Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sirosis Hepatis didefinisikan sebagai penyakit hati kronik yang

menyebabkan proses difus pembentukan nodul dan fibrosis pada hati. Prevalensi

sirosis hepatis di dunia diperkirakan 100 (kisaran 25-100)/100.000 penduduk,

tetapi hal tersebut bervariasi menurut negara dan wilayah. Sirosis hepatis

menempati urutan ke-14 penyebab kematian tersering pada orang dewasa di

dunia. Menurut laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, rata-rata

prevalensi sirosis hepatis adalah 3,5% dari seluruh pasien yang di rawat di bangsal

penyakit dalam (Lovena, Miro, & Padang, 2017)

Di Indonesia sekitar 20 juta penduduk terserang penyakit hati menahun.

Angka ini merupakan perhitungan dari prevalensi penderita dengan infeksi

hepatitis B di Indonesia yang berkisar 5-10% dan hepatitis C sekitar 2-3%. Dalam

perjalanan penyakitnya, 20-40% dari jumlah penderita penyakit hati menahun itu

akan menjadi sirosis hati dalam waktu sekitar 15 tahun, tergantung sudah berapa

lama seseorang menderita hepatitis menahun itu (Emiliana, 2013).

Penyebab utama sirosis hepatis di negara barat adalah alkohol dan Hepatitis

C, sedangkan di Indonesia penyebab utama sirosis hepatis adalah Hepatitis B

(40% - 50%) dan Hepatitis C (30% - 40%). Secara klinis, sirosis hepatis terbagi

menjadi sirosis hepatis kompensata dan sirosis hepatis dekompensata, perubahan

dari kompensata menjadi dekompensata disebabkan oleh insufisiensi sel hati dan

hipertensi portal. Hal tersebut akan memengaruhi tes fungsi hati dan pemeriksaan

hematologi, beberapa diantaranya yaitu albumin, trombosit, dan kadar kreatinin.

1
2

Albumin merupakan protein yang hanya disintesis di hati sehingga kadarnya akan

memburuk sesuai pemburukan hati. Jumlah trombosit pada sirosis hepatis

biasanya akan mengalami penurunan dan akan meningkatkan risiko perdarahan

pada pasien sirosis hepatis. Pengukuran serum kreatinin dapat digunakan untuk

menilai fungsi ginjal pada pasien sirosis hepatis. Komplikasi yang terjadi pada

sirosis hepatis akan meningkatkan risiko kematian dan angka kesakitan pasien,

komplikasi yang dapat terjadi adalah perdarahan saluran cerna, asites, sindrom

hepatorenal, ensefalopati hepatik, peritonitis bacterial spontan dan karsinoma

hepatoselular (Lovena et al., 2017).

Melihat kondisi tersebut maka penulis beranggapan bahwa angka kejadian

sirosis hepatis di dunia maupun jumlah penderita sirosis hepatis di Indonesia

sangatlah besar dan jika angka kejadian tersebut tidak ditekan dan masalah tidak

segera ditangani maka akan timbul masalah-masalah meliputi peningkatan jumlah

penderita sirosis hepatis yang akhirnya akan menambah angka kematian. Untuk

itu perawat sebagai tenaga kesehatan harus memiliki pengetahuan dan

keterampilan yang cukup untuk menangani pasien dengan sirosis hepatis.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mengetahui lebih lanjut dari perawatan penyakit ini maka penulis

akan melakukan kajian lebih lanjut dengan melakukan asuhan keperawatan sirosis

hepatis dengan membuat rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah

asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis sirosis hepatis di ruang

HCU Rumkital Dr. Ramelan Surabaya?”


3

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien dengan diagnosa sirosis

hepatis di ruang HCU Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengkaji pasien dengan diagnosa sirosis hepatis di ruang HCU Rumkital

Dr. Ramelan Surabaya.

2. Merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan diagnosa sirosis

hepatis di Ruang HCU Rumkital Dr. Ramelan Surabaya

3. Menyusun rencana asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa sirosis

hepatis di Ruang HCU Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

4. Melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan sirosis hepatis di

Ruang HCU Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

5. Mengevaluasi klien dengan diagnosa sirosis hepatis di Ruang HCU

Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

6. Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa

sirosis hepatis di Ruang HCU Rumkital Dr. Ramelan Surabaya.

1.4 Manfaat

Terkait dengan tujuan, maka tugas akhir ini diharapkan dapat memberi

manfaat:

1. Akademis, hasil karya tulis ilmiah ini merupakan sumbangan bagi ilmu

pengetahuan khususnya dalam hal asuhan keperawatan pada klien dengan

sirosis hepatis.

2. Secara praktis, tugas akhir ini akan bermanfaat bagi :


4

a. Bagi pelayanan keperawatan di rumah sakit

Hasil karya tulis ilmiah ini dapat menjadi masukan bagi pelayanan di

rumah sakit agar dapat melakukan asuhan keperawatan klien dengan

sirosis hepatis dengan baik.

b. Bagi peneliti

Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan bagi peneliti

berikutnya yang akan melakukan karya tulis ilmiah pada asuhan

keperawatan pada klien dengan sirosis hepatis.

c. Bagi profesi kesehatan

Sebagai tambahan ilmu bagi profesi keperawatan dan memberikan

pemahaman yang lebih baik tentang asuhan keperawatan pada klien

dengan sirosis hepatis.

1.5 Metode Penulisan

1. Metode

Metode yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah

metode deskriptif, yaitu metode yang sifatnya mengungkapkan peristiwa atau

gejala yang terjadi pada waktu sekarang yang meliputi studi kepustakaan yang

mempelajari, mengumpulkan, membahas data dengan studi pendekatan proses

keperawatan dengan langkah-langkah pengkajian, diagnosis, perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan

pertanyaan kepada pasien maupun keluarganya. Dalam hal ini wawancara


5

dilakukan dengan melakukan tanya jawab kepada pasien dan keluarganya pada

saat pengkajian tanggal 27 juni 2019.

b. Observasi

Data yang diambil melalui percakapan baik dengan pasien, keluarganya

maupun tim kesehatan lainnya yang dilakukan pada saat pengkajian tanggal 27

juni 2019.

c. Pemeriksaan

Meliputi pemeriksaan fisik yang dilakukan saat pengkajian tanggal 27 juni

2019 dan laboratorium yang dapat menunjang untuk menegakkan diagnosa dan

penanganan selanjutnya.

3. Sumber Data

Sumber data yang diperoleh adalah dari:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pasien.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari keluarga atau orang

terdekat pasien, catatan medik perawat, dan hasil – hasil pemeriksaan dan

tim kesehatan lainnya.

4. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu mempelajari buku sumber yang berhubungan

dengan judul karya tulis ilmiah dan masalah yang dibahas.

1.6 Sistematika Penulisan

Supaya lebih jelas dan lebih mudah dalam mempelajari dan memahami

karya tulis ilmiah ini, secara keseluruhan dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
6

1. Bagian awal, memuat halaman judul, persetujuan komisi pembimbing,

pengesahan, kata pengantar, daftar isi.

2. Bagian inti, terdiri dari lima bab, yang masing-masing bab terdiri dari sub

bab berikut ini:

BAB 1: Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, tujuan,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan karya tulis ilmiah.

BAB 2: Tinjauan Pustaka, berisi tentang konsep penyakit dari sudut medis

dan asuhan keperawatan pada pasien dengan sirosis hepatis, serta kerangka

masalah.

BAB 3: Tinjauan Kasus, berisi tentang diskripsi data hasil pengkajian,

diagnosa, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

BAB 4: Pembahasan, berisi tentang perbandingan antara teori dengan

kenyataan yang ada di lapangan.

3. Bagian akhir, terdiri dari daftar pustaka dan lampiran.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab 2 ini akan diuraikan secara teoritis mengenai konsep penyakit

dan asuhan keperawatan pasien dengan sirosis hepatis. Konsep penyakit diuraikan

anatomi fisiologi, definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, komplikasi,

pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan. Asuhan keperawatan akan

diuraikan masalah-masalah yang muncul pada penyakit sirosis hepatis dengan

melakukan asuhan keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa,

perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan kerangka masalah.

2.1 Konsep Penyakit Sirosis Hepatis

2.1.1 Anatomi Hati

Gambar 2.1 Anatomi Hati

Sumber: (Setiadi, 2016)

Hati (hepar) adalah organ yang paling besar besar di dalam tubuh kita,

warnanya coklat dan beratnya sekitar 1500 gram. Letaknya di bagian atas dalam

rongga abdomen di sebelah kanan bawah diafragma. Hepar terletak di quadran

7
8

kanan atas abdomen, dibawah diafragma dan terlindungi ileh tulang rusuk

(costae), sehingga dalam keadaan normal (hepar yang sehat tidak teraba). Hati

menerima darah teroksigenasi dari arteri hepatica dan darah yang tidak

teroksigenasi tetapi kaya akan nutrient vena porta hepatica (Setiadi, 2016).

Hati adalah organ visceral (dalam rongga abdomen) terbesar yang terletak

di bawah kerangka iga. Pada kondisi hidup, hati berwarna merah tua karena kaya

akan persediaan darah kaya nutrient dari vena portal dan vena hepatika

(Syaifuddin, 2011).

Gambar 2.2 Posisi Hati

Sumber: (Syaifuddin, 2011)

a. Pembagian hati menurut Mohamad (2014)

Hati terbagi atas 2 lapisan utama, yaitu:

1) Permukaan atas berbentuk cembung, terletak dibawah diafragma

2) Permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan fisura


9

transfersus dan fisura longitudinal yang memisahkan belahan kanan

dan kiri dibagian atas hati, selanjutnya hati terbagi 4 belahan yaitu lobus

kanan, lobus kiri, lobus kaudata, dan lobus quadratus.

b. Pembuluh darah pada hati menurut Pearce (2015)

Hati mempunyai 2 jenis peredaran darah yaitu:

1) Arteri hepatica, ysng keluar dari aorta dan memberi 80 % darah pada

hati. Darah ini mempunyai kejenuhan 95-100% masuk ke hati akan

membentuk jaringan kapiler setelah bertemu dengan kapiler vena,

akhirnya keluar sebagai vena hepatica.

2) Vena porta, yang terbentuk dari linealis dan vena mesentrika superior

menghantarkan 20% darahnya ke hati. Darah ini mempunyai kejenuhan

70% sebab beberapa O2 telah diambil oleh limfe dan usus, guna darah

ini membawa zat makanan ke hati yang telah diabsorpsi oleh mukosa

dan usus halus. Darah berasal dari vena porta bersentuhan erat dengan

sel hati dan setiap lobulus disaluri oleh sebuah pembuluh sinusoid darah

atau kapiler hepatica. Pembuluh darah halus berjalan diantara lobulus

hati disebut vena interlobuler.

c. Fungsi hati menurut Judha (2012)

1. Sekresi

a) Hati memproduksi empedu dibentuk dalam sistem retikulo

endotelium yang dialirkan ke empedu yang berperan dalam

emulsifikasi dan absorbsi lemak.

b) Menghasilkan enzim glikogenik yang mengubah glukosa menjadi

glikogen .
10

2. Metabolisme

a) Hati berperan serta dalam mempertahankan homeostatik gula

darah.

b) Hati menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen dan mengubahnya

kembali menjadi glukosa jika diperlukan oleh tubuh.

c) Hati mengurai protein dari sel-sel tubuh dan sel darah merah yang

rusak dan hasil penguraian protein menghasilkan urea dari asam

amino berlebih dan sisa nitrogen.

d) Hati menerima asam amino diubah menjadi ureum dikeluarkan dari

darah oleh ginjal dalam bentuk urin.

e) Hati mensintesis lemak dari karbohidrat dan protein.

3. Penyimpanan

a) Hati menyimpan glikogen, lemak, vitamin A,D,E,K dan zat besi

yang disimpan sebagai ferritin, yaitu suatu protein yang

mengandung zat besi dan dapat dilepaskan bila zat besi diperlukan.

b) Mengubah zat makanan yang diabsorpsi dari usus dan disimpan

disuatu tempat dalam tubuh, dikeluarkannya sesuai dengan

pemakaiannya dalam jaringan.

4. Detoksifikasi

a) Hati melakukan inaktivasi hormone dan detoksifikasi toksin dan

obat serta memfagositosis eritrosit.

b) Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresi dalam

empedu dan urin

5. Membentuk dan menghancurkan sel-sel darah merah selama 6 bulan


11

masa kehidupan fetus yang kemudian diambil alih oleh susum tulang

belakang.

2.1.2 Definisi Sirosis Hepatis

Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan

adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan

adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat

dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan

sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat

dan nodul tersebut (Diyono & Mulyanti, 2013).

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium

akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative (Sudoyono Aru, dkk

2009).

Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai dengan adanya difus dan

peradangan menahun pada hati, yang diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, serta

degenerasi dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan

parenkim hati (Mubarak, 2015).

2.1.3 Etiologi

Etiologi menurut Dinoyo & Mulyanti (2013) sebagai berikut:

1. Etiologi yang diketahui penyebabnya, yaitu:

a. Hepatitis virus B & C

b. Alkohol

c. Metabolik

d. Kolestasis kronik/sirosis siliar sekunder intra dan eksra hepatik


12

e. Obstruksi aliran vena hepatik, seperti penyakit vena oklusif,

perikarditis, payah jantung kanan

f. Gangguan imunologis seperti hepatitis lupoid, hepatitis kronik aktif

g. Toksik dan obat seperti INH, metildopa

h. Operasi pintas usus halus pada obesitas

i. Malnutrisi, infeksi seperti malaria

2. Etiologi tanpa diketahui penyebabnya

Sirosis yang tidak diketahui penyebabnya dinamakan sirosis

kriptogenik

2.1.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis menurut Yuliana Elin (2009), yaitu:

1. Keluhan pasien:

a. Pruritus

b. Urin berwarna gelap

c. Ukuran lingkar pinggang meningkat

d. Turunnya selera makan dan t urunnya berat badan

e. Ikterus (kuning pada kulit dan mata) muncul belakangan

2. Tanda klasik:

a. Telapak tangan merah

b. Pelebaran pembuluh darah

c. Peningkatan waktu protombin adalah tanda yang lebih khas

d. Ensefalopati hepatitis dengan hepatitis fulminant akut dapat terjadi dalam

waktu singkat dan pasien akan merasa mengantuk, delirium, kejang, dan

koma dalam waktu 24 jam.


13

e. Onset ensefalopati hepatitis sengan gagal hati kronik lebih lambat dan

lemah

2.1.5 Patofisiologi

Ada tipe-tipe sirosis atau pembentukan parut dalam hati (Huda & Kusuma,

2016):

1. Sirosis portal Laennec dimana jaringan parut secara khas mengelilingi

daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.

2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar

sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.

3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati

disekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan

infeksi. Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal

tempat kanalikus biliaris dari masing-masing lobules hati bergabung untuk

membentuk saluran empedu baru. Dengan demikian akan terjadi

pertumbuhan jaringan yang berlebihan, terutama terdiri atas saluran

empedu yang baru dan tidak berhubungan yang dikelilingi oleh jaringan

parut.

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi sirosis hepatis menurut Brunner & Suddarth (2012) antara

lain:

1. Hipertensi portal

Adalah peningkatan hepatic venous pressure gradient (HVPG) lebih

dari 5 mmHg. Hipertensi portal merupakan sindroma klinis yang

sering terjadi. Bila gradient tekanan portal (perbedaan tekanan antara


14

vena portal dan vena cava inferior) diatas 10-20 mmHg, komplikasi

hipertensi portal dapat terjadi.

2. Asites

Penyebab asites yang paling banyak pada sirosis hepatis adalah

hipertensi portal, disamping adanya penurunan fungsi sintesis pada

hati dan disfungsi ginjal yang akan mengakibatkan akumulasi cairan

dalam peritoneum.

3. Varises Esofagus

Varises esofagus merupakan kolateral portosistemik yang paling

sering. Pecahnya pembuluh darah pada esofagus mengakibatkan

perdarahan yang berakibat fatal.

4. Peritonitis bacterial spontan

Peritonitis bacterial spontan merupakan komplikasi berat dan sering

terjadi pada asites yang ditandai dengan infeksi spontan cairan asites

tanpa adanya focus infeksi intraabdominalis.

5. Sindroma hepatorenal

Merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan organic ginjal yang

ditemukan pada sirosis hepatis lanjut. Sindroma ini dapat ditemukan

pada penderita sirosis hepatis dengan asites refrakter. Sindroma

hepatorenal tipe 1 ditandai dengan gangguan progresif fungsi ginjal

dan penurunan klirens kreatinin secara bermakna dalam 1-2 minggu.

Tipe 2 ditandai dengan penurunan filtrasi glomerulus dengan

peningkatan serum kreatinin.


15

6. Ensefalopati hepatikum

Mekanisme terjadinya Ensefalopati Hepatikum (EH) adalah akibat

hiperamonia, terjadi penurunan hepatic uptake sebagai akibat dari

intrahepatic portalsystemic shunts atau penurunan sintesis urea dan

glutamic. Berikut ini tingkatan gejala penyakit ensefalopati hepatikum:

a. Tingkat 0

Disebut sebagai ensefalopati hepatikum minimal (ensefalopati

hepatikum subklinis), pengidap akan mengalami perubahan

minimal yang dapat terdeteksi dalam kepribadian atau perilaku.

Perbahan minimal tersebut akan terjadi pada memori, konsentrasi,

fungsi intelektual, dan koordinasi.

b. Tingkat 1

Pengidap mengalami penurunan kesadaran dalam menjawab

pertanyaan. Rentang perhatian akan mudah beralih. Pengidap juga

mulai mengalami hipersomnia atau insomnia. Euforia, depresi

atau lekas marah, kebingungan ringan juga akan dialami.

Pengidap juga akan mulai mengalami tremor.

c. Tingkat 2

Pengidap mengalami lesu, apatis, disorientasi, bicara mulai cadel,

tremor yang jelas tampak, sulit melakukan pekerjaan, perubahan

kepribadian yang jelas, bahkan perilaku yang tidak pantas.

d. Tingkat 3

Pengidap sering mengalami kantuk namun dapat dibangunkan, ia

akan mulai tidak dapat melakukan tugas mental, disorientasi


16

tentang waktu dan tempat, kebingungan, amnesia, dan mudah

marah.

e. Tingkat 4

Pengidap menglami koma dengan atau respon terhadap

rangsangan nyeri.

7. Kanker hati

Gejala paling sering dari kanker hati adalah nyeri perut, pembesaran

perut, pembesaran hati, penurunan berat badan, dan demam. Selain itu,

kanker hati dapat menyebabkan terbentuknya beberapa zat yang dapat

menyebabkan peningkatan sel darah merah (eritrositosis), penurunan

kadar gula darah (hipoglikemia), dan peningkatan jumlah kalsium

(hiperkalsemia).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang menurut Muttaqin & Sari (2011) sebagai berikut:

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Darah

Pada sirosis hati meliputi anemia, leukositopenia, dan trombositopenia.

Peningkatan enzim transaminase/SGOT dan SGPT. Pemeriksaan marker serologi

pertanda virus untuk menentukan penyebab sirosis hati seperti HBsAg, HBeAg,

HBV-DNA, HCV-RNA, dan sebagainya. Pemeriksaan laboratorium bilirubin,

transaminase dan gamma GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.

b. Albumin

Kadar albumin yang rendah merupakan cerminan kemampuan sel hati

yang kurang. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin


17

merupakan tanda kurangnya daya tahan hati dalam mengh adapi stress seperti

tindakan operasi.

c. Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretic dan

pembatasan garam dalam diet. Kadar Na 500-1000, mempunyai nilai diagnostik

suatu kanker hati primer.

2. Pemeriksaan fisik

Perkiraan besar hati, biasanya hati membesar pada awal sirosis, bila hati

mengecil artinya prognosis kurang baik. Besar hati normal selebar telapak

tangannya sendiri (7-10 cm).

2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan menurut Dinoyo & Mulyanti (2013) sebagai berikut:

1. Istirahat yang cukup sampai terdapat perbaikan ikterus dan asites

2. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang misalnya cukup kalori,

cukup protein 1 gr/kgBB/hari dan vitamin

3. Memperbaiki gizi bila perlu dengan pemberian asam amino esensial

berantai cabang dengan glukosa, vitamin B kompleks

4. Diet rendah garam (200-500 mg perhari), kadang – kadang asites dan

edema telah dapat diatasi dengan diet rendah garam dan istirahat yang cukup

5. Membatasi jumlah pemasukan cairan selama 24 jam, hanya sampai 1 liter

atau kurang

6. Pengobatan diuretic berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat

ditingkatkan sampai 300 mg/hati bila setelah 3-4 hari tidak ada perubahan..

7. Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan

terapi obat yang intensif), dilakukan terapi parasintesis. Pada umumnya


18

parasintesis aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6-8 gr untuk

setiap liter cairan asites. Selain albumin, dapat digunakan dekstran 70%.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Diagnosa Sirosis

Hepatis

Proses keperawatan adalah suatu sistem dalam merencanakan pelayanan

asuhan keperawatan yang mempunyai empat tahapan. Tahapannya yaitu

pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Proses pemecahan masalah

yang sistematik dalam memberikan pelayanan keperawatan serta dapat

menghasilkan rencana keperawatan yang memenuhi kebutuhan setiap klien

melalui empat tahapan tersebut.

2.2.1 Pengkajian

Pengkajian pada pasien dengan sirosis hepatis menurut Nurarif & Kusuma

(2015) yaitu:

a. Identitas pasien

Sirosis hepatis sering dijumpai pada kaum laki-laki dibanding perempuan

dengan rata-rata umur terbanyak 30-49 tahun dengan puncaknya sekitar 40

- 49 tahun.

b. Riwayat kesehatan

1) Keluhan utama

Nyeri abdomen kuadran atas, nafsu makan menurun, badan terasa

lemah, bengkak, dan sesak nafas

2) Riwayat kesehatan sekarang

Biasanya pasien datang dengan mengeluh lemah/letih, otot lemah,

anoreksia (susah makan), nausea, kembung, pasien merasa perut tidak


19

enak, mengeluh perut semakin membesar, perdarahan pada gusi,

gangguan BAK (oliguria), gangguan BAB (konstipasi/diare), juga sesak

nafas.

3) Riwayat kesehatan dahulu

Pasien dengan sirosis hepatis memiliki riwayat penggunaan

alkohol dalam jangka waktu yang lama, sebelumnya ada riwayat

hepatitis kronis, riwayat gagal jantung, riwayat pemakaian obat-obatan,

dan merokok

c. Pemeriksaan fisik pasien dengan sirosis hepatis menurut Lynn S

Bickley (2015) meliputi:

1) B1 (Breathing)

Terlihat sesak dan penggunaan otot bantu napas sekunder dari

penurunan ekspansi rongga dada dari asites atau hepatomegali. Bila

tidak ada komplikasi, taktil fremitus seimbang, lapang paru

resonan. Bila terdapat efusi akan didapatkan bunyi redup. Pada

auskultasi secara umum normal, tetapi bisa didapatkan adanya

bunyi napas tambahan ronkhi akibat adanya akumulasi sekret.

2) B2 (Blood)

Terdapat tanda dan gejala perdarahan, peningkatan denyut nadi,

adanya refluks hepatojugular. Pada auskultasi biasanya normal,

kecuali didapatkan sirosis hepatis dengan gagal jantung kongestif.

3) B3 (Brain)

Terdapat penurunan GCS, pada sistem neurosensori terdapat fetor

uremikum. Biasanya terdapat pembesaran kelenjar tiroid.


20

4) B4 (Bladder)

Didapatkan urine berwarna gelap kecoklatan seperti teh. Pada

palpasi biasanya normal, tidak didapatkan adanya nyeri tekan.

5) B5 (Bowel)

Terdapat mual, dipepsia, perubahan dalam buang air besar, dan

anoreksia dengan penurunan berat badan. Asites dan kadang

didapatkan hernia umbilikus, dilatasi vena abdominal. Pemeriksaan

rektum anus mungkin didapatkan perdarahan sekunder dari

hemoroid internal. Biasanya terdapat hepatomegali ringan dan

nyeri tekan pada kuadran kanan atas. Biasanya bising usus normal.

6) B6 (Bone)

Biasanya pasien terlihat kelelahan, kulit kuning (ikterik), pruritus,

memar dan bukti lain perdarahan juga mungkin ada seperti

perdarahan pada gusi. Terdapat penurunan otot dan penurunan

kemampuan dalam beraktivitas.

d. Pemeriksaan penunjang menurut Diyono & Mulyanti (2013)

1. Uji faal hepar

a. Bilirubin meningkat (> 1,3 mg/dL)

b. SGOT meningkat (> 3-45 u/L)

c. SGPT meningkat (> 0-35 u/L)

d. Protein total menurun (< 6,1-8,2 gr %)

e. Albumin menurun (< 3,5-5,2 mg/L)

2. USG

Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya penyakit.


21

Pada tingkat permulaan sirosis akan tampak hati membesar,

permulaan irregular tepi hati tumpul. Pada fase lanjut terlihat

perubahan gambar USG yaitu tampak penebalan permukaan hati

yang irregular. Sebagian hati tampak membesar dan sebagian lagi

dalam batas normal.

3. CT Scan dan MRI

Memberikan informasi tentang pembesaran hati dan aliran darah

hepatik serta obstruksi aliran tersebut.

4. Analisa Gas Darah

Analisa gas darah arterial dapat mengungkapkan gangguan

keseimbangan ventilasi perfusi dan hipoksia.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia

(2017):

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis

3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi

hemoglobin

4. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,

kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium

5. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorpsi

nutrient, intake yang tidak adekuat

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas, ketidakseimbangan

antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen


22

7. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas fisik, pruritus

2.2.3 Intervensi Keperawatan menurut Nanda, NIC, NOC (2015)

1. Diagnosa Keperawatan 1

Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas

a. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. diharapkan

pola nafas kembali efektif

b. Kriteria hasil: pasien tidak tampak sesak, tidak ada pernafasan cuping

hidung, tidak ada retraksi dada, frekuensi nafas dalam batas normal (16-20

x/menit)

c. Intervensi:

1) Kaji dan pantau frekuensi pernafasan, kedalaman dan irama

Rasional: perubahan seperti takipnea, dispnea, penggunaan otos bantu

nafas dapat mengindikasikan berlanjutnya pengaruh pernafasan yang

membutuhkan upaya intervensi.

2) Auskultasi suara nafas

Rasional: untuk mengetahui perkembangan status kesehatan pasien dan

mencegah komplikasi lanjutan.

3) Posisikan pasien semi fowler

Rasional: meningkatkan ekspansi pada semua segmen paru

4) Kolaborasi pemberian terapi oksigen sesuai kebutuhan pasien

Rasional: Untuk menurunkan distress pernafasan yang disebabkan oleh

hipoksemia

2. Diagnosa Keperawatan 2

Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis


23

a. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. diharapkan

nyeri dapat berkurang

b. Kriteria hasil: nyeri hilang, tanda-tanda vital dalam batas normal (TD=

120/80 mmHg, N= 60-100 x/menit, RR= 16-20 x/menit, S= 36-36,5ºC)

c. Intervensi:

1) Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala1 -

10)

Rasional: perubahan lokasi, karakteristik, dan intensitas nyeri dapat

mengindikasikan terjadinya komplikasi atau perbaikan.

2) Berikan tindakan kenyamanan dasar seperti teknik relaksasi, perubahan

posisi yang sering

Rasional: meningkatkan relaksasi

3) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat analgetik

Rasional: mungkin diperlukan untuk menghilangkan nyeri yang berat serta

meningkatkan kenyamanan dan istirahat.

3. Diagnosa Keperawatan 3

Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi

hemoglobin

a. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. diharapkan

perfusi jaringan perifer efektif

b. Kriteria hasil: pasien tidak lemah, konjungtiva merah muda, tekanan darah

normal (120/80 mmHg)

c. Intervensi:

1) Kaji dan catat keluhan pasien seperti pusing, sulit tidur


24

Rasional: Untuk mengetahui keluhan pasien

2) Observasi tanda-tanda vital

Rasional: Untuk mengidentifikasi adanya perubahan tanda-tanda vital

3) Lakukan cek laboratorium (darah lengkap)

Rasional: Untuk mengetahui perubahan hasil setelah dilakukan tindakan

4) Beri informasi tentang diet bagi penderita anemia

Rasional: Agar pasien dan keluarga mengetahui diet yang tepat untuk

penderita anemia

5) Kolaborasi pemberian tranfusi darah jika kadar hemoglobin menurun

Rasional: Untuk meningkatkan kadar hemoglobin pasien

4. Diagnosa Keperawatan 4

Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi,

kelebihan asupan cairan, kelebihan asupan natrium.

a. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. diharapkan

dapat mengurangi retensi cairan dalam area ekstravaskuler

b. Kriteria hasil: pitting edema berkurang, intake dan output seimbang, tanda-

tanda vital dalam batas normal (TD= 120/80 mmHg, N= 60-100 x/menit,

RR= 16-20 x/menit, S= 36-36,5ºC)

c. Intervensi:

1) Kaji turgor kulit dan edema

Rasional: turgor kulit dan edema dapat mengindikasikan

ketidakseimbangan cairan tubuh

2) Kaji intake dan output pasien/24 jam (misalnya setiap jam 6 pagi)

Rasional: Untuk mengetahui keseimbangan masukan dan haluaran


25

3) Kolaborasi pemberian terapi diuretic (misalnya furosemide)

Rasional: Membantu pengeluaran garam dan air dalam tubuh

5. Diagnosa Keperawatan 5

Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi

nutrient, intake yang tidak adekuat

a. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. diharapkan

kebutuhan nutrisi terpenuhi

b. Kriteria hasil: pasien tidak tampak lemah, tidak ada penurunan berat

badan, konjungtiva merah muda, dan mukosa bibir lembab

c. Intervensi:

1) Monitor adanya penurunan BB dan gula darah

Rasional: berat badan adalah indicator status gizi pasien

2) Monitor mual muntah

Rasional: mual dan muntah menurunkan asupan nutrisi

3) Beri diet tinggi serat untuk mencegah konstipasi

Rasional: untuk mencegah konstipasi

4) Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen

Rasional: suplemen makanan dapat meningkatkan nafsu makan sehingga

intake adekuat

5) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi

yang dibutuhkan pasien

Rasional: kalori dan nutrisi yang sesuai dapat menyeimbangkan kebutuhan

pasien

6. Diagnosa Keperawatan 6
26

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas, ketidakseimbangan

antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen

a. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. diharapkan

dapat meningkatkan toleransi aktivitas

b. Kriteria hasil: pasien bebas dari kelemahan, mampu melakukan aktivitas

secara mandiri, tanda-tanda vital dalam batas normal (TD= 120/80 mmHg,

N= 60-100 x/menit, RR= 16-20 x/menit, S= 36-36,5ºC)

c. Intervensi:

1) Kaji faktor yang menyebabkan kelemahan

Rasional: salah satu penyebabnya adalah meningkatnya TIK

2) Monitor kardiovaskuler terhadap aktivitas

Rasional: mengetahui respon jantung terhadap aktivitas

3) Bantu pasien untuk mengidentifiksi aktivitas yang mampu dilakukan

Rasional: memudahkan dalam proses terapi

4) Bantu untuk mendapatkan alat bantu aktivitas

Rasional: memudahkan untuk melakukan ADL secara mandiri

7. Diagnosa Keperawatan 7

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas fisik, pruritus

a. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. diharapkan

dapat mengurangi kerusakan kulit atau decubitus

b. Kriteria hasil: mempertahankan integritas kulit, tidak ada luka ataupun

decubitus, suhu tubuh pasien dalam batas normal (36-36,5ºC)

c. Intervensi:

1) Berikan perhatian dan cermat pada kulit


27

Rasional: Jaringan dan kulit yang edema mengganggu suplai nutrient dan

sangat rentan terhadap tekanan serta trauma

2) Ubah posisi pasien setiap 2 jam sekali

Rasional: Meminimalkan adanya decubitus dan untuk meningkatkan

mobilisasi

3) Tinggikan posisi ekstremitas bawah

Rasional: Meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan edema pada

ekstremitas bawah

2.2.4 Implementasi Keperawatan menurut Huda & Kusuma (2016)

Selama tahap implementasi, perawat melaksanakan intervensi/rencana

asuhan keperawatan. Intervensi keperawatan yang diimplementasikan untuk

membantu memenuhi kriteria hasil.

Komponen implementasi yaitu:

1. Tindakan observasi

Tindakan dengan melihat kondisi saat bertemu langsung dengan pasien.

2. Tindakan keperawatan mandiri

Tindakan keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan Standar Praktik

American Nurses Association , undang-undang praktik perawat negara bagian dan

kebijakan institusi perawatan kesehatan.

3. Tindakan edukasi

Tindakan memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit pasien

kepada pasien dan keluarganya.

4. Tindakan keperawatan kolaborasi


28

Tindakan keperawatan kolaboratif diimplementasikan bila perawat bekerja

dengan tim kesehatan lainnya dalam membuat keputusan bersama yang bertujuan

untuk megatasi masalah – masalah pasien.

5. Dokumentasi

Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon pasien terhadap asuhan

keperawatan yang telah diberikan.

2.2.5 Evaluasi menurut Huda & Kusuma (2016)

Evaluasi keperawatan dilakukan untuk menilai pencapaian tujuan dari

pemberian asuhan keperawatan pada pasien sirosis hepatis. Tujuan pemberian

asuhan keperawatan pada pasien sirosis hepatis antara lain pola nafas yang efektif

selama dalam perawatan, keseimbangan volume cairan, asupan nutrisi yang

adekuat, serta perfusi jaringan yang efektif. Dengan pencapaian kriteria hasil,

pasien keluar dari siklues proses keperawatan dan rencana asuhan keperawatan

berakhir. Perawat menulis catatan pulang yang meringkas resolusi dari setiap

diagnosa keperawatan. Apabila kriteria hasil belum tercapai atau masalah belum

teratasi, pasien masuk kembali ke siklus proses keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai