Oleh:
Mh. Aunur Riski Mubarok
180070300011047
Dengue Haemoragic Fever (DHF) atau lebih sering dikenal sebagai Demam
Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam,
manifestasi perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan renjatan (syok) yang dapat
menyebabkan kematian (Mansjoer, 2000).
DHF (Dengue Haemoragic Fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh karena
virus dengue yang termasuk golongan abrovirus melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegygti betina. Penyakit ini biasa disebut Demam Berdarah Dengue (Hidayat, 2006).
ETIOLOGI DHF
a) Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus
(Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan
4 keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu
dari yang lainnya secara serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus
ini berdiameter 40 nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai
macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel – sel mamalia misalnya sel BHK
(Babby Homster Kidney) maupun sel – sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus.
(Soedarto, 1990; 36).
b) Vektor
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk
aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa spesies
lain merupakan vektor yang kurang berperan infeksi dengan salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan vektor penularan
virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui gigitannya nyamuk Aedes
Aegyeti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (Viban) sedangkan di daerah
pedesaan (rural) kedua nyamuk tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes
berkembang biak pada genangan Air bersih yang terdapat bejana – bejana yang
terdapat di dalam rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar rumah di
lubang – lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air
bersih alami lainnya ( Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai menghisap
darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari.
(Soedarto, 1990 ; 37).
c) Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia akan
mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia masih
mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya maupun virus dengue tipe
lainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi jika seseorang yang pernah
mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi ulangan untuk
kedua kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus
dengue untuk pertama kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadap dengue dari
ibunya melalui plasenta. (Soedarto, 1990 ; 38).
EPIDEMIOLOGI
1. Agent
2. Host
3. Lingkungan
MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas / inkubasi selama 3 - 15 hari sejak seseorang terserang virus dengue,
Selanjutnya penderita akan menampakkan berbagai tanda dan gejala demam
berdarah sebagai berikut :
1. Temuan Laboratorium
Pemeriksaan pada penderita Dengue Hemorragie Fever menggunakan
pemeriksaan laboratorium, hal ini terkait dengan kondisi penderita yang
cenderung hemoragis dan kegagalan sirkulasi. Temuan laboratorium pada
pemeriksaan lab darah adalah trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Trombositopenia hingga dibawah 100.000 per mm3 yang ditemukan antara hari
ketiga dan kedelapan dan kejadiannya sebelum atau bersamaan dengan
perubahan hematokrit. Hematokrit yang meningkat menunjukkan terdapat
rembesan plasma, kondisi ini selalu terjadi bahkan pada kondisi non-syok,
tetapi lebih menonjol pada kasus syok.
Jumlah sel darah putih akan bervariasi pada awitan penyakit, berkisar
dari leukopenia sampai leukositosis ringan, tetapi penurunan jumlah sel darah
putih total karena penurunan jumlah neutrofil secara nyata selalu terlihat
mendekati akhir fase demam. Limfositosis relatif, dengan adanya limfositis
atipikal, adalah temuan umum sebelum penurunan suhu/syok.
Albumin ringan transien kadang terjadi, dan darah samar sering
ditemukan dalam feses. Pada kebanyakkan kasus, koagulasi atau faktor
fibrinolitik menunjukkan penurunanfibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII,
dan antitrombin III. Masa trombin memanjang pada kasus berat.
2. Pemeriksaan serum urin
Temuan umum lain adalah hipoproteinemi karena kehilangan albumin,
hiponetremia, dan peningkatan kadar aminotransferase aspartat serum.
Asidosis metabolik sering terjadi pada syok lama. Nitrogen urea darah
meningkat pada tahap akhir syok.
3. Rontgen dada
Pemeriksaan rotgen dada menunjukkan efusi pleural, kebanyakan pada
sisi kanan, sebagai temuan tetap, dan efusi pleural luar dihubungkan dengan
beratnya penyakit. Pada syok, efusi pleural bilateral menjadi temuan umum.
4. Uji tourniquet positif
Uji tourniquet dilakukan dengan cara memompakan manset sampai
ketitik antara tekanan sistolik dan diastolik selama lima menit. Hasil dipastikan
positif bila terdapat 10 atau lebih ptekie per 2,5 cm². Pada DHF biasanya uji
tourniquet memberikan hasil positif kuat dengan dijumpai 20 ptekie atau lebih.
Uji tourniquet bias saja negatif atau hanya positif ringan selama masa shok,
dan menunjukkan hasil positif bila dilakukan setelah masa pemulihan fase
shok.
5. Pemeriksan serologi : dilakukan pengukuran titer antibody pasien dengan cara
haemaglutination inhibition tes (HI test)/ dengan uji pengikatan komplemen
(complemen fixation test/ CFT) diambil darah vena 2-5 ml. Pemeriksaan ini
menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan HI test atau terjadi peninggian
positif IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test.
6. USG
Pada pemeriksaan USG akan didapatkan hematomegali-splenomegali.
Hepatomegali terjadi pada 90-96% dari anak-anak.
PENATALAKSANAAN
Menurut Hadinegoro (2004) pada dasarnya pengobatan DBD bersifat
simtomatis dan suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
Tata laksanan fase demam pada DBD bersifat simtomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Bila cairan oral tidak
adekuatmaka diberikan lewat intravena rumatan. Pada fase demam pasien dianjurkan
tirah baring, dibantu dalam minum obat antipiretik atau kompres hangat, untuk
menurunkan suhu dianjurkan pemberian parasetamol, tidak dianjurkan minum obat
jenis NSAID karena akan memperparah perdarahan. Selain itu dianjurkan pemberian
cairan dan elektrolit. Kemudian monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai
pada fase konvalesens (Hadinegoro, 2004).
Pasien harus dipantau dan terus diawasi terhadap kejadian syok yang mungkin
terjadi. Periode kritis merupakan waktu transisi saat suhu turun pada umumnya pada
hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan
pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil terapi cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena.
Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah
dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga
sampai suhu normal kembali. Bila pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat digunakan sebagai alternatif meskipun tidak terlalu sensitif
(Hadinegoro, 2004).
Keberhasilan tata laksana DBD terletak pada bagaimana mendeteksi dini fase
kritis yaitu saat suhu turun yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi.
Dengan pemantauan klinis dan pematauan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya rembesan
plasma, dengan diketahui peningkatan kadar hematokrit. Peningkatan hematokrit
>20% merupakan indikasi pemberian terapi cairan. Larutan garam isotonik atau ringer
laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan
berat ringan penyakit (Hadinegoro, 2004).
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini murupakan upaya manusia untuk mencegah
orang yang sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindarkan
komplikasi dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan skunder dapat dilakukan
dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan pengadaan pengobatan yang cepat
dan tepat.
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh
petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara :
a) Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan
pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat
penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat sertasegera bawa ke
dokter atau unit pelayanan kesehatan.
b) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan
pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD
tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima
laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan
penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah
kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
c) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan
kejadianluar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan
Kota/Kabupaten, disertai dengan cara penanggulangan seperlunya serta
diagnosis dan diagnosis laboratorium.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat ketiga ini dapat dilakukan dengan
memaksimalkan organ yang cacat. Pengobatan penderita DBD pada dasarnya bersifat
simptomatik dan suportif yaitu dukungan pada penderita serta mendirikan pusat-pusat
rehabilitasi medik.
KOMPLIKASI
Hadinegoro, Sri Rezeki H. 2004. Tatalaksana demam dengue atau demam berdarah
dengue. Ed.3. Katalog dalam terbitan Depkes RI. 616.921 Ind t. Jakarta
http://eprints.undip.ac.id/46202/3/Dila_Apriliani_Zein_22010111130085_Lap.KTI_Bab2
.pdf
Arif, Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus,
FKUI, Jakarta.