Anda di halaman 1dari 66

HUBUNGAN ANTARA DEPRESI PADA LANSIA DI WILAYAH

KERJA PUSKESMAS LARANGAN UTARA

Pembimbing:
dr. Hj. Harmayani, MPH

Disusun Oleh:
dr. Safira Indriakasia Naskar
dr. Diana Atmaja
dr. Icha Leandra Wichita
dr. Jennifer
dr. Elchim Reza Rezinta
dr. Andrea Bianca Prajogi

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


ANGKATAN III TAHUN 2018
PERIODE 18 MEI 2019 - 17 SEPTEMBER 2019
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

HUBUNGAN ANTARA DEPRESI PADA LANSIA DI WILAYAH KERJA


PUSKESMAS LARANGAN UTARA

Disusun oleh:
dr. Safira Indriakasia Naskar
dr. Diana Atmaja
dr. Icha Leandra Wichita
dr. Jennifer
dr. Elchim Reza Rezinta
dr. Andrea Bianca Prajogi

Telah disetujui untuk diajukan sebagai mini project Puskesmas Larangan Utara

Sebagai salah satu persyaratan Program Internsip Dokter Indonesia


periode 18 Mei 2019 - 17 September 2019

Disetujui oleh:

Tangerang, 10 Mei 2019

Pembimbing

dr. Hj. Harmayani, MPH


ABSTRAK

Pendahuluan: Tuberkulosis (TB) paru sampai sekarang masih menjadi masalah utama kesehatan di
Indonesia. Berdasarkan hasil Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) di
Puskesmas Larangan Utara, 59,8% penderita TB paru ditemukan tidak berobat sesuai standar.
Penemuan kasus TB paru di Puskesmas Larangan Utara juga masih tidak mencapai target penemuan
kasus yang ditetapkan oleh kementrian kesehatan. Pengetahuan mengenai karakteristik pasien
tuberkulosis paru di wilayah Puskesmas Larangan Utara diharapkan dapat membantu untuk
meningkatkan penemuan dan evaluasi kasus TB paru.

Metode: Usia, Jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan, tingkat pendapatan, lama pengobatan,
dan komorbiditas dievaluasi pada studi ini. Karakteristik penyakit tuberkulosis, seperti hasil BTA
sputum, radiologi, cara diagnosis, gejala, kontak TB, tipe penderita, kategori pengobatan, keteraturan
pengobatan, hasil pengobatan, tempat pengobatan beserta alasannya juga dievaluasi. Pasien
Tuberkulosis Paru yang ditemukan dievaluasi untuk tingkat pengetahuan, felt stigma, dan dukungan
sosial keluarga. Hasil studi di Poli Umum, Poli Paru, Kelurahan Larangan Utara, Larangan Selatan,
Larangan Indah, dan Gaga disajikan secara terpisah. Studi ini dilakukan pertengahan sampai akhir
April 2019 di wilayah kerja Puskesmas Larangan Utara.

Hasil dan Kesimpulan: Sebanyak 92 pasien dimasukkan dalam rentang waktu studi. Mayoritas
pasien adalah perempuan dewasa muda yang sudah menikah. Kelurahan Larangan Utara merupakan
kelurahan dengan jumlah pasien tuberkulosis paru tertinggi diantara kelurahan lainnya (37%). Hampir
seluruh responden sudah memakai jaminan kesehatan BPJS dengan faskes pertama di Puskesmas
Larangan Utara. Penegakkan diagnosis TB paru menggunakan sputum paling banyak ditemukan.
Gejala batuk kronik, penurunan berat badan, dan malaise merupakan gejala yang paling sering
ditemukan. Sebagian besar responden sudah berobat di Puskesmas Larangan Utara. Tingkat
pengetahuan pasien tuberkulosis di Puskesmas Larangan Utara baik. Felt Stigma dan dukungan sosial
keluarga di wilayah Puskesmas Larangan Utara beragam.

Kata Kunci : tuberkulosis paru, tingkat pengetahuan, felt stigma, dukungan sosial keluarga,
BPJS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan berkatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan mini project ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis menyusun mini project penelitian yang berjudul “Hubungan
Antara Depresi pada Lansia di Wilayah Puskesmas Larangan Utara”. Penelitian ini disusun
dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan dalam Program Internsip Dokter Indonesia
(PIDI) periode 18 Mei 2019 - 17 September 2019.
Penulis mengambil judul tersebut dengan alasan kurangnya perhatian terhadap pasien
lansia dengan depresi di wilayah Puskesmas Larangan Utara. Penulis berharap proyek ini
dapat menjadi bekal bagi puskesmas dengan memberi gambaran mengenai hubungan antara
depresi pada pasien lansia di wilayah kerja puskesmas sehingga dapat meningkatkan
penemuan pasien depresi.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
atas kerjasama serta bantuan moril maupun materiil yang telah diberikan kepada penulis
selama penyusunan laporan ini. Ucapan terima kasih penulis disampaikan khususnya kepada:
1. dr. Hj. Harmayani, MPH sebagai Kepala Puskesmas Larangan Utara dan
pembimbing dalam Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI).
2. dr. Hendra Sembada SPS, sebagai penanggungjawab program jiwa di Puskesmas
Larangan Utara.
3. Pembina desa di wilayah kerja Puskesmas Larangan Utara.
4. Kader-kader di wilayah kerja Puskesmas Larangan Utara yang sudah membantu
berjalannya penelitian ini.
5. Staff Puskesmas Larangan Utara
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna dan membutuhkan
saran dan kritik agar menjadi lebih baik. Oleh sebab itu, penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya apabila terdapat kesalahan dalam penyusunan dalam penelitian ini, juga selama
menjalankan Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) di Puskesmas Larangan Utara.
Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan
penelitian ini agar dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi pembaca.

Tangerang, 29 April 2019


Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................... i


ABSTRAK ................................................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR............................................................................................................. iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iv
BAB I......................................................................................................................................... 1
BAB II ....................................................................................................................................... 5
BAB III.................................................................................................................................... 43
BAB IV .................................................................................................................................... 56
BAB V ..................................................................................................................................... 61
BAB VI .................................................................................................................................. 112
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 114
LAMPIRAN ......................................................................................................................... 117

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lansia merupakan upaya Pemerintah sesuai
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004, dengan berlandaskan Peraturan pemerintah tersebut
maka pemerintah dan masyarakat harus mengupayakan peningkatan kesejahteraan sosial dan
kesehatan bagi kelompok penduduk lansia.1 Pemerintah juga mengupayakan progam lainnya demi
meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Salah satu programnya adalah PISPK (Program
Indonesia Sehat dengan Pednekatan keluarga). PISPK ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Kesehatan R.I. Nomor HK.02.02/Menkes/52/2015. PISPK mempunyai 12 Indikator utama untuk
penanda status kesehatan sebuah keluarga. Dari keduabelas indikator ini, peneliti tertarik mengenai
poin hal penderita gangguan jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak ditelantarkan. Berdasarkan
penelitian-penelitan yang lalu mengenai adanya hubungan lansia dengan salah satu gangguan jiwa
yaitu depresi, Kami peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian tersebut di Wilayah cakupan
Puskesmas Larangan Utara.
Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai adanya hubungan antara lansia dan tingkat
depresi. Proses penuaan akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi
maupun kesehatan . Ditinjau dari aspek kesehatan, dengan semakin bertambahnya usia maka lansia
lebih rentan terhadap berbagai keluhan fisik, baik karena faktor alamiah maupun karena penyakit.
Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Secara global populasi lansia
diprediksi terus mengalami peningkatan seperti tampak pada Gambar 1. Populasi lansia di Indonesia
diprediksi meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi lansia di dunia setelah tahun 2100.2

5
Gambar 1. Proporsi Penduduk Lansia di Indonesia dan Dunia Tahun 2013, 2050 dan 2100.2

Tingginya rata-rata Usia Harapan Hidup (UHH) penduduk Indonesia merupakan salah satu
indicator keberhasilan pencapaian pembangunan nasional terutama di bidang kesehatan. Sejak tahun
2004-2015 memperlihatkan adanya peningkatan Usia Harapan di Indonesia dari 68,8 tahun menjadi
70,8 tahun dan proyeksi untuk tahun 2030-2035 adalah sebagai berikut (gambar 2).

Gambar 2. Usia Harapan Hidup Indonesia Tahun 2008-2015 dan Proyeksi Tahun 2030-2035.2

6
Dari gambar 2 dapat diproyeksikan penduduk 2010-2035, Indonesia akan memasuki periode
lansia ( ageing), dimana 10% penduduk akan berusia 60 tahun ke atas , di tahun 2020 seperti terlihat
pada gambar dibawah (gambar 3) .2,3

Gambar 3. Persentase Penduduk Lansia di Indonesia Tahun 2010-2035.2,3

Peningkatan jumlah lansia dapat membawa dampak positif apabila penduduk lansia berada
dalam keadaan sehat, aktif dan produktif.3 Di sisi lain, peningkatan jumlah lansia juga dapat
menimbulkan berbagai masalah yang jika tidak di tangani dengan baik akan menjadi masalah yang
kompleks.3,4 Secara biologis, lansia akan mengalami perubahan yang mengarah pada kemunduran
kesehatan secara fisik dan psikis. Seiring bertambahnya usia para lansia mengalami berbagai
permasalahan mulai dari kehilangan pekerjaan, kehilangan tujuan hidup, kehilangan teman, risiko
terkena penyakit, terisolasi dari lingkungan, dan kesepian. Hal tersebut dapat memicu terjadinya
gangguan mental, salah satu yang paling banyak di jumpai pada lansia adalah depresi.5
Depresi merupakan permasalahan yang tidak dapat dikesampingkan . Menurut World Health
Organization (WHO), depresi merupakan suatu gangguan mental umum yang ditandai dengan
suasana hati yang tertekan, kehilangan kesenangan atau minat,merasa kurang energi, perasaan
bersalah atau rendah diri, gangguan makan atau tidur, dan konsentrasi yang rendah. Gejala depresi
hampir muncul pada 20% lansia yang tinggal di masyarakat. Depresi pada lansia muncul dengan
berbagai sebab , salah satunya adalah perubahan dari struktural jaringan otak.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Amy Fiske dan Julie Wetherell dan

7
Margaret Gatz di West Virginia terdapat hubungan yang signifikan antara depresi dengan lansia . 6
Dengan adanya depresi pada lansia , akan sangat mempengaruhi kualitas Hidup lansia. Kualitas
hidup tersebut membuat para lansia tidak dapat menikmati masa tuanya dengan bahagia, bermakna
dan dapat berguna bagi orang-orang disekitarnya . Puskesmas Larangan Utara mempunyai anggota
lansia dengan jumlah 4.145 orang. Program lansia di Puskesmas Larangan Utara sangat beragam
salah satu contohnya adalah Pos Binaan Terpadu atau selanjutnya akan kita sebut dengan
POSBINDU . Kegiatan ini berisikan monitoring dan deteksi dini faktor resiko penyakit tidak
menular. Dalam kegiatan ini setiap lansia diwajibkan untuk mengisi beberapa kuisioner salah
satunya adalah GDS atau Geriatric Depression Scale, dan dari sini ditemukan 50% dari jumlah
lansia mengalami Depresi . Berangkat dari temuan ini , peneliti tertarik melakukan penelitian untuk
mengetahui hubungan lansia dengan tingkat depresi khususnya cakupan lansia di Puskesmas
Larangan Utara. Dari hasil penelitan diharapkan angka harapan hidup di Indonesia akan meningkat
dan kualitas hidup lansia pun tetap terjaga .

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Pernyataan Rumusan Masalah
 Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lansia merupakan upaya Pemerintah
sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004, dengan berlandaskan Peraturan
pemerintah tersebut maka pemerintah dan masyarakat harus mengupayakan peningkatan
kesejahteraan sosial dan kesehatan bagi kelompok penduduk lansia.
 Depresi merupakan permasalahan yang tidak dapat dikesampingkan. Gejala depresi
hampir muncul pada 20% lansia yang tinggal di masyarakat. Depresi pada lansia muncul
dengan berbagai sebab , salah satunya adalah perubahan dari struktural jaringan otak.
 Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Amy Fiske dan Julie Wetherell dan
Margaret Gatz di West Virginia terdapat hubungan yang signifikan antara depresi dengan
lansia . Dengan adanya depresi pada lansia , akan sangat mempengaruhi kualitas Hidup
lansia.
 Diharapkan angka harapan hidup di Indonesia akan meningkat dan kualitas hidup lansia
pun tetap terjaga .

8
1.2.2. Pertanyaan Penelitian
1. Apakah terdapat hubungan antara depresi pada pasien lansia di wilayah kerja Puskesmas
Larangan Utara ?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan Umum penelitian “Hubungan Antara Depresi pada Lansia di Wilayah Puskesmas
Larangan Utara adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian depresi
pada lansia serta untuk memenuhi salah satu syarat wajib Internship, yang mewajibkan setiap
internship membuat suatu Karya Tulis Ilmiah berdasarkan informasi dari data primer dan sekunder.

1.3.2. Tujuan Khusus


 Untuk mengidentifikasi kejadian depresi pada lansia di Puskesmas Larangan Utara
 Untuk mengidentifikasi gambaran karakteristik usia lansia dengan depresi di Puskesmas
Larangan Utara
 Untuk mengidentifikasi gambaran karakteristik jenis kelamin lansia dengan depresi di
Puskesmas Larangan Utara
 Untuk mengidentifikasi gambaran karakteristik status pernikahan lansia dengan depresi
di Puskesmas Larangan Utara
 Untuk mengidentifikasi gambaran karakteristik pendidikan terakhir lansia dengan
depresi di Puskesmas Larangan Utara
 Untuk mengidentifikasi gambaran karakteristik status pekerjaan lansia dengan depresi
di Puskesmas Larangan Utara
 Untuk mengidentifikasi gambaran karakteristik riwayat penyakit yang diderita pada
lansia dengan depresi di Puskesmas Larangan Utara

1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat bagi Peneliti
 Merupakan kesempatan untuk menambah pengalaman bagi peneliti dalam meneliti
secara langsung di lapangan untuk memenuhi salah satu tugas peneliti
 Meningkatkan keilmuan mengenai penyakit depresi
9
 Meningkatkan keterampilan komunikasi di masyarakat, serta meningkatkan kemampuan
berpikir analisis dan sistematis dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
kesehatan dengan ilmu yang telah diperoleh sebelumnya
 Meningkatkan kesempatan untuk bersosialisasi di dalam masyarakat
 Meningkatkan kemampuan berpikir analisis dan sistematis dalam mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah kesehatan.

1.4.2. Manfaat bagi Instansi (Puskesmas)


 Sebagai bahan informasi bagi Puskesmas untuk meningkatakan pemberian layanan
kesehatan terutama dalam penurunan angka depresi pada lansia
 Dapat digunakan sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan

1.4.3. Manfaat bagi Masyarakat


 Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan jiwa, terutama
depresi dan cara membedakan dengan penyakit jiwa lainnya, serta dalam hal
pencegahan dan pengobatan yang harus diberikan.
 Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahayanya kesehatan jiwa
 Agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih maksimal
berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup pasien lansia beserta keluarganya

10
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1. Konsep Lansia


2.1.1. Definisi Lanjut Usia (Lansia)
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang
yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan
terhadap berbagai penyakit dan kematian. Proses penuaan adalah siklus kehidupan yang ditandai dengan
tahapan-tahapan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh, yang ditandai dengan semakin rentannya
tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian misalnya pada sistem
kardiovaskuler dan pembuluh darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain disertai juga dengan
perubahan-perubahan mental menyangkut perubahan ingatan atau memori.5 Hal tersebut disebabkan
seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta
sistem organ. Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis
yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara umum akan
berpengaruh pada activity of daily living.5 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lanjut usia (lansia) adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.2,3
Definisi lansia lainnya menurut Kushariyadi adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
ke atas, baik pria maupun wanita.7 Sedangkan menurut Pudjiastuti lansia merupakan suatu tahapan
lanjut dalam proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi
dengan lingkungan luar.8 Menurut Azizah proses tua merupakan suatu proses alami yang terjadi dan
telah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan setiap orang yang mengalami proses penuaan akan
mengalami kemunduran baik secara fisik mental dan sosial secara bertahap.9
Sama halnya menurut Laslett, semua makhluk hidup akan memiliki siklus kehidupan menuju tua
yang diawali dengan proses kelahiran, tumbuh menjadi dewasa, berkembang biak kemudian menjadi tua
dan akhirnya tutup usia. Sedangkan usia lanjut adalah masa yang tidak bisa dielakkan bagi orang yang
dikaruniai umur panjang. Oleh karena proses tersebut Muanandar menyebutkan bahwa hal tersebut
menjadikan manusia rentan terhadap penyakit. Beberapa kelemahan dan penyakit akan terjadi dengan
bertambahnya usia.10
11
2.1.2. Batasan Usia Lansia
Penduduk Lansia atau lanjut usia menurut UU kesejahteraan lansia No.13 tahun 1998 adalah
penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Umur yang dijadikan patokan sebagai lanjut usia
berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia
(elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Menurut Depkes RI (2003), batasan lansia terbagi dalam empat kelompok yaitu pertengahan umur usia
lanjut (virilitas) yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan
jiwa antara 45-54 tahun, usia lanjut dini (prasenium) yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut
antara 55-64 tahun, kelompok usia lanjut (senium) usia 65 tahun keatas dan usia lanjut dengan resiko
tinggi yaitu kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri,
terpencil, tinggal di panti, menderita penyakit berat, atau cacat. Di Indonesia, batasan lanjut usia adalah
60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 43 tahun 2004. 2,3,10-12

2.1.3. Teori Proses Penuaan


Berbagai penelitian eksperimental dibidang gerontologi dasar selama 20 tahun terakhir ini
berhasil memunculkan teori baru mengenai proses menua. Teori penuaan secara umum dapat dibedakan
menjadi dua yaitu teori biologi dan teori penuaan psikososial. Beberapa teori tentang penuaan yang
dapat diterima saat ini, antara lain :

2.1.3.1.Teori Biologi Proses Penuaan


A. Teori Radikal Bebas
Teori radikal bebas menyatakan bahwa proses menua adalah proses yang normal, merupakan
akibat kerusakan jaringan oleh radikal bebas. Radikal bebas adalah senyawa kimia yang berisi elektron
tidak berpasangan. Karena elektronnya tidak berpasangan, secara kimiawi radikal bebas akan mencari
pasangan elektron lain dengan bereaksi dengan substansi lain terutama protein dan lemak tidak jenuh.
Sebagai contoh, karena membran sel mengandung sejumlah lemak, ia dapat bereaksi dengan radikal
bebas sehingga membran sel mengalami perubahan. Akibat perubahan pada struktur membran tersebut
membran sel menjadi lebih permeabel terhadap beberapa substansi dan memungkinkan substansi
tersebut melewati membran secara bebas. Struktur didalam sel seperti mitokondria dan lisosom juga

12
diselimuti oleh membran yang mengandung lemak, sehingga mudah diganggu oleh radikal bebas.
Sebenarnya tubuh diberi kekuatan untuk melawan radikal bebas berupa antioksidan yang diproduksi
oleh tubuh sendiri, namun antioksidan tersebut tidak dapat melindungi tubuh dari kerusakan akibat
radikal bebas tersebut.5

B. Teori Imunologis
Penurunan atau perubahan dalam keefektifan sistem imun berperan dalam penuaan. Tubuh
kehilangan kemampuan untuk membedakan proteinnya sendiri dengan protein asing sehingga sistem
imun menyerang dan menghancurkan jaringannya sendiri pada kecepatan yang meningkat secara
bertahap. Disfungsi sistem imun ini menjadi faktor dalam perkembangan penyakit kronis seperti kanker,
diabetes, dan penyakit kardiovaskular, serta infeksi.13

C. Teori DNA Repair


Teori ini dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka menunjukkan bahwa adanya perbedaan
pola laju perbaikan (repair) kerusakan DNA yang diinduksi oleh sinar ultraviolet (UV) pada berbagai
fibroblas yang dikultur. Fibroblas pada spesies yang mempunyai umur maksimum terpanjang
menunjukkan laju DNA repair terbesar dan korelasi ini dapat ditunjukkan pada berbagai mamalia dan
primata.5

D. Teori Genetika
Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama di pengaruhi oleh pembentukan gen
dan dampak lingkungan pada pembentukan kode genetik. Menurut teori genetika adalah suatu proses
yang secara tidak sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu mengubah sel atau struktur
jaringan. Dengan kata lain, perubahan rentang hidup dan panjang usia ditentukan sebelumnya. 14

E. Teori Wear-and-Tear
Teori wear-and- tear (dipakai dan rusak) mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau
zat nutrisi dapat merusak sintensis DNA, sehingga mendorong malfungsi organ tubuh. Pendukung teori
ini percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal. Sebagai contoh adalah
radikal bebas, radikal bebas dengan cepat dihancurkan oleh sistem enzim pelindung pada kondisi

13
normal.14

2.1.3.2.Teori Psikososial Proses Penuaan


A. Teori Disengagement
Teori disengagment (teori pemutusan hubungan), menggambarkan proses penarikan diri oleh
lansia dari peran masyarakat dan tanggung jawabnya. Proses penarikan diri ini dapat diprediksi,
sistematis, tidak dapat dihindari, dan penting untuk fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang
tumbuh. Lansia dikatakan bahagia apabila kontak sosial berkurang dan tanggung jawab telah diambil
oleh generasi lebih muda.14

B. Teori Aktivitas
Teori ini menegaskan bahwa kelanjutan aktivitas dewasa tengah penting untuk keberhasilan
penuaan. Penelitian mengindikasikan orang tua yang aktif secara sosial lebih cendrung menyesuaikan
diri terhadap penuaan dengan baik. Pada tahun 2000 jumlah lanjut usia di Indonesia terdapat 22,3 juta
jiwa dengan umur harapan hidup 65-75 tahun. Pada tahun 2020 akan meningkat menjadi 11,09% (29,12
juta lebih) dengan usia harapan hidup 70-75 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2
milyar.13,15

2.1.4. Perubahan Fisiologis dan Psikologis Penuaan


2.1.4.1. Perubahan Fisiologis
Menurut Smeltzer, Bare, Hinkle dan Cheever (2010) proses penuaan mengakibatkan perubahan
dari aspek fisiologis pada sistem tubuh seseorang yaitu: 16
a) Sistem Kardiovaskuler
Penurunan curah jantung, berkurangnya kemampuan dalam merespon stres, tekanan darah
meningkat.
b) Sistem Pernafasan
Meningkatkan volume sisa paru seperti penurunan kekuatan otot, ketahanan dan kapasitas vital
paru serta menurunnya pertukaran gas.
c) Sistem integumen

14
Penurunan lemak di lapisan kulit bagian subkutan, cairan interstisial, otot, aktivitas kelenjar,
reseptor sensori yang mengakibatkan penurunan perlindungan terhadap trauma, paparan sinar
matahari, suhu ekstrim, berkurangnya sekresi alami minyak dan keringat, serta kerapuhan pada
pembuluh darah kapiler.
d) Sistem reproduksi
Perempuan: penyempitan dan berkurangnya elastisitas vagina diikuti dengan penurunan sekresi
cairan vagina dan laki-laki: penurunan produksi cairan sperma. Perempuan dan laki-laki: respon
terhadap seksualnya mengalami perlambatan.
e) Sistem muskuloskeletal
Hilangnya kepadatan tulang, hilangnya kekuatan dan ukuran otot, kemerosotan sendi pada
tulang rawan.
f) Sistem genitourinari
Perempuan: kelemahan pada otot perineum, ketidakstabilan otot detrusor (mendorong
terjadinya inkontinensia) dan disfungsi saluran kemih (inkontinensia).
g) Sistem pencernaan
Penurunan kemampuan untuk membau, perasa, menurunnya produksi air liur, kesulitan
menelan makanan, pengosongan esophagus dan lambung yang tertunda dan gangguan
mortilitas usus.
h) Sistem saraf
Berkurangnya kecepatan konduksi saraf, meningkatkan rasa bingung terhadap penyakit fisik
yang diderita dan berkurangnya sirkulasi serebral (pingsan, kehilangan keseimbangan).
i) Panca indera
Penglihatan: berkurangnya kemapuan untuk fokus pada suatu objek, tidak mampu untuk
mentolerir silau, kesulitan beradaptasi dengan perubahan intensitas cahaya serta penurunan
kemampuan dalam membedakan warna. Pendengaran: penurunan kemampuan dalam
mendengarkan suara yang berfrekuensi tinggi dan penipisan membran timpani. Pengecap
dan penghidu: menurunnya kemampuan untuk merasakan makanan atau minuman dan
mencium bau.

15
2.1.4.2. Perubahan Psikologis
a) Fungsi memori
Memori jangka pendek dapat memburuk seiring dengan bertambahnya usia, namun tidak
demikian dengan memori jangka panjang. Seseorang yang tidak mengalami gangguan
mental tidak menunjukkan penurunan fungsi memori yang berhubungan dengan usia, namun
ada pengecualian bagi lansia. Lansia mengalami hambatan ketika mengingat hari, waktu dan
tempat, hal ini dikaitkan dengan faktor sosial atau kesehatan misalnya: stres, kelelahan dan
penyakit, selain itu dapat dipengaruhi oleh perubahan fisik secara normal terkait proses
penuaan seperti: penurunan aliran darah ke otak.17
b) Fungsi intelektual
Kemampuan dalam memecahkan suatu masalah, cenderung menurun secara bertahap
dimulai dari usia muda hingga dewasa tua.17
c) Kemampuan belajar
Kemampuan seseorang untuk belajar berlangsung sepanjang hidup, meskipun hal ini sangat
dipengaruhi oleh kepentingan, kegiatan, motivasi, kesehatan dan pengalaman. Kemampuan
untuk belajar tidak berkurang seiring bertambahnya usia. Namun, studi telah menunjukkan
bahwa beberapa aspek belajar dapat berubah karena usia misalnya penurunan kinerja
seseorang saat menegerjakan tugas atau pekerjaan.17
d) Adaptasi dengan tugas penuaan
 Kehilangan dan kesedihan
Ketika seseorang mencapai usia 60 sampai 70an, mereka mengalami banyak
kerugian dan kehilangan yang terjadi dalam hidupnya. Hal ini diperburuk dengan
datangnya proses penuaan, yang menyebabkan lamanya masa kehilangan atau
berkabung dan cenderung mengakibatkan lansia depresi.17
 Menjaga identitas diri
Konsep-diri dan gambaran diri mampu tetap stabil dari waktu ke waktu. Penyesuaian
psikologis seperti menjaga hubungan baik dengan keluarga, tidak mengkonsumsi
minuman beralkohol serta tidak mengalami depresi merupakan cara yang tepat untuk
mempertahankan identitas diri seseorang.17
e) Gangguan kejiwaan di kemudian hari
16
Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, meningkat pula risiko terhadap tekanan
emosional dikemudian hari. Faktor risiko psikososial yang mengakibatkan orang tua
mengalami gangguan mental yaitu hilangnya peran sosial, kemandirian diri, kematian teman
atau kerabat yang dicintai, status kesehatan yang menurun, isolasi diri, masalah keuangan
serta penurunan fungsi kognitif.17,18
 Demensia
Setengah dari gangguan ini adalah alzeimer yang ditandai dengan onset yang
berbahaya dan gangguan kognitif secara progresif.
 Delirium
Faktor-faktor yang telah diidentifikasi dan menyebabkan delirium pada orang tua
yaitu: penyakit otak struktural, gangguan penglihatan dan pendengaran, penyakit
kronis, stres akut dan bertambahnya usia yang berhubungan dengan farmakokinetik
dan farmakodinamik karena konsumsi obat-obatan.
 Depresi
Depresi pada lansia dipengaruhi oleh penyakit fisik, kecacatan fisik, gangguan
kognitif dan kehilangaan pasangan. Status kesehatan yang menurun dan faktor
ekonomi merupakan faktor risiko yang dapat mempengaruhi orang tua untuk bunuh
diri. Depresi dapat diobati dengan obat-obatan psikotropika atau terapi
electroconvulsive.
 Skizofrenia
Onset skizofrenia yang terlambat (setelah usia 60 tahun) bukanlah sesuatu hal yang
umum terjadi, tetapi ketika itu terjadi biasanya ditandai dengan delusi atau halusinasi.
 Gangguan kecemasan
Gangguan kecemasan biasanya dialami oleh seseorang di pertengahan usia dewasa,
tapi beberapa ada yang muncul setelah usia 60 tahun. Kerapuhan sistem saraf otonom
pada lansia, mungkin menjadi salah satu faktor berkembangannya kecemasan setelah
stres
 Gangguan kepribadian
Gangguan kepribadian jarang terjadi pada populasi lanjut usia. Insiden gangguan
kepribadian pada individu yang berusia 65 tahun kurang dari 5 persen.
17
2.1.5. Faktor-faktor pada Proses Penuaan
Healthy aging akan dipengaruhi oleh faktor: 1. Endogenic aging, yang dimulai dengan cellular
aging, lewat tissue dan anatomical aging kearah proses menuanya organ tubuh. Proses ini seperti jam
yang terus berputar. 2. Exogenic factor, yang dapat dibagi dalam sebab lingkungan dimana seseorang
hidup dan faktor sosio budaya yang paling tapat disebut gaya hidup. Faktor exogenic aging tadi,
sekarang lebih dikenal dengan sebutan faktor resiko. Wacana diatas jelas kiranya tugas dan tujuan
gerontology/geriatri dalam mengabdi ilmu kesehatan yaitu menuju healthy aging (menuju menua sehat).
Pengalaman menunjukkan bahwa rupa-rupanya yang lebih berpengaruh adalah faktor-faktor eksogen
yaitu gaya hidup dan lingkungan yang juga saling mempengaruhi satu satu sama lain. Endogenic dan
exogenic factors ini seringkali sulit untuk dipisahkan karena saling mempengaruhi dengan erat.18
Idealnya seorang lansia dapat menjalani proses menua secara normal sehingga dapat menikmati
kehidupan yang bahagia dan mandiri. Proses penuaan yang sukses merupakan suatu kombinasi dari tiga
komponen: (1) penghindaran dari penyakit dan ketidakmampuan; (2) pemeliharaan kapasitas fisik dan
kognitif yang tinggi di tahun-tahun berikutnya; dan (3) keterlibatan secara aktif dalam kehidupan yang
berkelanjutan.19,20

2.2. Konsep Depresi


2.2.1. Definisi
Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah masyarakat. Berawal dari
stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke fase depresi. Penyakit ini kerap diabaikan karena
dianggap bisa hilang sendiri tanpa pengobatan. Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa
berakhir dengan bunuh diri.21
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan,
psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri.
Terdapat gangguan penyesuaian diri (gangguan dalam perkembangan emosi jangka pendek atau
masalah-masalah perilaku, dimana dalam kasus ini, perasaan sedih yang mendalam dan perasaan
kehilangan harapan atau merasa sia-sia, sebagai reaksi terhadap stressor) dengan kondisi mood yang
menurun. 22
Depresi Mayor merupakan gangguan yang lebih berat, membutuhkan lima atau lebih simptom-
18
simptom selama dua minggu, salah satunya harus ada gangguan mood, atau ketidaksenangan pada
anak-anak. Sedangkan episode depresi berat menurut kriteria DSM-IV-TR, adalah suasana perasaan
ekstrem yang berlangsung paling tidak dua minggu dan meliputi gejala-gejala kognitif (seperti perasaan
tidak berharga dan tidak pasti) dan fungsi fisik yang terganggu (seperti perubahan pola tidur, perubahan
nafsu makan dan berat badan yang signifikan, atau kehilangan banyak energi) sampai titik dimana
aktivitas atau gerakan yang paling ringan sekalipun membutuhkan usaha yang luar biasa besar.18,22,23
Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sering ditemukan dengan prevalensi
seumur hidup adalah kira kira 15%. Pada pengamatan yang universal terlepas dari kultur atau negara
prevalensi gangguan depresi berat pada wanita dua kali lebih besar dari pria. Pada umumnya onset
untuk gangguan depresi berat adalah pada usia 20 sampai 50 tahun, namun yang paling sering adalah
pada usia 40 tahun. Depresi berat juga sering terjadi pada orang yang tidak menikah dan bercerai atau
berpisah.22
Depresi tersebar luas, tetapi jumlah dan rata-rata dari gejala fisik dan kognitif berhubungan
dengan gangguan depresi mayor atau major depressive disorder (MDD) yang berarti banyak orang
tidak menunjukkan gejala emosional. Satu dari tujuh orang akan menderita gangguan psikososial dari
MDD, beberapa tidak terdiagnosis kecuali dengan kunjungan ke dokter yang berulang. Dan, tidak hanya
dokter keluarga, psikiatri, dan klinisi kesehatan mental juga harus dapat mendiagnosis depresi.
Tingginya prevalensi dari MDD dengan penyakit medis lainnya menunjukkan bahwa professional
kesehatan dan dokter, ataupun internis atau onkologis atau ahli bedah atau kardiologis atau neurologis
atau spesialis lainnya, juga harus mengenali dan memberikan tatalaksana depresi klinis pada pasien.21

2.2.2. Epidemiologi
Sekitar 15% populasi umum dilaporkan memiliki gejala depresi, dengan 10% melakukan
konsultasi ke pelayanan kesehatan yang karena gangguan depresi. Di Amerika tahun 2010, Pusat
Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) memperkirakan prevalensi depresi pada orang dewasa
saat ini dari 235.067 orang dewasa, 9% memenuhi kriteria untuk depresi dan 3,4% yang memenuhi
kriteria untuk depresi berat.24 Menurut survei gangguan depresi mayor sekitar dua kali lipat terjadi pada
wanita dibandingkan pada pria yaitu sekitar 20% berbanding 10%. Penyebab wanita depresi rata-rata
disebabkan karena tanggung jawab pengasuhan anak yang lebih besar dan lebih sedikit kesempatan
kerja dibandingkan pria25 atau bisa disebabkan karena faktor hormonal.26

19
Usia rata-rata onset untuk gangguan depresi mayor adalah sekitar 40 tahun, dengan 50% dari
semua pasien memiliki onset antara usia 20 dan 50. Penyakit depresi juga dapat dimulai pada masa
kanak-kanak atau pada usia tua. Data epidemiologi terbaru menunjukkan bahwa kejadian penyakit
depresi dapat meningkat di antara orang-orang muda lebih dari 20 tahun. Hal ini mungkin terkait
dengan peningkatan penggunaan alkohol dan penyalahgunaan obat dalam kelompok usia ini 18
Prevalensi gejala depresi meningkat sesuai usia. Prevalensi depresi mayor pada anak anak sekitar 0,5-
2,5%, sedangkan pada remaja dan dewasa muda mencapai 3% - 4%. Pada kelompok usia dewasa muda,
terjadi peningkatan angka bunuh diri dibandingkan dengan usia kelompok yang lain. Pada rentang usia
60 tahun, gejala depresi minor mencapai 25%, dan depresi mayor sekitar 5%, sedangkan pada usia lebih
dari 85 tahun gejala depresi mayor menjadi 15% dan depresi minor menjadi 8%.25 Menurut
Epidemiological Catchment Area Study (ECA) bahwa prevalensi penyakit depresi seumur hidup
mencapai 4,9%. Sedangkan menurut National Comorbidity Survey (NCS) prevalensi depresi seumur
hidup dan 1 tahun mencapai 16,6% dan 6,6% dengan durasi episode rata-rata 16 minggu.27
Gangguan depresi mayor juga terjadi paling sering pada orang-orang tanpa hubungan
interpersonal yang dekat atau pada mereka yang bercerai atau terpisah. Sebenarnya tidak ada korelasi
yang ditemukan antara status sosial ekonomi dan gangguan depresi berat.18 Namun menurut penelitian
yang dilakukan NCS, gejala depresi mayor 3 kali lebih banyak terjadi pada orang yang tidak bekerja.27
Selain itu depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan. Prevalensi
gangguan mood tidak berbeda antara ras.18
Individu dengan gangguan mood biasanya memiliki risiko komorbiditas Axis I. Gangguan yang
paling sering adalah penyalahgunaan alkohol, gangguan panik, obsessive kompulsif (OCD), dan
gangguan kecemasan sosial. Sebaliknya, individu dengan gangguan penggunaan narkoba dan gangguan
kecemasan juga memiliki peningkatan risiko seumur hidup atau gangguan mood komorbiditas saat ini.
Pada pasien dengan depresi psikotik sangat sedikit pada literatur akan terjadinya komorbiditas. Namun
pada penelitian Matthew ditemukan bahwa depresi psikotik sering komorbid dengan gangguan cemas
terutama gangguan panik.28

2.2.3. Etiologi
Penyebab munculnya depresi psikotik sama dengan depresi non priskotik. Pada kebanyakan
pasien, episode depresi muncul dari kombinasi familial, biologis, psikologis dan faktor sosial, yang

20
beroperasi dari waktu ke waktu dan semakin meningkatkan risiko terjadinya gangguan depresi. Mood
depresi juga terjadi pada penyakit fisik tertentu dan sebagai bagian sindrom jiwa yang lainnya, seperti
gangguan kecemasan, penyalahgunaan alkohol, penyalahgunaan zat dan gangguan makan. Banyak
penelitian telah melaporkan kelainan biologis pada pasien dengan gangguan mood.25
Sampai saat ini, monoamine neurotransmitters norepinefrin, dopamin dan serotonin adalah fokus
utama dari teori dan penelitian tentang etiologi gangguan ini. Penelitian menunjukkan bahwa penurunan
sensitivitas reseptor adrenergik dan respon antidepresan klinis berperan langsung untuk sistem
noradrenergik dalam depresi. Aktivasi reseptor ini berpengaruh dalam penurunan jumlah norepinefrin
yang dilepaskan sehingga berperan dalam terjadinya depresi. Adanya hasil yang signifikan mengenai
selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) seperti fluoxetine untuk pengobatan depresi menunjukkan
bahwa serotonin telah menjadi neurotransmitter paling sering dikaitkan dengan depresi. Selain itu SSRI
dan antidepresan serotonergik lainnya yang efektif dalam pengobatan depresi, data lain menunjukkan
bahwa serotonin terlibat dalam patofisiologi depresi. Kekurangan serotonin dapat memicu depresi, dan
beberapa pasien dengan impuls bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin pada cairan
serebrospinal (CSF) rendah. Dopamin juga berperan dalam depresi. Data menunjukkan bahwa aktivitas
dopamin yang berkurang akan menyebabkan depresi dan sedangkan jika aktivitas dopamin meningkat
akan menyebabkan mania.27
Selain pengaruh neurotransmitter, depresi juga dapat disebabkan karena adanya perubahan
hormonal. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa orang dengan depresi dikaitkan dengan peningkatan
aktifitas hypothalamic pituitary adrenal (HPA) dan perubahan struktural otak. Peningkatan aktivitas
HPA tinggi merupakan ciri dari respon stres mamalia dan salah satu link yang paling jelas antara
depresi dan biologi stres kronis. Hypercortisolema dalam depresi menunjukkan satu atau lebih dari
gangguan sentral anatara lain penurunan serotonin, peningkatan norepinefrin, Asetilkolin, atau
corticotropin releasing hormone (CRH), atau penurunan inhibisi umpan balik dari hippocampus. Bukti
peningkatan aktivitas HPA jelas terdapat dalam 20% sampai 40% pasien depresi yang mengalami rawat
jalan dan 40% sampai 60% pasien depresi dengan rawat inap.18
Data keluarga menunjukkan bahwa jika salah satu orangtua memiliki gangguan mood, seorang
anak akan memiliki risiko antara 10 dan 25 persen untuk gangguan mood. Jika kedua orang tua yang
terkena, risiko ini kira-kira dua kali lipat. Semakin banyak anggota keluarga yang terkena, semakin
besar risikonya untuk anak. Risikonya sekitar 5 sampai 10 kali lebih besar jika anggota keluarga yang

21
terkena adalah kerabat tingkat pertama daripada kerabat yang lebih jauh.25
Beberapa faktor psikososial yang dapat menyebabkan terjadinya depresi antara lain pengalaman
buruk di masa kecil, terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, rendah diri, kehidupan sosial yang
terbatas.27 Teori juga menunjukkan bahwa stress berkepanjangan dapat mempengaruhi fungsi berbagai
neurotransmitter dan sistem sinyal intraneuronal, bahkan mungkin termasuk hilangnya neuron dan
pengurangan yang berlebihan dalam kontak sinaptik yang mengakibatkan seseorang memiliki risiko
tinggi mengalami episode berikutnya dari gangguan mood, bahkan tanpa stressor eksternal. Stressor
lingkungan yang paling sering dikaitkan dengan timbulnya sebuah episode depresi adalah kehilangan
pasangan. Faktor risiko lain adalah pengangguran, orang-orang keluar dari pekerjaan tiga kali lebih
mungkin melaporkan gejala episode depresi berat daripada mereka yang bekerja.26

2.2.4. Klasifikasi
Berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) III,
episode depresif dibagi menjadi episode depresif ringan, depresif sedang, depresi berat tanpa gejala
psikotik, depresif berat dengan gejala psikotik, dan episode depresif lainnya.27

2.2.4.1. Pedoman Diagnosis Menurut PPDGJ-III


Pedoman diagnostik pada depresi dibagi menjadi :
 Semua gejala utama depresi :
 Afek depresif
 Kehilangan minat dan kegembiraan
 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah.

 Gejala lainnya:
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
 Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
 Tidur terganggu

22
 Nafsu makan berkurang
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika
gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis
dalam kurun waktu dari 2 minggu.29

A. Episode Depresif Ringan


1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama depresi seperti tersebut di atas
2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-
kurangnya sekitar 2 minggu
4) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukannya.

B. Episode Depresif Sedang


1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dan 3 gejala utama
2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 atau 4 dari gejala lainnya
3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan, dan urusan rumah
tangga.

C. Episode Depresif Berat Tanpa Gejala Psikotik


1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada
2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa diantaranya harus
berintensitas berat
3) Bila ada gejala penting (misalnya retardasi psikomotor) yang menyolok, maka pasien mungkin
tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal
demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresi berat masih dapat dibenarkan.
4) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan
rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

23
D. Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut No. 3 di atas (F.32.2) tersebut di atas,
disertai waham, halusinasi atau stupor depresi. Waham biasanya melibatkan ide tentang dosa,
kemiskinan atau malapetaka yang mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau alfatorik biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau
kotoran. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.29

2.2.4.2. Pedoman Diagnosis Menurut DSM-IV-TR dan ICD 10


DSM-IV-TR dan ICD-10, keduanya mengkategorikan tingkat keparahan MDD menjadi tiga :
ringan, sedang, dan berat (Tabel 4). DSM-IV-TR membagi tngkat keparahannya berdasarkan efek yang
dihasilkan depresi dalam hal sosial/pekerjaan dan tanggung jawab individu dan ada atau tidaknya gejala
psikotik. ICD-10, sebaliknya, membedakan tingkat keparahan depresi berdasarkan jumlah dan jenis
gejala yang diperlihatkan saat seseorang menderita depresi. Penggunaan skala depresi sangat dianjurkan
untuk menentukan derajat keparahan.21

Tabel 4. Derajat keparahan depresi 21


Keparahan Kriteria DSM-IV-TR Kriteria ICD-10
depresi
Ringan 1. Mood depresi atau kehilangan minat + 4 gejala 1. 2 gejala tipikal
depresi lainnya 2. 2 gejala inti lainnya
2. Gangguan minor sosial/ pekerjaan
Sedang 1. Mood depresi atau kehilangan minat + 4 atau 1. 2 gejala tipikal
lebih gejala depresi lainnya 2. 3 atau lebih gejala inti
2. Gangguan sosial/pekerjaan yang bervariasi lainnya
Berat 1. Mood depresi atau kehilangan minat + 4 atau 1. 3 gejala tipikal
lebih gejala depresi lainnya 2. 4 atau lebih gejala inti
2. Gangguan sosial atau pekerjaan yang berat atau lainnya
ada gambaran psikotik Juga dapat dengan atau
tanpa gejala psikotik

24
A. Episode Depresi berdasarkan ICD-1030
Kriteria Umum
1) Episode depresi harus bertahan setidaknya 2 minggu
2) Tidak ada hypomanic atau manik gejala cukup untuk memenuhi kriteria untuk episode
hypomanic atau manik pada setiap saat dalam kehidupan individu
3) Tidak disebabkan penggunaan zat psikoaktif atau gangguan mental organik

Gejala Utama
1) Perasaan depresi untuk tingkat yang pasti tidak normal bagi individu, hadir untuk hampir
sepanjang hari dan hampir setiap hari, sebagian besar tidak responsif terhadap keadaan, dan
bertahan selama minimal 2 minggu
2) Kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas yang biasanya menyenangkan
3) Penurunan energi atau kelelahan meningkat

Gejala Lainnya
1) Kehilangan percaya diri atau harga diri
2) Tidak masuk akal perasaan diri atau rasa bersalah yang berlebihan dan tidak tepat
3) Berpikiran tentang kematian atau bunuh diri, atau perilaku bunuh diri
4) Keluhan atau bukti kemampuan berkurang untuk berpikir atau berkonsentrasi, seperti keraguan
atau kebimbangan
5) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
6) Gangguan tidur
7) Perubahan nafsu makan (penurunan atau kenaikan) dengan perubahan berat badan yang sesuai

B. Episode Depresi Berdasarkan DSM-IV


DSM-IV-TR, membagi depresi menjadi tiga bagian besar : gangguan depresi mayor/ major
depressive disorder (MDD), distimia, dan depresi yang tidak terklasifikasikan.21
MDD memiliki karakteristik dengan adanya satu atau lebih episode depresi mayor/kriteria
diagnosis menunjukkan beberapa gejala yang harus ada pada waktu yang sering, sekurang-kurangnya
dalam 2 minggu, walaupun durasinya terkadang lebih lama dari waktu yang terlihat. Gejala yang

25
muncul juga harus memperlihatkan perubahan fungsi yang signifikan. Akhirnya, bereavement dan
beberapa penyebab gejala depresi harus dapat disingkirkan.18,21

Episode Depresi Mayor


A. Lima (atau lebih) gejala yang ada berlangsung selama 2 minggu dan memperlihatkan perubahan
fungsi, paling tidak satu atau lainnya (1)mood depresi (2)kehilangan minat.18,21
1. Mood depresi terjadi sepanjang hari atau bahkan setiap hari, diindikasikan dengan laporan
yang subjektif (merasa sedih atau kosong) atau yang dilihat oleh orang sekitar. Note : pada
anak dan remaja, dapat mudah marah
2. Ditandai dengan hilangnya minat disemua hal, atau hampir semua hal
3. Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet, atau penurunan atau peningkatan
nafsu makan hamper setiap hari. Note : pada anak-anak, berat badan yang tidak naik
4. Insomnia atau hipersomnia hamper setiap hari
5. Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (dilihat oleh orang lain, bukan perasaan
yang dirasakan secara subjektif dengan kelelahan atau lamban)
6. Cepat lelah atau kehilangan energi hampir setiap hari
7. Merasa tidak berguna atau perasaan bersalah yang berlebihan (bisa terjadi delusi) hampir
setiap hari
8. Tidak dapat berkonsentrasi atau berpikir hampir setiap hari
9. Pemikiran untuk mati yang berulang, ide bunuh diri yang berulang tanpa perencanaan yang
jelas, atau ide bunuh diri dengan perencanaan.
B. Gejala-gejalanya tidak memenuhi episode campuran
C. Gejala yang ada menyebabkan distress atau kerusakan yang signifikan secara klinis
D. Gejala tidak disebabkan langsung oleh sebuah zat (penyalahgunaan obat, obat-obatan) atau kondisi
medis umum (hipotiroid)
E. Gejala yang muncul lebih baik tidak masuk dalam kriteria bereavement

2.2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Depresi


2.2.5.1. Usia
Masa lanjut usia (lansia) atau menua merupakan tahap paling akhir dari siklus kehidupan

26
seseorang. WHO (2009) menyatakan masa lanjut usia menjadi empat golongan, yaitu usia pertengahan
(middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75-90 tahun dan usia
sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Sedangkan menurut Setyonegoro (dalam Efendi, 2009) lanjut usia
dibagi menjadi 3 batasan umur, yaitu young old (usia 70-75 tahun), old (usia 75-80 tahun), dan very old
(usia > 80 tahun). Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan
seseorang yang berusia di atas 60 tahun.31
Lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Secara
global pada tahun 2013, proporsi penduduk berusia lebih dari 60 tahun adalah 13,4% dari total populasi
penduduk dunia. Jumlah lansia diperkirakan akan terus meningkat baik di negara maju maupun negara
berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2016, di Indonesia diperkirakan memiliki jumlah
penduduk lansia sekitar 258,70 juta jiwa atau 8,69% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia. Pada
tahun 2017, persentase lansia di Indonesia mencapai 9,03% dari keseluruhan penduduk. Sumatera Barat
berada pada peringkat ke-6 dari keseluruhan provinsi di Indonesia dengan persentase penduduk lansia
9,25 % dari keseluruhan penduduk Sumatera Barat pada tahun 2017.32
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ayu Wulandari, Rini Gusya dan Taufik di
Puskesmas Naggalo Padang pada tahun 2018 yang dilakukan terhadap 100 orang responden yang terdiri
dari 50 orang lansia yang berkemungkinan mengalami depresi dan 50 orang lansia yang tidak
berkemungkinan mengalami depresi didapatkan 55,6% responden berkemungkinan depresi pada
rentang usia 75-90 tahun. Sedangan, pada responden yang berkemungkinan tidak depresi sebesar 51.2%
berada pada rentang usia 60-74 tahun.32
Penelitian oleh Giza Nurul, Eka Nurhayati dan R. Anita didapatkan bahwa pada kedua
kelompok usia yaitu kelompok usia elderly (60-74 tahun) dan kelompok lansia old (75-90 tahun)
mayoritas mengalami depresi ringan yaitu masing-masing sebanyak 87,2% dan 92,6%. Berdasarkan
hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact pada CI 95% dengan α = 0,05 diperoleh nilai p=0,691
(p>α). Hasil ini menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi yang signifikan antara kelompok usia
elderly dengan kelompok usia old terhadap tingkat depresi. Namun kelompok usia elderly memiliki
kejadian depresi berat lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia old yaitu masing-masing 12,8%
dan 7,4%.33
Namun hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Angga Kurniawan yang menemukan pada
hasil analisis bivariat variabel usia lansia dengan uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p sebesar

27
0,999 yang artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dengan tingkat depresi pada lansia.
Hasil analisis multivariat juga menunjukkan bahwa usia bukanlah variabel yang mempengaruhi tingkat
depresi pada lansia. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia muda merupakan usia lebih
rentan terjadinya depresi yaitu rata-rata pada usia 20-40 tahun.34

2.2.5.2. Jenis Kelamin


Depresi lebih sering terjadi pada wanita. Depresi merupakan endapan dari perasaan cemas yang
dapat dipengaruhi oleh perubahan hormon. Adanya depresi pada wanita berkaitan dengan
ketidakseimbangan hormon pada wanita menambah tingginya prevalensi depresi. Ketidakseimbangan
hormon dapat terjadi pada wanita yang mengalami menopause atau pasca melahirkan. Menopouse yang
terjadi dapat memengaruhi keadaan psikologis pada wanita seperti mudah tersinggung, cepat marah,
merasa tertekan, merasa tidak berguna, mudah lupa, dan dapat mengalami depresi ringan pada masa
perubahan hormonal ini.34
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ayu Wulandari, Rini Gusya dan Taufik di
Puskesmas Naggalo Padang pada tahun 2018 didapatkan pada pada kelompok kemungkinan depresi
50,7% berjenis kelamin perempuan, tetapi pada kelompok kemungkinan tidak depresi 51,9% berjenis
kelamin laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
depresi dibandingkan laki-laki karena angka harapan hidup pada perempuan lebih tinggi dibandingkan
dengan laki-laki.32
Penelitian oleh Giza Nurul, Eka Nurhayati dan R. Anita didapatkan bahwa dari 66 responden
yang mengalami depresi, proporsi tingkat depresi tertinggi pada kedua kelompok jenis kelamin pada
depresi ringan yaitu 96,4% pada kelompok laki-laki dan84,2% pada kelompok perempuan. Berdasarkan
hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s-Exact pada CI 95% dengan α = 0,05 diperoleh nilai p=0,224
(p > α ). Hasil ini menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi yang signifikan antara mereka yang
berjenis kelamin laki-laki dengan jenis kelamin perempuan terhadap tingkat depresi. Jenis kelamin
perempuan memiliki kejadian depresi berat lebih tinggi dibandingkan jenis kelamin laki-laki yaitu
15,8% pada kelompok perempuan dan 3,6% pada kelompok laki-laki.33
Penelitian oleh Angga didapatkan dari hasil analisis bivariat variabel jenis kelamin dengan uji
Kolmogorov-Smirnov diperoleh nilai p sebesar 0,021 yang artinya terdapat hubungan yang bermakna
antara jenis kelamin dengan tingkat depresi pada lansia. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa

28
variabel jenis kelamin bukan merupakan variabel yang sangat berpengaruh terhadap tingkat depresi
pada lansia, namun variabel ini memiliki syarat untuk masuk dalam seleksi analisis multivariat dengan
nilai p = 0.008 (Omnibus Tests).34

2.2.5.3. Status Pekerjaan


Status bekerja merupakan salah satu faktor resiko terjadinya depresi. Berdasarkan World Health
Organization (WHO) 2009, prevalensi keseluruhan kejadian depresi pada lansia secara umum
bervariasi antara 10-20% hal ini juga tergantung pada situasi budaya di masing-masing daerah di dunia.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk lansia tersebut ditemukan bahwa di tahun 2014
sebanyak 47,44% lansia Indonesia masih bekerja, 27,88% mengurus rumah tangga, dan kegiatan
lainnya sekitar 24,27% (Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS, 2014). Pekerjaan merupakan
salah satu penyebab terjadinya depresi. Orang dengan pekerjaan berat, sering lembur, dan kurang
istirahat sangat beresiko terkena depresi.35
Survei awal yang dilakukan oleh peneliti terhadap 5 orang lansia dengan jumlah populasi yang
peneliti dapat yaitu 130 lansia. Survei awal dilakukan pada tanggal 08 Oktober 2016 yang ada di Jemaat
GMIM Kyirios Kawiley, Kecamatan Kauditan Minahasa Utara dengan hasil wawancara didapati bahwa
semuanya mengalami depresi ringan, yang dikarenakan mereka masih harus bekerja demi mencukupi
kebutuhan yang semakin tinggi.35
Bekerja ringan dan sedang merupakan bentuk akivitas fisik, yang dapat memperlambat
terjadinya penurunan fungsi tubuh. Lansia yang tidak bekerja sebesar 14,5% menderita depresi
sedangkan yang bekerja secara aktif menderita depresi sebesar 11%. Perilaku hidup yang aktif,
berkontribusi dalam peningkatan kesehatan mental seperti depresi. Thompson (2001) mengatakan
bahwa ada korelasi antara tidak bekerja dengan terjadinya depresi (r=0,68) dan pensiun dengan korelasi
(r=0,79).36
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Melisa, Herlina dan Vandri pada tahun 2017
menunjukkan bahwa dari 26 responden yang tidak bekerja, 41,1% mengalami depresi sedang,
sedangkan depresi ringan sebanyak 5,4%. Data juga menunjukkan bahwa dari 30 responden yang
bekerja, 25,0% mengalami depresi sedang sedangkan sebanyak 28,6% depresi ringan. Dilihat dari nilai
signifikansi sebesar 0,003 dengan demikian probabilitas (signifikansi) lebih kecil dari 0,05
(0,003<0,05), maka ada hubungan status bekerja dengan tingkat depresi. Dilihat dari OR (Odds Ratio)

29
menunjukkan bahwa responden yang tidak bekerja kemungkinan akan mengalmai depresi sedang
sebanyak 8,8 kali lebih besar dibandingkan responden yang bekerja.35
Hasil penelitian yang dikemukankan oleh Hwang, Chun, Takeuchi (2005), yang menyebutkan
bahwa 18.7 % lansia yang tidak bekerja mengalami depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Beljouw
(2010) menemukan adanya hubungan yang bermakna antara tidak bekerja dengan kejadian depresi
(p<0.00 : α : 0.001) dimana penelitian menunjukkan lansia yang tidak bekerja berpeluang mengalami
depresi dibandingkan dengan yang bekerja.35
Sebaliknya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari (2014) mendapatkan bahwa faktor
status pekerjaan memiliki hubungan dengan depresi pada lansia. Dimana lansia yang bekerja (buruh,
petani, swasta dll) sebagian besar mengalami depresi sedang. Berdasarkan uji analisis menggunakan
Spearman Rank menunjukkan nilai signifikasinya 0,009 (p<0,05) artinya hubungan antara status
pekerjaan dengan depresi pada lansia adalah signifikan.35

2.2.5.4. Spiritual
Spiritual merupakan aspek yang di dalamnya mencakup aspek-aspek yang lain, yaitu fisik,
psikologi dan sosial. Spiritualitas merupakan hubungan yang memiliki dua dimensi, yaitu antara
dirinya, orang lain dan lingkungannya, serta dirinya dengan Tuhannya. Spiritualitas merupakan
hubungan yang memiliki dimensi-dimensi yang berupaya menjaga keharmonisan dan keselarasan
dengan dunia luar, menghadapi stres emosional, penyakit fisik dan kematian. Spiritualitas lansia yang
sehat dapat membantu lansia dalam menjalani kehidupan dan mempersiapkan dirinya dalam
menghadapi kematian.36
Istilah lain yang terkait erat dengan fenomena di atas adalah kondisi sehat. Definisi sehat adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental atau psikis, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Secara khusus, kesehatan spiritualitas adalah
kemampuan seseorang dalam menjaga keharmonisannya dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang
lain, alam dan Tuhannya.36
Kesehatan spiritual yang terbangun dengan baik membantu lansia menghadapi kenyataan,
berpartisipasi dalam hidup, merasa memiliki harga diri dan menerima kematian sebagai sesuatu yang
tidak dapat dihindari. Faktor yang memengaruhi kesehatan spiritual seseorang adalah pertimbangan
tahap perkembangan, keluarga, latar belakang etnik dan budaya, agama dan pengalaman hidup

30
sebelumnya.37

2.2.5.5. Kualitas Hidup


Kualitas hidup atau Quality of life merupakan penilaian individu terhadap aspek positif dan
negatif dalam kehidupannya. Kualitas hidup yang baik adalah sesuatu yang harus di jaga pada lansia,
karena hidup yang berkualitas merupakan kondisi yang optimal bagi lansia untuk kehidupannya sehari-
hari sehingga mereka bisa menikmati masa tuanya dengan bahagia, bermakna dan dapat berguna bagi
orang-orang disekitarnya. Peningkatan jumlah lansia dapat membawa dampak positif apabila penduduk
lansia berada dalam keadaan sehat, aktif dan produktif. Di sisi lain, peningkatan jumlah lansia juga
dapat menimbulkan berbagai masalah yang jika tidak di tangani dengan baik akan menjadi masalah
yang kompleks.32
Secara biologis, lansia akan mengalami perubahan yang mengarah pada kemunduran kesehatan
secara fisik dan psikis. Seiring bertambahnya usia para lansia juga mengalami berbagai permasalahan
mulai dari kehilangan pekerjaan, kehilangan tujuan hidup, kehilangan teman, risiko terkena penyakit,
terisolasi dari lingkungan, dan kesepian. Hal tersebut dapat memicu terjadinya gangguan mental, salah
satu yang paling banyak di jumpai pada lansia adalah depresi.32
Depresi merupakan salah satu masalah kesehatan yang serius di masyarakat. Menurut World
Health Organization (WHO), depresi merupakan suatu gangguan mental umum yang ditandai dengan
suasana hati yang tertekan, kehilangan kesenangan atau minat,merasa kurang energi, perasaan bersalah
atau rendah diri, gangguan makan atau tidur, dan konsentrasi yang rendah. Pada tahun 2015, lebih dari
300 juta orang diperkirakan menderita depresi atau setara dengan 4,4% populasi dunia. Depresi dapat
terjadi pada siapa saja. Gejala depresi hampir muncul pada 20% lansia yang tinggal di masyarakat.32
Berdasarkan penelitian Haris di Kelurahan Kali Anyar Jakarta Barat pada tahun 2014 dan
didapatkan 19,6% lansia mengalami depresi dan 38 % mengalami depresi disertai kualitas hidup
rendah.32
Penelitian yang dilakukan oleh Miftahul Hayati tahun 2015 di salah satu wilayah di Kelurahan
Surau Gadang didapatkan angka kejadian depresi pada lansia yang cukup tinggi yaitu 84% lansia yang
mengalami depresi. Hasil penelitian dari Ayu Wulandari Utami, Rini Gusya Liza tahun 2018, terdapat
hubungan yang bermakna antara kemungkinan depresi dengan kualitas hidup lanjut usia di Kelurahan
Surau Gadang wilayah kerja Puskesmas Nanggalo Padang.32

31
2.2.5.6. Status Pernikahan
Individu yang bercerai atau berpisah akan lebih sering mengalami gangguan depresi mayor jika
dibandingkan dengan individu yang menikah atau lajang. Perceraian atau perpisahan yang terjadi akan
menimbulkan risiko yang tinggi untuk menderita depresi. Individu yang tinggal sendiri akan lebih
cenderung untuk menderita depresi jika dibandingkan dengan individu yang tinggal bersama kerabat
atau keluarga.34
Berdasarkan hasil penelitian Angga kurniawan tahun 2016 hasil analisis bivariat variabel status
perkawinan dengan uji Fisher diperoleh nilai p sebesar 0,473 yang artinya tidak tedapat hubungan yang
bermakna antara status perkawinan dengan tingkat depresi pada lansia. Hasil analisis multivariat
menujukkan bahwa variabel status perkawinan bukan merupakan variabel yang berpengaruh terhadap
tingkat depresi pada lansia.34

2.2.5.7. Riwayat Penyakit


Lansia yang memiliki penyakit kronik selama bertahun-tahun pada umumnya akan menjadikan
lansia lebih mudah untuk terkena depresi. Prevalensi tertinggi terjadi pada lansia dengan riwayat
penyakit jantung yaitu salah satunya sindrom koroner akut. Depresi juga merupakan salah satu faktor
yang signifikan dalam meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. Gejala depresi yang
timbul seringkali tidak diketahui oleh lansia sehingga tidak ada terapi yang diberikan yang
menyebabkan gejala depresi tersebut menetap selama berbulan-bulan.34
Hubungan antara penyakit somatik dan medikasi dengan depresi pada lansia akan semakin
nampak seiring dengan pertambahan umur yang terjadi. Depresi dapat menjadi manifestasi langsung
dari penyakit somatik atau efek dari pengobatan, reaksi dari diagnosis penyakit kronis, atau dapat terjadi
bersamaan dengan keluhan fisik. Depresi dapat terjadi pada lansia dengan penyakit stroke atau penyakit
kardiovaskular, dan penurunan kemampuan fungsional tubuh lainnya.34
Berdasarkan hasil penelitian Mahyudin dan Angga kurniawan hasil analisis bivariat variabel
riwayat penyakit dengan uji Fisher didapatkan nilai p sebesar 0,018 yang artinya terdapat hubungan
yang bermakna antara riwayat penyakit dengan tingkat depresi pada lansia. Hasil analisis multivariat
menunjukkan bahwa variabel riwayat penyakit bukan merupakan variabel yang sangat berpengaruh
terhadap tingkat depresi lansia, namun variabel ini memiliki syarat untuk masuk dalam seleksi analisis
multivariat dengan nilai p = 0,010 (Omnibus Tests).34

32
2.2.5.8. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan salah satu hal terpenting dalam menghadapi masalah. Semakin
tinggi pendidikan seseorang, semakin banyak pengalaman hidup yang dihadapi, sehingga akan lebih
siap dalam menghadapi masalah yang terjadi. Pada umumnya lansia yang memiliki tingkat pendidikan
yang tinggi masih dapat produktif, sehingga akan banyak memberikan kontribusi seperti menulis buku-
buku ilmiah maupun biografinya sendiri.34
Tingkat pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap kejadian depresi dikarenakan tingkat
pendidikan lansia baik dari SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi akan mempengaruhi kemampuan
lansia dalam mengambil keputusan. Kondisi ini terkadang menjadi penyebab terjadinya depresi
dipengaruhi adanya pengetahuan dan ekonomi dari lansia.34
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sutinah & Maulani pada tahun 2017 didapati
terdapatnya hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian depresi pada lansia di Kabupaten
Sarolangun Provinsi Jambi. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan p=0,032 (p<0,05). Hal ini
dikarenakan pendidikan dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang sehingga semakin tinggi
pendidikan seseorang maka ia akan semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki.38
Berdasarkan hasil penelitian Angga kurniawan tahun 2016 hasil analisis bivariat variabel tingkat
pendidikan dengan uji Fisher didapatkan nilai p sebesar 1,000 yang artinya tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan tingkat depresi pada lansia. Hasil analisis multivariat
menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan bukan merupakan variabel yang berpengaruh terhadap
tingkat depresi pada lansia.34

2.2.5.9. Dukungan Keluarga


Individu yang memperoleh dukungan sosial terbatas lebih berpeluang mengalami kesepian dan
lebih terancam depresi, sedangkan lansia yang memperoleh dukungan sosial yang lebih baik tidak
terlalu merasa kesepian dan peluangnya mengalami depresi menjadi lebih kecil. Dukungan sosial sangat
penting diberikan pada lansia oleh anggota keluarga terutama bagi kesehatan fisik dan emosi lansia.
Lansia yang sering dikunjungi, ditemani, dan mendapatkan dukungan akan mempunyai kesehatan
mental yang lebih baik. Dukungan keluarga yang tidak terpenuhi membuat koping lansia menjadi rentan
terhadap timbulnya masalah kesehatan yaitu depresi dan mudah terkena penyakit.34
Berdasarkan hasil penelitian Hasil analisis bivariate variable dukungan keluarga dengan uji
33
Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p sebesar 0,021 yang artinya terdapat hubungan yang bermakna
antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi lansia. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa
variabel dukungan keluarga merupakan variabel yang berpengaruh terhadap tingkat depresi pada lansia,
dengan nilai p = 0,000 (Omnibus Tests).34

2.2.6. Geriatric Depression Scale (GDS) Brink dan Yesavage


Pengukuran tingkat depresi pada lansia menggunakan Skala Depresi Geriatrik atau Geriatric
Depression Scale (GDS) bentuk singkat oleh Brink dan Yesavage (1983) dalam Maryam dkk,(2008).
GDS berisikan 15 butir pertanyan tentang kejadian-kejadian yang dialami responden. Terdiri dari
pertanyaan favorable pada item nomor 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, 12, 14, 15 dan pertanyaan unfavorable yaitu
pada pertanyaan nomor 1, 5, 7, 11, dan 13. Nilai satu poin untuk setiap respon yang cocok dengan
jawaban ya atau tidak dan respon yang tidak sesuai diberi nilai nol. Poin-poin tersebut dijumlahkan
untuk mengetahui skor total, sehingga jumlah skor total 15 dan skor minimal 0. Kemudian dengan
mengetahui skor total ditentukan tingkatan depresi dengan kriteria : 0 – 4 (tidak ada gejala depresi), 5 –
8 (gejala depresi ringan), 9 – 11 (gejala depresi sedang), dan 12 – 15 (gejala depresi berat) (Sherry,
2012).39

2.2.7. Penatalaksanaan
Semua pasien depresi harus mendapat psikoterapi, dan beberapa memerlukan tambahan terapi
fisik. Jenis terapi bergantung dari diagnosis, berat penyakit, umur pasien, respon terhadap terapi
sebelumnya.
Terapi depresi pada lansia bertujuan untuk :
1. Menurunkan atau menghilangkan tanda gejala
2. Mengembalikan fungsi utama
3. Meminimalkan resiko relaps atau rekurens

Strategis praktis pada individu adalah:


1. Menyusun jadwal pertemuan untuk menjaga kepatuhan dan komitmen
2. Mengetengahkan topik pembicaraan tentang kehidupan social yang umum untuk membangun
hubungan dokter-pasien yang baik

34
3. Secara terfokus membicarakan masalah dan menetapkan sasaran realistis yang dapat dicapai
untuk memberikan arah yang pasti bagi pasien
4. Mendorong pasien terlibat dalam kegiatan yang berarti dan berguna untuk meningkatkan
kemampuan menikmati pengalaman yang menyenangkan
5. Menunjukkan kepedulian melalui sentuhan fisis yang wajar
6. Meninjau kembali apa yang telah dicapai dimasa lalu untuk membangkitkan rasa mampu dan
harga diri.40

2.2.7.1. Non Farmakologi


2.2.7.1.1. Psikoterapi
Psikoterapi yaitu terapi yang digunakan untuk menghilangkan keluhan-keluhan dan mencegah
kambuhnya gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptive. Terapi ini dilakukan dengan jalan
pembentukan hubungan yang professional antara terapis dengan pasien.40

2.2.7.1.1.1. Terapi Kognitif


Ada dugaan bahwa penderita depresi adalah orang yang “belajar menjadi tak berdaya”, depresi
diterapi dengan memberikan pasien latihan keterampilan dan memberikan pengalaman-pengalaman
tentang kesuksesan.41
Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan simptom depresi melalui usaha yang sistematis yaitu
merubah cara pikir maladaptif dan otomatik pada pasien-pasien depresi. Dasar pendekatannya adalah
suatu asumsi bahwa kepercayaan-kepercayaan yang mengalami distorsi tentang diri sendiri, dunia, dan
masa depan dapat menyebabkan depresi. Pasien harus menyadari cara berpikirnya yang salah.
Kemudian dia harus belajar cara merespon cara pikir yang salah tersebut dengan cara yang lebih
adaptif. Dari perspektif kognitif, pasien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan pikiran-pikiran
negatif dan harapan-harapan negatif. Cara ini dipraktikkan di luar sesi terapi dan ini menjadi modal
utama dalam merubah gejala.41

2.2.7.1.1.2. Terapi Perilaku


Intervensi perilaku terutama efektif untuk pasien yang menarik diri dari sosial dan anhedonia.
Terapi ini sering digunakan bersama-sama dengan terapi kognitif. Tujuan terapi peilaku adalah:

35
meningkatkan aktivitas pasien, mengikutkan pasien dalam tugas-tugas yang dapat meningkatkan
perasaan yang menyenangkan.41
 Psikoterapi Suportif memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimistik. Bantu pasien
identifikasi dan mengekspresikan emosinya dan bantu untuk ventilasi. Mengidentifikasi faktor-
faktor presipitasi dan membantu mengoreksi. Bantu memecahkan problem eksternal (misal
masalah pekerjaan, rumah tangga). Latih pasien untuk mengenal tanda-tanda dekompensasi yang
akan datang. Temui pasien sesering mungkin (mula-mula 1-3 kali perminggu) dan secara teratur,
tetapi jangan sampai tidak berakhir atau selamanya. Kenalilah bahwa beberapa pasien depresi
dapat memprovokasi kemarahan terapis (melalui kemarahan, hostilitas, dan tuntutan yang tak
masuk akal, dll).
 Psikoterapi Dinamik adalah teori psikodinamik, yaitu kerentanan psikologik terjadi akibat
konflik perkenbangan yang tak selesai. Terapi ini dilakukan dalam periode jangka panjang.
Perhatian pada terapi ini adalah deficit psikologi yang menyeluruh yang diduga mendasari
gangguan depresi. Misalnya, problem yang berkaitan dengan rasa bersalah, rasa rendah diri,
berkaitan dengan pengalaman yang memalukan, pengaturan emosi yang buruk, defisit
interpersonal akibat tak adekuatnya hubungan dengan keluarga.
 Psikoterapi Dinamik Singkat, sesinya berlangsung lebih pendek. Tujuannya menciptakan
lingkungan yang aman buat pasien. Pasien dapat mengenal materi konfliknya dan dapat
mengekspresikannya.
 Terapi Kelompok memiliki beberapa keuntungan:
- Biaya lebih murah.
- Ada destigmasi dalam memandang orang lain dengan problem yang sama.
- Memberikan kesempatan untuk memainkan peran dan mempraktikkan keterampilan perilaku
interpersonal yang baru.
- Membantu pasien dalam mengaplikasikan keterampilan baru.

Terapi kelompok sangat efektif untuk terapi jangka pendek pasien rawat jalan. Juga lebih efektif
untuk depresi ringan. Untuk depresi yang lebih berat, terapi individu lebih efektif.

 Terapi perkawinan diperlukan karena problem perkawinan dan keluarga sering menyertai
36
depresi. Ia dapat mempengaruhi penyembuhan fisik. Oleh karena itu, perbaikan hubungan
perkawinan merupakan hal penting dalam terapi ini.41
 Psikoterapi berorientasi tilikan memerlukan jangka terapi cukup lama, berguna pada pasien
depresi minor kronik tetentu dan beberapa pasien dengan depresi mayor yang mengalami remisi
tetapi mempunyai konflik.41

2.2.7.2. Farmakologi
Pemilihan jenis obat antidepresi bagi pasien usia lanjut lebih merujuk pada profil efek samping
obat . Preparat sekunder trisiklik ( desipramin, nortriptilin ) masih cukup aman dan efektif untuk
digunakan pada lansia. Antidepresi generasi baru bekerja pada reseptor susunan saraf otak , bersifat
lebih selektif dan spesifik sehingga profil efek sampingnya lebih baik. Jenis – jenis obat
antidepressant:42
1) Tricyclic compound : Amitriptyline, Imipramine, Clomipramine, Tianeptin
2) Tetracyclic compound :Maprotiline, Mianserin, Amoxapine
3) Reversible MAOIs : Moclobemide
4) Serotonin Selective Reuptake Inhibitor / SSRI : Fluoxetin, Sertralin, Paroksetin,
Fluvoksamin, Sitalopram
5) Atypical Antidepresants : Trazodone, Nefazodone, Mirtazepin, Venlafaksin
Saat ini golongan SSRI merupakan obat antidepresi yang dianjurkan sebagai lini pertama
sebagai pengobatan depresi pada lansia. Dari golongan SSRI, Sitalopram dan Sertralin dianggap paling
aman karena kedua obat ini sangat sedikit dimetabolisme oleh isoenzym cytochrome P450, sehingga
mengurangi resiko interaksi obat yang merugikan. Namun SSRI mempunyai efek samping yaitu
keluhan serotoninergic seperti sakit kepala, mual, diare, insomnia dan agitasi psikomotor. SSRI juga
dapat menimbulkan efek samping ekstrapiramidal khususnya pada pasien depresi dengan komorbiditas
penyakit syaraf. Salah satu efek samping berbahaya darin SSRI adalah Central Serotonin Syndrom ,
yang dapat timbul bila digunakan bersama obat-obat yang dapat memacu transmisi serotonin, seperti
MAOIs dan obat-obat dekongestan (phenylpropanolamine). Penggunaan fluvoksamin bersama teofilin
harus dihindari karena dapat menyebabkan takikardi supraventricular yang serius.40
Pasien dengan keluhan insomnia dapat dipilihkan preparat antidepresi yang bersifat sedative
kuat seperti mirtazepin atau trazodone. SSRI dan Tianeptin bersifat non sedative dan dikatakan efektif

37
memperbaiki keluhan gangguan kognitif pada pseudodemensia.Trazodone baik untuk mereka dengan
keluhan disfungsi seksual, tetapi dapat mengakibatkan hipotensi ortostatik.
 Pemberian antidepresi dimulai dengan dosis rendah dinaikkan perlahan-lahan ( start low and go
slow ). Pengobatan antidepresi dibedakan atas tiga fase, yaitu:
 Fase akut yang berlangsung antara 6 -12 minggu. Pada tahap ini dosis optimal obat untuk
memperbaiki gejala depresi diharapkan tercapai.
 Tahap kedua disebut sebagai fase lanjutan yakni dosis optimal dipertahankan selama 4 sampai
dengan 9 bulan untuk mencegah terjadinya relaps.
 Tahap berikutnya disebut terapi rumatan yang dapat berlangsung hingga satu tahun atau lebih.
10
Terapi rumatan diberikan terutama untuk gangguan depresi dengan riwayat episode berulang.
(tatalaksana depresi)

Tabel 1. Obat Antidepresi.42

2.2.7.3. Terapi Elektrokonvulsi (ECT)


Untuk pasien depresi yang tidak bisa makan dan minum , intoleransi terhadap efek samping obat
antidepresi atau gagal terapi, kecenderungan tidak patuh minum obat, berniat bunuh diri atau retardasi
hebat maka ECT diberikan 1-2 kali seminggu pada pasien rawat inap, unilateral untuk mengurangi
problem memori. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan mood ( sekitar 5-10 kali ) dilanjutkan
dengan obat antidepresi untuk mencegah kekambuhan.40

38
2.2.7.4. Perawatan Lanjut dan Asuhan (Home Care)
Pelayanan kesehatan asuhan rumah bagi usia lanjut adalah salah satu unsur pelayanan kesehatan
yang ditujukan untuk kesehatan perorangan atau kesehatan keluarga ditempat tinggal mereka dalam segi
promotif , rehabilitative, kuratif dalam upaya mempertahankan kemampuan individu untuk mandiri
secara optimal. Asuhan rumah bagi para usia lanjut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perawatan dalam menghadapi kondisi tubuh yang makin rapuh atau sakit kronis.
Kunjungan rumah oleh seorang dokter dan atau paramedic sebagai satu tim amat bermanfaat
bagi penderita karena dapat meningkatkan pemahaman menyeluruh penderita dan akan dapat
memberikan pilihan terbaik untuk penderita yang dirawat. Idealnya asuhan rumah dilaksanakan oleh
suatu tim dengan melibatkan dokter keluarga, bila diperlukan dokter spesialis, ahli gizi,
paramedic,caregiver (pramuwerdha), relawan usia lanjut dll. Tujuan umum nya adalah meningkatkan
kualitas hidup usia lanjut, dan tujuan khususnya adalah :
1. Menekan serendah mungkin biaya perawatan kesehatan ( penghematan biaya pemondokan di
RS)
2. Mengurangi frekuensi hospitalisasi dan memperpendek lama perawatan dirumah sakit setelah
fase akut.
3. Meningkatkan usaha promotif , preventif, kuratif dan rehabilitative.
4. Melakukan pencegahan primer, sekunder dan tersier misalnya pemberian imunisasi
Keuntungan / manfaat program lainnya dari asuhan rumah ini bagi pasien depresi dan keluarganya
adalah mengurangi stress akibat perawatan di RS dan pasien lebih mudah berkomunikasi dengan orang-
orang sekitarnya, serta memberikan suasana yang lebih nyaman dan akrab bagi pasien.40

2.2.8. Komplikasi
 Medis: bunuh diri sebanyak > 30.000 per tahun di Amerika Serikat
 Psikososial: berhenti bekerja atau sekolah, isolasi sosial kekerasan dan kegagalan perkawinan
dalam keluarga
 Beberpaa penyakit saraf yang sering disertai depresi: Alzheimer, Parkinson, Stroke, Epilepsi,
Pasca komosio atau kontusio serebri, ALS. 43

39
2.2.9. Prognosis
Depresi pada lansia yang tidak ditangani dapat berlangsung bertahun-tahun dan dihubungkan
dengan kualitas hidup yang jelek, kesulitan dalam fungsi sosial dan fisik, kepatuhan yang jelek terhadap
terapi, dan meningkatnya morbiditas dan mortalitas akibat bunuh diri dan penyebab lainnya. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa depresi pada lansia menyebabkan peningkatan penggunaan rumah sakit
dan outpatient medical services.
Depresi mayor pada lansia setelah masa follow-up yang lebih lama menunjukkan perjalanan
yang kronik pada beberapa penelitian. Penelitian-penelitan menunjukkan bahwa orang-orang yang
pernah memiliki suatu episode depresi mayor cenderung memiliki episode tambahan. Lansia mungkin
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pulih dari depresi dan memiliki waktu untuk relapse yang
lebih singkat daripada orang-orang yang lebih muda.

40
BAB III
DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Teori

 Tingkat ekonomi
Sosial  Dukungan sosial
 Status pernikahan

Faktor
eksternal

Disabilitas

Keseimbangan Depresi pada


Kerapuhan
lansia
Imobilitas
Faktor
internal

 Genetik
Biologi  Jenis kelamin
 Penyakit kronis

Fisik  Riwayat penyakit


sekarang
 Aktivitas sehari-hari
 Penyakit kronis
Psikologis
 Kepribadian
 Gangguan kognitif

41
3.2. Kerangka Konsep
Pada bab ini akan menjelaskan kerangka konsep dan definisi operasional yang dapat
memberikan arah pada pelaksanaan penelitian. Dalam penelitian ini akan digambarkan distribusi
proporsi variabel-variabel penelitian secara sederhana. Variabel-variabel tersebut berupa karakteristik
lansia seperti jenis kelamin, umur, status pernikahan, tingkat pendidikan, keluhan penyakit dan tingkat
depresi yang dialami lansia. Tingkat depresi yang akan diteliti pada lansia diukur dengan menggunakan
skala ukur yang disebut dengan Geriatric Deperession Scale (GDS).

Tingkat Depresi pada


Umur
Lansia
Jenis Kelamin
Status Pernikahan
Status Pendidikan
Riwayat Penyakit

Geriatric Depression Scale

42
3.3. Definisi Operasional
3.3.1. Usia
 Definisi : Lama hidup responden dari lahir sampai saat penelitian dilakukan
 Alat Ukur : Kuesioner
 Cara Pengukuran : Anamnesis
 Hasil Pengukuran :
 Elderly (60-74 tahun)
 Old (75-90 tahun)
 Very old (> 90 tahun)
 Skala : Ordinal
 Koding :
 Elderly (1)
 Old (2)
 Very old (3)

3.3.2. Jenis Kelamin


 Definisi : Tanda fisik yang teridentifikasi pada pasien dan dibawa sejak dilahirkan
 Alat Ukur : Kuesioner
 Cara Pengukuran : Anamnesis
 Hasil Pengukuran :
 Laki-laki
 Perempuan
 Skala : Nominal
 Koding :
 Laki-laki (1)
 Perempuan (2)

43
3.3.3. Status Pernikahan
 Definisi : Status ada atau tidaknya ikatan antara laki-laki dan perempuan yang
terjalin secara sah sesuai dengan agama masing-masing
 Alat Ukur : Kuesioner
 Cara Pengukuran : Anamnesis
 Hasil Pengukuran :
 Berpasangan
 Janda/Duda
 Skala : Nominal
 Koding :
 Berpasangan (1)
 Janda/Duda (2)

3.3.4. Status Pendidikan


 Definisi : Jenjang pendidikan formal yang diselesaikan oleh pasien berdasarkan
ijazah terakhir yang dimiliki
 Alat Ukur : Kuesioner
 Cara Pengukuran : Anamnesis
 Hasil Pengukuran :
- Buta huruf/tidak pernah sekolah/tidak tamat SD/tamat SD atau sederajat/tidak tamat
SMP dan tamat SMP atau yang sederajat : Rendah
- Tamat SMA atau sederajat : Sedang
- Tamat Pendidikan Sarjana atau sederajat : Tinggi
 Skala : Ordinal
 Koding :
 Rendah (1)
 Sedang (2)
 Tinggi (3)

44
3.3.5. Riwayat Penyakit
 Definisi : Keterangan yang menunjukkan ada tidaknya penyakit kronik berat yang
diderita sampai saat ini
 Alat Ukur : Kuesioner
 Cara Pengukuran : Anamnesis
 Hasil Pengukuran :
 Tidak ada riwayat penyakit
 Ada riwayat penyakit
 Skala : Nominal
 Koding :
 Tidak ada riwayat penyakit (1)
 Ada riwayat penyakit (2)

3.3.6. Keluhan Utama Pasien


 Definisi : Keluhan yang dirasakan pasien sehingga menyebabkan pasien datang ke
rumah sakit
 Alat Ukur : Kuesioner
 Cara Pengukuran : Anamnesis
 Hasil Pengukuran :
 Nyeri sendi
 Pusing/Sakit kepala
 Nyeri ulu hati/Lambung
 Skala : Nominal
 Koding :
 Nyeri sendi (1)
 Pusing/Sakit kepala (2)
 Nyeri ulu hati/Lambung (3)

45
3.3.7. Status Pekerjaan
 Definisi : Kegiatan rutin yang dilakukan dalam upaya mendapatkan penghasilan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
 Alat Ukur : Kuesioner
 Cara Pengukuran : Anamnesis
 Hasil Pengukuran :
 Tidak bekerja
 Bekerja
 Skala : Ordinal
 Koding :
 Tidak bekerja (1)
 Bekerja (2)

3.3.8. Tingkat Depresi


 Definisi : Depresi adalah gangguan afek yang sering terjadi pada lansia dan
merupakan salah satu gangguan emosi dengan gejala seperti lansia menjadi kurang
bersemangat dalam menjalani hidupnya, mudah putus asa, aktivitas menurun, kurang nafsu
makan, cepat lelah dan susah tidur di malam hari.
 Alat Ukur : Kuesioner Geriatric Depression Scale-15 (GDS-15)
 Cara Pengukuran : Anamnesis
 Hasil Pengukuran :
 Tidak depresi < 5
 Depresi ≥ 5
 Skala : Nominal
 Koding :
 Tidak depresi (1)
 Depresi (2)

46
47
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif-analitik untuk mengetahui atau
melihat hubungan antara depresi pada lansia serta faktor-faktor yang mempengaruhi lainnya yang
terjadi pada di wilayah kerja Puskesmas Larangan Utara tahun 2019. Pendekatan yang dilakukan pada
penelitian ini menggunakan cross-sectional yaitu penelitian pada pasien lansia yang datang berobat pada
poli lansia serta po pelayanan terpadu (posbindu) di wilayah kerja Puskesmas Larangan Utara.
Pemilihan rancangan ini didasarkan karena mudah dilaksanakan, ekonomis dan efektif dari segi biaya
dan waktu, sedangkan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat dan tepat.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Tempat: Poli Lansia, Puskesmas Larangan Utara
Pos Pelayanan Terpadu (Posbindu), Puskesmas Larangan Utara
Kelurahan Larangan Utara
Kelurahan Larangan Selatan
Kelurahan Larangan Indah
Kelurahan Gaga
Waktu: 04 – 31 Juli 2019

4.3 Populasi Penelitian


4.3.1 Populasi Target
Populasi taget penelitian ini adalah semua pasien lansia di Kecamatan Larangan, Kota
Tangerang.

4.3.2 Populasi Terjangkau


Populasi terjangkau penelitian ini adalah semua pasien lansia yang datang untuk berobat di
Puskesmas Larangan Utara, serta pasien lansia yang datang ke pos binaan terpadu (posbindu) pada
periode 04-31 Juli 2019.

48
4.4 Sampel Penelitian
4.4.1 Besar Sampel
Besar sampel ditentukan melalui rumus di bawah ini, maka didapatkan besar sampel penelitian
sebagai berikut.

Perhitungan besar sampel berdasarkan rumus:


(𝑍 ∝)2 𝑝. 𝑞
𝑁=
𝑑2
Keterangan :
N : Jumlah sampel minimal
Z(α) :Tingkat batas kepercayaan, dengan α = 5 % Didapat Z(α) pada kurva normal = 1,96
d2 : Kesalahan yang dapat ditolerir (10%)
p : Proporsi variabel yang ingin diteliti
q :1-p
Berdasarkan rumus diatas, disajikan proporsi beberapa penelitian :
Variabel p Q N
Usia 0,691 16(3) 0,309 82,02
Jenis kelamin 0,008 17(3) 0,992 3,04
Status pekerjaan 0,009 18(5) 0,991 3,42
Status pernikahan 0,473 22 0,527 95,7
Pendidikan 1,000 22 0 0
Riwayat penyakit 0,010 22 0,99 3,8

4.4.2 Cara Pengambilan Sampel


Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengambilan sampel dengan pengambilan acak
sederhana (Simple Random Sampling). Dimana tiap sampel mempunyai kesempatan yang sama, serta
dalam teknik pengambilannya tanpa memperhatikan strata dan dikarenakan populasinya yang homogen.

4.5 Kriteria Inklusi dan Ekslusi Alur Penelitian


4.5.1. Kriteria Inklusi
 Lanjut usia yang berusia 60 tahun ke atas

49
 Lanjut usia yang tidak mengalami tuna rungu dan tuna wicara karena instrumen yang
digunakan adalah kuesioner wawancara sehingga apabila lansia mengalami masalah tersebut
maka dimungkinkan jawaban akan menjadi bias
 Bersedia menjadi sampel atau responden penelitian yang akan dilakukan

4.5.2. Kriteria Ekslusi


 Lanjut usia yang tidak bersedia menjadi responden penelitian
 Lanjut usia yang memiliki penyakit yang menyebabkan gangguan neurokognitif seperti
penyakit alzheimer, penyakit parkinson, penyakit huntington, demensia
 Lanjut usia yang memiliki penyakit pskiatri major seperti skizofrenia, bipolar

50
4.6 Prosedur Penelitian

Observasi dan identifikasi masalah terbesar di Puskesmas Larangan Utara (17-29


Juni 2019)

Pengajuan konsep dan Persetujuan Mini Project oleh Pembimbing ( 04 Juli 2019)

Desain dan Percetakan Kuisioner (04 Juli 2019)

Pelaksanaan Penelitian (05 -31 Juli 2019)


Pengambilan data dan Pengisian Kuesioner, didahului dengan Informed Consent)

Pengumpulan Data Hasil Penelitian

Pengolahan Data Hasil Penelitian

Penulisan laporan

4.7 Manajemen dan Analisis Data


Data penelitian dicatat dalam formulir penelitian. Setelah dilakukan proses editing don koding
kemudian data akan diolah dalam bentuk tabel sesuai tujuan penelitian. Pengolahan data menggunakan
IBM SPSS 23.
Pengolahan data untuk penelitian ini menggunakan aplikasi SPSS yang terdiri dari beberapa
tahap, yaitu:
1. Editing (pengumpulan data dalam tabel induk)
Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data. Yang diperoleh atau editing

51
dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau setelah data terkumpul.
2. Coding (Memberikan kode pada setiap variabel)
Coding merupakan catatan untuk memberikan kode numerik (angka) terhadap data yang
terdiri atas beberapa kategori.
3. Entri data (membuat tabel distribusi dan tabel silang dalam program SPSS)
Entri data merupakan kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan ke dalam master
tabel atau data base komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana.

4.8 Etika Penelitian


Pada penelitian ini, setiap calon subjek yang diteliti akan diberitahu secara lengkap mengenai
latar belakang, tujuan, manfaat, cara kerja dari penelitian. Semua data yang didapatkan akan dijaga
kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian.

4.9 Organisasi Penelitian


Pembimbing : dr. HJ. Harmayani, MPH
Peneliti : dr. Jennifer
: dr. Andrea Bianca P
: dr. Icha Leandra W
: dr. Diana Atmaja
: dr. Elchim Reza Rezinta
: dr. Safira Indriakasia N

4.10 Rincian Biaya


Alat dan Bahan Penelitian
Nama Barang Kuantitas Satuan Harga Satuan Harga Barang
Fotokopi kuesioner 100 Lembar 250 25.000

52
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab berikut akan menguraikan data hasil penelitian yang diperoleh dari hasil pengumpulan
data terhadap lansia di wilayah kerja Puskesmas Larangan Utara. Penyajian data pada penelitian ini
meliputi hasil penelitian univariate dan bivariate. Hasil analisa univarat merupakan deksripsi
karakteristik responden serta factor factor yang mempengaruhi depresi pada lansia. Hasil analisa
bivariate merupakan analisa Geriatric Depression Scale pada lansia di wilayah kerja Puskesmas
Larangan Utara dengan beberapa variable factor yang mempengaruhinya.

5.1. Hasil Penelitian


5.1.1. Analisa Univariat

Tabel 4.1. Analisa univariat dari sebaran nilai Geriatric Depression Scale pada lansia di wilayah kerja
Puskesmas Larangan Utara periode 04-31 Juli 2019

Tingkat Depresi Frekuensi Persentase (%)


Tidak depresi 41 42.7
Depresi 55 57.3
Total 96 100

53
Tabel 4.2 Analisa univariat Usia, Jenis Kelamin, Status Pernikahan, Status Pendidikan, Riwayat
Penyakit dan Status Pekerjaan pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Larangan Utara periode
04-31 Juli 2019

Variabel Frekuensi Persentase (%)


Usia
Elderly 43 44.8
Old 51 53.1
Very Old 2 2.1
Jenis kelamin
Laki-laki 33 34.4
Perempuan 63 65.6
Status Pernikahan
Berpasangan 47 49
Janda/ Duda 49 51
Status Pendidikan
Rendah 67 69.8
Sedang 23 24.0
Tinggi 6 6.2
Riwayat Penyakit
Tidak ada riwayat 16 16.7
Ada riwayat 80 83.3
Keluhan Utama
Nyeri sendi 48 50.0
Pusing/Sakit kepala 28 29.2
Nyeri ulu hati/Lambung 20 20.8
Status Pekerjaan
Tidak bekerja 64 66.7
Bekerja 32 33.3

54
5.1.2. Analisa Bivariat

Tabel 4.3 Uji statistic antara Usia, Jenis Kelamin, Status Pernikahan, Status Pendidikan, Riwayat
Penyakit dan Status Pekerjaan dengan tingkat depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas
Larangan Utara periode 04-31 Juli 2019

Tingkat Depresi
Variabel Tidak Total Uji Nilai p Ho
Depresi
depresi
Usia
Elderly 21 22 43
Chi square 2.405 Diterima
Old 20 31 51
Very Old 0 2 2
Jenis kelamin
Laki-laki 11 22 33 Fisher’s 0.199 Diterima
Perempuan 30 33 63
Status Pernikahan
Berpasangan 20 27 47 Fisher’s 1.000 Diterima
Janda/ Duda 21 28 49
Status Pendidikan
Rendah 27 40 67
Chi square 0.536 Diterima
Sedang 11 12 23
Tinggi 3 3 6
Riwayat Penyakit
Tidak ada riwayat 9 7 16 Fisher’s 0.274 Diterima
Ada riwayat 32 48 80
Status Pekerjaan
Tidak bekerja 28 36 64 Fisher’s 0.829 Diterima
Bekerja 13 19 32

55
5.2. Pembahasan Analisis Univariat
5.2.1. Analisis Univariat Distribusi Usia pada Lansia di Wilayah Puskesmas Larangan Utara
Berdasarkan tabel penelitian 5.1, didapatkan bahwa rata-rata usia lansia di wilayah Puskesmas
Larangan Utara adalah 75,25 tahun, dengan nilai tengah 75 tahun dan dengan usia termuda adalah 60
tahun dan usia tertua adalah 92 tahun. Dalam hal ini kelompok usia Old (75-90 tahun) merupakan
kelompok terbanyak dan kelompok usia very old (> 90 tahun) merupakan kelompok terkecil. Hal ini
sesuai dengan definisi lansia menurut WHO yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut
usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75-90 tahun dan usia sangat tua (very old) di atas 90
tahun. Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan seseorang
yang berusia di atas 60 tahun.14

5.2.2. Analisis Univariat Distribusi Jenis Kelamin pada Lansia di Wilayah Puskesmas Larangan
Utara
Berdasarkan tabel penelitian , didapatkan bahwa rata-rata jenis kelamin lansia di wilayah
Puskesmas Larangan Utara adalah perempuan sebanyak 63 orang dengan persentase 65,6% sedangkan
laki-laki hanya sebanyak 33 orang dengan persentase 33%. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa
depresi lebih sering terjadi pada wanita. Depresi merupakan endapan dari perasaan cemas yang dapat
dipengaruhi oleh perubahan hormon. Adanya depresi pada wanita berkaitan dengan ketidakseimbangan
hormon pada wanita menambah tingginya prevalensi depresi. Ketidakseimbangan hormon dapat terjadi
pada wanita yang mengalami menopause atau pasca melahirkan. Menopouse yang terjadi dapat
memengaruhi keadaan psikologis pada wanita seperti mudah tersinggung, cepat marah, merasa tertekan,
merasa tidak berguna, mudah lupa, dan dapat mengalami depresi ringan pada masa perubahan hormonal
ini.17 (4)

5.2.3. Analisis Univariat Distribusi Status Pernikahan pada Lansia di Wilayah Puskesmas
Larangan Utara
Berdasarkan tabel penelitian , didapatkan bahwa rata-rata status pernikahan lansia di wilayah
Puskesmas Larangan Utara adalah janda/duda/pasangan telah meninggal dunia yaitu sebanyak 49 orang
dengan persentase 51%, sedangkan untuk yang berpasangan sebanyak 47 orang dengan persentase 49%.
Hal ini sesuai dengan pernyataan individu yang bercerai atau berpisah akan lebih sering mengalami
gangguan depresi mayor jika dibandingkan dengan individu yang menikah atau lajang. Perceraian atau

56
perpisahan yang terjadi akan menimbulkan risiko yang tinggi untuk menderita depresi. Individu yang
tinggal sendiri akan lebih cenderung untuk menderita depresi jika dibandingkan dengan individu yang
tinggal bersama kerabat atau keluarga.22

5.2.4. Analisis Univariat Distribusi Status Pendidikan pada Lansia di Wilayah Puskesmas
Larangan Utara
Berdasarkan tabel penelitian , didapatkan bahwa rata-rata status pendidikan lansia di wilayah
Puskesmas Larangan Utara adalah rendah (Tidak bersekolah/tamat SD/tamat SMP) yaitu sebanyak 67
orang dengan persentase 69,8%, sedangkan untuk status pendidikan sedang (tamat SMA) sebanyak 23
orang dengan persentase 24% dan untuk status pendidikan tinggi (tamat D3/S1) sebanyak 6 orang
dengan persentase 6%. Tingkat pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap kejadian depresi
dikarenakan tingkat pendidikan lansia baik dari SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi akan
mempengaruhi kemampuan lansia dalam mengambil keputusan. Kondisi ini terkadang menjadi
penyebab terjadinya depresi dipengaruhi adanya pengetahuan dan ekonomi dari lansia.22

5.2.5. Analisis Univariat Distribusi Riwayat Penyakit pada Lansia di Wilayah Puskesmas
Larangan Utara
Berdasarkan tabel penelitian , didapatkan bahwa rata-rata lansia di wilayah Puskesmas Larangan
Utara memiliki riwayat penyakit kronis yaitu sebanyak 80 orang dengan persentase 83,3%, sedangkan
untuk lansia yang tidak memiliki riwayat penyakit kronis yaitu sebanyak 16 orang dengan persentase
16,7%. Lansia yang memiliki penyakit kronik selama bertahun-tahun pada umumnya akan menjadikan
lansia lebih mudah untuk terkena depresi. Prevalensi tertinggi terjadi pada lansia dengan riwayat
penyakit jantung yaitu salah satunya sindrom koroner akut. Depresi juga merupakan salah satu faktor
yang signifikan dalam meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. Gejala depresi yang
timbul seringkali tidak diketahui oleh lansia sehingga tidak ada terapi yang diberikan yang
menyebabkan gejala depresi tersebut menetap selama berbulan-bulan.22

5.2.6. Analisis Univariat Distribusi Status Pekerjaan pada Lansia di Wilayah Puskesmas
Larangan Utara
Berdasarkan tabel penelitian , didapatkan bahwa rata-rata status pekerjaan lansia di wilayah
Puskesmas Larangan Utara sudah tidak bekerja sama sekali yaitu sebanyak 64 orang dengan persentase
57
66,7% sedangkan yang masih bekerja sebanyak 32 orang dengan persentase 33,3%. Status bekerja
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya depresi. Berdasarkan World Health Organization (WHO)
2009, prevalensi keseluruhan kejadian depresi pada lansia secara umum bervariasi antara 10-20% hal
ini juga tergantung pada situasi budaya di masing-masing daerah di dunia. Seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk lansia tersebut ditemukan bahwa di tahun 2014 sebanyak 47,44%
lansia Indonesia masih bekerja, 27,88% mengurus rumah tangga, dan kegiatan lainnya sekitar 24,27%
(Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS, 2014). Pekerjaan merupakan salah satu penyebab
terjadinya depresi. Orang dengan pekerjaan berat, sering lembur, dan kurang istirahat sangat beresiko
terkena depresi.18 (5)

5.2.7. Analisis Univariat Distribusi Nilai Geriatric Depression Scale pada Lansia di Wilayah
Puskesmas Larangan Utara
Berdasarkan tabel penelitian , didapatkan rata-rata nilai Geriatric Depression Scale (GDS) pada
lansia di wilayah Puskesmas Larangan Utara adalah 6,06 dengan nilai tengah 6 dengan nilai terendah
adalah 0 (tidak depresi) dan nilai tertinggi adalah 15 (depresi). Dari hasil GDS tersebut didapati lansia
dengan depresi sebanyak 55 orang dengan persentase 57,3% sedangkan lansia tanpa depresi sebanyak
41 orang dengan persentase 42,7%.

5.3. Pembahasan Analisis Bivariat


5.3.1. Analisis Bivariat Hubungan Depresi dengan Usia Lansia di Wilayah Puskesmas Larangan
Utara
Hubungan antara usia dengan depresi pada lansia di wilayah Puskesmas Larangan Utara telah
disajikan dengan menggunakan uji Chi-square. Dari uji Chi-square didapatkan nilai p= 0.300 (p>0,05)
hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima sehingga terdapat adanya hubungan antara usia pada lansia
dengan kejadian depresi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayu Wulandari, Rini
Gusya dan Taufik di Puskesmas Naggalo Padang pada tahun 2018 yang dilakukan terhadap 100 orang
responden didapatkan 55,6% responden berkemungkinan depresi pada rentang usia 75-90 tahun.
Sedangan, pada responden yang berkemungkinan tidak depresi sebesar 51.2% berada pada rentang usia
60-74 tahun.15 (2) jen
Hal ini juga sejalan dengan penelitian oleh Giza Nurul, Eka Nurhayati dan R. Anita didapatkan
bahwa pada kedua kelompok usia yaitu kelompok usia elderly (60-74 tahun) dan kelompok lansia old
58
(75-90 tahun) mayoritas mengalami depresi ringan yaitu masing-masing sebanyak 87,2% dan 92,6%.
Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji Fisher’s Exact menunjukkan tidak ada perbedaan
proporsi yang signifikan antara kelompok usia elderly dengan kelompok usia old terhadap tingkat
depresi. Namun kelompok usia elderly memiliki kejadian depresi berat lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok usia old yaitu masing-masing 12,8% dan 7,4%.16 (3)

5.3.2. Analisis Bivariat Hubungan Depresi dengan Jenis Kelamin Lansia di Wilayah Puskesmas
Larangan Utara
Hubungan antara jenis kelamin dengan depresi pada lansia di wilayah Puskesmas Larangan
Utara telah disajikan dengan menggunakan uji Fisher’s Exact. Dari uji Fisher’s Exact didapatkan nilai
p= 0.199 (p>0,05) hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima sehingga terdapat adanya hubungan antara
jenis kelamin pada lansia dengan kejadian depresi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ayu Wulandari, Rini Gusya dan Taufik di Puskesmas Naggalo Padang pada tahun 2018 yang
menunjukkan bahwa perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan
laki-laki karena angka harapan hidup pada perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.15 (2)
Hasil penelitian yang serupa juga dikemukakan oleh Angga didapatkan dari hasil analisis
bivariat variabel jenis kelamin dengan uji Kolmogorov-Smirnov diperoleh nilai p sebesar 0,021 yang
artinya terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan tingkat depresi pada lansia. 17 (4)

5.3.3. Analisis Bivariat Hubungan Depresi dengan Status Pernikahan pada Lansia di Wilayah
Puskesmas Larangan Utara
Hubungan antara status pernikahan dengan depresi pada lansia di wilayah Puskesmas Larangan
Utara telah disajikan dengan menggunakan uji Fisher’s Exact. Dari uji Fisher’s Exact didapatkan nilai
p= 1.000 (p>0,05) hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima sehingga terdapat adanya hubungan antara
status pernikahan pada lansia dengan kejadian depresi.
Hal ini sejalan dengan Berdasarkan hasil penelitian Angga kurniawan tahun 2016 hasil analisis
bivariat variabel status perkawinan dengan uji Fisher diperoleh nilai p sebesar 0,473 yang artinya tidak
tedapat hubungan yang bermakna antara status perkawinan dengan tingkat depresi pada lansia. Hasil
analisis multivariat menujukkan bahwa variabel status perkawinan bukan merupakan variabel yang
berpengaruh terhadap tingkat depresi pada lansia.22

59
5.3.4. Analisis Bivariat Hubungan Depresi dengan Pendidikan Terakhir Lansia di Wilayah
Puskesmas Larangan Utara
Hubungan antara pendidikan terakhir dengan depresi pada lansia di wilayah Puskesmas
Larangan Utara telah disajikan dengan menggunakan uji Chi-square. Dari uji Chi-square didapatkan
nilai p= 0.765 (p>0,05) hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima sehingga terdapat adanya hubungan
antara status pendidikan terakhir pada lansia dengan kejadian depresi.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutinah & Maulani pada tahun 2017
didapati terdapatnya hubungan antara tingkat pendidikan dengan kejadian depresi pada lansia di
Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan p=0,032 (p<0,05). Hal
ini dikarenakan pendidikan dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang sehingga semakin tinggi
pendidikan seseorang maka ia akan semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki.1931

5.3.5. Analisis Bivariat Hubungan Depresi dengan Riwayat Penyakit Lansia di Wilayah
Puskesmas Larangan Utara
Hubungan antara riwayat penyakit dengan depresi pada lansia di wilayah Puskesmas Larangan
Utara telah disajikan dengan menggunakan uji Fisher’s Exact Dari uji Fisher’s Exact didapatkan nilai
p= 0.274 (p>0,05) hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima sehingga terdapat adanya hubungan antara
riwayat penyakit pada lansia dengan kejadian depresi.
Hal ini sejalan dengan penelitian Mahyudin dan Angga kurniawan hasil analisis bivariat variabel
riwayat penyakit dengan uji Fisher didapatkan nilai p sebesar 0,018 yang artinya terdapat hubungan
yang bermakna antara riwayat penyakit dengan tingkat depresi pada lansia. Hasil analisis multivariat
menunjukkan bahwa variabel riwayat penyakit bukan merupakan variabel yang sangat berpengaruh
terhadap tingkat depresi lansia, namun variabel ini memiliki syarat untuk masuk dalam seleksi analisis
multivariat dengan nilai p = 0,010 (Omnibus Tests).22
Hal ini disebabkan lansia yang memiliki penyakit kronik selama bertahun-tahun pada umumnya
akan menjadikan lansia lebih mudah untuk terkena depresi. Prevalensi tertinggi terjadi pada lansia
dengan riwayat penyakit jantung yaitu salah satunya sindrom koroner akut. Depresi juga merupakan
salah satu faktor yang signifikan dalam meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit jantung.
Gejala depresi yang timbul seringkali tidak diketahui oleh lansia sehingga tidak ada terapi yang
diberikan yang menyebabkan gejala depresi tersebut menetap selama berbulan-bulan.22
60
5.3.6. Analisis Bivariat Hubungan Depresi dengan Status Pekerjaan Lansia di Wilayah
Puskesmas Larangan Utara
Hubungan antara status pekerjaan dengan depresi pada lansia di wilayah Puskesmas Larangan
Utara telah disajikan dengan menggunakan uji Fisher’s Exact. Dari uji Fisher’s Exact didapatkan nilai
p= 0.829 (p>0,05) hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima sehingga terdapat adanya hubungan antara
status pekerjaan pada lansia dengan kejadian depresi.
Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Thompson (2001) mengatakan bahwa ada korelasi antara
tidak bekerja dengan terjadinya depresi (r=0,68) dan pensiun dengan korelasi (r=0,79). Sebab bekerja
ringan dan sedang merupakan bentuk akivitas fisik, yang dapat memperlambat terjadinya penurunan
fungsi tubuh. Lansia yang tidak bekerja sebesar 14,5% menderita depresi sedangkan yang bekerja
secara aktif menderita depresi sebesar 11%. Perilaku hidup yang aktif, berkontribusi dalam peningkatan
kesehatan mental seperti depresi. 19
Hasil serupa juga didapatkan pada penelitian Melisa, Herlina dan Vandri pada tahun 2017
menunjukkan bahwa dari 26 responden yang tidak bekerja, 41,1% mengalami depresi sedang,
sedangkan depresi ringan sebanyak 5,4%, maka ada hubungan status bekerja dengan tingkat depresi.
Dilihat dari OR (Odds Ratio) menunjukkan bahwa responden yang tidak bekerja kemungkinan akan
mengalmai depresi sedang sebanyak 8,8 kali lebih besar dibandingkan responden yang bekerja.18 (5)
Hasil penelitian yang dikemukankan oleh Hwang, Chun, Takeuchi (2005), yang menyebutkan
bahwa 18.7 % lansia yang tidak bekerja mengalami depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Beljouw
(2010) menemukan adanya hubungan yang bermakna antara tidak bekerja dengan kejadian depresi
(p<0.00 : α : 0.001) dimana penelitian menunjukkan lansia yang tidak bekerja berpeluang mengalami
depresi dibandingkan dengan yang bekerja.18 (5)
Sebaliknya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari (2014) mendapatkan bahwa faktor
status pekerjaan memiliki hubungan dengan depresi pada lansia. Dimana lansia yang bekerja (buruh,
petani, swasta dll) sebagian besar mengalami depresi sedang. Berdasarkan uji analisis menggunakan
Spearman Rank menunjukkan nilai signifikasinya 0,009 (p<0,05) artinya hubungan antara status
pekerjaan dengan depresi pada lansia adalah signifikan.18 (5)

BAB VI
61
KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA
62
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 43 Tahun 2004 tentang pelaksanaan upaya
peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia. 2004.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi lanjut usia (lansia) di Indonesia. Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI; 2016.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Analisis lansia di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI; 2017.
4. Sutikno E. Hubungan fungsi dengan kualitas hidup lansia (tesis). Surakarta: Universitas Sebelas
Maret; 2011.
5. Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. Proses menua dan implikasi kliniknya. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor (penyunting). Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid III. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2006. Hlm. 1345-50.
6. Fiske A, Loebach J, Gatz M.2009. Depression in Older Adults. West Virginia
University,USA.https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2852580/pdf/nihms-192082.pdf
7. Kushariyadi, 2011, Asuhan Keperawatan Pada Klien lanjut Usia, Salemba Medika, Jakarta.
8. Pujiastuti, Sri surini, 2003, fisioterapi pada lansia, Jakarta , EGC
9. Azizah. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
10. Uraningsari F, Djalali MA. Penerimaan Diri, Dukungan Sosial dan Kebahagiaan pada Lanjut Usia.
Surabaya: Jurnal Psikologi Indonesia; 2016.h. 15-27
11. Ilham M. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Depresi Lanjut Usia di Desa Pabelan
Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. Surakarta; 2013.
12. Departemen Kesehatan, 2003, Pedoman Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan I,
Kebijaksanaan Program dan II, Materi Pembinaan, Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, Jakarta.
13. Marta, O. F. (2012). Determinan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Mulia 4 Jakarta Selatan. Universitas Indonesia.
14. Dewi, Putri Rossyana & I Wayan Sudhana. Gambaran Kualitas Hidup pada Lansia dengan
Normotensi dan Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Gianyar I Periode Bulan November 2013.
Jurnal Medika Udayana vol. 3 no 9 (2014)
15. Blazer, D.G., 2003. Depression in Late Life: Review and Commentary. J Gerontology Med Sci
58A, No.3: 249-265. Available from: http://focus.psychiatryonline.org/cgi/content/full/7/1/118.
16. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2010). Brunner And Suddarth’s Text
63
Book Of Medical Surgical Nursing. 11th ed. Lippincott Williams & Wilkins, Inc.
17. Townsend, M. C, 2009, Psychiatric Mental Healt Nursing : Concepts of Care in Evidence-
BasedPractice (6th ed.), Philadelphia : F.A. Davis
18. Sadock, B.J. and Sadock, V.A., 2007. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Science/Clinical Psychiatry. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
19. Darmojo & Martono, 2004. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). FKUI: Jakarta, 9, 22
20. Hoyer, W.J. and Roodin, P.A., 2003. Adult Development and Aging. 5th ed. NewYork: McGraw-
Hill
21. W. Lam R, Mok H. Depression Oxford Psychiatry Library. Lunbeck Institutes. 2000. p. 1-57.
22. Anonim. Major Depressive Disorder. [online]. Update 0n 2012. Cited on [13 September 2013]:
Available from : http://www.AllAboutDepression.com
23. Peveler R, Carson A, Rodin G. Depression in medical patients, in Mayou R, Sharpe M, Alan C.
ABC of Psychological Medicine. BMJ Publishing group 2003. p. 10-3.
24. Halverson JL. Depression. [terhubung berkala]. Medscape: 2014
http://emedicine.medscape.com/article/286759-overview [ 01 Maretl 2014]
25. Baldwin DS, Birtwistle J. The Encyclopedia of Visual Medicine Series: An Atlas of Depression.
The Parthenon Publishing Group: 2002
26. Vythilingam M, Chen JBS, Mazure CM, Maciejewski PK, Nelson CJ. Psychotic Depression and
Mortality. Am J Psychiatry 2003; 160:574–576.
27. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Pschyiatry. 8th Ed.
Lippincott Williams & Wilkins:2005
28. Matthew J. An Update on Psychotic Depression. Mental illness – Understanding, Prediction and
Control. USA Harvard Medical School : 2012
29. Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Singkat dari PPDGJ III dan DSM-
V. Jakarta: FK Unika Atmajaya; 2001.
30. Maj M, Sartorius N. Depressive Disorder Second Edition. Evidence and experience in psychiatry.
2002. p. 8-12.
31. Naftali AR, Ranimpi YY, Anwar MA. Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia dalam
Menghadapi Kematian. Salatiga: Buletin Psikologi; 2017.h. 124-125

64
32. Utami AW, Liza RG, Ashal T. Hubungan Kemungkinan Depresi dengan Kualitas Hidup pada
Lanjut Usia di Kelurahan Surau Gadang Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang. Padang:
Jurnal Kesehatan Andalas; 2008.h. 417-23.
33. Shafa GN, Nurhayati E, Indriyata RA. Hubungan Antara Usia dan Jenis Kelamin dengan Tingkat
Depresi pada Lansia di Panti Jompo Kabupaten Karawang Jawa Barat. Bandung: Universitas Islam
Bandung; 2016.h. 623-9.
34. Angga K, Mahyudin SKM, Agus A. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat depresi pada lanjut
usia di panti graha werdha. 2016. Avaliable from:
jurnal.untan.ac.id/index.php/jmkeperawatanFK/article/download/22010/17647+&cd=1&hl=en&ct=
clnk&gl=id.
35. Manoppo ML, Wungouw H, Kallo VD. Hubungan Status Bekerja dengan Tingkat Depresi pada
Lanjut Usia di Jemaat GMIM Kyrios Kawiley Kecamatan Kauditan Minahasa Utara. Sulawesi:
Universitas Sam Ratulangi; 2017
36. Potter, Patricia A. 7th ed. Fundamental od nursing. Mosby: Elsevier; 2009.
37. Spiritual
38. Sutinah, Maulani. Hubungan Pendidikan, Jenis Kelamin dan Status Perkawinan dengan Depresi
pada Lansia. Jambi: Journal Endurnce; 2017.h. 290-216.
39. X
40. Soejono CH, Probosuseno, Sari NK. Depresi pada Pasien Usia Lanjut. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2014.h.3810-6.
41. Nurmiati A. Depresi Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2006.h.134-5.
42. Bonnie. Geriatric depression: The use of antidepressant in the elderly. 2011. Available from: http://
bcmj vol s3 no 7. (accessed September 2011).
43. Nasrun MWS. Hendaya Kognitif Non Demensia pada Populasi “Brain at Risk” bagi Praktisi
Kesehatan. Jakarta: Interna Publishing;2009.h.13-5.

65

Anda mungkin juga menyukai