Makalah Perbandingan Agama

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Jepang itu sepanjang sejarah sering berbenturan dengan
Korea dan Tiongkok dan pertempuran itu meniggalkan jejeak pengaruh di
Jepang. Agama Shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang
dalam lingkungan penduduk, bukan datang dari luara.Nama asli bagi agama
itu ialah Kami no Michi, yang bermakna “jalan dewa”. Pada saat Jepang
berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak
kebelakang oleh nama baru yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan dari
Tien-Tao, yang bermakna “jalan langit”.Perubahan bunyi kata itu seperti
halnya dengan aliran Chan, sebuah sekte agama Budha mazhab Mahayana
di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang.
Agama Shinto itu berkenyakinan pada mythos bahwa bumi di
Jepang itu diciptakan dewata yang pertama-tama dan bahwa Jimmu Tenno
(660 SM), Kaisar Jepang yang pertama itu, adalah turunan langsung dari
Amaterasu Omi Kami, yaitu dewi matahari, dalam perkawinannya dengan
Taouki Lomi, yakni dewa bulan. Sekalian upacara dan kebaktian terpusat
seluruhnya pada pokok keyakinan tersebut. Sejarah perkembangan agama
Shinto di Jepang dapat dibagi menjadi beberapa tahap massa.

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama Shinto


Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata
“Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti
lafdziah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun
roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam
taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”.
Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme
yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”.
Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar
Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari Tiongkok. Sedangkan
Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh
bangsa Jepang sampai sekarang.Shintoisme merupakan filsafat religius
yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang
dijadikan pegangan hidup.Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati
ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya juga harus menjadi
pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.1
B. Sejarah Munculnya Agama Shinto
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan
perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap
gejala-gejala alam.Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu
agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di
Jepang, bahkan faham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan
dengan terjadinya negara Jepang.Latar belakang historis timbulnya
Shintoisme adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang asal-
usul timbulnya negara dan bangsa Jepang.Karena yang menyebabkan
timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita
pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini
dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang
pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan
asli bangsa Jepang.Selama berabad-abad antara agama Shinto dan agama
Buddha telah terjadi percampuran yang sedemikian rupa (bahkan boleh
dikatakan agama Shinto berada di bawah pengaruh kekuasaan agama
Buddha) sehingga agama Shinto senantiasa disibukkan oleh usaha-usaha
untuk mempertahankan kelangsungan “hidupnya” sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara
agama Budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang
akhienya mengakibatkan munculnya persaingan yang cukup hebat antara
pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Buddha, maka
1
M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar, (GT. Press: Jakarta, TT), h. 47.
untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya
menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem
keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan
sebagian besar sifat aslinya.Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan
bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi
oleh agama Buddha. Patung-patang dewa yang semula tidak dikenal dalam
agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci
agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang
penuh hiasan warna-warni yang mencolok.
Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal
seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara
Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai
(cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah
satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal im
berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi. Setelah abad ketujuh belas
timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di
bawah pelopor Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain
dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo” (jalannya
Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang)
untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya.
C. Sekte-Sekte Agama Shinto
1. Imperial Shinto (Kyūchū Shinto atau Koshitsu Shinto)
Shinto kelompok ini sangat eksklusif dan tidak umum ditemukan.
Memiliki beberapa kuil saja yang kalau tidak salah 5 buah di seluruh
negeri. Nama kuil ini biasanya berakhir dengan nama Jingu, misalnya
Heinan Jingu, Meiji Jingu, Ise Jingu dll. Kuil Shinto kelompok ini selain
berfungsi sebagai tempat untuk memuja Kami juga berfungsi sebagai
tempat memuja leluhur khususnya keluarga kerajaan. Salah satu dari
kuil ini dibangun khusus untuk menghormati dewa Matahari.
2. Folk Shinto (Minzoku Shinto)
Mithyologi tentang Kojiki, cerita terbentuknya pulau Jepang dan
cerita tentang dewa dewa lain adalah ciri khas dari Shinto kelompok ini.
Jadi Folk Shinto adalah kepercayaan Shinto yang meliputi cerita tua,
legenda, hikayat dan cerita sejarah. Kuil Kibitsu Jinja yang terletak di
daerah Okayama, Jepang tengah adalah salah satu contoh menarik
karena dibangun untuk menghormati tokoh utama dalam cerita rakyat
yaitu Momo Taro. Disamping itu Shinto kelompok ini juga mendapat
pengaruh yang kuat dari agama Buddha, Konfucu, Tao dan ajaran
penduduk local seperti Shamanism, praktek penyembuhan dll. Kuil
kelompok ini biasanya mudah dibedakan dengan kuil lainya karena
adanya sejarah pendirian kuil yang unik. Jadi jangan kaget kalau Anda
menemukan kuil yang penuh dengan ornament dan pernak pernik
kucing atau binatang dan benda lainya karena sejarah pendiriannya yang
memang berkaitan dengan binatang tersebut.
3. Sect Shinto (Kyoha atau Shuha Shinto)
Shinto kelompok ini mulai muncul pada abad ke 19 dan sampai saat
ini memiliki kurang lebih 13 sekte. Dua diantara sekte ini yang cukup
banyak pengikutnya adalah Tenrikyo atau Kenkokyo. Keberadaan dari
Sect Shinto ini cukup unik karena memiliki ajaran, doktrin, pemimpin
atau pendiri yang dianggap sebagai nabi dan yang terpenting biasanya
menggolongkan diri dengan tegas sebagai penganut monotheisme.
Shinto golongan ini sepertinya jarang dibahas ataupun kurang dikenal
oleh kebanyakan orang.sehingga konsep monotheisme dari shinto aliran
baru nyaris luput dari tulisan kebanyakan orang.
4. Shrine Shinto (Jinja Shinto)
Dari semua kelompok kuil Shinto yang ada, kelompok inilah yang
sepertinya paling mudah untuk ditemukan. Diperkirakan saat ini ada
sekitar 80 ribuan kuil yang ada di seluruh negeri dan semuanya
tergabung dalam satu organisasi besar yaitu Association of Shinto
Shrines.2
D. Kepercayaan Agama Shinto
1. Kepercayaan Kepada “Kami”
Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serba
jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam
mempercayai bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun yang
mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap
pula berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap
memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka
(penganut Shinto), daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan
disebut dengan “Kami”.
Istilah “Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas”
atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu
kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan)
dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Tradisi Shinto mengenal
beberapa nama Dewa yang bagi Shinto bisa juga berarti Tuhan yang
dalam bahasa Jepang disebut dengan istilah Kami atau Kamisama.
Kamisama ini bersemayam atau hidup di berbagai ruang dan tempat,
baik benda mati maupun benda hidup. Pohon, hutan, alam, sungai, batu
besar, bunga sehingga wajib untuk dihormati. Penamaan Tuhan dalam
kepercayaan Shinto bisa dibilang sangat sederhana yaitu kata Kami
ditambah kata benda. Tuhan yang berdiam di gunung akan menjadi
Kami no Yama, kemudian Kami no Kawa (Tuhan Sungai), Kami no

2
Http://myquran.com/forum/showtread.php/10898/mengenal-agama-shinto-lebih-dekat. Diakses
pada 29 April 2019. Pada jam 12.00.
Hana (Tuhan Bunga) dan Dewa/Tuhan tertingginya adalah Dewa
Matahari (Ameterasu Omikami) yang semuanya harus dihormati dan
dirayakan dengan perayaan tertentu.3
2. Hubungan antara Manusia dengan Tuhan (Dewa)
Hubungan antara Kami dengan manusia menurut konsep Shinto juga
cukup unik kaerna polanya cenderung tidak bersifat Vertikal, namun
lebih banyak bersifat horizontal. Kami hidup dan berada dibawah
gunung, hutan, laut, atau di tengah perkampungan penduduk yang
ditandai dengan berdirinya kuil penjaga desa. Jadi konsep Tuhan di atas
atau langit dan manusia di bumi sepertinya kurang tepat untuk
kepercayaan Shinto. Mikoshi atau Dashi sebagai perwujudan dari kereta
bagi Kami, yang digotong beramai-ramai selam festival di kuil mungkin
salah satu contoh menarik. ”Kereta Tuhan” ini tidaklah diarak dengan
hormat dan khidmad namun diguncang guncangkan, dibentur-
benturkan. Dinaiki beramai-ramai bahkan tidak jarang diduduki pada
bagian atapnya oleh beberarapa orang selama proses prosesi.
3. Konsep Dosa
Salah satu tokoh Shinto Shimogamo Shrine mengatakan bahwa,
Shinto tidak mengajarkan adanya perbuatan dosa. Jika melakukan
perbuatan tertentu yang menciptakan dosa seseorang harus mau
dibersihkan semata-mata untuk ketenangan pikiran sendiri dan nasib
baik, dan bukan karena dosa yang salah dalam dan dari dirinya sendiri.
Perbuatan jahat dan salah disebut "Kegare",. "cerah" atau hanya "baik".
Membunuh apa pun untuk dapat bertahan hidup harus dilakukan dengan
rasa syukur dan melanjutkan ibadah. Jepang Modern terus
menempatkan penekanan pada pentingnya "aisatsu" atau ritual frasa dan
salam. Sebelum makan, orang harus mengucapkan "itadakimasu",.
"Saya akan dengan rendah hati menerima", dalam rangka untuk
menunjukkan rasa syukur dari makanan pada khususnya dan umumnya
kepada semua makhluk hidup yang kehilangan nyawa mereka untuk
membuat makanan. Kegagalan untuk menunjukkan rasa hormat yang
tepat adalah tanda kebanggaan dan kurangnya kepedulian terhadap
orang lain.
4. Konsep surga dan neraka ataupun ajaran tentang kehidupan alam
akhirat
Sepertinya adalah hal yang umum ditemukan pada ajaran agama
ataupun kepercayaan primitif sekalipun. Shinto sepertinya memiliki
tradisi yang sedikit menyimpang. Konsep surga dan neraka hampir tidak
disentuh sama sekali dalam kepercayaan Shinto. Hal ini bisa dilihat dari
hampir tidak ditemukannya ritual upacara kematian pada tradisi Shinto.
Ritual dan tata cara pemakaman di Jepang sepenuhnya dilakukan

3
Mukti Ali, Agama-Agama di Dunia, (IAIN Sunan Kalijaga Press: Yogyakarta, 1988), h. 241-246.
dengan tata cara agama Budha dan sisanya menggunakan ritual agama
Kristen. Kuburan dan tempat makam juga umumnya berada di bawah
organisasi kedua agama tersebut. Sepertinya ritual Shinto lebih
difokuskan pada kehidupan pada kehidupan duniawi atau kehidupan
sekarang terutama yang berhubungan dengan alam khususnya
keselarasan antara manusia dengan alam sekitarnya.
E. Kitab suci agama Shinto
Kitab suci yang tertua dalam agama Shinto itu ada dua buah, akan
tetapi disusun sepuluh abad setelah meninggalnya Jimmu Tenno sang
Kaisar Jepang yang pertama, dan dua buah lagi disusun pada masa
belakangan, keempat kitab itu adalah :
a. Kojiki, yang bermakna : catatan peristiwa purbakala disusun
pada tahun 712 M, setelah Kekaisaran Jepang berkedudukan di
Nara yang pada waktu itu ibu kota Nara dibangun pada tahun
710 M, arsitek ini seperti ibukota Changan di Tiongkok.
b. Nihonji, yang bermakna : riwayat Jepang, disusun pada tahun
720 M oleh penulis yang sama dengan dibantu sang pangeran
di istananya.
c. Yengishiki, yang bermakna : berbagai lembaga pada masa
Yengi. Kitab itu disusun pada abad ke 10 M terdiri atas lima
puluh bab. Dan sepuluh bab yang pertama berisikan ulasan
kisah-kisah purbakala yang bersifat kultus. Dan dilanjutkan
dengan kisah selanjutnya sampai abad ke 10 M, tetapi inti dari
kitab ini ialah mencatat 25 buah Nurito, yakni do’a-do’a, atau
pujaan yang sangat panjang pada berbagai macam upacara
keagamaan.
d. Manyoshiu, yang bermakna : himpunan sepuluh ribu daun,
berisikan bunga rampai, terdiri dari atas 4496 buah sajak,
disusun antara abad ke 5 dengan abad ke 8 M.4

BAB III

PENUTUP

4
Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, cet-3, (Al-Huzna Zikra: Jakarta, 1996), h. 212.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai