Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

Mola Hidatidosa

Disusun Oleh :
Icha Leandra Wichita

Pembimbing :
dr. Rahmadsyah, Sp.OG, MARS, M.Kes

RUMAH SAKIT UMUM BHAKTI ASIH


KOTA TANGERANG
2018
BAB I
Laporan Kasus

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. EK
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. H. Jalil Bojong Bulak, Karang Tengah
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Masuk : 23 Oktober 2018
No. RM : 05.19.17

II. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis Tanggal: 23 Oktober 2018 Jam: 10.40 WIB

Keluhan utama:
Pasien mengeluh mual disertai muntah hebat sejak 4 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke RS Bhakti Asih dengan keluhan mual disertai muntah setiap kali
makan sejak 4 hari SMRS. Mual disertai muntah sudah dirasakan sejak 1 bulan yang lalu
namun makin memberat. Frekuensi muntah >6 kali sehari. Sebelumnya pasien sudah
melakukan test pack mandiri dengan hasil positif namun pasien lupa hari pertama haid terakhir,
seingat pasien HPHT di pertengahan bulan September sekitar tanggal 14. Pasien mengeluh
nyeri perut bagian bawah sejak 3 hari SMRS, perdarahan dari kemaluan disangkal. Pasien juga
mengeluh gelisah terutama malam hari, dan pusing berputar terasa seperti melayang. Pasien
mengatakan bahwa sejak dahulu memiliki riwayat siklus haid yang teratur, tidak disertai
adanya nyeri haid dan perdarahan haid sebanyak 2 pembalut per hari. Pasien belum meminum
obat apapun, dan sempat menjalani pemeriksaan ultrasonografi di poli kebidanan RS Bhakti
Asih. Riwayat keluhan serupa pada kehamilan sebelumnya disangkal pasien. Pasien tidak
pernah menggunakan KB.
Riwayat Haid:
 Haid Pertama :13 tahun

 Siklus Haid : 18-20 hari, teratur


 Lama Haid : 5-7 hari dengan 2 kali ganti pembalut/hari

 HPHT : 14 September 2018

Riwayat Pernikahan
Status : Sudah menikah
Kawin : Pertama kali
Lamanya dengan suami sekarang : 24 tahun

Riwayat Obstetri
Hamil Tahun Jenis Penyulit Penolong Jenis BB/PB Usia/Kondisi
ke kelahiran persalinan kelamin lahir sekarang
I 1995 Normal - Bidan Perempu 3000 23
pervaginam an gram tahun/Sehat

II 1998 Normal - Bidan Laki-laki 2800 20


pervaginam gram tahun/Sehat
III 2004 Normal - Bidan Laki-laki 2800 14
pervaginam gram tahun/Sehat

IV Hamil Ini

Riwayat Kontrasepsi
Pasien pernah menggunakan KB jenis suntik 3 bulan selama 3 tahun.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan serupa dan tidak terdapat riwayat
kencing manis, darah tinggi, penyakit jantung, asma, alergi obat (-). Pasien pernah menjalani
operasi usus buntu tahun 2009.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien menyatakan tidak terdapat riwayat darah tinggi, asma, kencing manis, penyakit jantung,
penyakit ginjal pada keluarga dan tidak ada yang pernah mengalami keluhan yang serupa
seperti pasien pada keluarga.

II. PEMERIKSAAN JASMANI


Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis
Suhu : 36,7° C
Tekanan darah : 122/74 mmHg
Nadi : 96x/menit
Pernapasan (Frekuensi dan tipe) : 20 kali/menit, reguler, torakoabdominal
Tinggi badan : 150 cm
Berat badan : 60 kg

PEMERIKSAAN SISTEMATIS
Kepala:
Bentuk dan ukuran : normosefali, tidak ada benjolan, tidak ada lesi,
Rambut dan kulit kepala : rambut halus, distribusi merata
Mata : bentuk normal, simetris, konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik, mata tidak cekung
Telinga : bentuk normal, tidak ada sekret, liang telinga lapang
Hidung : bentuk normal, tidak ada sekret, konka tidak ada
tersumbat, tidak ada nafas cuping hidung
Bibir : tampak sedikit kering, tidak sianosis
Lidah : tidak tampak bercak keputihan dan sariawan
Tonsil : T1-T1, tidakhiperemis
Faring : tidaktampakhiperemis
Leher :tidak tampak adanya pembesaran pada daerah
submandibular dan KGB, tanda rangsang meningeal (-)

PARU
Depan Belakang
Tidak ada retraksi sela iga, simetris pada keadaan statis dan
Kiri
Inspeksi dinamis

Kanan Tidak ada retraksi sela iga,simetris pada keadaan statis dan dinamis

Tidak ada nyeri tekan, tidak ada retraksi sela iga, simetris pada
Kiri
keadaan statis dan dinamis
Palpasi
Tidak ada nyeri tekan, tidak ada retraksi sela iga, simetris pada
Kanan
keadaan statis dan dinamis
Kiri Sonor pada seluruh lapangan paru
Perkusi
Kanan Sonor pada seluruh lapangan paru
Kiri Suara napas vesikuler, ronkhi dan wheezing negative
Auskultasi
Kanan Suara napas vesikuler, ronkhi dan wheezing negative

JANTUN
G
Inspeksi Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Pulsasi ictus cordis teraba pada sela iga V linea
Palpasi
midclavicula kiri
Batas Atas Sela iga II linea parasternal kiri
Perkusi Batas Kiri Sela iga V linea midklavikula kiri
Batas Kanan Sela iga VI linea sternalis kanan
Katup Aorta BJ I dan BJ II reguler, tidak ada gallop, tidak ada murmur
KatupPulmonal BJ I dan BJ II reguler, tidak ada gallop, tidak ada murmur
Auskultasi
Katup Mitral BJ I dan BJ II reguler, tidak ada gallop, tidak ada murmur
KatupTrikuspid BJ I dan BJ II reguler, tidak ada gallop, tidak ada murmur

PERUT
Inspeksi Warna kulit sawo matang, bekas luka operasi (+)
Dindingperut Supel, nyeri tekan pada perut bagian bawah (+), massa (-)
Hati Tidak teraba membesar
Palpasi Limpa Tidak teraba pembesaran
Ginjal Ballotement -/-
Uterus Fundus uteri teraba sepusat
Perkusi Timpani
Auskultasi Bising usus (+) normal
Refleks dinding perut Dalam batas normal

ANGGOTA GERAK
Kanan Kiri
Lengan
Tonus Normotonus Normotonus
Otot
Massa Normal Normal
Sendi Aktif Aktif
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan +5 +5
Lain – lain (-) (-)
Tungkaidan kaki
Luka - -
Varises - -
Tonus Normotonus Normotonus
Otot
Massa Normal Normal
Sendi Aktif Aktif
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan +5 +5
Edema + +
Lain – lain - -
Refleks
Bisep + +
Refleks Trisep + +
tendon Patella + +
Achilles + +
Reflekskulit + +
Reflekspatologis - -
III.PEMERIKSAAN GINEKOLOGI
1. Inspeksi : Tidak dilakukan
2. Dengan spekulum : Tidak dilakukan
3. Pemeriksaan bimanual : Tidak dilakukan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemeriksaan laboratorium tanggal : 18 Oktober 2018

Nama test Hasil Unit Nilai rujukan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,8 g/dl 12,0-14,0
Hematokrit 36,9 % 37 ~ 43
Leukosit 9.85 10^3/uL 5,0 ~ 10,0
Trombosit 274 10^3/uL 150,000-450,000
BT 2’00” menit 1~3
CT 10’00” menit 5 ~ 15

KIMIA KLINIK
Gula darah sewaktu 102 mg/dl <140
Ureum 27 mg/dl 15-40
Kreatinin 0.58 mg/dl 0.6-1.2

HORMON 586.858.00 Miu/ml Hamil 5 minggu;


Beta hCG 217-7138

 Pemeriksaan USG Abdomen tanggal : 15 Oktober 2018

USG Abdomen:
Hepar : Ukuran normal, ujung tidak lancip
Echo struktur parenkim homogen
Sistem vena hepatica baik
Sistem bilier intra/ekstra hepatal baik
Tidak tampak SOL
Lien : Besar, bentuk normal, SOL (-)
Pankreas : Besar, bentuk normal, SOL (-)
K.E : Tidak tampak batu/sludge/polip,
Tak tampak pembesaran KGB disepanjang para aorta
Kedua renal : Ukuran normal
Echo cortex baik
Calyxes tidak melebar
Tidak tampak batu/SOL
Buli-buli : Dinding baik
Tidak tampak batu/SOL
Uterus : Ukuran lebih besar daripada normal
Tampak lesi kistik multipel di uterus, tidak tampak fetus

Kesan : Mola Hidatidosa, tidak tampak fetus


Organ-organ abdomen lainnya baik

 Pemeriksaan Patologi Anatomi tanggal : 24 Oktober 2018

Diagnosis klinis : Mola Hidatidosa


Makroskopis : Sebuah jaringan padat compang camping volume 25 cc, kekuningan
sebagian kehitaman, tampak bergelembung-gelembung
Mikroskopis : Sediaan menunjukkan villi korialis berukuran besar dengan sisterna.
Stroma mengalami degenerasi hidropik. Tampak proliferasi sel
trofoblas dengan sel berinti pleomorfik ringan, hiperkromatik,sebagian
vesikuler dengan anak inti, sitoplasma eosinofilik. Tampak pula vili
berukuran sedang.
Kesimpulan : Histologik sesuai dengan Mola Hidatidosa

V. RINGKASAN (RESUME)
Seorang wanita berusia 48 tahun G4P3A0 hamil 5 minggu dengan keluhan mual dan
muntah yang makin berat sejak 1 bulan SMRS. Frekuensi muntah >6x/ hari. Keluhan disertai
pusing dan gelisah terutama malam hari. Riwayat obstetri sebelumnya ketiga anak lahir normal
dan tidak pernah mengalami keguguran. Pada pemeriksaan fisik didapatkan rahim lebih besar
daripada usia kehamilan penunjang diagnostik ultrasonografi didapatkan lesi multipel kistik
tanpa ditemukan fetus. Pemeriksaan kadar beta hCG didapatkan nilai 586.858 mIU/ml. Pada
pemeriksaan patologi anatomi didapatkan hasil adanya stroma yang mengalami degenerasi
hidropik.

VI. DAFTAR MASALAH


DIAGNOSIS KERJA
G4A3A0 Hamil 5 minggu dengan Mola Hidatidosa
DASAR DIAGNOSIS
Pasien usia 48 tahun G4A3A0 hamil 5 minggu dengan keluhan hiperemesis, disertai
gelisah dan pusing berputar datang ke poli kebidanan dilakukan pemeriksaan ultrasonografi
dan didapatkan hasil honeycomb appearance tanpa ditemukannya fetus. Kadar HCG
didapatkan diatas nilai normal yaitu 586.858 mIU/ml. Pada pemeriksaan patologi anatomi
didapatkan hasil secara histologis sesuai dengan diagnosa mola hidatidosa.

VII. PENATALAKSANAAN
- Dilatasi dan Kuretase
- Surveilans kadar beta hCG

PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
Mola Hidatidosa

Anatomi Uterus

Uterus merupakan organ sebesar telur ayam yang memiliki rongga, dan dindingnya
terdiri atas otot-otot polos. Secara fisiologis letak uterus dalam keadaan anteversiofleksio.
Rahim terdiri dari 3 bagian;
 Fundus: Bagian proksimal dari rahim, tempat kedua tuba Falopii masuk ke uterus.
 Corpus: Bagian uterus terbesar. Rongga pada corpus uteri disebut kavum uteri, situs
tempat implantasi blastokista.
 Serviks: Bagian distal rahim yang menghubungkan dengan vagina. Terdiri atas pars
vaginalis servisis uteri (porsio serviks), dan pars supravaginalis.1 sarwono

Gambar 1. Anatomi Reproduksi Wanita.1

Secara histologik dari dalam ke luar, uterus terdiri atas endometrium di korpus uteri dan
endoserviks di serviks uteri, otot-otot polos, dan lapisan serosa yakni peritoneum viserale.
Dinding uterus terdiri atas 3 bagian:2,3
1. Endometrium
Merupakan lapisan mukosa uterus yang terdiri atas lapisan epitel silindris dan lamina
propria. Epitelnya terdiri dari 2 macam sel, yaitu sel silia dan sekretorik. Sedangkan di
lamina propria banyak terdapat glandula uterine berbentuk tubular simpleks, serta
jaringan pengikat kolagen, sel leukosit, makrofag dan serabut retikular. Serat jaringan
ikatnya terutama berasal dari kolagen tipe III. Endometrium kaya akan vaskularisasi
dan memiliki 2 bagian yaitu: (1) stratum fungsionale; yang melapisi rongga uterus
divaskularisasikan oleh A.spiralis yang berkelok membentuk arteriol dan anyaman
kapiler di permukaan endometrium yang akan meluruh pada saat menstruasi, dan (2)
stratum basale, lapisan dekat dengan miometrium, divaskularisasi oleh A. Basalis yang
akan membentuk stratum fungsional baru setelah terjadi menstruasi.

Gambar 2. Vaskularisasi Uterus


1. Miometrium
Merupakan lapisan otot polos yang tebal, terdiri dari 3 lapisan otot yang berbatas tidak
tegas. Lapisan otot polos uterus sebelah dalam berbentuk sirkular dan disebelah luar
berbentuk longitudinal. Diantara kedua lapisan itu terdapat lapisan otot oblik, berbentuk
anyaman dimana terdapat adanya pembuluh-pembuluh darah besar maka disebut
stratum vaskulare yang di vaskularisasi oleh A. Arkuata. Ukuran dan jumlah sel otot
miometrium dipengaruhi oleh hormon esterogen.

2. Perimetrium
Bagian anterior dari uterus dilapisi oleh tunika adventitia yang menutupi kandung
kemih sehingga membentuk ruang vesikouterina, sedangkan bagian fundus dan
posterior dilapisi oleh tunika serosa yang melapisi rektum dan membentuk ruang
rektouterina.

Fertilisasi
Fertilisasi atau pembuahan adalah penyatuan gamet pria dan wanita, yang secara
normal terjadi di ampulla tuba Falopii. Ketika dibebaskan oleh proses ovulasi ovum akan
diarahkan ke tuba uterina dengan bantuan fimbriae, gerakan peristaltik dan sel silia ampula.
Setelah mengalami reaksi akrosom dan kapitasi, spermatozoa (haploid untai tunggal) dapat
membuahi ovum. Selama beberapa jam pertama selama pembuahan zigot akan mengalami
sejumlah pembelahan mitotik. Selama masa pertumbuhan, baik pronukleus wanita maupun pria
(keduanya haploid) harus menggandakan DNA-nya. Segera sesudah sintesis DNA, kromosom
tersusun dalam gelendong untuk mempersiapkan pembelahan mitosis yang normal. 23
kromosom ibu dan 23 kromosom ayah membelah memanjang pada sentromer, dan kromatid-
kromatid yang berpasangantersebut saling bergerak kearah kutub yang berlawanan, sehingga
menyiapkan sel zigot yang masing-masing mempunyai jumlah kromosom dan DNA yang
normal.

Hasil utama pembuahan


a. pengembalian menjadi jumlah kromosom diploid kembali, mengandung kombinasi
kromosom baru yang berbeda dari kedua orang tuanya.

b. penentuan jenis kelamin individu baru. Spermatozoa pembawa X akan menghasilkan


satu mudigah wanita (XX), dan spermatozoa pembawa Y menghasilkan satu mudigah
pria (XY). Oleh karena itu, jenis kelamin kromosom mudigah tersebut ditentukan pada
saat pembuahan.

c. dimulainya pembelahan. Tanpa pembuahan,oosit biasanya akan berdegenerasi 24 jam


setelah ovulasi.
Gambar 3. Pembelahan mitotik dan pembentukan konsepsi

Implantasi dan Nidasi


Selama beberapa jam setelah pembuahan zigot tetap berada pada ampulla tuba
Falopii,dan mengalami sejumlah proses pembelahan mitotik dan menghasilkan morula. Pada
fase luteal, progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum merangsang pembentukan
glikogen untuk energi bagi mudigah, pada saat bersamaan uterus dalam fase sekretorik
mempersiapkan uterus untuk proses implantasi.
Pergerakan silia dan kontraksi pada tuba Falopii akan mengarahkan morula ke dalam
uterus, dimana selama beberapa hari morula akan mengapung dalam lumen uterus dan
mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi blastokista. Blastokista merupakan suatu bola
berlapis tunggal terdiri atas 50 sel mengelilingi sebuah rongga berisi cairan dengan suatu massa
padat berkelompok pada satu sisi. Lapisan luar disebut dengan trofoblas dan dibagian
dalamnya disebut dengan massa inner cell. Trofoblas akan berkembang menjadi plasenta,
sedangkan massa inner cell akan berkembang menjadi janin.

Trofoblas memiliki kemampuan invasif yang kuat, dan endometrium mengontrol


proses invasif tersebut dengan mensekresikan sitokin inhibitor dan protease. Dalam proses
diferensiasinya, trofoblas terdiri dari 3 jenis: (1) Sinsisiotrofoblas yang aktif menghasilkan
human chorionic gonadotropin hormone (hCG), (2) trofoblas jangkar ekstravili yang akan
menempel pada endometrium, dan (3) trofoblas yang invasif.4

Keberhasilan proses implantasi bergantung kuat pada viabilitas dari blastokista dan
endometrium yang reseptif. Endometrium siap untuk menerima blastokista pada 6-8 hari
setelah ovulasi, selama 4 hari.5 Implantasi terjadi pada saat sel trofoblas mengeluarkan enzim
protease pada saat berkontak dengan endometrium. Trofoblas mencerna lapisan endometrium,
menjalankan fungsi ganda yaitu membentuk lubang pada endometrium untuk blastokista dan
menyediakan bahan bakar metabolik bagi mudigah dari hasil penguraian jaringan
endometrium. Sebagai respons dari invasi trofoblas, jaringan endometrium pada tempat kontak
akan terjadi peningkatan vaskularisasi dan menjadi desidua, tempat blastokista akan terbenam
dan berkembang. Proses nidasi ovum kedalam endometrium ini menimbulkan luka pada
desidua, dikenal sebagai tanda Hartman. Setelah mudigah terbenam total pada endometrium,
trofoblas memiliki ketebalan dua lapisan sel dan disebut korion. Korion menghasilkan enzim
dan antikoagulan, membentuk anyaman rongga ekstensif di dalam desidua. Korion meluas dan
menggerus dinding kapiler desidua, menyebabkan darah ibu masuk dan mengisi rongga.
Tonjolan dari korion menjulur ke dalam genangan darah ibu di dalam rongga intervilus dan
membentuk vili korialis. Rongga intervilus inilah yang akan menjadi sawar antara darah ibu
dan janin. Keseluruhan sistem struktur ibu (desidua), dan janin (korion) ini membentuk
plasenta.

Kelainan dalam optimalisasi aktivitas trofoblas dalam proses nidasi dapat


menyebabkan berbagai penyakit dalam kehamilan. Invasi trofoblas ke arteri spiralis maternal
yang lemah menyebabkan arus darah uteroplasenta rendah sehingga terjadi sindrom
preeklampsia, sedangkan invasi trofoblas yang tidak terkontrol akan menimbulkan penyakit
trofoblas gestasional seperti mola hidatidosa dan koriokarsinoma.

Peran Human Chorionic Gonadotropin Hormone (hCG) Dalam Kehamilan

Human chorionic gonadotropin hormone (hCG) adalah sebuah hormon peptida yang
disekresikan oleh sel sinsisiotrofoblas yang kadarnya meningkat secara eksponensial selama
masa awal kehamilan hingga akhirnya mencapai kadar stagnan pada akhir trimester awal, dan
turun secara bertahap pada trimester kedua dan ketiga. Fungsi utama dari hCG adalah untuk
mempertahankan korpus luteum agar tidak terjadi degenerasi sehingga dapat mempertahankan
produksi progesteron yang penting untuk implantasi embrio sampai terbentuknya plasenta dan
siap mengambil alih dalam produksi hormon esterogen dan progesteron. Selain itu, hCG
memiliki fungsi untuk memicu angiogenesis dan vaskulogenesis rahim pada kehamilan,
memastikan invasi trofoblas dan pembentukan darah uteroplasental adekuat. hCG terdiri atas
2 subunit, yaitu α dan β. α subunit memiliki kesamaan struktur dengan luteinizing hormone
(LH), follicle stimulating hormone (FSH) dan thyroid stimulating hormone (TSH).6

Karena kemiripan struktural dengan LH, hCG berfungsi untuk meningkatkan


reseptifitas dari endometrium dengan menepel pada reseptor LH pada dinding epitel
endometrium. Dan efek dari hCG pada uterus melalui vascular endothelial growth factor
(VEGF) dan insulin like growth factor binding protein 1 (IGFBP1) memicu angiogenesis dan
vaskulogenesis. HCG turut berperan besar dalam proses pembentukan plasenta dengan
menurunkan resistensi vaskular dari arteri spiralis sehingga terjadi dilatasi dan peningkatan
aliran darah. Hyperglycosylated hCG yang diproduksi oleh trofoblas invasif ekstravili
memastikan terjadinya invasi sitotrofoblas ke uterus sehingga terjadi implantasi.7

Efek terhadap peningkatan kadar hCG erat kaitannya dengan terjadinya gejala mual dan
muntah pada kehamilan, terutama pada kadar puncaknya yaitu usia kehamilan 12-14 minggu.
Gejala hiperemesis sering terjadi pada kehamilan dengan peningkatan drastis dari kadar hCG
seperti pada kehamilan mola, kehamilan dengan down syndrome, dan gemelli. Hal ini
diakibatkan karena tingginya kadar hCG menstimulasi pembentukan prostaglandin PGE2 yang
mempengaruhi otot polos lambung.8

Penyakit Trofoblas Gestasional


Penyakit trofoblas gestasional adalah kelompok penyakit yang timbul akibat dari
gangguan pertumbuhan trofoblas; mencakup mola hidatidosa, mola invasif, koriokarsinoma,
dan placental site trophoblastic tumor. Ketiga penyakit terakhir merupakan gestational
trophoblastic neoplasia (GTN) yang seringkali muncul setelah adanya episode mola hidatidosa
namun dapat terjadi pada kasus kehamilan lain, dan dapat menginvasi mengalami metastasis.

Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan dimana hampir seluruh vili korialis mengalami
degenerasi hidropik. Menurut pembagiannya, mola hidatidosa dikategorikan menjadi komplit
dan parsial. Kedua tipe mola memiliki kesamaan dari peningkatan kadar hCG secara persisten
dan gejala klinisnya, seperti pedarahan pervaginam. Mola hidatidosa komplit memiliki resiko
lebih tinggi untuk berkembang menjadi koriokarsinoma yaitu sebanyak 15-20% kasus.
Sedangkan hanya kurang dari 5% kasus mola hidatidosa parsial yang berkembang menjadi
koriokarsinoma.

Mola Invasif
Mola invasif disebut juga chorioadenomadestruens. Merupakan kasus mola, terutama
mola hidatidosa komplit yang ditandai dengan proliferasi vili dalam dan invasi miometrium
secara langsung melalui jaringan atau aliran darah vena. 10-17% kasus mola akan berkembang
menjadi mola invasif, 10% akan metastasis ke paru dan vagina.

Choriocarcinoma
Koriokarsinoma merupakan tumor ganas yang ditandai dengan adanya hiperplasia dan
anaplasia dari trofoblas, hemoragia, nekrosis jaringan serta invasi langsung melalui jaringan
dan aliran darah menyebabkan penyebaran ke organ lain seperti paru, otak, hati, pelvis dan
vagina serta usus.

Placental Site Trophoblastic Tumor (PSTT)


PSTT adalah jenis neoplasia trofoblas gestasional yang langka, dipicu oleh
pertumbuhan trofoblas intermediet yang abnormal. Kadar hCG pada tumor jenis ini tidak tinggi
seperti penyakit trofoblas gestasional lainnya, melainkan adanya peninggian kadar human
placental lactogen hormone (hPL). Tumor jenis ini merupakan neoplasia kemoresisten, gejala
perdarahan tidak semasif koriokarsinoma dan paling sering bermetastasis ke paru dan rahim.

Epitheloid Trophoblastic Tumor (ETT)


ETT merupakan varian dari PSTT yang juga melibatkan trofoblas intermediet dan
sinsitiotrofoblas. Tumor jenis ini muncul beberapa tahun setelah kelahiran aterm, memicu
pertumbuhan karsinoma. Seperti PSTT, pada ETT peningkatan kadar hCG tidak terlalu tinggi
dan metastasis paling sering (35% dari kasus) adalah ke paru, hati dan vagina. Tumor ini sangat
agresif dan sama seperti PSTT, ETT juga kemoresisten sehingga histerektomi merupakan
terapi pilihan.
Etiologi
Mola hidatidosa disebabkan akibat adanya abnormalitas pada pembuahan, yang
menyebabkan jaringan plasenta mengalami pertumbuhan patologis. Kehamilan mola terjadi
akibat dari proliferasi dari kedua trofoblas (sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas) ditandai dengan
adanya pembengkakan vaskuler dari vili korialis disertai dengan embrio abnormal atau tanpa
adanya embrio. Menurut sitogenik dan morfologinya, mola dikategorikan menjadi dua yaitu
mola hidatidosa komplit dan parsial.
Mola hidatidosa komplit (CHM) ditandai dengan tidak adanya jaringan fetus dengan
kariotipe 46XX, terjadi karena sperma haploid (23X) membuahi ovum “kosong” dan
menduplikasi kromosomnya. 10% dari CHM memiliki kariotipe 46,XY dimana dua sperma
membuahi sebuah ovum “kosong” sehingga seluruh materi genetiknya merupakan genetik
paternal.
Sedangkan pada mola hidatidosa parsial (PHM) memliki kariotipe triploid, paling
banyak adalah 69,XXY, terjadi akibat pembuahan dispermi dengan ovum normal.
Gambar 3: (A) Mola Hidatidosa Komplit, (B)Mola Hidatidosa Parsial

Epidemiologi dan Faktor Resiko


Ras dan Etnis
Insidensi dari kehamilan mola diduga disebabkan oleh beberapa faktor. Angka kejadian
mola hidatidosa lebih tinggi pada ras Asia daripada kaukasia, dimana terjadi pada 2:1000
kehamilan pada wanita di Asia Tenggara, sedangkan terjadi 1:1000 kehamilan di Amerika,
Australia, dan Eropa. Menurut penilitian yang dilakukan oleh Melamed et al (2016), didapatkan
wanita Asia beresiko 2 kali lebih sering mengalami kehamilan mola daripada wanita kaukasia.9
Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya dimana didapatkan wanita Asia dan
Afrika memiliki resiko 10 kali lebih besar untuk mengalami kehamilan mola.10,11

Usia Maternal
Menurut penelitian ditemukan kejadian mola hidatidosa lebih sering terjadi pada usia
ibu yang terlalu muda atau terlalu tua, yaitu usia dibawah 20 tahun dan diatas 40 tahun. Wanita
yang hamil usia dibawah 20 tahun memiliki resiko 7 kali lebih besar sedangkan wanita hamil
usia diatas 40 tahun memiliki resiko 2 kali lebih besar untuk mengalami kehamilan mola
komplit daripada wanita yang hamil pada usia rerata.12

Nutrisional
Dari segi nutrisional asam folat. Diduga vitamin A memiliki peran penting dalam
kaskade protein kinase C, yang meregulasi ekspresi genetik, sintesa enzim dan respon
imunologis sel termasuk trofoblas, serta memiliki peran besar dalam proses meiosis, sehingga
defisiensi vitamin A dapat menyebabkan pembentukan oosit yang imatur. Asam folat penting
untuk proses sintesa DNA dan protein serta menjaga integritas dari zona kortikal dari oosit.14
Gejala Klinik
Mola hidatidosa adalah salah satu etiologi penyebab kegagalan sebuah kehamilan.
Gejala klinis yang paling sering dialami oleh penderita adalah perdarahan pervaginam, 90%
pada awal kehamilan yaitu antara usia kehamilan 6-16 minggu. Tanda klasik dari kehamilan
mola adalah pembesaran uterus lebih dari usia gestasinya (28% dari kasus), hiperemesis (8%
dari kasus) karena tingginya kadar hCG, pembesaran kista lutein dan hipertensi dalam
kehamilan pada trimester pertama dan kedua (1%) namun frekuensi gejala hipertensi semakin
berkurang dengan makin mudahnya akses ultrasonografi dan tes penapisan kadar hCG. Kadar
hormon hCG pada kasus mola tinggi, lebih dari 100.000 mIU/ml. Pada kasus mola hidatidosa
parsial (PHM), 90% penderita menunjukkan gejala yang serupa dengan abortus inkompit atau
missed abortion,dan diagnosa mola hidatidosa parsial baru ditegakkan setelah dilakukan
kuretase dan pemeriksaan histopatologik.12
Gejala yang harus diperhatikan adanya tirotoksikosis transien akibat tingginya kadar
hCG ditandai dengan adanya gejala hipertiroidisme, yaitu penurunan berat badan, cepat lelah,
hiperhidrosis, palpitasi, tremor dan pembesaran kelejar tiroid.15
Pada pasien postpartum dengan adanya tanda subinvolusi uterus dan perdarahan, harus
dievaluasi kemungkinan terjadinya neoplasia trofoblas gestasional dengan menyingkirkan
diagnosis banding lain. Gejala akibat dari lesi metastatik dapat berupa nyeri abdomen,
hemoptisis, melena, peningkatan tekanan intrakranial dan gejala pernafasan seperti dispnea,
batuk dan nyeri dada.
Gambar 4. Gejala Klinis Mola Hidatidosa

Diagnosis
Diagnosa kehamilan mola perlu dicurigai pada pasien dengan perdarahan pervaginam
pada usia kehamilan muda. Gejala klinis seperti anemia, hipertiroidisme, preeklamsia,
hiperemesis, pembesaran uterus sudah jarang ditemui dengan adanya pemeriksaan USG rutin
pada trimester pertama sehingga kehamilan mola dapat didiagnosa lebih awal. Pada mola
hidatidosa parsial, mola tumbuh lebih lambat dan gejala klinis muncul lebih lambat daripada
mola hidatidosa komplit. Untuk mendiagnosa kehamilan mola dibutuhkan pemeriksaan
penunjang antara lain ultrasonografi, pemeriksaan kadar hCG, dan pemeriksaan histopatologik.

Ultrasonografi
Ultrasonografi transabdominal pelvis perlu dilakukan untuk konfirmasi tidak adanya
kehamilan. Gambaran klasik pada mola hidatidosa komplit adalah adanya gambaran badai salju
(snowstorm appearance) atau gambaran sarang lebah (honeycomb appearance), dikarenakan
adanya massa heterogenik yang mengisi kavum uteri tanpa adanya fetus. Gambaran klasik ini
lebih sering muncul pada akhir trimester pertama (9-12 minggu) dan trimester kedua. 25-65%
gambaran USG mola komplit disertai dengan adanya pembesaran bilateral dari kista lutein
ovarium, memberikan gambaran ‘busa sabun’ dengan ukuran 4-8 cm. Hal ini disebabkan
karena hiperstimulasi dari beta-hCG.
USG pada mola hidatidosa parsial menunjukkan adanya fetus hidup, sering disertai
dengan malformasi ditandai dengan crown-rump length (CRL) yang kecil. Dapat ditemui
gambaran ‘keju swiss’ pada plasenta, sering terlihat pada saat usia kehamilan memasuki
trimester kedua. Hanya 40-60% dari kasus mola hidatidosa yang dapat terdeteksi
menggunakan hasil pemeriksaan USG. Kemungkinan false positive hasil pemeriksaan USG
tinggi, terutama pada kasus mola hidatidosa parsial, sehingga pemeriksaan histopatologik
masih tetap diperlukan.16
Gambar 5. USG pada Mola Hidatidosa.16

Kadar Human Chorionic Gonadotropin Hormone


HCG merupakan tumor marker spesifik yang dihasilkan oleh mola hidatidosa dan GTN.
Kadar hCG dapat diukur secara kuantitatif pada urine dan darah. Sebanyak 50% kasus mola
komplit sebelum dilakukan evakuasi memiliki kadar hCG >100.000 mIU/ml, sedangkan hanya
10% dari kasus mola hidatidosa parsial yang memiliki kadar hCG setinggi pada mola komplit.
Namun pemeriksaan kadar hCG tidak bisa dilakukan sekali saja untuk membedakan mola
hidatidosa komplit atau parsial, dengan kehamilan intrauterin normal, gemelli atau kehamilan
dengan komplikasi yang melibatkan pembesaran plasenta.

Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan dengan spesimen kuretase, biopsi, dan
spesimen dari histerektomi. Pemeriksaan histopatologi tetap merupakan baku emas untuk
menegakkan diagnosis GTD termasuk mola hidatidosa. Pada mola hidatidosa komplit, seluruh
vili korialis menjadi edema dan terdapat sisterna berisi cairan disertai dengan adanya
hiperplasia difus dari trofoblas, tidak adanya kapiler pada vili dan tanpa disertai adanya fetus.
Sedangkan pada mola hidatidosa parsial jaringan fetus tetap ada disertai dengan adanya edema
dan hiperplasia fokal dari vili korialis, dan sisanya imatur atau bahkan normal.
Gambar 5. Histopatologi Mola Hidatidosa Komplit
Gambar 6. Histopatologi Mola Hidatidosa Parsial

Pemeriksaan Sitogenetik
Pemeriksaan sitogenetik menggunakan flow cytometry juga dapat membedakan antara
mola hidatidosa komplit dan parsial. Mola hidatidosa komplit memiliki kariotipe diploid 46XX
yang seluruh materi genetiknya adalah paternal, sedangkan mola hidatidosa parsial memiliki
kariotipe triploid dengan materi genetik terdiri dari maternal dan paternal. Pewarnaan
imunositogenik untuk p57KIP2, sebuah gen yang diekspresikan oleh alel maternal, dapat
membedakan mola komplit dan parsial dengan memberikan hasil negatif pada mola hidatidosa
komplit dan positif pada mola parsial.12

Penatalaksanaan
Manajemen medis awal untuk mola hidatidosa adalah stabilisasi keadaan umum,
asesmen terhadap jumlah hilangnya darah dan tanda-tanda renjatan akibat perdarahan
pervaginam harus ditangani terlebih dahulu dengan rehidrasi cairan dan transfusi darah apabila
diperlukan. Pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap, urinalisa, panel faal hati dan
tiroid perlu dilakukan untuk penapisan terjadinya komplikasi seperti anemia, preeklampsia, dan
hipertiroidisme.

Terapi Operatif
Evakuasi uterus dapat dilakukan dengan cara aspirasi vakum manual (AVM) atau
dengan dilatasi dan kuretase tajam. Menurut World Health Organization (WHO) dan studi
Cochrane Library, AVM adalah metode operatif yang lebih unggul daripada dilatasi dan
kuretase tajam untuk evakuasi uterus pada trimester pertama untuk wanita yang masih ingin
hamil kembali. Metode AVM dengan bantuan USG lebih diutamakan karena aman, perdarahan
yang lebih minimal, relatif lebih murah, dan dapat dilakukan dengan anestesi lokal sedangkan
kuretase tajam perlu dilakukan dengan anestesi umum dan lebih invasif.17,18 Prosedur sebelum
dilakukan AVM adalah administrasi anestesi, dan dilasi serviks sehingga kanula 12-14 mm
dapat masuk ke segmen bawah rahim. Pemberian obat uterotonika dapat diberikan setelah
dilakukan evakuasi uterus untuk meminimalisasi perdarahan. Total transabdominal
histerektomi dapat dianjurkan untuk pasien >40 tahun dengan resiko GTN tinggi.
Gambar 7. Aspirasi Vakum Manual

Gambar 8. Dilatasi dan Kuretase Tajam

Surveilens Kadar hCG


Kadar hCG tetap harus dievaluasi hingga setelah evakuasi kehamilan mola, untuk
menyingkirkan kemungkinan berkembangnya GTN. Perdarahan pervaginam persisten dan
peningkatan kadar hCG adalah prediktor utama adanya rekurensi atau persistensi. Resiko
berkembangnya GTN terjadi selama 12 bulan setelah evakuasi operatif dimana kebanyakan
kasus menunjukkan gejala klinisnya pada 6 bulan pertama. Penggunaan oral kontrasepsi
dianjurkan pada masa observasi kadar hCG untuk mendapatkan hasil akurat, disertai dengan
pemeriksaan pelvis secara berkala untuk mengantisipasi adanya involusi dan diagnosis dini
apabila terjadi metastasis ke struktur pelvis. Pemeriksaan USG juga diperlukan untuk evaluasi
penjalaran penyakit pada pelvis, dan vaskularisasi untuk menentukan prognosis. Apabila mola
berkembang menjadi GTN, maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain untuk menentukan
ada tidaknya metastasis jauh. Metastasis paling sering terjadi pada paru, sehingga pemeriksaan
radiologi thoraks perlu dilakukan. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan CT Scan dan
MRI apabila terdapat kecurigaan metastasis jauh ke organ lainnya.

Kadar hCG diperiksa setiap 1-2 minggu hingga didapatkan kadar hCG normal dalam 3
kali pemeriksaan berturut-turut, dan diperiksa per 3 bulan dalam 6 bulan setelah penurunan
kadar hCG ke batas normal. Lebih dari 50% kasus akan mengalami penurunan spontan kadar
hCG dalam waktu 2 bulan setelah evakuasi. Federation of Gynecologist and Obstetricians
(FIGO) menetapkan kriteria kadar hCG untuk postmolar trophoblastic gestational disease
sebagai berikut:16
1.
Kadar hCG tetap sama pada 4 kali pemeriksaan dalam periode 3 minggu atau lebih;
pada hari ke 1,7,14 dan 21
2.
Terdapat peningkatan pada kadar HCG pada minimal 2 kali pemeriksaan mingguan ;
hari ke 1, 7, dan 14
3.
Kadar HCG tetap tinggi setelah 6 bulan setelah evakuasi operatif
4.
Apabila ditegakkan diagnosis koriokarsinoma pada pemeriksaan histologik.

Box 1. Kriteria kadar hCG untuk diagnosis postmolar trophoblastic gestational diseases.
Pasien dapat menghentikan kontrasepsi dan hamil kembali apabila terjadi remisi dalam
6-12 bulan, dengan anjuran pemeriksaan USG di awal kehamilan selanjutnya untuk penapisan
terjadinya mola kembali.

Terapi Berdasarkan Klasifikasi FIGO


Untuk evaluasi penyebaran penyakit berdasarkan anatomi yang terlibat FIGO membagi
menjadi stage I-IV. Stage I-III adalah non metastasis dan metastasis resiko rendah, sedangkan
stage IV sudah terjadi metastasis ekstensif.
Tabel 2. Staging GTN

FIGO/WHO juga menetapkan sistem skoring berdasarkan faktor prognostik seperti


usia, kadar hCG sebelum penatalaksanaan, dan adanya metastasis. Hasil skoring digunakan
sebagai prediksi terjadinya resistensi terhadap kemoterapi. Nilai 0-6 dikategorikan sebagai
resiko rendah sedangkan nilai lebih dari 7 dikategorikan sebagai tinggi.

Tabel 3. Skoring FIGO/WHO (2000) untuk klasifikasi resiko GTN menurut faktor
prognostik16
Sebanyak 95% penderita mola hidatidosa merupakan mola dengan resiko rendah.
Terapi pada pasien resiko rendah dapat menggunakan monokemoterapi dengan methotrexate
atau dactinomycin. Regimen menggunakan methotrexate dengan dosis 50 mg intramuskular
setiap 48 jam sebanyak 4 dosis, dengan suplementasi asam folat peroral 15 mg dapat ditoleransi
dengan baik. Regimen diulang setiap 2 minggu. Namun terapi untuk pasien dengan kadar hCG
>400x103 IU/L tidak efektif menggunakan regimen methotrexate, dan harus terapi kemoterapi
kombinasi.
Pasien dengan skor diatas 7 pada penilaian FIGO beresiko untuk resisten terhadap obat
dan tidak dapat diterapi dengan monokemoterapi. Terapi kombinasi yang digunakan antara lain
adalah kombinasi methotrexate, asam folat dan dactinomycin (MAF), methotrexate,
dactinomycine, cyclophosphamide, doxorubin, mephalan, hydroxycarbamide dan vincristine
(CHAMOCA), dan etaposide, methotrexate dan dactinomycin (EMA).

Daftar Pustaka
1. Vercellini P, Vigano P, Somigilana E, Fedele L. Endometriosis: pathogenesis and
treatment. Nature Reviews Endocrinology. 2013 December 24;10: 261-275.
2. Junquiera L.C, Carneiro J. 2003. Basic Histology, 10th ed, Lange, New York
3. Eroschenko VP.2005.diFiore’s Atlas of Histology, 10th ed. Lippincott
Williams&Wilkins, Baltimore.
4. Sherwood
5. Driech K, Faucer BCJM, Devroey P, et al. The role of endometrium and embryo in
human implantation. 2007. Human Reproduction Update; 13 (4):365-377
6. Cole L. Biological functions of hCG and hCG related molecules. 2010. Reproductive
Biology and Endocrinology. 8:10
7. Theofanakis C, Drakakis P, Besharat A, et al. Human chorionic gonadotropin: the
pregnancy hormone and more. 2017. Int J of Mol Sci; 18:1059
8. Lee N, Saha S. Nausea and vomiting of pregnancy. 2011. Gastroenterol Clin North Am;
40(2): 309-vii
9. Melamed A, Gockley A, Joseph N, et al.Effect of race/ethnicity on risk of developing
complete or partial molar pregnancy after adjustment for age. 2016. Gynecologic
Oncology, 143(1):73-76
10. Boufettal H, Coullin P, Mahdaoui S, Noun M, Hermas S, Samouh N. [Complete
hydatiforme mole in Morocco: epidemiological and clinical study]. J Gynecol Obstet
Biol Reprod (Paris) 2011; 40:419-29; PMID:21458172;
http://dx.doi.org/10.1016/j.jgyn.2011.02.008
11. Steigrad SJ. Epidemiology of gestational trophoblastic diseases. 2003. Best Pract Res
Clin Obstet Gynaecol; 17:837-47; PMID:14614884; http://dx.doi.org/10.1016/ S1521-
6934(03)00049-X
12. Melamed A, Gockley A, Joseph N, et al.The effect of adolescence and advanced
maternal age on the incidence of complete and partial molar pregnancy. 2016.
Gynecologic Oncology, 140(3):470-473
13. Lurain JR. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology, clinical
presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease and management of
hydatidiform mole. American Journal of Obstetric and Gynecology 2010. 203(6):531-
539
14. Clagett-Dame M, Knutson D. Vitamin A in reproduction and development. Nutrients
2011; 3:385-428; PMID: 22254103; http://dx.doi.org/10.3390/nu304038
15. Virmani S, Srinivas S, Bhat R, et al. Transient thyrotoxicosis in molar pregnancy. J Clin
Diagn Res 2017. Jul;11(7):QD01-QD02
16. Seckl M, Sebire N, Berkowitz R. Gestational trophoblastic disease. The Lancet 2010.
376 (9742):717-729
17. Tuncalp, O.; Gulmezoglu, A.M.; Souza, J.P. Surgical procedures for evacuating
incomplete miscarriage. Cochrane Database Syst. Rev. 2010, 9.
18. World Health Organization. Safe abortion: technical and policy guidance for health
systems 2012.
19. Ngan HY, Seckl M, Berkowitz R, et al. FIGO CANCER REPORT 2015: Update on the
diagnosis and management of gestational trophoblastic disease. International Journal of
Gynecology and Obstetrics 2015. 131:S123-S126

Anda mungkin juga menyukai