Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Grave berasal dari nama Robert J. Graves, MD, yang merupakan
orang pertama mengidentifikasi hubungan antara goiter dan eksoptalmus pada
tahun 1835. penyakit grave merupakan penyakit autoimun yang disebabkan oleh
thyroid stimulating antibodies (TSAb) ditandai dengan hipertiroidisme (produksi
berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Penyakit
grave sering disebut juga dengan penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain
untuk pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goiter adalah suatu
pembengkakan atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya
bisa bermacam-macam. (Weetman,2000, Karasek, 2003)
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang
paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur,
sering ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves
yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus),
tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai
oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang (Price dan Wilson, 2005).
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara
pasti. Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam
mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita
penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves
dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya
antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor
Antibody / TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi. (Subekti, 2001).
Diantara pasien-pasien dengan hipertiroid, 60 – 80% merupakan penyakit
grave, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi tiap
tahun pada wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7% per 1000. tertinggi pada
usia 40 – 60 tahun. Angka kejadian penyakit grave 1/5 – 1/10 pada laki-laki
maupun perempuan, dan tidak umum diapatkan pada anak-anak. Prevalensi
penyakit grave sama pada orang kulit putih dan Asia, dan lebih rendah pada orang
kulit hitam (Brent, 2008).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi kelenjar Tiroid

2.1.1 Anatomi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid merupakan kelenjar berwarna merah kecoklatan dan sangat


vascular. Terletak di anterior cartilago thyroidea di bawah laring setinggi vertebra
cervicalis 5 sampai vertebra thorakalis 1. Kelenjar ini terselubungi lapisan
pretracheal dari fascia cervicalis dan terdiri atas 2 lobus, lobus dextra dan sinistra,
yang dihubungkan oleh isthmus. Beratnya kira2 25 gr tetapi bervariasi pada tiap
individu. Kelenjar tiroid sedikit lebih berat pada wanita terutama saat menstruasi
dan hamil. Lobus kelenjar tiroid seperti kerucut. Ujung apikalnya menyimpang ke
lateral ke garis oblique pada lamina cartilago thyroidea dan basisnya setinggi
cartilago trachea 4-5. Setiap lobus berukutan 5x3x2 cm. Isthmus menghubungkan
bagian bawah kedua lobus, walaupun terkadang pada beberapa orang tidak ada.
Panjang dan lebarnya kira2 1,25 cm dan biasanya anterior dari cartilgo trachea
walaupun terkadang lebih tinggi atau rendah karena kedudukan dan ukurannya
berubah1.

Gambar 1. Kelenjar thyroid (tampak depan)


1
I. LOBUS LATERALIS
Setiap lobus kiri dan kanan terdiri dari 3 bagian yaitu :
1. Apex
2. Basis
3. 3 Facies/ permukaan dan 3 Margo/ pinggir
1
1. APEX
a. Berada di atas dan sebelah lateral oblique cartilage thyroidea
b. Terletak antara M.Constrictor inferior (di medial) dan M.Sternothyroideus
(di lateral)
c. Batas atas apex pada perlekatan M.Sternothroideus.
d. Di apex A. Thyroidea superior dan N.Laringeus superior berpisah, arteri
berada di superficial dan nervus masuk lebih ke dalam dari apex
(polus)→Ahli bedah sebaiknya meligasi arteri thyroidea sup.dekat ke
apex.
1
2. BASIS
a. Terletak setentang dengan cincin trachea 5 atau 6.
b. Berhubungan dengan A. Thyroidea inferior dan N. Laryngeus recurrent
yang berjalan di depan atau belakang atau di antara cabang-cabang arteri
tersebut. →Ahli bedah sebaiknya meligasi arteri thyroidea inf. jauh dari
kelenjar.

Gambar 2. Topografi kelenjar thyroid (tampak depan)


3. Facies
1
A. FACIES SUPERFICIAL/ ANTEROLATERAL
Berbentuk konvex ditutupi oleh beberapa otot dari dalam ke luar :
a. M. Sternothyroideus
b. M. Sternohyoideus
c. M. Omohyoideus venter superior
d. Bagian bawah M. Sternocleidomastoideus
1
B. FACIES POSTEROMEDIAL
Bagian ini berhubungan dengan :
a. 2 saluran : larynx yang berlanjut menjadi trachea, dan pharynx berlanjut
menjadi oesophagus.
b. 2 otot : M. Constrictor inferior dan M. Cricothyroideus.
c. 2 nervus : N. Laryngeus externa dan N. Larungeus recurrent.
1
C. FACIES POSTEROLATERAL
Berhubungan dengan carotid sheath (selubung carotid) dan isinya yaitu A.
Carotis interna, N. Vagus, dan V. Jugularis interna (dari medial ke lateral).
1
D. MARGO ANTERIOR
Margo ini memisahkan facies superficial dari posteromedial, berhubungan
dengan anastomose A. Thyroidea superior.
1
E. MARGO POSTERIOR
Bagian ini memisahkan facies posterolateral dari posteromedial,
berhubungan dengan anastomose A. Thyroidea superior dan inferior. Ductus
thoracicus terdapat pada sisi kirinya. Terdapat kelenjar parathyroidea superior
pada pertengahan margo posterior lobus lateralis kelenjar thyroidea tepatnya
di antara true dan false capsule. Setentang cartilage cricoidea dan sebelah
dorsal dari N. Laryngeus recurrent.
Kelenjar parathyroidea inferior letaknya bervariasi, terdapat 3
kemungkinan letaknya :
 Pada polus bawah (inferior) lobus lateralis di dalam false capsule
di bawah A. Thyroidea inferior.
 Di luar false capsule dan di atas A. Thyroidea superior
 Di dalam true capsule pada jaringan kelenjar dan ventral terhadap
N. Laryngeus recurrent.
1
II. ISTHMUS
Isthmus adalah bagian kelenjar yang terletak di garis tengah dan
menghubungkan bagian bawah lobus dextra dan sinistra (isthmus mungkin juga
tidak ditemukan). Diameter transversa dan vertical ± 1,25 cm. Pada permukaan
anterior isthmus dijumpai (dari superficial ke profunda):
a. Kulit dan fascia superficialis
b. V. Jugularis anterior
c. Lamina superficialis fascia cervicalis profunda
d. Otot-otot : M. Sternohyoideus danM. Sternothyroideus.
Permukaan posterior berhubungan dengan cincin trachea ke 3 dan 4. Pada margo
superiornya dijumpai anastomose kedua A. Thyroidea superior, lobus pyramidalis
dan Levator glandulae. Di margo inferior didapati V. Thyroidea inferior dan A.
Thyroidea ima.
1
III. LOBUS PYRAMIDALIS
a. Kadang-kadang dapat ditemui.
b. Jika ada biasanya terdapat di margo superior isthmus, memanjang ke os
hyoidea, atau bisa juga berasal dari lobus kiri atau kanan.
c. Sering didapati lembaran fibrosa atau musculous yang menghubungkan
lobus pyramidalis dan os hyoidea, jika penghubung ini otot dikenal dengan
nama levator glandula thyroidea.
1
IV. CAPSULE KELENJAR THYROIDEA
a. Outer false capsule : Berasal dari lamina pretracheal fascia cervicalis
profunda.
b. Inner true capsule : dibentuk oleh kondensasi jaringan fibroareolar kelenjar
thyroidea.
Pada celah antara kedua capsule tersebut didapati kelenjar parathyroidea,
pembuluh darah.vena yang luas dan banyak.
a. Vaskularisasi
Kelenjar tiroid disuplai oleh arteri tiroid superior, inferior, dan terkadang
juga arteri tiroidea ima dari a. brachiocephalica atau cabang aorta. Arterinya
banyak dan cabangnya beranastomose pada permukaan dan dalam kelenjar, baik
ipsilateral maupun kontralateral. Tiroid superior menembus fascia tiroid dan
kemudian bercabang menjadi cabang anterior dan posterior. Cabang anterior
mensuplai permukaan anterior kelenjar dan cabang posterior mensuplai
permukaan lateral dan medial. tiroid inferior mensuplai basis kelenjar dan
bercabang ke superior (ascenden) dan inferior yang mensuplai permukaan inferior
dan posterior kelenjar.Sistem venanya berasal dari pleksus perifolikular yang
menyatu di permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior2.
b. Sistem Limfatik

Pembuluh limfe tiroid terhubung dengan plexus tracheal dan menjalar sampai
nodus prelaringeal di atas isthmus tiroid dan ke nodus pretracheal serta
paratracheal. Beberapa bahkan juga mengalir ke nodus brachiocephal yang
terhubung dengan tymus pada mediastinum superior2.

Persarafan kelenjar tiroid

 Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior


 Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens
(cabang N.vagus) N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu
operasi, akibatnya pita suara terganggu (stridor/serak)1,2.
2.1.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid

Hormon tiroid dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid memiliki dua
buah lobus, dihubungkan oleh isthmus, terletak di kartilago krokoidea di leher
pada cincin trakea ke dua dan tiga. Kelenjar tiroid berfungsi untuk pertumbuhan
dan mempercepat metabolisme. Pertumbuhan dan fungsi dari kelenjar tiroid
paling sedikit dikendalikan empat mekanisme :

a. sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid klasik, di mana hormon pelepas-


tirotropin hipotalamus (TRH) merangsang sintesis dan pelepasan dari
hormon perangsang-tiroid hipofisis anterior (TSH), yang pada gilirannya
merangsang sekresi hormon dan pertumbuhan oleh kelenjar tiroid;
b. Deiodininase hipofisis dan perifer, yang memodifikasi efek dari T4 dan
T3;
c. Autoregulasi dari sintesis hormon oleh kelenjar tiroid sendiri dalam
hubungannya dengan suplai iodinnya;
d. Stimulasi atau inhibisi dari fungsi tiroid oleh autoantibodi reseptor TSH.3

Thyrotropin-Releasing Hormone
Hormon pelepas-tirotropin (TRH) merupakan sua tu tripeptida,
piroglutamil-histidil-prolineamida, disintesis oleh neuron dalam nuklei supraoptik
dan supraventrikuler dari hipotalamus . Hormon ini disimpan eminensia mediana
dari hipotalamus dan kemudian diangkut via sistem venosa portal hipofisis ke
batang hipofisis ke kelenjar hipofisis anterior, di mana ia mengendalikan sintesis
dan pelepasan dari TSH. TRH juga ditemukan pada bagian lain dari hipotalamus,
otak, dan medulla spinalis, di mana ia berfungsi sebagai suatu neurotransmiter.
Gen untuk preproTRH mengandung suatu unit transkripsi 3.3-kb yang menyandi
enam molekul TRH. Gen ini juga menyandi neuropeptida lain yang secara biologi
kemungkinan bermakna. Pada kelenjar hipofisis anterior, TRH berikatan dengan
reseptor membran spesifik pada tirotrop dan sel pensekresi-prolaktin, merangsang
sintesis dan pelepasan TSH maupun prolaktin. Hormon tiroid menyebabkan suatu
pengosongan lambat dari reseptor TRH hipofisis, mengurangi respons TRH;
estrogen meningkatkan reseptor TRH, meningkatkan kepekaan hipofisis terhadap
TRH.4
Gambar 3. Sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid. TRH dihasilkan di hipotalamus
mencapai tirotrop di hipofisis anterior melalui sistem portal hipotalamus-hipofisis
dan merangsang sintesis dan pelepasan TSH. Baik hipotalamus dan hipofisis, T3
terutama menghambat sekresi TRH dan TSH. T4 mengalami monodeiodinasi
menjadi T3 di neural dan hipofisis sebagaimana di jaringan perifer.
Respons dari tirotrop hipofisis terhadap TRH adalah bimodal : Pertama,
merangsang pelepasan ari hormon yang disimpan; kedua, merangsang aktivitas
gen, yang meningkatkan sintesis hormon. TRH berikatan dengan reseptornya pada
tirotrop dan mengaktivasi suatu protein G, yang pada gilirannya mengaktivasi
fosfolipase c untuk menghidrolisa fosfatidilinositol-4,5-bisfosfat (PIP2) menjadi
inositol-1,4,5-trifosfat (IP3). IP3 merangsang pelepasan dari Ca2+ intraselular,
yang menyebabkan respons letupan pertama dari pelepasan hormon. Secara
serentak, terdapat pembangkitan dari 1,2-diasilgliserol (1,2-DG), yang
mengaktivasi protein kinase C, walaupun bertanggung jawab untuk fase kedua
dan bertahan dari sekresi hormon5.
Peningkatan dalam Ca2+ intraselular dan kinase protein C dapat
melibatkan suatu peningkatan transkripsi . TRH juga merangsang glikosilasi TSH,
yang diperlukan untuk aktivitas biologik penuh dari hormon ini. Dengan demikian
pasien dengan tumor hipotalamus dan hipotiroidisme kemungkinan mempunyai
TSH yang terukur, yang tidak aktif secara biologik. Penelitian in vitro dan in vivo
memperlihatkan bahwa T3 secara langsung menginhibisi transkripsi dari gen
preproTRH dan dengan demikian pula sintesis TRH dalam hipotalamus. Karena
T4 diubah menjadi T3 di dalam neuron peptidergik, maka hal ini juga merupakan
inhibitor yang efektif dari sintesis dan sekresi TRH . TRH dimetabolisir dengan
cepat, dengan suatu waktu paruh hormon yang diberikan secara intravena sekitar 5
menit. Kadar TRH plasma pada orang normal sangat rendah, berentang dari 25
hingga 100 Pg/mL. Sekresi TSH yang dirangsang-TRH terjadi dalam suatu cara
pulsasi sepanjang 24 jam . Subjek normal mempunyai suatu amplitudo pulsa TSH
ratarata sekitar 0,6 U/mL dan suatu frekuensi rerata satu pulsasi setiap 1,8 jam. Di
samping itu, orang normal memperlihatkan irama sirkadian, dengan suatu TSH
serum puncak pada malam hari, biasanya antara tengah malam dan jam 4 pagi.
Puncak ini tidak berhubungan dengan tidur, makan, atau sekresi hormon hipofisis
lain. Irama ini kemungkinan dikontrol oleh suatu "generator pulsa" neuronal.
hipotalamik yang mendorong sintesis TRH dalam nuklei supraoptik dan
supraventrikular. Pada pasien hipotiroid, amplitudo dari pulsa dan peningkatan
nokturnal lebih besar dibandingkan normal, dan pada pasien dengan
hipertiroidisme kedua pulsa dan peningkatan nokturnal mengalami supresi yang
nyata.5
Hormon dan obat-obatan tertentu dapat mengubah sintesis dan pelepasan
TRH. Sekresi TRH distimulasi oleh penurunan T4 atau T3 serum (dengan
penurunan T3 intraneuronal), oleh agonis adrenergik-alfa, dan oleh arginin 12
vasopresin. Sebaliknya, sekresi TRH diinhibisi oleh peningkatan T4 dan T3 serum
(dengan T3 intraneuronal yang meningkat) dan blokade alfa-adrenergik.5

Tirotropin
Thyroid-stimulating hormone (hormon perangsang-tiroid), atau tirotropin
(TSH), merupakan suatu glikoprotein yang disintesis dan disekresikan oleh
tirotrop dari kelenjar hipofisis anterior. Mempunyai berat molekul sekitar 28.000
dan terdiri dari dua subunit yang dihubungan secara kovalen, alfa dan beta.
Subunit alfa lazim untuk dua glikoprotein hipofisis lain, FSH dan LH, dan juga
untuk hormon plasenta hCG; subunit beta berbeda untuk setiap hormon
glikoprotein dan memberikan sifat pengikatan dan aktivitas biologik yang
spesifik. Subunit alfa manusia mempunyai suatu inti apoprotein dari 92 asam
amino dan mengandung satu rantai o ligosakarida Glikosilasi terjadi dalam
retikulum endoplasma kasar dan Golgi dari tirotrop, di mana residu glukosa,
manosa, dan fukosa dan sulfat terminal atau residu asam sialik dihubungkan
dengan inti apoprotein. Fungsi dari residu karbohidrat ini tidak seluruhnya jelas,
tetapi ada kemungkinan bahwa mereka meningkatkan aktivitas biolgik TSH dan
memodifikasi kecepatan bersihan metaboliknya. Contohnya, TSH deglikosilasi
akan berikatan dengan reseptornya, tetapi aktivitas biologinya menurun secara
nyata dan kecepaatn bersihan metaboliknya meningkat dengan nyata. Gen untuk
subunit manusia terletak pada kromosom 6 dan gen untuk subunit manusia pada
kromosom l. Suatu gambaran skematik dari gen subunit dan diberikan dalam
Gambar 4-26. Telah dilaporkan beberapa keluarga dengan suatu titik mutasi
dalam gen TSH, menimbulkan suatu subunit TSH yang tidak berkombinasi
dengan subunit untuk menghasilkan TSH yang aktif secara biologik. Gangguan
ini bersifat autosomal resesif, dan gambaran klinik adalah dari hipotiroidisme non-
goiter. TSH merupakan faktor primer yang mengendalikan pertumbuhan sel tiroid
dan sintesis serta sekresi hormon tiroid : Efek ini dicapai dengan berikatan dengan
suatu reseptor TSH (TSH-R) spesifik pada membran sel tiroid dan mengaktivasi
G protein-adenilil siklase-cAMP dan sistem pemberian sinyal fosfolipase.5
Reseptor TSH telah diklon dan merupakan suatu glikoprotein rantai-
tunggal yang mengandung 744 asam amino; berat molekul dari molekul
glikosilase adalah sekitar 100. Memiliki suatu daerah intraselular dari 346 asam
amino, dengan tujuh ansa transmembran, dan suatu daerah ekstraselular dari 398
asam amino yang mengandung enam tempat glikosilasi dan tiga ikatan disulfida .
Reseptor TSH berbeda dari reseptor hormon glikoprotein lain (contohnya, LH dan
hCG) dengan penyisipan dari suatu rangkaian delapan-asam amino (residu asam
amino 38-45) dan suatu rangkaian 50-asam amino (residu asam amino 317- 366).
Diduga bahwa tempat yang lebih dahulu (38-45) adalah tempat pengikatan TSH
dan tempat yang belakangan mengandung untuk antibodi perangsang reseptor
TSH (TSH-R Ab) karakteristik dari penyakit Graves. Gen TSH-R manusia
terletak pada kromosom 14q31. TSH mengatur mRNA TSH-R, meningkatkan
jumlah dari reseptor TSH pada membran sel tiroid.3,4

TSH Serum
Secara normal, hanya subunit dan TSH utuh ditemukan dalam serum.
Kadar dari subunit adalah sekitar 0,5-2,0 g/L; terjadi peningkatan pada wanita
pascamenopause dan pada pasien dengan TSH-secreting pituitary tumor . Kadar
serum dari TSH adalah sekitar 0,5-5 mU/L; meningkat pada hipotiroidisme dan
menurun pada hipertiroidisme, baik karena endogen ataupun akibat asupan
hormon tiroid per oral yang berlebihan. Waktu-paruh TSH plasma adalah sekitar
30 menit, dan kecepatan produksi harian adalah sekitar 40-150 mU/hari.5

Kontrol Sekresi TSH Hipofisis


Dua faktor utama yang mengendalikan sintesis dan pelepasan TSH adalah kadar
T3 intratirotrop, yang mengontrol mRNA untuk sintesis dan pelepasan TS, dan
TRH, yang mengendalikan glikosilasi, aktivasi, dan pelepasan TSH . Sintesis dan
pelepasan dihambat oleh kadar serum T4 dan T3 yang tinggi (hipertiroidisme) dan
dirangsang oleh kadar hormon tiroid rendah (hipotiroidisme). Di samping itu,
hormon-hormon dan obat-obatan tertentu menghambat sekresi TSH. Dalam hal ini
termasuk somatostatin, dopamin, agonis dopamin seperti bromokriptin, dan
glukokortikoid. Penyakit akut dan kronik dapat menyebabkan penghambatan dari
sekresi TSH selama penyakit aktif, dan kemungkinan terdapat peningkatan balik
dari TSH pada saat pasien pulih. Besarnya efek ini bervariasi; dengan demikian,
obat-obatan yang disebutkan di atas mensupresi TSH serum, tetapi biasanya akan
dapat dideteksi. Sebaliknya, hipertiroidisme akan menghentikan sekresi TSH
sama sekali. Pengamatan ini secara klinik penting dalam menginterpretasi kadar
TSH serum pada pasien yang mendapatkan terapi ini. Lesi atau tumor destruktif
dari hipotalamus atau hipofisis anterior dapat mengganggu sekresi TRH dan TSH
dengan destruksi dari sel-sel sekretori. Hal ini akan menimbulkan "hipotiroidisme
sekunder" akibat destruksi tirotrop hipofisis atau "hipotiroidisme tersier" akibat
destruksi dari TRH-secreting neuron.5
2.2 Definisi
Hipertiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tiroid bekerja
secara berlebihan, sehingga menghasilkan sejumlah besar hormon tiroid.
Hipertiroidisme bisa ditemukan dalam bentuk penyakit Graves, gondok noduler
toksik atau hipertiroidisme sekunder
2.4 Klasifikasi
a. Goiter Toksik Difusa (Graves’ Disease)
Kondisi yang disebabkan, oleh adanya gangguan pada sistem
kekebalan tubuh dimana zat antibodi menyerang kelenjar tiroid, sehingga
menstimulasi kelenjar tiroid untuk memproduksi hormon tiroid terus menerus.
Graves’ disease lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria,
gejalanya dapat timbul pada berbagai usia, terutama pada usia 20 – 40 tahun.
Faktor keturunan juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pada sistem
kekebalan tubuh, yaitu dimana zat antibodi menyerang sel dalam tubuh itu
sendiri.
b. Nodular Thyroid Disease
Pada kondisi ini biasanya ditandai dengan kelenjar tiroid membesar
dan tidak disertai dengan rasa nyeri. Penyebabnya pasti belum diketahui.
Tetapi umumnya timbul seiring dengan bertambahnya usia.
c. Subacute Thyroiditis
Ditandai dengan rasa nyeri, pembesaran kelenjar tiroid dan inflamasi,
dan mengakibatkan produksi hormon tiroid dalam jumlah besar ke dalam
darah. Umumnya gejala menghilang setelah beberapa bulan, tetapi bisa timbul
lagi pada beberapa orang.
d. Postpartum Thyroiditis
Timbul pada 5 – 10% wanita pada 3 – 6 bulan pertama setelah
melahirkan dan terjadi selama 1 -2 bulan. Umumnya kelenjar akan kembali
normal secara perlahan-lahan.

2.5 Etiologi
Lebih dari 95% kasus hipertiroid disebabkan oleh penyakit graves,
suatu penyakit tiroid autoimun yang antibodinya merangsang sel-sel untuk
menghasilkan hormon yang berlebihan.
Penyebab hipertiroid lainnya yang jarang selain penyakit graves adalah:

Tabel 1. Etiologi
2.6 Patofisiologi
Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter
toksika. Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar
dua sampai tiga kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyak
hiperplasia dan lipatan-lipatan sel-sel folikel ke dalam folikel, sehingga
jumlah sel-sel ini lebih meningkat beberapa kali dibandingkan dengan
pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel meningkatkan kecepatan sekresinya
beberapa kali lipat dengan kecepatan 5-15 kali lebih besar daripada normal.
Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada
sesuatu yang “menyerupai” TSH, Biasanya bahan – bahan ini adalah antibodi
immunoglobulin yang disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin),
yang berikatan dengan reseptor membran yang sama dengan reseptor yang
mengikat TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi cAMP dalam sel,
dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien
hipertiroidisme kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI
meningkat. Bahan ini mempunyai efek perangsangan yang panjang pada
kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam, berbeda dengan efek TSH yang hanya
berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon tiroid yang disebabkan oleh
TSI selanjutnya juga menekan pembentukan TSH oleh kelenjar hipofisis
anterior.
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon
hingga diluar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel
sekretori kelenjar tiroid membesar. Gejala klinis pasien yang sering
berkeringat dan suka hawa dingin termasuk akibat dari sifat hormon tiroid
yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas
normal. Bahkan akibat proses metabolisme yang menyimpang ini, terkadang
penderita hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan
sinaps saraf yang mengandung tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme
ini menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15
kali perdetik, sehingga penderita mengalami gemetar tangan yang abnormal.
Nadi yang takikardi atau diatas normal juga merupakan salah satu efek
hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler. Eksopthalmus yang terjadi
merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan
periorbital dan otot-otot ekstraokuler, akibatnya bola mata terdesak keluar.

Gambar 4. Patofisiologi Hipertiroid


2.7 Manifestasi Klinis
Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum termasuk
palpitasi, kegelisahan, mudah lelah dan diare, banyak keringat, tidak tahan
panas, dan senang dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa
penurunan nafsu makan. Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksikosis pada
mata, dan takikardi ringan umumnya terjadi. Kelemahan otot dan
berkurangnya massa otot dapat sangat berat sehingga pasien tidak dapat
berdiri dari kursi tanpa bantuan. Pada anak-anak terdapat pertumbuhan cepat
dengan pematangan tulang yang lebih cepat. Pada pasien diatas 60 tahun,
manifestasi kardiovaskuler dan miopati sering lebih menonjol. Keluhan yang
paling menonjol adalah palpitasi, dispneu d`effort , tremor, nervous dan
penurunan berat badan.4,6,7
Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa
bulan sampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatik.
Manifestasi klinis yang paling sering adalah penurunan berat badan, kelelahan,
tremor, gugup, berkeringat banyak, tidak tahan panas, palpitasi, dan
pembesaran tiroid. Penurunan berat badan meskipun nafsu makan bertambah
dan tidak tahan panas adalah sangat spesifik, sehingga segera dipikirkan
adanya hipertiroidisme.3
Penderita hipertiroidisme memiliki bola mata yang menonjol yang
disebut dengan eksoftalmus, yang disebabkan oleh edema daerah retro-orbita dan
degenerasi otot-otot ekstraokuli. Penyebabnya juga diduga akibat proses
autoimun. Eksoftalmus berat dapat menyebabkan teregangnya N. Optikus
sehingga penglihatan akan rusak. Eksoftalmus sering menyebabkan mata tidak
bisa menutup sempurna sehingga permukaan epithel menjadi kering dan sering
terinfeksi dan menimbulkan ulkus kornea.3
Hipertiroidisme pada usia lanjut memerlukan perhatian khusus sebab
gejala dan tanda sistem kardiovaskular sangat menonjol dan kadang-kadang
berdiri sendiri. Pada beberapa kasus ditemukan payah jantung, sedangkan tanda-
tanda kelainan tiroid sebagai penyebab hanya sedikit. Payah jantung yang tidak
dapat diterangkan pada umur pertengahan harus dipikirkan hipertiroidisme,
terutama bila ditemukan juga curah jantung yang tinggi atau atrium fibrilasi yang
tidak dapat diterangkan. Pada usia lanjut ada baiknya dilakukan pemeriksaan rutin
secara berkala kadar tiroksin dalam darah untuk mendapatkan hipertiroidisme
dengan gejala klinik justru kebalikan dari gejala-gejala klasik seperti pasien
tampak tenang, apatis, depresi dan struma yang kecil.4,7,8

Gambar 5. Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak,
juga dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle
yaitu sebagai berikut :

Indeks Wayne
No Gejala Yang Baru Timbul dan Atau Bertambah Berat Nilai
1. Sesak saat bekerja +1
2. Berdebar +2
3. Kelelahan +2
4. Suka udara panas -5
5. Suka udara dingin +5
6. Keringat berlebihan +3
7. Gugup +2
8. Nafsu makan naik +3
9. Nafsu makan turun -3
10. Berat badan naik -3
11. Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak Ada


1. Tiroid teraba +3 -3
2. Bisisng tiroid +2 -2
3. Eksoftalmus +2 -
4. Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 -
5. Hiperkinetik +4 -2
6. Tremor jari +1 -
7. Tangan panas +2 -2
8. Tangan basah +1 -1
9. Fibrilasi atrial +4 -
10. Nadi terukur
< 80 x/i - -3
80-90 x/i - -
>90 x/i +3 -

Keterangan :
Hipertiroid : > 20
Kemungkinan Hipertiroid : 10 – 20
Tidak Hipertiroid : < 10
Indeks New Castle
No Gejala Derajat Nilai
1. Umur saat timbulnya (tahun) 15-24 0
25-34 +4
35-44 +8
45-54 +12
>55 +16
2. Penceteus psikologis Ada -5
Tidak ada 0
3. Frequent checking Ada -3
Tidak ada 0
4. Severe anticipatory anxiety Ada -3
Tidak ada 0
5. Nafsu makan menurun Ada +5
Tidak ada 0
6. Goiter Ada +3
Tidak ada 0
7. Bruit Tiroid Ada +18
Tidak ada 0
8. Eksoftalmus Ada +9
Tidak ada 0
9. Lid Retraction Ada +2
Tidak ada 0
10. Tremor halus pada jari Ada +7
Tidak ada 0
11. Nadi (permenit) >90 +16
80 – 90 +8
< 80 0
Keterangan :
Euthyroid : -11 sampai +23
Probably Hyperthyroidi : +24 sampai +39
Definite Hyperthyroid : +40 sampai +80
2.8 Diagnosis
1) Gejala Klinis
2) Uji Diagnostik:
1. Pengukuran T4 bebas [FT4] dg radioimunologi ukur LMB
2. Radioimunologi : TSH plasma ( = o)
3. Radioimunologi : TSI   pada tirotoksikosis,  adenoma tiroid

Gambar 6. Uji Diagnosis


Penatalaksanaan Penyakit Graves
Walaupun mekanisme autoimun merupakan faktor utama yang berperan
dalam patogenesis terjadinya sindrom Graves, namun penatalaksanaannya
terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini
dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat Graves disease,
yaitu: penggunaan Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif.
Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya
tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan
respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya1,2.
1. Obat- Obatan
a. Obat anti tiroid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.
Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU 50, 100 mg) dan imidazol
dipasarkan dengan nama metimazol (MTZ 5, 10, 30 mg) dan karbimazol (CBZ 5
mg). Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya
sama dengan metimazol1,3.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis
hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi
iodium, menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul
tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi
ekstratiroid yang utama ialah menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan
perifer (hanya PTU, tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat
konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang
memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan
metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon lebih panjang dibanding
PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis tunggal1,4.
Ada dua metoda yang dapat digunakan dalam pengobatan OAT ini.
Pertama berdasarkan titrasi: mulai dengan dosis besar, kemudian berdasarkan
klinis/ laboratories dosis diturunkan sampai mencapai dosis terendah dimana
pasien masih dalam keadaan eutiroidisme. Kedua sebagai blok-substitusi, dalam
metoda ini pasien diberi dosis besar teus menerus dan apabila mencapai keadaan
hipotiroidisme, maka ditambah hormone tiroksin hingga mencapai eutirodisme
pulih kembali. Rasional cara kedua ini yaitu bahwa dosis tinggi dan lama
pemberian kemungkinan member perbaikan proses imunologik yang mendasari
proses penyakit Graves3.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat
antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid
secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal
pagi hari). Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150
mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg, 1 atau
2 kali sehari. Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole
karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam
penurunan kadar hormon secara cepat pada fase akut dari Graves disease.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis
tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi
selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari1.
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis
tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai
dengan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40
mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat
diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons
pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50mg/hari dan
metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan
klinis eutiroid dan kadar T-4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal
belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan
bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor
penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis.
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan
methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya dapat
berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan1.
Gambar ….. Penggunaan Obat Anti Tiroid. * dosis yang lebih tinggi 30-40
mg/hari dapat diberikan pada pasien dengan hipertiroidisme yang
berat atau goiter yang jelas terlihat membesar4.

Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek


samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping
agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang
dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis
merupakan efek samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium
radioaktif.. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika. Efek samping lain
yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid
antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan
Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum
memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan
tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila
ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan
memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas
pengobatan yang lain seperti 131I atau operasi1.
Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba
ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau
sebaliknya. Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat Graves
disease adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi
remisi1.
Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai
perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis
dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat
mencapai keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis
terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang menetap
dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati dengan Obat Anti Tiroid
bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai berikut1,4 :
a. Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
b. Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian Obat Anti
Tiroid dosis rendah.
c. Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.

Tabel……. Obat Anti Tiroid4


Characteristic Propylthiouracil Methimazole
Half-life 75 min About 4–6 h
Effect on 5′-deiodinase Blocks 5′-deiodinase No effect
Effectiveness (at dose equivalents) ++ +++
Time to achieve euthyroidism Months Weeks
Dosing schedule Twice daily Daily
Side effects
Agranulocytosis Idiosyncratic Dose-dependent
Hepatitis Rare Extremely rare
Vasculitis Rare Extremely rare
Resistance to RAI Common Rare
Minor (13%) Pruritus, rash, arthralgias, fever, sore throat,
mouth ulcers, nausea, jaundice
Major (0.2%–0.5%) Agranulocytosis, hepatotoxicity,* aplastic
anemia,* vasculitis*
* Especially with propylthiouracil.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT-4 (atau FT-3 bila terdapat
T-3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang memberikan efek klinis,
sementara kadar TSH akan tetap rendah, kadang tetap tak terdeteksi, sampai
beberapa bulan setelah keadaan eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis
yang dievaluasi ialah berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata1,3.

b. Obat golongan ß adrenergic antagonis


Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat
bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis
(hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas
melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di samping efek antiadrenergik,
obat penyekat beta ini juga dapat meskipun sedikit menurunkan kadar T-3 melalui
penghambatannya terhadap konversi T-4 ke T-3. Dosis awal propranolol
umumnya berkisar 80 mg/hari1,2.
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat beta
dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan nadolol. Dosis
awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40 mg/hari mempunyai efek
serupa dengan propranolol. Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan
baik. Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit kepala,
insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi ialah kemerahan,
demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat golongan penyekat beta ini
dikontraindikasikan pada pasien asma dan gagal jantung, kecuali gagal jantung
yang jelas disebabkan oleh fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada
keadaan bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam
terapi penghambat monoamin oksidase1,4.

c. Obat-obatan lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiografi contrast,
potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan
kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan
Graves disease. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid,
untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif1.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda
dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan
dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun
jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih
lama lagi. Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan
yang tinggi setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%.
Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan,
kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan1.

d. Pengobatan dengan kombinasi OAT-tiroksin


Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan bahwa angka kekambuhan
renddah yaitu hanya 1,7 % pada kelompok penderita yang mendapat terapi
kombinasi methimazole dan tiroksin dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok
kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole. Protokol pengobatannya
adalah sebagai berikut : Pertama kali penderita diberi methimazole 3 x 10 mg/hari
selama 6 bulan, selanjutnya 10 mg perhari ditambah tiroksin 100 μg perhari
selama 1 tahun, dan kemudian hanya diberi tiroksin saja selama 3 tahun.
Kelompok kontrol juga diberi methimazole dengan dosis dan cara yang sama
namun tanpa tiroksin. Kadar TSH dan kadar TSH-R Ab ternyata lebih rendah
pada kelompok yang mendapat terapi kombinasi dan sebaliknya pada kelompok
kontrol. Hal ini mengisyaratkan bahwa TSH selama pengobatan dengan OAT
akan merangsang pelepasan molekul antigen tiroid yang bersifat antigenic, yang
pada gilirannya akan merangsang pembentukan antibody terhadap reseptor TSH.
Dengan kata lain, dengan mengistirahatkan kelenjar tiroid melalui pemberian
tiroksin eksogen eksogen (yang menekan produksi TSH), maka reaksi imun
intratiroidal akan dapat ditekan, yaitu dengan mengurangi presentasi antigen.
Pertimbangan lain untuk memberikan kombinasi OAT dan tiroksin adalah agar
penyesuaian dosis OAT untuk menghindari hipotiroidisme tidak perlu dilakukan
terlalu sering, terutama bila digunakan OAT dosis tinggi1.
2. Pembedahan (Tiroidektomi)
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan
struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan
eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu,
selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5
tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar
dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih terdapat silang pendapat
mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus diangkat1,3.
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan
oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan
tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli
bedah menyisakan 2-3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan
penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami tiroidektomi
pada Graves disease. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus
recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1%
kasus1,3.

3. Terapi Yodium Radioaktif


Pengobatan dengan yodium radioaktif (I131) telah dikenal sejak lebih dari
50 tahun yang lalu. Radionuklida I131 akan mengablasi kelenjar tiroid melalui
efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan
iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan lain
disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler, dan dalam
perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons inflamasi kronik.
Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah I131 yang ditangkap dan
tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi
hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2-6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1
tahun. Iodine131 dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna
untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi didalam kelenjar tiroid.
Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman, tidak
mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun teratogenik. Tidak
ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari ibu yang pernah
mendapat pengobatan yodium radioaktif1.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil atau
menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan yodium
radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak hamil. Selain
kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut pengobatan dengan yodium
radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang
berpendapat bahwa pengobatan yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk
pasien hipertiroidisme anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini
seringkali kambuh dengan OAT 1.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang
kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena
massa yodium dalam dosis I131 yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat
diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat
penyekat beta dan / atau OAT. Respons terhadap pengobatan yodium radioaktif
terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis I131 dan beberapa faktor lain seperti
faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari1.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian
hipotiroidisme. Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat
jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2
tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya1,2.
Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah1:
a. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya
antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat
dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131
b. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat
jarang terjadi)
c. Gastritis radiasi (jarang terjadi)
d. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak
(leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka
sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua
dengan kemungkinan gangguan fungsi jantung.

Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3


sampai 6 bulan pertama; setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup
dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya
hipotiroidisme1.

4. Pengobatan Oftalmopati Graves


Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis
dalam menangani oftalmopati Graves. Oftalmopati Graves ringan dengan keluhan
fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata
atau lubricating ointments, untuk mencegah dan mengobati keratitis. Hal lain yang
dapat dilakukan adalah dengan menghentikan merokok, menghindari cahaya yang
sangat terang dan debu, penggunaan kacamata gelap dan tidur dengan posisi
kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital. Pada Oftalmopati Graves
lebih berat (3-5%) dibutuhkan pengobatan agresif. Bila Oftalmopati Graves aktif
modus pengobatan adalah glukortikoid dosis besar, radioterapi orbital atau
dekompresi orbital. Apabila keadaan berat namun inaktif, dianjurkan dekompresi.
Diluar pengobatan oftalmologis koreksi terhadap adanya hipotiroid maupun
hipertiroid mutlak diperlukan. Kalau operasi dan OAT tidak berpengaruh terhadap
perjalanan Oftalmopati Graves, radioterapi pada perokok berpengaruh terhadap
progresi Oftalmopati Graves1,3.

5. Pengobatan Penyakit Graves Pada Wanita Hamil


Wanita pasien Grave’s disease sebaiknya tidak hamil dahulu sampai
keadaan hipertiroidisme-nya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin
pada hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan
status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan
dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi
atau tepat di atas normal tinggi. Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih
ketat, terutama pada trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang
dengan mekanisme yang belum diketahui- terdapat penurunan kadar TSHR-Ab
dan peningkatan kadar thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan
keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat antiroid dapat dihentikan.
Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid, tetap dapat menyusui
bayinya dengan aman1.
Sehubungan dengan pengelolaan pada wanita hamil perlu diingat hal
sebagai berikut, yaitu3:
a. Pengobatan radioaktif adalah kontraindikasi
b. Kalau diperlukan operasi dapat dilakukan pada trimester kedua
c. OAT dapat diberikan dengan dosis minimal yang masih efektif (PTU lebih
dianjurkan). Karena aksis tiroid-hipofisis baru mulai berfungsi setelah 12
minggu gestasi, maka penggunaan OAT penuh di trimester pertama masih
aman.
Tabel …. Pengobatan Untuk Krisis Tiroid4
Treatment Dose and route Action
ß- blockers:
Propranolol - 1 mg/min IV (as required) and 60–80 Antagonizes effects of
mg every 4 h po or by NG tube increased adrenergic tone,
Esmolol (alternative) - 250–500 μg/kg IV followed by IV blocks T4-to-T3 conversion
infusion 50–100 μg/kg per min

Thionamides:
Propylthiouracil - 800–1000 mg po immediately, then Blocks new thyroid hormone
200 mg every 4 h po or by NG tube synthesis, blocks T4-to-T3
Methimazole (alternative) - 30 mg po immediately, then 30 mg conversion
every 6 h po or by NG tube (propylthiouracil only)

Iodinated contrast agents:*


Iopanoic acid or ipodate - 0.5–1.0 g/d po or by NG tube Blocks T4-to-T3 conversion,
blocks thyroid hormone
release (via iodine release)

Iodine:
Lugol’s solution - 10 drops tid po or by NG tube Blocks thyroid hormone
or SSKI - 5 drops every 6 h po or by NG tube release
or Sodium iodide - 0.5–1.0 g IV every 12 h

Glucocorticoids:
Hydrocortisone - 100 mg IV every 8 h Blocks T4-to-T3 conversion,
or Dexamethasone - 2 mg IV every 6 h Immunosuppression
Note: IV= intravenously, po= by mouth, NG = nasogastric, T4 = thyroxine, T3 = triiodothyronine,
SSKI = saturated solution of potassium iodide, tid = three times a day. *Limited availability.
Gambar …. Tatalaksana Penyakit Graves2
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Graves (goiter difusa toksika) yang merupakan penyebab tersering


hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai predisposisi
genetik yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria,
terutama pada usia 20 – 40 tahun.
Gambaran klinik klasik dari penyakit graves adalah tri tunggal
hipertiroidisme, goiter difus dan eksoftalmus. Pada anak-anak, terjadi peningkatan
pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Pada penderita usia tua (>60
tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi
kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea d’effort,
tremor, nervous dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH. Bila T3
dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar
hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan penunjang lain
seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) jarang dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid
(Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut yang dapat mengancam jiwa penderita
hipertiroidisme.
Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves,
yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dengan Tiroidektomi dan Terapi Yodium
Radioaktif dengan (I131). Pada keadaan oftalmopati grave diperlukan kerjasama
yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam menangani oftalmopati
Graves. Bila Oftalmopati Graves aktif modus pengobatan adalah glukortikoid
dosis besar, radioterapi orbital atau dekompresi orbital namun apabila keadaan
berat tetapi inaktif, dianjurkan dekompresi.
Pada wanita dengan Grave’s disease sebaiknya tidak hamil dahulu sampai
keadaan hipertiroidisme-nya diobati dengan adekuat, karena angka kematian janin
pada hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga dengan
status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat antitiroid dengan
dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada kisaran angka normal tinggi
atau tepat di atas normal tinggi.

Anda mungkin juga menyukai