evaluasi dan advokasi untuk opsi dan pelayanan bagi pemenuhan kebutuhan pasien dan
keluarganya yang komprehensif, melalui komunikasi dan sumber daya yang tersedia sehingga
memberi hasil (outcome) yang bermutu dengan biaya-efektif.Pengelola kasus bisa berasal dari
kalangan perawat senior, atau dokter, atau profesi lain.
Dengan pola pendidikan dan budaya sistem kesehatan Indonesia, rasanya agak mustahil bila pengelola
kasus ini non perawat atau non dokter. Profesi lain akan sulit berkomunikasi dengan tenaga kesehatan di
dalam rumah sakit. Pengelola kasus bukan merupakan pemberi pelayanan langsung namun mengetahui dan
menguasi proses pelayanan pada pasien dan dapat menjadi orang terdekat pasien selama perawatan di
rumah sakit.
Lebih lanjut, ACMA menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, pengelola kasus mempunyai lima
kategori dalam ruang lingkup pelayanannya, meliputi pendidikan, koordinasi pelayanan, kepatuhan,
pengelolaan transisi, dan pengelolaan utilisasi. Sementara itu, standar pelayanan pengelola kasus menurut
ACMA adalah akuntabilitas, profesionalisme, kolaborasi, koordinasi pelayanan, advokasi, pengelolaan
sumber daya, dan sertifikasi.
Dua hal penting yang bisa dipelajari dari penelitian ini adalah keterikatan hubungan interpersonal yang erat
antara pasien dan pengelola kasus dan bagaimana pengelola kasus dapat memfasilitasi peserta kepada
pelayanan sosial dan pelayanan medis. Para subjek menyampaikan proses mengakses pelayanan kesehatan
yang jauh lebih mudah dan tidak berbelit-belit ketika mereka mempunyai pengelola kasus.
Dalam era sistem jaminan sosial nasional, peran pengelola kasus ini tetap penting. Sistem rujukan
berjenjang dan sistem rujukan balik mudah dipahami di kalangan pemberi layanan kesehatan, namun sulit
diterima para penerima layanan kesehatan. Rujukan berjenjang dikeluhkan sebagai penyulit dalam
mengakses pelayanan medis spesialistik. Peran pengelola kasus mulai diimplementasikan sehingga pasien
setelah rawat inap lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan dalam level yang tepat.
Fungsi inilah yang oleh ACMA digambarkan sebagai pengelolaan transisi dan utilisasi. Pengelolaan transisi
dimulai ketika pasien berada dalam fase post akut. Dalam tahap ini, pengelola kasus mulai dapat
berkontribusi untuk penempatan pasien sesuai dengan level kebutuhan mereka. Setelah pasien keluar dari
rawat inap, pengelola kasus dapat berkomunikasi dengan komunitas dan masyarakat termasuk keluarga
pasien mengenai hal-hal penting terkait kebutuhan kesehatan pasien. Koordinasi saat transisi ini juga
dilengkapi dengan tindak lanjut, bila nanti pasien membutuhkan readmisi (1).
Pengelolaan utilisasi menjadi pekerjaan yang lebih teknis dan administratif bagi pengelola kasus.
Pengelolaan ini mencakup cara pasien mengakses pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya,
namun juga memastikan bahwa pihak ketiga yang menanggung pembiayaan mengerti kebutuhan ini dan
memberikan pembiayaan yang perlu. Semua hal ini akan menjadi tanggung jawab pengelola kasus,
termasuk ketika pihak pembayar tidak dapat melaksanakan fungsinya dan terpaksa memakai sistem lain
untuk pembiayaan pasien tersebut.
Dengan berbagai fungsi ini, jelaslah bahwa pengelolaan kasus di rumah sakit dapat berkontribusi pada
keselamatan, efektivitas, dan efisiensi pelayanan. Dalam tugas dan wewenangnya, dapat pula ditambahkan
peran sebagai penjaga mutu dan sebagai pengawas utilisasi layanan kesehatan. Tantangan yang dihadapi
antara lain sertifikasi dan pendidikan berkala. Berbeda dengan profesi lain yang telah mempunyai asosiasi
profesi, pengelola kasus sampai saat ini belum mempunyai organisasi profesi sehingga belum ada
kesepakatan mengenai pendidikan dan sertifikasinya.
Manajemen pelayanan pasien bersumber dari konsep pelayanan fokus pada pasien (PFP).
2. Berbagi informasi.
a. Pemberi pelayanan kesehatan mengkomunikasikan dan berbagi informasi secara lengkap
dengan pasien dan keluarga.
b. Pasien dan keluarga menerima informasi tepat waktu, lengkap, dan akurat
3. Partisipasi.
Pasien dan keluarga didorong dan didukung untuk berpartisipasi dalam asuhan dan pengambilan
keputusan serta pilihan mereka.
4. Kolaborasi / kerjasama.
Pasien dan keluarga adalah mitra pemberi pelayanan kesehatan. Pemberi pelayanan kesehatan
bekerjasama dengan pasien dan keluarga dalam pengembangan, implementasi dan evaluasi
kebijakan dan program.
TUJUAN.
Tujuan MPP adalah untuk melibatkan pasien dalam asuhan yang dialaminya. Bilamana pasien
merasa menjadi bagian dalam keputusan pengobatan dan rencana asuhan, maka mereka akan
memperoleh manfaat. Hal yang sama juga berlaku bagi keluarganya. Bila keluarga yang
mempunyai relasi erat, suatu kemitraan dengan rumah sakit yang melayani orang yang mereka
kasihi, mereka akan kurang merasa khawatir tentang logistik dan akan lebih banyak fokus
terhadap kesehatan pasien.
HUBUNGAN PROFESIONAL.
Para MPP harus mempunyai hubungan kerja profesional dengan para dokter dan staf klinis.
Mereka juga harus terbiasa dengan pelayanan penagihan (billing), pelayanan bantuan finansial,
bantuan/dukungan dari komunitas serta pelayanan kerohanian.
KELOMPOK PASIEN.
MPP sebaiknya memberikan perhatian lebih kepada pasien-pasien dalam kelompok : anak-anak,
usia lanjut, dan yang dengan penyakit kronis.
Dalam pelaksanaan manajemen pelayanan pasien, MPP dapat menangani 25 – 50 pasien,
tergantung kondisi kerumitan, sistem pelayanan klinis, budaya kerja rumah sakit.
1. Asesmen utilitas. Mampu mengakses semua informasi dan data untuk mengevaluasi
manfaat/utilisasi, untuk kebutuhan manajemen pelayanan pasien. (Semua informasi dan
data akurat, lengkap yang mudah diakses tentang kebutuhan klinis, finansial, serta sosial
pasien)
2. Perencanaan. Dengan asesmen yang lengkap, disusun perencanaan untuk pelaksanaan
manajemen pelayanan pasien. Perencanaan tsb mencerminkan kelayakan/kepatutan dan
efektivitas-biaya dari pengobatan medis dan klinis serta kebutuhan pasien untuk
mengambil keputusan.
3. Fasilitasi. Tugas ini mencakup interaksi antara MPP dan para anggota tim pemberi
pelayanan kesehatan, perwakilan pembayar, serta pasien/keluarga yang
mencari/menginginkan pembebasan dari hambatan namun dapat mempengaruhi
kinerja/hasil, serta menjaga kontinuitas pelayanan.
4. Advokasi. Mewakili kepentingan pasien adalah inti dari peran MPP. Tetapi peran ini
juga menjangkau pemangku kepentingan lain. MPP diharapkan melakukan advokasi
untuk opsi pengobatan yang dapat diterima setelah berkonsultasi dengan DPJP, termasuk
rencana pemulangan yang aman. Advokasi perlu mempertimbangkan sistem nilai pasien,
kemampuan finansial termasuk atas jaminan pembiayaan, pilihan, serta kebutuhan
pelayanan kesehatannya
TANGGUNG JAWAB
MPP dapat bertanggung-jawab ke Direktur / Direktur Medis.
Penatalaksanaan
Melakukan skrining pasien yang membutuhkan manajemen pelayanan pasien, pada waktu
admisi, atau bila dibutuhkan pada waktu di ruang rawat inap, berdasarkan pasien yang meliputi :
– Risiko tinggi,
– Biaya tinggi,
– Potensi komplain tinggi,
– Kasus dengan penyakit kronis,
– Kemungkinan sistem pembiayaan yang komplek,
– Kasus yang melebihi rata-rata lama dirawat,
– Kasus yang diidentifikasi rencana pemulangannya kritis atau yang membutuhkan kontinuitas
pelayanan.
– Kasus komplek / rumit.
3. Setelah pasien ditentukan sebagai klien MPP, maka dilakukan asesmen utilitas dengan
mengumpulkan berbagai informasi klinis, psiko-sosial, sosio-ekonomis, maupun sistem
pembayaran yang dimiliki pasien
4. Menyusun rencana manajemen pelayanan pasien tersebut, berkolaborasi dengan DPJP serta
para anggota tim klinis lainnya, yang mencerminkan kelayakan / kepatutan dan efektivitas-biaya
dari pengobatan medis dan klinis serta kebutuhan pasien untuk mengambil keputusan
5. Melakukan fasilitasi yang mencakup interaksi antara MPP dan DPJP serta para anggota tim
klinis lainnya, berbagai unit pelayanan, pelayanan administrasi, perwakilan pembayar. Fasilitasi
untuk koordinasi, komunikasi dan kolaborasi antara pasien dan pemangku kepentingan, serta
menjaga kontinuitas pelayanan.
9. Ada bukti dokumentasi kegiatan MPP, a.l. termasuk dalam rekam medis seperti pencatatan
dalam formulir edukasi-informasi.