Anda di halaman 1dari 10

”Pengembangan Jaringan Jalan Untuk Mendukung Peningkatan Pelayanan Publik”.

Oleh : Soedarmadji Koesno

Disampaikan Pada Lokakarya KNTJ Ke 8 Dengan Tema Konferensi


“Peningkatan Pelayanan Publik Melalui Investasi Bidang Jalan Yang Efektif Dan
Efisien”

Ruang Teluk Jakarta Hotel Mercure Convention Center, Ancol Jakarta


05 September 2007.

1. Pendahuluan

Sektor infrastruktur hakekatnya adalah merupakan salah satu sektor yang sangat vital untuk
memacu pertumbuhan ekonomi, yang pada dasarnya sektor infrastruktur adalah merupakan
sektor antara yang menghubungkan berbagai jenis sektor atau subsektor ekonomi,
khususnya sub sektor prasarana jalan sebagai salah satu subsektor infrastruktur selain
fungsi yang dimaksud juga mempunyai fungsi lain yaitu fungsi aksesibilitas untuk
menghubungkan daerah terisolir, sebagai pemicu untuk membuka daerah kurang
berkembang, serta fungsi memberikan mobilitas untuk memacu daerah yang telah
berkembang.

Sebagai tema KNTJ ke 8 yaitu “Peningkatan Pelayanan Publik Melalui Investasi Bidang
Jalan Yang Efektif dan Efisien”, tema yang dimaksud adalah cukup baik dan sangat
mengena, tetapi apakah tema yang dimaksud sebetulnya apakah tidak sudah merupakan
suatu hal yang seharusnya wajib dilakukan atau dituju oleh setiap bentuk investasi. Lebih
jauh lagi didalam sesi Lokakarya juga disajikan salah satu paparan dengan judul yang lebih
spesifik lagi yaitu “Pengembangan Jaringan Jalan Untuk Mendukung Peningkatan
Pelayanan Publik”, serupa dengan tema KNTJ ke 8 bahwa judul paparan inipun juga sudah
merupakan hal yang seharusnya, yaitu bahwa setiap penanganan suatu jalan mulai dari
segmen, ruas sampai jaringan pada dasarnya adalah berusaha memberikan pelayanan
kepada masyarakat akan jaringan jalan. Disini kita tidak akan bahas permasalahan tema
KNTJ dan judul paparan lokakarya karena hal tersebut sudah ditetapkan dan kiranya juga
merupakan keputusan panitia dengan telah mempertimbangkan dari segala aspek, tujuan
dan manfaat KNTJ.

Kembali kepada rumus dasar bahwa transportasi adalah turunan pertama dari kebutuhan,
sedang prasarana dan sarana transportasi dari ketiga matra adalah turunan pertama dari
transportasi, selanjutnya prasarana dan sarana moda transportasi darat adalah turunan
pertama dari matra darat dan turunan selanjutnya adalah jaringan jalan. Sedangkan
kebutuhan itu sendiri adalah turunan pertama penduduk. Terkait dengan penduduk ada dua
aspek yang melekat dan saling mempengaruhi yaitu “pertumbuhan” dan “tingkat sosial” atau
“tingkat ekonominya”, kedua aspek terkait dengan penduduk yang dimaksud adalah sangat
tergantung kepada skenario dari bangsa ini kedepan, apa yang menjadi visi dan misi,
bagaimana strategi pencapaiannya, berapa ukuran kuantitatif dari “end goal” yang ingin
dicapai.

Mengutip dari Buku RENSTRA Departemen Pekerjaan Umum halaman 9 bahwa terkait
dengan aspek tingkat sosial sesuai dengan RPJM-N (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional) tahun 2005 s/d 2009 telah ditetapkan sebagai sasaran pertumbuhan
ekonomi adalah berkisar antara 5.5 % s/d 7.6 % pertahun dengan rata – rata petumbuhan

Paper Lokakarya KNTJ-8 tahun 2007 Halaman 1 dari 10


setiap tahunnya adalah 6.6 %, selanjutnya untuk mencapai target yang dimaksud salah satu
komitmen nasional yang disusun oleh pemerintah adalah melakukan percepatan
pembangunan infrastruktur, karena pembangunan infrastruktur tersebut telah diyakini dapat
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dengan porsi cukup signifikan
dengan elastisitas infrastruktur terhadap perubahan output (PDB – Produk Domestik Bruto)
berkisar antara 0.07 % hingga 0.44 %. Tetapi disini tidak jelas apakah besaran angka
kontribusi sampai 0.44 % merupakan kontribusi dari seluruh sektor infrastruktur termasuk
telekomunikasi, energi, pelabuhan dan lapangan terbang atau hanya dari sektor infrastruktur
bidang ke PU-an, hal ini perlu dikaji lebih lanjut.

Perlu diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi diusahakan dapat mencapai angka sampai 6.6
%/tahun juga tidak akan ada artinya jika pertumbuhan penduduk tidak di batasi, sebab
semua hasil pembangunan akan habis untuk memenuhi kebutuhan dasarnya saja, tidak ada
tabungan nasional untuk meningkatkan modal, maka itu tidak kalah pentingnya salah satu
aspek terkait dengan penduduk yaitu pertumbuhannya juga sudah harus ditetapkan,
mengacu kepada ceramah Ketua BKKBN – Sugiri Syarief pada forum Musyawarah Nasional
Ikatan Penulis Keluarga Berencana di Jakarta, dinyatakan bahwa penduduk Indonesia saat
sekarang (tahun 2007) adalah sekitar 220 juta, dengan pertumbuhan 3.2 – 4.0 juta jiwa
pertahun atau sekitar 1.45 % - 1.81 % pertahun, dalam hal untuk mempertahankan target
pertumbuhan penduduk tersebut menurut Ketua BKKBN juga masih sangat tergantung
kepada keberhasilan Program KB (Keluarga Berencana), disini ada 3 (tiga) proyeksi
terhadap pertumbuhan penduduk Indonesia sampai dengan tahun 2015 sebagai berikut :
 Jika peserta KB meningkat 1 %/tahun, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015
akan mencapai sekitar 237.8 juta jiwa.
 Jika tidak ada peningkatan peserta KB atau dengan kata lain peserta KB adalah
konstan maka pada tahun 2015 penduduk Indonesia akan mencapai 255.5 juta jiwa.
 Sebaliknya jika peserta KB sampai turun menjadi 0.5 %/tahun, maka jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2015 akan lebih meningkat lagi yaitu menjadi sekitar
264.4 juta jiwa.

Disini sangat jelas sekali bahwa muara akhir dari dari pergerakan penduduk untuk
melakukan segala macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhannya, dimana kebutuhan dan
intensitas pergerakan itu sendiri adalah sangat erat terkait dengan tingkat sosial
ekonominya, sangat membutuhkan adanya sarana dan prasarana transportasi, dan
pelayanan jaringan jalan disini adalah merupakan salah satu dan sangat utama didalam
mendukung kebutuhan akan transportasi yang dimaksud, khususnya transportasi jalan,
maka itu aspek efisien dan efektifitas harus merupakan aspek yang harus menjadikan
perhatian institusi Pembina Jalan didalam pemberian pelayanan kepada publik atau
masyarakat pengguna jalan akan prasarana jalan..

Didalam tulisan ini akan dibahas atau diulas sejauh mana Institusi Penyelenggara Jaringan
jalan telah melakukan tanggung jawabnya didalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat akan prasarana jalan selama ini ditinjau dari berbagai aspek terhadap produk
menejemen penyelenggaraan jaringan jalan yaitu input, output, outcome dan
manfaat/impact, yang pada gilirannya dapat diukur sejauh mana derajat efektifitas dan
efisiensi dari investasi dibidang jalan sesuai dengan judul paparan yang telah ditetapkan,
yang pada akhirnya bermuara kepada sejauh mana derajat pelayanan publik dalam bidang
jalan yang selama ini dapat diberikan oleh penyelenggara jalan.

Paper Lokakarya KNTJ-8 tahun 2007 Halaman 2 dari 10


2. Pelayanan publik dari sub sektor jalan.

Sesuai dengan yang telah diuraikan didalam bab pendahuluan, bahwa pelayanan publik di
bidang prasarana jalan adalah bagaimana memberikan kemudahan kepada masyarakat
pengguna jalan sehingga dapat memberikan pelayanan yang prima khususnya untuk
distribusi lalu – lintas barang dan manusia dan jalan juga merupakan pembentuk struktur
ruang wilayah. Publik disini juga bukan hanya terbatas kepada pengguna jalan tetapi
termasuk yang mendapatkan manfaat dari adanya sarana dan prasarana jalan dan lebih
dikatagorikan sebagai pemanfaat tidak langsung dan sebagai pemanfaat langsungnya
adalah pengguna jalan/transportasi.

2.1. Pelayanan akhir jalan bukan produk dari single aktor.

Produk akhir dari pelayanan di bidang jalan adalah bukan merupakan hasil dari single aktor
tetapi merupakan hasil dari berbagai aktor dan saling keterkaitan dan ketergantungan serta
saling mempengaruhi, antara lain Departemen Perhubungan, Direktorat Jenderal Bina
Marga, Kepolisian khususnya Direktorat Lalu Lintas Polri, Pemerintah Daerah dan
masyarakat itu sendiri. Masing masing aktor mempunyai tanggung jawab sampai pada
derajat pelayanan tertentu sesuai dengan aspek yang menjadi tanggung jawabnya, lebih
jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut :

 Departemen perhubungan mempunyai tanggung jawab memberikan arahan nasional


jangka panjang dan menengah akan kebijakan, skenario dan pengembangan serta
pembangunan transportasi nasional dan telah tertuang misalnya dalam format Sistranas,
yang seharusnya juga diikuti dengan adanya Sistrawil, Sistraprov dan bahkan sampai
Sistrakab/Sistrakot.

 Ditrektorat Jenderal Perhubungan Darat mempunyai tanggung jawab didalam


menentukan kebijakan, pengembangan jangka panjang dan menengah akan transportasi
moda darat, disini lebih ditekankan akan skenario sharing pengembangan yang
bagaimana antar moda transportasi darat antara jalan raya, jalan kereta api, angkutan
umum dan ferry, dengan tetap mengarah ke aspek efisiensi dan efektifitas total, bukan
sekedar efisiensi dan efektifitas per individu moda.

 Direktorat Jenderal Bina Marga mempunyai tanggung jawab pengembangan dan


pembangunan jaringan jalan yang merupakan jabaran atau turunan kebijakan dan
skenario Sistranas serta harus dapat menghasilkan suatu jaringan jalan yang handal
secara efisien dan efektif.
 Sedangan Kepolisian dalam hal ini Direktorat Lalu – Lintas Polri mempunyai tanggung
jawab didalam aspek keselamatan dan keamanan lalu – lintas secara umum melalui
penegakan hukum dan perundangan yang terkait.
 Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab didalam aspek pemanfaatan,
pengawasan dan pemeliharaan kawasan sepanjang jaringan jalan jangan sampai
memberikan kontra produksi dari sasaran dan tujuan dari penyelenggaraan transportasi
dan penyelenggaraan jaringan jalan itu sendiri.
 Selanjutnya masyarakat baik langsung maupun tidak langsung sebagai pengguna jalan
juga dituntut tanggung jawabnya untuk mematuhi pengaturan dan perundangan terkait
dengan penyelenggaraan jaringan jalan, khususnya dari segi pemanfaatan jangan
sampai mengurangi akan fungsi dan peran jalan yang seharusnya.

Paper Lokakarya KNTJ-8 tahun 2007 Halaman 3 dari 10


2.2 Pelayanan publik bidang jalan dilihat dari berbagai perspektif.

Perihal pelayanan publik dari bidang jalan disinipun sangat banyak ukurannya tergantung
dilihat dari perspektif siapa, dari sisi penyedia, penegak regulasi, penegak peraturan
perundangan atau pengguna adalah sangat berbeda. Tetapi secara teoritis kesemua bentuk
pelayanan yang terkait dengan bidang jalan dari berbagai pemangku kepentingan atau aktor
seharusnya terintegrasi secara solid dan dapat mengerucut kesatu tujuan akhir dan terukur
yaitu kearah efisiensi dan efektifitas secara jaringan atau nasional dan merupakan produk
kumulatif dari masing – masing actor dengan tujuan yang tunggal yaitu memberikan
pelayanan terhadap public yang optimal bahkan maksimal.

Walaupun saat ini secara politis sudah ditetapkan bahwa sebagai acuan kepemerintahan
adalah berorientasi kepada aspek pelayanan yang prima kepada masyarakat atau publik,
bahkan sistem pertanggungan jawab penggunaan keuangan negara juga harus berbasis
kinerja, tetapi kenyataan dilapangan, ternyata praktek – praktek pelaksanaan
kepemerintahan dari semua sektor belum sepenuhnya mengikuti kaidah yang dimaksud.

Pelayanan publik di bidang jalan dari perspektif penyedia prasarana jalan dalam hal ini
adalah Direktorat Jenderal Bina Marga berikut seluruh jajarannya termasuk institusi
Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang jalan, ukuran pelayanan publik masih
sebatas out – put atau keluaran yang sifatnya masih memberikan informasi keberhasilan
diukur dari besaran fisik yang dilakukan, adapun apakah semua hasil yang dimaksud sudah
memenuhi dan dirasakan peningkatan manfaatnya secara terukur untuk masyarakat belum
nampak.

Lebih jelasnya didalam RENSTRA (revisi) Departemen Pekerjaan Umum halaman 71,
secara jelas di nyatakan bahwa Indikator Kinerja Kegiatan tingkat keberhasilannya adalah
ditunjukkan dengan indikator out-put, adapun yang dimaksud dengan indikator kinerja out-
put untuk kegiatan di bidang jalan adalah meliputi

 Panjang jalan yang dibangun/ditingkatkan,


 Panjang jembatan yang dibangun/ditingkatkan,
 Panjang jalan yang dalam dalam masa pemeliharaan rutin dan berkala
 Panjang jembatan yang dalam masa pemeliharaan rutin dan berkala
 Jumlah DED (Design Engineering Document) jalan dan jembatan
 Jumlah NSPM jalan dan jembatan dan
 Jumlah model, teknologi, uji coba skala teknis dan rekomendasi teknis bidang jalan
dan jembatan.

Memang ada istilah lanjutan yang dipergunakan didalam mengukur kinerja penyelenggaraan
jaringan jalan yaitu dengan apa yang disebut Indikator Kinerja Sasaran yang meliputi :

 Aksesibilitas orang, barang dan jasa di kawasan sedang berkembang meningkat.


 Mobilitas orang, barang dan jasa meningkat,
 Kecepatan maupun kenyamanan mobilitas manusia, barang dan jasa meningkat
 Kemampuan struktur dan kapasitas jalan nasional bukan tol meningkat dan
 Waktu tempuh meningkat.

Menjadi pertanyaan adalah apakah dengan semua out-put yang dimaksud, masyarakat betul
– betul sudah mendapatkana pelayanan dibidang jalan yang seharusnya, belum lagi jika
diukur terhadap sejauh mana efektifitas dan efisiensi atau rasio antara besaran out – put dan

Paper Lokakarya KNTJ-8 tahun 2007 Halaman 4 dari 10


cost, lebih lanjut lagi jika dipertanyakan akan satuan rupiah per satuan kenyamanan
pelayanan di bidang jalan.

Hal yang serupa kiranya tidak jauh berbeda tentang perpsektif atau ukuran pelayanan
kepada publik terkait bidang prasarana jalan dari pemangku kepentingan yang lain yaitu
perspektif dari sisi Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Direktorat Lalu Lintas Polri, dan
pemerintah Pemerintah Daerah.

3 Produk pelayanan sektor jalan dari sisi Direktorat Jenderal Bina Marga

Karena penyediaan jaringan jalan seperti yang telah diuraikan terdahulu adalah merupakan
salah satu turunan dari transportasi yang kebijakan dan rencana pengembangannya secara
nasional sudah ditetapkan didalam Sistranas, maka Direktorat Jenderal Bina Marga didalam
penyelenggaraan jaringan jalan harus selalu mengacu dan menginduk kepada acuan
nasional yang dimaksud, walaupun secara institusi berada di dalam lingkungan Departemen
Pekerjaan Umum.

Sebetulnya ada dua aspek utama yang terkait dengan pelayanan publik di bidang jalan pada
tataran keluaran atau produk yaitu : (1) Efektifitas/efisiensi Penetapan Jaringan (Road
Network Development) dan (2) Efektifitas/efisiensi Penanganan Jaringan (Road Network
Preservation), dan masing – masing dapat diuraikan sebagai berikut :

3.1 Efektifitas dan efisiensi jaringan.

Yang paling utama dari yang utama dan yang sangat menentukan serta mempengaruhi
terhadap langkah maupun kebijakan selanjutnya berikut hasil akhir penyelenggaraan
jaringan jalan adalah penetapan jaringannya (Road Network Development), penetapan
jaringan disini secara teoritis sudah ada acuan bakunya yaitu UU No.38 Tahun 2004
Tentang Jalan berikut PP – nya. Step awal didalam penentuan jaringan jalan adalah
menetapkan dari aspek fungsi atau perannya, peran arteri dan kolektor 1 ditetapkan oleh
Menteri Pekerjaan Umum, peran kolektor 2, kolektor 3, kolektor 4, lokal dan lingkungan
ditetapkan oleh Gubernur, begitu pula untuk peran arteri, kolektor, lokal dan lingkungan
untuk sekunder ditetapkan oleh Gubernur.

Dengan telah adanya penetapan peran atau fungsi dari setiap ruas jalan yang ada, maka
untuk membagi tanggung jawab penyelenggaraannya ditetapkan status administrasinya,
dimana dalam hal ini ruas jalan dengan peran arteri dan kolektor 1 sebagai jalan nasional
ditetapkan dan menjadi tanggung jawab Menteri Pekerjaan Umum, ruas dengan peran jalan
kolektor 2 dan kolektor 3 menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi dan ditetapkan oleh
Gubernur, sedang sisa jaringan dengan peran kolektor 4, local dan lingkungan primer
menjadi tanggung jawab dan ditetapkan oleh Bupati, sedang untuk ruas-ruas jalan didalam
wilayah kota (sistem sekunder) dengan peran arteri, kolektor, local dan lingkungan menjadi
tanggung jawab pemerintah kota dan ditetapkan oleh Walikota.

Memang semakin padat jaringan akan semakin memberikan kemudahan kepada publik dari
aspek aksesibiltas, artinya semakin memperpendek jarak tempuh baik untuk penumpang
(passenger-Km) maupun barang (ton-km), tetapi membawa implikasi semakin tinggi
pembiayaan yang diperlukan untuk menyelenggarakannya, dari perspektif publik adalah
mengharapkan yang pertama, sedang implikasinya adalah yang selalu dihindari oleh
penyelenggara jalan, kuncinya adalah bagaimana diantara kedua kutub kepentingan
tersebut dicari titik temu yang paling optimal dan ideal memberikan pelayanan kepada publik
tetapi jaringan jalan tersebut juga masih mampu diselenggarakan oleh pemerintah. Hal ini

Paper Lokakarya KNTJ-8 tahun 2007 Halaman 5 dari 10


sering dilupakan, hampir setiap daerah cenderung untuk memperluas jaringan dengan
segala alasan, yang pada gilirannya tidak mampu untuk memelihara secara
berkesinambungan.

Secara sederhana uraian tersebut diatas dengan mudah dapat diilustrasikan dalam Gambar
1 berikut ini .

Gambar 1 : Hubungan kepadatan jaringan vs Pass-Km/Ton-Km

Pass-Km/Ton-Km Dari gambar sangat jelas bahwa semakin


tinggi kepadatan jaringan dalam suatu
wilayah (km/Km2), maka akan
memberikan semakin rendah jumlah Pass-
Pass-Km/Ton-Km
Km/Km2 Km/Ton-Km, tetapi untuk penyelenggaraan
jaringan jalannya diperlukan dana yang
sangat tinggi, disini diperlukan suatu
exercise dengan menggunakan beberapa
model atau simulasi untuk menghasilkan
suatu jaringan yang paling optimal, artinya
memberikan Pass-Km/Ton-Km yang
Kepadatan jaringan (km/Km2)
rasional dan jaringan jalannya mampu
dipelihara sesuai kemampuan.

Secara teoritis, setiap wilayah kabupaten, kotamadya, provinsi bahkan per pulau serta
secara wilayah nasional, titik pertemuan tersebut harus dicari, karena pada titik tersebut
adalah yang menghasilkan suatu kepadatan jaringan jalan yang paling optimal dilihat dari
aspek kemampuan pendanaan (rupiah/km) dan aspek pelayanan (pass-km/ton-km) serta
yang paling mempunyai nilai ekonomis investasi yang optimal pula.

3.2 Efektifitas dan efisiensi penanganan jaringan.

Setelah jaringan jalan dalam setiap wilayah kabupaten, kotamadya, provinsi serta wilayah
nasional telah ditetapkan dengan kaidah-kaidah seperti tersebut, selanjutnya tinggal
menetapkan penanganan yang bagaimana diberikan kepada setiap ruas bahkan segmen
jalan sesuai dengan beban lalu – lintasnya. Disinipun terjadi dua kutub kepentingan yang
saling berlawanan, sebagai publik atau masyarakat pengguna jalan pasti mengharapkan
bahwa seluruh jaringan jalan dalam keadaan yang “baik”, dalam arti bias dilalui sepanjang
tahun, lancar, aman dan sebagainya. Sedang dari sisi penyelenggara jalan sangat berat
untuk menjawabnya karena keterbatasan dan yang ada. Identik dengan penetapan jaringan
diantara kedua kutub kepentingan tersebut pasti ada titik temu yang memberikan hasil yang
optimal bagi keduanya.

Sebetulnya ada suatu rumus dasar yang harus selalu dipergunakan didalam penanganan
jaringan (road preservation) bahwa sebagai “objective function” didalam penyelenggaraan
jalan adalah harus menghasilan “total transport cost” yang minimum, sehingga didapat
“saving transport cost revenue” yang maximum, sedang yang dimaksud dengan total
transport cost adalah “RUC – Road User Cost” sebagai beban pengguna jalan ditambah
“RPC – Road Preservation Cost” yang merupakan beban penyelenggara jalan/pemerintah,
jelasnya dapat dijelaskan dalam Gambar 2.

Jadi tugas utama penyelenggara jaringan jalan diseluruh tingkatan, tidak lain adalah,
didalam menyusun program penanganan jaringannya harus mengikuti kaidah tersebut, dan

Paper Lokakarya KNTJ-8 tahun 2007 Halaman 6 dari 10


semua itu sudah tertuang didalam sistem baku manajemen pembinaan jalan dalam format
IRMS, URMS, KRMS dan sebagainya, tinggal sejauh mana semua sistem yang dimaksud
dimanfaatkan selama ini.

Gambar 2 : Hubungan antara RUC vs RPC

RUC (Rp/Pass-km dan Rp/Ton-Km) Dari ilustrasi gambar disamping sangat


RPC (Rp/Km)
jelas bahwa semakin baik kualitas jaringan
maka RUC menurun tajam, begitu pula
Safing Transport Cost Revenue
sebaliknya, tetapi juga semakin baik
kualitas jaringan diperlukan dana (RPC)
Total Transport Cost yang tidak sedikit, dari kedua kutub
kepentingan yang dimaksud, pasti dan
RUC RPC harus dapat dicari titik temunya, sebab
pada titik temu tersebut didapat qualitas
jalan yang ideal secara ekonomis dan
memberikan pelayanan dalam format RUC
yang paling rasional dan menghasilkan
total transport cost terendah, yang pada
gilirannya menghasilkan Safing Transport
Road Network Quality) Cost tertinggi.

4. Kinerja produk penyelenggaraan jaringan jalan selama ini

Setelah pada bab 1,2 dan 3 diuraikan akan arti pelayanan publik berikut perspektif dari
setiap pemangku kepentingan akan pelayanan itu sendiri serta apa yang seharusnya
dilakukan oleh penyelenggara jalan, selanjutnya disini akan kita ulas kinerja
penyelenggaraan jaringan jalan khususnya “jaringan jalan nasional” selama ini, dari
beberapa aspek secara kuantitatif.

Tanpa mengurangi penghargaan maupun rasa hormat kepada seluruh jajaran


penyelenggara jaringan jalan nasional baik ditingkat pusat maupun daerah, ulasan disini
diberikan dalam rangka untuk mengingatkan kembali bahwa penyelenggara jaringan jalan
seharusnya dapat menjawab, sejauh mana efisiensi dan efektifitas termasuk manfaat dan
dampak yang dapat diberikan serta memberikan kontribusi secara nasional terhadap
ekonomi makro, artinya berapa rupiah kembalinya dari setiap Rp yang diinvestasikan
dibidang jalan, jadi bukan sebatas sekian km/meter jalan/jembatan di pelihara, ditingkatkan
dan seterusnya. Disinipun kami tidak mencantumkan identitas tahun terhadap data yang
kami pergunakan didalam exercise setiap aspek yang ditinjau, yang penting adalah pola
pendekatan untuk mengetahui ukuran kinerja secara kuantitatif terhadap penyelenggaraan
jalan.

4.1 Indikator kinerja dilihat dari kerusakan dini dari besaran prosentase kemantapan.

Sesuai dengan batasan-batasan engineering atau batasan teknis penanganan jalan yang
dipergunakan didalam sistem manajemen jalan (IRMS) dan masih memenuhi koridor aspek
ekonomis serta juga masih valid/berlaku sampai saat ini, dapat diilustrasikan dalam Tabel 1,
batasan penanganan yang dimaksud adalah sesuai dengan kondisi awal dan beban lalu –
lintasnya termasuk pertumbuhannya.

Paper Lokakarya KNTJ-8 tahun 2007 Halaman 7 dari 10


Berdasarkan batasan – batasan teknis tersebut dalam Tabel1, serta dengan menggunakan
rumus deterioration model dan kenaikan kapasitas akibat pertumbuhan lalu lintas yang ada
dari setiap segmen/ruas didapat angka-2 mantap dan ketidak mantapan jalan (dalam
prosen) untuk tahun kedua ketiga sampai dengan tahun keempat berdasarkan data kondisi
dan kapasitas pada tahun pertama, dan dapat dilihat dalam Tabel 2.

Tabel 1 : Batasan teknis penanganan jalan.

Vol LL(AADT)
(Kend/Hari) <1000 1000-3000 3000-8000 8000-10000 10000-20000 >20000
Lebar Perk.
(m) 4.5 4.5 6.0 7.0 7.0 2 x 7.0
Lebar Bahu
(m) 1.0 1.0 1.5 2.0 2.0 2.0
Nilai IRI
Tidak mantap > 12.0 > 10.0 > 8.00 > 8.0 > 6.0 > 6.0
Mantap sdg 4.0 – 12.0 3.5 – 10.0 3.0 – 8.0 3.0 – 8.0 2.5 – 6.0 2.5 – 6.0
Mantap skl 0.0 – 4.0 0.0 – 3.5 0.0 – 3.0 0.0 – 3.0 0.0 – 2.5 0.0 – 2.5

Tabel 2 : Daftar ketidak mantapan tahun survai dan prediksinya

Diskripsi Tahun Data Seharusnya yang terjadi pada tahun - tahun


Kemantapan Sbg Tahun 1 Ke 2 Ke 3 Ke 4 Ke 5
Jalan Mantap 77.50 69.00 64.50 60.00 56.5
Tidak Mantap
Krn Kondisi 15.30 5.95 3.40 3.15 2.70
Krn Kapasitas 7.20 2.55 1.10 1.35 0.80
Total per thn 22.50 8.50 4.50 4.50 3.50

Kumulatif/th 22.50 31.00 35.50 40.00 43.50


Total jaringan 100 % 100 % 100 % 100 % 100 %

Angka kemunculan jalan tidak mantap pada tahun ke 2, ke 3 sampai dengan tahun ke 5
adalah dengan asumsi tetap mendapat pemeliharaan pemeliharaan rutin sesuai dengan
asumsi model, dan jalan yang tidak mantap pada tahun pertama ditangani. Tetapi dengan
menggunakan beberapa tahun data hasil survai dengan asumsi sudah ada program
penanganan jalan, ternyata setiap dianalisa dengan menggunakan cara dan model yang
sama tetap menghasilkan pola angka yang hampir sama, artinya selalu tinggi angka ketidak
mantapan pada tahun pertama (tahun data).

Dari angka tersebut sudah dapat menunjukkan bahwa sekitar 12.6 % jaringan jalan nasional
telah mengalami kerusakan dini dengan segala sebab yang ada.

4.2 Indikator kinerja dilihat dari aspek kerusakan dini dengan besaran IRI.

Dengan menggunakan data yang sama, serta dengan model deterioration yang sama pula,
dapat hitung besaran IRI yang seharusnya terjadi tanpa penanganan dibandingkan dengan
IRI yang ada dan terjadi setelah adanya penanganan.Disini nilai IRI awal adalah
berdasarkan data hasil survai, kemudian berdasarkan IRI awal dan beban lalu – lintas yang
ada serta menggunakan rumus/model deterioration dapat diprediksi kenaikan IRI pada tahun
ke n+1, ke n+2 dan seterusnya lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 : Nilai kondisi tahun survai dan prediksi kedepannya dalam satuan IRI.

Diskripsi tahun survai Prediksi kenaikan nilai IRI pada tahun ke n+1 dan seterusnya
data tahun awal Tahun ke 1 Tahun ke 2 Tahun ke 3 Tahun ke 4 Tahun ke 5

Paper Lokakarya KNTJ-8 tahun 2007 Halaman 8 dari 10


Th ke 1 sbg th awal data 6.12 6.64 7.20 7.82 9.49
Th ke 2 sbg th awal data 5.28 5.77 6.31 6.90
Th ke 3 sbg th awal data 5.94 6.30 6.69
Th ke 4 sbg th awal data 5.62 6.01
Th ke 5 sbg th awal data 5.64

Dari angka diatas kalau dilihat khususnya pada tahun ke 3, berdasarkan data awal tahun ke
2 nilai IRI = 5.28, jika tanpa penanganan artinya hanya dengan pemeliharaan rutin sesuai
dengan kaidah sistem maka prediksi IRInya akan naik (kondisinya menurun) menjadi 5.77,
tetapi dengan adanya penanganan pada tahun ke 2, hasil survai tahun ke 3 nilai IRInya
malahan lebih tinggi, disini sangat nampak bahwa hasil penanganan tidak mampu
meningkatkan kondisi tetapi lebih kepada menutup kerusakan dini yang terjadi, bahkan
itupun tidak mampu, untuk tahun yang lain juga masih perlu dipertanyakan, dengan sejumlah
program yang ada apa betul hanya segitu kemampuan meningkatkan kondisi jaringan jalan.

4.3 Indikator kinerja dilihat dari besaran rupiah persatuan penurunan IRI (Rp/IRI-Km).

Dengan pemikiran sederhana bahwa setiap jenis program penanganan jalan adalah
“penggelontoran IRI” kepada jaringan, sebaliknya beban lalu – lintas dan lingkungan adalah
“draining” / penyedotan IRI, sehingga tinggi elevasi “bendung” IRI adalah kondisi nyata yang
terjadi yaitu yang merupakan data hasil survai.

Dengan mengetahui besaran program penanganan jaringan (bang, ting, Pm dan RM) sesuai
dengan model dan formula yang dipergunakan didalam sistem dapat dihitung besaran IRI-
Km yang digelontorkan, dikombinasikan dengan besaran dana keseluruhan untuk
penyelengaaran jaringan jalan, dapat diperoleh besaran satuan dana untuk setiap IRI-Km
sebagai berikut dalam Tabel 4.

Tabel 4 : Satuan dana per satuan IRI-Km (Juta rupiah/IRI-Km)

Tahun ke 1 Tahun ke 2 Tahun ke 3 Tahun ke 4 Tahun ke 5


68.68 655.58 150.30 272.88 545.84

Dari angka-angka tersebut dalam Tabel 4, sangat terlihat adanya in konsistensi besaran
dana untuk menghasilkan setiap satuan IRI-Km dari tahun ke tahun, artinya sangat fluktuatif
tanpa pola yang jelas, hal tersebut adalah dapat disebabkan adanya kualitas hasil yang tidak
seperti yang diharapkan berikut terjadinya beberapa ruas jalan yang mengalami kerusakan
dini dengan segala sebabnya.

4.4 Indikator kinerja dilihat dari besaran angka ICOR investasi.

Untuk indikator ini, kami langsung saja mengutip dari presentasi salah satu eselon III dari
Direktorat Bina Program Jalan, Direktorat Jenderal Bina Marga pada acara Workshop
Sosialisasi IIRMS (Indonesian Integrated Road Management System) di Gedung PKBI
Jakarta tanggal 13 – 15 Desember 2006, dimana dinyatakan bahwa dengan kenaikan
investasi di bidang jalan sebesar 1 (satu) Trilyun rupiah, akan menaikkan kecepatan tempuh
secara rata – rata nasional sekitar 0.45 km/jam, meningkatkan kondisi jalan dalam satuan IRI
sebesar 0.22 m/km atau mm/m dan dapat menurunkan RUC (Road User Cost) senilai 0.83
trilyun rupiah. Yang menjadi pertanyaan kenaikan kecepatan tempuh dan peningkatan
kondisi tersebut apakah merupakan angka rata – rata secara nasional untuk seluruh jaringa
jalan (nasional, provinsi,kabupaten dan kota) atau hanya untuk jalan nasional.

Paper Lokakarya KNTJ-8 tahun 2007 Halaman 9 dari 10


Perihal out come dalam bentuk saving RUC sekitar 0.83 rupiah untuk setiap kenaikan
investasi senilai 1 (satu) rupiah, adalah perlu dipertanyakan, sebab merupakan rule of thumb
bahwa seluruh program penanganan jalan harus secara ekonomis memberikan angka IRR >
15 %, kalau angka tersebut benar adanya maka berarti ada sesuatu yang salah didalam
skenario investasi didalam penyelenggaraan jalan.

Dari uraian sebelumnya, bahwa angka-angka tersebut adalah sangat berkorelasil langsung
dengan semua indikator yang telah diuraikan pada butir 4.1, 4.2 dan 4.3, dengan kata lain
terjadi “sesuai yang kurang “ dan perlu keberanian untuk mengkaji secara jujur terhadap
semua kondisi penyelenggaran jalan selama ini. Lebih jauh lagi yang selama ini disetiap
seminar, simposium, workshop dan sambutan selalu didengungkan bahwa sektor
transportasi khususnya sub sektor jalan adalah merupakan dukungan yang sangat vital
untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi dengan melihat angka tersebut apakah tidak
sebalikknya, yaitu sub sektor jalan bahkan menjadi beban ekonomi.

5. Kesimpulan

 Berdasarkan data dan informasi resmi termasuk yang tercantum didalam Renstra
Direktorat Jenderal Bina Marga, kelihatannya kinerja penyelenggaraan jaringan jalan
disemua tingkatan masih diukur sebatas tataran keluaran atau out-put, belum menjamah
ketataran out-come, manfaat apalagi impact atau dampak, termasuk nilai ICOR yaitu
satuan rupiah yang dihasilkan dari setiap rupiah investasi dibidang jalan.
 Sistem manajemen yang ada sepengetahuan kami adalah sudah sangat memadai
(IRMS, URMS, KRMS, LVRMS termasuk IBMS) bahkan sangat maju, tetapi belum
dimanfaatkan secara optimal, bahkan terkesan ditinggalkan dengan segala alasan, hal ini
sangat disayangkan, akibatnya semua program yang dihasilkan pada gilirannya tidak
dapat diukur kembali akan derajat efisiensi dan efekifitasnya apalagi out come dan
impactnya.
 Sebagai sistem manajemen jalan, semua asumsi dan batasan teknik yang dipergunakan
adalah sudah baku dan tertentu, contohnya umur rencana peningkatan diambil antara 7
– 10 tahun, pemeliharaan berkala antara 3-5 tahun, dalam hal ini dengan adanya
kendala pembiayaan, dengan sistem yang sama dapat dikembangkan untuk membuat
berbagai skenario penanganan jalan dengan tetap mempertahankan pelayanan seperti
yang ditetapkan diawal janjinya dalam Renstra.
 Semua model, formula maupun asumsi dan hipotesa yang dipergunakan didalam sistem
manajemen jaringan jalan, walaupun mengadopsi dari HDM-III bahkan HDM-IV, tetapi
sudah dikalibrasi sesuai dengan kondisi Indonesia, jadi disini tidak alasan untuk
menyalahkan modelnya, rumusnya maupun asumsinya
 Untuk semua itu diperlukan adanya time series data yang “feeding” atau masukan sistem
manajemen jalan, dan data yang dimaksud harus benar, akurat dan setiap tahun atau
setiap periode tertentu dilakukan survai dengan penuh tanggung jawab dan perhatian,
selama ini data-data yang ada masih belum memadai, bahkan terkesan tidak disurvai.
 Dengan pembenahan akan semua tersebut diatas, pada gilirannya penyelenggara jalan
dapat memberikan suatu pelayanan di bidang jalan kepada publik secara memadai,
rasional, terukur dan dapat dipertanggung jawabkan.

Paper Lokakarya KNTJ-8 tahun 2007 Halaman 10 dari 10

Anda mungkin juga menyukai