Anda di halaman 1dari 15

PEMBERDAYAAN PERAN PEREMPUAN

DI BIDANG POLITIK; DALAM PERSPEKTIF HISTORIS

Nina Herlina Lubis

Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Kampus Jatinangor, Jatinangor, Jawa Barat,


Indonesia

e-mail: nina.h.lubis@gmail.com

ABSTRAK

Salah satu sasaran dalam Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals
atau MDGs) adalah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Tulisan yang
difokuskan pada pembahasan peran perempuan dalam dunia politik ditinjau dari sisi sejarah
ini, membahas persoalan mengapa peran perempuan Indonesia di bidang politik masih belum
mencapai target 30% dan bagaimana mengatasinya. Dalam penelitian dengan menggunakan
metode sejarah kritis, digunakan sumber-sumber sejarah antara lain yang disebut historiografi
tradisional. Meskipun sumber semacam ini mencampuradukkan antara mitos dan realitas,
tetapi yang perlu dicatat adalah bahwa historiografi tradisional memang tidak dimaksudkan
untuk menulis sejarah tetapi lebih dimaksudkan untuk meneguhkan nilai-nilai yang berlaku
pada masyarakat yang menghasilkan karya tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa status
sosial kaum perempuan dalam masyarakat tradisional Indonesia memang rendah. Mereka
dianggap warga negara kelas dua. Meskipun sudah dilakukan upaya emansipasi oleh tokoh-
tokoh seperti Raden Dewi Sartika dan R.A. Kartini sejak seabad yang lalu, tetapi hingga kini
stigma menomorduakan kaum perempuan masih sangat membekas hingga peran kaum
perempuan di dunia politik terkendala. Salah satu usaha untuk memberdayakan peran
perempuan Indonesia di bidang politik adalah dengan meminta pemerintah melakukan
rekayasa politis melalui peraturan perundang-undangan yang “memaksa” agar kaum
perempuan diberi kuota sesuai target dan mengubah sikap mental masyarakat yang
menomorduakan kaum perempuan dengan membuang mitos-mitos lama yang
kontraproduktif dan menggantikannya dengan etos kerja yang positif.

PENDAHULUAN

Millenium Development Goals ditandatangani oleh pemerintah Indonesia bersama 189


negara lain dalam Pertemuan Puncak Millenium di New York pada bulan September 2000.
Kini sudah sepuluh tahun berlalu, apakah sasaran itu sudah dicapai atau baru tahap
mendekati? Sebagai sejarawan, penulis tertarik untuk membahas secara khusus soal
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dari perspektif sejarah. Tulisan akan
difokuskan pada masalah status sosial kaum perempuan sebagaimana terefleksikan dalam
historiografi Indonesia dan juga peran mereka di bidang politik, sebuah sisi yang paling
menarik dikaitkan dengan situasi aktual di negeri ini.

PEMBAHASAN

Perempuan dalam Historiografi Indonesia

Dalam perkembangan penulisan sejarah (historiografi) modern di Indonesia, hingga


saat ini belum ada penulis yang secara khusus menulis sejarah perempuan. Meskipun ada
biografi tentang tokoh-tokoh perempuan, pada umumnya tidak ditulis oleh sejarawan.
Sebagai perbandingan, di Amerika, sejak tahun 1980-an kajian sejarah perempuan sudah
merupakan spesialisasi tersendiri sebagai bagian dari sejarah sosial (Kuntowijoyo, 1988)
Tulisan-tulisan sosiologi yang membicarakan perempuan sebagai penyumbang dalam sektor-
sektor sosial memang sudah cukup banyak. Bahkan, akhir-akhir ini di beberapa universitas
sudah ada Pusat Kajian Wanita (bukan: perempuan). Sejarah perempuan yang dikaitkan
dengan masalah gender, yang dalam dua dekade terakhir ini banyak dibicarakan orang di
Indonesia, baru menyentuh kulit luarnya saja.
Mengapa perempuan jarang sekali dijadikan tokoh sentral dalam historiografi
(penulisan sejarah)? Bila melihat perkembangan historiografi di dunia, juga di Indonesia,
dapat dikatakan bahwa sejarah adalah milik kaum laki-laki. Tema-tema sentral dalam sejarah
dipenuhi dengan tema sejarah politik dan militer yang erat kaitannya dengan masalah
kekuasaan dan keperkasaan, yang dapat dikatakan milik kaum laki-laki (Kuntowijoyo, 1988).
Corak sejarah yang androsentris seperti ini menempatkan perempuan hanya sebagai figuran.
Keadaan ini memang tidak adil karena sesungguhnya perempuan dapat dipandang sebagai
pribadi yang mandiri, yang bisa menggerakkan sejarah.
Selain itu, tulisan sejarah pada masa lalu pada umumnya bersifat elitis, hanya
membicarakan orang besar, membicarakan kelompok penguasa. Jadi, tidak ada tempat bagi
rakyat kecil. Sumber sejarah yang bisa mengungkapkan tentang peran perempuan Indonesia
pada masa lalu, adalah historiografi tradisional, itu pun hanya menyangkut perempuan
kalangan elite dan sebagai tulisan yang bersifat androsentris, historiografi tradisional itu pun
hanya sedikit saja menyinggung tentang kaum perempuan. Apa boleh buat, mari kita lihat
bagaimana perempuan Indonesia digambarkan dalam historiografi tradisional.
Historiografi tradisional adalah tulisan sejarah yang dibuat berdasarkan tradisi yang
sudah berlangsung selama berabad-abad dan ditulis oleh para pujangga, para empu, atau
penulis-penulis khusus yang ada di istana-istana atau pendopo-pendopo kabupaten.
Historiografi tradisional ini dikenal dengan sebutan wawacan, babad, sejarah, serat,
lontarak, hikayat, tambo, dll. Historiografi tradisional dapat dibedakan dengan historiografi
modern karena dalam historiografi tradisional, selain fakta sejarah, juga dimuat unsur-unsur
sastra dan mitos. Seringkali kebenaran historis tidak dibedakan dari kebenaran mitis
(Ricklefs, 1987). Meskipun demikian, historiografi tradisional sangat penting artinya bagi
sejarah karena di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya masyarakat yang menghasilkan
karya tersebut (Kartodirdjo, 1988). Oleh karena itu, dari historiografi tradisional yang banyak
memuat aspek non-historis sekalipun, kita dapat menangkap bagaimana citra perempuan
Indonesia dalam sejarah masa lalu.
Masalah citra perempuan berkaitan dengan dua hal. Pertama: masalah seks dan
gender. Masalah seks adalah masalah penampilan fisik yang membedakan perempuan dari
pria secara kodrati sedangkan masalah gender adalah masalah sosio-budaya, yang didasarkan
atas simbol-simbol. Perempuan diberi simbol-simbol lemah-lembut, keibuan, cantik,
emosional; sedangkan laki-laki dilekati simbol-simbol kuat, perkasa, jantan, rasional. Dari
perbedaan simbolis ini bisa muncul anggapan bahwa perempuan dianggap lebih lemah dari
pria. Kedua, masalah status sosial. Kita mengetahui bahwa dalam stratifikasi sosial
masyarakat di Indonesia, pada umumnya dikenal tiga lapisan masyarakat, yaitu: kaum
bangsawan (kelompok aristokrat) yang menempati lapisan atas, dan kaum yang lebih rendah
yaitu wong cilik (Jawa), rakyat biasa, atau cacah (Sunda). Di beberapa kalangan etnis tertentu
ada juga strata di antara keduanya, misalnya dalam masyarakat Sunda dikenal strata santana.
Jadi, ada perempuan yang termasuk kaum bangsawan dengan segala hak istimewanya, dan
ada perempuan wong cilik yang harus menerima statusnya sebagai rakyat kecil.

Peran Perempuan dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara


Peran perempuan Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan sangat menarik untuk
dicermati. Dalam dunia ekonomi, kaum perempuan Indonesia sesungguhnya sudah memiliki
kesetaraan dengan kaum laki-laki sejak dulu. Lihat saja bagaimana perempuan lebih dominan
di pasar Laweyan di Solo. Di Sumatra Barat, yang menganut garis matriarkhat, sejak dulu
kaum perempuan menguasai urusan harta adat. Di Bali, tenaga kerja perempuan bukan hanya
menguasai pekerjaan halus namun juga pekerjaan kasar, seperti tukang batu. Jangan lupa juga
bagaimana Ratu Kalinyamat menguasai galangan kapal di Jepara pada abad ke-16. Bahkan
sekarang, tidak terhitung lagi perempuan yang menduduki jabatan tinggi di dunia bisnis.
Bukankah Direktur Utama Pertamina sekarang juga adalah seorang perempuan?
Di dunia pendidikan, jumlah sarjana perempuan bukan persoalan, malah yang duduk
menjadi guru besar balatak (istilah Sunda yang menunjuk pada jumlah banyak dan tersebar).
Perubahan sosial yang deras terjadi pada pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20. Seiring
dengan bergulirnya roda sejarah, status sosial kaum perempuan perlahan-lahan berubah.
Perubahan terjadi antara lain karena adanya tokoh-tokoh penggerak emansipasi yang
membuka jalan bagi pendidikan kaum wanita. Tokoh-tokoh penggerak emansipasi ini antara
lain Raden Dewi Sartika (dari Bandung), R.A. Kartini (dari Jepara), Rohana Kudus (dari
Kotogadang), Rahmah El-Yunusiyah (dari Padang Panjang), R. Ayu Lasminingrat (dari
Garut), serta R. Siti Jenab (dari Cianjur). Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, keadaan
berubah secara drastis. Kebebasan terbuka lebar bagi bangsa Indonesia untuk berkiprah di
segala bidang. Jelas pula perubahan yang terjadi. Sekarang, wanita sudah setara dengan pria
untuk mendapatkan hak atas pendidikan. Namun, di sisi lain, masih banyak wanita yang
sarjana yang terpaksa untuk mengikuti ke kota mana suami pindah tugas (jarang ada suami
yang ikut ke mana isteri pindah tugas).
Faktanya ternyata berbeda ketika kita berbicara soal peran perempuan Indonesia
dalam dunia politik. Yang dimaksud dengan urusan politik di sini adalah urusan bagaimana
memperoleh kekuasaan dan bagaimana menyelenggarakan kekuasaan/pemerintahan. Kita
bisa memperhatikan data ini: Jumlah menteri perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu
Jilid 2 (2009-2014) ada lima orang dari 34 menteri (dan baru bulan ini dikurangi satu orang),
sedangkan pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1 (2004-2009), hanya ada empat orang dari
36 menteri (indocashregister.com/.../daftar-menteri-kabinet-indonesia-bersatu-jilid-2-
pengumuman-resmi/). Jadi, semula ada kenaikan sebesar 25%, tetapi setelah Sri Mulyani
sebagai Menteri Keuangan diganti oleh Agus Martowardoyo pada tanggal 20 Mei 2010,
berarti persentase ini menurun kembali.

Sementara itu, anggota DPR perempuan periode 2009-2014, ada 101 orang dari 560
anggota DPR, atau 18,03%, sedangkan pada periode 2004-2009, anggota DPR perempuan
hanya 62 orang dari 550 orang, jadi hanya 11,6 %. Berarti ada peningkatan sebesar enam
persen dibanding periode sebelumnya. Bandingkan dengan periode 1992-1997, terdapat 60
orang anggota perempuan atau 12,15% dan periode 1999-2004 dengan 44 orang anggota
perempuan atau 8,80 % (Prastya, 2010 dalam gagasanhukum.wordpress.com/.../implikasi-
putusan-mk-terhadap-keterwakilan-perempuan/, 22 Mei 2010). Sementara itu, gubernur
perempuan hingga hari ini hanya ada satu orang (yaitu gubernur Banten) dari 33 orang
gubernur yang ada di Indonesia atau hanya 3%. Sementara itu, kaum perempuan yang
menjadi bupati/walikota hanya delapan orang dari 440 kepala daerah kabupaten/kota di
seluruh Indonesia atau 1,8 persen; dan yang menjadi wakil bupati/walikota, hanya 18 orang
dari 440 wakil kepala daerah di seluruh Indonesia (http://www.menegpp.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=176:kontribusi-perempuan-di-pemerintah-
minim&catid=38:artikel-perempuan&Itemid=114, 21 Mei 2010).

Masih terasa ada ganjalan ketika seorang wanita menjadi menteri sementara suaminya
“bukan siapa-siapa”. Keadaan seperti itu “kurang enak dirasakan, kurang bisa diterima”. Hal
ini menunjukkan bahwa cara pandang masyarakat kita masih androgynus (menganggap dunia
adalah milik laki-laki). Sekarang itu sebenarnya sudah bukan zamannya lagi bicara soal
emansipasi antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Namun kenyataannya, di kalangan
masyarakat kita sekarang masih saja terdengar ungkapan yang menyebutkan bahwa
perempuan itu hanya konco wingking, swargo nunut neroko katut (bahasa Jawa) atau dalam
ungkapan bahasa Sunda awewe mah dulang tinande, secara ironis juga masih ada yang
mengatakan bahwa perempuan itu kodratnya hanya “di dapur, di sumur, di kasur”. Adanya
ungkapan-ungkapan seperti ini, secara implisit menunjukkan betapa status sosial kaum
perempuan belum bisa meningkat secara ajeg. Ada lagi sebuah kasus yang terasa ironis, pada
tahun 2004, ada tujuh orang perempuan yang mendaftarkan diri untuk menjadi walikota
Bandung. Ini menggembirakan, meski tak usah dipertanyakan mengenai kesempatan mereka
untuk bisa menjadi walikota. Ada orang yang sinis berkata “ah, itu sekadar meramaikan”.
Tentu saja ucapan ini tidak menggembirakan, dan menyisakan pertanyaan yang harus
dipikirkan jawabannya.

Dengan memperhatikan capaian yang diperoleh kaum perempuan Indonesia di bidang


politik dewasa ini, memang masih belum mencapai sasaran yaitu 30 % dari yang ditargetkan.
Mengapa begitu sulit untuk meningkatkan peran perempuan dalam bidang politik di
Indonesia? Apakah benar keterlibatan perempuan dalam dunia pemerintahan/dunia politik,
sekadar “meramaikan”? Jelas sekali bahwa pandangan semacam ini sangat kontraproduktif
bila dikaitkan dengan MDGs di atas. Namun, mengapa masih harus terjadi? Bagaimana pula
cara mengatasinya? Untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari
kita menengok ke masa lalu.

Perempuan dalam Sejarah Politik di Indonesia

Dalam perjalanan sejarah di beberapa wilayah di Indonesia, kita mengenal beberapa


tokoh perempuan yang menduduki posisi tinggi. Dalam sejarah Aceh misalnya, ada empat
orang yang pernah menjadi Sultanah (sultan perempuan). Menurut tradisi Kerajaan Aceh,
yang berhak menjadi raja/sultan adalah anak laki-laki tertua dari permaisuri, bila tidak ada
maka bolehlah kaum perempuan. Jadi, tetap saja perempuan menempati prioritas setelah
kaum laki-laki. Ketika Sultan Iskandar Thani meninggal dunia pada tahun 1641, dengan
tidak meninggalkan anak, maka isterinya diangkat sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultanah
Syafiatuddin Syah. Penobatan ini bukannya tanpa perdebatan lebih dahulu di kalangan ulama.
Barulah setelah Tengku Abdurrauf dari Singkel, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh
waktu itu, mengemukakan pendapatnya bahwa urusan agama harus dipisahkan dari urusan
pemerintahan, maka penobatan pun bisa dilangsungkan dengan selamat. Sultanah
Syafiatuddin Syah berhasil bertahan memerintah hingga wafatnya pada tahun 1675. Ia
kemudian digantikan berturut-turut oleh tiga orang raja perempuan yaitu Sultanah Nurul
Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1677-1688), dan Ratu
Kamalat Zainatuddin Syah (1688-1699).
Selain para sultanah, tidak boleh dilupakan adalah seorang wanita Aceh yang gagah
berani yaitu Keumalahayati, yang menjadi Laksamana Kerajaan Aceh (Admiral) yang
menjadi salah seorang pemimpin armada laut pada masa pemerintahan Sultan Alauddin
Riayatsyah (1589-1604). Seorang wanita Aceh terkemuka lainnya, yang berjuang melawan
Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien, menduduki peran penting yaitu memimpin perjuangan rakyat
Aceh melawan Belanda, setelah suaminya, Teuku Umar, gugur ditembak Belanda. Cut Nyak
Dhien yang dilahirkan tahun 1848 itu, tidak mengenal kata menyerah, ia berjuang dari jurang
ke jurang, dari hutan ke hutan, bahkan setelah ia dibuang ke Sumedang, ia tetap berjuang dan
wafat di pembuangannya. Pejuang lainnya dalah Cut Nyak Meutia, yang lahir pada tahun
1870, dan gugur ditembak Belanda pada tahun 1910 setelah memimpin perjuangan bersenjata
yang sangat keras (Sofyan et al., 1994: 28-96).

Jangan lupa pula dalam sejarah Jawa, disebutkan tentang adanya Ratu Sima, seorang
Raja dari Kerajaan Kalingga abad ke-7 yang dikenal sebagai raja yang adil bijaksana.
Kemudian seorang ratu yang terkenal dari Majapahit yaitu Sri Gitarja bergelar Tribhuwana
Wijayatunggadewi (1328-1350), ibunda Raja Hayam Wuruk dan Ratu Suhita yang
memerintah antara 1429-1447 (Soekmono, 1995: 36-37,.70-71). Orang juga tidak pernah
melupakan seorang Ratu dari Jepara, yang telah disebut di atas yaitu Ratu Kalinyamat, yang
bukan saja menduduki jabatan politik tertinggi di Jepara pada abad ke-16, tetapi ia juga
adalah seorang ratu yang berani menggempur Portugis di Malaka. Bahkan, ia juga
mempersiapkan kapal-kapal penggempur yang dibuat di galangan kapal miliknya yang sangat
besar (De Graaf, 1985: 127-131).
Dalam perjalanan sejarah Kesultanan Banten, pernah juga seorang perempuan
menduduki jabatan sebagai Mangkubumi Banten yaitu Ratu Syarifah Fatimah, terlepas dari
citranya yang kurang baik. Ia menduduki jabatan ini pada tahun 1748, dengan terlebih dahulu
menyingkirkan para pewaris yang sah atas bantuan VOC (Lubis, 2004:71-72).
Di Sumedang, pada abad ke-18 pernah ada seorang perempuan yang menjadi bupati
dan dikenal sebagai Dalem Isteri Raja Ningrat (1744-1759). Puteri sulung Pangeran
Kusumahdinata ini diangkat menjadi bupati karena ketika ayahandanya meninggal, ketiga
adik laki-lakinya belum dewasa, cucu sulungnya yang laki-laki juga masih kecil. Lima belas
tahun bukan waktu yang sebentar untuk memerintah sebuah kabupaten yang wilayahnya
cukup luas. Sebenarnya juga, leluhur Bupati Isteri ini ada yang pernah menjadi ratu di
Kerajaan Sumedanglarang (bawahan Kerajaan Sunda), yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan yang
kemudian digantikan oleh puterinya yaitu Nyi Mas Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk
Umun. Jadi, setidak-tidaknya di Sumedang pernah ada dua orang Ratu (Raja Puteri) dan
seorang bupati perempuan. Ini menunjukkan bahwa ada perempuan (kebetulan dari kalangan
atas) Sunda yang memiliki kedudukan sejajar dengan pria, meski tentu ini hanya bersifat
kasuistis (Lubis et al., 2008). Jangan lupa pula bahwa dalam mitologi Sunda dikenal tokoh
Sunan Ambu, tokoh utama di kahyangan, yang memiliki para pembantu, para bujangga, yang
jelas-jelas laki-laki. Apabila ada permasalahan di Buana Pancatengah, maka para bujangga ini
diutus ke bumi untuk menyelesaikan masalah. Ada juga pembantunya yang perempuan yaitu
Pohaci (Sanghyang Sri), yang kadang dikenal sebagai Dewi Sri, dewi padi. Apabila
menghadapi persoalan di Buana Pancatengah, maka para bujangga mengadukan persoalan
kepada Sunan Ambu, pemilik solusi yang segala bisa. Setidaknya Sunan Ambu adalah
simbolisasi “indung” (ibu) yang memiliki kedudukan sangat terhormat dalam tatanan nilai
masyarakat Sunda lama. Kepadanyalah segala persoalan diadukan (Sumardjo, 2003:234-
243).
Demikianlah sekelumit peran perempuan dalam dunia politik Indonesia masa lalu.
Namun, di balik gambaran status sosial yang tinggi di dunia politik tradisional itu, kita juga
akan mendapat gambaran sebaliknya. Citra perempuan sebagai mahluk kelas dua, konco
wingking, dapat kita kenali dari bebagai historiografi tradisional yang ada di Indonesia.
Penulis mengambil contoh dari historiografi tradisional yang ada di Tatar Sunda, yang sudah
penulis dalami selama ini.

Status sosial perempuan Sunda pada abad ke-19 antara lain tersirat dalam salah satu
historiografi tradisional yang berjudul Sajarah Sukapura. Karya yang ditulis pada tahun
1886 oleh Raden Kanduruan Kertinagara (1835-1915) alias Haji Abdullah Soleh, mantan
Wedana Manonjaya ini berisi kisah para leluhur Sukapura, ceritera Dipati Ukur, dan
pemerintahan para bupati Sukapura sejak yang pertama hingga bupati ke-12, yaitu Bupati
R.A.A Wirahadiningrat (1875-1906).

Ada bagian yang menarik dalam karya ini yang berkaitan dengan perempuan, yaitu
pada bagian VIII. Pada bagian ini dikisahkan tentang tiga orang anak buah Dipati Ukur, yang
bernama Wirawangsa, Samahita, dan Astramanggala. Ketiga orang ini dianugerahi kebebasan
dari tugas dan kewajiban oleh Sultan Mataram, karena mereka dianggap berjasa dalam
penangkapan Dipati Ukur yang dianggap berkhianat kepada Sultan Mataram. Akan tetapi
ketiganya merasa tidak puas atas anugerah itu. Lalu ketiga orang itu sepakat untuk
mempersembahkan tiga orang gadis cantik kepada Sultan Mataram. Ternyata sultan merasa
senang atas persembahan itu, dan sebagai imbalan atas kesetiaan mereka, ketiganya
kemudian diangkat menjadi mantri agung (setingkat bupati). Jelaslah bahwa di sini
perempuan dianggap sama dengan benda yang bisa dipersembahkan sebagai upeti .

Kaum menak (pria) hingga perempatan ketiga abad ke-19, mempunyai suatu tradisi
yang disebut nyanggrah. Bila menginginkan seekor kuda milik rakyat (somah), sang menak
cukup menggunting bulu surai kuda tersebut, maka kuda tersebut sudah beralih pemilik. Bila
mereka mengadakan perjalanan ke desa (turne), kemudian melihat seorang gadis cantik,
cukup baginya mengatakan “Anak gadis siapa itu?” maka sejak saat itu si gadis sudah bisa
dipastikan akan menjadi miliknya. Hal ini mencerminkan betapa besar kekuasaan kaum
menak dahulu, sekaligus mencerminkan betapa rendahnya kedudukan perempuan yang
dianggap sama dengan kuda atau ternak lainnya. Ada kisah tragis berkaitan dengan kebiasaan
nyanggrah ini. Bupati Cianjur, yang kemudian dikenal sebagai Dalem Dicondre, mengalami
nasib buruk karena ia menginginkan seorang gadis desa yang cantik tapi sudah punya
tunangan. Tunangan si gadis, tidak mau menerima perlakuan dalem-nya, dan ia nekad
membunuh sang dalem dengan menggunakan condre (sejenis badik) hingga tewas. Akhirnya
bupati tersebut dikenal sebagai Dalem Dicondre. Kisah ini bisa dibaca dalam Sajarah
Cikundul.

Dalam Wawacan Carios Munada, dikisahkan tentang salah seorang Bupati Bandung
pada abad ke-19 yang memiliki begitu banyak selir. Konon, jumlahnya sampai ratusan orang.
Asisten residen Bandung waktu itu meminta kepada bupati agar salah seorang selirnya
dipinjamkan untuk tinggal bersamanya. Tanpa susah-payah, sang bupati meminjamkan salah
seorang selirnya. Ketika si selir itu hamil, mudah saja sang asisten residen menyerahkan
kembali si selir ke kabupaten. Tidak pula menjadi masalah ketika si anak lahir dengan wajah
indo, ia dianggap anak oleh bupati tersebut. Dalam kasus ini, sangat jelas betapa seorang
perempuan di-alung-boyong (dilempar ke sana ke mari) bagai mainan belaka.

Kisah semacam ini juga bisa dibaca dalam Wawacan Sajarah Galuh. Dalam
historiografi tradisional, yang salinannya diperkirakan dibuat antara tahun 1889-1894 ini,
dikisahkan tentang Nyi Tanduran Gagang, seorang puteri keturunan Pajajaran yang
mengalami nasib tragis. Mula-mula ia dinikahi Sultan Cirebon, tetapi tidak lama kemudian
diceraikan karena bagian badan sang puteri mengeluarkan api. Tak lama kemudian ia dinikahi
Sultan Banten, dan perkawinan berakhir segera karena alasan yang sama. Akhirnya sang
puteri dinikahi Sultan Mataram. Pernikahan pun berakhir tidak lama kemudian. Ketiga Sultan
sepakat menjual Nyi Tanduran Gagang kepada pemerintah Inggris (pada bagian lain kepada
pemerintah Belanda). Akhirnya pemerintah asing itu bersedia menukar Nyi Tanduran Gagang
dengan tiga pucuk meriam. Tiap sultan mendapat sepucuk meriam. Meskipun kisah ini
memiliki latar belakang politis, tetapi secara tersurat perempuan digambarkan sebagai piala
bergilir, yang dengan mudah di-alung-boyong.

Dalam carita-carita pantun ataupun dalam historiografi tradisional seperti Babad


Pajajaran, Cariosan Prabu Siliwangi, dsb, diceritakan bahwa Prabu Siliwangi, Raja
Pajajaran yang legendaris itu, beristri 151 orang. Salah seorang isteri kesayangannya adalah
Nyai Rajamantri. Dalam hal ini, tanpa melihat apakah jumlah 151 orang itu faktual atau
tidak, setidak-tidaknya menyiratkan bahwa perempuan hanya dianggap komoditi politik atau
barang jaminan karena perkawinan Prabu Siliwangi dengan kebanyakan perempuan ini lebih
bersifat politik yaitu untuk menjaga loyalitas elit-elit dari wilayah yang dikuasainya (Lubis,
1998:232).

Mengapa kedudukan perempuan seperti digambarkan dalam historiografi tradisional


itu begitu rendah, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat? Apakah tidak ada pilihan
bagi mereka? Tidak mudah menjawabnya, karena keadaan ini merupakan masalah struktural.
Salah satu contoh, orang tua perempuan somah sangat menginginkan anak gadisnya dijadikan
selir oleh kaum menak (tidak peduli apakah dinikahi atau tidak nantinya), sebab
keturunannya nanti bisa menjadi menak, sehingga status sosial mereka meningkat.

Perempuan Tidak Punya Pilihan

Dalam sejarah Sunda, kaum menak pria, terutama para bupati, biasanya beristeri dan
berselir banyak. Para isteri ataupun para selir, selain berasal dari kalangan menak, banyak
juga yang berasal dari kalangan santana, bahkan dari kalangan somah. Garwa padmi (isteri
yang kedudukannya setara dengan permaisuri) seorang bupati biasanya berasal dari kalangan
menak tinggi (umumnya puteri bupati), sedangkan isteri-isteri lainnya bisa dari kalangan
bukan menak tinggi, sedangkan selir, banyak yang berasal dari kalangan somah. Misalnya
saja, Bupati Sumedang yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sugih, memiliki empat orang
isteri (tiga orang di antaranya puteri bupati) dan 27 selir, dan hanya seorang selir saja yang
berasal dari kalangan menak, sisanya berasal dari kalangan yang berstatus sosial lebih rendah
(Lubis, 1998: 226).
Kaum perempuan menak dapat dikatakan lebih beruntung daripada kaum perempuan
santana ataupun somah. Misalnya saja ketika seorang perempuan somah dinikahi seorang
Bupati Garut, pernikahan dilangsungkan diam-diam, tanpa pesta, cukup dengan membagi-
bagi berekat, lain dengan pesta pernikahan seorang puteri bupati Galuh yang diselenggarakan
selama 40 hari 40 malam dengan segala kemewahan dan kemegahannya. Seorang perempuan
bukan menak dengan mudah diceraikan tanpa kesalahan apapun, selain kesalahan karena ia
menyandang status sosial yang lebih rendah dari menak. Ada sebuah kasus yang terkenal
pada awal abad ke-20 di Bandung. Aom Ogog, putera Bupati Bandung, yang akan
dipromosikan menjadi bupati, dipaksa oleh keluarganya untuk menceraikan isteri tercintanya,
Oma, karena sang isteri bukan puteri seorang dalem. Kisah tragis ini digambarkan dalam
sebuah tembang berjudul Ceurik Oma yang menyayat hati. Lain halnya ketika garwa padmi
bupati Garut minta cerai (bukan diceraikan), karena tidak setuju suaminya menikah lagi.
Ketika ke luar kabupaten, harta-benda berlimpah didapatkannya (Lubis, 1998: 231-237).
Demikianlah gambaran betapa rendah kedudukan perempuan Sunda dalam
masyarakat tradisional. Meskipun gambaran di atas menyangkut perempuan bangsawan,
tetapi kedudukan perempuan dari kalangan rakyat biasa agaknya tidak akan jauh dari itu. Dan
kedudukan kaum perempuan etnis lain di Indonesia, juga tidak akan jauh berbeda dari
kedudukan kaum perempuan Sunda.
Stigma tentang perempuan sebagai warga kelas dua itu, yang ditanamkan sejak
beraba-abad lalu, ternyata cukup mengakar dan belum bisa diatasi oleh gerakan emansipasi
yang sudah dicanangkan seabad yang lalu. Itulah jawaban mengapa hingga kini peran
perempuan di dunia politik sekarang ini masih belum mencapai target.

PENUTUP

Dengan mengamati perjalanan sejarah kaum perempuan di atas, yang mungkin bisa
dianggap mewakili perempuan Indonesia, agaknya urusan politik masih dianggap sebagai
urusan laki-laki. Meskipun dalam sejarah Indonesia sebelum kemerdekaan ada beberapa
perempuan yang pernah menjadi penguasa atau duduk dalam satu jabatan tinggi di suatu
negeri, hal itu belum mewakili secara representatif untuk mengatakan bahwa kaum
perempuan adalah mitra yang sejajar kedudukannya dengan kaum laki-laki.
Ketika kemerdekaan sudah diraih, ternyata jumlah kaum perempuan yang duduk
dalam jabatan politik masih belum bisa mencapai jumlah minimal yaitu 30%. Padahal, ada
harapan bahwa apabila kaum perempuan duduk di lembaga-lembaga politik mereka akan
dapat mewakili kepentingan kaumnya, dalam arti mengurusi mulai dari mengangkat
persoalan, membincangkan, menegosiasikan solusi yang ditawarkan, hingga melegitimasikan
(bila perlu), dan mewujudkan dalam bentuk peraturan, kebijakan, atau bentuk-bentuk aksi
lainnya. Dengan cara beginilah, kaum perempuan yang tentunya sepenuhnya bisa menghayati
persoalan-persoalan perempuan, diharapkan mampu mengisi lowongan yang ditawarkan itu.
Dinamika sejarah yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa kaum perempuan
Indonesia belum memiliki posisi politik yang optimal. Oleh karena itu harus lebih
diberdayakan lagi. Lalu bagaimana caranya?
Menurut penulis, kunci jawabannya adalah :

1. Pemerintah harus melakukan rekayasa politis dengan membuat peraturan-perundang-

undangan, yang “memaksa” agar kaum perempuan diberi kuota sesuai target, jadi

tidak bisa dengan hanya memberi kesempatan bebas berkompetisi.


2. Mengubah sikap mental masyarakat yang menomorduakan kaum perempuan, dengan

membuang mitos-mitos lama yang kontraproduktif, dan diganti dengan etos kerja

yang positif. Misalnya:

a. Perempuan yang selama ini dianggap konco wingking diganti dengan anggapan

bahwa “perempuan itu tiang negara”

b. Dunia politik itu adalah dunia keras, (mungkin juga “kotor”), mengandung potensi

konflik yang tinggi, memancing kekerasan, yang semuanya ini tidak disukai kaum

perempuan; cobalah anggapan ini diubah: “dunia politik adalah dunia yang

menantang kaum perempuan untuk bisa berenang di dalamnya dengan segala sikap

keluwesan perempuan”. Langkah nyata dalam hal ini: jangan ragu-ragu untuk terjun

ke dunia politik, menjadi anggota partai. Namun bukan sekedar untuk memenuhi

target 30%, kaum perempuan masuk ke sana karena memang memiliki kapabilitas.

Untuk itu, dibutuhkan persiapan: pendidikan formal maupun informal. Yang bersifat

formal: pendidikan di bidang terkait (Ilmu politik misalnya) sedangkan yang bersifat

infomal: aktif dalam organisasi pemuda, LSM atau organisasi yang memberikan bekal

di bidang hubungan-hubungan sosial-politik. Kita bisa mempelajari latar belakang


para politisi perempuan terkemuka di negeri ini dari mulai Maria Ulfah (1911-1988)

hingga Megawati Soekarnoputeri.

c. Tanamkanlah sejak di Taman Kanak-kanak, bagaimana anak perempuan bisa

mengaktualisasikan dirinya sebagaimana anak laki-laki, tentu tanpa mengabaikan

etika dan nilai-nilai agama dan budaya. Anak-anak usia TK bagai kertas kosong yang

siap ditulisi apa saja. Jadi, bila sejak usia dini itu, ditanamkan di dalam pikirannya

bahwa mereka bukan anak yang selalu harus mengalah, harus menomorduakan

dirinya sendiri dan menomorsatukan anak laki-laki, maka itu akan terbawa seumur

hidupnya. Bagi anak-anak beragama Islam harus ditanamkan bahwa semua manusia

itu sama kedudukannya di depan yang Maha Kuasa, yang membedakannya adalah

ketakwaannya. Meskipun harus pula dijelaskan bahwa secara kodrati ada perbedaan

fisik, kekuatan fisik antara anak perempuan dan anak laki-laki, namun ia akan siap

berkompetisi dengan anak laki-laki di bidang ilmu pengetahuan misalnya.

DAFTAR PUSTAKA

De Graaf, H.J. 1974. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa (transl.) Jakarta: Grafitipers.

Ekadjati, Edi S (ed.). 1991. Wawacan Carios Munada. Bandung: Unpad.

Lubis, Nina H.. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan. Disertasi. Bandung: Pusat
Informasi Kebudayaan Sunda.

--------------------. 2004. Banten dalam pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama, Jawara.

Lubis, Nina H. et al., 2008. Sejarah Sumedang dari Masa ke Masa. Sumedang: kerjasama
Pusat kebudayaan Sunda Fak. Sastra Unpad dengan Dinas Kebudayaan dan
Pariwistaa Kabupaten Sumedang.

Hermansoemantri, Emuch. 1979. Sajarah Sukapura. Disertasi. Jakarta: Universitas


Indonesia.

Kartodirdjo, Sartono. 1988. Modern Indonesia; Tradition & Transformatin. Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press.

Kuntowijoyo. 1988. Sejarah Wanita: Dari Sejarah Androsentris ke Sejarah


Androgynous. Makalah dalam Seminar Wanita. Yogyakarta: MSI Cabang
Yogyakarta.

Ricklefs, M.C. 1991.Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Soedarpo, Mien. 1994. Reminiscences of the Past. Jakarta: Sinar Harapan.

Soekmono. 1995. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jilid 2. Yogyakarta: Kanisius.

Sofyan, Ismail et al.1994. Wanita Utama Nusantara ; dalam Lintasan Sejarah. Jakarta:
Jayakarta Agung.

Sumardjo, Jakob. 2003. Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda; tafsir-tafsir Pantun


Sunda. Bandung: Kelir.

Van Niel, Robert. 1960. The Emergence of the Modern Indonesian Elite. Den Haag: Van
Hoeve.

Situs Internet

Indocashregister.com/.../daftar-menteri-kabinet-indonesia-bersatu-jilid-2-pengumuman –
resmi, diakses 21 Mei 2010.

Prastya, Kibu Hutabri. 2010 dalam gagasanhukum.wordpress.com/.../implikasi-putusan- mk-


terhadap-keterwakilan-perempuan/, diakses 22 Mei 2010)

http://www.menegpp.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=176:kontribusi-perempuan-di-
pemerintah-minim&catid=38:artikel-perempuan&Itemid=114, diakses 21 Mei
2010

Anda mungkin juga menyukai