Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

APPENDICITIS AKUT

Disusun oleh:
Gizela Yuanita

Pembimbing:
dr. Mulyono, Sp.A
dr. Teddy Wahyu

RUMAH SAKIT NASIONAL DIPONEGORO


SEMARANG
2019
1
1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 30 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : S1
Masuk RSND : 12 April 2019, pukul 18.00 WIB
Ruang Perawatan : Gladiol 311
No. CM : 0406xx

1.2 DATA DASAR


ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada 12 April 2019, pukul 18.00 WIB di Instalasi Gawat Darurat
RS Nasional Diponegoro, Semarang.

Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Onset dan kronologis : Pasien datang ke IGD RS Nasional Diponegoro dengan
keluhan nyeri pada sekitar pusar yang dirasakan terus menerus sejak 2 hari, demam (+), mual
(+), muntah (-), nafsu makan berkurang, BAK dan BAB tidak ada keluhan. ±2 jam SMRS
pasien merasa nyeri berpindah di perut kanan bawah, nyeri dirasakan semakin berat,
bertambah jika pasien batuk, mengejan atau berjalan, berkurang dengan posisi membungkuk.
Mual (+), muntah (+), demam (+), BAK dan BAB tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya disangkal
- Riwayat penyakit kuning disangkal

Riwayat Keluarga :
- Riwayat keluarga dengan penyakit serupa disangkal

2
1.3 PEMERIKSAAN FISIK :
 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis, GCS : E4V5M6
 Vital signs
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 98 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi napas : 20 x/menit
Suhu tubuh : 38.2° C per aksilla
 Mata : konjungtiva anemis ( -/-), sklera ikterik (-/-) Pupil bulat isokor 3mm/3mm,
Reflek cahaya +/+
 Mulut : sianosis (-), faring hiperemis (-), Tonsil T1/T1
 Leher : pembesaran limfonodi leher (-), JVP tidak meningkat
 Thoraks :
Inspeksi : simetris, simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : P/ stem fremitus kanan = kiri
C/ ictus cordis di SIC V 2 jari medial LMCS
 Perkusi : P/ Sonor di seluruh lapang paru
C/ batas jantung-paru dbn
 Auskultasi : P/ vesikuler +/+, ST (-)
C/ S1-2 reguler, ST (-)
 Abdomen
Inspeksi : kulit normal, distensi (-), asites (-), massa (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Perkusi : Tympani, PH (+), PS (+) N, PA (-), nyeri ketok CVA -/-
Palpasi : NT (+) pada titik McBurney, rebound tenderness (+)
 Ekstremitas
Edema : (-/-/-/-) , akral hangat : (+/+/+/+)
Capillary refill : 1-2 detik
 Genitalia Eksterna
Laki-laki, dbn
RT : TSA cukup, mukosa licin, tumor/massa (-), ampula reksi tidak kolaps, nyeri
tekan pada jam 9-11 (-)

3
 Pemeriksaan Penunjang
Nama Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 15,25 10,7 – 14,7 gr/dl
Lekosit 18,4 5,5 - 15,5 x 103/uL
Trombosit 218 217 – 497 x 103/uL
Hematokrit 33,8 31,0 – 43,0 %
Eritrosit 5,14 3,7 – 5,7 x 106/uL
INDEX ERITROSIT
MCV 80 72 – 88 fL
MCH 24,9 23 – 31 pg
MCHC 34 32 -36 g/dL
RDW-CV 12,5 11,5 – 14,5%
ELEKTROLIT
Natrium 142 mmol/L 135 – 150 mmol/L
Kalium 3,8 mmol/L 3,5– 5,5 mmol.L
Chlorida 104 mmol/L 96 - 110 mmol/L
MASA PERDARAHAN
CT 9,30 menit 5 – 11 menit
BT 2,00 menit 1 – 3 menit
FUNGSI GINJAL
Ureum 20 mg/dL 2,12 – 2,52 mg/dL
Creatinin 0,98 mg/dL 0,6 – 1,3 mg/dL

1.4 DIAGNOSIS
Appendicitis Akut

1.5 Instruksi Awal


- Informed consent
- Inf. RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2gr i.v
- Inj. Ketorolac 2 x 30mg i.v
- Pro: laparascopic appendektomi cito

4
1.6 FOLLOW UP
A. Tanggal 13 April 2019
S: Pasien mengeluh nyeri ditempat luka operasi
O: KU = Compos mentis
HR = 86x/menit T= 36,90C
RR = 20x/menit
Mata : CA -/-, reflex cahaya +/+, pupil isokhor
Mulut : tonsil tidak hiperemis, sianosis -
Thorax : BJ I-II murni, regular, murmur -, gallop –
Abdomen : nyeri + sekitar luka operasi, bising usus + normal, supel,
turgor baik, hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
A: Appendicitis akut post laparaskopik appendektomi hari 1
P: - Infus RL 20tpm
- Ganti balut
- Ketoroloac 3 x 30mg i.v
- Ranitidin 2 x 50mg i.v
- Diet bubur lunak
- Mobilisasi jalan
B. Tanggal 14 April 2019
S: Nyeri luka operasi berkurang
O: KU = Compos mentis
HR = 82x/menit T= 36,60C
RR = 22x/menit
Mata : CA -/-, reflex cahaya +/+, pupil isokhor
Mulut : tonsil tidak hiperemis, sianosis -
Thorax : BJ I-II murni, regular, murmur -, gallop –
Abdomen : nyeri + sekitar luka operasi, bising usus + normal, supel,
turgor baik, hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
A: Appendicitis akut post laparaskopik appendektomi hari 2
P: - Pasien diperbolehkan pulang
- Obat pulang: asam mefenamat 3 x 500mg p.o
- Kontrol DPJP 17 April 2019
5
RESUME PULANG
Diagnosa masuk : Appendicitis akut
Diagnosa utama : Appendicitis akut
Diagnosa sekunder : tidak ada
Riwayat penyakit penyerta : tidak ada
Pemeriksaan fisik : Suhu 38,20C, nyeri titik McBurney +, alvarado score 9, defans
muskular (+)
Pemeriksaan penunjang : leukosit 18.400
Terapi selama dirumah sakit : Infus RL 20tpm, ketorolac 3 x 30mg iv, ranitidin 2 x 50mg iv,
laparascopi appendektomi cito
Terapi pulang : asam mefenamat 3 x 500mg

6
TINJAUAN PUSTAKA
APPENDICITIS AKUT

ANATOMI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-
15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden appendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di
belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis appendisitis
ditentukan oleh letak apendiks.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterica
superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri visceral pada appendisitis bermula di sekitar umbilicus.
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi apendiks akan
mengalami gangren.

FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara apendiks
tampaknya berperan pada pathogenesis appendisitis.

7
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jkumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

INSIDENSI
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendisitis lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih
sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendisitis akut lebih sering
terjadi selama musim panas.
Insidensi Appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-
hari. Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur
20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.

ETIOLOGI
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi
kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendisitis umumnya
terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith
ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi
appendiks meliputi:
1. Hiperplasia folikel lymphoid
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Benda asing (pin, biji-bijian)
4. Kadang parasit 1
Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa
appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien
appendicitis yaitu7:

8
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
 Escherichia coli  Bacteroides fragilis
 Viridans streptococci  Peptostreptococcus micros
 Pseudomonas aeruginosa  Bilophila species
 Enterococcus  Lactobacillus species

PATOGENESIS
Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36
jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess setelah 2-3
hari.
Appendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi
oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi
paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses
peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah
penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis akut dan 30-40% pada
anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat
menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah
jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau
general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit
seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles,
chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan
insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid
tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3
proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu
cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga
mempengaruhi terjadinya appendisitis.
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya
nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia
berperan penting pada diagnosis appendisitis, khususnya pada anak-anak.
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam,
tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah

9
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul
lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran
limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi
vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi
bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi
pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding
appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri
jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya.
Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat
inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran
infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang.
Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica
urinaria pada appendisitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi
retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis
umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan
pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan
suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik.
Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48
jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan
risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan
lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya
abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan
pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum.
Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.

GAMBARAN KLINIS
Appendisitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada
neonatus dan bayi, appendisitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis appendisitis
10
jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul.
Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi
seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri
yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit.
Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada
anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di
kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri
punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan
appendicitis retrocecal arau pelvis.
Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala dapat berupa
nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi
kandung kemih.
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset
terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan
iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi
sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendisitis. Meskipun
demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada
anak dengan appendisitis1.
Pada appendisitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0 C). Jika suhu
0
tubuh diatas 38,6 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan appendisitis kadang-
kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan paha kanan akan
menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan
tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang1.
Anak dengan appendisitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan cenderung
untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan 1. Anak yang
menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendisitis, kecuali pada anak dengan
appendisitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter.
Tabel 1. Gejala Appendicitis Akut
Frekuensi
Gejala Appendicitis Akut
(%)
Nyeri perut 100
Anorexia 100
Mual 90

11
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah
50
kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu tinggi)
*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

PEMERIKSAAN FISIK
Pada Apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen
menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering
positif tapi tidak spesifik.
Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal
kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan
indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess. Dasar anatomis
terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan
kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini.

12
Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan
endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan peradangan
pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk
menegakkan lokasi Appendix yang telah mengalami radang atau perforasi.

Dasar anatomis terjadinya obturator sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak
retroperitoneal akan kontak dengan otot obturator internus pada saat dilakukan manuver ini.
Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di
RLQ)

Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun.


Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk.
Defence musculare: bersifat lokal, lokasi bervariasi sesuai letak Appendix.
Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau Appendix
letak pelvis.
Nyeri pada pemeriksaan rectal tooucher.
Dunphy sign: nyeri ketika batuk.

13
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6>6. Selanjutnya dilakukan
Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan
hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang akut.

Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis


Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10

Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah
sebaiknya dilakukan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan appendicitis
akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm.
Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal leukosit
menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada
pasien dengan appendicitis.

14
Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan
pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat
terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
 Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%.
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix
dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya
cairan atau massa periappendix.
False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari
salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena letak
appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi
appendix.
 CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-
98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess,
maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7
mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga
memberi gambaran “halo”.

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin.
Pada anak-anak balita
intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut.
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun.
Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir sama
dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada
pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis
banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-

15
gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit
pada feses.
Pada anak-anak usia sekolah
gastroenteritis, konstipasi, infark omentum.
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi
tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri
abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat
dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada infark
omentum, dapat terraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah
Pada pria dewasa muda
Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s disease, kolitis
ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan
diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotumnya.
Pada wanita usia muda
Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan
dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID), kista
ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada
abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.
Pada usia lanjut
Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang
sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal dan
saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat
pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua,
divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis, karena lokasinya yang
berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan
nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti
dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.

KOMPLIKASI
1. Appendicular infiltrat:
Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix
yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus besar.
2. Appendicular abscess:

16
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang
meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam
rongga abdomen, biasanya diakibatkan dan peradangan, iskemia, trauma atau
perforasi peritoneal diawali terkontaminasi material. Awalnya material masuk ke
dalam rongga abdomen adalah steril (kecuali pada kasus peritoneal dialisis) tetapi
dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edem jaringan
dan pertambahan eksudat. Cairan dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan
bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah.
Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotil tetapi segera dikuti
oleh ileus paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di dalam usus besar.
GEJALA DAN TANDA
•Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita
peritonitis umum.
•Demam
•Distensi abdomen
•Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung
pada perluasan iritasi peritonitis.
•Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang
jauh dari lokasi peritonitisnya.
•Nausea
•Vomiting
•Penurunan peristaltik.
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus

PENATALAKSANAAN
Untuk pasien yang dicurigai Appendisitis :
Puasakan
Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala
17
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan menyamarkan
gejala saat pemeriksaan fisik.
Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia reproduksi.
Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomy
Perawatan appendisitis tanpa operasi
Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk
Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi
(misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memilki resiko
tinggi untuk dilakukan operasi
Rujuk ke dokter spesialis bedah.
Antibiotika preoperative
Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi
post opersi.
Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan anaerob
Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah.
Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri
yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.

Teknik operasi Appendectomy


A. Open Appendectomy
1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik.
2. Dibuat sayatan kulit:
Horizontal Oblique
3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara:
a. Pararectal/ Paramedian
Sayatan pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot disisihkan ke medial.
Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominis karena fascia ada
2 supaya jangan tertinggal pada waktu penjahitan karena bila terjahit hanya satu
lapis bisa terjadi hernia cicatricalis.
b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting
18
Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.

B. Laparoscopic Appendectomy
Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopic dapat dipakai sarana diagnosis dan
terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta.
Laparoscopic kemungkinan sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan
abdomen bagian bawah. Membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis acuta
sangat mudah dengan menggunakan laparoskop.

KESIMPULAN
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa.
Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada
anak-anak dan remaja
Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya sering hanya rewel
dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam
kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi lemah dan letargik. Karena
gejala yang tidak khas tadi, appendicitis sering diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi,
80-90% appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling
penting dalam mendiagnosis appendisitis.

19
DAFTAR PUSTAKA

De Jong, W., Sjamsuhidajat, R.,(editor). 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC:
Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. EGC: Jakarta.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jilid II.
EGC : Jakarta.
Sabiston, Devid C. 1994. Buku Ajar Bedah. EGC:Jakarta.
She Warts, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. EGC: Jakarta.
Brunicardi, F.C., Anderson, D.K., Billiar, T.R., Dum, D.L., Hunter, J.G., Mathews, J.B.,
Podlock, R.E., 2010. The Appendix dalam Schwartz's Principles of Surgery9th Ed.
USA:The McGraw Hill Companies. p: 2043-74.
Grace, P.A., Borley, N.R. Apendisitis Akut dalam At A Glance. Jakarta: Erlangga; 2006.
p:106.
Saputra, L. 2002. Mulut dan Gastrointestinal dalam Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Binarupa Aksara. h:380.
Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, A.L., 2007. Rongga Perut dan Saluran Gastrointestinal
dalam Buku Ajar Patologi Ed.7. Jakarta: EGC. h:660-61.
Tjandra, J.J., 2006. The Appendix and Meckel’s Diverticulum dalam Textbook of Surgery 3rd
Ed. UK: Blackwell Publishing Ltd. p:179.
Morris, J.A., Sawyer. J.L. 1995.Abdomen Akuta dalam Buku Ajar Bedah (Sabiston’s
Essential Surgery). Jakarta:EGC. h:497.

20

Anda mungkin juga menyukai