DISUSUN OLEH :
SITI NUR FATIMAH
2016.01.029
B. ETIOLOGI
Dewanto et all (2009) menyebutkan bahwa etiologi perdarahan subarakhnoid
meliputi:
1. Ruptur aneurisma sakular (70-75%)
2. Malformasi arteriovena
3. Ruptur aneurisma fusiform
4. Ruptur aneurisma mikotik
5. Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan antikoagulan, dan gangguan
pembekuan darah
6. Infeksi
7. Neoplasma
8. Trauma
Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan risiko tinggi aneurisma SAH
menurut Feigin et al. (2005) dan Teunissen et al. (1996) dalam Lemonick (2010)
meliputi:
1. Riwayat keluarga dengan aneurisma intrakranial
2. Hipertensi
3. Merokok
4. Atherosklerosis
5. Kontrasepsi oral
6. Usia lanjut
7. Jenis kelamin
8. Pecandu alkohol berat
C. PATOFISIOLOGI
CVA subarakhnoid hemorrhage (SAH) sebagian besar disebabkan oleh
rupturnya aneurisma serebral. Segera setelah perdarahan, rongga subarakhnoid
dipenuhi dengan eritrosit di CSF. Eritrosit ini mengikuti salah satu dari beberapa
jalan kecil di otak. Beberapa eritrosit akan berikatan menjadi bekuan pada area
perdarahan. Sebagian besar eritrosit akan berikatan dengan arachnoid villi dan
trabekulae. Akibatnya, otak akan mengalami edema. Eritrosit juga berpindah dari
ruang subarakhnoid melalui fagositosis. Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah
perdarahan. Makrofag CSF, muncul dari sel mesotelial arakhnoid atau memasuki
ruang subarakhnoid melalui pembuluh meningeal, dapat secara langsung memecah
eritrosit di CSF atau merubahnya menjadi bekuan darah (Hayman et al., 1989).
Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak menjadi berkurang, sehingga
menyebabkan terjadinya iskemi pada jaringan otak dan lama-lama akan
menyebabkan terjadinya infark serebri.
Selanjutnya, jaringan otak yang mengalami iskemi/ infark akan menyebabkan
gangguan/ kerusakan pada sistem saraf. Pada pasien dengan SAH yang masih hidup,
sering mengalami kelumpuhan pada saraf kranial kiri, paralisis, aphasia, kerusakan
kognitif, kelainan perilaku, dan gangguan psikiatrik (Bellebaum et al., 2004 dalam
American Association of Neuroscience Nurses, 2009).
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Hunt dan Hess (1968) dalam Dewanto G, et al. 2009, gejala CVA SAH
dapat dilihat dari derajat nya, yaitu:
Pasien dengan perdarahan sub arachnoid didapatkan gejala klinis Nyeri kepala
mendadak, adanya tanda rangsang meningeal (mual, muntah, fotofobia/intoleransi
cahaya, kaku kuduk), penurunan kesadaran, serangan epileptik, defisit neurologis
fokal (disfasia, hemiparesis, hemihipestesia (berkurangnya ketajaman sensasi pada
satu sisi tubuh) . Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi. Ada gejala/tanda
rangsangan meningeal. Edema papil dapat terjadi bila ada perdarahan sub arachnoid
karena pecahnya aneurisma pada arteri (Dewanto et al., 2009).
Onset dari gejalanya biasanya tiba-tiba perjalanan penyakit perdarahan
subarochnoid yang khas dimulai dengan sakit kepala yang sangat hebat (berbeda
dengan sakit kepala biasa), onset biasanya 1-2 detik hingga 1 menit dan sakit
kepalanya sedemikian rupa sehingga mengganggu aktivitas yang dilaksanakan oleh
penderita. Sakit kepala makin progresif, kemudian diikuti nyeri dan kekakuan pada
leher, mual muntah sering dijumpai perubahan kesadaran (50%) kesadaran hilang
umumnya 1-2 jam, kejang sering dijumpai pada fase akut (sekitar 10-15%)
perdarahan subarochnoid sering diakibatkan oleh arterivena malformasi. Umumnya
onset saat melakukan aktivitas 24-36 jam setelah onset dapat timbul febris yang
menetap selama beberapa hari.
E. KLASIFIKASI
Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu: (Muttaqin,
2008)
a. Stroke Hemoragi,
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid.
Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu.
Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa
juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun. Perdarahan
otak dibagi dua, yaitu:
1) Perdarahan intraserebra
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena
hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak,
membentuk massa yang menekan jaringan otak, dan menimbulkan
edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi cepat, dapat
mengakibatkan kematian mendadak karena herniasi otak. Perdarahan
intraserebral yang disebabkan karena hipertensi sering dijumpai di
daerah putamen, thalamus, pons dan serebelum.
2) Perdarahan subaraknoid
Pedarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry atau
AVM. Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh darah
sirkulasi willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat diluar parenkim
otak.Pecahnya arteri dan keluarnya keruang subaraknoid
menyebabkan TIK meningkat mendadak, meregangnya struktur peka
nyeri, dan vasospasme pembuluh darah serebral yang berakibat
disfungsi otak global (sakit kepala, penurunan kesadaran) maupun
fokal (hemiparase, gangguan hemisensorik, dll)
b. Stroke Non Hemoragi
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral,
biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di
pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang
menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder.
Kesadaran umumnya baik.
F. KOMPLIKASI
1. Perdarahan Ulang
Komplikasi awal dari perdarahan otak ini adalah aneurisma otak yang bisa
muncul kembali setelah terjadi penyembuhan sendiri, atau disebut dengan
perdarahan ulang. Risiko ini sangat tinggi dan cenderung menyebabkan cacat
permanen hingga kematian. Untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang,
aneurisma yang berisiko tinggi pada otak harus ditutup dengan menggunakan
sejenis staple bedah untuk memotong aneurisma dari sisa arteri. Bisa juga dengan
memasukkan kateter melalui arteri menuju aneurisma dan memasukkan zat sealant
untuk menyegel aneurisma.
2. Hidrosepalus
Terkadang, gumpalan darah akibat dari perdarahan subarachnoid dapat
tersangkut di salah satu bagian drainase alami dari cairan serebrospinal atau CSF.
Biasanya, cairan ini dibuat di bagian ventrikel otak yang akan mengalir melalui
bukaan kecil yang disebut foramina. Apabila terjadi penyumbatan pada bagian
bukaan ini, CSF yang diproduksi jadi tidak memiliki tempat aliran. Akibatnya,
terjadi peningkatan di dalam ventrikel otak atau lebih dikenal hidrosepalus.
Tekanan ini menyebar hingga ke otak dan ke bagian tengkorak lainnya.
Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan penurunan kesadaran yang
berujung dengan koma. Jika tidak segera ditangani, otak dapat terdorong melalui
bagian yang ketat seperti pembukaan pada bagian dasar tengkorak, yang bisa
menyebabkan kematian.
3. Kejang (Seizure)
Darah dapat mengiritasi bagian korteks serebral dan menyebabkan kejang.
Namun, hanya sebagian kecil pasien SAH yang terus mengalami epilepsi. Dokter
mempertimbangkan pemberian pencegahan antiepilepsi dalam periode waktu
sesegera mungkin setelah perdarahan. Tetapi, penggunaan antiepilepsi jangka
panjang tidak dianjurkan mengingat efek samping yang ditimbulkan.
4. Vasospasme
Terakhir adalah vasospasme, kondisi saat pembuluh darah di otak mengalami
kejang dan menjepit, mengurangi bahkan menghentikan aliran darah ke otak yang
berujung pada stroke. Komplikasi ini biasanya terjadi antara 7 sampai 10 hari
setelah perdarahan awal. Gejala paling mudah dikenali adalah sering mengantuk
yang berujung pada koma atau menunjukkan gejala seperti stroke. Pengobatan
yang biasa dilakukan dengan pemberian nimodipin.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Radiologis
- CT Scan
Hasil yang di dapatkan menunjukkan bahwa darah SAH pada CT Scan tanpa
bentuk berarti pada ruang subarakhnoid disekitar otak, kemudian membentuk
sesuatu yang secara normal berwarna gelap muncul menjadi putih. Efek ini
secara khas muncul sebagai bentuk bintang putih pada pusat otak seperti
gambar berikut ini.
Sedangkan lokasi darah pada umumnya terdapat di basal cisterns, fisura
sylvian, atau fisura interhemisper yang mengindikasikan ruptur saccular
aneurysma. Darah berada di atas konfeksitas atau dalam parenkim superfisial
otak sering mengindikasikan arteriovenous malformation atau mycotic
aneurysm rupture (AANN, 2009).
- Pungsi lumbar
Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat xanthochromia (CSF berwarna
kuning yang disebabkan oleh rusaknya hemoglobin) dimana sensitivitas
pemeriksaan ini lebih besar dari 99% (AANN, 2009).
- CTA (computed tomography angiography)
dilakukan jika diagnosis SAH telah dikonfirmasi dengan CT Scan atau LP.
- Rotgen toraks untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.
b. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau
leukositosis setelah terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik (Dewanto et
al., 2009).
2. Adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombosis
(Weiner, 2000).
3. Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati
sebelumnya.
4. Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.
H. PENATALAKSANAAN
1. Pemeriksaan umum
a) Sistem jalan nafas dan kardiovaskuler. Pantau ketat di unit perawatan
intensif atau lebih baik di unit perawatan neurologis.
b) Lingkungan. Pertahankan tingkat bising yang rendah dan batasi
pengunjung sampai aneurisma ditangani.
c) Nyeri. Morfin sulfat (2-4 mg IV setiap 2-4 jam) atau kodein (30-60 mg IM
setiap 4 jam).
d) Profilaksis gastrointestinal. Ranitidin (150 mg PO 2x sehari atau 50 mg IV
setiap 8-12 jam) atau lansoprazol (30 mg PO sehari)
e) Profilaksis deep venous thrombosis. Gunakan thigh-high stockings dan
rangkaian peralatan kompresi pneumatik; heparin (5000 U SC 3x sehari)
setelah terapi aneurisma.
f) Tekanan darah. Pertahankan tekanan darah sistolik 90-140 mmHg sebelum
terapi aneurisma, kemudian jaga tekanan darah sistolik < 200 mmHg.
g) Glukosa serum. Pertahankan kadar 80-120 mg/dl; gunakan sliding scale
atau infus kontinu insulin jika perlu
h) Suhu inti tubuh. Pertahankan pada ≤ 37,2 0C; berikan
asetaminofen/parasetamol (325-650 mg PO setiap 4-6 jam) dan gunakan
peralatan cooling bila diperlukan.
i) Calcium antagonist. Nimodipin (60 mg PO setiap 4 jam selama 21 hari).
j) Terapi antifibrinolitik (opsional). Asam aminokaproat (24-48 jam pertama,
5 g IV dilanjutkan dengan infus 1,5 g/jam)
k) Antikonvulsan. Fenitoin (3-5 mg/kg/hari PO atau IV) atau asam valproat
(15-45 mg/kg/hari PO atau IV)
l) Cairan dan hidrasi. Pertahankan euvolemi (CVP, 5-8mmHg); jika timbul
vasospasme serebri, pertahankan hipervolemi (CVP, 8-12 mmHg atau
PCWP (pulmonal capillary wedge pressure) 12-16 mmHg.
m) Nutrisi. Coba asupan oral (setelah evaluasi menelan) untuk alternatif lain,
lebih baik pemberian makanan enteral.
2. Terapi lain
a) Surgical clipping. Dilakukan dalam 72 jam pertama
b) Endovascular coiling. Dilakukan dalam 72 jam pertama
3. Komplikasi umum
a) Hidrosefalus. Masukkan drain ventrikular eksternal atau lumbar.
b) Perdarahan ulang. Berikan terapi suportif dan terapu darurat aneurisma.
c) Vasospasme serebri. Beri nimodipin; pertahankan hipervolemi atau
hipertensi yang diinduksi dengan fenilefrin, norepinefrin, atau dopamin;
terapi endovascular (angioplasti transluminal atau vasodilator langsung)
d) Bangkitan. Lorazepam (0,1 mg/kg, dengan kecepatan 2 mg/menit) atau
diazepam 5-10 mg, dilanjutkan dengan fenitoin (20 mg/kg IV bolus dengan
kecepatan < 50 mg/menit sampai dengan 30 mg/kg).
e) Hiponatremia. Pada SIADH: restriksi cairan; Pada serebral salt wasting
syndrome: secara agresif gantikan kehilangan cairan dengan 0,9% NaCl
atau NaCl hipertonis.
f) Aritmia miokardia. Metoprolol (12,5-100 mg PO 2x sehari); evaluasi
fungsi ventrikel; tangani aritmia
g) Edema pulmonal. Berikan suplementasi oksigen atau ventilasi mekanik
bila perlu
I. PENGKAJIAN
Anamnesis
a) Identitas klien mencakup nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan diagnosa medis.
b) Keluhan utama pada umumnya akan terlihat bila sudah terjadi disfungsi neurologis.
Keluhan yang sering didapatkan meliputi: Nyeri kepala mendadak, adanya tanda
rangsang meningeal (mual, muntah, fotofobia/intoleransi cahaya, kaku kuduk),
penurunan kesadaran, serangan epileptik, defisit neurologis fokal (disfasia,
hemiparesis, hemihipestesia (berkurangnya ketajaman sensasi pada satu sisi tubuh).
c) Riwayat penyakit sekarang yang mungkin didapatkan meliputi adanya riwayat
trauma, riwayat jatuh, keluhan mendadak lumpuh pada saat klien melakukan aktivitas,
keluhan pada gastrointestinal seperti mual, muntah, bahkan kejang sampai tidak sadar,
di samping gejala kelumpuhan separuh badan atau ganggguan fungsi otak yang lain,
selisah, letargi, lelah, apatis, perubahan pupil, dll.
d) Riwayat penyakit dahulu meliputi penggunaan obat-obatan (analgesik, sedatif,
antidepresan, atau perangsang syaraf), keluhan sakit kepala terdahulu, riwayat trauma
kepala, kelainan kongenital, peningkatan kadar gula darah dan hipertensi.
e) Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan tentang adanya keluarga yang menderita
hipertensi atau diabetes.
f) Pengkajian psikososial meliputi status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
g) Kemampuan koping normal meliputi pengkajian mengenai dampak yang timbul pada
klien seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
h) Pengkajian sosioekonomispiritual mencakup pengkajian terhadap fungsi neurologis
dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
2. PEMERIKSAAN FISIK
a) Tingkat kesadaran
Tingkat Responsivitas Klinis
Terjaga Normal
Sadar Dapat tidur lebih dari biasanya, sedikit bingung saat pertama
kali terjaga, tetapi berorientasi sempurna ketika terbangun.
Letargi Mengantuk tetapi dapat mengikuti perintah sederhana ketika
dirangsang.
Stupor Sangat sulit untuk dibangunkan, tidak konsisten dalam
mengikuti perintah sederhana atau berbicara satu kata atau
Semikomatosa frase pendek.
Gerak bertujuan ketika dirangsang tidak mengikuti perintah,
Koma atau berbicara koheren.
Dapat berespon dengan postur secara refleks ketika
distimulasi atau dapat tidak beresepon pada setiap stimulus.
b) Keadaan umum
penderita dalam kesadaran menurun atau terganggu postur tubuh mengalami ganguan
akibat adanya kelemahan pada sisi tubuh sebelah atau keseluruhan lemah adanya
gangguan dalam berbicara kebersihan diri kurang serta tanda-tanda vital (hipertensi)
1. Sistem Integumen
- Kulit tergantung pada keadaan penderita apabila kekurangan O2 kulit akan
kebiruan kekurangan cairan turgor jelek berbaring terlalu lama atau ada
penekanan pada kulit yang lama akan timbul dekubitus.
- Kuku jika penderita kekurangan O2 akan tampak kebiruan
2. Pemeriksaan Kepala atau Leher
- Bentuk normal simetris
- Bentuk kadang tidak simetris karena adanya kelumpuhan otot daerah muka
tampak gangguan pada mata kadaan onga mulut kotor karena kuang
perawatan diri .
- Bentuk normal pembesaran kelenjar thyroid tidak ada .
3. Sistem pernafasan
Adanya pernafasan dispnoe, apnoe atau normal serta obstrusi jalan nafas,
kelumpuhan otot pernafasan penggunaan otot-otot bantu pernafasan, terdapat
suara nafas ronchi dan whezing.
4. Sistem kardio vaskuler
Bila penderita tidak sadar dapat terjadi hipertensi atau hipotensi, tekanan
intrakranial meningkat serta tromboflebitis, nadi bradikardi, takikardi atau
normal
5. Sistem pencernaan
Adanya distensi perut, pengerasan feses, penurunan peristaltik usus, gangguan
BAB baik konstipasi atau diare .
6. Ekstrimitas
Adanya kelemahan otot, kontraktur sendi dengan nilai ROM : 2, serta
kelumpuhan.
7. Pemeriksaan urologis
Pada penderita dapat terjadi retensi urine, incontinensia infeksi kandung
kencing, serta didapatkannya nyeri tekan kandung kencing.
c) Saraf Kranial
1. Saraf Kranial I (olfaktorius/ penciuman) : Biasanya pada klien stroke tidak
ada kelainan pada fungsi penciuman.
2. Saraf Kranial II (optikus/ penglihatan) : Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensorik primer di antara mata dan korteks visual.
3. Saraf Kranial III, IV, dan VI (okulomotorius/ mengangkat kelopak mata,
troklearis, dan abdusens) : Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis
seisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat
unilateral di sisi yang sakit.
4. Saraf Kranial V (trigeminus) : paralisis saraf trigeminus, didapatkan
penurunan kemampuan koodinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan rahang
bawah ke sisi ipsilateral dan kelumpuhan seisi otot-otot pterigoideus internus
dan eksternus.
5. Saraf Kranial VII (fasialis) : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
6. Saraf Kranial VIII (vestibulokoklearis) : tidak dietmukan tuli konduktif
dan tuli perseptif.
7. Saraf Kranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus) : Kemampuan menelan
kurang baik, kesukaran membuka mulut.
8. Saraf Kranial XI (aksesoris) : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapesius.
9. Saraf Kranial XII (hipoglosus) : lidah simetris, terdapat deviasi pada satu
sisi dan fasikulasi. Indra pengecap normal.
d) Sistem Motorik
Refleks : pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks
patologis.
Gerakan involunter :pada umumnya kejang.
e) Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi
Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan 1) Tentukan pencapaian berat badan harian sesuai
tindakan keperawat keinginan
2) Timbang BB klien secara rutin
±
3) Monitor intake/asupan dan asupan cairan
3 x 24 jam secara tepat
4) Monitor tanda - tanda fisiologis ( tanda – tanda
diharapkan nutrisi
vital, elektrolit ) jika diperlukan
klien dapat terpenuhi 5) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemenuhan
kebutuhan nutrisi klien
6. Defisit perawatan diri : mandi dan eliminasi berhubungan dengan kelemahan neuromuskular,
menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan 1) Sediakan barang pribadi yang diiinginkan
2) Fasilitasi klien untuk menggosok gigi
tindakan keperawat
dengan tepat
± jam 3 x 24 jam
3) Monitor kebersihan kuku
diharapkan klien 4) Monitor integritas kulit klien
5) Berikan bantuan sampai klien benar –
dapat melakukan
benar mampu merawat diri secara
aktivitas kebersihan
mandiri
secara mandiri
DAFTAR PUSTAKA
American Association of Neuroscience Nurses (AANN). 2009. Care of the Patient with
Aneurysmal Subarachnoid Haemorrhage. www.aann.org
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 58.
Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Weiner, Howard L. 2000. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed. 4. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Dewanto G, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: EGC.
Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta:EGC
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID
HEMORRHAGE
(CVA-SAH)
Oleh :
Mengetahui
Kaur R. 26 s
( )
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID
HEMORRHAGE
(CVA-SAH)
Oleh :
Mengetahui
Kaur R. 26 s
( )
LEMBAR KONSUL