Anda di halaman 1dari 46

`

STATUS
KEDOKTERAN KELUARGA
Kasus Infeksi : Demam Dengue (Dengue Fever)

Pembimbing :
dr. Rubayat Indradi, M.OH
dr.Fallis Dasita

Oleh:
Nurcahyani
201610401011056

RUMAH SAKIT ISLAM AISYIYAH NGANJUK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
`

I. IDENTITAS
A. PENDERITA

1. Nama (Inisial) : An.NR


2. Umur : 6 tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Pelajar
6. Status Perkawinan : Belum menikah
7. Jumlah Anak :-
8. Pendidikan terakhir : -
9. Alamat lengkap : Jl. Letjend Suprapto 218 RT/RW 02/03
Jatirejo, Nganjuk, Jawa Timur

B. AYAH PENDERITA

1. Nama (Inisial) : Tn.R


2. Umur : 33 tahun
3. Jenis Kelamin :L
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Karyawan Swasta PT. Surya Madistrindo
6. Status Perkawinan : Menikah
7. Jumlah Anak : 2 orang
8. Pendidikan terakhir : Tamat SMA
9. Alamat lengkap : Jl. Letjend Suprapto 218 RT/RW 02/03
Jatirejo, Nganjuk, Jawa Timur
`

C. IBU PENDERITA

1. Nama (Inisial) : Ny.S


2. Umur : 28 tahun
3. Jenis Kelamin :P
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
6. Status Perkawinan : Menikah
7. Jumlah Anak : 2 orang
8. Pendidikan terakhir : SMP
9. Alamat lengkap : Jl. Letjend Suprapto 218 RT/RW 02/03
Jatirejo, Nganjuk, Jawa Timur
`

C. GENOGRAM (minimal 3 generasi)

Ny.J/ Ny.RB/ 53th/


Tn.RW/ 56th/SD/ SMP/
58 th / IRT Tn.AL/60 th Petani/1-2
SMA/ th/SD/Petani/ juta
Pensiunan sekitar 1-2 jt
Pengairan

Tn.RE / 33 Ny.MU/39 Ny.MY/36 IRT Ny.MW/19


Tn. RU/35 th/ SMA/ th/SMP/IRT th/SMP/ th/SMA/IRT
h/SMP/
th/ karyawan IRT MT/34t
SMA/Guru/ swasta /3,5 Ny.
4 juta juta /SMP/IRT
SM/28th
Ny.

An.NR/ 6 An.NA/3 th
th/TK
`

D. INTERAKSI DALAM KELUARGA

Status Keterangan
Nama Usia Pekerjaan Hubungan Keluarga
No Sex Perkawinan Domisili Serumah
(Inisial) (Bln/Th) (deskripsi lengkap) (S, I, AK, AA)
(TK, K, J, D)
Ya Tdk
1 An.NR P 6 th Tidak bekerja Pasien TK √ -
2 Tn. RE L 33 th Karyawan Swasta Ayah Kandung K √ -
3 Ny. SM P 28 th Ibu Rumah Tangga Ibu kandung K √ -
4 An. NA P 3 th Tidak Bekerja Adik Kandung TK √
5 Tn.RW L 60 th Pensiunan Pengairan Kakek kandung K - √
6 Ny. JU P 56 th Ibu Rumah Tangga Nenek Kandung K - √
7 Tn.AL L 60 th Petani Kakek Kandung K - √
8 Ny.RB P 53 th Petani Nenek Kandung K - √
9 Tn.RU L 35 th Guru Paman Pasien K - √
10 Ny.MU P 39 th Ibu Rumah Tangga Bibi Pasien K - √
11. Ny.MY P 36 th Ibu Rumah Tangga Bibi Pasien K - √
12. Ny.MT P 34 th Ibu Rumah Tangga Bibi Pasien K - √
13. Ny.MW P 19 th Ibu Rumah Tangga Bibi Pasien K - √
`

II. DATA DASAR KESEHATAN

STATUS MEDIS

Anamnesis

KU : Demam

 Riwayat Penyakit Sekarang

 Pasien datang ke IGD RSI Aisyiyah Nganjuk dengan keluhan panas badan. Panas

sejak 5 hari yang lalu. Panas tinggi, tidak sampai menggigil, panas turun ketika

diberi obat penurun panas, beberapa jam kemudian panas naik lagi. Pusing (+),

badan lemes, mimisan (-), gusi berdarah (-). Panas juga disertai batuk dan pilek

sejak 5 hari yang lalu, batuk tidak berdahak, pilek berwarna bening. nyeri

tenggorokan (-) sesak (-). Mual, muntah (+) 5 hari yang lalu, sebanyak 2 kali.

Nyeri perut disangkal nafsu makan menurun. BAK dan BAB dalam batas normal.

 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah demam tetapi bila diberi obat penurun panas biasanya suhu turun

dan sehat kembali.

 Riwayat Penyakit Keluarga

Anggota keluarga dirumah seluruhnya sedang menderita flu saat pasien mulai

sakit.

 Riwayat Sosial :
- Pasien sehari hari bersekolah di Taman Kanak-kanak saat pagi hari, dan

saat sore hari pasien pergi mengaji.

- Pasien diasuh oleh ibu kandungnya dirumah

- Pasien biasanya makan 3 kali sehari, suka makan sayur-mayur

- Sebelum sakit, pasien sempat mengikuti latihan-latihan kegiatan drumband

di TK nya yang membuat kemungkinan pasien kelelahan.


`

- Di lingkungan rumah tidak ada yang sakit seperti ini

 Riwayat Alergi : Disangkal


 Riwayat Imunisasi :

BCG +

DPT I/II/III : +/+/+

Polio I/II/III/IV : +/+/+/+

Campak : +/+

Hepatitis B : +/+/+/+

Imunisasi Tambahan : -

 Riwayat Tumbuh Kembang : Pertumbuhan normal sesuai usia

 Riwayat Persalinan : Aterm/Spontan pervaginam/2900 g/ Bidan/langsung


menangis.

Pemeriksaan Fisik

 Kesan umum : Lemah


 Kesadaran : compos mentis / 456
 Vital sign :
- Tekanan darah : 100/60 mmHg
- Nadi : 104x/menit
- RR : 20x /menit
- Suhu : 39°C
 Kepala/ leher :
- Anemis (-), iketrus (-), cyanosis (-), dispnea (-)
- Mata cowong: -/-
- Pernapasan cuping hidung (-)
- Lidah kotor/thypoid tongue (-)
- Rhinorea : (-)
- Pharynx hiperemia : (-)
- Pembesaran tonsil : (-/-)
`

- Rhinorea : (-)
- Pembesaran KGB (-)
 Thorax
- Normochest, simetris, retraksi (-/-)
- Cor : S1 S2 tunggal, murmur (-) gallop (-)
- Pulmo : Vesikuler +/+, Ronchi (-/-) , wheezing (-/-)
 Abdomen :
- Auskultasi : Bising usus (+) N
- Inspeksi : datar, massa (-)
- Palpasi : supel, distensi(-),Hepar/Lien/Renal kesan tidak teraba, turgor
baik
- Perkusi : meteorismus (-)
 Extremitas :
- CRT < 2 detik
- Akral hangat : +/+
+/+
 Rumple Leed test (+)
Pemeriksaan Penunjang

 Darah Lengkap
o Hb : 11,8 g%

o Leukosit : 8.600

o Trombosit : 94.000

o Hct : 34.1 %

o Eritrosit : 4.600

o MCV : 74,6 fL

o MCH : 26,3 pg

o MCHC : 35 g/L
`

 Serologi

Tes Widal

 Salmonela Typi O (-)

 Salmonela Typi H (-)

 Salmonela Paratyphi A (-)

 Salmonela Paratyphi B (-)


`

Riwayat Sosial, Budaya, Ekonomi, Lingkungan dll

UPAYA & PERILAKU KESEHATAN


KETERANGAN
NO KOMPONEN URAIAN UPAYA & PERILAKU (RASIONAL ATAU
IRRASIONAL)

1 Promotif

- Pasiem tidur menggunakan kelambu agar tidak digigit nyamuk


2 Preventif
Rasional

Pasien dibawa berobat ke dokter umum di dekat rumah oleh orang tuanya
ketika ada keluhan kesehatan dan minum obat sesuai yang diresepkan oleh Rasional
3 Kuratif
dokter tersebut.

4 Rehabilitatif Ibu pasien berusaha tetap menjaga asupan gizi anaknya ketika sakit dan sehat Rasional
`

STATUS SOSIAL

NO KOMPONEN KETERANGAN (Deskripsikan dengan lengkap dan jelas)


Pasien sehri-hari bangun pagi pukul 06.00 kemudian mandi , sarapan dan berangkat ke sekolah TK.
Pulang dari TK sekitar jam 10.00 , kemudian pasien bermain dirumah dengan adiknya atau menonton
TV. Pukul 12.00 pasien makan sianh kemudian kadang-kadang melanjutkan waktunya untuk tidur
1 Aktifitas sehari-hari siang. Pukul 15.00 pasien berangkat ke TPA untuk mengaji. Pukul 16.00, Sepulang dari TPA pasien
pulang kerumah, kemudian menonton TV dirumah. Pukul 18.00 pasien makan malam dan dan
melanjutkan nonton TV atau bermain dengan orang tuanya. Pasien tidur malam sekitar jam 20.00 atau
jam 21.00
- TB= 110 cm
- BB= 15 kg
- IMT/U = -2,07 SD (-3SD sampai <-2 SD) Normal
2 Status Gizi
- Pasien biasa makan 3 kali sehari, teratur
- Pasien makan makanan yang dimasak ibunya yaitu nasi dengan lauk dan pauk bervariasi setiap
harinya, pasien suka makan sayur-sayuran.

P3 Pekerjaan Pasien sehari hari belajar di Taman kanak-kanak (belum bekerja)


Pasien merupakan anggota BPJS kesehatan kelas 2
4 Jaminan Kesehatan
SIMAS (Jaminan Kesehatan dari tempat kerja Ayah pasien)
`

FAKTOR RESIKO LINGKUNGAN


KOMPONEN
NO KETERANGAN
LINGKUNGAN
- Luas bangunan : (orang tua pasien tidak mengetahui luas bangunan rumah yang ditempatinya)
- Jenis dinding : tembok
- Atap rumah terbuat dari genteng
- Jenis lantai :
- Sebagian lantai menggunakan keramik (ruang tamu dan ruaang keluarga)
- Lantai dapur masih berupa semen

1 Fisik - Sumber penerangan : listriik. Lampu di beberapa ruangan dirumah kurang terang, termasuk di kamar
tidur pasien. Sirkulasi udara di kamar pasien kurang baik karena tidak ada ventilasi.
- MCK : 1 di dalam rumah, terpisah antara tempat untuk mandi dan untuk BAB. Kebersihan di kamar
mandi kurang terjaga. Bak mandi dikuras ketika terlihat kotor saja.
- Terdapat beberapa ember berisi air di dekat dapur dan ruang cuci dirumah pasien yang tidak terutup dan
dapat menjadi sarang nyamuk
- Tanah dan bangunan milik sendiri (milik Nenek Buyut Pasien)

2 Biologi Terdapat hewan peliharaan yaitu burung, sangkarnya berada di dalam rumah
- Sumber Air berasal dari sumur
3 Kimia - Sampah biasanya dibuang di tempat sampah depan rumah.
Pasien merupakan anak yang ceria. Sehari-hari pasien jarang bermain keluar rumah selain saat sekolah dan
4 Sosial mengaji, lebih banyak menghabiskan waktu menonton TV di rumah.
`

Hubungan dengan keluarga dan teman baik.

-
5 Budaya
- Pasien merupakan anak yang ceria
6 Psikologi
- Pendapatan keluarga diperoleh pendapatan Ayah pasien, yaitu 3,5 juta per bulan
7 Ekonomi - Kebutuhan per bulannya sekitar Rp.2,5-3jt untuk kebutuhan makan, biaya listrik , bensin dan sekolah
anak.
`

III. DIAGNOSIS HOLISTIK

Aspek 1: (Aspek Personal)


- Chief complain: Demam 5 hari, pusing, batuk, pilek, mual dan muntah.
- Fear : khawatir demam pasien semakin tinggi, trombosit semakin turun, kondisi
pasien semakin parah
- Wishes/hope : Ingin sembuh, dapat aktif bersekolah dan bermain kembali.

Aspek 2: (Aspek Klinis)


Diagnosis kerja: Demam Dengue (A90)
Diagnosis banding: -

Aspek 3: (Aspek Faktor Internal)


Higiene sanitasi yang kurang di keluarga ((Keluarga jarang menguras bak
mandi. Bak mandi hanya dikuras ketika terlihat kotor saja)
- Kurangnya pengetahuan keluarga pasien tentang pencegahan penyakit DBD
- Aktivitas pasien yang lebih padat dari biasanya di sekolah kemungkinan
membuat pasien kelelahan sehingga imunitasnya menurun
Aspek 4: (Aspek Faktor Eksternal)
- Terdapat beberapa ember berisi air di dekat dapur dan ruang cuci dirumah
pasien yang tidak terutup dan dapat menjadi sarang nyamuk
- Pencahayaan di beberapa ruangan dirumah kurang terang, termasuk di kamar
tidur pasien, sirkulasi udara di kamar pasien kurang.

Aspek 5: (Aspek Fungsi Sosial)


Fungsi sosial : tingkat 4
( Bila penderita memerlukan bantuan orang lain pada sebagian besar aktivitas sehari-
harinya, misal seperti anak balita untuk makan, mandi dan berpakaian)
`

IV. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF:

No Aspek Dx Holistik Penatalaksanaan Komprehenship yang dapat dilakukan oleh


(Uraian permasalahan/penyebab maslah kesehatan penderita (Langkah Operasional)
berdasarkan tiap aspek)
1 Personal: Promotif:

- Chief complain: Demam 5 hari , pusing, batuk,


pilek, mual dan muntah. - Memberikan penjelasan/penyuluhan singkat kepada
- Fear : khawatir demam pasien semakin tinggi,
keluarga pasien mengenai tanda dan gejala penyakit
trombosit semakin turun, kondisi pasien semakin
parah Infeksi Virus Dengue,
- Wishes/hope : Ingin sembuh, dapat aktif bersekolah - Memberikan penjelasan kepada keluarga tentang
dan bermain kembali.
cara-cara pencegahan Infeksi Dengue di kemudian

hari bagi anggota keluarga yaitu melakukan prinsip

4M (Menguras wadah air sekurang-kurangnya

seminggu sekali, Menutup wadah air, Mengubur

/memusnahkan barang bekas, memantau wadah air

yang dapat menjadi tempat berkembang biaknya

nyamuk Aedes aegypti)


`

- Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien, jika

anak demam sebaiknya di kompres dengan air

hangat, dapat di berikan obat-obatan penurun panas,

dan sebaiknya segera di bawa ke pelayanan kesehatan

terdekat..

- Menjelaskan pentingnya mengikuti kegiatan kesehatan di

posyandu terdekat.

2 Klinis: Preventif:
Diagnosis kerja: Demam Dengue (A91). 1. Perbanyak istirahat (tidur yang cukup minimal 8 jam sehari)

Diagnosis banding: - 2. Konsumsi makanan sehat dan bergizi, teratur 3 kali sehari, minum

air putih yang banyak, dan susu.


`

3. Orang tua dapat melakukan prinsip 4 M dalam pencegahan DBD:

 Menguras wadah air, seperti bak mandi, tempayan, ember, vas

bunga, tempat minum burung, dan penampung air kulkas agar telur

dan jentik Aedes aegypti mati seminggu sekali, jangan menunggu

sampai kotor

 Menutup rapat semua wadah air agar nyamuk Aedes aegypti tidak

dapat masuk dan bertelur.

 Mengubur atau memusnahkan semua barang bekas yang dapat

menampung air hujan agar tidak menjadi sarang dan tempat

bertelur nyamuk Aedes aegypti.

 Memantau semua wadah air yang dapat menjadi tempat nyamuk

Aedes aegypti berkembang biak.

 Tidak menggantung baju berlebihan, menghindari gigitan nyamuk,

membubuhkan bubuk abate, dan memelihara ikan.

4. Memperbaiki ventilasi dan pencahyaan di rumah dengan membuka

pintu rumah dan jendela pada siang hari agar sirkulasi udara baik,
`

mengganti lampu di ruangan rumah dengan yang lebih terang

5. Jaga kebersihan rumah serta kerapian rumah agar tidak menjadi

sarang nyamuk.

6. Sedia obat penurun panas dirumah

7. Menggunakan repellent atau kelambu untuk mengindari gigitan

nyamuk

3 - Internal: Higiene sanitasi yang kurang di Kuratif:


1.Infus KAEn 3A 1250 cc/24 jam
keluarga.
2. Inj. Ampicilin 1 g i.v
- Kurangnya pengetahuan pasien tentang
3. Inf. Paracetamol
pencegahan penyakit DBD.
4. Inj. Ranitidine 2 x 15 mg
- Aktivitas pasien yang lebih padat dari biasanya di
5. Sucralfat syr 3x1
sekolah kemungkinan membuat pasien kelelahan
6. Curcuma syr 1x1
sehingga imunitasnya menurun

4 Eksternal: Rehabilitatif:
- Terdapat beberapa ember berisi air di dekat dapur
- Istirahat yang cukup
dan ruang cuci dirumah pasien yang tidak
- Banyak minum air putih
terutup dan dapat menjadi sarang nyamuk
- Makan-makanan bergizi
- Pencahayaan di beberapa ruangan dirumah
kurang terang, termasuk di kamar tidur pasien,
`

sirkulasi udara di kamar pasien kurang.


5 - Fungsi sosial tingkat 4 Penderita dalam sebagian besar aktivitas sehari-harinya memerlukan
bantuan hidup orang lain
RESUME KASUS

1.1 Epidemiologi

Dengue adalah infeksi virus akut yang ditularkan melalui arthropoda

paling penting pada manusia. Penyakit ini menjadi pusat perhatian kesehatan

masyarakat secara global, menyebar dari daerah tropis ke daerah-daerah yang

paling subtropis di seluruh dunia, yang menyebabkan penderitaan pada manusia

dan kerugian sosial ekonomi yang besar. Secara global diperkirakan bahwa 50

hingga 100 juta kasus demam berdarah terjadi setiap tahun di hampir setengah

populasi dunia, terutama di daerah hiperendemis yaitu di Asia Tenggara dan

Pasifik. Dengue juga menjadi penyebab kematian pada 20.000 jiwa setiap tahun.

Sebuah penelitian oleh Bhatt et al memperkirakan bahwa kasus infeksi dengue

telah meningkat lebih dari 3 kali per tahun dengan 67 hingga 136 juta kasus setiap

tahun dengan manifestasi klinis yang beragam dalam berbagai tingkat keparahan.

(Cucunawangsih dan Nata, 2017)

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyebab utama rawat inap dan

kematian pada anak-anak. Indonesia adalah salah satu negara yang oleh WHO

dikategorikan hyperendemicity dengan empat serotipe virus tersebar di daerah

perkotaan. Indonesia adalah Negara beriklim tropis yang sesuai untuk vektor

dengue yang mentransmisikan penyakit demam berdarah dengue (DBD).

Berdasarkan laporan kementrian kesehatan , lebih dari 71.668 jiwa di deluruh

Indonesia terjangkit demam dengue, dengan kematian melebihi 641 jiwa

(sebagian besar anak-anak) (Nuryunarsih, 2015)


Data dari WHO menunjukkan sekitar 1,8 miliar (lebih dari 70%) dari

populasi berisiko dengue di seluruh dunia yang tinggal di negara anggota WHO

wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat, menderita hampir 75% dari beban

penyakit global saat ini disebabkan oleh demam berdarah dengue (WHO, 2009).

Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2012

menyebutkan jumlah penderita DBD di Indonesia sebanyak 90.245 kasus dengan

jumlah kematian 816 orang (Indeks Rate/IR= 37,27 per 100.000 penduduk dan

Case Fatality Rate/CFR= 0,90 %). Jumlah kasus penyakit DBD terbanyak

terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 19.663 kasus diikuti oleh Jawa Timur (8.177

kasus), Jawa Tengah (7.088 kasus) dan DKI Jakarta (6669 kasus). Keempatnya

merupakan provinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar dimana ini

merupakan faktor risiko dari penyebaran penyakit dengue (Soedarmo, 2012).

Jumlah penderita DBD pada tahun 2013, yang dilaporkan sebanyak 112.511 kasus

dengan jumlah kematian 871 orang (Incidence Rate/Angka kesakitan= 45,85 per

100.000 penduduk dan CFR/angka kematian= 0,77%). Terjadi peningkatan

jumlah kasus pada tahun 2013 dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 90.245

kasus dengan IR 37,27. Target Renstra Kementerian Kesehatan untuk angka

kesakitan DBD tahun 2013 sebesar ≤ 52 per 100.000 penduduk, dengan demikian

Indonesia telah mencapai target Renstra 2013 (Kementrian Kesehatan, 2014).


Gambar 1.1 Angka Kesakitan (IR) Demam Berdarah Dengue per 100.000
penduduk tahun 2008-2013 (Kementrian Kesehatan, 2014).

Gambaran angka kesakitan DBD menurut provinsi tahun 2013 terdapat

sebanyak 26 provinsi (78,8%) yang telah mencapai target 2013. Provinsi dengan

IR DBD tertinggi tahun 2013 yaitu Bali sebesar 168,48, DKI Jakarta sebesar

104,04, dan DI Yogyakarta sebesar 95,99 per 100.000 penduduk. Kematian akibat

DBD dikategorikan tinggi jika CFR > 2%. Dengan demikian pada tahun 2013

terdapat tiga provinsi yang memiliki CFR tinggi yaitu Provinsi Jambi, Kep.

Bangka Belitung, dan Nusa Tenggara Timur. (Kementrian Kesehatan, 2014).


Gambar 1.2 Angka Kesakitan (IR) Demam Berdarah Dengue per 100.000
menurut provinsi tahun 2013 (Kementrian Kesehatan, 2014).

1.2 Faktor Resiko

Penelitian-penelitian tentang demam berdarah telah banyak

dilakukan, baik yang berhubungan dengan faktor etiologik, diagnostik dan

prognostik dari penyakit tersebut. Beberapa faktor etiologik yang

ditemukan berhubungan dengan penyakit demam berdarah adalah faktor

host (umur, jenis kelamin, mobilitas), faktor lingkungan (kepadatan rumah,

adanya tempat perindukan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk,

kepadatan nyamuk, angka bebas jentik, curah hujan), faktor perilaku (pola
tidur,kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, menguras,

membuang/mengubur sarang nyamuk). (Wahyono et al, 2010).

Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan

penyebaran kasus DBD antara lain :

1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi

2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali

3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis,

dan

4. Peningkatan sarana transportasi. (Chen et al, 2009)

1.3 Etiologi

Demam Berdarah adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh

virus dengue, yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan

nyamuk dari genus Aedes, misalnya Aedes aegypti atau Aeedes albopictus.

(Bastyan dan I Nyoman, 2013)

Keempat serotype dengue terdapat di Indonesia, Den V3 merupakan

serotype dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotype

Den V2. Virus ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes

albopictus yang banyak tersebar di seluruh Indonesia. (Pudjiaji,2009). Masa

inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai

14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat

sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh

nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari .(Candra, 2010)


Dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi.

Nyamuk Aedes betina terinfeksi virus dengue setelah menghisap darah dari orang

yang terinfeksi selama penyakit demam akut (fase viremic). Setelah periode

inkubasi ekstrinsik 8-10 hari, nyamuk yang terinfeksi mentransmisikan infeksi

dengan menggigit dan menyuntikkan cairan ludah yang terinfeksi ke luka orang

lain. Seekor nyamuk betina yang terinfeksi mampu transmisi vertikal virus dengue

ke generasi berikutnya, yang penting untuk pemeliharaan virus, tetapi tidak untuk

epidemiologi penyakit. Aedes aegypti adalah vektor epidemi yang paling penting.

A. albopictus dan A. polynesiensis dapat bertindak sebagai vektor di beberapa

lokasi geografis. (Singhi et al, 2007)

1.4 Patogenesis

Proses patogenesis yang dijumpai pada bayi dengan infeksi virus dengue

tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan model secondary heterologue infection.

Epidemiologi Infeksi Virus Dengue (IVD) sesuai kelompok umur (termasuk

patogenesis DBD pada bayi) lebih dijelaskan dengan konsep ADE (antibody

dependent enhancement ).Banyak bukti tentang enhancing dan cross-reactive

neutralizing antibody menentukan epidemi dengue dan keparahan penyakit .

Derajat penyakit dalam presentasi klinis Infeksi Virus Dengue pada bayi sangat

berhubungan dengan respon imun pejamu. Aktivasi imun selular banyak

berhubungan dengan derajat besar presentasi klinis dengue tersebut baik pada

infeksi primer bayi maupun pada infeksi sekunder pada anak yang lebih tua.

Sekalipun demikian didapati pula pengaruh faktor lain seperti fisiologi vaskular

sesuai usia, maturitas imunologis, dan pada infeksi sekunder terdapat respon sel T

dan sel B memori yang telah ada lebih terdahulu.Apoptosis nampaknya juga
berperan dalam modulasi respon imun alami dan adaptif terhadap IVD.

(Dominicus Husada et al, 2012)

Gambaran sitokin pada DD berbeda dengan DBD/SSD. Konsentrasi sitokin

dan kemokin dalam darah paling tinggi dijumpai pada SSD. Penemuan tersebut

konsisten dengan adanya hubungan antara besarnya inflamasi sistem imun dengan

kebocoran plasma. Peningkatan bermakna kadar IFN-gamma dan IL-10 yang

dijumpai pada anak dengan infeksi dengue sekunder setara dengan bayi yang

mengalami infeksi primer. Pada bayi tersebut juga dijumpai kenaikan TNF-alfa

dan IL-6 yang berbeda dengan anak. Peningkatan sitokin tersebut berkorelasi

dengan gambaran klinis dan laboratoris. (Dominicus Husada et al, 2012)

DBD terjadi pada sebagian kecil pasien dengue. Meskipun DBD dapat

terjadi pada pasien yang mengalami infeksi virus dengue untuk pertama kalinya,

sebagian besar kasus DBD terjadi pada pasien dengan infeksi sekunder.

Hubungan antara terjadinya DHF / DSS dan infeksi dengue sekunder berimplikasi

pada sistem kekebalan tubuh yang merupakan salah satu faktor dari DHF.

Keduanya baik sistem imun innate seperti sistem komplemen dan sel NK, begitu

pula sistem imun adaptif termasuk imunitas humoral dan imunitas yang

diperantarai sel (cell- mediated immunity) terlibat dalam proses ini. Peningkatan

aktivasi sistem imun, terutama selama infeksi sekunder, menyebabkan respon

sitokin berlebihan yang mengakibatkan perubahan permeabilitas pembuluh darah.

(Malavige et al, 2011)

1. Serotipe virus dengue dan patogenesis penyakit

Semua serotipe virus dengue telah dikaitkan dengan penyakit klinis yang

berat. Namun, genotipe tertentu dari serotipe virus dengue 2 dan 3 telah terbukti
lebih virus dan penyebab epidemi dengue besar. Virus serotipe 4 telah terbukti

menyebabkan penyakit klinis yang lebih ringan. Namun, serotipe dengue 1 telah

dikaitkan dengan penyakit yang lebih berat selama infeksi dengue primer. Pasien

dengan infeksi primer serotipe dengue 1 memiliki viral load yang lebih tinggi

dibandingkan mereka yang terinfeksi dengan serotipe virus lainnya. (Malavige et

al, 2011)

2. Faktor genetik yang berkontribusi terhadap penyakit klinis yang

parah

Beberapa faktor genetik telah terbukti berhubungan dengan perkembangan

DHF / DSS dan beberapa telah terbukti bersifat protektif. alel HLA-kelas I dan

kelas II tertentu, tumor nekrosis faktor alpha (TNF-α), reseptor Vitamin D,

CTLA-4 dan transforming growth factor ß (TGF-β) telah terbukti berkaitan

dengan pengembangan DHF / DSS. Sebuah penelitian telah dilakukan untuk

mengidentifikasi kemungkinan alel HLA kelas I dan kelas II, yang meningkatkan

risiko mengembangkan DHF / DSS selama demam berdarah primer dan sekunder

pada populasi Sri Lanka. Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa HLA-A * 31

dan DRB1 * 08 secara bermakna terkait dengan kerentanan terhadap DSS ketika

terinfeksi dengan virus dengue, selama infeksi dengue sekunder. Frekwensi alel

DRB1 * 08 adalah 28,7 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi normal pada

pasien dengan DSS. Alel HLA-A * 31 meningkat 16,6 kali lipat pada DBD yang

mengalami syok bila dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami syok.

HLA-A * 24 dan DRB1 * 12 secara bermakna terkait dengan perkembangan DBD

selama infeksi dengue primer. Oleh karena itu, hubungan alel HLA dengan

keparahan penyakit klinis menunjukkan bahwa alel HLA tertentu memberikan


kerentanan / perlindungan terhadap infeksi dengue yang berat. (Malavige et al,

2011)

3. Faktor imunitas host yang berperan terhadap penyakit dengue yang

berat: antibodi reaktif silang

Telah ditunjukkan bahwa cross T-reaktif sel dan antibodi dianggap

berkontribusi terhadap patogenesis penyakit pada infeksi dengue sekunder.

Antibodi yang menetralkan secara lemah dan disease enhancing antibodies

penyakit dianggap sebagai penyebab penyakit dengan meningkatkan sel-sel

seperti makrofag dan sel dendritik. Sitokin proinflamasi disekresikan dalam

jumlah besar karena semakin banyak sel yang terinfeksi diperkirakan

menyebabkan disfungsi endotel. Enhancing antibodies juga dianggap sebagai

penyebab frekuensi tinggi DBD selama infeksi primer pada bayi. Namun,

hipotesis antibody enhancement ini banyak dipertanyakan, sejak beberapa

penelitian menunjukkan bahwa tidak ada bukti jumlah virus (viral load) pada

infeksi dengue primer maupun sekunder. Walaupun viral load tidak ditemukan

tinggi pada pasien dengan dengue sekunder, viral load yang lebih tinggi dianggap

berkorelasi dengan keparahan klinis penyakit, dimana viral load lebih tinggi pada

pasien DHF jika dibandingkan dengan dengue fever (DF). Lebih lanjut lagi, hal

itu menunjukkan bahwa pasien dengan gejala klinis yang berat mengalami

viremia yang lebih lama dibandingkan dengan pasien dengan gejala yang lebih

ringan. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat keparahan dengue berhubungan

dengan ketidakmampuan sistem imun mengeliminasi virus dengue. (Malavige et

al, 2011)
4. Sel T reaktif silang (Cross reactive T-Cell)

Aktivasi sel T yang masif, dan makrofag telah terbukti menghasilkan sitokin

yang tidak menguntungkan seperti TNFα dalam jumlah besar. Cross reactive

memory T cells telah menunjukkan kontribusi nya terhadap imunopatologi

dengan mengubah profil sitokin selama infeksi sekunder dan dipercaya menjadi

kurang efektif dalam mengeliminasi serotype virus yang baru menginfeksi yang

dianggap dapat meningkatkan replikasi virus dan mengakibatkan gejala klinis

yang berat. (Malavige et al, 2011)

Respom sel T individu secara alamiah ditujukan untuk semua protein dari

virus dengue, dan secara spesifik pada NS3. Respon sel T selama infeksi akut

telah menunjukkan reaksi silang yang sangat tinggi . Namun, sekresi sitokin dan

fungsi sitolitiknya tergantung pada interaksi alamiah dari antigen virus dengue,

MHC dan kompleks reseptor sel T dan proses selanjutnya. Oleh karena itu,

respon sel T terhadap serotipe virus dengue yang baru menginfeksi tergantung

pada sel T memori spesifik yang ada. (Malavige et al, 2011)

Gejala klinis yang berat yang bahkan dapat menyebabkan kematian

diketahui terjadi selama infeksi virus dengue primer dengan tidak adanya antibodi

reaktif silang dan sel T spesifik virus dengue. Infeksi dengue primer yang

mengakibatkan DHF telah terbukti lebih umum di kalangan bayi dan pada wanita

hamil. Selain itu, penelitian yang dilakukan pada individu dengan infeksi

asimptomatik / ringan sebelumnya telah menunjukkan bahwa sangat lintas reaktif

sel T memori juga terlihat pada individu-individu ini. Oleh karena itu, tampak

bahwa kehadiran sel T reaktif silang dan antibodi saja tidak berkontribusi pada

pengembangan infeksi dengue yang parah. (Malavige et al, 2011)


Karena terbukti bahwa faktor selain lintas sel T reaktif dan antibodi

cenderung memainkan peran dalam patogenesis penyakit, beberapa kelompok

telah menyelidiki peran mekanisme pengaturan kekebalan dalam infeksi dengue

akut. CD4 + Foxp3 mengekspresikan regulatory T cells (Tregs) adalah regulator

utama dari sistem imun adaptif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa supresi

imun yang tidak sempurna gangguan pada sel T regulator dapat berkontribusi

pada gejala klinis yang berat. Misalnya, rasio sel T regulator tinggi (Tregs) /

efektor telah terbukti berhubungan dengan penyakit klinis yang lebih ringan. Hal

ini menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit klinis yang parah mungkin

memiliki gangguan respon sel T regulator fungsional. Namun IL-10, yang

merupakan regulasi utama sitokin sel T, telah ditemukan secara signifikan lebih

tinggi pada pasien dengan penyakit berat bila dibandingkan dengan mereka

dengan gejala klinis yang lebih ringan. (Malavige et al, 2011)

Secara keseluruhan semua bukti ini menunjukkan bahwa patogenesis DBD

jauh lebih kompleks daripada yang diperkirakan sebelumnya. Oleh karena itu,

studi yang lebih rinci pada pasien dengan infeksi dengue akut berat dan infeksi

asimptomatik harus dilakukan untuk mencoba dan memahami imunopatogenesis

kompleks ini. (Malavige et al, 2011)

Virus dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi

pertama kali mungkin memberi gejala seperti Demam Dengue. Reaksi tubuh

merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat

berbeda akan tampak bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus

dengue yang berlainan. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik
antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen antibodi

(kompleks virus antibodi) yang tinggi (Soedarmo, 2012).

Terdapatnya komplek virus-antibodi dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal

sebagai berikut :

1. Kompleks virus-antibodi akan mengaktivasi sistem komplemen, berakibat

dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a.C5a menyebabkan meningginya

permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangnya plasma melalui

endotel dinding tersebut, suatu keadaan yang amat berperan dalam terjadinya

renjatan. (Soedarmo, 2012).

2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami

metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis akan

dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan berakibat trombositopenia

hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi, trombosit akan melepaskan

amin vasoaktif (histamin dan serotonin) yang bersifat meninggikan

permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor III yang merangsang

koagulasi intravaskular. (Soedarmo, 2012).

3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat akhir

terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam proses aktivasi ini,

plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan

anafilatoksin yang penghancuran fibrin menjadi fibrin degradation product.

Disamping itu aktivasi akan merangsang sistem kinin yang berperan dalam

proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah. (Soedarmo,

2012).
DSS terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu

diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh,

pasien akan mengalami keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam,

sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemia di tenggorok,

timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin terjadi pada sistem

retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar–kelenjar getah bening, hati dan

limpa. Ruam pada DD disebabkan oleh kongesti pembuluh darah dibawah

kulit (Soedarmo, 2012).

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan

membedakan DD dengan DHF ialah meningginya permeabilitas dinding

kapiler karena pelepasan zat anafilatoksin, histamin dan serotonin serta

aktivasi sistem kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskular.

Berakibat berkurangnya volum plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi,

hipoproteinemia, efusi pleura dan renjatan. Plasma merembes selama

perjalanan penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai

puncaknya saat renjatan. Pada pasien dengan renjatan berat, volume plasma

dapat menurun sampai lebih dari 30% (Kaushik, 2010).

Adanya kebocoran plasma ke daerah ektravaskular dibuktikan dengan

ditemukannya cairan dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura

dan perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan

plasma, bila tidak segera diatasi dapat berakibat anoksia jaringan, asidosis

metabolik dan kematian (Soedarmo, 2012).

Perdarahan pada DHF umumnya dihubungkan dengan trombositopenia,

gangguan fungsi trombosit dan kelainan sistem koagulasi. Trombositopenia


yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum

tulang dan pendeknya masa hidup trombosit menimbulkan dugaan

meningkatnya destruksi trombosit dalam sistem retikuloendotelial. Fungsi

agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses imunologis dengan

terdapatnya sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati

yang fungsinya memang terganggu oleh aktivitasi sistem koagulasi

(Soedarmo, 2012).
Gambar 1.3 Model patogenesis demam dengue (DD), DBD, dan DSS dalam
perspektif integrasi. Garis panah hitam menunjukkan proses yang terjadi pada
organ atau endotel. Kotak berwarna menunjukkan terjadinya kondisi patologi.
Sedangkan panah merah menunjukkan pengaruh pada endotel dan sistem
hemostasis. (Lardo,2013)
1.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan demam dengue serta demam berdarah dengue adalah

sebagai berikut:

1.5.1 Penatalaksanaan Demam Dengue (Dengue Fever

Sebagian besar anak dapat dirawat dirumah dengan memberikan nasihat

perawatan pada orang tua anak. Berikan anak banyak minum dengan air atau

oralit untuk mengganti cairan yang hilang saat demam atau muntah. Berikan

parasetamol untuk demam. Janagan berikan asetosal atau ibuprofen karena obat

ini dapat merangsag perdarahan. Anak harus dibawa kerumah sakit bila demam

tinggi, kejang, tidak mau minum, muntah terus menerus. (Buku saku WHO, 2009)

Tata laksana dengue sesuai dengan perjalanan penyakit yang terbagi atas 3

fase. Pada fase demam yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik dan

suportif. Parasetamol merupakan antipiretik pilihan pertama dengan dosis 10

mg/kgBB/dosis selang 4 jam apabila suhu >38°C. Pemberian aspirin dan

ibuprofen merupakan indikasi kontra. Kompres hangat kadang membantu apabila

anak merasa nyaman dengan pemberian kompres. Pemberian antipiretik tidak

mengurangi tingginya suhu, tetapi dapat memperpendek durasi demam.

(Hadinegoro et al, 2012)

Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain larutan oralit,

larutan gula-garam, jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien memperlihatkan

tanda dehidrasi dan muntah hebat, koreksi dehidrasi sesuai kebutuhan. Apabila

cairan intravena perlu diberikan, maka pada fase ini biasanya kebutuhan sesuai
rumatan. Semua pasien tersangka dengue harus diawasi dengan ketat sejak hari

sakit ke-3. Selama fase demam, belum dapat dibedakan antara DD dengan DBD.

Ruam makulopapular dan mialgia/artralgia lebih banyak ditemukan pada pasien

DD. Setelah bebas demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien demam dengue

akan masuk dalam fase penyembuhan, sedangkan pasien DBD memasuki fase

kritis. (Hadinegoro et al, 2012)

Hepar yang membesar dan lunak merupakan indikator fase kritis. Pasien

harus diawasi ketat dan dirawat di rumah sakit. Leukopenia <5000 sel/ mm3 dan

limfositosis disertai peningkatan limfosit atipikal mengindikasikan bahwa dalam

waktu 24 jam pasien akan bebas demam serta memasuki fase kritis.

Trombositopenia mengindikasikan pasien memasuki fase kritis dan memerlukan

pengawasan ketat di rumah sakit. (Hadinegoro et al, 2012)

Peningkatan nilai hematokrit (Ht) 10-20% menandakan pasien memasuki

fase kritis dan memerlukan pengobatan cairan intravena apabila tidak dapat

minum oral. Pasien harus dirawat dan diberikan cairan sesuai kebutuhan. Tanda

vital, hasil laboratorium, asupan dan luaran cairan harus dicatat dalam lembar

khusus. (Hadinegoro et al, 2012)

Tabel 1.1 Tanda Bahaya Dengue

Klinis -
Nyeri perut
- Muntah yang persisten
- Akumulasi cairan secara klinis
- Perdarahan mukosa
- Letargi
- Hepatomegali > 2cm
Laboratorium - Peningkatan hematokrit disertai penurunan trombosit

(WHO, 2009)
Tabel 1.2. Kriteria Rawat Inap

Kriteria Rawat Inap


-Adanya tanda bahaya seperti pada
tabel 1.1.
Tanda dan Gejala yang berhubungan Pasien dehidrasi
dengan hipotensi (kemungkinan terjadi Tidak bisa di rehidrasi secara oral
kebocoran plasma) Hipotensi postural
Berkeringat banyak
Pingsan
Kondis umum yang lemah
Akral dingin
Perdarahan Perdarahan spontan, tidak bergantung
pada nilai trombosit

Kegagalan organt Ginjal, hepar, neurologi atau jantung :


- Pembesaran hepar, nyeri walaupun
belum terjadi syok
- Kegagalan respirasi (respiratory
distress
Temuan pada investigasi lebih lanjut -Peningkatan hematocrit
- asites, efusi pleura
Kondisi tertentu - Hamil
- Terdapat komorbid seperti DM,
anemia hemolitik, ulkus peptic,
Hipertensi,
Indikasi sosial Rumah/tempat tinggal yang jauh dari
fasilitas kesehatan
Tinggal sendiri
Tidak ada transport yang dapat
diandalkan
(WHO, 2009)

Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti

bayi, DBD derajat III dan IV, obesitas, perdarahan berat, penurunan kesadaran,

adanya penyulit lain, seperti kelainan jantung bawaan dll, atau rujukan dari

Rumah Sakit lain. (Hadinegoro et al, 2012)

Cairan intravena diberikan apabila terlihat adanya kebocoran plasma yang

ditandai dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien tidak mau makan dan minum
melalui oral. Cairan yang dipilih adalah golongan kristaloid (ringer laktat dan

ringer asetat). (Hadinegoro et al, 2012)

Terapi Infeksi virus dengue

Terapi infeksi virus dengue dibagi menjadi 4 bagian yaitu : (Pudjiaji,2009).

1) DBD tanpa syok (derajat 1 dan 2)

Medikamentosa

 Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan parasetamol bukan aspirin

 Diusahakan tidak memberikan obat obat yang tidak perlu seperti

antasid, antiemetic untuk mengurangi beban detoksifikasi pada

hati.

 Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, bila terdapat

perdarahan saluran cerna, kortikosteroid tidak diberikan.

 Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.

Suportif

 Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan

permeabilitas kapiler
 Cairan intravena diperlukan bila anak muntah terus-menerus,

demam tinggi, dehidrasi yang mempercepat terjadinya syok,

hematokrit yang cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.

Gambar 1.3 Tatalaksana Kasus Tersangka DBD/Infeksi Virus Dengue

(Pudjiaji,2009).
Gambar 1.4 Tatalaksana Kasus Tersangka DBD (Rawat Inap) atau Demam

Dengue (Pudjiaji,2009)
Gambar 1. 5 Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II (Pudjiaji,2009).

Gambar 1.3 Algoritme volume replacement pasien dengan DHF III (WHO,
2012)
Gambar 8. Algoritme volume replacement pasien dengan DHF IV (DSS) (WHO,2012)

Kriteria memulangkan pasien :

1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

2. Nafsu makan membaik


3. Tampak perbaikan secara klinis

4. Hematokrit stabil

5. Tiga hari setelah syok teratasi

6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml

7. dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis)

(Pudjiaji,2009)

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan

khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis

cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.

Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang

intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan

salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid

sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,

kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang

sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat

bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak

mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal

(Suhendro, 2006).

Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh

darah. Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa

keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi

volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih

lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid


memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih

stabil.

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.

Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid

adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi.

Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah.

1.6 Komplikasi

Komplikasi dengue sebagian besar adalah syok yang refrakter, DIC,

ARDS dan disfungsi hepar yang lebih sering terjadi pada syok yang berat. .

(Kamath dan Suchitra,2006). Komplikasi lain dari DHF yaitu ensefalopati

dengue, kelainan ginjal, dan edema paru. (Pudjiaji,2009) . DHF juga dapat

menyebabkan gangguan elektrolit, efusi pleura dan asites. (Singhi et al, 2007)

1.7 Prognosis

Prognosis demam dengue dapat beragam, dipengaruhi oleh adanya

antibodi yang didapat secara pasif atau infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian

telah terjadi pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan penanganan intensif

yang adekuat kematian dapat ditekan <1% kasus. Keselamatan secara langsung

berhubungan dengan penatalaksanaan awal dan intensif. Pada kasus yang jarang,

terdapat kerusakan otak yang disebabkan syok berkepanjangan atau perdarahan

intrakranial (Halstead, 2007).

Demam dengue (dengue fever) merupakan self-limiting disease dengan

tingkat mortalitas < 1%. Ketika diobati, demam berdarah dengue mempunyai

tingkat mortalitas 2-5%. Ketika tidak di obati, demam berdarah dengue

mempunyai tingkat mortalitas lebih dari 50%. Penderita biasanya sembuh tanpa
gejala sisa dan mempunyai kekebalan terhadap serotipe yang menginfeksi.

(Shepherd,2017)

Anda mungkin juga menyukai