Anda di halaman 1dari 9

TOLERANSI BERAGAMA DALAM PENDIDIKAN MULTIKULTURALISME

SISWA SMA KATOLIK SANG TIMUR YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati


Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
email: wasisto.raharjo.jati@lipi.go.id

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan sikap toleransi dalam pendidikan multi-
kulturalisme di kalangan siswa SMA. Analisis dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian
studi kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prinsip “rumah bersama” menjadi contoh penting
dalam menumbuhkan sikap toleransi di antara siswa. Siswa diperlakukan sebagai anggota keluarga
dekat dalam pergaulan dengan sivitas akademika lainnya. Prinsip “rumah bersama” ini seperti melting
pot, tempat semua perbedaan ras, suku, agama, dan lainnya dilebur menjadi satu identitas tunggal se-
bagai saudara laki-laki dan saudara perempuan. Religiusitas adalah instrumentasi penerapan nilai uni-
versalitas agama mengenai tenggang rasa, toleransi, maupun perdamaian untuk menjaga semangat
multikulturalisme dan memperkuat persaudaraan di antara para siswa.

Kata Kunci : pendidikan multicultural, prinsip “rimah bersama”, religiusitas, toleransi

RELIGIOUS TOLERANCE PRACTICE IN MULTICULTURALISM EDUCATION


BY SMA KATOLIK SANG TIMUR YOGYAKARTA STUDENTS

Abstract: This study was aimed to review the implementation of the religious tolerance practice
within multiculturalism education among senior school students. The analysis of the research used the
case study approach. The findings showed that the principle of “home family” became an important
model to implant the tolerance attitude among students. The students were treated as close family
members in the relationship with other school community members. This “home family” principle
served as a melting pot where all differences in ethnic groups, religions, and others were removed and
the school community members became brothers and sisters. Religiousity was an instrument for the
implementation of religion universal values on tolerance and for peace to preserve multiculturalism
spirit and to strengthen brotherhood among students.

Keywords: multiculturalism education, principle of “home family”, religiosity, tolerance

PENDAHULUAN inklusi sosial dalam bentuk penciptaan rasa


Parekh (2010:6) mengemukakan bahwa nyaman dan tentram. Rasa nyaman dan tentram
multikulturalisme bukanlah doktrin politik prag- yang dimaksud adalah suasana tanpa kecemas-
matik, melainkan sebuah cara pandang dalam an, tanpa mekanisme pertahanan diri dalam pe-
kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa ngalaman dan perjumpaan antara budaya.
esensi mendasar tentang perilaku multikultura- Proses untuk menanamkan nilai-nilai ter-
lisme adalah saling mengerti dan saling me- sebut dalam pendidikan multikultural dapat d-
mahami antarsesama manusia. Adapun proses itempuh melalui jalur pendidikan dan pengajar-
untuk membangun pengertian dan pemahaman an di dalam keluarga (informal), masyarakat
tersebut dapat dimulai dari penciptaan kohesi- (nonformal), dan atau sekolah (formal). Sekolah
vitas dan inklusi sosial dalam bentuk transfer menjadi institusi penting untuk membumikan
pengetahuan dengan cara membangun komuni- berbagai nilai tersebut ke dalam perilaku kese-
kasi efektif dengan individu dan kelompok yang harian para sivitas akademika. Salah satunya
berbeda latar belakang. Oleh karena itu, pen- adalah yang terjadi di SMA Katolik Sang Timur
didikan menjadi penting sebagai wahana pe- Yogyakarta, yakni sebuah Sekolah Menengah
ngetahuan untuk mewujudkan kohesivitas dan Atas berbasis agama yang secara tegas mene-

71
72

rapkan multikulturalisme sebagai pionir dasar METODE


dalam membentuk iklim sekolah yang kondusif Metode penelitian yang digunakan dalam
bagi warganya. Walaupun sekolah sendiri ber- penelitian ini adalah studi kasus. Penelitian ini
nafaskan Agama Katolik, pelabelan agama dilakukan terhadap sivitas akademika SMA Sang
tersebut sedapat mungkin dihilangkan meng- Timur yang dilakukan secara random sampling.
ingat labelisasi agama sendiri dalam nama se- Pemilihan studi kasus ini agar diperoleh infor-
kolah justru akan menjadikan sikap ekslusivitas masi secara detail tentang realita pendidikan
tersendiri. Sekolah berpandangan bahwa agama multikultural maupun dimensi spiritualisme be-
merupakan masalah privat, diserahkan kepada rikut implikasinya yang terdapat di SMA Sang
individu masing-masing dan pada institusi yang Timur (Yin, 2006). Adapun instrumen yang di-
berhak, seperti halnya masjid, gereja, pura, mau- gunakan untuk mendapat dan mengolah data
pun vihara. primer maupun sekunder didapat dari hasil wa-
Sekolah cukup digunakan sebagai waha- wancara dengan pihak terkait, mulai Suster Ke-
na spiritualitas untuk menanamkan nilai-nilai pala Sekolah, Guru, dan Siswa SMA. Observa-
agama tersebut dalam perilaku sosial sehari- tory research dilakukan dengan masuk ke da-
hari. Dalam ajaran Gereja Katolik disebutkan lam kelas, mendalami teks, buku, maupun lite-
bahwa penyelenggaraan pendidikan dalam ins- ratur yang relevan yang digunakan menganalisa
titusi sekolah sendiri merupakan bentuk pela- data.
yanan umat (publik), tanpa memandang agama, Teknik pengumpulan data yang diguna-
kepercayaan, ras, suku, dan lain sebagainya di- kan dalam penelitian ini adalah metode wawan-
karenakan pendidikan sendiri merupakan hak cara dan partisipasi langsung di lapangan. Data
universal bagi setiap insan. Oleh karena itu, diperoleh dengan cara menjadi partisipan pasif
SMA Sang Timur terbuka untuk semua kalang- selama di dalam kelas sehingga dapat melihat
an, baik suku maupun agama. SMA Sang Timur secara langsung proses pembelajaran yang ber-
sendiri memiliki murid yang berasal dari ber- langsung antara guru dan murid. Selain teknik
bagai suku/etnis misalnya etnis, di antaranya tersebut, data juga diperoleh melalui wawancara
Ambon, Dayak, Melayu, Tionghoa, Islam, Bud- dengan siswa, baik yang seiman maupun antar-
dha, Kristen, maupun Hindu. Sekolah menjadi iman sehingga dari situ kemudian ditemukan
sebuah “rumah bersama” bagi sivitasnya yang proses verifikasi dan kesesuian data antara data
berlainan latar belakang sehingga dapat berin- verbal dengan data tulis. Data dianalisis dengan
teraksi dan berjumpa satu dengan yang lain. menggunakan teknik verifikasi, yakni peneliti
Dengan demikian, terbentuk iklim kekeluargaan melakukan proses verifikasi antara berbagai data
yang terangkum dalam budaya sekolah yang yang kemudian diklasifikasikan dalam berbagai
berisi kasih persaudaraan, kegembiraan, dan ke- skope. Kemudian, ditarik benang merah antara
sederhanaan dalam segala aspek kehidupan se- kesesuaian data yang satu dengan yang lain.
hingga jiwa “rumah bersama” tersebut dapat in-
heren dalam jiwa peserta didik. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan Pendidikan Multikultural sebagai Basis Pe-
penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian lajaran
ini adalah “Bagaimanakah bentuk implementasi Pendidikan Multikultural adalah pola pen-
pendidikan multkulturalisme di kalangan civitas didikan yang berbasiskan pada tumbuhnya si-
SMA Sang Timur?”. Tulisan dalam penelitian kap tenggang rasa akan kemajemukan budaya
ini ditujukan untuk merangkum berbagai hal, an- dan toleransi terhadap perbedaan sehingga mem-
tara lain (1) menganalisis pendidikan multikul- bentuk semangat inklusivitas sosial bagi sivitas
turalisme yang terdapat dalam pembelajaran di akademika. Model pendidikan seperti ini men-
SMA Sang Timur; dan (2) mengetahui dimensi jadi sangat urgen dan signifikan dalam konteks
spiritualisme yang hadir dalam bentuk interaksi Indonesia yang heterogen. Semangat multikul-
sosial di sekolah. turalisme yang mengakui adanya perbedaan dan

Cakrawala Pendidikan, Februari 2014, Th. XXXIII, No. 1


73

menghormatinya sebagai keanekaragaman pen- identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pen-


ting untuk diterapkan sejak masa pendidikan didikan dari individu, kelompok mapun negara.
dasar hingga pendidikan tinggi. Adanya rasa percaya tersebut kemudian di-
Hal tersebut mengingat dalam nuansa tuangkan ke dalam kurikulum
heterogenitas acap kali memunculkan adanya Bank (1993:24) menjelaskan bahwa ter-
potensi gesekan dan konflik secara kompulsif. dapat lima dimensi dalam pendidikan multikul-
Kondisi tersebut sangat rawan untuk memun- tural sebagai berikut. Pertama, adanya integrasi
culkan adanya kontestasi mayoritas melawan pendidikan dalam kurikulum (content integra-
minoritas dalam kerangka multikulturalisme. tion) yang di dalamnya melibatkan keragaman
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dalam satu kultur pendidikan yang bertujuan
potensi gesekan, konflik, hingga berujung pada untuk menghapus prasangka. Kedua, konstruksi
segregasi dalam masyarakat selalu saja ada, ilmu pengetahuan (knowledge construction)
baik bersifat laten maupun manifest. Berkaitan yang diwujudkan dengan mengetahui dan me-
dengan hal tersebut, urgensi diaplikasikannya mahami secara komprehensif keragaman yang
pendidikan multikultural adalah sebagai kunci ada. Ketiga, pengurangan prasangka (prejudice
untuk menekan adanya konflik tersebut. reduction) yang lahir dari interaksi antarkera-
Ditinjau dari segi historisitas ide, gagasan gaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pe-
terbentuknya pendidikan multikultural sendiri dagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy)
muncul seiring dengan munculnya berbagai ge- yang memberi ruang dan kesempatan yang
rakan ditegakkannya hak-hak sipil masyarakat sama kepada setiap elemen yang beragam. Ke-
pada tahun 1970-an yang berimplikasi pada per- lima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (em-
ubahan sistem pendidikan secara global. Orien- powering school culture), yaitu bahwa sekolah
tasi pendidikan kemudian diubah dari semula adalah elemen pengentas sosial dari struktur
yang mengutamakan transfer pengetahuan masyarakat yang timpang ke struktur masya-
(transfer of knowledge), juga harus diimbangi rakat yang berkeadilan (Sopiah, 2009:23).
dengan dengan transfer nilai-nilai (transfer of Dalam berbagai studi komparasi literatur
values) dengan mengutamakan toleransi, sema- yang mengkaji tentang pendidikan multikultural
ngat tenggang rasa, maupun sikap saling hor- disebutkan bahwa pada dasarnya mengandung
mat-menghormati antarsesama orang lain yang pengertian sebagai model pendidikan sekaligus
berbeda. Hal itulah yang kemudian mendorong pula sebagai gerakan (Arifin, 2012:10). Adapun
terbentuknya berbagai kursus maupun kajian dalam konteks pendidikan, pendidikan multi-
yang menempatkan budaya sebagai sumber ni- kulkultural adalah pendidikan yang mengajak
lai tersebut. kemudian, berimplikasi pada ben- manusia berpikir setara dan menghadapi realitas
tuk rekognisi terhadap budaya lain sebagai pem- sosial secara nyata dalam kehidupan.
bentuk dimensi etik, moral, dan perilaku ma- Artinya, dalam proses pendidikan multi-
nusia. Rasa percaya tersebut kemudian dibukti- kultural sendiri terjadi proses dekonstruksi ter-
kan dengan cara menumbuhkan sifat diversivi- hadap pemahaman interaksi manusia secara re-
tas antarsesama anggota masyarakat, baik da- organisasional maupun reaktivasi dalam kehi-
lam lingkungan sekolah maupun institusi lain- dupan bermasyarakat. Melalui dimensi reakti-
nya. vasi, manusia diajarkan untuk mengaktifkan
Berkaitan dengan konsep etik yang men- kegiatannya tidak hanya dalam skop terbatas
jadi dasar pendidikan multikultural, Banks (2001: tertentu, namun juga lintas intra anggota ma-
28) memberikan analogi bahwa pendidikan syarakat yang berbeda. Pemahaman tersebut
multikultural sejatinya adalah konsep, ide, atau bertujuan untuk mengikis adanya chauvinistik
falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan maupun fanatisme berlebihan dalam kelompok
dan penjelasan yang mengakui dan menilai anggota masyarakat.
pentingnya keragaman budaya dan etnis di da- Adapun pemaknaan mengenai reorgani-
lam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, sasional yakni mencakup tentang pola rekon-

Toleransi Beragama dalam Pendidikan Multikulturalisme Siswa SMA Katolik Sang Timur Yogyakarta
74

figurasi mengenai interaksi masyarakat yang siplin mereka. (2) Proses penyusunan penge-
selama ini masih sempit, hanya terbatas pada tahuan; sesuatu yang berhubungan dengan
masalah kesukuan maupun kesamaan identitas sejauh mana guru membantu siswa paham, me-
tertentu. Reorganisasi juga bertujuan untuk nyelidiki, dan untuk menentukan bagaimana
membentuk identitas komunitarian sekat-sekat asumsi budaya yang tersirat, kerangka acuan,
yang selama ini ada dan terikat dalam masya- perspektif dan prasangka di dalam disiplin me-
rakat. Dengan demikian, diharapkan melalui mengaruhi cara pengetahuan disusun di dalam-
adanya reorganisasi ini terdapat upaya dialog nya.
lintas elemen yang pada akhirnya akan men- Berdasarkan kedua perspektif mendasar
ciptakan inklusivitas antarsesama maupun an- mengenai pendidikan multikultural tersebut,
taranggota masyarakat. kita bisa menyimak bahwa melalui model pen-
Pendidikan multikultural sebagai gerakan didikan ini, semua orang diajak untuk menye-
yang dimaksudkan dalam pendidikan model ini lami bahwa adanya persamaan maupun perbe-
menawarkan ide progresif untuk melakukan daan adalah persoalan hakiki yang akan selalu
transformasi pendidikan secara holistik, mem- melintas dalam kehidupan. Dari pola pikir ter-
berikan kritik, dan menunjukkan kelemahan- sebut, bisa dianalis seberapa rasa toleran dan
kelemahan, kegagalan-kegagalan dan diskrimi- afeksi terhadap orang lain.
nasi yang terjadi di dunia pendidikan (Zamroni,
2011:144). Bangunan paradigma pendidikan Pemahaman Sekolah sebagai “Rumah Ber-
multikultural yang ditawarkan Zamroni (2011: sama”
145) sebagai berikut. (1) Pendidikan multikul- Dalam praktik pembelajaran multkultural
tural adalah jantung untuk menciptakan keseta- sendiri setidaknya menjadikan murid bukan se-
raan pendidikan bagi seluruh warga masyarakat. kedar objek pendidikan, tetapi juga sebagai sub-
(2) Pendidikan multikultural bukan sekedar jek pendidikan. Hal ini dikarenakan proses be-
perubahan kurikulum atau perubahan. (3) me- lajar mengajar disesuaikan dengan arah partum-
tode pembelajaran. (4) Pendidikan multikultural buhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu,
mentransformasi kesadaran yang memberikan bagi SMA Sang Timur, perbedaan bukan men-
arah kemana transformasi praktik pendidikan jadi suatu halangan bagi para civitas akademika
harus menuju. (5) Pengalaman menunjukan untuk saling berinteraksi dengan mengangkat
bahwa upaya mempersempit kesenjangan pen- nilai-nilai universal dalam agama, seperti hal-
didikan salah arah yang justru menciptakan ke- nya ulas-asih terhadap sesama, tenggang rasa,
timpangan semakin membesar. (6) Pendidikan dan saling menghargai satu sama lain.
multikultural bertujuan untuk berbuat sesuatu, Perdebatan masalah teologi justru akan
yaitu membangun jembatan antara kurikulum mengarah pada sikap disintegrasi dan profanes-
dan karakter guru, pedagogi, iklim kelas, dan tik sempit sehingga berujung pada friksi–friksi
kultur sekolah guna membangun visi sekolah yang nanti akan mengarah munculnya konflik.
yang menjunjung kesetaraan. Konflik sesama siswa terlebih bagi mereka
Pendidikan multikultural adalah cara me- yang melakukan penonjolan identitas, baik dari
mandang realitas dan cara berpikir, bukan ha- segi kekayaan, fisik, maupun prestasi justru di-
nya konten tentang beragam kelompok etnis, larang oleh pihak sekolah. Hal itu dilakukan
ras, dan budaya. Secara spesifik, pendidikan karena semua itu justru akan merusak tatanan
multikultural dapat dikonsepsikan atas dua di- egaliter yang dibangun sekolah. Dalam pan-
mensi, yaitu sebagai berikut. (1) Integrasi kon- dangan suster guru, hal tersebut tidaklah sesuai
ten: pemaduan konten menangani sejauh mana dengan sifat gembala Yesus karena akan me-
guru menggunakan contoh dan konten dari be- nimbulkan perasaan dengki dan egois yang ber-
ragam budaya dan kelompok untuk menggam- ujung pada terjadinya perpecahan di kalangan
barkan konsep, prinsip, generalisasi serta teori siswa (Suryaman, 2010).
utama dalam bidang mata pelajaran atau di-

Cakrawala Pendidikan, Februari 2014, Th. XXXIII, No. 1


75

Sekolah menerapkan sanksi yang begitu Pola Interaksi antarsiswa


tegas bagi siapa saja yang melanggar aturan Siswa di SMA Sang Timur sendiri me-
untuk tidak saling menyakiti dan menghakimi rupakan sekumpulan siswa heterogen dari latar
satu sama lain. Pernah suatu ketika terdapat dua belakang yang berbeda. Sekolah tidak menge-
siswa yang terlibat aksi bullying kepada adik lompokkan mereka dalam suatu kelas khusus,
kelasnya sehingga memicu kehebohan dalam akan tetapi menaruh mereka dalam berbagai
internal sekolah. Sekolah pun dengan tegas me- kelas yang berbeda. Diseminasi siswa khusus-
ngeluarkan mereka karena tidak sesuai dengan nya yang berbeda dengan siswa yang mayoritas
misi sekolah untuk mengajarkan toleransi ke- beretnis Jawa maupun beragama Katolik ter-
pada sesamanya. Prinsip sekolah sebagai “ru- sebar merata. Setiap kelas sendiri terdiri dari 2
mah bersama” harus senantiasa ditegakkan me- kelas X, 3 kelas XI, dan 3 kelas XII mendapat-
lalui toleransi maupun sikap tenggang rasa. kan kuota 2-3 siswa per kelas.
Selain halnya sikap tenggang rasa, sikap Di sekolah ini terdapat pola pendamping-
tolernasi menjadi kata penting dalam keseharian an khusus yang dilakukan oleh suster guru ter-
pembelajaran sekolah. Pada suatu kesempatan, hadap mereka yang berkebutuhan khusus. Hal
tim peneliti sendiri secara tidak langsung me- tersebut dikarenakan ada perasaan yang janggal
lihat bagaimana wujud toleransi tersebut diber- di dalam internal siswa sendiri dalam melihat
lakukan, terlebih lagi dilakukan kepada siswa kawan mereka yang berlainan kulit, rambut,
yang berbeda keyakinan. Suatu ketika terdapat maupun budaya, dan bahasa. Kejanggalan ter-
salah seorang siswa muslim meninggalkan pe- sebut ditengarai karena pengalaman mereka
lajaran di saat adzan dzuhur berkumandang. yang selama ini melihat persamaan identitas,
Siswa tersebut meminta izin untuk menunaikan baik dari bahasa, budaya, maupun ras. Dalam
shalat di suatu ruang sekolah yang khusus di- fase awal berinteraksi terkadang ada persaan
rancang sebagai mushola. Suster guru dan para takut untuk berinteraksi dengan siswa yang ber-
murid yang lain memperbolehkan sambil ber- beda tersebut. Oleh karena itu, dalam bertutur
kata: “Shalatlah Anakku, tunaikan kewajibanmu keseharian sendiri terdapat sikap durung Jawa
sebagai makhluk Tuhan, dan jangan lupa doa- bagi siswa non Jawa yang ingin berinteraksi de-
kan gurumu dan temanmu juga.” ngan mereka.
Kutipan tersebut sebenarnya ingin meng-
gambarkan bahwa tidak ada selama ini stereo- Afirmasi Kebudayaan Asal
type maupun marginalisasi siswa muslim di te- Walaupun kultur Jawa dan Katolik secara
ngah kawannya yang sebagian besar beragama tidak langsung menjadi dominan dalam keseha-
katolik. Mereka justru mendorong bagi yang rian KBM, sekolah tetap mengafirmasi latar
minoritas muslim untuk menunaikan ibadah. belakang siswa yang berbeda-beda. Kebijakan
Dalam tradisi SMA Sang Timur sendiri terdapat sekolah tersebut terasa ketika tim peneliti me-
kegiatan bernama “Doa Malaikat Tuhan” yang lakukan observasi langsung ke kelas XI Sosial
dilakukan selepas jam 12.00 yang wajib diikuti yang sedang berlangsung pelajaran Bahasa Ja-
semua siswa. Inti dari kegiatan ini adalah me- wa. Sesuatu yang menarik ditemui oleh peneliti
ngajak siswa untuk senantiasa menambah ke- adalah ketika guru Bahasa Jawa tidak meng-
imanan dan bersyukur kepada Tuhan. Kegiatan gunakan bahasa Jawa, akan tetapi menggunakan
kerohanian ini tentunya bernuansa gerejawi bahasa Indonesia.
yang terdapat lagu puji-pujian kepada Tuhan. Hal ini dilakukan karena banyak murid
Bagi siswa non Katolik sendiri diberi keleluasa- yang tidak bisa berbahasa Jawa. Di kelas ter-
an untuk berdoa versi kepercayaannya dengan sebut ada murid yang berasal dari Kalimantan,
senantiasa menyebut keagungan Tuhan. NTT, Ambon, Sumatera, dan Tionghoa, dan se-
bagainya. Walaupun berasal dari latar belakang
yang berbeda, interaksi di antara mereka terjadi
secara alami dan mengalir serta tidak kaku.

Toleransi Beragama dalam Pendidikan Multikulturalisme Siswa SMA Katolik Sang Timur Yogyakarta
76

Mereka bisa bercanda tanpa ada kata-kata ber- Siswa etnis non-Jawa: “Oh, kalau dalam ba-
bau rasis yang keluar dari mulut mereka dalam hasa Sunda, perempuan cantik itu disebut
konteks pelajaran Bahasa Jawa. Dalam pelajar- neng geulis” Bu!”
an Bahasa Jawa tertangkap bahwa tujuan guru Selain itu, siswa ini juga menjelaskan adat
dengan mengajarkan pelajaran Bahasa Jawa, perkawinan yang terdapat dalam budayanya
diharapkan murid yang berasal dari luar Jawa kepada guru maupun kawan sekelasnya
dapat mengerti sehingga lebih mudah menye- sehingga terjadi transfer pengetahuan antara
suaikan diri dengan budaya setempat. Oleh ka- guru maupun siswa.
rena itu, pada suasana KBM tersebut, guru tidak Dalam lain kesempatan, bahasa Jawa jus-
secara spesifik mengajarkan bahasa Jawa de- tru menjadi momok menakutkan bagi siswa dari
ngan tidak menggunakan bahasa Jawa, akan te- luar Jawa. Hal ini terlihat dari nilai mereka
tapi mengajarkan tentang kebudayaan di Jawa yang sering kali turun dalam setiap ujian mau-
dengan bahasa Indonesia yang kebetulan saat pun tugas. Oleh karena itu, mereka mengikuti
itu materi yang diajarkan adalah adat pengantin. remidi pelajaran Bahasa Jawa.
Guru menjelaskan secara rinci bagaimana Selain itu, mereka diminta menampilkan
adat perkawinan orang Jawa ketika akan mela- pertunjukan seni budaya asal pada saat ada
kukan prosesi lamaran sampai dengan pernikah- event sekolah semisal Porseni, Haul Sekolah,
an. Guru menjelaskan secara detail mulai dari Misa Ekaristi Sekolah, dan lain sebagainya.
baju, perhiasan, posisi mempelai berdiri, dan Seni budaya yang mereka pertunjukkan bisa be-
sebagaimya. Beberapa istilah perkawinan Jawa ragam mulai dari tarian, menyanyi lagu daerah
seperti, “midodareni”, “basahan”, “tedak siti” asal, bercerita mengenai khasanah budaya, dan
tetap disampaikan dengan bahasa asli diikuti seni lainnya. Intinya sekolah ingin mengajarkan
dengan filosofi dan makna dari ritual tersebut bahwa eksistensi budaya asal mereka diakui
yang sangat mungkin sama sekali tidak ditemu- oleh sekolah.
kan atau dikenal pada etnis lain.
Respon dari orang luar Jawa juga sangat Dimensi Multikulturalisme dalam Religiusi-
responsif di dalam pengenalan budaya Jawa tas
yang diberikan oleh guru tersebut. Secara tidak Pelajaran Agama tidak dikenal di SMA
langsung murid yang berasal dari etnis non Sang Timur yang notabene merupakan sekolah
Jawa “dipaksa” mengetahui hal-hal yang sebe- berbasis agama Katolik, dan sebagai gantinya
narnya tidak ada di adat-istiadat mereka. Oleh adalah Pengajaran Religiusitas. Hal tersebut di-
karena itu, mereka menanyakan kebudayaan sebabkan terdapat beberapa siswa yang meng-
Jawa (adat pernikahan) secara lebih terperinci. anut agama selain Katolik sehingga SMA Sang
Para siswa asli Jawa membantu teman-teman Timur tidak menyediakan guru setiap agama
yang bukan berasal dari Jawa tersebut. Siswa seperti halnya di SMA negeri. Sekolah berusa-
asli Jawa ini membantu menerjemahkan Bahasa ha merangkum semua pelajaran, enam agama
Jawa dan menerangkan bahasa Jawa yang tidak resmi pemerintah menjadi satu mata pelajaran,
dimengerti oleh siswa non Jawa. yaitu Pelajaran Religiusitas. Pelajaran ini tidak
Pada sesi diskusi, guru yang mengajar mengajarkan nilai-nilai agama Katolik, tetapi
bertanya kepada siswa yang berasal dari daerah mengajarkan nilai-nilai yang bersifat universal.
lain tentang sesuatu hal dalam bahasa daerah- Sekolah menyadari bahwa pendidikan agama
nya, sebagaimana yang tercantum dalam petik- yang dikenal selama ini lebih berkutat pada
an wawancara berikut ini. dogma dan nilai-nilai kebenaran agama terse-
Guru Bahasa Jawa: “Ini bahasa Jawa-nya but. Pendidikan religiusitas merangkum kesa-
(cah ayu) untuk perempuan cantik, dan apa ini maan nilai-nilai universal dengan prinsip ”cin-
dalam bahasa daerahmu?” tailah Tuhanmu sesuai dengan agamamu”.
Pengajaran agama justru akan membuat
siswa menjadi religius yang berpikiran sempit

Cakrawala Pendidikan, Februari 2014, Th. XXXIII, No. 1


77

karena akan membuat mereka berpikir simbolik Menjadi seorang spiritualis sendiri ber-
dan dogmatik terhadap agamanya sehingga me- beda halnya dengan menjadi seorang religius.
lupakan toleransi. Seseorang yang menjadi reli- Contoh, seorang religius lebih mementingkan
gius akan menjadi fanatik terhadap agamanya sesama yang seiman dan seagama, namun bagi
dan mudah tersulut aksi dan reaksi (Subhan, seorang spiritualis adalah bagaimana menaruh
2009:50). Hal tersebut dikarenakan pemahaman empati dan simpati kepada individu yang cross
agama mereka yang masih literal atau masih di cutting. Seorang spiritualis sendiri juga mema-
kulit luar sehingga nilai agama yang dianut be- hami agama bukan sebagai jurang pemisah,
lum membumi karena pengajaran agama sendiri akan tetapi memaknai agama sebagai suatu war-
hanya mengandalkan unsur kognitif dan hafalan na-warni kehidupan yang sudah digariskan Tu-
semata. Selain itu, pengajaran agama menekan- han. Siswa SMA Sang Timur diajar bagaimana
kan ritualisme dan orientasi serba keakhiratan -- menjadi seorang spiritualis dengan mengadakan
kurang mengaitkan keberagamaan dengan peri- berbagai acara bakti sosial maupun bersih ling-
laku kongkret duniawi-- potensial membawa kungan, baik di lingkungan internal maupun
siswa pada sikap dan perilaku hidup terbelah eksternal. Hal ini dilakukan karena nilai spiri-
(Ambarwangi, 2013). tualisme sendiri mengajarkan keseimbangan
Orang dengan sikap ini akan sangat me- terhadap alam.
mentingkan kesalehan pribadi. Oleh karena itu, Adapun dimensi pelajaran Religiusitas
orang yang beragama akan cenderung men- yang terdapat di SMA Sang Timur memuat
dangkalkan pemikiran mereka tentang ketuhan- lima hal umum dalam praktik religiusitas. Per-
an karena merasa ajaran agama merekalah yang tama, dimensi intelektual (religious knowledge),
paling benar dan sahih di antara agama lainnya berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan
(Ali, 2006:23). Mereka cenderung mengguna- pemahaman seseorang mengenai ajaran-ajaran
kan perspektif nilai dan norma dari agamanya agama. Kedua, dimensi ritualistik (religious
untuk menilai sesuatu sehingga kebenaran dan practice), berkaitan dengan tingkat kepatuhan
kebatilan dinilai sepihak. Mereka cenderung seseorang dalam menjalankan ritus-ritus agama
tidak mau menerima perbedaan, dan justru yang yang dianut. Ketiga, dimensi ideologis (reli-
berbeda dianggap sebagai musuh (Ratnaning- gious belief) berkaitan dengan tingkat keya-
sih, 2006:34). kinan seseorang mengenai kebenaran agama-
Pendidikan religiusitas tidak hanya mem- nya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang fun-
bahas hubungan antara manusia dan Tuhan, te- damental atau dogmatik. Keempat, dimensi eks-
tapi juga mengupas masakah manusia sebagai periensial (religious feeling), berkaitan dengan
makhluk sosial dan relasinya dengan alam ling- tingkat intensitas perasaan-perasaan dan pe-
kungan. Pendidikan religiusitas menggali dan ngalaman-pengalaman religius seseorang. Ke-
memperkaya nilai-nilai kebenaran dan iman, lima, dimensi konsekuensial (religious effect)
serta mewujudkan nilai-nilai iman tersebut. (Khoiruin, 2010:21).
Oleh karena itu, dalam pelajaran religiusitas Masalah teologi adalah urusan pribadi.
memuat universalitas nilai yang diajarkan di se- Pembelajaran religiusitas di SMA Sang Timur
tiap agama, yakni cinta kasih, kasih sayang, to- menitikberatkan pada bagaimana mendorong
leransi, tenggang rasa, saling menghargai, meng- kesalehan maupun susbtansialisme sosial ke-
hormati, dan perdamaian. Misi pelajaran Reli- agamaan kepada masyarakat. Hal itu diwujud-
giusitas yang melakukan universalisasi nilai kan dalam penganalisaan diskusi mengenai
agama sendiri tidak lepas dari tujuan yang ada suatu permasalahan, kemudian siswa diminta
di setiap rumpun agama samawi, yaitu untuk untuk menyampaikan pendapatnya mengenai
senantiasa menjunjung harkat martabat manusia suatu permasalahan dari sudut pandang penge-
melalui perdamaian umat manusia (Asroni, tahuan agama mereka. Dengan demikian, ma-
2013:10). sing-masing siswa kemudian tercerahkan de-
ngan sudut pandang yang berbeda mengenai

Toleransi Beragama dalam Pendidikan Multikulturalisme Siswa SMA Katolik Sang Timur Yogyakarta
78

pembahasan suatu masalah. Siswa SMA Sang PENUTUP


Timur dibiasakan untuk senantiasa bertenggang Model pembelajaran multikultural me-
rasa dan hormat bagi yang berlainan agama. rupakan pola pembelajaran untuk mengajak sis-
Maka, tidak mengherankan di SMA Sang Ti- wa menghargai berbagai perbedaan yang ada di
mur ditemukan siswa shalat di bawah salib atau sekitarnya. Model ini cocok diterapkan di Indo-
di samping patung Bunda Maria atau siswa se- nesia dengan beragam ras, suku, agama, bahasa,
dang melakukan munajat kepada Sang Hyang dan budaya yang berbeda. Siswa belajar bagai-
Widhi Wasa dengan meminjam dupa Katolik. mana multikulturalisme perlu dibangun dalam
Sekolah membebaskan hal tersebut karena se- pendidikan untuk membangun kohesivitas dan
mua siswa berhak untuk memanjatkan doa ke- relasi antarsesama. Namun, hal itu tidak berarti
pada Tuhan meskipun berlainan cara penyam- pembelajaran multikultural ini langsung dite-
paiannya. rapkan di SMA Sang Timur. Selalu saja muncul
Masalah ideologisasi agama sendiri di- riak kecil seperti halnya sikap dominatif yang
serahkan kepada masing-masing siswa untuk dipertontonkan siswa mayoritas maupun bull-
meyakini dan menilainya karena dogma mau- ying. Namun, berkat kesiapsiagaan suster, peri-
pun ajaran agama adalah ajaran multitafsir ka- laku tersebut dapat tereduksi. Prinsip “Rumah
rena masing-masing siswa memiliki pandangan Bersama” merupakan bentuk dari pembelajaran
yang berbeda mengenai Tuhan mereka masing- multikultural dengan mengajak semua civitas
masing. Yang terpenting, menurut penuturan akademika menjadi satu keluarga yang utuh.
suster adalah siswa paham bahwa Tuhan adalah Religiusitas adalah instrumentasi pene-
milik semua agama, terlepas dari penyebutan rapan nilai universalitas agama mengenai teng-
dan ajarannya. Mengenai ideologisasi agama, gang rasa, toleransi, maupun perdamaian untuk
siswa Katolik diwajibkan untuk melakukan menjaga semangat multikulturalisme di antara
ritual pengakuan dosa yang memang dikhusus- para siswa SMA Sang Timur. Dengan adanya
kan menjelang ujian semester atau ujian nasio- religiusitas, siswa dapat memahami bagaimana
nal sementara siswa non Katolik dipersilakan agama itu dipraktikkan dalam level keseharian
untuk menyakininya dalam ajaran masing- dengan membangun relasi masyarakat yang
masing. Kegiatan lainnya seperti retreat mau- berbeda latar belakang sekalipun.
pun pengucapan doa harian sendiri dilakukan
bersama-sama oleh siswa Katolik dan non-Ka- UCAPAN TERIMA KASIH
tolik karena esensi spiritualisme adalah bagai- Terima kasih saya sampaikan kepada pi-
mana umat sendiri selalu untuk mendekatkan hak-pihak, seperti: Malikuruba Dinastiata Rais,
diri kepada Tuhannya. Aldino Widyartaputra, Umar Hajrodion, Da-
Konsepsi Tuhan yang berbeda–beda ja- nang Prayogo, dan lain sebagainya yang men-
ngan dipandang sebagai pemicu bibit konflik dorong agar tulisan ini dapat dipublikasikan
sesama siswa. Tuhan juga bukan hadir melalui menjadi sebuah jurnal ilmiah yang bisa dibaca
simbolisasi kitab, tempat ibadah, ritus periba- dan dipahami semua khalayak. Terima kasih
datan, dan simbol lainnya. Siswa SMA Sang pula saya haturkan kepada Redaksi Jurnal Ca-
Timur diminta untuk memahami Tuhan hadir krawala Pendidikan yang telah memberikan
dalam jiwa mereka bukan melalui misa, pe- poin-poin revisi penyempurnaan naskah sehing-
ngajian, atau sembahyang. Walaupun sekolah ga tulisan ini layak untuk terbit menjadi sebuah
tidak mengajarkan pembelajaran agama seba- karya.
gaimana yang umum dilakukan oleh sekolah
lainnya, sekolah mengajak bagaimana siswa DAFTAR PUSTAKA
memahami sifat Tuhan (penyayang, pemurah, Ali, Muhammad. 2006. “Mengapa Membumi-
dan pemberi maaf) untuk meneladani nilainya kan Pluralisme dan Kebebasan Agama di
dan diterapkan dalam kehidupan keseharian. Indonesia”, ISLAMLIB, IX (2), hlm.20-
40.

Cakrawala Pendidikan, Februari 2014, Th. XXXIII, No. 1


79

Ambarwangi. 2013. “Pendidikan Multikultural Ratnaningsih, Rahayu. 2006. “Spiritualitas &


di Sekolah Melalui Pendidikan Seni Religiositas: Dua Hal yang Berbeda”. La-
Tradisi”. Harmonia, XIII(2), hlm. 78-85. poran Penelitian. The Center of Human
Potential Movement.
Arifin. 2012. “Implementasi Pendidikan Multi-
kultural dalam Praksis Pendidikan di Suryaman. 2010. “Analisis Kepemimpinan Mul-
Indonesia”. Jurnal Pembangunan Pendi- tikultural di Sekolah Menengah Atas”.
dikan: Fondasi dan Aplikasi. I(1), hlm. SOSIOHUMANIKA, III(1), hlm. 89-101.
72-82.
Sopiah. 2009. “Pendidikan Multikultural dalam
Asroni. 2013. “Model Pendidikan Multikultural Pendidikan Islam”. Forum Tarbiyah, XIII
dalam Pendidikan Islam”. Mukaddimah. (1), hlm.78-85.
XIX(1), hlm.89-104.
Subkhan, Imam. 2009. Hiruk-Pikuk Wacana
Banks, James A. 1993. Teaching Strategies for Pluralisme di Yogya. Yogyakarta: Kani-
Ethnic Studies. Boston: Allyn and Bacon sius.
Inc.
Zamroni. 2011. Pendidikan Demokrasi pada
Banks, James A. 2002. An introduction to Mul- Masyarakat Multikultural. Yogyakarta:
ticultural Education. Boston-London: Gavin Kalam Utama.
Allyn and Bacon Press.
Yin, Robert. 1996. Metode Penelitian Studi Ka-
Parekh, Bikhu. 2010. Rethiniking Multicultura- sus. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
lism.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Toleransi Beragama dalam Pendidikan Multikulturalisme Siswa SMA Katolik Sang Timur Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai