Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

IMUNISASI

Disusun oleh :
Fitriani
112017147

Moderator :
dr. Renya Hiasinta, Sp.A

Tutor :
dr. Windhi Kresnawati, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
PERIODE 15 OKTOBER – 22 DESEMBER 2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulisan presentasi kasus ini dapat diselesaikan. Presentasi kasus
ini berjudul “Imunisasi”.
Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dari berbagai pihak sehingga
penyusunan presentasi kasus ini dapat berjalan dengan lancar dan penghargaan
disampaikan kepada :
1. dr. Renya Hiasinta, SpA sebagai tutor penulis dalam penyusunan presentasi
kasus ini.
2. dr. Windhi Kresnawati, SpA sebagai moderator penulis dalam presentasi
kasus ini.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian presentasi kasus ini.
Penulis menyadari bahwa hasil laporan yang dituliskan di dalam presentasi kasus
ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mohon maaf terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan pada pada laporan ini. Untuk itu, penulis mengharapkan
adanya kritik dan saran yang membangun agar laporan kasus ini menjadi lebih baik dan
berharap kiranya presentasi kasus ini dapat bermanfaat.

Jakarta, 3 November 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ................................................................................................................ 3

BAB I STATUS PASIEN ............................................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 13

BAB III ANALISIS KASUS........................................................................................ 28

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 29

3
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : By. AZP
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir/ Usia : 8 Agustus 2008 / 2 bulan 16 hari
Alamat : Pulo sirih selatan 5 Blok AE No 185
No. rekam medis : 901***
Tanggal kontrol poliklinik : 24 Oktober 2018
Datang sendiri/ rujukan : Sendiri tanpa rujukan
Agama : Islam
Suku bangsa : Sunda

II. ANAMNESIS
Alloanamnesa dengan ayah dan nenek dari pasien pada tanggal 24 Oktober pukul 11.00

KELUHAN UTAMA :
Rencana Imunisasi

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang ke Poliklinik RSPAD Gatot Soebroto diantar oleh ayah dan
neneknya untuk melakukan imunisasi Polio yang ke 2 kali dan DPT yang pertama. Pasien
lahir dari ibu G1P0A0 NCB-SMK, dengan usia kehamilan 39 minggu, berat badan lahir
bayi 3160 gram, panjang lahir bayi 48 cm dan lingkar kepala 33 cm. Ketuban pecah 2 jam
sebelum pasien lahir. Ketuban berwarna jernih dan tidak berbau. Pasien lahir secara
spontan ditolong oleh dokter. Pre natal care rutin setiap bulan di Poliklinik RSPAD Gatot
Soebroto.
Selama masa kehamilan ibu dari pasien tidak pernah sakit. Serelah pasien lahir,
pasien langsung menangis, dan gerak bayi aktif. Kemudian dilakukan observasi selama
6 jam diruang perawatan bayi. Setelah 6 jam pasien dirawat gabung dengan ibunya.
Pasien langsung mendapatkan ASI.

4
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Tidak ada

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA DAN LINGKUNGAN SEKITAR


Tidak ada

RIWAYAT KEHAMILAN
Status obstetrik ibu pada saat mengandung pasien adalah G1P0A0. Pasien merupakan anak
pertama. Selama kehamilan ibu pasien tidak ada keluhan.Ibu pasien rutin kontrol setiap
bulan ke dokter selama kehamilan di Poliklinik RSPAD Gatot Soebroto.

RIWAYAT KELAHIRAN
Bayi laki-laki lahir pada tanggal 8 Agusus 2018 lahir secara spontan di RSPAD Gatot
Soebroto. Lahir cukup bulan 39 minggu dibantu oleh dokter, ketuban pecah 2 jam
sebelum bayi lahir, dengan berat badan lahir 3160 gram, panjang badan lahir 48 cm, dan
lingkar kepala 33 cm. Keadaan setelah lahir bayi langsung menangis, bergerak aktif serta
APGAR score 9/10.

RIWAYAT PERKEMBANGAN
Motorik Kasar
Menegakkan kepala : 2 bulan
Motoik Halus
Kepala menoleh ke samping kanan dan kiri : 1 bulan
Bahasa
Bereaksi terhadap bunyi lonceng : 1 bulan
Bubbling : 2 bulan
Sosial dan Kemandirian
Menatap wajah ibu / pengasuh : 1 bulan
Tersenyum spontan : 2 bulan
Kesan : Perkembangan sesuai dengan usia

5
RIWAYAT NUTRISI
Usia Bubur Nasi
ASI/PASI Buah Biskuit
(Bulan) Susu Tim
0-2 ASI + susu formula - - - -

RIWAYAT IMUNISASI
Jenis Imunisasi Usia
Hepatitis B Lahir
Polio 7 hari 2 bulan
BCG 1 bulan
DTP
HiB
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

RIWAYAT KELUARGA
Anak pertama dari satu bersaudara
Jenis Lahir Mati
No Usia Hidup Abortus Keterangan
Kelamin Mati (sebab)
1 2 bulan L  Pasien

Ayah Ibu
Usia 32 30
Pernikahan ke 1 1
Usia saat menikah 28 26
Pendidikan SMA S1
Pekerjaan TNI PNS
Agama Islam Islam
Suku bangsa Sunda Sunda
Riwayat penyakit Tidak ada Tidak ada
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada

6
Anggota keluarga lain yang serumah : nenek dan kakek dari pasien

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Pasien tinggal di perumahan padat penduduk, rumah sendiri. Kondisi rumah cukup bersih,
tempat sampah berada di depan rumah, ventilasi udara cukup baik, dan ketersediaan air
cukup baik. Jarak posyandu dengan rumahnya ditempuh selama 1 jam menggunakan
kendaraan.

III. PEMERIKSAAN FISIK 24 Oktober 2018 pukul 11.00


WIB
Panjang badan : 61 cm
Berat Badan : 6000 gram
Lingkar kepala : 39 cm

TANDA VITAL
Tekanan darah : Tidak dilakukan
Nadi : 143x/menit, reguler, isi cukup
Pernafasan : 40x/menit, reguler, tipe pernafasan abdominaltorako
Suhu : 36,7 oC aksila
Pucat : Tidak ada
Ikterik : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Dypsneu : Tidak
Refleks hisap : Ada
Tangisan : Menangis kuat
Status mental : Tenang

7
Status Gizi

8
9
Menurut kurva WHO :
Berdasarkan PB/U : Anak dalam kelompok ini berperawakan tubuh tinggi
Berdasarkan BB/U : Beresiko gizi lebih
Berdasarkan BB/PB : Gizi cukup
Berdasarkan IMT/U : Gizi cukup
Berdasarkan LK/U : Normocephali
Kesan : Status gizi baik

Status Generalis
Kepala : Normocephal, lingkar kepala 39 cm, UUB datar

Wajah : Simetris

Mata : Konjungtiva tidak pucat, sclera tidak ikterik, pupil bulat

Telinga : Normotia

Hidung : Tidak ada napas cuping hidung

Mulut : Mukosa bibir lembab, bibir tidak sianosis

10
Leher : Tidak teraba pembesaran KGB

Thorax : Simetris kanan dan kiri, tidak ada retraksi sela iga

Paru : Suara napas vesikuler, tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing

Jantung : Bunyi Jantung I – II regular, tidak ada murmur, tidak ada gallop

Abdomen : Datar, supel, bising usus positif

Genitalia : Tidak ada kelainan

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik

Refkeks Primitif

 Refleks rooting : Ada


 Refleks sucking : Ada
 Refleks grasping : Ada
 Refleks moro : Ada
 Reflkes Parachuset : Ada

Pemeriksaan Penunjang : Tidak ada

Resume

Bayi laki-laki berumur 2 bulan 16 hari lahir dari ibu G1P0A0 NCB-SMK, dengan
usia kehamilan 39 minggu, berat badan lahir bayi 3160 gram, panjang lahir bayi 48 cm,
dan lingkar kepala 33 cm. APGAR score tidak diketahui. Ketuban pecah 2 jam sebelum
pasien lahir. Ketuban berwarna jernih. Pasien lahir secara spontan ditolong oleh dokter.
Pasien langsung menangis, gerak aktif, warna kulit kemerahan, Pre natal care rutin setiap
bulan di Poliklinik RSPAD Gatot Soebroto.

Saat ini pasien melakukan imunisasi polio yang ke 2 kali dan DPT. Pada
pemeriksaan tanda-tanda vital pasien didapatkan laju nadi 143x/menit, laju nafas
40x/menit, suhu 36,7 oC. Pada pemeriksaan fisk berat badan 6000 gram, panjang badan
61 cm, dan lingkar kepala 39 cm. Pemeriksaan generalis pada bagian kepala, mata, THT,

11
mulut, leher, thorax, paru, jantung, abdomen, genitalia dan ekstermitas hasilnya dalam
batas normal. Tidak ada pemeriksaan penunjang

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Imunisasi

Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan


memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang
mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti
kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan
atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit lain
diperlukan imunisasi lainnya.2

Imunisasi biasanya lebih fokus diberikan kepada anak-anak karena sistem


kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap
serangan penyakit berbahaya. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali, tetapi
harus dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit yang sangat
membahayakan kesehatan dan hidup anak.

Kekebalan tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif. Keduanya dapat
diperoleh secara alami maupun buatan. Kekebalan pasif yang didapatkan secara alami
adalah kekebalan yang didapatkan transplasenta, yaitu antibodi diberikan ibu kandung
secara pasif melalu plasenta kepada janin yang dikandungnya. Sedangkan, kekebalan
pasif (buatan) adalah pemberian antibodi yang sudah disiapkan dan dimasukkan ke dalam
tubuh anak.1

Kekebalan aktif dapat diperoleh pula secara alami maupun buatan. Secara alami,
kekebalan tubuh didapatkan apabila anak terjangkit suatu penyakit, yang berarti
masuknya antigen yang akan merangsang tubuh anak membentuk antibodi sendiri secara
aktif dan menjadi kebal karenanya. Sedangkan, kekebalan aktif (buatan) adalah
pemberian vaksin yang merangsang tubuh manusia secara aktif membentuk antibodi dan
kebal secara spesifik terhadap antigen yang diberikan.1

Istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama. Imunisasi pasif adalah
suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif. Vaksinasi adalah imunisasi aktif

13
dengan pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas
(antibodi) oleh sistem imun di dalam tubuh.1

Jenis Vaksin

Secara garis besar vaksin dapat dibagi menjadi dua kelompok jenis vaksin, yaitu
vaksin dari mikroba hidup dilemahkan (vaksin hidup) dan vaksin mikroba yang
diinaktivasi (vaksin inaktivasi). Vaksin hidup dibuat dengan memodifikasi virus atau
bakteri patogen di laboratorium. Vaksin inaktivasi dapat berupa virus atau bakteri utuh
(whole cell) atau fraksi patogen, atau gabungan keduanya.1

Vaksin fraksional dapat berbasis protein atau polisakarida. Vaksin berbasis protein
dapat berupa toksoid (toksin bakteri inaktif), dan produk subunit atau subvirion. Vaksin
berbasis polisakarida umumnya terbuat dari polisakarida murni dinding sel bakteri, atau
dapat juga dikonjugasikan secara kimiawi dengan protein sehingga sifat antigenik vaksin
polisakarida tersebut menjadi lebih poten.1

Vaksin hidup bersifat labil dan mudah rusak oleh paparan suhu panas dan cahaya,
sehingga harus dibawa dan disimpan dengan cara aman dari penyebab kerusakan tersebut.
Virus atau bakteri dalam vaksin hidup diharapkan dapat bereplikasi dalam tubuh
penerima vaksin sehingga cukup diberikan dalam dosis relatif kecil. Contoh vaksin hidup
misalnya vaksin campak, gondongan, rubela, vaksinia, varisela, demam kuning, polio
(oral), dan BCG.1

Vaksin inaktif tidak mengandung mikroba hidup, tidak bereplikasi, dan tidak
berpotensi menimbulkan penyakit. Vaksin inaktif diberikan melalui suntikan, selalu
dengan dosis multipel, dan umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi sirkulasi. Vaksin
inaktif juga memerlukan penguatan (booster) karena antibodi yang terbentuk akan
menurun seiring dengn perjalanan waktu. Respon imun yang terbentuk sebagian besar
bersifat humoral dan hanya sedikit merangsang respon imun seluler. Contoh vaksin
inaktif sel utuh : vaksin influenza, rabies, hepatitis A, polio (suntikan), pertusis, kolera.
Vaksin inaktif fraksional dan subunit misalnya vaksin hepatitis B, influenza, pertusis
aselular, toksoid (difteri, tetanus).1

14
Selain kedua jenis vaksin tadi, dikenal pula vaksin rekombinan yang dibentuk
dengan rekayasa genetik. Contohnya : vaksin hepatitis B rekombinan, vaksin tifoid Ty21a,
dan vaksin influenza LAIV.1

Respon terhadap dosis pertama vaksin inaktif lebih bersifat sebagai pembentukan
respon imun awal (priming) yang menjadi dasar pembentukan imunitas protektif. Dosis
berikutnya pada vaksinasi primer merupakan vaksinasi ulang yang membentuk tingkat
antibodi protektif. Vaksinasi ulang diberikan saat respon imun terhadap dosis pertama
atau dosis sebelumnya pada vaksinasi primer mulai menurun, pada umumnya 4-6 minggu
setelah dosis sebelumnya. Tergantung dari karakteristik antigen vaksin inaktif, maka
vaksin penguatan perlu diberikan satu atau beberapa kali untuk mencapai tingkat
kekebalan protektif primer. Sedangkan, vaksin hidup umumnya diberikan satu kali
sebagai vaksinasi primer dan tidak memerlukan vaksinasi ulang.1

Cara dan tempat pemberian vaksin


Vaksin dapat diberikan secara subkutan, intramuskular, intrakutan (intradermal),
dan per-oral sesuai dengan petunjuk yang tertera dalam kemasan. Cara pemberian vaksin
selalu tertera pada label vaksin, maka harus dibaca dengan baik. Vaksin harus diberikan
pada tempat yang dapat memberikan respons imun optimal dan memberikan kerusakan
minimal terhadap jaringan sekitar, pembuluh darah maupun persarafan.2
 Suntikan subkutan tidak mengganggu sistem neurovaskular, biasanya diberikan
untuk vaksin hidupdan vaksin yang menghasilkan imunogenisitas yang tinggi
apabila diberikan secara subkutan. Vaksin yang seharusnya diberikan
intramuskular (misalnya Hepatitis B) akan menurun imunogenisitasnya apablia
diberikan subkutan.
 Suntikan subkutan pada bayi diberikan pada paha atas bagian anterolateral atau
daerah deltoid untuk anak besar. Jarum yang dipergunakan berukuran 5/8-3/4 inci
yaitu jarum ukuran 23-25. Kulit dan jaringan di bawahnya dicubit tebal perlahan
dengan mempergunakan jempol dan jari telunjuk sehingga terangkat dari otot,
kemudian jarum ditusukkan pada lipatan kulit tersebut dengan kemiringan kira-
kira 45 derajat.
 Suntikan intramuskular secara umum direkomendasikan pada vaksin yang
berisi ajuvan, apabila diberikan secara subkutan atau intradermal dapat

15
menyebabkan iritasi pada kulit setempat, menimbulkan indurasi, kulit menjadi
pucat, reaksi inflamasi, dan pembentukan granuloma, Pemilihan tempat dan
ukuran jarum harus mempertimbangkan volume vaksin, tebal jaringan subkutan,
dan tebal otot. M.quadricep pada anterolateral tungkai atas dan M.deltoideus
merupakan pilihan untuk suntikan intramuskular, dengan mempergunakan jarum
nomor 22-25. Menurut pedoman WHO, pada suntikan intramuskular, jarum harus
masuk 5/8 inci atau 16 mm sedangkan FDA menganjurkan kedalaman 7/8-1 inci
atau 22-25 mm.
 Suntikan intradermal diberikan pada BCG dan kadang-kadang pada vaksin
rabies dantifoid, pada lengan atas atau daerah volar. Ukuran jarum 3/8-3/4 inci
atau jarum nomor 25-27. Untuk vaksin oral, apabila dalam 10 menit anak muntah
sebaiknya pemberian vaksin diulang; tetapi bila kemudian muntah lagi ulangan
diberikan pada keesokan harinya.
Bayi lahir kurang bulan
Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah :
1. Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah daripada bayi cukup
bulan.
2. Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram), imunisasi diberikan setelah
berat badan bayi mencapai 2000 gram atau umur bayi 2 bulan.
3. Untuk imunisasi Hepatitis B1 diberikan pada umur 2 bulan atau lebih, kecuali
apabila diketahui ibu mempunyai titer HBsAg positif; dan
4. Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, vaksin polio sebaiknya
diberikan secara suntikan (IPV, inactive polio vaccine) sehingga tidak
menyebarkan virus polio melalui tinja bayi.3
Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau
akibat pengobatan. Indikasi kontra pasien imu-nokompromais, sebagian besar disebabkan
oleh vaksin hidup. Imunisasi tetap dapat diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis
kecil dan dalam waktu pendek. Perhatian khusus diperuntukkan pada pasien dengan
pengobatan kortikosteroid sistemik dengan dosis 2mg/ kg berat badan/ hari atau

16
prednison 20 mg/ hari selama 14 hari, maka imunisasi dapat diberikan setelah pengobatan
dihentikan minimal 1 bulan.3

Jadwal Imunisasi

Pada awal tahun 2017, Ikatan Dokter Anak Indonesia melalui Satuan Tugas
Imunisasi mengeluarkan rekomendasi Imunisasi IDAI tahun 2017 untuk menggantikan
jadwal imunisasi sebelumnya. Jadwal imunisasi 2017 ini dibuat dengan tujuan, pertama
menyeragamkan jadwal imunisasi rekomendasi IDAI dengan jadwal imunisasi
Kementerian Kesehatan RI khususnya untuk imunisasi rutin, sehingga mempermudah
tenaga kesehatan dalam melaksanakan imunisasi. Kedua, jadwal imunisasi 2017 ini juga
dibuat berdasarkan ketersediaan kombinasi vaksin DTP dengan hepatitis B seperti DTPw-
HB-Hib, DTPa-HB-Hib-IPV, dan ketiga dalam situasi keterbatasan atau kelangkaan
vaksin tertentu seperti vaksin DTPa atau DTPw tanpa kombinasi dengan vaksin lainnya.
Seperti jadwal imunisasi yang lalu, jadwal 2017 juga mencantumkan warna berbeda
untuk imunisasi yang diberikan.
 Kolom hijau menandakan imunisasi optimal, yaitu imunisasi diberikan sesuai usia
yang dianjurkan.

17
 Kolom kuning menandakan imunisasi kejar (catch-up immunization), yaitu
imunisasi yang diberikan di luar waktu yang direkomendasikan.
 Kolom biru menandakan imunisasi penguat atau booster.
 Kolom warna merah muda menandakan imunisasi yang direkomendasikan untuk
daerah endemis. Untuk menerapkan rekomendasi imunisasi IDAI, catatan kaki
perlu dibaca karena memuat keterangan yang penting dalam melaksanakan
imunisasi. Berikut adalah beberapa catatan penting yang berhubungan dengan
pelaksanaan imunisasi rekomendasi IDAI 2017.

Hal baru yang terdapat pada jadwal 2017


1. Vaksin hepatitis B (HB)
Vaksin HB monovalen pada usia 1 bulan tidak perlu diberikan apabila anak akan
mendapat vaksin DTP-Hib kombinasi dengan HB.
Pada saat ini mayoritas vaksin kombinasi berbahan dasar DTP-Hib yang beredar
di Indonesia juga berisi komponen HB sehingga pada imunisasi dasar dengan vaksin
DTPw-Hib-HB atau DTPa- Hib-HB-IPV akan memberikan 3 dosis vaksin HB di luar
vaksin HB saat lahir. Hal tersebut dapat dilakukan berdasarkan hasil seroproteksi
terhadap HB setelah 3 dosis vaksin pentavalen DTPw-Hib- HB adalah 99,3%,1 dan
setelah 3 dosis hexavalen DTPa-Hib-HB-IPV adalah 98,4%2 pada bayi yang telah
mendapat vaksin HB saat lahir.
2. Vaksin polio
Bayi paling sedikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV (inactivated polio
vaccine) bersamaan (simultan) dengan OPV-3 saat pemberian DTP-3.
Dalam masa transisi program eradikasi polio, Indonesia telah melakukan
switching dari vaksin polio oral trivalen (tOPV) ke vaksin polio oral bivalen (bOPV) yang
hanya mengandung virus polio 1 dan 3 pada bulan April 2016.3 Galur virus polio tipe 2
dikeluarkan dari OPV karena virus polio tipe 2 liar ini tidak ditemukan lagi sejak tahun
1999.4 Alasan terpenting menggantikan OPV karena menimbulkan 250 – 500 kasus
vaccine associated paralysis poliomyelitis (VAPP) setiap tahunnya. Selain itu kejadian
luar biasa polio sebagian besar (87%-97%) berhubungan dengan vaccine derived polio
virus tipe 2 (VDPV2).4

18
Bayi yang hanya mendapat vaksin bOPV tidak mempunyai kekebalan terhadap
virus polio 2 sehingga rentan terinfeksi virus polio 2 yang mungkin terjadi karena
importasi dari komunitas yang masih menggunakan tOPV. Bayi tersebut perlu
mendapatkan IPV yang mengandung 3 virus polio inaktif. Strategic Advisory Group of
Experts (SAGE) merekomendasikan paling sedikit satu dosis IPV tambahan dalam jadwal
imunisasi rutin di negara yang hanya menggunakan OPV.5 Vaksin IPV menimbulkan
serokonversi 69% terhadap virus polio 2 pada anak yang sebelumnya mendapat bOPV
dan satu dosis IPV.7 Kekebalan mukosa terhadap virus polio 1 dan 3 juga meningkat
dengan pemberian IPV pada anak yang telah mendapat bOPV sehingga mempercepat
eradikasi polio.8 Saat terbaik pemberian IPV adalah bersamaan dengan pemberian DTP3
dan bOPV3 yaitu pada keadaan antibodi maternal polio terendah sehingga memberikan
imunogenisitas paling optimal.5
3. Vaksin difteri, tetanus, dan pertusis (DTP)
Vaksin DTP dosis pertama dapat berupa vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi
dengan vaksin lain, diberikan paling cepat pada bayi usia 6 minggu. Apabila diberikan
vaksin DTPw maka interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 3, dan 4
bulan. Apabila diberikan vaksin DTPa, interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut
yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Vaksin DTPw dan DTPa dapat saling dipertukarkan
(interchangibility) pada keadaan mendesak. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan
vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP6 dapat diberikan vaksin Td/Tdap pada usia 10-12
tahun.9 Vaksin Td booster diberikan setiap 10 tahun.10
Vaksin DTPw-HB-Hib pada anak Indonesia memberikan seroproteksi yang baik
pada pemberian usia 2, 3, dan 4 bulan.1 Jadwal imunisasi dengan menggunakan DTPa
pada usia 2, 3, dan 4 bulan juga digunakan di negara maju seperti Austria, Jerman dan
Perancis.11 Vaksin DTP tidak dianjurkan untuk anak >7 tahun, penggantinya diberikan
Td/ Tdap.12 Vaksin Tdap dianjurkan untuk diberikan satu kali terbaik pada usia 10-12
tahun. Imunisasi booster diberikan Td setiap 10 tahun. Tdap direkomendasikan untuk
diberikan pada remaja hamil dan pada setiap kehamilan remaja.6
4. Vaksin Influenza
Saat ini tersedia vaksin influenza inaktif trivalen dan quadrivalen. Vaksin influenza
trivalen (2 serotipe influenza A dan 1 serotipe influenza B) dan quadrivalen (2 serotipe
influenza A dan 2 serotipe influenza B) direkomendasikan oleh WHO.7

19
5. Vaksin measles, mumps, rubella (MMR/MR)
Vaksin MMR dapat diberikan pada usia 12 bulan, apabila anak belum mendapat
vaksin campak pada usia 9 bulan. MMR dapat diberikan pada usia 12 bulan, sesuai
anjuran Advisory Committee on Immunization Practices.6
6. Vaksin human papiloma virus (HPV)
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan
interval 6-12 bulan; respons antibodi setara dengan 3 dosis.
Penelitian vaksin HPV di India mendapatkan bahwa 2 dosis vaksin HPV pada
remaja usia 9-13 tahun menghasilkan antibodi yang tidak lebih rendah dibandingkan
dengan 3 dosis vaksin HPV.14 Pemberian vaksin HPV 2 dosis pada anak usia 10-13 tahun
juga telah direkomendasikan oleh WHO.8
7. Vaksin Japanese encephalitis (JE)
Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang akan
bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat
diberikan booster 1-2 tahun berikutnya.
Virus JE sudah merupakan masalah pada beberapa daerah endemis di Indonesia,
seperti daerah tertentu di propinsi Bali. Vaksin JE direkomendasikan untuk wisatawan
yang akan tinggal selama lebih dari 1 bulan di daerah endemi selama masa transmisi virus
JE. Vaksin JE dipertimbangkan untuk wisatawan yang akan tinggal kurang dari satu bulan
di daerah endemis JE jika memiliki rencana mengunjungi daerah rural, daerah outbreak
JE, atau tanpa kepastian mengenai tujuan, aktivitas, atau durasi kunjungan.16 WHO
merekomendasikan vaksin JE harus diintegrasikan pada program imunisasi nasional pada
daerah JE merupakan prioritas. Meskipun jumlah kasus JE rendah, imunisasi harus
dipertimbangkan pada lingkungan yang cocok untuk transmisi virus JE seperti hewan
reservoir atau berdekatan dengan daerah yang memiliki transmisi virus JE.9
8. Vaksin dengue
Vaksin dengue yang disetujui oleh WHO saat ini adalah vaksin hidup tetravalen
untuk anak berusia 9 – 16 tahun. Vaksin diberikan 3 kali dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Dosis vaksin 0,5 ml setiap pemberian.
WHO merekomendasikan pemberian vaksin dengue sebagai pencegahan penyakit
dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 pada usia 9 – 16 tahun yang tinggal pada daerah endemis.
Batas usia 9 tahun dipilih berdasarkan faktor keamanan. Vaksin dengue telah dilakukan

20
uji klinis pada puluhan ribu partisipan di lima negara Asia dan lima negara Amerika Latin.
Vaksin ini menimbulkan imunogenitas lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah
terinfeksi dengue(seropositif ). Efikasi vaksin dengue untuk semua serotipe pada 25 bulan
pemantauan setelah dosis pertama pada anak di atas 9 tahun adalah 65.6%. Efikasi vaksin
pada anak yang seropositif saat dilakukan vaksinasi 81.9% dan seronegatif 52.5%.18
Vaksinasi dengue menurunkan rawat inap di rumah sakit 80% dan mencegah 92,9%
infeksi dengue berat. Mengingat tingginya beban penyakit dengue pada negara-negara
endemis, vaksin dengue memberikan dampak kesehatan masyarakat jika diberikan
bersama upaya penanggulangan infeksi dengue lainnya (seperti perbaikan tata laksana
kasus dan KLB, perbaikan pengendalian vektor, dan peningkatan partisipasi
masyarakat).10

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penaggulangan KIPI (KN PP KIPI),


KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah
imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari
(arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari (infeksi virus campak
vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik
serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien
imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).11

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang
(adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin.
Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-
effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya
secara klinis sulit dibedakan.efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi
umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan
kepekaan seseorang terhadap unsure vaksin dengan latar belakang genetic. Reaksi alergi
dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam
kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsure lain yang
terkandung dalam vaksin.11

21
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena
kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin,
kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang
timbul secara kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee,
Institute of Medicine (IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena
kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan
prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).11

Penyebab Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar
ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu unutk menentukan
KIPI diperlukan keterangan mengenai: sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik, derajat
sakit resipien, besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu, apakah
penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti, apakah dapat disimpulkan bahwa
KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur. KN PP
KIPI membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut klasifikasi
lapangan WHO Western Pacific, yaitu:11

A. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)

Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik


pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan
tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan
prosedur imunisasi, misalnya:

 Dosis antigen (terlalu banyak)


 Lokasi dan cara menyuntik
 Sterilisasi semprit dan jarum suntik
 Jarum bekas pakai
 Tindakan aseptik dan antiseptik
 Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
 Penyimpanan vaksin
 Pemakaian sisa vaksin

22
 Jenis dan jumlah pelarut vaksin
 Tidak memperhatikan petunjuk produsen

B. Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung
maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung
misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi
suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.

C. Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi
terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya
ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis
sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik
dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra,
indikasi khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya
termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan
dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

D. Faktor kebetulan (koinsiden)

Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara
kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan
ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat
dengan karakterisitik serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.

E. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam
salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil
menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan
dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.

23
Setelah memahami penyebab sebagai tenaga medis tentu harus juga memahami
gejala kejadian ikutan paska imunisasi. gejala klinis yang di timbulkan tidak selalu sama
dan lebih cenderung dipengaruhi oleh jenis munisasi yang diberikan.

Pemantauan dan pelaporan KIPI


Pasca vaksinasi, bayi sebaiknya diobservasi selama 15 menit, untuk menilai
kemungkinan timbulnya reaksi anafilaksis. Semua kejadian yang berhubungan dengan
imunisasi seperti abses pada tempat suntikan, limfadenitis BCG, semua kasus kejadian
medis, rawat inap atau kematian yang diduga berhubungan dengan imunisasi perlu
dilaporkan dengan menggunakan formulir pelaporan KIPI.11
Laporan KIPI ditujukan kepada instansi kesehatan tingkat Kabupaten / Dati II
dengan tembusan ke Sekretariat KIPI Pusat. Dalam keadaan mendesak, laporan dapat
melalui telepon atau faksimili.

Penatalaksanaan Penanganan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi


Pertolongan terhadap KIPI adalah hal yang sangat penting, untuk itu seorang
pelayan kesehatan harus memahami tanda dan gejala yang ditunjukan sehingga dapat
melkukan tindakan pertolongan medis yang tepat, sesuai gejala yang ada. berikut ini
adalah penangan KIPI berdasarkan gejala yang timbul.2
 Abses pada tempat suntikan. Bengkak tidak perlu diobati dikompres dengan air
hangat atau larutan fisiologis NaCl bila timbul nanah, tetapi bila luka besar dan
bengkak di ketiak anjurkan ke dokter
 Limfadenitis. Limfadenitis BCG adalah timbulnya pembesaran kelenjar disekitar
tempat suntikan BCG seperti diketiak atau di lipatan paha. Limfadenitis BCG
merupakan efek samping yang sering dijumpai padavaksinasi BCG meskipun
jarang menimbulkan masalah yang serius. Kejadiannya berkisar 1-2 per1000
vaksinasi. Penanganan limfadenitis BCG masih diperdebatkan. Di lapangan tidak
jarang kelainan ini diberi obat antituberkulosis (Isoniasid, INH) meskipun
hasilnya tidak memuaskan. Bahkan ada yang melakukan oprasi pengambilan
kelenjar yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Pada tipe lirnfadenitis non-
supuratif, tindakan eksisi tidak dianjurkan, sedangkan pada tipe supuratif, eksisi
dapat dianjurkan. Tindakan eksisi dilakukan apabila dengan aspirasi tidak

24
menunjukkan hasilyang baik, sudah terjadi bentuk sinus, atau kelenjarnya
multipel. Selain itu tindakan eksisi lebihdiindikasikan pada kosmetik yaitu
rnencegah pecahnya kelenjar secara tidak beraturan. Pemberianobat
antituberkulosis setelah eksisi tidak memberikan hasil yang lebih baik. Kalau
eksisi dianjurkan,maka tindakan insisi pada limfadenitis BCG tidak dianjurkan.
 BCG-itis. BCG, luka tidak perlu diobati cukup dibersihkan atau dikompres
dengan air hangat atau larutan fisiologis NaCl bila timbul nanah, tetapi bila luka
besar dan bengkak di ketiak anjurkan ke dokter.
 DPT, bila panas atau rewel diberikan obat penurun panas dan berikan kompres
dingin.
 Campak, bila timbul panas atau rewel berikan obat panas
 Shock anafilaksis. Shock anafilaksis adalah suatu syndroma klinis yang ditandai
dengan adanya hipotensi, tacycardia, kulit yang dingin, pucat basah, hiperventilasi,
perubahan status mental, penurunan produksi urine yang diakibatkan oleh reaksi
anafilaksis.
Penanganan Shock anafilaksis :
a. Baringkan penderita dalam posisi shock yakni tidur terlentang dengan
tungkai lebih tinggi dari kepala pada alas yang keras
b. Bebaskan jalan nafas.
c. Tentukan penyebab dan lokasi masuknya bahan alergen
d. Bila masuk melalui ekstremitas pasang torniquette
e. Berikan Adrenalin 1 : 1000 sebanyak 0,25 ml sub cutane
f. Monitor pernafasan dan hemodinamika
g. Berikan suplemen oksigen
h. Untuk kasus yang sedang berikan Adrenalin 1 : 1000 sebanyak 0,25 ml
intra muskuler. Bila berat berikan Adrenalin 1 : 100- sebanyak 2,5 – 5 ml
intra vena. Bila vena colaps berikan Adrenalin sub lingual atau trans
tracheal
i. Berikan Aminophillin 5 – 6 mg/ kg BB Iv bolus diikuti 0,4 – 0,9 mg/kg
BB/ menit per drip ini untuk bronchospasme yang persisten
j. Berikan cairan infus dengan berpedoman pada kadar hematokrit

25
k. Monitor hemodinamika dan pernafasan.
l. Bila tidak membaik rujuk ke intitusi yang lebih tinggi
 Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema dalam keadaan tertentu dapat
diberikan antihistamin, sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Gejala ini dalam
beberapa saat akan membaik, bila terdapat faktor utama yang lain bisa
berkepanjangan tetapi dalam ekadaan ini imuniasasi hanya dalam keadaan
kebetulan (co-accident).
 Artralgia Bila mengganggu diberi antipiretik atau analgesik sejenis paracetamol
atau NSID lainnya
 Demam tinggi >38,5°C. diberi antipiretik atau analgesik
 Osteomielitis Osteomielitis adalah proses inflamasi atau peradangan tulang.
Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi jaringan lunak karena
terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan
jaringan dan pembentukan involukrum. Osteomielitis dapat menjadi masalah
kronis yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau Bila mengganggu diberi
antipiretik atau analgesik sejenis paracetamol atau NSID lainnya. Harus segera
dibawa ke dokter ortopedi
 Menangis menjerit yang terus menerus diberi antipiretik atau analgesik
 Neuritis brakhial, dapat diberi vitamin neurotropik Bila mengganggu diberi
antipiretik atau analges

26
27
BAB III

ANALISA KASUS

Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan


memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang
mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti
kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan
atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit lain
diperlukan imunisasi lainnya. Pada kasus, By. AZP berjenis kelamin laki-laki berusia 2
bulan yang akan medapatkan imunisasi Polio yang ke 2 kali dan DPT untuk pertama kali.
Pasien lahir dari ibu G1P0A0 NCB-SMK, dengan usia kehamilan 39 minggu, berat badan
lahir bayi 3160 gram, panjang lahir bayi 48 cm dan lingkar kepala 33 cm. Ketuban pecah
2 jam sebelum pasien lahir. Ketuban berwarna jernih dan tidak berbau. Pasien lahir secara
spontan ditolong oleh dokter. Saat ini pasien sudah mendapatkan imunisasi sesuai dengan
usianya. Pada pemeriksaan status gizi pasien dinyatakan cukup gizi dan pada pemeriksaan
riwayat berkembangan, pasien dinyatakan sesuai dengan usianya.

Pada imunisasi dapat terjadi KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) KN PP KIPI
membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut klasifikasi
lapangan WHO Western Pacific, yaitu ; kesalahan program/teknik pelaksanaan
(programmic errors), reaksi suntikan, induksi vaksin (reaksi vaksin), faktor kebetulan
(koinsiden) dan enyebab tidak diketahui. Pasca pemberian vaksinasi, bayi sebaiknya
diobservasi selama 15 menit, untuk menilai kemungkinan timbulnya reaksi anafilaksis.
Semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi seperti abses pada tempat suntikan,
limfadenitis BCG, dll. Pertolongan terhadap KIPI adalah hal yang sangat penting, untuk
itu seorang pelayan kesehatan harus memahami tanda dan gejala yang ditunjukan
sehingga dapat melkukan tindakan pertolongan medis yang tepat, sesuai gejala yang ada
Pada pasien tidak dijumpai adanya KIPI. semua kasus kejadian medis, rawat inap atau
kematian yang diduga berhubungan dengan imunisasi perlu dilaporkan dengan
menggunakan formulir pelaporan KIPI. Laporan KIPI ditujukan kepada instansi
kesehatan tingkat Kabupaten / Dati II dengan tembusan ke Sekretariat KIPI Pusat. Dalam
keadaan mendesak, laporan dapat melalui telepon atau faksimili. Pada pasien tidak
dijumpai adanya KIPI.

28
DAFTAR PUSTAKA
1. Ranuh, IG.N.G., Suyitno, H., Hadinegoro, S.R.S., et al. 2014. Pedoman Imunisasi
di Indonesia Edisi Kelima. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. IDAI (2011). Pedoman imunisasi di Indonesia edisi ke 4. Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia : Jakarta
3. Depkes RI. 2005. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Depkes RI
4. Burns CC, Diop OM, Sutter RW, Kew OM. Vaccine-derived polioviruses. J Infect
Dis 2014;210 Suppl 1:S283-93
5. World Health Organization. Polio vaccines: WHO position paper. Wkly
Epidemiol Rec 2014;89:73-92.
6. Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Immunization
Schedule for Children and Adolescents Aged 18 Years or Younger, United States,
2017. Diakses 28 Januari 2017. Diunduh dari: www.cdc.gov/vaccines/hcp/acip-
recs/index. html.
7. World Health Organization. Recommended composition of influenza virus
vaccines for use in the 2016-2017 northern hemisphere influenza season. Diakses
15 Desember 2016. Diunduh dari: http://www.who.int/influenza/vaccines/virus/
recommendations/201602_recommendation.pdf.
8. World Health Organization. Human papillomavirus vaccines: WHO position
paper. Wkly Epidemiol Rec 2014;89:465-91.
9. World Health Organization. Japanese Encephalitis vaccines: WHO position paper.
Wkly Epidemiol Rec 2015;90:69-88.
10. Rusmil K, Gunardi H, Fadlyana E, Soedjatmiko, Dhamayanti M, Sekartini R, dkk.
The immunogenicity, safety, and consistency of an Indonesia combined DTP-HB-
Hib vaccine in expanded program on immunization schedule. BMC Pediatrics
2015;15:219
11. Depkes RI. 2011, Hasil Kajian Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) Pada
Kampanye Imunisasi Tambahan Campak dan Poli, depkes.go.id, diakses 4
November 2018

29

Anda mungkin juga menyukai