Pengajuan Judul : Pola Pengasuhan orangtua dalam memandirikan anak untuk toilet training
pada anak Down Syndrome
A. Latar Belakang Down Syndrome merupakan kelainan kromosom autosomal yang paling banyak terjadi pada manusia. Angka kejadian penderita down syndrome di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8 juta jiwa (Aryanto, 2008). Angka kejadian kelainan down syndrome mencapai 1 dalam 1000 kelahiran. Setiap tahun di Amerika Serikat, lahir 3.000 sampai 5.000 anak dengan kelainan ini (Sobbrie, 2008). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan, kecenderungan down syndrome di Indonesia, pada anak berusia 24-59 bulan meningkat. Prevalensi down syndrome pada tahun 2013 sebesar 0,12 %, namun nilai ini meningkat menjadi 0,13 % pada tahun 2016, dengan kata lain terdapat 0,13 % anak usia 24-59 bulan di Indonesia yang menderita down syndrome (Kemenkes RI, 2016). Anak dengan down syndrome merupakan individu yang dapat dikenali dari fenotipnya dan mempunyai kecerdasan yang terbatas, yang tejadi akibat adanya jumlah kromosom 21 yang berlebih. Materi genetic yang berlebihan tersebut terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom 21 dan interaksinya dengan fungsi sel lainnya menghasilkan suatu perubahan hemeositasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik dan susunan saraf pusat (Soetjiningsih, 2012). Berdasarkan estimasi WHO (World Health Organization, 2011), kejadian anak lahir dengan down syndrome terdapat 1 kejadian down syndrome per 1.000 kelahiran hingga 1 kejadian per 1.100 kelahiran di seluruh dunia. Setiap tahunnya, sekitar 3.000 hingga 5.000 anak lahir dengan kondisi ini, WHO memperkirakan sekitar 8 juta anak lahir dengan menderita down syndrome. Selain itu di Indonesia, insiden 1 dalam 600 sampai 1 dalam 700 kelahiran, lebih dari separuh bayi yang terkena mengalami abortus spontan selama kehamilan dini, dan ditemukan 1 dalam 600 kelahiran hidup (Sudiono, 2009). Berdasarkan data Susenas tahun 2012 jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 2,45% dari total penduduk, yaitu sekitar 6 juta orang (bps.go.id, diakses tanggal 29 Maret 2017). Penyandang disabilitas ada yang dapat diidentifikasikan berdasarkan ciri-ciri fisik yang dimiliki dan ada yang tidak. Salah satu contoh penyandang disabilitas yang dapat kita kenali secara fisik adalah penyandang down syndrome. Down syndrome dapat kita kenali berdasarkan ciri-ciri yaitu bentuk muka yang datar (seperti ras mongoloid), mata yang sedikit juling, mulut kecil, kepala yang kecil, leher yang pendek, serta tangan dan kaki yang tergolong pendek (Evans-Martin, 2009: 14). Down Syndrome merupakan salah satu bentuk retardasi mental, salah satu penyebab down syndrome adalah adanya kelainan genetik yang dapat terjadi pada pria dan wanita, kelainan ini tidak selalu diturunkan kepada keturunan berikutnya (Sudiono, 2009). Kelainan genetik yang merupakan hasil kelainan kromosom yang sering ditemukan adalah kelebihan kromosom 21 atau trisomy 21, adanya abnormalitas kromosom menyebabkan retardasi mental atau keterbelakangan mental yang terjadi pada penderita down syndrome (Yusuf & Nanik, 2015). Mempunyai anak berkebutuhan khusus seperti down syndrome, tentunya menimbulkan beberapa permasalahan yang seringkali menjadi kendala dalam menangani dan merawat anak autis. Salah satu permasalahan yang timbul tersebut adalah permasalahan dalam memberikan toilet training. Permasalahan tersebut timbul karena anak down syndrome memiliki gangguan dalam beberapa aspek seperti gangguan komunikasi dan bahasa, gangguan interaksi sosial, gangguan perilaku (rutinitas) dan kurangnya kesadaran sensoris. Gangguan tersebut menyebabkan anak down syndrome kurang mandiri dalam banyak hal sehingga anak selalu bergantung pada orang tua dalam melakukan kegiatan sehari-hari, termasuk kegiatan yang sifatnya mendasar yakni kebutuhan toileting atau buang air besar dan buang air kecil secara mandiri. Permasalahan toilet training tersebut bermacam-macam dan tidak selalu sama antara anak down syndrome yang satu dengan yang lainnya. Adapun beberapa masalah toilet training yang biasanya terjadi pada anak down syndrome, diantaranya anak down syndrome tidak mengetahui tindakan yang harus dilakukan, takut untuk menggunakan toilet, hanya ingin buang air menggunakan diapers, hingga melakukan fecal smearing (mengusap kotoran/feses ke dinding atau bermain dengan kotorannya) (Williams dan Wright, 2009).