Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN INDIVIDU

DHF ( DENGUE HAEMORAGIC FEVER )

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Anak


di RS Wava Husada, Kepanjen, Malang

Oleh:
Mh. Aunur Riski Mubarok
180070300011047

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
 DEFINISI DHF

Dengue Haemoragic Fever (DHF) atau lebih sering dikenal sebagai Demam
Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam,
manifestasi perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan renjatan (syok) yang dapat
menyebabkan kematian (Mansjoer, 2000).

DHF (Dengue Haemoragic Fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh karena
virus dengue yang termasuk golongan abrovirus melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegygti betina. Penyakit ini biasa disebut Demam Berdarah Dengue (Hidayat, 2006).

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengue


haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis
virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan
nyamuk aedes aegypty yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala
utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam.

 ETIOLOGI DHF
a) Virus dengue

Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus
(Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1,2,3 dan
4 keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu
dari yang lainnya secara serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus
ini berdiameter 40 nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai
macam kultur jaringan baik yang berasal dari sel – sel mamalia misalnya sel BHK
(Babby Homster Kidney) maupun sel – sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus.
(Soedarto, 1990; 36).

b) Vektor

Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk
aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa spesies
lain merupakan vektor yang kurang berperan infeksi dengan salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan vektor penularan
virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui gigitannya nyamuk Aedes
Aegyeti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (Viban) sedangkan di daerah
pedesaan (rural) kedua nyamuk tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes
berkembang biak pada genangan Air bersih yang terdapat bejana – bejana yang
terdapat di dalam rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar rumah di
lubang – lubang pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air
bersih alami lainnya ( Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai menghisap
darah korbannya pada siang hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari.
(Soedarto, 1990 ; 37).

c) Host

Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia akan
mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia masih
mungkin untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya maupun virus dengue tipe
lainnya. Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi jika seseorang yang pernah
mendapatkan infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi ulangan untuk
kedua kalinya atau lebih dengan pula terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus
dengue untuk pertama kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadap dengue dari
ibunya melalui plasenta. (Soedarto, 1990 ; 38).

 EPIDEMIOLOGI

Demam berdarah dengue ( DBD ) merupakan penyakit arbovirus dari keluarga


flavivirus yang memiliki empat serotype berbeda (DEN-1, -2, -3, and -4) yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk betina Aedesaegypti dan Aedesalbopictus. Demam berdarah
dengue ( DBD ) menjadi perhatian di seluruh dunia terutama di Asia dikarenakan
sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian anak. Data dari WHO menunjukkan
sekitar 1,8 miliar (lebih dari 70%) dari populasi berisiko dengue di seluruh dunia yang
tinggal di negara anggota WHO wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat, menderita
hampir 75% dari beban penyakit global saat ini disebabkan oleh demam berdarah
dengue ( DBD ).

Epidemi demam berdarah dengue ( DBD ) adalah masalah kesehatan utama


masyarakat di Indonesia, Myanmar, Sri Langka, Thailand dan Timor Leste yang berada
di zona hujan tropis dan katulistiwa dimana nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di
daerah perkotaan dan pedesaan, tempat beberapa serotype virus beredar. Demam
berdarah dengue ( DBD ) pertama kali ditemukan di Asia Tenggara tahun 1953 di
Filipina. DBD di Indonesia pertama kali dicurigai pada tahun 1968 terdapat di Surabaya
dan konfirmasi virologisnyad iperoleh pada tahun 1970. Tahun 1972 epidemi pertama
di luar Jawadi laporkan terdapat di Sumatera Barat dan lampung kemudian tahun 1973
disusul Riau, Sulawesi Utara dan Bali. Saat ini demam berdarah dengue ( DBD ) sudah
endemis di kota besar dan penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan.
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2012 menyebutkan
jumlah penderita DBD di Indonesia sebanyak 90.245 kasus dengan jumlah kematian
816 orang (Indeks Rate/IR= 37,27 per 100.000 pendudukdan Case Fatality Rate/CFR=
0,90 %). Jumlah kasus penyakit DBD terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu
19.663 kasus diikuti oleh JawaTimur (8.177 kasus), Jawa Tengah (7.088 kasus) dan
DKI Jakarta (6669 kasus). Keempatnya merupakan provinsi yang memiliki jumlah
penduduk terbesar dimana ini merupakan faktor risiko dari penyebaran penyakit
dengue.

Sedangkan untuk jumlah kematian penyakit demam berdarah dengue ( DBD )


tiap provinsi pada tahun 2012, tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu 167
kematian yang diikuti oleh Provinsi JawaTimur (114 kematian) dan Jawa Tengah (108
kematian) dan Provinsi DKI Jakarta dengan jumlah kematian DBD yang rendah yaitu 4
kematian,hal tersebut dikarenakan sistim surveilans dan manajemen penatalaksanaan
kasus DBD di DKI Jakarta yang cukup baik.

 FAKTOR RESIKO DHF

Morbiditas dan mortalitas penyakit DBD menurut segitiga epidemiologi

Dipengaruh oleh 3 faktor, yaitu:

1. Agent

Agent merupakan penyebab penyakit, dalam penyakit demam berdarah


dengue ( DBD ) adalah virus. Sedangkan nyamuk Aedes merupakan vektor
penyakit DBD. Virus Aedes mampu bermultiplikasi pada kelenjar ludah dari
nyamuk AedesAegepty. Pengontrolan terhadap virus dengue dapa tdilakukan
dengan melakukan kontrol pada vektornya yaitu nyamukAedes. Jumlah
kepadatan vektor Aedes dalam suatu daerah dapat menjadi patokan potensial
penyebaran DBD.

2. Host

Penyakit DBD terjadi pada seseorang ditentukan oleh faktor-faktor yang


ada pada host itu sendiri. Kerentanan terhadap penyakit DBD dipengaruhi oleh
imunitas yang berhubungan dengan faktor usia. Sejak tahun 1993 – 2009 untuk
kasus DBD pada kelompok usia terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai
tahun 1998 kelompok usia terbesar kasus DBD terjadi pada kelompok umur<15
tahun, sedangkan tahun 1999 - 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD
cenderung pada kelompok umur>=15 tahun.

3. Lingkungan

Dengue di Indonesia memiliki siklus epidemik setiap sembilan hingga


sepuluh tahunan. Hal ini terjadi karena perubahan iklim yang berpengaruh
terhadap kehidupan vektor, diluar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.
Menurut Mc Michael, perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan,
kelembaban suhu, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan
dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap
perkembangan vektor penyakit seperti nyamuk. Pengaruh musim terhadap
penyakit dengue di Indonesia tidak begitu jelas, secara garis besar jumlah
kasus meningkat antara September dan Februari dan puncaknya di bulan
Januari.

 MANIFESTASI KLINIS

Masa tunas / inkubasi selama 3 - 15 hari sejak seseorang terserang virus dengue,
Selanjutnya penderita akan menampakkan berbagai tanda dan gejala demam
berdarah sebagai berikut :

1. Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (38 - 40 derajat Celsius).


2. Pada pemeriksaan uji torniquet, tampak adanya bintik (purpura)
perdarahan.
3. Adanya bentuk perdarahan dikelopak mata bagian dalam (konjungtiva),
Mimisan (Epitaksis), Buang air besar berwarna hitam berupa lendir
bercampur darah (Melena), dan lain-lainnya.
4. Terjadi pembesaran hati (Hepatomegali).
5. Tekanan darah menurun sehingga menyebabkan syok.
6. Pada pemeriksaan laboratorium (darah) hari ke 3 - 7 terjadi penurunan
trombosit dibawah 100.000 /mm3 (Trombositopeni), terjadi peningkatan nilai
Hematokrit diatas 20% dari nilai normal (Hemokonsentrasi).
7. Timbulnya beberapa gejala klinik yang menyertai seperti mual, muntah,
penurunan nafsu makan (anoreksia), sakit perut, diare, menggigil, kejang
dan sakit kepala.
8. Mengalami perdarahan pada hidung (mimisan) dan gusi.
9. Demam yang dirasakan penderita menyebabkan keluhan pegal/sakit pada
persendian.
10. .Munculnya bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah
(petechiae).
 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Menurut WHO dapat dilakukan beberapa pemerikaan diagnostik untuk memastikan


dan mengevaluasi tindakan pada penyakit DBD yaitu :

1. Temuan Laboratorium
Pemeriksaan pada penderita Dengue Hemorragie Fever menggunakan
pemeriksaan laboratorium, hal ini terkait dengan kondisi penderita yang
cenderung hemoragis dan kegagalan sirkulasi. Temuan laboratorium pada
pemeriksaan lab darah adalah trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Trombositopenia hingga dibawah 100.000 per mm3 yang ditemukan antara hari
ketiga dan kedelapan dan kejadiannya sebelum atau bersamaan dengan
perubahan hematokrit. Hematokrit yang meningkat menunjukkan terdapat
rembesan plasma, kondisi ini selalu terjadi bahkan pada kondisi non-syok,
tetapi lebih menonjol pada kasus syok.
Jumlah sel darah putih akan bervariasi pada awitan penyakit, berkisar
dari leukopenia sampai leukositosis ringan, tetapi penurunan jumlah sel darah
putih total karena penurunan jumlah neutrofil secara nyata selalu terlihat
mendekati akhir fase demam. Limfositosis relatif, dengan adanya limfositis
atipikal, adalah temuan umum sebelum penurunan suhu/syok.
Albumin ringan transien kadang terjadi, dan darah samar sering
ditemukan dalam feses. Pada kebanyakkan kasus, koagulasi atau faktor
fibrinolitik menunjukkan penurunanfibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII,
dan antitrombin III. Masa trombin memanjang pada kasus berat.
2. Pemeriksaan serum urin
Temuan umum lain adalah hipoproteinemi karena kehilangan albumin,
hiponetremia, dan peningkatan kadar aminotransferase aspartat serum.
Asidosis metabolik sering terjadi pada syok lama. Nitrogen urea darah
meningkat pada tahap akhir syok.
3. Rontgen dada
Pemeriksaan rotgen dada menunjukkan efusi pleural, kebanyakan pada
sisi kanan, sebagai temuan tetap, dan efusi pleural luar dihubungkan dengan
beratnya penyakit. Pada syok, efusi pleural bilateral menjadi temuan umum.
4. Uji tourniquet positif
Uji tourniquet dilakukan dengan cara memompakan manset sampai
ketitik antara tekanan sistolik dan diastolik selama lima menit. Hasil dipastikan
positif bila terdapat 10 atau lebih ptekie per 2,5 cm². Pada DHF biasanya uji
tourniquet memberikan hasil positif kuat dengan dijumpai 20 ptekie atau lebih.
Uji tourniquet bias saja negatif atau hanya positif ringan selama masa shok,
dan menunjukkan hasil positif bila dilakukan setelah masa pemulihan fase
shok.
5. Pemeriksan serologi : dilakukan pengukuran titer antibody pasien dengan cara
haemaglutination inhibition tes (HI test)/ dengan uji pengikatan komplemen
(complemen fixation test/ CFT) diambil darah vena 2-5 ml. Pemeriksaan ini
menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan HI test atau terjadi peninggian
positif IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test.
6. USG
Pada pemeriksaan USG akan didapatkan hematomegali-splenomegali.
Hepatomegali terjadi pada 90-96% dari anak-anak.
 PENATALAKSANAAN
Menurut Hadinegoro (2004) pada dasarnya pengobatan DBD bersifat
simtomatis dan suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat
peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.

Tata laksanan fase demam pada DBD bersifat simtomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Bila cairan oral tidak
adekuatmaka diberikan lewat intravena rumatan. Pada fase demam pasien dianjurkan
tirah baring, dibantu dalam minum obat antipiretik atau kompres hangat, untuk
menurunkan suhu dianjurkan pemberian parasetamol, tidak dianjurkan minum obat
jenis NSAID karena akan memperparah perdarahan. Selain itu dianjurkan pemberian
cairan dan elektrolit. Kemudian monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai
pada fase konvalesens (Hadinegoro, 2004).

Pasien harus dipantau dan terus diawasi terhadap kejadian syok yang mungkin
terjadi. Periode kritis merupakan waktu transisi saat suhu turun pada umumnya pada
hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan
pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil terapi cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena.
Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah
dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga
sampai suhu normal kembali. Bila pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan
hemoglobin dapat digunakan sebagai alternatif meskipun tidak terlalu sensitif
(Hadinegoro, 2004).

Keberhasilan tata laksana DBD terletak pada bagaimana mendeteksi dini fase
kritis yaitu saat suhu turun yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi.
Dengan pemantauan klinis dan pematauan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya rembesan
plasma, dengan diketahui peningkatan kadar hematokrit. Peningkatan hematokrit
>20% merupakan indikasi pemberian terapi cairan. Larutan garam isotonik atau ringer
laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan
berat ringan penyakit (Hadinegoro, 2004).

 PENCEGAHAN PENYAKIT DBD


Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan
primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier (DepkesRI, 2012).
1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan
orang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit. Secara garis
besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan khusus. Surveilans
untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi, kepadatan
populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang
berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan
insektisida yang dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk
pelaksanaan pengendalian vektor. Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan
penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk
memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah survei jentik.
Pengendalian vektor, surveilans kasus, dan gerakan pemberantasan sarang nyamuk
merupakan pencegahan primer.

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini murupakan upaya manusia untuk mencegah
orang yang sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit, menghindarkan
komplikasi dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan skunder dapat dilakukan
dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan pengadaan pengobatan yang cepat
dan tepat.
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh
petugas kesehatan dan masyarakat dengan cara :
a) Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan
pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat
penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat sertasegera bawa ke
dokter atau unit pelayanan kesehatan.
b) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan
pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD
tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima
laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan
penyakit dilokasi penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah
kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
c) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan
kejadianluar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan
Kota/Kabupaten, disertai dengan cara penanggulangan seperlunya serta
diagnosis dan diagnosis laboratorium.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat ketiga ini dapat dilakukan dengan
memaksimalkan organ yang cacat. Pengobatan penderita DBD pada dasarnya bersifat
simptomatik dan suportif yaitu dukungan pada penderita serta mendirikan pusat-pusat
rehabilitasi medik.

 KOMPLIKASI

Komplikasi DHF menurut Smeltzer dan Bare (2002) adalah perdarahan,


kegagalan sirkulasi, Hepatomegali, dan Efusi pleura.
1. Perdarahan
Perdarahan pada DHF disebabkan adanya perubahan
vaskuler,penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) <100.000 /mm³
dankoagulopati, trombositopenia, dihubungkan dengan
meningkatnyamegakoriosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa
hiduptrombosit. Tendensi perdarahan terlihat pada uji tourniquet positif,peteke,
purpura, ekimosis, dan perdarahan saluran cerna, hematemesisdan melena.
2. Kegagalan sirkulasi
DSS (Dengue Syok Sindrom) biasanya terjadi sesudah hari ke 2–7,
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadikebocoran
plasma, efusi cairan serosa ke rongga pleura dan peritoneum,hipoproteinemia,
hemokonsentrasi dan hipovolemi yang mengakibatkanberkurangnya aliran balik
vena (venous return), prelod, miokardium volume sekuncup dan curah jantung,
sehingga terjadi disfungsi ataukegagalan sirkulasi dan penurunan sirkulasi
jaringan.
DSS juga disertai dengan kegagalan hemostasis mengakibatkanperfusi
miokard dan curah jantung menurun, sirkulasi darah terganggu dan terjadi
iskemia jaringan dan kerusakan fungsi sel secara progresif dan irreversibel,
terjadi kerusakan sel dan organ sehingga pasien akanmeninggal dalam 12-24
jam.
3. Hepatomegali
Hati umumnya membesar dengan perlemahan yang
berhubungandengan nekrosis karena perdarahan, yang terjadi pada lobulus
hati dan selsel kapiler. Terkadang tampak sel netrofil dan limposit yang lebih
besar dan lebih banyak dikarenakan adanya reaksi atau kompleks
virusantibodi.
4. Efusi pleura
Efusi pleura karena adanya kebocoran plasma yangmengakibatkan
ekstravasasi aliran intravaskuler sel hal tersebut dapatdibuktikan dengan
adanya cairan dalam rongga pleura bila terjadi efusi pleura akan terjadi
dispnea, sesak napas.
PATHWAY
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012:Profil Kesehatan Indonesia 2011.
Jakarta: Depkes RI

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002:Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner dan Suddarth(Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh
AgungWaluyo...(dkk), EGC, Jakarta

WHO. Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, pengobatan, pencegahan, dan


pengendalian. Alih bahasa Monica Ester, SKp. Yasmin Asih, SKp.

Hadinegoro, Sri Rezeki H. 2004. Tatalaksana demam dengue atau demam berdarah
dengue. Ed.3. Katalog dalam terbitan Depkes RI. 616.921 Ind t. Jakarta

http://eprints.undip.ac.id/46202/3/Dila_Apriliani_Zein_22010111130085_Lap.KTI_Bab2
.pdf

Soedarto. 1990. Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia. Widya Medika: Jakarta

Arif, Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus,
FKUI, Jakarta.

Hidayat, Aziz Alimul A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak jilid.2.

Anda mungkin juga menyukai