Anda di halaman 1dari 2

Khutbah I

Ayyuhal mukminun yarhamukumullah,

Pada kesempatan kali ini, izinkan saya berwasiat, khususnya kepada pribadi saya sendiri agar kita
senantiasa berupaya memperbaiki keimanan dan meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah
dengan berusaha menjalankan perintah dan menghindari larangan-Nya.

Marilah juga kita bersama-sama menunjukkan rasa cinta kepada baginda Nabi Muhammad dengan
cara mengamalkan tuntunan-tuntunan yang beliau ajarkan.

Ma’asyiral Muslimin,

Ada sebuah kisah yang patut direnungkan. Dahulu, kira-kira lima tahun sebelum Nabi Muhammad
menerima mandat kerasulan, bangunan Ka’bah dipugar. Konon penyebab pemugaran itu karena
konstruksi Ka’bah yang sudah mulai rapuh. Sejak pertama kali dibangun Nabi Ibrahim dengan dibantu
putranya, Nabi Ismail, Ka’bah belum pernah dipugar. Ada banyak riwayat yang menjelaskan perihal
pemugaran itu sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah (2/339) karya Ibn
Katsir. Salah satu riwayat menyebut bahwa kerusakan bangunan Ka’bah disebabkan badai gurun yang
terjadi waktu itu.

Singkat cerita, bangunan Ka’bah pun diruntuhkan dan diganti dengan konstruksi baru. Namun, ketika
saat peletakan Hajar Aswad terjadilah pertentangan di kalangan pemuka-pemuka kabilah arab.
Masing-masing merasa yang paling pantas mendapat kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad ke
tempatnya semula. Pertentangan dan perselisihan pun tak terelakkan. Bahkan, mereka hampir saling
membunuh. Untuk menghindari pertikaian berdarah, kemudian mereka bersepakat: Barangsiapa yang
masuk pertama kali ke area Ka’bah keesokan harinya, maka orang itulah yang berhak meletakkan
Hajar Aswad.

Tak disangka, Nabi Muhammad-lah orang yang pertama kali masuk ke area Ka’bah. Berdasarkan
kesepakatan sebelumnya, Nabi Muhammad-lah yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad ke
dinding Ka’bah. Tapi Nabi Muhammad bukan sosok yang egois. Maka dibeberlah kain lebar, lalu
diletakkanlah Hajar Aswad di atas kain tersebut. Lalu dimintalah semua perwakilan kabilah turut serta
memegang tepi kain dan mengangkat Hajar Aswad bersama-sama.

Inilah ikhtiar perundingan peradamaian (al-ishlah) yang diteladankan Nabi sehingga perselisihan dan
pertikaian menjadi reda. Masih banyak cerita serupa yang menunjukkan kemampuan nabi menjadi juru
damai (al-mushlih) ketika terjadi konflik dan pertentangan di tengah-tengah umat. Nabi Muhammad
telah banyak menyelesaikan masalah serius yang berpotensi menjadi konflik berdarah dengan arif dan
bijaksana.

Ma’asyiral Muslimin,

Kisah ini memberi teladan bagi kita agar senantiasa bisa menjadi juru damai ketika terjadi pertikaian
atau konflik di tengah masyarakat. Sikap damai Nabi Muhammad tersebut sejalan dengan
penyampaian Al-Qur’an. Dalam banyak ayat, Allah sangat menekankan agar menempuh jalan damai
dan bermusyawarah dalam penyelesaian masalah dan konflik. Misalnya, pada QS. al-Hujarat [49]: 9-
10:

Ayat tersebut berisikan perintah melakukan perundingan damai ketika mendapati ada dua kelompok
kaum beriman yang saling bertikai. Jangankan pada konflik besar yang melibatkan orang banyak,
konflik kecil dalam keluarga pun, Allah mendorong agar memilih jalan perundingan damai agar
hubungan keluarga tetap utuh. Musyawarah adalah pilihan yang terbaik dari penyelesaian konflik,
perseteruan dan pertikaian.

Teladan Nabi Muhammad dan penegasan Al-Qur’an tentang perundingan , layak di lakukan untuk
keadaan saat ini. Ketika masalah / konflik dengan latar apa pun sering berujung pada penghilangan
nyawa manusia, dendam, pelaporan hukum, maka musyawarah menjadi harapan agar keutuhan
bangsa, masyarakat, dan keluarga terselamatkan. Sudah menjadi sunatullah, perbedaan itu akan
menjadi bagian tak terpisah dari kehidupan manusia sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Hud [11]:
118:

Jika perbedaan itu tidak dikelola dengan baik, maka ujungnya pasti konflik dan perpecahan. Dan tidak
ada yang diharapkan dari konflik, pertikaian, atau permusuhan kecuali kehancuran seperti yang kini
dapat disaksikan di banyak negara yang dilanda peperangan akibat konflik yang tak berkesudahan dan
tidak memilih jalan damai. Maka, dalam ayat sebelumnya QS. Hud [11]: 117 Allah menjamin tidak
akan menghancurkan suatu bangsa jika rakyatnya adalah orang-orang yang mementingkan jalan
damai,

Anda mungkin juga menyukai