Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

1. latar belakang

Tahun 1997 indonesia dilanda krisis moneter disertai dengan fluktuasi kondisi ekonomi dan
politik yang tidak menentu, telah mengiring indonesia menuju konflik nasional, baik secara
struktural maupun horizontal. semenjak runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 yang di
gantikan oleh oleh B.H habibie yang diharapakan dapat menata sisitem politik yang demokrasi
berkeadilan.

Pada waktu itu indonesia sangat rentan dengan perpecahan, terjadi berbagai gejolak konflik di
berbagai daerah, salah satunya konflik yang terjadi di poso yang di sinyalir oleh banyak
kalangan adalah konflik bernuansa SARA. Adalah pertikaian suku dan pemeluk agama islam
dan kristen. Peristiwa kerusuhan diawali dengan pertikaian antardua pemuda yang berbeda
agama sehingga belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan. Impliksasi – implikasi
kepentingan politik elite nasional, elite lokal dan miiter militer juga diduga menyulut terjadinya
konflik horizonttal sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih tepat. Bahkan, terkesan
pihak keamanan porli lamban menangani konflik tersebut. Sehigga konflik terjadi belarut –
larut yang memakan korban jiwa dan harta.

Secara umum konflik di poso sudah berkangsung tiga kali. Peristiwa pertama terjadi akhir
1998, kerusuhan pertama ini denga cepat di atasi pihak keamanan setempat kemudian di ikuti
oleh komitmen kedua belah pihak yang berseteru agar tidak terulang lagi. Kan tetapi berselang
kurang lebih 17 bulan kemudian tepatnya pada 16 april 2000 konflik kedua pun pecah. Pada
kerusuhan ini ada dugaan bahwa ada oknum yang bermain di belakang peristiwa ini yaitu :
Herman Parimo dan Yahya Patiro yang beragama kristen. Keduua oknum ini adalah termasuk
elite politik dan pejabat pemerintah daerah kabupaten poso.

Menjelang pemilihan kepala detrah pada waktu itu, kader – kader dari pihak umat kristiani
yang bermunculan sebagai kandidat kuat yang menjadi rival buapati saat itu, Sekwan DPRD 1
Sulawaesi tengah dan Drs. Datlin Tamalagi Kahumas Pemda Sulawesi tengah. Keduan belah
pihak memilki koneksi yang rill yang amat potensial sehingga sewaktu – waktu dapat dengan
mudah muncul letupan ketidaksenangan yang akhirnya pada berhujung pada kerusuha. Oleh
karena itu, potensi – potensi kerusuhan pada waktu itu boleh jadi karena kekecewaan dari elite
politik yang beragama kristen yang merasa termarjinalisasi dalam hal politik.
BAB I

PEMBAHASAN

1. Penyebab/akar dari konflik sosial yang terjadi di poso

Wapres menjelaskan bahwa kasus Poso terjadi bukan karena masalah agama namun adanya
rasa ketidak adilan. awal mula terjadinya konflik karena adanya demokrasi yang secara tiba-
tiba terbuka dan membuat siapapun pemenangnya akan ambil semua kekuasaan. Padahal, pada
masa sebelumnya melalui muspida setempat selalu diusahakan adanya keseimbangan.
contohnya, jika Bupatinya berasal dari kalangan Kristen maka Wakilnya akan dicarikan dari
Islam. Begitu pula sebaliknya. Dengan demikian terjadi harmonisasi, namun dengan demokrasi
tiba-tiba the winner take all," kata Wapres. Karena pemenang mengambil alih semua
kekuasaan, tambah Wapres maka pihak yang kalah merasa telah terjadi ketidak adilan.

Keluar dari pendapat Wapres, konflik sosial yang terjadi di poso adalah bagian dari konflik
individu yang dalam masyarakat yang secara dinamis tidak dapat dipisahkan dan bertalian satu
sama lain. Pendapat mengenai akar dari masalah yang bertumpu pada subsistem budaya dalam
hal ini menyangkut soal suku dan agama.

Argumen yang mengemuka bahwa adanya unsur suku dan agama yang mendasari konflik
sosial itu adalah sesuai dengan fakta yaitu bahwa asal mula kerusuhan poso 1 berawal dari :

a) Pembacokan Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren
Darusalam pada bulan ramadhan.

b) Pemusnahan dan pengusiran terhadap suku – suku pendatang seperti bugis, jawa, dan
gorontalo, serta kaili pada kerusuhan ke III.

c) Pemaksaan agama kristen kepada masyarakat muslim di daerah pedalaman kabupaten


terutama di daerah tentena dusun III salena, sangira, toinase, Boe, dan meko yang memperkuat
dugaan bahwa kerusuhan ini merupakan gerakan kristenisasi secara paksa yang
mengindikasikan keterlibatan Sinode GKSD tentena.

d) Peneyerangan kelompok merah dengan bersandikan simbol – simbol perjuangan ke agamaan


kristiani pada kerusuhan ke III.

e) Pembakaran rumah – rumah penduduk muslim oleh kelompok merah pada kerusuhan III.
Pada kerusuhan ke I dan II terjadi aksi saling bakar ruamh penduduk antara pihak kristen dan
islam.
f) Terjadi pembakaran rumah ibdah gereja dan masjid, sarana pendidikan ke dua belah pihak,
pembakaran rumah penduduk asli poso di lombogia, sayo, kasintuvu.

g) Adanya pengerah anggota pasukan merah yang berasal dari suku flores, toraja dan manado.

h) Adanya pelatihan militer kristen di desa kelei yang berlangsung 1 tahun 6 bulan sebelum
meledak kerusuhan III.

Terlepas dari setuju tidak terhadap pendapat mengenai akar amsalah dari konflik poso, secara
sibernetik hal ini dapat di jelaskan sebagai berikut : bahwa pada intinya budaya pada
masyarakat poso mempunyai fungsi untuk mempertahan kan pola atas nilai – nilai sintuvu
maroso yang selama ini menjadi anutan masyrakat poso itu sendiri. adanya Pembacokan
Ahmad yahya oleh Roy tuntuh bisalembah didalam masjid pesantren Darusalam pada bulan
ramadhan merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai nilai yang selama ini manjadi landasan
hidup bersama. Pada satu sisi muslim terusik ketentramannya dalam menjalankan ibadah di
bulan ramadhan kemudian menimbulkan reaksi balik untuk melakukan tindakan pembalasan
terhadap pelaku pelanggaran nilai – nilai tersebut. Disisi lain bagi masyarakat kristiani hal ini
menimbulakn masalah baru mengingat aksi masa tidak di tujukan terhadap pelaju melainkan
pada pengrusakan hotel dan satrana maksiat serta operasi miras, yang di anggap telah
menggangu kehidmatan masyrakat kristiani merayakan natal, karena harapan mereka operasi
– opresi tersebut di laksanakan setelah hari natal.

Pandangan kedua tehadap akar masalah konflik sosial yang terjadi di poso adalah dalam hal ini
adanya perkelahian antar pemuda yang di akibatkan oleh minuman keras. Tidak di terapkan
hukum secara adil maka ada kelompok yang merasa tidak mendapat keadilan misalnya adanya
keterpihakan, menginjak hak asasi manusia dan lain- lain.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa akar dari konflik sosial yang terjadi di poso terletak pada
masalah politik. Bermula dari suksesi bupati, jabatan sekretaris wilayah daerah kabupaten dan
terutama menyangkut soal keseimbangan jabatan – jabatan dalam pemerintahan.

Pendapat keempat mengatakan bahwa akar masalah dari kerusuhan poso adalah justru terletak
karena adanya kesenjangan sosial dan kesenjangan pendapatan antara panduduk asli poso dan
kaum pendatang seperti bugis, jawa, gorontalo, dan kaili. Kecemburuan sosial penduduk asli
cukup beralasan dimana pendapatan mereka sebagai masyarakat asli malah tertinggal dari
kaum pendatang.
II. Teori Konflik Kasus Poso :

Teori konflik sebenarnya satu paradigma dengan teori fungsionalisme struktural. Menurut
Ritzer (1992: 8), paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan
(disiplin). Kedua teori ini berada dalam paradigma fakta sosial, salah satu paradigma dalam
sosiologi yang memahami bahwa manusia (individu) pada dasarnya tunduk atau mengikuti
fakta sosialnya (struktur sosial; pranata sosial; masyarakat).

Meskipun satu paradigma, teori konflik justru dibangun untuk menentang secara
langsung teori fungsionalisme struktural sejak tahun 1950-an. Dengan mengikuti kritik David
Lockwood terhadap pemikiran Parson—termasuk tokoh fungsionalisme struktural
sebelumnya: Comte, Spencer, Durkheim, Malinowski, dan Redcliffe-Brown—terlihat betapa
pendekatan struktural fungsional terlalu menekankan anggapan dasarnya pada aspek normatif
dari tingkah laku sosial menuju terpeliharanya stabilitas, integrasi, konsensus, dan
keseimbangan sosial (equilibrium) (Nasikun, 1992: 13-24).

Sebaliknya, apa yang oleh David Lockwood disebut sebagai substratum, yakni disposisi
yang mengakibatkan timbulnya perbedaan life chances dan kepentingan yang tidak bersifat
normatif, tidak memperoleh tempat yang wajar di dalam pemikiran penganut fungsionalisme
struktural. Hal ini menegaskan kenyataan bahwa setiap situasi sosial senantiasa mengandung
di dalam dirinya dua hal: tatatertib sosial yang bersifat normatif dan substratum yang
melahirkan konflik-konflik. Kedua hal ini—tatatertib dan konflik—adalah dua kenyataan yang
melekat bersama-sama di dalam sistem sosial.

Tumbuhnya tatatertib sosial atau sistem nilai yang disepakati bersama oleh para
anggota masyarakat, sama sekali tidak berarti lenyapnya konflik. Sebaliknya, tumbuhnya
tatatertib itu justru mencerminkan adanya konflik yang bersifat potensial di dalam setiap
masyarakat. Oleh karena itu apabila berbicara tentang stabilitas atau instabilitas suatu sistem
sosial, maka yang dimaksudkan sesungguhnya adalah derajat keberhasilan atau kegagalan
suatu tertib normatif dalam mengatur kepentingan yang saling bertentangan.

Dalam pada itu, anggapan dasar bahwa setiap sistem sosial cenderung mencapai
stabilitas atau ekuilibrium di atas konsensus masyarakat akan nilai-nilai umum tertentu,
mengakibatkan kaum fungsionalisme struktural menganggap bahwa disfungsi, ketegangan,
dan penyimpangan sosial yang mengakibatkan perubahan masyarakat dalam bentuk
tumbuhnya diferensiasi sosial yang semakin kompleks, adalah akibat daripada pengaruh faktot-
faktor dari luar (eksternal).

II. Identifikasi kasus koflik :

Konflik-konflik Horizontal di Indonesia dengan contoh kasus Poso dan Maluku


terutama akan dibedah menggunakan pendekatan ekonomi politik dalam menganalisis
konflik-konflik di Indonesia. Faktor-faktor ketimpangan keuntungan ekonomi relatif
memicu munculnya prejudis-prejudis antarkelompok di dalam masyarakat.

III. Dampak dari kerusuhan Poso dapat di bedakan dalam beberapa segi :

1. Dampak dari segi Budaya, diantaranya:

Dianutnya kembali budaya “pengayau” dari masyarakat pedalaman (suku pamona dan suku
mori).Pengayau adalah tradisi kebudayaan leluhur atau nenek moyang mereka yang
turuntemurun dilaksanakan. Dimana kepala manusia merupakan sesaji utama yang mesti
hadir,karena mereka beranggapan makin banyak tengkorak kepala yang mereka dapat maka
akanmemberikan tambahan semangat jiwa dari sebelumnya, sehingga bisa
mendatangkankeberkatan dan kemakmuran bagi dirinya juga seluruh kampung. Berawal dari
sisnilahkebiasaan mengayau kepala tersebut terus terjadi secara turun tamurun antar suku
disampingkarena motivasi diatas adanya perluasan wilayah kakuasaan, urusan ekonomi dan
lainsebagainya menjadikan salah satu alasan terjadinya perang antar suku yang berakhir pada
pengayauan atau pemenggalan kepala. Dimana kepala hasil perburuan tersebut
dijadiakansebagai persembahan dan pengorbanan.

Dilanggarnya ajaran agama dari kedua kelompok yang bertikai dalam mencapaitujuan
politiknya. Runtuhnya nilai - nilai kesepakatan bersama sintuwu maroso yang menjadi
bingkaidalam hubungan sosial masyarakat Poso yang pluralis.

2. Dampak hukum sosial yang terjadi, diantaranya:

 Terjadinya disintegrasi dalam masyarakat Poso ke dalam dua kelompok yaitukelompok


merah dan kelompok putih.
 Tidak dapat di pertahankan nilai- nilai kemanusiaan akibat terjadi kejahatan
terhadapmanusia seperti pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan terhadap anak
serta orang tua dan pelecehan seksual.
 Runtuhnya stabilitas keamanan, ketertiban, dan kewibawaan hulum di
masyarakatkabupaten Poso.
 Muculnya perasaan dendam dari korban- korban kerusuhan terhadap pelakukerusuhan.

3. Dampak politik sosial yang terjadi, diantaranya:

 Terhentinya roda pemerintahan.


 Jatuhnya kewibawaan pemerintah daerah terhadap masyarakat.
 Hilangnya sikap demokratis dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat masing-
masing kelompok kepentingan.
 Legalisasi pemaksaan kehendak kelompok kepentingan dalam pencapaian tujuannya.

4. Dampak Ekonomi sosial yang terjadi, diantaranya:

Lepas dan hilangnya faktor sumber produksi ekonomi masyarakat seperti; sawah,tanaman
kebun, mesin gilingan padi, traktor tangan, rumah makan, hotel dan lain sebagainya.

Eksodus besar-besaran penduduk muslim Poso.

Munculnya pengangguran dan kelangkaankesempatan kerja.

Solusi dari konflik di PosoDeklarasi Malino yang diselenggarakan pada tanggal 20 Desember
2001 merupakansalah satu contoh diman solusi untuk konflik Poso sempat menenmukan titik
terang, namundeklarasi itu tidak bertahan lama untuk mendamaikan kedua belah pihak yang
sedang berseteru karena pemikiran-pemikiran dan anggapan-anggapan masih mengacu kepada
perseteruan yang sudah lama berseteru

Analisa Saya Dalam Kasus Konflik Poso :

Selama ini pendekatan keamanan selalu dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan konflik
horizontal yang terjadi di Tanah Air, termasuk dalam menyelesaikan konflik di Poso yang
mulai terjadi pada 1998. Pendekatan budaya dan mediasi sebagai wujud komunikasi para pihak
yang berkonflik kerap kali dipinggirkan. Padahal masyarakat Poso memiliki kearifan lokal
yang bermakna luhur untuk menciptakan keharmonisan dan perdamaian masyarakatnya.
Untuk menciptakan perdamaian yang permanen di Poso, mediasi kedua pihak yang berkonflik
yakni masyarakat Poso beragama Islam dengan yang beragama Kristen perlu dilakukan. Sebab
mediasi bisa menjembatani kepentingan-kepentingan kedua pihak untuk diwujudkan tanpa
mencederai kepentingan manapun. Dengan mediasi maka akan ditemukan jalan bersama bagi
kedua pihak yang bertikai sehingga kesenjangan sosial dan ketidakadilan,

terutama terjadinya marjinalisasi politik antara penduduk asli dan para pendatang tidak terjadi
lagi di masa mendatang.

Selain itu perlu promosi dan penerapan nilai-nilai kearifan lokal sebagai pendekatan budaya
dalam menyelesaikan konflik di Poso merpakan pendekatan terbaik dan efektif. Nilai kearifan
lokal Poso adalah Sintuwu yang merupakan mufakat bersama untuk melakukan suatu kegiatan
secara bersama-sama. Selain itu juga memaksimalkan nilai kearifan lokal lainnya yakni tradisi
padungku yang merupakan bentuk kesyukuran atas nikmat dan rezeki yang telah diberikan oleh
Tuhan. Promosi nilai kearifan lokal ini bisa dilakukan melalui pendidikan formal kepada anak-
anak sejak dini dan melalui organisasi masyarakat setempat.

Kehidupan politik, sosial, dan ekonomi yang baik dan kuat, serta nilai-nilai luhur budaya lokal
yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat sangat diperlukan di Poso. Sebab kondisi itu
akan membuat upaya pihak yang sengaja menghembuskan isu etnis dan agama untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan tujuan membuat masyarakat terprovokasi dan
bersikap anarkis tidak akan tercapai. Dengan demikian perdamaian di Poso akan bersifat
permanen.

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

a. Akar masalah konflik Poso adalah kesenjangan sosial dan ketidakadilan, terutama
terjadinya marjinalisasi politik antara penduduk asli dan para pendatang.

b. Banyak pihak yang berperan dalam konflik Poso, yang dengan sengaja menghembuskan
isu etnis dan agama untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga masyarakat
terprovokasi, bersikap anarkis, dan konflik ini menjadi berlarut-larut..

c. Konflik ini menyebabkan dampak diberbagai bidang, yang tentunya sangat merugikan
khususnya bagi para penduduk Poso sendiri, baik penduduk asli maupun para pendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Aditjondro , George Junus. 2004. Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar permasalahan dan Jalan
keluarnya. Makalah seminar. Jakarta.

Sondeng, Usman. 2001. Menggali Akar Permasalahan Kasus Poso dan Formulasi Cara
Penyelesaiannya, dengan Suplemen I & II. Palu.

Sinar Harapan edisi Kamis 23 Oktober 2003, Eskalasi Isu Picu Konflik Poso.

Anda mungkin juga menyukai