz Adler, Werner Stark (1959) mengambil kesempatan untuk mempertahankan dengan
sungguh-sungguh asumsi metodologisnya dan posisinya.
2
Istilah "komunitas-komunitas interpretatif" dikenal bersama Stanley Fish (1980) dengan Is There a Text in this Class?
The Authority of Interpretatif (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press). Istilah ini digunakan lebih
awal oleh Janice Radway pada 1974 dalam studinya atas kesusantraan roman, "Komunitas-komunitas Interpretatif
dan Variabel Melek Huruf: Fungsi-fungsi dari Pembacaan Roman" (Deadalus 113 (3); dicetak ulang 1991 diedit oleh
3

konsep "budaya" dalam garis depan pada diskusi ini. Alasan bagi "berpaling pada budaya" ini
(Robertson 1992, Bab 2) adalah topik yang menarik, terutama bagi sosiolog pengetahuan. Dunia
posmodern sekarang sedang asyik dengan bentuk-bentuk arti (bahasa, teks, wacana, dll), yang,
sebagaimana Robertson catat (h. 32), karya-karya sosiologi yang datang setelah periode klasik, secara
kasar dari tahun 1920 sampai 1950, secara luas diabaikan.

Masih, apakah merupakan beberapa kejutan bahwa cara-cara lama mengenai pemikiran
tentang "dasar" dan "superstruktur" telah dirubah dengan cepat dan tak dapat dirubah dalam setengah
abad ini. Kita hidup dalam dunia yang hampir dibanjiri oleh kekuatan menciptakan dirinya sendiri dan,
kepalsuannya sendiri. Realitas-realitas kita eksis dalam transmisi --pada layar dan kabel-- dan perasaan
kitalah yang memiliki dan mengontrol pengetahuan dan imaji dan suara yang secara efektif mengontrol
realitas-realitas kita. Kehidupan material, sebagaimana sekarang kita memahaminya, tak dapat dielakkan
telah mejadi semiotik; kita mengonsumsi produk-produk yang menyajikan sebagai tanda mengenai
benda, lebih penting, mengenai diri kita. Dunia benda kita eksis lebih banyak untuk mengomunikasikan,
untuk mengatakan sesuatu hal, ketimbang untuk menyajikan kebutuhan praktis atau fungsi.
Sebagaimana teori wacana telah memperoleh pengaruh yang menguasai dalam akademi,
bicara...bicara...bicara mengusik kita dalam kehidupan sehari-hari. Manusia, dituntun oleh "talk show"
dari radio dan televisi, tidak pernah berhenti berbicara. Di jaman kita sekarang, apakah kita menyaksikan
kematian percakapan dengan bicara? "Budaya" juga menyajikan untuk menganggap perkembangan
perasaan kita dari "konstruksi" dan "perbedaan" dalam dunia yang apapun ia adalah, tidaklah lebih lama
(Lemert 1994, h. 146).

Minat baru-baru ini dalam budaya muncul dari kesadaran manusia dan bangsa-bangsa dunia
("globalisasi") seperti penyebaran dan perubahan aktif pengetahuan dan informasi tentang masyarakat
dunia di antara mereka. Penggunaan konsep budaya dalam cetakan dan siaran jurnalisme mendidik kita
lebih lanjut pada kenyataan, masih ucapan yang sulit dimengerti, fakta budaya. 3 Di Amerika sekarang
kita mendengar tentang "budaya militer", "budaya Washington D.C.", "budaya gay", dan seterusnya.
Penggunaan kata-kata populer tersebut mengucapkan dan menyebarkan lebih lanjut kesadaran manusia
mengenai budaya sebagai lahan yang relatif dan berubah-ubah terhadap makna dan nilai. Untuk
memahami sesuatu sebagai budaya, atau sebagai bagian dari budaya, adalah memberikan padanya
status artifisial: manusia dalam semua ragam warnanya, bentuknya, dan ukurannya merupakan orang
cerdas tertinggi dari dunianya (budaya) dan dari dirinya sendiri. Untuk melihat budaya sebagai buatan
(artifisial) dan masyarakat sebagai hasil kecerdasan (artefak) manusia selalu integral pada ilmu sosial,
pada kritiknya dan perspektif tak berpihak dan praktik-praktiknya (Clifford 1988, h. 199; Stark 1980, h.
22). Tapi apakah relatif baru bahwa gagasan-gagasan itu secara cepat menjadi penciptaan umum,
dihasilkan oleh kesusastraan manusia yang meningkat dan akulturasinya dengan wacana dan disiplin
medern, sekulerisasi bahasa dan pandangan dunia, dan dampak dari hal tersebut pada opini publik dan
budaya populer. "Budaya" tidak lebih jauh menandai Barat dari non-Barat. Ia sekarang tentang kita, juga
C. Murkeji dan M. Schudson Rethingking Popular Culture, Berkeley: University of California Press).
3
Margaret Archer "The Myth of Culture Intgration" (1988, Bab 1) memperlihatkan bagaimana kemajuan budaya
sebagai konsep kunci dalam sosiologi dan teori sosiologi sungguh luar biasa karena dari jajaran istilah luar biasa dan
penggunaan yang berbeda; "budaya" telah "memperlihatkan perkembangan analitis paling lemah" atas beberapa
konsep sentral dalam disiplin kita (h. 1).
4

(Geertz 1995, Ch. 3), mengartikulasikan pengertian kita pada keberubahan, bergantung, bidang lokal
kehidupan dan pikiran kolektif.

Untuk menyatakan bahwa pengetahuan adalah budaya, sebuah klaim yang menggambarkan
secara bersama teori-teori berbeda yang disajikan dalam buku ini, adalah untuk mendesak bahwa ragam
tubuh pengetahuan, seperti ilmu alam atau ilmu sosial, beroperasi dalam budaya --bahwa mereka
mengisi dan mengirimkan dan menciptakan disposisi budaya, makna, dan kategori. Ia juga
memaksudkan bahwa semua pengetahuan, apapun yang lain mereka lakukan, beroperasi sebagai sistem
makna; bahwa mereka memberikan kategori-kategori, konsepsi-konsepsi yang memungkinkan
pengguna-pengguna mereka memahami dunia mereka sebagai sesuatu (Percy 1958).

Pengetahuan bisa berakibat secara mendalam, terutama sekali dalam kemampuannya


menyusun cara-cara yang seseorang, kejadian, kesan, dan benda datang pada persepsi, adalah bukan
semata-mata teori akademik. Ia tercatat sekarang pada kesadaran kolektif kita dan merupakan tanda
karakter kesadaran reflektif yang dihasilkan modernisasi (Giddens 1990). Pertarungan melebihi budaya
dan moralitas dalam Amerika kini meninggalkan secara tepat pengakuan ini. Pengetahuan, terutama
sekali itu tentang "kelompok kepentingan" tapi juga dihasilkan oleh ahli teknik dan spesialis, dapat
mengisi dan menyalurkan semua cara nilai dan penilaian: Teks siapa yang akan digunakan untuk
mengajar anak-anak kita? Siapa yang memiliki kebenaran untuk mendidik mereka tentang sex?
Pengetahuan dihasilkan oleh pendidik dan penerbit adalah "dipolitisir", dipandang sebagai kepentingan-
dasar, dan tentu saja ini suatu perkara yang sering. Di wilayah yang lain, juga, seperti pengadilan,
pengetahuan dari "kesaksian ahli" membawa tahanan pada penyajian suatu perkara, pun melalui mereka
juga dipandang sebagai bagian dari strategi legal partisan. Anggota juri, dipilih oleh pengacara untuk
menyumbangkan putusan tertentu, kesepakatan pengetahuan juri --mempesonakan, dan, ia akan
tampak, mistik, pengetahuan dari otoritas tak sejajar. Dalam tiap perkara tersebut, pengakuan bahwa
pengetahuan adalah partisan, atau "daerah" yang tak dapat dielakkan, menyajikan baik untuk
meruntuhkan dampaknya atau pun otoritasnya.

Tak dapat diragukan salah satu dari perkembangan terpenting pada bidang pengetahuan
datang dari gerakan sosial dan politik mengenai kritik ilmu, sisi dalam dan sisi luar akademi: feminis,
enviromentalis, penentang pengembangan nuklir, penderitaan veteran dari dampak perang kimia,
pelindung binatang dari praktik eksploitatif oleh industri dan ilmu medis. Masing-masing dalam caranya
sendiri telah menyumbangkan pada pandangan bahwa ilmu --institusi sekaligus dilihat sebagai berdiri
dengan baik di luar dan di bawah masyarakat-- adalah dirinya sendiri sepenuhnya sosial dan upaya
keras manusia. Kritik feminis dalam akademik, berbagi wilayah institusi yang sama sebagaimana
ilmuwan mereka sendiri, pencatatan peminggiran perempuan yang berlangsung lama dari ilmu dan
bias-bias yang tak ditampilkan yang menjadi konsep dan teori dari bidang-bidang yang sama berbeda
dengan fisika, psikologi, mesin (Bab 5).

Peninggalan feminis pada kita, tertangkap dalam kalimat ilmu adalah budaya, adalah sebuah
gagasan --karya orisinil yang masih evokatif dari genealogi praktik-praktik disiplinnya Foucault--
peminggiran perempuan dari ilmu merupakan sesuatu yang disempurnakan secara diskursif. Gagasan
superioritas alami laki-laki tidak semata-mata fefleksi bentuk-bentuk sosial subordinasi (sebagaimana
5

diklaim Marx), tapi sesuatu yang dihasilkan melalui representasi dan praktik-praktik ilmiah. Marjinalitas
dan subordinasi adalah kehidupan yang ditentukan oleh aktor sosial. Tapi mereka juga menorehkan
dalam kategori, klasifikasi, teks, dan risalah. Bentuk-bentuk budaya tersebut tidak mengikuti pada
"struktur" kelas dan kehidupan material. Budaya-budaya membatasi dan mensituasikan kehidupan
manusia: kelompok-kelompok, kelas-kelas, keseluruhan masyarakat merupakan dampak keberagaman
"formasi-formasi diskursif" (Foucault) atau jaringan kerja yang rumit dan "aparat-aparat" (Althusser).
"Keputusan" dan "yang memerintah" adalah tidak melulu atau bahkan secara prinsipil sebuah sikap
ekonomi ataupun politik. Mereka adalah kesatuan untuk cara total kehidupan, tepatnya kalimat yang
digunakan Kluckhohn (mengikuti "keseluruhan yang paling rumit" nya E. B. Taylor) untuk
mendefinisikan "budaya".4

Sekarang, gagasan budaya ini sebagai kesatuan dan penggabungan yang telah menjalani kritik
dan revisi dalam antropologi. Ia masih mengisi wawasan kontemporer bahwa setiap fase "keteraturan
sosial" --sebuah fenomena yang dihasilkan dan diperoleh sendiri-- adalah sesuatu yang penuh makna,
sesuatu yang dapat melayani sebagai mode penandaan, apakah Tuhan, obyek perhiasan, uang, perasaan,
gestur manusia, atau limbah kita. Dengan demikian kita dapat "membaca" begitu banyak "budaya
borjuis" abad 19, tidak hanya melalui "teori-teori 'agung' milik borjuis tentang 'esensi' sejarah dan negara"
(Lukács [1911] 1968, h. 66), tapi juga melalui "nafsu-nafsu halus" dan keinginan-keinginan mereka,
kesadaran mereka, rasisme mereka (Gay 1984; 1986; 1993). Puritanisme, Max Weber beragumen,
merupakan visi yang mendunia dan bentuk religiusitas yang kuat --sebuah etos yang Weber sendiri coba
lukiskan melalui usaha komersil kapitalis abad 17, sama seperti penglihatan Saul and David nya
Rembrandt, sebuah kerja sampingan dengan "pengaruh yang sangat kuat terhadap emosi-emosi puritan"
(Weber [1904-5] 1958, h. 273, n. 66). Ini adalah pemberian contoh pada sosiologi budaya dan perlu
membuka kedok makna-makna dan pesan-pesan yang berbeda dari adat-adat dan nilai-nilai, kerja seni
dan kerja impian, mendengarkan suara-suara dan kebisuan-kebisuan masa lalu dan masa sekarang. Di
antara budaya, ajaran pokok sosiologi adalah bahwa tak ada artefak yang tak bermakna --bahkan
instrumen-instrumen paling praktis dari peradaban kita telah digunakan untuk berbicara, untuk
bermimpi, untuk berimajinasi. Sensus, peta, dan museum, Anderson (1991, h. 164) berargumen,
merupakan institusi yang "secara mendalam membentuk suatu cara, dalam institusi itu negara kolonial
mengimajinasikan jajahannya --sifat dasar manusia mengatur, geografi wilayahnya, dan legitimasi
keturunannya".

Pengetahuan, seperti beberapa artefak budaya, melakukan lebih dari pada mereka bermaksud
untuk melakukan. Beberapa kontribusi pada studi budaya kontemporer telah menyibukkan diri mereka
sendiri dengan "lebih banyak", berargumen bahwa ilmu, hukum, teologi, misalnya, berfungsi sebagai
"formasi-formasi diskursif", sebagaimana banyak dalam urusan-urusan keputusan dan memarjinalkan
manusia ketika mereka menyebarkan pengetahuan yang diakui sepenuhnya. Sementara perspektif ini
adalah salah satu yang kita tidak dapat menyusutkan dari studi budaya kontemporer yang telah
meninggalkan pada kita sebuah warisan yang lebih mengganggu ketenangan dalam fitur utamanya. Bagi

4 Pengantar pada Sosiologi, Mirror for Man (Clyde Kluckhohn), menggunakan gagasan holistik atas budaya, yang
kemungkinan pertam digunakan oleh Edward B. Tylor: "That complex whole which includes knowledge, belief, art,
morals, law custom" (Vol. 1, dari Primitive Culture Tylor 1871). Untuk diskusi ini, lihat Geertz (1973, Bab 1), Swidler
(1986), dan Archer (1988, Bab 1).
6

"yang lebih banyak" bahwa pengetahuan melakukan dan mengatakan tidak secara prinsipil sebuah jenis
kebohongan; atau pun ia adalah ketidakmurnian, dari ketidakmurnian itu kita dapat membersihkan diri
kita. Sebagai budaya (baca semiotik), pengetahuan adalah beban dengan perkiraan yang diperoleh dari
budaya kita. Di dalam praktik ilmu, kedokteran, jurnalisme, hukum, atau ilmu sosial, otoritas kita
sebagai penghasil pengetahuan dapat diperoleh dari kebebasan kita dari budaya. Sebaliknya, bahwa kita
yang mempekerjakan dalam produksi-pengetahuan dari jenis-jenis tersebut adalah, nyatanya, penghasil-
penghasil budaya. Ini tidak bermaksud bahwa semua pengetahuan adalah ex quo, atau pun bahwa semua
pengetahuan adalah ideologis, dalam pengertian Marxis klasik mengenai "kesadaran palsu", atau pun
bahwa mereka mesti ideologis dalam beberapa pengertian (lihat diskusi saya tentang ideologi di Bab 2).
Tapi ia membebankan pada akademik dan profesional --untuk menggunakan contoh tertutup bagi saya--
pengertian yang agak berbeda mengenai "pekerjaan" ketimbang yang dilukiskan Max Weber.

Sekarang, dalam ruang kelas universitas, Saya tidak bisa lebih jauh membatasi diri saya untuk
menginstruksi terhadap mahasiswa saya pada gagasan-gagasan dan metode-metode ilmu sosial. Saya
juga mesti mendidik mereka tentang operasi-operasi budaya dan tentang ilmu sosial sebagai bagian dari
budaya. Ini memerlukan, di antara sesuatu yang lain, penarikan perhatian pada cara-cara bahwa ia dan
tubuh pengetahuan menyusun ulang masyarakatnya dan dirinya sendiri, kadang-kadang pada cara-cara
yang membebaskan mereka dari identitas dan loyalitas yang mereka bawa bersama mereka ke sekolah.
Praktik ilmu sosial juga mensyaratkan penanaman sifat budaya abad 20 --salah satu mungkin lahir dari
sosiologi dan antropologi—tentang keberadaannya dalam budaya, sementara menelitinya dengan
cermat.

Saya masih tetap menjalankan ilmu sosial sebagai liberal sepenuhnya dan pembebasan
kebiasaan pikiran, salah satu yang mencari-cari asal usul yang kompleks dan pemahaman dunia
kontemporer kita. Dan Saya tentu, dalam penyaluran ilmu pengetahuan sosial, tentang nilai-nilainya
bagi mahasiswa saya, jika tidak ada alasan lain dari pada fakta bahwa ia memberitahukan pada mereka
tentang kenyataan yang tak dapat dihindarkan membentuk kehidupan mereka. Tapi, sebagaimana Saya
melaksanakan operasi-operasi tersebut, Saya tahu dan mereka tahu bahwa apa yang Saya katakan dan
ajarkan bukanlah kata akhir. Pengetahuan disituasikan adalah, oleh sifat dasarnya, belum selesai. Tapi
itu merupakan karakter dari semua hal kemanusiaan dan kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai