STATUS
KEDOKTERAN KELUARGA
Kasus Infeksi : Demam Dengue (Dengue Fever)
Pembimbing :
dr. Rubayat Indradi, M.OH
dr.Fallis Dasita
Oleh:
Nurcahyani
201610401011056
I. IDENTITAS
A. PENDERITA
B. AYAH PENDERITA
C. IBU PENDERITA
An.NR/ 6 An.NA/3 th
th/TK
`
Status Keterangan
Nama Usia Pekerjaan Hubungan Keluarga
No Sex Perkawinan Domisili Serumah
(Inisial) (Bln/Th) (deskripsi lengkap) (S, I, AK, AA)
(TK, K, J, D)
Ya Tdk
1 An.NR P 6 th Tidak bekerja Pasien TK √ -
2 Tn. RE L 33 th Karyawan Swasta Ayah Kandung K √ -
3 Ny. SM P 28 th Ibu Rumah Tangga Ibu kandung K √ -
4 An. NA P 3 th Tidak Bekerja Adik Kandung TK √
5 Tn.RW L 60 th Pensiunan Pengairan Kakek kandung K - √
6 Ny. JU P 56 th Ibu Rumah Tangga Nenek Kandung K - √
7 Tn.AL L 60 th Petani Kakek Kandung K - √
8 Ny.RB P 53 th Petani Nenek Kandung K - √
9 Tn.RU L 35 th Guru Paman Pasien K - √
10 Ny.MU P 39 th Ibu Rumah Tangga Bibi Pasien K - √
11. Ny.MY P 36 th Ibu Rumah Tangga Bibi Pasien K - √
12. Ny.MT P 34 th Ibu Rumah Tangga Bibi Pasien K - √
13. Ny.MW P 19 th Ibu Rumah Tangga Bibi Pasien K - √
`
STATUS MEDIS
Anamnesis
KU : Demam
Pasien datang ke IGD RSI Aisyiyah Nganjuk dengan keluhan panas badan. Panas
sejak 5 hari yang lalu. Panas tinggi, tidak sampai menggigil, panas turun ketika
diberi obat penurun panas, beberapa jam kemudian panas naik lagi. Pusing (+),
badan lemes, mimisan (-), gusi berdarah (-). Panas juga disertai batuk dan pilek
sejak 5 hari yang lalu, batuk tidak berdahak, pilek berwarna bening. nyeri
tenggorokan (-) sesak (-). Mual, muntah (+) 5 hari yang lalu, sebanyak 2 kali.
Nyeri perut disangkal nafsu makan menurun. BAK dan BAB dalam batas normal.
Pasien pernah demam tetapi bila diberi obat penurun panas biasanya suhu turun
Anggota keluarga dirumah seluruhnya sedang menderita flu saat pasien mulai
sakit.
Riwayat Sosial :
- Pasien sehari hari bersekolah di Taman Kanak-kanak saat pagi hari, dan
BCG +
Campak : +/+
Hepatitis B : +/+/+/+
Imunisasi Tambahan : -
Pemeriksaan Fisik
- Rhinorea : (-)
- Pembesaran KGB (-)
Thorax
- Normochest, simetris, retraksi (-/-)
- Cor : S1 S2 tunggal, murmur (-) gallop (-)
- Pulmo : Vesikuler +/+, Ronchi (-/-) , wheezing (-/-)
Abdomen :
- Auskultasi : Bising usus (+) N
- Inspeksi : datar, massa (-)
- Palpasi : supel, distensi(-),Hepar/Lien/Renal kesan tidak teraba, turgor
baik
- Perkusi : meteorismus (-)
Extremitas :
- CRT < 2 detik
- Akral hangat : +/+
+/+
Rumple Leed test (+)
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap
o Hb : 11,8 g%
o Leukosit : 8.600
o Trombosit : 94.000
o Hct : 34.1 %
o Eritrosit : 4.600
o MCV : 74,6 fL
o MCH : 26,3 pg
o MCHC : 35 g/L
`
Serologi
Tes Widal
1 Promotif
Pasien dibawa berobat ke dokter umum di dekat rumah oleh orang tuanya
ketika ada keluhan kesehatan dan minum obat sesuai yang diresepkan oleh Rasional
3 Kuratif
dokter tersebut.
4 Rehabilitatif Ibu pasien berusaha tetap menjaga asupan gizi anaknya ketika sakit dan sehat Rasional
`
STATUS SOSIAL
1 Fisik - Sumber penerangan : listriik. Lampu di beberapa ruangan dirumah kurang terang, termasuk di kamar
tidur pasien. Sirkulasi udara di kamar pasien kurang baik karena tidak ada ventilasi.
- MCK : 1 di dalam rumah, terpisah antara tempat untuk mandi dan untuk BAB. Kebersihan di kamar
mandi kurang terjaga. Bak mandi dikuras ketika terlihat kotor saja.
- Terdapat beberapa ember berisi air di dekat dapur dan ruang cuci dirumah pasien yang tidak terutup dan
dapat menjadi sarang nyamuk
- Tanah dan bangunan milik sendiri (milik Nenek Buyut Pasien)
2 Biologi Terdapat hewan peliharaan yaitu burung, sangkarnya berada di dalam rumah
- Sumber Air berasal dari sumur
3 Kimia - Sampah biasanya dibuang di tempat sampah depan rumah.
Pasien merupakan anak yang ceria. Sehari-hari pasien jarang bermain keluar rumah selain saat sekolah dan
4 Sosial mengaji, lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV di rumah.
`
-
5 Budaya
- Pasien merupakan anak yang ceria
6 Psikologi
- Pendapatan keluarga diperoleh pendapatan Ayah pasien, yaitu 3,5 juta per bulan
7 Ekonomi - Kebutuhan per bulannya sekitar Rp.2,5-3jt untuk kebutuhan makan, biaya listrik , bensin dan sekolah
anak.
`
terdekat..
posyandu terdekat.
2 Klinis: Preventif:
Diagnosis kerja: Demam Dengue (A91). 1. Perbanyak istirahat (tidur yang cukup minimal 8 jam sehari)
Diagnosis banding: - 2. Konsumsi makanan sehat dan bergizi, teratur 3 kali sehari, minum
bunga, tempat minum burung, dan penampung air kulkas agar telur
sampai kotor
Menutup rapat semua wadah air agar nyamuk Aedes aegypti tidak
pintu rumah dan jendela pada siang hari agar sirkulasi udara baik,
`
sarang nyamuk.
nyamuk
4 Eksternal: Rehabilitatif:
- Terdapat beberapa ember berisi air di dekat dapur
- Istirahat yang cukup
dan ruang cuci dirumah pasien yang tidak
- Banyak minum air putih
terutup dan dapat menjadi sarang nyamuk
- Makan-makanan bergizi
- Pencahayaan di beberapa ruangan dirumah
kurang terang, termasuk di kamar tidur pasien,
`
1.1 Epidemiologi
paling penting pada manusia. Penyakit ini menjadi pusat perhatian kesehatan
dan kerugian sosial ekonomi yang besar. Secara global diperkirakan bahwa 50
hingga 100 juta kasus demam berdarah terjadi setiap tahun di hampir setengah
Pasifik. Dengue juga menjadi penyebab kematian pada 20.000 jiwa setiap tahun.
telah meningkat lebih dari 3 kali per tahun dengan 67 hingga 136 juta kasus setiap
tahun dengan manifestasi klinis yang beragam dalam berbagai tingkat keparahan.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyebab utama rawat inap dan
kematian pada anak-anak. Indonesia adalah salah satu negara yang oleh WHO
perkotaan. Indonesia adalah Negara beriklim tropis yang sesuai untuk vektor
populasi berisiko dengue di seluruh dunia yang tinggal di negara anggota WHO
wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat, menderita hampir 75% dari beban
penyakit global saat ini disebabkan oleh demam berdarah dengue (WHO, 2009).
jumlah kematian 816 orang (Indeks Rate/IR= 37,27 per 100.000 penduduk dan
Case Fatality Rate/CFR= 0,90 %). Jumlah kasus penyakit DBD terbanyak
terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 19.663 kasus diikuti oleh Jawa Timur (8.177
kasus), Jawa Tengah (7.088 kasus) dan DKI Jakarta (6669 kasus). Keempatnya
Jumlah penderita DBD pada tahun 2013, yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus
dengan jumlah kematian 871 orang (Incidence Rate/Angka kesakitan= 45,85 per
jumlah kasus pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 90.245
kesakitan DBD tahun 2013 sebesar ≤ 52 per 100.000 penduduk, dengan demikian
sebanyak 26 provinsi (78,8%) yang telah mencapai target 2013. Provinsi dengan
IR DBD tertinggi tahun 2013 yaitu Bali sebesar 168,48, DKI Jakarta sebesar
104,04, dan DI Yogyakarta sebesar 95,99 per 100.000 penduduk. Kematian akibat
DBD dikategorikan tinggi jika CFR > 2%. Dengan demikian pada tahun 2013
terdapat tiga provinsi yang memiliki CFR tinggi yaitu Provinsi Jambi, Kep.
kepadatan nyamuk, angka bebas jentik, curah hujan), faktor perilaku (pola
tidur,kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, menguras,
dan
1.3 Etiologi
nyamuk dari genus Aedes, misalnya Aedes aegypti atau Aeedes albopictus.
serotype dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotype
Den V2. Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai
14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat
sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh
Nyamuk Aedes betina terinfeksi virus dengue setelah menghisap darah dari orang
yang terinfeksi selama penyakit demam akut (fase viremic). Setelah periode
dengan menggigit dan menyuntikkan cairan ludah yang terinfeksi ke luka orang
lain. Seekor nyamuk betina yang terinfeksi mampu transmisi vertikal virus dengue
ke generasi berikutnya, yang penting untuk pemeliharaan virus, tetapi tidak untuk
epidemiologi penyakit. Aedes aegypti adalah vektor epidemi yang paling penting.
1.4 Patogenesis
Proses patogenesis yang dijumpai pada bayi dengan infeksi virus dengue
patogenesis DBD pada bayi) lebih dijelaskan dengan konsep ADE (antibody
Derajat penyakit dalam presentasi klinis Infeksi Virus Dengue pada bayi sangat
berhubungan dengan derajat besar presentasi klinis dengue tersebut baik pada
infeksi primer bayi maupun pada infeksi sekunder pada anak yang lebih tua.
Sekalipun demikian didapati pula pengaruh faktor lain seperti fisiologi vaskular
sesuai usia, maturitas imunologis, dan pada infeksi sekunder terdapat respon sel T
dan sel B memori yang telah ada lebih terdahulu.Apoptosis nampaknya juga
berperan dalam modulasi respon imun alami dan adaptif terhadap IVD.
dan kemokin dalam darah paling tinggi dijumpai pada SSD. Penemuan tersebut
konsisten dengan adanya hubungan antara besarnya inflamasi sistem imun dengan
dijumpai pada anak dengan infeksi dengue sekunder setara dengan bayi yang
mengalami infeksi primer. Pada bayi tersebut juga dijumpai kenaikan TNF-alfa
dan IL-6 yang berbeda dengan anak. Peningkatan sitokin tersebut berkorelasi
DBD terjadi pada sebagian kecil pasien dengue. Meskipun DBD dapat
terjadi pada pasien yang mengalami infeksi virus dengue untuk pertama kalinya,
sebagian besar kasus DBD terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder.
Hubungan antara terjadinya DHF / DSS dan infeksi dengue sekunder berimplikasi
pada sistem kekebalan tubuh yang merupakan salah satu faktor dari DHF.
Keduanya baik sistem imun innate seperti sistem komplemen dan sel NK, begitu
pula sistem imun adaptif termasuk imunitas humoral dan imunitas yang
diperantarai sel (cell- mediated immunity) terlibat dalam proses ini. Peningkatan
Semua serotipe virus dengue telah dikaitkan dengan penyakit klinis yang
berat. Namun, genotipe tertentu dari serotipe virus dengue 2 dan 3 telah terbukti
lebih virus dan penyebab epidemi dengue besar. Virus serotipe 4 telah terbukti
menyebabkan penyakit klinis yang lebih ringan. Namun, serotipe dengue 1 telah
dikaitkan dengan penyakit yang lebih berat selama infeksi dengue primer. Pasien
dengan infeksi primer serotipe dengue 1 memiliki viral load yang lebih tinggi
al, 2011)
parah
DHF / DSS dan beberapa telah terbukti bersifat protektif. alel HLA-kelas I dan
mengidentifikasi kemungkinan alel HLA kelas I dan kelas II, yang meningkatkan
risiko mengembangkan DHF / DSS selama demam berdarah primer dan sekunder
pada populasi Sri Lanka. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa HLA-A * 31
dan DRB1 * 08 secara bermakna terkait dengan kerentanan terhadap DSS ketika
terinfeksi dengan virus dengue, selama infeksi dengue sekunder. Frekwensi alel
DRB1 * 08 adalah 28,7 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi normal pada
pasien dengan DSS. Alel HLA-A * 31 meningkat 16,6 kali lipat pada DBD yang
mengalami syok bila dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami syok.
selama infeksi dengue primer. Oleh karena itu, hubungan alel HLA dengan
2011)
penyebab frekuensi tinggi DBD selama infeksi primer pada bayi. Namun,
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada bukti jumlah virus (viral load) pada
infeksi dengue primer maupun sekunder. Walaupun viral load tidak ditemukan
tinggi pada pasien dengan dengue sekunder, viral load yang lebih tinggi dianggap
berkorelasi dengan keparahan klinis penyakit, dimana viral load lebih tinggi pada
pasien DHF jika dibandingkan dengan dengue fever (DF). Lebih lanjut lagi, hal
itu menunjukkan bahwa pasien dengan gejala klinis yang berat mengalami
viremia yang lebih lama dibandingkan dengan pasien dengan gejala yang lebih
al, 2011)
4. Sel T reaktif silang (Cross reactive T-Cell)
Aktivasi sel T yang masif, dan makrofag telah terbukti menghasilkan sitokin
yang tidak menguntungkan seperti TNFα dalam jumlah besar. Cross reactive
dengan mengubah profil sitokin selama infeksi sekunder dan dipercaya menjadi
kurang efektif dalam mengeliminasi serotype virus yang baru menginfeksi yang
Respom sel T individu secara alamiah ditujukan untuk semua protein dari
virus dengue, dan secara spesifik pada NS3. Respon sel T selama infeksi akut
telah menunjukkan reaksi silang yang sangat tinggi . Namun, sekresi sitokin dan
fungsi sitolitiknya tergantung pada interaksi alamiah dari antigen virus dengue,
MHC dan kompleks reseptor sel T dan proses selanjutnya. Oleh karena itu,
respon sel T terhadap serotipe virus dengue yang baru menginfeksi tergantung
diketahui terjadi selama infeksi virus dengue primer dengan tidak adanya antibodi
reaktif silang dan sel T spesifik virus dengue. Infeksi dengue primer yang
mengakibatkan DHF telah terbukti lebih umum di kalangan bayi dan pada wanita
hamil. Selain itu, penelitian yang dilakukan pada individu dengan infeksi
sel T memori juga terlihat pada individu-individu ini. Oleh karena itu, tampak
bahwa kehadiran sel T reaktif silang dan antibodi saja tidak berkontribusi pada
utama dari sistem imun adaptif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa supresi
imun yang tidak sempurna gangguan pada sel T regulator dapat berkontribusi
pada gejala klinis yang berat. Misalnya, rasio sel T regulator tinggi (Tregs) /
efektor telah terbukti berhubungan dengan penyakit klinis yang lebih ringan. Hal
ini menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit klinis yang parah mungkin
merupakan regulasi utama sitokin sel T, telah ditemukan secara signifikan lebih
tinggi pada pasien dengan penyakit berat bila dibandingkan dengan mereka
jauh lebih kompleks daripada yang diperkirakan sebelumnya. Oleh karena itu,
studi yang lebih rinci pada pasien dengan infeksi dengue akut berat dan infeksi
Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi
pertama kali mungkin memberi gejala seperti Demam Dengue. Reaksi tubuh
merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat
berbeda akan tampak bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus
dengue yang berlainan. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik
antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibodi
sebagai berikut :
endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya
Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam
2012).
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu
diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh,
pasien akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam,
sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemia di tenggorok,
puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma
plasma, bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis
(Soedarmo, 2012).
Gambar 1.3 Model patogenesis demam dengue (DD), DBD, dan DSS dalam
perspektif integrasi. Garis panah hitam menunjukkan proses yang terjadi pada
organ atau endotel. Kotak berwarna menunjukkan terjadinya kondisi patologi.
Sedangkan panah merah menunjukkan pengaruh pada endotel dan sistem
hemostasis. (Lardo,2013)
1.5 Penatalaksanaan
sebagai berikut:
perawatan pada orang tua anak. Berikan anak banyak minum dengan air atau
oralit untuk mengganti cairan yang hilang saat demam atau muntah. Berikan
parasetamol untuk demam. Janagan berikan asetosal atau ibuprofen karena obat
ini dapat merangsag perdarahan. Anak harus dibawa kerumah sakit bila demam
tinggi, kejang, tidak mau minum, muntah terus menerus. (Buku saku WHO, 2009)
Tata laksana dengue sesuai dengan perjalanan penyakit yang terbagi atas 3
fase. Pada fase demam yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik dan
Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain larutan oralit,
larutan gula-garam, jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien memperlihatkan
tanda dehidrasi dan muntah hebat, koreksi dehidrasi sesuai kebutuhan. Apabila
cairan intravena perlu diberikan, maka pada fase ini biasanya kebutuhan sesuai
rumatan. Semua pasien tersangka dengue harus diawasi dengan ketat sejak hari
sakit ke-3. Selama fase demam, belum dapat dibedakan antara DD dengan DBD.
DD. Setelah bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien demam dengue
akan masuk dalam fase penyembuhan, sedangkan pasien DBD memasuki fase
Hepar yang membesar dan lunak merupakan indikator fase kritis. Pasien
harus diawasi ketat dan dirawat di rumah sakit. Leukopenia <5000 sel/ mm3 dan
waktu 24 jam pasien akan bebas demam serta memasuki fase kritis.
fase kritis dan memerlukan pengobatan cairan intravena apabila tidak dapat
minum oral. Pasien harus dirawat dan diberikan cairan sesuai kebutuhan. Tanda
vital, hasil laboratorium, asupan dan luaran cairan harus dicatat dalam lembar
Klinis -
Nyeri perut
- Muntah yang persisten
- Akumulasi cairan secara klinis
- Perdarahan mukosa
- Letargi
- Hepatomegali > 2cm
Laboratorium - Peningkatan hematokrit disertai penurunan trombosit
(WHO, 2009)
Tabel 1.2. Kriteria Rawat Inap
bayi, DBD derajat III dan IV, obesitas, perdarahan berat, penurunan kesadaran,
adanya penyulit lain, seperti kelainan jantung bawaan dll, atau rujukan dari
ditandai dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien tidak mau makan dan minum
melalui oral. Cairan yang dipilih adalah golongan kristaloid (ringer laktat dan
Medikamentosa
hati.
Suportif
permeabilitas kapiler
Cairan intravena diperlukan bila anak muntah terus-menerus,
(Pudjiaji,2009).
Gambar 1.4 Tatalaksana Kasus Tersangka DBD (Rawat Inap) atau Demam
Dengue (Pudjiaji,2009)
Gambar 1. 5 Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II (Pudjiaji,2009).
Gambar 1.3 Algoritme volume replacement pasien dengan DHF III (WHO,
2012)
Gambar 8. Algoritme volume replacement pasien dengan DHF IV (DSS) (WHO,2012)
4. Hematokrit stabil
(Pudjiaji,2009)
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang
intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan
sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang
mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal
(Suhendro, 2006).
keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi
volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih
stabil.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.
1.6 Komplikasi
ARDS dan disfungsi hepar yang lebih sering terjadi pada syok yang berat. .
dengue, kelainan ginjal, dan edema paru. (Pudjiaji,2009) . DHF juga dapat
menyebabkan gangguan elektrolit, efusi pleura dan asites. (Singhi et al, 2007)
1.7 Prognosis
antibodi yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian
telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif
yang adekuat kematian dapat ditekan <1% kasus. Keselamatan secara langsung
berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif. Pada kasus yang jarang,
tingkat mortalitas < 1%. Ketika diobati, demam berdarah dengue mempunyai
mempunyai tingkat mortalitas lebih dari 50%. Penderita biasanya sembuh tanpa
gejala sisa dan mempunyai kekebalan terhadap serotipe yang menginfeksi.
(Shepherd,2017)