Anda di halaman 1dari 38

Tinjauan Pustaka

KECELAKAAN PADA ANESTESIA DAN


KOMPLIKASINYA SERTA PENANGANANYA

dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn. KAKV

PROGRAM STUDI ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH
DENPASAR
2018

1
DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
BAB II. SISTEM ANESTESIA................................................................................... 2
2.1. Definisi Sistem Anestesia............................................................................ 2
2.2. Karakteristik Sistem Anestesia.................................................................... 2
2.3. Kualitas dan Keselamatan Pasien pada Sistem Anestesia............................5
BAB III. KECELAKAAN PADA ANESTESIA DAN KOMPLIKASINYA SErta
PENANGANANYA.....................................................................................................6
3.1. Insiden.......................................................................................................... 7
3.2. Konsep Terjadinya Kecelakaan pada Anestesi............................................ 7
3.3. Kecelakaan pada Anestesi dan Komplikasinya......................................... 11
3.4.Kematian Karena Anestesi......................................................................... 30
3.5.Pencegahan................................................................................................ 31
BAB IV KESIMPULAN........................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 36

37
BAB I
PENDAHULUAN

Sebuah pepatah dari Cina “ The error of one moment becomes the sorrow of
whole life”, kesalahan pada suatu saat akan menjadi kesedihan seumur hidup.(3)
Bahwa pemberian anestesia selalu dituntut seoptimal mungkin sehingga bisa
terhindar dari kecelakaan dan komplikasinya. Namun secara prinsip komplikasi yang
terkait dengan pemberian anestesi tidak dapat terelakkan. Bahkan praktisi yang
paling berpengalaman, rajin dan berhati-hati juga tidak bisa terhindar dari komplikasi
yang terjadi walaupun bertindak sesuai dengan standar dalam perawatannya.(1)
Ketika komplikasi memang terjadi, evaluasi, manajemen yang tepat serta
dokumentasi yang baik menjadi sangat penting dalam meminimalkan hasil yang
negatif. Sebagai contoh yang baik adalah jalan nafas yang sulit diantisipasi.
Meskipun seorang dokter sudah melakukan evaluasi pra-anestesia jalan nafas secara
komprehensif untuk membantu mengantisipasi dan mempersiapkan diri menghadapai
intubasi paling sulit, masih akan gagal untuk memprediksi masalah pada beberapa
pasien yang tidak dapat diintubasi kecuali dengan teknik khusus. Dalam kasus ini
meskipun preoksigenasi dan tekanan krikoid (jika diperlukan), antisipasi resiko
apirasi, obstruksi jalan nafas, hipoksia adalah langkah-langkah yang luar biasa untuk
mengamankan jalan nafas (krikotirotomi atau trakeostomi) mungkin akan diperlukan.
Meskipun prosedur trakeostomi adalah tindakan untuk menyelamatkan nyawa,
namun hal ini dianggap sebagai komplikasi. Dimana selanjutnya pasien akan
memerlukan ventilasi mekanis paska operasi, mungkin akan memerlukan
pembedahan yang kedua, dan mungkin akan meninggalkan bekas luka kecil yang
tidak sedap dipandang. Contoh lain adalah granuloma laring yang mengikuti intubasi
endotrakeal yang mudah dan rutin dikerjakan. Ini adalah komplikasi yang dapat
memicu tinjauan dari kelembagaan dan sangat berpotensial menimbulkan masalah
hukum.(1)

2
Resiko pada pemberian anestesi umumnya baru dapat diamati secara
terperinci setelah dilakukan anestesi itu sendiri. Masyarakat pada umumnya
menganggap bahwa resiko pemberian anestesi adalah “nol” karena anestesia sendiri
bukanlah pengobatan dari penyakit yang mereka derita. Ada juga yang beranggapan
bahwa obat-obatan anestesi adalah tidak mematikan kecuali terjadi kesalahan dalam
penggunaanya. Hal mana dibantah oleh Keats dengan mengatakan bahwa obat-
obatan anestesi dan juga obat-obat tambahan keduanya mempunyai potensi
menimbulkan komplikasi dan terjadinya idosinkrasi. Sedangkan Hamilton
mengatakan bahwa manajemen dari respon obat-obatan ini adalah inti dari praktek
anestesi dan merupakan alasan mengapa anestesiology berbeda dari spesialis lain.(1)
Terlepas dari semua anggapan tersebut, penentuan tingkat resiko pada
pemberian anestesia pun masih sering diperdebatkan. Berbagai penelitian yang
dilakukan belum mendapatkan hasil yang memuaskan, termasuk kepastian adanya
(3)
hubungan yang pasti pada pemberian anestesia dengan kematian perioperatif.
Berdasarkan alasan tersebut, tanpa bermaksud mencari “kambing hitam” pada
terjadinya kecelakaan dalam anestesi, makalah ini akan membahas mekanisme
timbulnya kejadian-kejadian khusus selama anestesia dan berbagai hal yang dapat
menimbulkan kejadian tersebut, atau bahkan mengakibatkan terjadinya suatu
kecelakaan dalam anestesia, komplikasinya serta penangananya.

3
BAB II
SISTEM ANESTESIA

2. 1. Definisi Sistem Anestesia


Untuk memahami kejadian kritis selama anestesia harus dibentuk suatu
konsep yang pasti tentang sistem anestesi. Yang dimaksud dengan “sistem” disini
adalah kesatuan dari komponen-komponen yang saling berkaitan satu sama lain
dalam sebuah lingkungan tertentu yang bertujuan memberikan suatu hasil, dalam hal
ini adalah suatu pelayanan anestesia yang aman, efisien dan efektif. Sistem ini dapat
terdiri dari manusia dan juga komponen-komponen teknik, yang dikenal dengan
istilah “sistem manusia-mesin (Man-machine system). Dalam sistem anestesia yang
termasuk komponen adalah ahli anestesi, pasien, mesin anestesi, mesin pemantau,
personil ruang operasi (ahli bedah, perawat, teknisi), peralatan ruang operasi dan
fasilitas lain juga kebijaksanaan pihak rumah sakit. Kesemua komponen tersebut
harus dipertimbangkan sebagai suatu penyebab timbulnya faktor yang dapat
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh sistem. Konsep ini harus selalu diingat, tidak
saja ketika melakukan penyelidikan terhadap terjadinya suatu kecelakaan anestesia
tapi juga yang lebih penting adalah ketika melakukan evaluasi pada hasil yang
optimal dari sistem secara keseluruhan.(1,2)
2.2. Karakteristik Sistem Anestesia
Suatu sistem dibedakan karakteristiknya menurut jumlah komponen yang
terlibat, bagaimana komponen-komponen tersebut saling berinteraksi (derajat
kompleksitas) dan bagaimana fungsi dari sistem tersebut (derajat penyatuan). Suatu
sistem dikatagorikan mempunyai interaksi yang kompleks bila terdapat suatu urutan
yang tidak biasa, adaya urutan yang tidak direncanakan dan diharapkan. Sedangkan
yang termasuk sederhana adalah bila terdapat suatu prosedur rutin, urutan
pemeliharaan, atau bila tidak direncanakan sebelumnya peristiwa yang timbul itu

4
mudah diketahui. Bagi seeorang ahli anestesi, interaksi yang terjadi di ruang operasi
umumnya tergolong suatu sistem yang kompleks. Derajat penyatuan dinilai dari
renggang hingga erat. Penyatuan yang erat umumnya kurang mempunyai toleransi
terhadap kondisi tertentu, dapat ditandai dengan adanya masalah dengan struktur
(keterbatasan personil dan alat), proses (keterbatasan pemilihan tindakan karena
alasan personil maupun alat) dan keluaran (toleransi terhadap penundaan).(1,2,10)
2.3. Kualitas dan Keselamatan Pasien pada Sistem Anestesia
Sebelum membahas tentang kejadian dan komplikasi selama anestesia
prinsip-prinsip keselamatan pasien harus dipahami oleh setiap ahli anestesia.
Beberapa kata kunci atau istilah yang umum digunakan untuk membahas kualitas
dan keselamatan pasien adalah sebagai berikut : (2,3,10)
3.1. Patient-centered care (perawatan berpusat pada pasien) meliputi kualitas kasih
sayang, empati, komunikasi yang lengkap dan terbuka, dan tanggap terhadap
kebutuhan dan preferensi dari setiap pasien.
3.2. Quality of care (kualitas pelayanan) adalah sejauh mana pelayanan kesehatan
pada individu dan masyarakat meningkatkan hasil yang diinginkan dan konsisten
dengan pengetahuan yang profesional.
3.3. Patien safety (keselamatan pasien) adalah penghindaran, pencegahan dan upaya
perbaikan yang merugikan atau cedera yang berasal dari proses pelayanan
kesehatan.
3.4. Quality assurance (jaminan kualitas) adalah monitoring yang sistematis dan
formal serta meninjau proses pemberian pelayanan kesehatan dan dampak yang
ditimbulkan, merancang kegiatan untuk meningkatkan kesehatan dan mengatasi
kekurangan dalam penyediaan fasilitas, sistem pendukung atau prosedur untuk
memastikan bahwa tindakan yang diberikan sudah efektif.
3.5. Adverse event adalah cedera yang diakibatkan oleh manajemen kesehatan yang
mengakibatkan kecacatan terukur.
3.6. Accident (kecelakaan) adalah hal yang tidak direncanakan, tidak diduga dan
tidak diinginkan.
3.7. Error (kesalahan) adalah ketika urutan aktivitas mental dan fisik yang telah
direncanakan menemui kegagalan untuk mencapai hasil yang dimaksud.

5
3.8. Human factor (faktor manusia) mengacu pada keilmuan dan disiplin berkaitan
dengan pemahaman interaksi antara manusia dan unsur lain dari sistem dan
profesi dengan menerapkan teori, prinsip, data dan metode untuk
mengoptimalkan kesejahteraan manusia dan performa sistem secara keseluruhan.
3.9. Risk management (manajemen resiko) adalah aktivitas klinis dan administratif
yang dilakukan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengurangi resiko
cedera pada pasien, staf, pengunjung dan organisasi itu sendiri.
Konsep mutu dan keamanan adalah sebuah rangkaian kesatuan. Beberapa
melihat keselamatan sebagai bagian dari kualitas dan sebagian besar setuju bahwa
perawatan berkualitas harus diwujudkan pada perawatan atau pelayanan yang aman.
Dalam konteks anastesia kualitas dapat dianggap sebagai keseimbangan antara
pengalaman penyembuhan pasien dengan sedikit rasa sakit dan kemungkinan
ketidaknyamanan, kondisi yang optimal untuk operasi, kelancaran perawatan pasien
oleh organisasi dan tidak terjadinya cedera atau kompliksai yang tidak diinginkan
oleh karena tindakan pembiusan. Sebuah ungkapan singkat “no patient is caused any
injury or complication from the effects of the overall anesthesia encounter”, bahwa
tujuan dari anestesia adalah tidak ada pasien yang mengalami cedera dan komplikasi
sebagai efek dari keseluruhan proses anestesia yang dijalani.(1,8)

6
BAB III
KECELAKAAN PADA ANESTESIA DAN KOMPLIKASINYA
SERTA PENANGANANYA

3.1. Insiden
Ada beberapa alasan mengapa sulit untuk mengukur secara akurat kejadian
buruk yang terkait dengan hasil proses anestesia, yang juga disebut sebagai
kecelakaan dalam anestesia. Sering tidak mungkin untuk menetapkan tanggung
jawab (siapa yang bertanggung jawab) terhadap hasil yang buruk yang dialami oleh
pasien, apakah oleh karena faktor penyakit yang melekat pada pasien itu sendiri,
prosedur bedah, anestesinya atau manajemen. Bahkan, ketiganya dapat berkontribusi
untuk hasil yang buruk. Hal ini juga sulit untuk menentukan secara terukur.
Kematian adalah titik akhir yang jelas, tetapi kematian oleh proses anestesia terkait
perioperatif sangatlah jarang. Meskipun demikian, banyak penelitian telah berusaha
untuk menentukan kejadian komplikasi akibat anestesi. Sayangnya, studi yang
bervariasi dalam kriteria untuk menentukan hasil yang terkait dengan anestesi yang
merugikan hanya menggunakan analisis retrospektif. Akhirnya, kekhawatiran
medikolegal menghambat pelaporan yang akurat.(1,4)
Mortalitas perioperatif biasanya didefinisikan sebagai kematian dalam waktu
48 jam operasi. Jelas bahwa kematian perioperatif paling sering diakibatkan oleh
penyakit pasien itu sendiri atau prosedur pembedahan. Angka kematian yang
disebabkan oleh prosedur anestesi tampaknya telah menurun selama 30 tahun
terakhir dari satu atau dua kematian per 3000 pengalaman anestesi, ke tingkat satu
atau dua kematian per 20.000 pengalaman. Namun, statistik ini harus dipandang
dengan skeptisisme yang cukup, karena mereka berasal dari negara yang berbeda dan
menggunakan metodologi yang berbeda. Studi terbaru menunjukkan bahwa angka

7
kematian oleh prosedur anestesi di beberapa institusi mungkin atau bahkan kurang
dari 1:20.000. Penurunan ini mungkin disebabkan oleh ketersediaan dan penggunaan
peralatan monitoring yang baru, pengetahuan yang lebih baik mengenai anestesi
fisiologi dan farmakologi, dan perawatan bedah dan medis yang sudah ditingkatkan.
Memang, dalam suatu studi besar, tingkat kematian yang dikaitkan dengan anestesia
adalah 1 dalam 185.000.(1,2,6)
Walaupun secara teori terdapat suatu anestesia yang “normal”, namun dalam
klinik kondisi ini tidak pernah dapat diwujudkan. Performa manusia dalam sistem
anestesi tidak pernah sempurna, oleh karenanya selama perjalanan anestesia selalu
terjadi banyak kesalahan (kelalaian ataupun kesalahan instruksi). Seperti dalam kasus
di bawah ini :(3,6)
Pasien yang direncanakan akan dilakukan athroscopi dalam anestesia, setelah
memberikan obat induksi ahli anestesi menyuntikkan pelumpuh otot yang
mendepresi sistem simpatis. Direncanakan pemberian lambat 1 ml opioid,
yang mempunyai efek vagotonik, namun karena kerancuan suasana ahli
anestesi lupa memperlambat laju cairan infus sebelum pemberian opioid
(kesalahan karena kelalaian) dan karena kerancaun yang sama ternyata
disuntikkan 2 ml opioid (kesalahan instruksi). Sementara itu ahli bedah telah
memulai operasi tanpa memberi tahu ahli anestesi. Disini dua kesalahan
(yang umum) dikombinasi dengan faktor instrinsik pasien (sehat namun
gelisah) dan stimulus operasi yang lebih awal menyebabkan terjadinya
penurunan laju jantung. Penurunan laju jantung ini adalah suatu kejadian
(incident) yang merupakan suatu hasil dari beberapa kondisi dan peristiwa,
dalam hal ini menyebabkan terjadinya bradikardia. Kejadian serupa ini harus
dipertimbangkan sebagai suatu keadaan yang manusiawi, dan keberadaanya
tidak menunjukkan adanya suatu kejahatan atau kesalahan secara moral pada
pemberian anestesia. Pada kenyataanya situasi yang tidak aman ini banyak
yang tidak disadari dan tidak dilaporkan, sehingga pada akhirnya tidak dapat
dikenali secara jelas.(2,7,9)
Bila suatu “kejadian” timbul, hal tersebut dapat berlanjut ataupun
mencetuskan timbulnya suatu “kejadian kritis”. Perubahan menjadi suatu “kejadian
kritis” ditandai dengan bertambahnya potensi yang dapat merugikan pasien. Suatu

8
kejadian kritis dapat berubah menjadi suatu kecelakaan atau penyulit. Penyulit adalah
bila suatu keadaan yang timbul diluar dari perencanaan anestesia ataupun tidak dapat
diduga sebelumnnya. Pertanyaan yang timbul adalah kapan suatu “kejadian” dapat
berubah menjadi suatu “kejadian kritis” atau bahkan suatu “kecelakaan?. Suatu
sistem dapat berubah menjadi suatu kondisi kegagalan karena perilaku manusiawi
dan karakteristik dari sistem itu sendiri yang sangat rentan terhadap “kesalahan”
yang mungkin timbul.(4,6)
3.2. Konsep Terjadinya Kecelakaan Pada Anestesia
Lebih dari empat dekade terdapat tiga konsep utama yang mendasari
timbulnya suatu kejadian kritis yang berujung pada kecelakaan adalah : (2)
3.2.1. Kesalahan Manusiawi
Manusia sering membuat kesalahan, dan kesalahan yang dianggap
“manusiawi” disini adalah kekeliruan perencanaan karena adanya penyebab
kurangnya pengetahuan sehingga timbul kegagalan bereaksi terhadap suatu
kondisi yang diluar kebiasaan atau hukum yang dianut. Selain itu juga
termasuk disini adalah kesalahan pelaksanaan yang biasanya akibat
ketidakjelasan instruksi. Juga kesalahan karena kegagalan ingatan. Ada
pendapat yang beranggapan bahwa untuk meningkatkan keamanan dalam
anestesia secara efektif adalah dengan menghilangkan “kesalahan
manusiawi” ini, walaupun hal ini tidak mungkin karena kesalahan adalah
karakteristik yang normal untuk manusia.(1,3)
3.2.2. Faktor Manusia
Disini adalah keadaan dimana timbulnya suatu kejadian kritis karena
kegagalan bereaksi terhadap informasi yang timbul. Faktor manusia yang
banyak diteliti adalah “kelelahan”. Dikatakan bahwa “tidak ada seorang
anestesiolog yang dapat diwajibkan melakukan suatu rutinitas yang panjang
keesokan harinya bila sepanjang malam sebelumnya ia terjaga/bertugas”.
Faktor lainya adalah ketergesa-gesaan, kurang hati-hati, kurang perhatian,
faktor usia, komunikasi yang buruk dengan tim, faktor visual, faktor mental
dan fisik, ketakutan sampai faktor kurangnya konsentrasi karena masalah
pribadi.(1,3)
3.2.3. Faktor lainya yang berperan.

9
Dalam anestesi, faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab timbulnya
suatu kejadian kritis atau bahkan kematian diantaranya adalah faktor pasien,
operasi dan anestesia. Dipandang dalam suatu sistem yang kompleks, antara
manusia dan teknologi seperti anestesi, terdapat dua katagori kegagalan : aktif
dan laten. Kegagalan aktif melibatkan reaksi dari operator (anestesiolog) pada
suatu sistem yang kompleks dimana ia bekerja. Sedangkan kegagalan laten,
adalah suatu kegagalan yang sudah ada dalam sistem itu sendiri.(1,3)
Kecelakaan dalam anestesia dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dapat
dicegah dan tidak dapat dicegah. Sebagai contoh sindrom kematian mendadak, reaksi
obat yang mematikan, atau hasil yang buruk yang terjadi meskipun menggunakan
manajemen yang tepat. Namun, penelitian dari anestesia yang terkait bahwa
kematian atau nyaris celaka sebagian besar dapat dicegah. Kejadian yang dapat
dicegah melibatkan kesalahan manusia (Tabel 1), sebagai lawanya adalah kerusakan
dari peralatan (Tabel 2). Sayangnya, beberapa tingkat kesalahan manusia tidak bisa
dihindari, dan kecelakaan yang dapat dicegah tidak identik dengan ketidakmampuan.
(1,3)

Tabel 1. Kesalahan umum manusia yang dapat dicegah sebagai penyebab kecelakaan
anestesia.(1)
No Kesalahan Umum Manusia
1 Sirkuit pernafasan yang belum terhubung
2 Kesalahan memberikan obat
3 Kesalahan manajemen jalan nafas
4 Ketidakmampuan menggunakan mesin anestesia secara baik
5 Kesalahan manajemen cairan
6 Fasilitas intra vena yang belum tersedia.
Menurut ASA kesalahan manusia dalam penyalahgunaan peralatan tiga kali
lebih besar dari pada kerusakan peralatan itu sendiri. Demikian juga kesalahan dalam
pemberian obat juga merupakan kesalahan manusia, sebanyak 20% dari dosis obat
yang diberikan kepada pasien rawat inap tidak benar termasuk yang paling berbahaya
adalah kesalahan penggunaan epinephrine.(1,2)
Tabel 2. Malfungsi umum peralatan yang dapat dicegah sebagai penyebab
kecelakaan anestesia.(1,3)
No Malfungsi umum peralatan
1 Sirkuit pernafasan

10
2 Peralatan pemantau
3 Ventilator
4 Mesin anestesia
5 Laringoskop
Gaba mengemukakan wawasan dari hasil penelitianya tentang konsep dasar
terjadinya kecelakaan. Bahwa kecelakaan tidaklah satu dimensi melainkan adalah
hasil interaksi beberapa dimensi atau elemen atau unsur. Ada unsur individu yang
berpengaruh termasuk didalamnya unsur pengetahuan individu tersebut, unsur
proses penyakit yang diderita oleh pasien tersebut, unsur pengaruh obat-obatan dan
proses pembedahan itu sendiri. Gaba menggambarkan proses evolusi kecelakaan itu
dalam "Swiss Cheese" model. "Swiss Cheese" model menggambarkan kecelakaan
sebagai potongan keju yang merupakan hasil dari serangkaian peristiwa dimulai
dengan adanya prekursor (peristiwa yang memicu), yang mempengaruhi faktor
kebijakan pemerintah, organisasi, team, teknologi dan anestesiolog itu sendiri,
dimana rangkaian peristiwa tersebut mengalami kegagalan dan akhirnya
menimbulkan kecelakaan. Konsep ini diterima secara luas dan dipakai untuk
menggambarkan kegagalan sebuah sistem kesehatan.(2,5,8)

Gambar 1, “Swiss cheese” model of accidents in anesthesia. Reason J. Managing the Risk of
Organizational Accidents. Aldershot, Hants, UK: Ashgate Publishing; 1997.
Tipe lain dari kesalahan manusia terjadi ketika masalah yang paling penting
diabaikan karena perhatian terfokus pada masalah yang kurang penting . Kecelakaan

11
anestesi yang serius biasanya biasanya berhubungan dengan faktor-faktor lain
(Tabel 3). Misalnya, dampak dari kegagalan pemakaian peralatan dapat dihindari
dengan melakukan pemeriksaan (checkout) pra operasi secara rutin dan pelatihan
personil secara berkesinambungan. Banyak kematian anestesia terjadi hanya setelah
serangkaian keadaan kebetulan, salah pemikiran dan kesalahan teknis.(2,7,10)
Tabel 3. Faktor-faktor yang terkait dengan kesalahan manusia dan penyalahgunaan
peralatan.(lange)

No Faktor Contoh
1 Persiapan yang tidak adekuat
Tidak melakukan pemeriksaan terhadap
mesin, atau evaluasi pre-operative yang
ceroboh dan tergesa-gesa
2 Pengalaman dan pelatihan Tidak familiar dengan peralatan anestesia
yang tidak adekuat dan teknik anestesia
3 Lingkungan yang terbatas Ketidakmampuan melihat lapangan operasi
dan komunikasi yang buruk dengan operator
4 Faktor fisik dan mental Kelelahan, masalah pribadi

3.3. Kecelakaan Pada Anestesia dan Komplikasinya Serta Penangananya


Menurut ASA, selama 1990-an tiga besar penyebab kecelakaan anestesia
adalah kematian (22%), cedera saraf (18%) dan kerusakan otak (9%).(2)
3.3.1. Cedera Jalan Nafas
Cedera pada struktur saluran napas selalu menjadi fokus perhatian untuk
berlatih menjadi ahli anestesi. Insersi pipa endotrakeal, laryngeal mask airways,
oral/nasal airways, gastric tubes, transesophageal echocardiogram (TEE) probes,
esophageal (boogie) dilators, dan emergency airways semua menyebabkan risiko
kerusakan struktur saluran napas. Morbiditas umum yang terjadi seperti sakit
tenggorokan dan disfagia biasanya terbatas tetapi bisa juga terjadi komplikasi
nonspesifik yang tidak menyenangkan.(2,8,9)
Cedera saluran napas menetap yang paling umum adalah trauma gigi. Dalam
sebuah penelitian retrospektif dari 600.000 kasus bedah, kejadian cedera yang
memerlukan intervensi dan perbaikan gigi sekitar 1 dalam 4500 kasus. Dalam
kebanyakan kasus, laringoskopi dan intubasi endotrakeal terlibat, dan gigi seri atas
yang paling sering mengalami cedera. Trauma gigi terjadi lebih sedikit dibandingkan
oral airways. Faktor risiko utama terjadinya trauma gigi adalah intubasi trakea, gigi
yang buruk yang sudah ada sebelumnya, dan karakteristik pasien yang berhubungan

12
dengan manajemen jalan nafas yang sulit (termasuk gerakan leher terbatas,
pembedahan pada kepala dan leher sebelumnya, kelainan kraniofasial, dan riwayat
intubasi sulit). Jenis cedera saluran nafas yang jarang terjadi adalah cedera
temporomandibular joint (TMJ, cedera laring terutama termasuk kelumpuhan pita
suara, granuloma, dislokasi arytenoid, cedera trakea. Beberapa cedera terjadi pada
prosedur yang nampaknya mudah dan pada intubasi rutin. Mekanisme yang
menyebabkan meliputi gerakan tube yang berlebihan dalam trakea, nekrosis oleh
karena tekanan yang berlebihan, dan penggunaan relaksasi yang tidak memadai.
Perforasi esofagus menyebabkan kematian pada 5 dari 13 pasien, yang paling sering
dilaporkan adalah oleh karena emfisema subkutan atau pneumotoraks. Akhirnya,
perforasi pharyngoesophageal jelas berhubungan dengan intubasi sulit, usia di atas
60 tahun, dan jenis kelamin perempuan. Seperti dalam perforasi trakea, tanda-tanda
yang jelas sering tertunda dalam onset. Sebaliknya, sakit tenggorokan, nyeri leher
rahim, dan batuk sering berkembang menjadi demam, disfagia, dan dyspnea sebagai
mediastinitis, abses, atau pneumonia. Tingkat kematian 25-50% setelah terjadinya
perforasi esofagus telah dilaporkan.(2,8,10)
Meminimalkan risiko cedera saluran napas dimulai dengan penilaian pra
operasi. Pemeriksaan saluran napas menyeluruh akan membantu menentukan risiko
kesulitan. Dokumentasi gigi saat ini (termasuk perawatan gigi) harus dimasukkan.
Banyak praktisi percaya bahwa persetujuan pra operasi harus mencakup diskusi
tentang risiko gigi, oral, pita suara, dan trauma esofagus pada setiap pasien yang
berpotensi memerlukan manipulasi saluran napas. Jika terdapat dugaan kesulitan
jalan nafas, diskusi yang lebih rinci tentang risiko (misalnya, trakeostomi darurat)
sangat diperlukan. Dalam kasus tersebut, persediaan saluran napas darurat dan
bantuan dari orang yang berpengalaman harus segera tersedia, dan algoritma ASA
untuk manajemen jalan nafas sulit harus dimanfaatkan. Tindak lanjut harus dilakukan
untuk menilai tanda-tanda laten perforasi jika ada kecurigaan trauma saluran napas.
Jika intubasi tidak dapat dikerjakan dengan cara konvensional, pasien atau wakil dari
keluarga harus diberitahu mengenai intervensi saluran nafas lebih lanjut.(5,9,10)
3.3.2. Cedera Saraf Perifer
Cedera saraf perioperatif merupakan komplikasi yang terjadi pada anestesi
regional dan umum. Cedera saraf perifer sering terjadi, dan sering menyebabkan

13
masalah kelemahan, Dalam kebanyakan kasus, cedera ini sembuh dalam 6-12
minggu, tetapi beberapa bertahan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-
tahun. Karena neuropati perifer umumnya terkait dengan posisi pasien, melihat
kembali mekanisme dan pencegahan sangat diperlukan.(1,2)
Cedera saraf perifer yang paling umum adalah neuropati ulnaris. Dalam
sebuah penelitian retrospektif lebih dari 1 juta pasien, neuropati ulnaris persisten
(durasi lebih dari 3 bulan) 1 kasus pada 2700 pasien. Menariknya, gejala awal
muncul pada 24 jam setelah prosedur pembedahan dan terjadi ketika pasien masih
dirawat di rumah sakit. Faktor risiko termasuk jenis kelamin laki-laki, perawatan di
rumah sakit lebih dari 14 hari, dan terjadi pada pasien yang sangat kurus atau
obesitas. Lebih dari 50% pasien pulih secara penuh fungsi motorik dan sensoriknya
dalam waktu 1 tahun. Teknik anestesi tidak terlibat sebagai faktor risiko, 25% dari
pasien dengan neuropati ulnaris yang dirawat terjadi dengan teknik regional
dilakukan pada ekstremitas bawah. Hal ini menimbulkan keraguan bahwa
peregangan atau mekanisme kompresi menyebabkan cedera, karena pasien
kemungkinan terjaga dan menanggapi ketidaknyamanan.(2,6,9)
Peran Positioning
Cedera saraf perifer tampaknya lebih terkait erat dengan posisi atau prosedur
bedah. Mereka mungkin melibatkan saraf peroneal, pleksus brakialis, atau saraf
femoral dan siatik. Tekanan eksternal pada saraf bisa membahayakan perfusi nya,
mengganggu integritas seluler, dan akhirnya mengakibatkan edema, iskemia, dan
nekrosis. Cedera oleh tekanan sangat mungkin ketika saraf melewati kompartemen
tertutup yang dibentuk oleh membran osseofascial padat atau saraf superfisial
(misalnya, saraf perineum disekitar fibula). Neuropati ekstremitas bawah, terutama
yang melibatkan saraf peroneal, dikaitkan dengan posisi litotomi yang ekstrim
(tinggi) yang dipertahankan lebih dari 2 jam. Faktor risiko pasien terjadinya
komplikasi tersebut adalah hipotensi, kurus, usia tua, dan riwayat penyakit
pembuluh darah, diabetes, atau merokok. Cedera saraf ulnaris berhubungan dengan
operasi jantung karena retraksi tulang rusuk dapat menyebabkan peregangan pada
pleksus brakialis. Demikian pula, saraf torakalis panjang dapat terkena selama
tindakan pneumonektomi atau diseksi kelenjar getah bening aksila yang
mengakibatkan kelumpuhan otot serratus anterior dan winging skapula. Beberapa

14
cedera pleksus brakialis pada posisi dekubitus lateral mungkin dikaitkan dengan
posisi yang tidak benar.(2,7,10)
Data menunjukkan bahwa beberapa cedera saraf perifer tidak dapat dicegah.
Pasien, prosedur, dan posisi adalah faktor yang berkontribusi menimbulkan hal
tersebut. Meskipun risiko neuropati perifer harus dibahas dalam informed consent,
khususnya pada pasien yang ditempatkan pada posisi nonsupine, praktek-praktek lain
mungkin bisa membantu. Sangat beralasan, pasien harus diposisikan dengan benar
sebelum induksi anestesi dikerjakan untuk memberikan rasa nyaman. Posisi akhir
harus dievaluasi secara hati-hati sebelum dikerjakan draping. Posisi kepala dan leher
harus dalam posisi netral untuk meminimalkan penekanan saraf atau pembuluh
darah. Shoulder brace untuk membantu posisi Trendelenburg harus dihindari jika
memungkinkan, dan abduksion dan rotasi lateral harus diminimalkan untuk
mengurangi kemungkinan cedera pleksus brakialis. Ekstremitas atas tidak boleh
digerakkan lebih dari 90 ° pada setiap sendi dan harus posisi supine untuk
melindungi terowongan ulnaris. Pronasi berkepanjangan lengan bawah dapat
menekan saraf ulnaris di terowongan kubiti. Ekstremitas bawah seharusnya tidak
memiliki titik-titik penekanan. Meskipun cedera dapat terjadi oleh karena padding,
padding tambahan mungkin dapat membantu di daerah rawan. Dokumentasi harus
mencakup informasi tentang posisi, termasuk keberadaan padding. Akhirnya, pasien
yang mengeluhkan disfungsi sensorik atau motorik pada periode pasca operasi harus
diyakinkan bahwa ini sering merupakan kondisi sementara. Motorik dan fungsi
sensorik harus didokumentasikan dan pasien harus dirujuk untuk evaluasi neurologis
dan pengujian fisiologis, seperti pemeriksaan konduksi saraf dan pemeriksaan
elektromiografi.(2,7,10)
Komplikasi Yang Berhubungan Dengan Posisi(1,2,10)
Tabel 4. Efek Fisiologis yang biasa terjadi pada berbagai posisi pasien
Position Organ Effects
System
Supine
Horizontal1 Cardiac Equalization of pressures throughout the arterial system;
increased right-sided filling and cardiac output; decreased
heart rate and peripheral vascular resistance.
Respiratory Gravity increases perfusion of dependent (posterior) lung
segments; abdominal viscera displace diaphragm cephalad.

15
Spontaneous ventilation favors dependent lung segments,
while controlled ventilation favors independent (anterior)
segments. Functional residual capacity decreases and may
fall below closing volume in older patients.

Trendelenburg Cardiac Activation of baroreceptors, generally causing decreased


cardiac output, peripheral vascular resistance, heart rate,
and blood pressure.
Respiratory Marked decreases in lung capacities from shift of abdominal
viscera; increased ventilation/perfusion mismatching and
atelectasis; increased likelihood of regurgitation.
Other Increase in intracranial pressure and decrease in cerebral
blood flow because of cerebral venous congestion; increased
intraocular pressure in patients with glaucoma.
Reverse Cardiac Preload, cardiac output, and arterial pressure decrease.
Trendelenburg Baroreflexes increase sympathetic tone, heart rate, and
peripheral vascular resistance.
Respiratory Spontaneous respiration requires less work; functional
residual capacity increases.
Other Cerebral perfusion pressure and blood flow may decrease.
Lithotomy Cardiac Autotransfusion from leg vessels increases circulating blood
volume and preload; lowering legs has opposite effect. Effect
on blood pressure and cardiac output depends on volume
status.
Respiratory Decreases vital capacity; increases likelihood of aspiration.
Prone Cardiac Pooling of blood in extremities and compression of
abdominal muscles may decrease preload, cardiac output,
and blood pressure.2
Respiratory Compression of abdomen and thorax decreases total lung
compliance and increases work of breathing.
Other Extreme head rotation may decrease cerebral venous
drainage and cerebral blood flow.
Lateral Cardiac Cardiac output unchanged unless venous return obstructed
decubitus (eg, kidney rest). Arterial blood pressure may fall as a result
of decreased vascular resistance (right side > left side).
Respiratory Decreased volume of dependent lung; increased perfusion of
dependent lung. Increased ventilation of dependent lung in
awake patients (no / mismatch); decreased ventilation of
dependent lung in anesthetized patients / mismatch).
Further decreases in dependent lung ventilation with
paralysis and an open chest (see Chapter 24).
Sitting Cardiac Pooling blood in lower body decreases central blood volume.
Cardiac output and arterial blood pressure fall despite rise in
heart rate and systemic vascular resistance.
Respiratory Lung volumes and functional residual capacity increase;
work of breathing increases.

16
Other Cerebral blood flow decreases.

Tabel 5. Komplikasi yang berhubungan dengan posisi.


Complication Position Prevention
Air embolism Sitting, prone, reverse Maintain venous pressure above 0 at the
Trendelenburg wound (see Chapter 26).
Alopecia Supine, lithotomy, Normotension, padding, and occasional
Trendelenburg head turning.
Backache Any Lumbar support, padding, and slight hip
flexion.
Compartment Especially lithotomy Maintain perfusion pressure and avoid
syndrome external compression.
Corneal abrasion Especially prone Taping and/or lubricating eye.
Digit amputation Any Check for protruding digits before
changing table configuration.
Nerve palsies
Brachial plexus Any Avoid stretching or direct compression at
neck or axilla.
Common peroneal Lithotomy, lateral Pad lateral aspect of upper fibula.
decubitus
Radial Any Avoid compression of lateral humerus.
Ulnar Any Padding at elbow, forearm supination.
Retinal ischemia Prone, sitting Avoid pressure on globe.
Skin necrosis Any Padding over bony prominences.

3.3.3. Cedera Mata


Berbagai kondisi dari abrasi kornea sederhana sampai kebutaan telah
dilaporkan. Abrasi kornea adalah cedera mata jauh (ketidakmampuan melihat jarak
jauh) yang paling umum dan bersifat sementara. Laporan ASA dikatakan
penyebabnya jarang teridentifikasi (20%) dan kejadian cedera permanen adalah
rendah (16%). Meskipun penyebab abrasi kornea tidak jelas, namun mengamankan
mata dengan tape setelah pasien kehilangan kesadaran tetapi sebelum dilakukan
intubasi selama anestesi umum dan menghindari kontak langsung dengan masker
oksigen, tirai, garis, dan bantal (terutama selama perawatan monitoring anestesia,
dalam transportasi, dan dalam posisi nonsupine) dapat membantu meminimalkan
kemungkinan cedera. Kelumpuhan dan / atau kedalaman anestesi yang memadai

17
harus dipelihara untuk mencegah gerakan melihat selama operasi dengan anestesi
umum. Baru-baru ini, cedera mata yang menghancurkan disebut neuropati optik
iskemik (ION) telah dilaporkan. ION kini penyebab paling umum kehilangan
penglihatan pasca operasi. Sindrom ini hasil dari infark saraf optik karena pemberian
oksigen menurun melalui satu atau lebih arteriol kecil memasok kepala saraf. Hal ini
paling sering dilaporkan setelah bypass cardiopulmonary, diseksi leher radikal,
prosedur perut dan pinggul, dan operasi tulang belakang dalam posisi rawan. Kedua
faktor preoperative dan intraoperative memberi kontribusi. Banyak laporan kasus
melibatkan hipertensi yang sudah ada sebelumnya, diabetes, penyakit arteri koroner,
dan merokok, menunjukkan bahwa kelainan vaskular preoperative mungkin
memainkan peran. Intrabedah hipotensi yang disengaja dan anemia juga memberikan
implikasi, karena kondisi tersebut mengurangi pengiriman oksigen. Akhirnya, waktu
bedah yang berkepanjangan pada posisi (prone, head down, compressed abdomen)
yang menekan aliran vena juga menjadi faktor penyebab. Gejala yang timbul
biasanya langsung paska operasi tetapi dilaporkan sampai dengan 12 hari paska
operasi, mulai dari penurunan ketajaman penglihatan sampai kebutaan.
Rekomendasi untuk mencegah komplikasi ini sulit karena faktor risiko ION sering
tidak dapat dihindari karena sifat dari operasi. Langkah-langkah yang mungkin akan
diambil adalah (1) meningkatkan aliran vena dengan posisi kepala pasien lebih
ditinggikan dan meminimalkan konstriksi abdominal, (2) pemantauan tekanan darah
dengan hati-hati dengan arteri line, (3) membatasi tingkat dan durasi hipotensi
selama dilakukan hipotensi disengaja, (4) pemberian transfusi untuk pasien anemia
yang muncul pada risiko ION dari awal untuk menghindari anemia berat, dan (5)
berdiskusi dengan ahli bedah bahwa operasi dengan durasi yang lama kemungkinan
beresiko tinggi pada pasien.(2,7,9,10)
3.3.4. Henti Kardiopulmoner Pada Spinal Anestesia
Serangan jantung mendadak pada saat melakukan spinal anestesi merupakan
komplikasi yang jarang terjadi namun jika terjadi merupakan bahaya besar.
Dilaporkan 14 pasien mengalami serangan jantung selama spinal anestesi. Terjadi
pada usia muda (rata-rata usia 36 tahun), relatif sehat (status fisik ASA I-II), pasien
diberikan dosis analgetik lokal secara tepat dengan ketinggian blok di bawah T4.
Insufisiensi pernapasan subklinis dengan hiperkarbia akibat obat penenang yang

18
dianggap sebagai faktor kontribusi. Waktu rata-rata dari pemberian obat sampai
terjadinya henti kardiopulmoner adalah 36 ± 18 menit, dan dalam semua kasus henti
kardiopulmoner didahului oleh penurunan bertahap dari denyut jantung dan tekanan
darah hingga 20% di bawah nilai dasar. Tanda-tanda sebelum henti kardiopulmoner
yang paling umum adalah bradikardia, hipotensi, dan sianosis. Pengobatan terdiri
dari bantuan ventilasi, efedrin, atropin, resusitasi Jantung Paru (dengan durasi 10,9
menit), dan akhirnya epinefrin (rata-rata diberikan 5 menit sebelum terjadinya henti
kardiopulmoner). Meskipun intervensi, 10 pasien tetap koma dan 4 kesadaran
kembali dengan defisit neurologis yang signifikan. Sebuah penelitian selanjutnya
menyimpulkan bahwa henti kardiopulmoner tersebut memiliki sedikit hubungan
dengan obat penenang tetapi lebih terkait dengan blokade simpatik yang tinggi, yang
mengarah ke vagal tone yang tinggi dan bradikardia yang dalam. Pengobatan secara
agresif bradikardia dan hipotensi sangat penting untuk meminimalkan risiko
terjadinya henti kardiopulmoner. Terapi awal dengan perbaikan kekurangan volume
dan pemberian atropin untuk profilaksis bradikardia. Dosis bertahap efedrin harus
diberikan untuk mengobati hipotensi. Selain itu, praktisi tidak perlu ragu untuk
menggunakan epinefrin dalam dosis kecil (5-10 g) untuk bradikardia atau hipotensi
yang tidak responsif terhadap atropin dan efedrin dan dalam dosis yang lebih besar
jika diperlukan. Jika henti kardiopulmoner terjadi, bantuan ventilasi, resusitasi
kardiopulmoner, dan dosis resusitasi maksimal atropin dan epinefrin harus diberikan
tanpa penundaan.(2,7,8)
3.3.5. Interaksi α-Agonis/β-Bloker Menyebabkan Henti Jantung
Literatur anestesi dari tahun 1980-an menggambarkan beberapa contoh
hipertensi berat menyebabkan gagal jantung kongestif dan serangan jantung pada
pasien dewasa yang mendapat pengobatan jangka panjang β-bloker dan menjalani
prosedur telinga, hidung, dan tenggorokan. Pasien umumnya umur pertengahan dan
semua menerima 8-40 mL anestesi lokal yang mengandung 1:100.000-1:200.000
epinefrin. Sebuah respon hipertensi / bradikardia segera terjadi sampai 15 menit post
injeksi. Rekomendasi dengan pengobatan β-bloker atau hydralazine selama fase
krisis akut. Selanjutnya, sebuah editorial di Archives of Otolaryngology mendalilkan
bahwa pada pasien yang diobati dengan nonselektif β-bloker, efek utama dari
epinefrin akan mengaktifasi reseptor β-bloker. Hal ini akan mengakibatkan hipertensi

19
mendalam dan bradikardia akibat aktivasi dari baroreseptor karotis dan peningkatan
sekunder parasimpatis. Karena reseptor 1-jantung diblokir, takikardia yang biasanya
disebabkan oleh epinefrin tidak terlihat, dan bolkade 2-reseptor menyebabkan
vasodilatasi perifer.(2,6,9)
Sejak saat itu, dokter telah mengganti dengan vasokonstriktor topikal yang
lain untuk memperbaiki kondisi lapangan bedah di berbagai prosedur. Pada bulan
Maret 2000, Fenilefrin Komite Penasehat New York State melaporkan masalah
pasien yang menerima pengobatan vasokonstriktor untuk hipertensi sekunder dengan
β-blocker. Sebuah tinjauan dari 22 kasus menunjukkan pola berulang :
vasokonstriktor topikal menyebabkan hipertensi yang mendalam dan yang diobati
dengan agent β-bloker mengakibatkan edema paru dan serangan jantung. Laporan
ini menunjukkan penggunaan β-blocker menyebabkan dampak yang lebih buruk
pada pasien.(1,2,10)
Pengobatan hipertensi sekunder dengan α-agonis tergantung pada respon
tingkat keparahan pasien. Respon hipertensi ringan sampai sedang dapat diobati, oleh
karena hal inilah dapat dipahami secara baik bahwa hipertensi terjadi secara
sementara. Respon hipertensi berat, dapat menyebabkan kerusakan end-organ secara
cepat khususnya iskemia miokard, dan oleh karena itu harus segera diobati dengan
agent α-bloker, seperti phentolamine, atau vasodilator langsung, seperti
nitroprusside. Penggunaan segera β-bloker dalam kasus ini tidak diindikasikan oleh
karena berpotensi menimbulkan bahaya.(2,8,10)
3.3.6. Kehilangan Pendengaran
Gangguan pendengaran perioperatif biasanya bersifat sementara dan subklinis
dan hilang dengan sendirinya. Insiden kehilangan pendengaran dengan frekuensi
rendah setelah pungsi dural setinggi 50%. Ini sebagai akibat kebocoran cairan
cerebrospinal (CSF) dan jika terjadi terus-menerus dapat diatasi dengan epidural
blood patch. Gangguan pendengaran setelah anestesi umum dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab dan susah untuk diprediksi. Untuk mengatasinya memerlukan
manipulasi bedah, barotrauma telinga tengah, cedera pembuluh darah, dan obat-
obatan ototoxicity (aminoglikosida, diuretik loop, obat antiinflamasi nonsteroid, dan
agen antineoplastik). Gangguan pendengaran setelah bypass cardiopulmonary

20
biasanya unilateral dan disebabkan karena emboli dan cedera iskemik pada organ
Corti.(2,9,10)

3.3.7. Dokumentasi Isu


Semua dokumentasi tentang evaluasi pra operasi, intraoperatif manajemen,
prosedur invasif dan perawatan paska operasi adalah “patient driven”. Semua catatan
anestesi dan catatan berikutnya adalah satu-satunya informasi yang akan tersedia jika
harus menghadapi masalah peradilan. Dalam beberapa kasus dokter mungkin tidak
menyadari hasil yang merugikan sampai beberapa minggu atau bulan kemudian.
Meskipun dapat menghemat waktu, menulis sebuah data dalam catatan anestesi
sebelum dilakukan tindakan ( misalnya, pasien diekstubasi dan tanda-tanda vital
stabil) sangat berarti bagi praktisi jika pasien nantinya menderita suatu peristiwa
yang merugikan. Acara dan setiap prosedur harus terdokumentasikan setelah
dikerjakan, notasi harus deskriftif sehingga menjadi sebuah catatan anestesi standar
yang yang dipakai dalam perawatan. Sebuah catatan yang terdokumentasikan dengan
baik dari hemodinamik stabil dengan variasi fisiologis normal mungkin menjadi
satu-satunya indikasi perawatan yang memadai tentang suatu peristiwa yang dapat
membuktikan anggapan bahwa jenis peristiwa tersebut bukan merupakan kecelakaan
anestesia. Seorang praktisi yang melakukan dokumentasi terhadap praktek anestesia
yang dikerjaka juga kadang mengalami kesalahan. Beberapa kesalahan umum yang
harus dihindari dalam dokumentasi praktek anestesia adalah :(2,4,9)
1. Melengkapi entri untuk suatu peristiwa sebelum peristiwa itu terjadi.
2. Deskripsi tentang prosedur dan manajemen yang tidak lengkap
3. Ketidakakuratan waktu diantara dua kejadian yang berbeda
4. Kehilangan data pasien yang kritis
5. Tidak lengkapnya atau kuranglengkapnya catatan terjadinya peristiwa
buruk.
6. Tidak adanya tanda tangan dokumen
7. Kegagalan untuk mendokumentasikan pertemuan dengan pasien atau
keluarganya
8. Kegagalan mendapatkan dokumen pendukung dari orang lain.
3.3.8. Reaksi Alergi

21
Hipersensitivitas (atau alergi) reaksi yang berlebihan merupakan respon
kekebalan terhadap rangsangan antigenik pada orang yang sebelumnya peka.
Antigen, atau alergen, mungkin protein, polipeptida, atau molekul yang lebih kecil
yang terikat dengan protein pembawa. Selain itu, alergen mungkin zat itu sendiri,
metabolit, atau produk pemecahan. Pasien dapat terkena antigen melalui hidung,
paru-paru, mata, kulit, dan saluran pencernaan, serta parenteral (intravena atau
intramuskular) dan transperitoneal.(2,6,8)
Tergantung pada antigen dan komponen sistem kekebalan tubuh yang
terlibat, reaksi hipersensitivitas secara klasik dibagi menjadi empat jenis (Tabel 6 ).
Dalam banyak kasus alergen, misalnya, lateks, dapat menyebabkan lebih dari satu
jenis reaksi hipersensitivitas. Tipe I reaksi antigen melibatkan lintas-link
imunoglobulin (Ig) antibodi E memicu pelepasan mediator inflamasi dari sel mast.
Dalam reaksi tipe II, komplemen-fixing (C1-binding) IgG antibodi mengikat antigen
pada permukaan sel, mengaktifkan jalur komplemen klasik dan melisiskan sel.
Contoh reaksi tipe II meliputi reaksi transfusi hemolitik dan heparin-induced
trombositopenia. Tipe III Reaksi terjadi ketika antigen-antibodi (IgG atau IgM)
kompleks imun disimpan dalam jaringan, mengaktifkan komplemen dan
menghasilkan faktor kemotaksis yang menarik neutrofil ke daerah tersebut. Neutrofil
diaktifkan menyebabkan cedera jaringan dengan melepaskan enzim lisosomal dan
produk beracun. Tipe III Reaksi termasuk reaksi serum sickness dan pneumonitis
hipersensitivitas akut. Tipe IV reaksi, sering disebut sebagai hipersensitivitas
tertunda, yang dimediasi oleh limfosit CD4 + T yang telah peka terhadap antigen
tertentu oleh paparan sebelumnya Contoh reaksi tipe IV adalah mereka yang
berhubungan dengan TBC, histoplasmosis, schistosomiasis, dan pneumonitis
hipersensitivitas serta beberapa gangguan autoimun seperti rheumatoid arthritis dan
granulomatosis Wegener.(2,9,10)
Tabel 6. Reaksi Hipersensitivitas.
Tipe I (langsung)
Atopi
Urticaria-angioedema
Anafilaksis
Tipe II (sitotoksik)
Reaksi transfusi hemolitik

22
Anemia autoimun hemolitik
Heparin induced trombositopenia
Tipe III (kompleks imum)
Reaksi arthus
Serum sickness
Akut pneumonitis trombositopenia
Tipe IV (lambat)
Dermatitis kontak
Tuberkulin tipe hipersensitivitas
Kronis pneumonitis trombositopenia

3.3.8.1. Reaksi Hipersensitivitas Segera


Paparan awal dari orang yang rentan terhadap antigen menginduksi sel T
CD4 untuk menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, dan granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor (GM-CSF). Limfokin ini mengaktifkan dan mengubah
limfosit B spesifik ke dalam sel plasma, yang menghasilkan antibodi spesifik
alergen-IgE. Bagian Fc dari antibodi ini kemudian berhubungan dengan reseptor
afinitas tinggi pada permukaan sel dari sel mast jaringan dan basofil. Selama
reexposure dengan antigen, ia mengikat bagian Fab antibodi IgE pada permukaan sel
mast, menginduksi degranulasi dan pelepasan mediator inflamasi lipid dan sitokin
dari sel mast. Hasil akhirnya adalah peningkatan kalsium intraseluler yang
menyebabkan degranulasi dari sel mast, pelepasan histamin, tryptase, proteoglikan
(heparin dan sulfat kondroitin), dan karboksipeptidase. Peningkatan kalsium
intraseluler juga mengaktifkan sintesis prostaglandin (terutama prostaglandin D2)
dan leukotriene (B4, C4, D4, E4, dan platelet-activating factor). Leukotrien disebut
sebagai substansi yang memperlambat reaksi anafilaksis. Mediator tambahan
termasuk neutrofil chemotactic factor of anaphylaxis (NCF), eosinofil chemotactic
factor of anaphylaxis (ECF-A), dan basofil kallikrein of anaphylaxis (BK-A). Sel
mast juga dapat melepaskan IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IFN-γ, TNF-α, dan GM-CSF.
Efek gabungan dari mediator ini dapat menghasilkan vasodilatasi arteriol,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sekresi lendir meningkat, kontraksi otot
polos, dan manifestasi klinis lain dari reaksi tipe I
Reaksi tipe I hipersensitivitas diklasifikasikan sebagai atopik atau nonatopik.
Gangguan atopik biasanya mempengaruhi saluran pernapasan dan kulit atau

23
termasuk rhinitis alergi, dermatitis atopik, dan asma alergi. Gangguan
hipersensitivitas nonatopik termasuk urtikaria, angioedema, dan anafilaksis, ketika
reaksi ringan mereka terbatas pada kulit (urticaria) atau jaringan subkutan
(angioedema), tetapi ketika parah, menjadi umum dan keadaan darurat yang
mengancam nyawa medis (anafilaksis). Lesi urtikaria memiliki karakteristik bercak
kulit baik yang dibatasi dengan batas eritema dengan tepi meninggi dan bagian pusat
terlihat pucat. Angioedema terlihat sebagai edema kulit nonpitting yang dalam akibat
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah subkutan. Ketika
angioedema luas, hal itu dapat dikaitkan dengan pergeseran cairan yang besar, ketika
terlokalisir pada mukosa faring atau laring, dengan cepat bisa membahayakan
jalan napas.(2,6,9)
3.3.8.2. Reaksi anafilaktik
Anafilaksis merupakan respon berlebihan terhadap alergen (misalnya,
antibiotik) yang dimediasi oleh tipe I reaksi hipersensitivitas. Sindrom ini muncul
dalam beberapa menit setelah paparan antigen tertentu pada orang yang peka dengan
ditandai gangguan pernapasan akut, syok, atau keduanya. Kematian biasanya terjadi
karena sesak napas atau syok sirkulasi ireversibel. Insiden reaksi anafilaksis selama
anestesi diperkirakan 1:5000 sampai 1:25.000 anestesi. Antibiotik adalah penyebab
paling umum dari reaksi anafilaksis, namun lateks juga menjadi penyebab yang
semakin penting.(6,9,10)
Mediator yang paling penting dari anafilaksis adalah histamin, leukotrien,
BK-A, dan platelet-activating factor. Mereka meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah dan kontraksi otot polos. H1-reseptor aktivasi kontraksi otot polos bronkus,
sedangkan H2-reseptor aktivasi vasodilatasi, sekresi lendir berlebihan, takikardia,
dan peningkatan kontraktilitas miokard. BK-A memotong bradikinin dari kininogen,
bradikinin meningkatan permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi dan
kontraksi otot polos. Aktivasi faktor Hageman dapat memicu koagulasi intravaskular
pada beberapa pasien. ECF-A, NCF, dan leukotriene B4 menarik sel inflamasi yang
memediasi cedera jaringan bertambah. Angioedema dari faring, laring dan trakea
menghasilkan obstruksi saluran udara bagian atas, sedangkan bronkospasme dan
edema mukosa menyebabkan obstruksi saluran napas bagian bawah. Histamin
menyababkan kontriksi saluran udara besar, sedangkan leukotrien mempengaruhi

24
saluran udara kecil. Transudasi cairan ke dalam kulit (angioedema) dan viscera
menghasilkan hipovolemia dan syok, sedangkan vasodilatasi arteriol menurunkan
resistensi vaskular sistemik. Hipoperfusi koroner dan hipoksemia menyebabkan
aritmia dan iskemia miokard. Leukotriene dan prostaglandin juga dapat
menyebabkan vasospasme koroner. Memperpanjang syok sirkulasi mengakibatkan
asidosis laktat progresif dan kerusakan iskemik pada organ vital lainnya. Tabel 7
merangkum manifestasi penting dari reaksi anafilaksis. Penting untuk dicatat bahwa
manifestasi kardiovaskular dan kulit merupakan fitur yang lebih umum dari
anafilaksis daripada bronkospasme selama anestesi.(2,8,10)
Tabel 7. Manifestasi Klinis Dari Anafilaksis.
Organ System Signs and Symptoms
Cardiovascular Hypotension,1 tachycardia, arrhythmias
Pulmonary Bronchospasm,1 cough, dyspnea, pulmonary edema, laryngeal
edema, hypoxia
Dermatological Urticaria,1 facial edema, pruritus
1
Tanda selama anestesia umum
3.3.8.3. Reaksi Anafilaktoid
Menyerupai anafilaksis tetapi tidak tergantung pada interaksi antibodi IgE
dengan antigen. Obat A bisa langsung melepaskan histamin dari sel mast (misalnya,
urtikaria oleh karena pemberian morfin sulfat dalam dosis tinggi) atau mengaktifkan
komplemen. Meskipun mekanisme berbeda, anafilaksis dan reaksi anafilaktoid dapat
dibedakan secara klinis dan sama-sama mengancam jiwa. Tabel 8 adalah penyebab
umum dan reaksi anafilaksis anaphylactoid. Insiden anafilaksis dan reaksi
anafilaktoid selama anestesi diperkirakan antara 1 dalam 3500 - 1 dalam
13.000.(2,9,10)
Tabel 8. Penyebab Anafilaksis dan Reaksi Anafilaktoid
Anaphylactic reactions against Venoms (Hymenoptera, fire ant, snake, jellyfish)
polypeptides Airborne allergens (pollen, molds, danders)
Foods (peanuts, milk, egg, seafood, grain)
Enzymes (trypsin, streptokinase, chymopapain,
asparaginase)
Heterologous serum (tetanus antitoxin, antilymphocyte
globulin, antivenin)
Human proteins (insulin, corticotropin, vasopressin,
serum and seminal proteins)

25
Latex
Anaphylactic reactions against Antibiotics (penicillin, cephalosporins, sulfonamides)
hapten carrier Disinfectants (ethylene oxide, chlorhexidine)
Local anesthetics (procaine)
Anaphylactoid reactions Polyionic solutions (radiocontrast medium, polymyxin B)
Opioids (morphine, meperidine)
Hypnotics (thiopental, propofol)
Muscle relaxants (curare, succinylcholine, atracurium)
Synthetic membranes (dialysis)
Nonsteroidal antiinflammatory drugs
Preservatives (sulfites, benzoates)
Protamine
Dextran
Steroids
Exercise
Idiopathic
1
Adapted, with permission, from Bochner BS, Lichtenstein LM: N Engl J Med 1991;324:1786.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya reaksi pada pasien meliputi usia
muda, kehamilan, atopi diketahui, dan paparan obat sebelumnya. Identifikasi
laboratorium pasien yang pernah mengalami reaksi alergi yang merugikan atau yang
mungkin sangat rentan terhadap reaksi sering dibantu dengan uji kulit intradermal,
pengujian degranulasi leukosit atau basofil (uji pelepasan histamin), atau pengujian
radioallergosorbent (RAST). Yang terakhir ini mampu mengukur tingkat obat-
antibodi spesifik IgE dalam serum. Pengukuran serum tryptase sangat membantu
dalam mengkonfirmasikan diagnosis dari reaksi anafilaksis. Pretreatment profilaksis
dengan antagonis reseptor histamin dan kortikosteroid mengurangi tingkat keparahan
reaksi. Pengobatan harus segera dan disesuaikan dengan tingkat keparahan reaksi.
Tabel 9. Terapi Anafilaksis dan Reaksi Anafilaktoid.(1,2,3,4)
Discontinue drug administration
Administer 100% oxygen
Epinephrine (0.01–0.5 mg IV or IM)1
Consider intubation or tracheostomy
Intravenous fluids (1–2 L lactated Ringer's injection)
Diphenhydramine (50–75 mg IV)
Ranitidine (150 mg IV)

26
Hydrocortisone (up to 200 mg IV) or methylprednisolone (1–2 mg/kg)
1
The dose and route of epinephrine depend on the severity of the reaction. An infusion of 0.001
mg/min may be necessary.
3.3.8.4. Reaksi Alergi Terhadap Obat Anestesia
Pada kenyataanya anafilaksis karena obat anestesi jarang terjadi, reaksi
anafilaktoid lebih umum terjadi. Faktor risiko yang terkait dengan hipersensitivitas
terhadap anestesi termasuk jenis kelamin perempuan, sejarah atopik, alergi yang
sudah ada sebelumnya, dan terpapar anestesi sebelumnya. Relaksan otot telah
muncul sebagai penyebab paling umum dari anafilaksis selama anestesi dengan
kejadian diperkirakan 1 dalam 6500 pasien. Dengan jumlah hampir 70% dari reaksi
anafilaksis perioperatif. Mekanismenya melibatkan langsung antibodi IgE terhadap
ion epitop yang ketiga dan keempat. Dalam banyak kasus, tidak ada paparan
sebelumnya terhadap relaksan otot. Penelitian menunjukkan bahwa obat yang dijual
bebas, kosmetik, dan produk makanan, banyak yang mengandung ion amonium
tersier atau kuaterner, dapat membuat individu menjadi lebih peka. Sebuah studi
Perancis menemukan bahwa, dalam urutan penurunan frekuensi, rocuronium,
succinylcholine, dan atrakurium yang paling sering bertanggung jawab, ini mungkin
mencerminkan kecenderungan terjadinya anafilaksis tergantung dari tingkat
keseringan memakainya.(1,2,10)
Meskipun jarang, agen hipnosis juga dapat bertanggung jawab untuk
beberapa reaksi alergi. Insiden anafilaksis untuk thiopental dan propofol adalah 1
dalam 30.000 dan 1 dalam 60.000. Reaksi alergi terhadap etomidate, ketamin, dan
benzodiazepines kejadianya sangat langka. Pada kenyataanya reaksi anafilaksis
akibat opioid jauh lebih umum daripada pelepasan histamin nonimmune. Demikian
pula, reaksi anafilaksis terhadap anestesi lokal jauh kurang umum daripada reaksi
vasovagal, reaksi toksik, dan efek samping dari epinephrine. Anafilaksis akibat
anestesia lokal golongan ester yang dimediasi oleh Ig-E lebih sering terjadi
dibandingkan dengan anafilaksis akibat anestesi lokal golongan amide yang sangat
jarang. Tidak ada laporan anafilaksis oleh karena anestesi volatil.(2,5,6,8,10)
3.3.8.5. Alergi Lateks
Tingkat keparahan reaksi alergi terhadap produk yang mengandung lateks
berkisar dari dermatitis kontak ringan sampai anafilaksis yang mengancam nyawa.
Alergi lateks adalah penyebab paling umum kedua anafilaksis selama anestesi.

27
Reaksi yang paling serius dengan melibatkan secara langsung respon imun IgE
terhadap polipeptida dalam lateks alami, meskipun beberapa kasus dermatitis kontak
terjadi karena reaksi tipe IV, reaksi sensitivitas terhadap bahan kimia yang
ditambahkan dalam proses pembuatanya. Paparan kronis lateks dan riwayat atopi
meningkatkan risiko sensitisasi. Perawat kesehatan dan pasien yang sering menjalani
prosedur dengan item lateks (misalnya, kateterisasi kandung kemih berulang,
pemeriksaan barium enema) harus dipertimbangkan terjadinya peningkatan resiko.
Antara 5% dan 17% dari pekerja perawat kesehatan diperkirakan alergi terhadap
lateks. Pasien dengan spina bifida, cedera tulang belakang, dan kelainan bawaan
pada saluran genitourinari memiliki insiden yang sangat tinggi alergi lateks. Insiden
anafilaksis lateks pada anak-anak diperkirakan 1 dalam 10.000. Riwayat gejala
alergi lateks harus dicari pada semua pasien selama wawancara pre-anestesia.
Makanan yang bereaksi silang dengan lateks meliputi mangga, kiwi, cokelat,
avacado, markisa, dan pisang.(2,8,9,10)
Reaksi anafilaksis terhadap lateks mungkin membingungkan dengan reaksi
terhadap zat lain (misalnya, obat-obatan, produk darah) karena timbulnya gejala
dapat tertunda selama lebih dari 1 jam setelah paparan awal. Pengobatan sama
dengan bentuk-bentuk lain dari reaksi anafilaksis. Skin-prick tests, intradermal tests,
basophil histamin-release tests, dan RAST telah digunakan untuk mengevaluasi
pasien berisiko tinggi. Mencegah reaksi pada pasien yang peka termasuk profilaksis
farmakologi dan menghindari mutlak lateks. Administrasi preoperative H1 dan H2
antagonis histamin dan steroid dapat memberikan perlindungan, meskipun
penggunaannya masih kontroversial. Meskipun semakin banyak peralatan anestesi
yang bebas dari lateks, beberapa masih mungkin mengandung lateks, misalnya,
sarung tangan, torniket, ventilator, port injeksi intravena, dan masker wajah yang
dapat digunakan kembali. Reaksi alergi bahkan telah didokumentasikan dari inhalasi
antigen lateks yang terkandung dalam bubuk sarung tangan aerosol. Produsen lateks
yang memproduksi peralatan medis harus memberi label pada produk mereka. Only
devices specifically known not to contain latex (eg, polyvinyl or neoprene gloves,
silicone endotracheal tubes or laryngeal masks, plastic face masks) can be used in
these patients.(2,5,7)
3.3.8.6. Alergi Terhadap Antibiotika

28
Pada kenyataanya terjadi banyak alergi obat pada pasien yang menjalani
prosedur pembedahan yang disebabkan oleh antibiotik, terutama β-laktam antibiotik,
seperti penisilin dan sefalosporin. Meskipun 1-4% dari pemberian β-laktam
menyebabkan reaksi alergi, hanya 0,004-0,015% dari reaksi ini menghasilkan
anafilaksis. Dalam perspektif yang sama, sampai dengan 2% dari populasi umum
alergi terhadap penisilin, tetapi hanya 0,01% dari pemberian penisilin menyebabkan
anafilaksis. Cephalosporin sensitivitas silang pada pasien dengan alergi penisilin
diperkirakan 2-7%, tetapi riwayat reaksi anafilaksis terhadap penisilin meningkatkan
tingkat reaktivitas silang sampai dengan 50%. Pasien dengan riwayat reaksi
anafilaksis terhadap penisilin tidak boleh diberikan cephalosporin. Alergi
sulfonamide juga relatif umum pada pasien bedah. Obat sulfa termasuk antibiotik
sulfonamide, furosemid, hidroklorotiazid, dan captopril. Untungnya, frekuensi
reaktivitas silang antara agen-agen tersebut rendah.(2,9,10)
Seperti sefalosporin, vankomisin umumnya digunakan untuk profilaksis
antibiotik pada pasien bedah. Sayangnya, hal ini sering dikaitkan dengan efek
samping. Reaksi anafilaktoidd jenis, "red man syndorme," terdiri dari pruritus yang
hebat, flushing, dan eritema pada bagian kepala, sering dengan hipotensi arteri,
sindrom ini mungkin berhubungan dengan kecepatan pemberian obat atau memang
benar alergi dengan obat tersebut. Hipotensi sistemik terisolasi adalah efek samping
yang jauh lebih sering terjadi dan dimediasi oleh pelepasan histamin karena
pretreatment dengan antihistamin H1 dan H2 dapat mencegah hipotensi walaupun
dengan pemberian secara cepat.(1,2,10)
3.3.9. Bahaya Yang Berhubungan Dengan Pekerjaan Dalam Anestesiologi
3.3.9.1. Paparan Kronis Gas Anestesia
Pernyataan bahwa ahli anestesi menghabiskan lebih banyak waktu di ruang
operasi daripada dibandingkan kelompok dokter lainnya. Hal ini menyebabkan
tingginya paparan risiko terhadap lingkungan ruang operasi, seperti efek jangka
panjang potensi gas anestesi. Untungnya, tidak ada bukti yang jelas bahwa paparan
terhadap agen anestesi menyebabkan bahaya kesehatan bagi personil kamar operasi.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja Amerika Serikat terus menetapkan konsentrasi
maksimum paparan yang diterima kurang dari 25 ppm untuk nitrous oxide dan 0,5
ppm untuk anestesia halogen (2 ppm jika agen terhalogenasi digunakan sendiri).

29
Untuk mencapai level yang rendah tergantung pada peralatan pendeteksi, ventilasi
ruang operasi yang memadai, dan teknik anestesi yang bertanggung jawab.
Kebanyakan orang tidak bisa mendeteksi bau bahan yang mudah menguap pada
konsentrasi kurang dari 30 ppm (nitrous oxide pada dasarnya tidak berbau). Tanpa
sistem pendeteksi yang baik, konsentrasi gas anestesi bisa mencapai 3000 ppm untuk
nitrous oxide dan 50 ppm untuk bahan yang mudah menguap. (2,4,7)
3.3.9.2. Penyakit Infeksi
Sebagai pekerja rumah sakit seorang ahli anestesi juga mudah terpapar oleh
berbagai penyakit infeksi yang terdapat di lingkungan rumah sakit antara lain :
infeksi saluran nafas dengan penyebab virus, rubella, TBC, HIV-AIDS, Hep B, Hep
C.(2,4)
3.3.9.3. Penyalahgunaan Zat Kimia
Anestesiologi adalah spesialisasi dengan risiko tinggi untuk kecanduan obat.
Alasan untuk hal ini mencakup stres praktek anestesi, ketersediaan mudah obat
dengan potensi kecanduan, dan rasa ingin tahu terangsang oleh euforia pasien setelah
menerima opioid dan obat penenang. Kemungkinan penyalahgunaan zat meningkat
seiring dengan bertambahnya masalah pribadi dalam kehidupan (misalnya, masalah
perkawinan, kesulitan keuangan), dan riwayat keluarga alkoholisme atau kecanduan
narkoba.(2,4,10)
3.3.9.4. Terpapar Radiasi
Penggunaan intraoperatif peralatan pencitraan (misalnya, fluoroskopi) dan
ditambah kehadiran prosedur radiologi (misalnya, radiologi intervensi) memberikan
paparan yang tinggi dari radiasi pengion pada seorang anesthesiologist. Dua metode
yang paling penting untuk meminimalkan paparan adalah dengan menggunakan
pelindung yang tepat dan memaksimalkan jarak dari sumber radiasi. Menggunakan
apron atau celemek dengan perisai tiroid adalah perlindungan wajib bagi semua
karyawan yang bekerja di lingkungan pencitraan. Hukum kuadrat terbalik
menyatakan bahwa jumlah radiasi berubah berbanding terbalik dengan kuadrat jarak.
Sehingga paparan pada 4 meter menjadi 1/16 pada jarak 1 meter. Maksimum yang
disarankan paparan seluruh tubuh terhadap radiasi adalah 5 rem / tahun. Hal ini dapat
dipantau dengan memakai lencana eksposur.(7,8)
3.4. Kematian Karena Anestesi.

30
Dalam penelitian selama 10 tahun (1967-1976), harrison mendapatkan bahwa
kematian yang timbul dengan adanya faktor anestesia didalamnya dapat dilihat pada
tabel 10.(4,7,10)
Tabel 10. Penyebab Kematian dimana Anestesi sebagai salah satu faktor penyebab.

Dalam menilai hasil tersebut di atas harus diingat bahwa survey tersebut dilakukan
dengan menggunakan obat-obat anestesi pada tahun 1960. Namun demikian hasil
tersebut masih mempunyai makna karena dapat dicermati bahwa penyebab utama
adalah kesulitan intubasi, inadekuat pernafasan, inadekuat perawatan pasca operasi
dan hipovolemia. Dari sini dapat dilihat bahwa pencatatan tentang kecelakaan dalam
anestesia tidak diamati secara khusus pada penelitian ini.(2,7,9,10)
Ilustrasi tentang bagaimana opini publik , faktor sosial-budaya , dan rumor
menentukan persepsi di Amerika Serikat dan Negara Eropa Barat memperlihatkan
kematian akibat anestesi umum jika dibandingkan dengan kematian akibat proses
kehamilan dan yang lainya adalah peluang kematian akibat kehamilan di Amerika
Serikat atau Eropa Barat adalah 5-10 kematian per 100.000 kelahiran hidup (0,005-
0,01 %), peluang kematian akibat anestesi umum saja adalah kurang dari 11-16
kematian per 100.000 orang , tergantung pada kesehatan umum orang yang
menjalani proses anestesi (0,01-0,016 %), peluang kematian akibat komplikasi yang
dihasilkan dari operasi histerektomi adalah 120 sampai 160 kematian per 100.000
operasi (0,12-0,16 %), peluang kematian akibat komplikasi yang dihasilkan operasi
kandung empedu adalah 150-1.400 kematian per 100.000 operasi, tergantung pada
kesehatan dan teknik operasi (0,15-1,4 %), peluang kematian akibat komplikasi yang

31
dihasilkan dari operasi kanker pada usus besar adalah 800-5.000 kematian per
100.000 operasi , tergantung pada kesehatan dan teknik operasi (0,8-5,0 % ).
Kematian berdasarkan status fisik (ASA) dapat dilihat pada tabel 11. (8, 10)
Tabel 11. Mortalitas Akibat Anestesi dan Pembedahan Berdasarkan Status Fisik
ASA(8)

Pada tabel terlihat jelas bahwa individu yang tidak sehat lebih mungkin untuk
meninggal akibat anestesi dan operasi dibandingkan individu yang sehat.
3.5. Pencegahan
Strategi untuk mengurangi kejadian komplikasi anestesi serius termasuk
pemantauan yang lebih baik dan teknik anestesi, pendidikan meningkat, protokol
yang lebih komprehensif dan standar praktik, dan program manajemen risiko aktif.
Baik pemantauan dan anestesi teknik menyiratkan kontak dekat pasien, peralatan
pemantauan yang lebih komprehensif, dan mesin anestesi yang lebih baik dirancang
dan ruang kerja. Fakta bahwa sebagian besar kecelakaan terjadi selama tahap
pemeliharaan anestesi daripada selama induksi atau munculnya menyiratkan
kegagalan kewaspadaan. Inspeksi, auskultasi, dan palpasi pasien memberikan
informasi penting. Instrumen harus dilengkapi tetapi tidak pernah menggantikan
indra seeorang anestesi. Untuk meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat, obat
jarum suntik dan ampul di area kerja harus dibatasi hanya yang dibutuhkan untuk
kasus, saat tertentu. Mereka harus konsisten diencerkan dengan konsentrasi yang
sama untuk digunakan masing-masing dan diberi label yang jelas. Sistem komputer
untuk pemindaian bar-kode label obat yang sedang dikembangkan untuk membantu
mengurangi kesalahan pengobatan.(8,10)
Tujuan utama dari Masyarakat untuk Pendidikan di Anestesi adalah untuk
meningkatkan pelatihan penduduk. Tentu saja, pendidikan harus terus melampaui

32
residensi sebagai obat baru, teknik, dan peralatan yang terus-menerus dikembangkan.
Bagian dari persyaratan pendidikan berkelanjutan meliputi kesadaran standar
pemantauan terbaru, keakraban dengan peralatan baru, dan teknik pemanfaatan yang
telah terbukti meningkatkan hasil anestesi.(4,8,10)
Manajemen risiko dan program-program berkualitas perbaikan terus-menerus
di tingkat departemen dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas anestesi dengan
mengatasi standar pemantauan, peralatan, pedoman praktek, pendidikan
berkelanjutan, dan masalah kepegawaian. Tanggung jawab spesifik dari per-review
komite termasuk mengidentifikasi dan mencegah potensi masalah, merumuskan dan
merevisi kebijakan departemen secara berkala, memastikan ketersediaan peralatan
anestesi berfungsi, menegakkan standar yang diperlukan untuk hak klinis, dan
mengevaluasi kelayakan perawatan pasien. Sebuah sistem perbaikan mutu memihak
ulasan komplikasi, memastikan kepatuhan dokter, dan terus memonitor indikator
kualitas.(2,8,10)
Pemeriksaan Pre-Operatif
Pemantauan dalam anestesia bermula sejak pemeriksaan pre-operatif. Untuk
memperkecil timbulnya situasi yang tidak disuga sebelumnya, yang mana dapat
mencetuskan timbulnya kejadian kritis atau keceakaan, diperlukan pemriksaan pre-
operatif yang cukup teliti. Berikut pemeriksaan minimal yang dianjurkan pada pasien
yang akan menjalani anestesia.(2,6,9)
Anamnesa
1. Identitas
2. Riwayat operasi dan penyakit sebelumnya
3. Penyulit pada anestesia sebelumnya, juga dari keluarga
4. Adanya nyeri dada
5. Riwayat alergi
6. Kesulitan bernafas, termasuk batuk, sputum, asthma, merokok
7. Toleransi pada latihan
8. Obat-obatan yang diminum
9. Hasil konsultasi dari spesialisasi lain
10. Reflux
11. Hasil trombosis vena

33
12. Kehamilan
Pemeriksaan Penunjang
1. Haemoglobin
2. Golongan darah
3. Elektrolit, urea dan kreatinin
4. ECG
5. Thorax photo
6. Analisa Gas Darah
7. Tes Fungsi Paru
Pemantauan Minimal selama naestesia
Pemantauan Mesin minimal
- Alarm aliran oksigen
- Oksigen analizer
- Alarm putusnya hubungan ke ventilator
Pemantauan Pasien Minimal
- Keberadaan anestesiolog dalm anestesia
- Pulsa nadi meter atau stetoskop prekordial
- Pengamatan kantong reservoar pada pernafasan spontan
- Alarm putusnya hubungan ke ventilator
- Pulse oksimeter
- EKG monitor
- Pengukur suhu tubuh
Penatalaksanaan dan Pencegahan
Tahap terpenting dalam pencegahan timbulnya suatu kejadian kritis adalah
memahami bahwa kejadian atau prilaku tidak aman dapat dan mungkin berkembang
menjadi suatu kejadiaan kritis kecuali segera disadari dan dilakukan koreksi. Penting
untuk dipahami bahwa suatu keadaan kritis dapat timbul, juga pada seorang
anestesiolog terbaik sekalipun, karena adanya pengaruh faktor-faktor lain seperti
pasien, operasi itu sendiri dan juga sistem secara keseluruhan.(2,9,10)
Langkah selanjutnya adalah putusan yang segera harus dibuat untuk meyakini
situasi apa yang sebenarnya terjadi. Umumnya pemeriksaan ulang sirkuit nafas
(langkah ABC) akan dapat menegakkan diagnosis kerja, dan memungkinkan

34
dilakukanya pemberian terapi yang sesuai dengan segera. Langkah ketiga asalah
usaha mencari bantuan, untuk menegakkan diagnosa kerja, penatalaksanaan dan juga
pencatatan data. Keempat adalah melanjutkan penatalaksanaan yang telah dilakukan
sesuai dengan protokol yang ada, seperti pada kondisi malignant hypertermi,
kesulitan intubasi dan sebagainya.Kelima yaitu perlunya suatu penilaian ulang
terhadap tindakan/resusitasi yang telah dilakukan. Kadang kala perlu adanya “mata
yang masih segar” (fresh eye), yaitu seseorang yang tidak terlibat (fisik dan
psikologis) dengan kasus yang sedang dihadapi dari awal.(2,8,10)

35
BAB IV
KESIMPULAN

Anestesi adalah suatu sistem yang kompleks, berpusat pada interaksi antara
manusia (anestesiolog, pasient), mesin (mesin anestesi, alat pemantau) dan
lingkungan (ahli bedah, perawat, ruang operasi dan kebijaksanaan rumah sakit).
Selain itu anestesia juga merupakan suatu sistem yang dinamis, terdiri dari
komponen struktural (peralatan dan personil), komponen prosedural (anestesia dan
operasi) serta komponen hasil/keluaran (yaitu apa yang diharapkan). Hasil yang
didapat bergantung dan interaksi tiap komponen (faktor aktif) dan kedaan dalam
sistem itu sendiri (faktor laten). Pada kondisi normal dari sistem anestesia, banyak
kesalahan dapat timbul yang umumnya disebabakan karena faktor performa manusia.
Diharapkan adanya suatu sistem pertahan sistem pertahanan dan sistem anestesi ini
agar hasil yang didapat oleh pasien tetap optimal.
Dalam anestesia diperlukan pemeriksaan dan pemantauan yang mempunyai
yang mempunyai batasan minimal sejak pemeriksaan pre-operatif hingga pasca
operasi, mengingat kemungkinan timbulnya kematian yang disebabkan oleh
anestesia dapat terjadi hingga 24 jam setelah selesai menjalani anestesia.
Pemahaman tentang pentingnya setiap komponen dalam sistem, terutama faktor
manusiawi, sangat diperlukan untuk mengenali dan mencegah terjadinya kejadian
kritis dan kecelakaan dalam naestesiua dan juga untuk mengembangkan keamanan
dalam anestesia.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan G, Mikhail M, Murray M. Clinical Anesthesiologi, Edisi 4. Lange


medical books/McGraw Hill:USA, 2006. Bab 46, hlm 959-978
2. Longnecker D, Brown D, Newman M, Zapol W. Anesthesiology. McGraw
Hill:USA, 2008. Bab 3, hlm 20-37.
3. Khotari D, Gupta S, Khotari S. Medication error in anaesthesia and critical
care : A cause for concern. Indian J Anaesth. 2010.
4. Dunn, Peter F, editors. Safety in anesthesia. Clinical anesthesia procedures of
massachusetts general hospital, Edisi 7. 2007.
5. Staender K, Whitaker DK, Mellin-Olsen J. The helsinki declaration on patient
safety in anaesthesiology. Special article. 2010
6. Gufta S, Naithani U, Brajesh SK. Critical incident reporting in anaesthesia :
A prospective internal audit. Indian J Anaesth. 2009.
7. Miller RD, editors. Miller’s Anesthesia, edisi 7. Churchill Livingstone:USA,
2010. Bab 22, hlm 795-823.
8. Woerlee GM. Is General anesthesia safe ?. 2013 Mar. Available from URL :
www.anesthesiaweb.org/risk.php.. Accessed September 2013
9. Lees J, Bartholomeusz L. Safe anaesthesia. Edisi 3, 2006. Bab 46, hlm 503-
528
10. John L. Atlee. Complications in anesthesia, edisi 2. Saunders:USA. 2007.

40

Anda mungkin juga menyukai