ed-NINA FIN
ed-NINA FIN
e-mail: nina.h.lubis@gmail.com
ABSTRAK
Salah satu sasaran dalam Sasaran Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals
atau MDGs) adalah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Tulisan yang
difokuskan pada pembahasan peran perempuan dalam dunia politik ditinjau dari sisi sejarah
ini, membahas persoalan mengapa peran perempuan Indonesia di bidang politik masih belum
mencapai target 30% dan bagaimana mengatasinya. Dalam penelitian dengan menggunakan
metode sejarah kritis, digunakan sumber-sumber sejarah antara lain yang disebut historiografi
tradisional. Meskipun sumber semacam ini mencampuradukkan antara mitos dan realitas,
tetapi yang perlu dicatat adalah bahwa historiografi tradisional memang tidak dimaksudkan
untuk menulis sejarah tetapi lebih dimaksudkan untuk meneguhkan nilai-nilai yang berlaku
pada masyarakat yang menghasilkan karya tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa status
sosial kaum perempuan dalam masyarakat tradisional Indonesia memang rendah. Mereka
dianggap warga negara kelas dua. Meskipun sudah dilakukan upaya emansipasi oleh tokoh-
tokoh seperti Raden Dewi Sartika dan R.A. Kartini sejak seabad yang lalu, tetapi hingga kini
stigma menomorduakan kaum perempuan masih sangat membekas hingga peran kaum
perempuan di dunia politik terkendala. Salah satu usaha untuk memberdayakan peran
perempuan Indonesia di bidang politik adalah dengan meminta pemerintah melakukan
rekayasa politis melalui peraturan perundang-undangan yang “memaksa” agar kaum
perempuan diberi kuota sesuai target dan mengubah sikap mental masyarakat yang
menomorduakan kaum perempuan dengan membuang mitos-mitos lama yang
kontraproduktif dan menggantikannya dengan etos kerja yang positif.
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Sementara itu, anggota DPR perempuan periode 2009-2014, ada 101 orang dari 560
anggota DPR, atau 18,03%, sedangkan pada periode 2004-2009, anggota DPR perempuan
hanya 62 orang dari 550 orang, jadi hanya 11,6 %. Berarti ada peningkatan sebesar enam
persen dibanding periode sebelumnya. Bandingkan dengan periode 1992-1997, terdapat 60
orang anggota perempuan atau 12,15% dan periode 1999-2004 dengan 44 orang anggota
perempuan atau 8,80 % (Prastya, 2010 dalam gagasanhukum.wordpress.com/.../implikasi-
putusan-mk-terhadap-keterwakilan-perempuan/, 22 Mei 2010). Sementara itu, gubernur
perempuan hingga hari ini hanya ada satu orang (yaitu gubernur Banten) dari 33 orang
gubernur yang ada di Indonesia atau hanya 3%. Sementara itu, kaum perempuan yang
menjadi bupati/walikota hanya delapan orang dari 440 kepala daerah kabupaten/kota di
seluruh Indonesia atau 1,8 persen; dan yang menjadi wakil bupati/walikota, hanya 18 orang
dari 440 wakil kepala daerah di seluruh Indonesia (http://www.menegpp.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=176:kontribusi-perempuan-di-pemerintah-
minim&catid=38:artikel-perempuan&Itemid=114, 21 Mei 2010).
Masih terasa ada ganjalan ketika seorang wanita menjadi menteri sementara suaminya
“bukan siapa-siapa”. Keadaan seperti itu “kurang enak dirasakan, kurang bisa diterima”. Hal
ini menunjukkan bahwa cara pandang masyarakat kita masih androgynus (menganggap dunia
adalah milik laki-laki). Sekarang itu sebenarnya sudah bukan zamannya lagi bicara soal
emansipasi antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Namun kenyataannya, di kalangan
masyarakat kita sekarang masih saja terdengar ungkapan yang menyebutkan bahwa
perempuan itu hanya konco wingking, swargo nunut neroko katut (bahasa Jawa) atau dalam
ungkapan bahasa Sunda awewe mah dulang tinande, secara ironis juga masih ada yang
mengatakan bahwa perempuan itu kodratnya hanya “di dapur, di sumur, di kasur”. Adanya
ungkapan-ungkapan seperti ini, secara implisit menunjukkan betapa status sosial kaum
perempuan belum bisa meningkat secara ajeg. Ada lagi sebuah kasus yang terasa ironis, pada
tahun 2004, ada tujuh orang perempuan yang mendaftarkan diri untuk menjadi walikota
Bandung. Ini menggembirakan, meski tak usah dipertanyakan mengenai kesempatan mereka
untuk bisa menjadi walikota. Ada orang yang sinis berkata “ah, itu sekadar meramaikan”.
Tentu saja ucapan ini tidak menggembirakan, dan menyisakan pertanyaan yang harus
dipikirkan jawabannya.
Jangan lupa pula dalam sejarah Jawa, disebutkan tentang adanya Ratu Sima, seorang
Raja dari Kerajaan Kalingga abad ke-7 yang dikenal sebagai raja yang adil bijaksana.
Kemudian seorang ratu yang terkenal dari Majapahit yaitu Sri Gitarja bergelar Tribhuwana
Wijayatunggadewi (1328-1350), ibunda Raja Hayam Wuruk dan Ratu Suhita yang
memerintah antara 1429-1447 (Soekmono, 1995: 36-37,.70-71). Orang juga tidak pernah
melupakan seorang Ratu dari Jepara, yang telah disebut di atas yaitu Ratu Kalinyamat, yang
bukan saja menduduki jabatan politik tertinggi di Jepara pada abad ke-16, tetapi ia juga
adalah seorang ratu yang berani menggempur Portugis di Malaka. Bahkan, ia juga
mempersiapkan kapal-kapal penggempur yang dibuat di galangan kapal miliknya yang sangat
besar (De Graaf, 1985: 127-131).
Dalam perjalanan sejarah Kesultanan Banten, pernah juga seorang perempuan
menduduki jabatan sebagai Mangkubumi Banten yaitu Ratu Syarifah Fatimah, terlepas dari
citranya yang kurang baik. Ia menduduki jabatan ini pada tahun 1748, dengan terlebih dahulu
menyingkirkan para pewaris yang sah atas bantuan VOC (Lubis, 2004:71-72).
Di Sumedang, pada abad ke-18 pernah ada seorang perempuan yang menjadi bupati
dan dikenal sebagai Dalem Isteri Raja Ningrat (1744-1759). Puteri sulung Pangeran
Kusumahdinata ini diangkat menjadi bupati karena ketika ayahandanya meninggal, ketiga
adik laki-lakinya belum dewasa, cucu sulungnya yang laki-laki juga masih kecil. Lima belas
tahun bukan waktu yang sebentar untuk memerintah sebuah kabupaten yang wilayahnya
cukup luas. Sebenarnya juga, leluhur Bupati Isteri ini ada yang pernah menjadi ratu di
Kerajaan Sumedanglarang (bawahan Kerajaan Sunda), yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan yang
kemudian digantikan oleh puterinya yaitu Nyi Mas Ratu Inten Dewata atau Ratu Pucuk
Umun. Jadi, setidak-tidaknya di Sumedang pernah ada dua orang Ratu (Raja Puteri) dan
seorang bupati perempuan. Ini menunjukkan bahwa ada perempuan (kebetulan dari kalangan
atas) Sunda yang memiliki kedudukan sejajar dengan pria, meski tentu ini hanya bersifat
kasuistis (Lubis et al., 2008). Jangan lupa pula bahwa dalam mitologi Sunda dikenal tokoh
Sunan Ambu, tokoh utama di kahyangan, yang memiliki para pembantu, para bujangga, yang
jelas-jelas laki-laki. Apabila ada permasalahan di Buana Pancatengah, maka para bujangga ini
diutus ke bumi untuk menyelesaikan masalah. Ada juga pembantunya yang perempuan yaitu
Pohaci (Sanghyang Sri), yang kadang dikenal sebagai Dewi Sri, dewi padi. Apabila
menghadapi persoalan di Buana Pancatengah, maka para bujangga mengadukan persoalan
kepada Sunan Ambu, pemilik solusi yang segala bisa. Setidaknya Sunan Ambu adalah
simbolisasi “indung” (ibu) yang memiliki kedudukan sangat terhormat dalam tatanan nilai
masyarakat Sunda lama. Kepadanyalah segala persoalan diadukan (Sumardjo, 2003:234-
243).
Demikianlah sekelumit peran perempuan dalam dunia politik Indonesia masa lalu.
Namun, di balik gambaran status sosial yang tinggi di dunia politik tradisional itu, kita juga
akan mendapat gambaran sebaliknya. Citra perempuan sebagai mahluk kelas dua, konco
wingking, dapat kita kenali dari bebagai historiografi tradisional yang ada di Indonesia.
Penulis mengambil contoh dari historiografi tradisional yang ada di Tatar Sunda, yang sudah
penulis dalami selama ini.
Status sosial perempuan Sunda pada abad ke-19 antara lain tersirat dalam salah satu
historiografi tradisional yang berjudul Sajarah Sukapura. Karya yang ditulis pada tahun
1886 oleh Raden Kanduruan Kertinagara (1835-1915) alias Haji Abdullah Soleh, mantan
Wedana Manonjaya ini berisi kisah para leluhur Sukapura, ceritera Dipati Ukur, dan
pemerintahan para bupati Sukapura sejak yang pertama hingga bupati ke-12, yaitu Bupati
R.A.A Wirahadiningrat (1875-1906).
Ada bagian yang menarik dalam karya ini yang berkaitan dengan perempuan, yaitu
pada bagian VIII. Pada bagian ini dikisahkan tentang tiga orang anak buah Dipati Ukur, yang
bernama Wirawangsa, Samahita, dan Astramanggala. Ketiga orang ini dianugerahi kebebasan
dari tugas dan kewajiban oleh Sultan Mataram, karena mereka dianggap berjasa dalam
penangkapan Dipati Ukur yang dianggap berkhianat kepada Sultan Mataram. Akan tetapi
ketiganya merasa tidak puas atas anugerah itu. Lalu ketiga orang itu sepakat untuk
mempersembahkan tiga orang gadis cantik kepada Sultan Mataram. Ternyata sultan merasa
senang atas persembahan itu, dan sebagai imbalan atas kesetiaan mereka, ketiganya
kemudian diangkat menjadi mantri agung (setingkat bupati). Jelaslah bahwa di sini
perempuan dianggap sama dengan benda yang bisa dipersembahkan sebagai upeti .
Kaum menak (pria) hingga perempatan ketiga abad ke-19, mempunyai suatu tradisi
yang disebut nyanggrah. Bila menginginkan seekor kuda milik rakyat (somah), sang menak
cukup menggunting bulu surai kuda tersebut, maka kuda tersebut sudah beralih pemilik. Bila
mereka mengadakan perjalanan ke desa (turne), kemudian melihat seorang gadis cantik,
cukup baginya mengatakan “Anak gadis siapa itu?” maka sejak saat itu si gadis sudah bisa
dipastikan akan menjadi miliknya. Hal ini mencerminkan betapa besar kekuasaan kaum
menak dahulu, sekaligus mencerminkan betapa rendahnya kedudukan perempuan yang
dianggap sama dengan kuda atau ternak lainnya. Ada kisah tragis berkaitan dengan kebiasaan
nyanggrah ini. Bupati Cianjur, yang kemudian dikenal sebagai Dalem Dicondre, mengalami
nasib buruk karena ia menginginkan seorang gadis desa yang cantik tapi sudah punya
tunangan. Tunangan si gadis, tidak mau menerima perlakuan dalem-nya, dan ia nekad
membunuh sang dalem dengan menggunakan condre (sejenis badik) hingga tewas. Akhirnya
bupati tersebut dikenal sebagai Dalem Dicondre. Kisah ini bisa dibaca dalam Sajarah
Cikundul.
Dalam Wawacan Carios Munada, dikisahkan tentang salah seorang Bupati Bandung
pada abad ke-19 yang memiliki begitu banyak selir. Konon, jumlahnya sampai ratusan orang.
Asisten residen Bandung waktu itu meminta kepada bupati agar salah seorang selirnya
dipinjamkan untuk tinggal bersamanya. Tanpa susah-payah, sang bupati meminjamkan salah
seorang selirnya. Ketika si selir itu hamil, mudah saja sang asisten residen menyerahkan
kembali si selir ke kabupaten. Tidak pula menjadi masalah ketika si anak lahir dengan wajah
indo, ia dianggap anak oleh bupati tersebut. Dalam kasus ini, sangat jelas betapa seorang
perempuan di-alung-boyong (dilempar ke sana ke mari) bagai mainan belaka.
Kisah semacam ini juga bisa dibaca dalam Wawacan Sajarah Galuh. Dalam
historiografi tradisional, yang salinannya diperkirakan dibuat antara tahun 1889-1894 ini,
dikisahkan tentang Nyi Tanduran Gagang, seorang puteri keturunan Pajajaran yang
mengalami nasib tragis. Mula-mula ia dinikahi Sultan Cirebon, tetapi tidak lama kemudian
diceraikan karena bagian badan sang puteri mengeluarkan api. Tak lama kemudian ia dinikahi
Sultan Banten, dan perkawinan berakhir segera karena alasan yang sama. Akhirnya sang
puteri dinikahi Sultan Mataram. Pernikahan pun berakhir tidak lama kemudian. Ketiga Sultan
sepakat menjual Nyi Tanduran Gagang kepada pemerintah Inggris (pada bagian lain kepada
pemerintah Belanda). Akhirnya pemerintah asing itu bersedia menukar Nyi Tanduran Gagang
dengan tiga pucuk meriam. Tiap sultan mendapat sepucuk meriam. Meskipun kisah ini
memiliki latar belakang politis, tetapi secara tersurat perempuan digambarkan sebagai piala
bergilir, yang dengan mudah di-alung-boyong.
Dalam sejarah Sunda, kaum menak pria, terutama para bupati, biasanya beristeri dan
berselir banyak. Para isteri ataupun para selir, selain berasal dari kalangan menak, banyak
juga yang berasal dari kalangan santana, bahkan dari kalangan somah. Garwa padmi (isteri
yang kedudukannya setara dengan permaisuri) seorang bupati biasanya berasal dari kalangan
menak tinggi (umumnya puteri bupati), sedangkan isteri-isteri lainnya bisa dari kalangan
bukan menak tinggi, sedangkan selir, banyak yang berasal dari kalangan somah. Misalnya
saja, Bupati Sumedang yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sugih, memiliki empat orang
isteri (tiga orang di antaranya puteri bupati) dan 27 selir, dan hanya seorang selir saja yang
berasal dari kalangan menak, sisanya berasal dari kalangan yang berstatus sosial lebih rendah
(Lubis, 1998: 226).
Kaum perempuan menak dapat dikatakan lebih beruntung daripada kaum perempuan
santana ataupun somah. Misalnya saja ketika seorang perempuan somah dinikahi seorang
Bupati Garut, pernikahan dilangsungkan diam-diam, tanpa pesta, cukup dengan membagi-
bagi berekat, lain dengan pesta pernikahan seorang puteri bupati Galuh yang diselenggarakan
selama 40 hari 40 malam dengan segala kemewahan dan kemegahannya. Seorang perempuan
bukan menak dengan mudah diceraikan tanpa kesalahan apapun, selain kesalahan karena ia
menyandang status sosial yang lebih rendah dari menak. Ada sebuah kasus yang terkenal
pada awal abad ke-20 di Bandung. Aom Ogog, putera Bupati Bandung, yang akan
dipromosikan menjadi bupati, dipaksa oleh keluarganya untuk menceraikan isteri tercintanya,
Oma, karena sang isteri bukan puteri seorang dalem. Kisah tragis ini digambarkan dalam
sebuah tembang berjudul Ceurik Oma yang menyayat hati. Lain halnya ketika garwa padmi
bupati Garut minta cerai (bukan diceraikan), karena tidak setuju suaminya menikah lagi.
Ketika ke luar kabupaten, harta-benda berlimpah didapatkannya (Lubis, 1998: 231-237).
Demikianlah gambaran betapa rendah kedudukan perempuan Sunda dalam
masyarakat tradisional. Meskipun gambaran di atas menyangkut perempuan bangsawan,
tetapi kedudukan perempuan dari kalangan rakyat biasa agaknya tidak akan jauh dari itu. Dan
kedudukan kaum perempuan etnis lain di Indonesia, juga tidak akan jauh berbeda dari
kedudukan kaum perempuan Sunda.
Stigma tentang perempuan sebagai warga kelas dua itu, yang ditanamkan sejak
beraba-abad lalu, ternyata cukup mengakar dan belum bisa diatasi oleh gerakan emansipasi
yang sudah dicanangkan seabad yang lalu. Itulah jawaban mengapa hingga kini peran
perempuan di dunia politik sekarang ini masih belum mencapai target.
PENUTUP
Dengan mengamati perjalanan sejarah kaum perempuan di atas, yang mungkin bisa
dianggap mewakili perempuan Indonesia, agaknya urusan politik masih dianggap sebagai
urusan laki-laki. Meskipun dalam sejarah Indonesia sebelum kemerdekaan ada beberapa
perempuan yang pernah menjadi penguasa atau duduk dalam satu jabatan tinggi di suatu
negeri, hal itu belum mewakili secara representatif untuk mengatakan bahwa kaum
perempuan adalah mitra yang sejajar kedudukannya dengan kaum laki-laki.
Ketika kemerdekaan sudah diraih, ternyata jumlah kaum perempuan yang duduk
dalam jabatan politik masih belum bisa mencapai jumlah minimal yaitu 30%. Padahal, ada
harapan bahwa apabila kaum perempuan duduk di lembaga-lembaga politik mereka akan
dapat mewakili kepentingan kaumnya, dalam arti mengurusi mulai dari mengangkat
persoalan, membincangkan, menegosiasikan solusi yang ditawarkan, hingga melegitimasikan
(bila perlu), dan mewujudkan dalam bentuk peraturan, kebijakan, atau bentuk-bentuk aksi
lainnya. Dengan cara beginilah, kaum perempuan yang tentunya sepenuhnya bisa menghayati
persoalan-persoalan perempuan, diharapkan mampu mengisi lowongan yang ditawarkan itu.
Dinamika sejarah yang dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa kaum perempuan
Indonesia belum memiliki posisi politik yang optimal. Oleh karena itu harus lebih
diberdayakan lagi. Lalu bagaimana caranya?
Menurut penulis, kunci jawabannya adalah :
undangan, yang “memaksa” agar kaum perempuan diberi kuota sesuai target, jadi
membuang mitos-mitos lama yang kontraproduktif, dan diganti dengan etos kerja
a. Perempuan yang selama ini dianggap konco wingking diganti dengan anggapan
b. Dunia politik itu adalah dunia keras, (mungkin juga “kotor”), mengandung potensi
konflik yang tinggi, memancing kekerasan, yang semuanya ini tidak disukai kaum
perempuan; cobalah anggapan ini diubah: “dunia politik adalah dunia yang
menantang kaum perempuan untuk bisa berenang di dalamnya dengan segala sikap
keluwesan perempuan”. Langkah nyata dalam hal ini: jangan ragu-ragu untuk terjun
ke dunia politik, menjadi anggota partai. Namun bukan sekedar untuk memenuhi
target 30%, kaum perempuan masuk ke sana karena memang memiliki kapabilitas.
Untuk itu, dibutuhkan persiapan: pendidikan formal maupun informal. Yang bersifat
formal: pendidikan di bidang terkait (Ilmu politik misalnya) sedangkan yang bersifat
infomal: aktif dalam organisasi pemuda, LSM atau organisasi yang memberikan bekal
etika dan nilai-nilai agama dan budaya. Anak-anak usia TK bagai kertas kosong yang
siap ditulisi apa saja. Jadi, bila sejak usia dini itu, ditanamkan di dalam pikirannya
bahwa mereka bukan anak yang selalu harus mengalah, harus menomorduakan
dirinya sendiri dan menomorsatukan anak laki-laki, maka itu akan terbawa seumur
hidupnya. Bagi anak-anak beragama Islam harus ditanamkan bahwa semua manusia
itu sama kedudukannya di depan yang Maha Kuasa, yang membedakannya adalah
ketakwaannya. Meskipun harus pula dijelaskan bahwa secara kodrati ada perbedaan
fisik, kekuatan fisik antara anak perempuan dan anak laki-laki, namun ia akan siap
DAFTAR PUSTAKA
De Graaf, H.J. 1974. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa (transl.) Jakarta: Grafitipers.
Lubis, Nina H.. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan. Disertasi. Bandung: Pusat
Informasi Kebudayaan Sunda.
Lubis, Nina H. et al., 2008. Sejarah Sumedang dari Masa ke Masa. Sumedang: kerjasama
Pusat kebudayaan Sunda Fak. Sastra Unpad dengan Dinas Kebudayaan dan
Pariwistaa Kabupaten Sumedang.
University Press.
Sofyan, Ismail et al.1994. Wanita Utama Nusantara ; dalam Lintasan Sejarah. Jakarta:
Jayakarta Agung.
Van Niel, Robert. 1960. The Emergence of the Modern Indonesian Elite. Den Haag: Van
Hoeve.
Situs Internet
Indocashregister.com/.../daftar-menteri-kabinet-indonesia-bersatu-jilid-2-pengumuman –
resmi, diakses 21 Mei 2010.
http://www.menegpp.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=176:kontribusi-perempuan-di-
pemerintah-minim&catid=38:artikel-perempuan&Itemid=114, diakses 21 Mei
2010