Laporan Kajian Gempa Wilayah Gorontalo 2018
Laporan Kajian Gempa Wilayah Gorontalo 2018
Gorontalo terletak pada lengan utara pulau sulawesi dan merupakan bagian dari
semenanjung Minahasa. Daerah ini berbatasan langsung dengan provinsi Sulawesi Utara pada
bagian timur, provinsi Sulawesi Tengah pada bagian barat, Laut Sulawesi sebelah utara, dan
perairan Teluk Tomini sebelah selatan. Provinsi Gorontalo tercatat memiliki wilayah seluas
12.215,44 km persegi dan kepadatan penduduk mencapai 85 jiwa per km persegi.
Grorontalo memiliki tingkat keaktifan seismisitas yang cukup tinggi. Hal ini dikarenakan
Gorontalo berada dekat dengan dua zona penujaman lempeng. Di utara Gorontalo terdapat
subduksi Laut Sulawesi. Selain itu Gorontalo dekat dengan zona subduksi Laut Maluku dan
sesar Sula-Banggai. Selain itu, di wilayah Gorontalo juga terdapat sejumlah sesar yang
keberadaannya masih harus diteliti lebih lanjut.
1
BAB II
KONDISI GEOLOGI DAN SESAR DI WILAYAH GORONTALO
2
Secara geografis Provinsi Gorontalo sebagian besar perbukitan yang secara keseluruhan
Provinsi Gorontalo tercatat memiliki wilayah seluas 12.215,44 km persegi dan kepadatan
penduduk mencapai 85 jiwa per km persegi.
Wilayah Gorontalo ditinjau secara geologis mengacu dari Sompotan (2012) tergolong
dalam wilayah Mandala Barat (West & North Sulawesi Plutonic Arc), yaitu sebagai jalur
magmatik yang merupakan bagian ujung timur paparan Sunda. Mandala Baray memanjang
dari lengan utara sampai dengan lengan selatan pulau Sulawesi. Secara umum busur ini terdiri
dari batuan vulkanik-plutonik berusia Paleogen-Kuarter dengan batuan sedimen berusia
Mesozoikum-Tersier dan batuan malihan. Van Leeuwen (1994) menyebutkan bahwa wilayah
Mandala Barat sebagai busur magmatik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bagian utara dan
bagian barat. Bagian utara memanjang dari Buol sampai sekitar Manado, dan bagian barat dari
Buol sampai sekitar Makassar.
Busur Sulawesi Utara (Mandala Barat Bagian Utara) mencakup Provinsi Sulawesi Utara
dan Gorontalo, memanjang sekitar 500 km dari 121°BT - 125°20’ BT dengan 50 – 70 km dan
memiliki ketinggian lebih dari 2065 m. Daerah Gorontalo yang merupakan bagian dari lajur
volkano-plutonik Sulawesi Utara yang dikuasai oleh batuan gunung api Eosen – Pliosen dan
batuan terobosan. Daerah ini berbatasan langsung dengan provinsi Sulawesi Utara pada bagian
timur, provinsi Sulawesi Tengah pada bagian barat, Laut Sulawesi sebelah utara, dan perairan
Teluk Tomini sebelah selatan. Topografi gorontalo di dominasi oleh perbukitan terjal dan
terdapat cekungan danau Limboto yang dikontrol oleh sesar gorontalo. Berdasarkan Peta
Geologi lembar Tilamuta (Bachri,1993), Pegunungan Utara yang memanjang dari Tilongkabila
hingga Boliyohuto umumnya didominasi oleh batuan gunung api miosen-pliosen berupa diorit
, granodiorit, hingga granit. Pegunungan selatan umunya berupa Batuan beku lebih tua (Eosen-
oligosen) berupa batuan beku basa (mafik) diselingi dengan batuan sedimen klastik maupun
3
gamping dan sebagian telah bermetamorfosis. Terdapat dua cekungan yaitu cekungan Danau
Limboto dan cekungan Paguyaman yang didominasi oleh sedimen.
Pembentukan batuan gunung api dan sedimen di daerah penelitian berlangsung relatif
menerus sejak Eosen – Miosen Awal sampai Kuarter, dengan lingkungan laut dalam sampai
darat, atau merupakan suatu runtunan regresif. Pada batuan gunung api umumnya dijumpai
selingan batuan sedimen, dan sebaliknya pada satuan batuan sedimen dijumpai selingan batuan
gunung api, sehingga kedua batuan tersebut menunjukkan hubungan superposisi yang jelas.
Ada beberapa formasi yang terbentuk pada wilayah Gorontalo, antara lain Formasi Randangan
yang terbentuk pada masa Miosen Tengah – Pliosen Awal dan Formasi Lokodidi di wilayah
barat-tengah Kabupaten Pohuwato, Formasi Dolokapa di wilayah Tolinggula memanjang ke
arah Buol, Formasi Batuan Bilungala di wilayah Suwawa dan Bulango, Kab. Bone Bolango,
Fasies gunung api Formasi Tinombo diduga merupakan batuan ofiolit, sedangkan batuan
gunung api yang lebih muda merupakan batuan busur kepulauan berada di wilayah Boalemo
bagian selatan memanjang ke sebelah timur di wilayah Kabupaten Gorontalo, dan Formasi
Batuan Pinogu yang di bagian timur Bone Bolango. Geologi umum daerah Kabupaten
Boalemo dan Kabupaten Gorontalo disusun oleh batuan dengan urutan stratigrafi sebagai
berikut :
1. Batuan beku, berupa : Gabro, Diorit , Granodiorit, Granit, Dasit dan Munzonit Kuarsa.
2. Batuan proklastik, berupa : Lava basalt, Lava andesit, Tuf, Tuf Lapili dan Breksi
gunungapi.
3. Batuan sedimen, berupa Batupasir wake, batulanau, batupasir hijau dengan sisipan
batugamping merah, batugamping klastik dan batugamping terumbu. Endapan Danau,
Sungai Tua, dan endapan alluvial.
Batuan bagian utara yang melewati wilayah Gorontalo bersifat ridasitik sampai andesitik,
terbentuk pada Miosen-Resen dengan batuan dasar basaltik yang terbentuk pada Eosen –
Oligosen. Pada lengan Utara pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari semenanjung
Minahasa. Daerah ini berbatasan langsung dengan provinsi Sulawesi Utara pada bagian timur,
provinsi Sulawesi Tengah pada bagian barat, Laut Sulawesi sebelah utara, dan perairan Teluk
Tomini sebelah selatan. Topografi Gorontalo di dominasi oleh perbukitan terjal dan terdapat
cekungan danau Limboto yang dikontrol oleh sesar Gorontalo. Berdasarkan Peta Geologi
lembar Tilamuta (Bachri,1993), Pegunungan Utara yang memanjang dari Tilongkabila hingga
Boliyohuto umumnya didominasi oleh batuan gunung api miosen-pliosen berupa diorit ,
granodiorit, hingga granit. Pegunungan selatan umunya berupa Batuan beku lebih tua (Eosen-
4
oligosen) berupa batuan beku basa (mafik) diselingi dengan batuan sedimen klastik maupun
gamping dan sebagian telah bermetamorfosis. Terdapat dua cekungan yaitu cekungan Danau
Limboto dan cekungan Paguyaman yang didominasi oleh sedimen.
Terdapat tiga unsur struktur utama tektonik lempeng di Sulawesi bagian Utara, tiga
struktur tersebut antara lain adalah :
a. Zona subduksi di Laut Sulawesi yang terbentuk sebagai interaksi antara lempeng Eurasia
yang menunjam ke bawah lempeng Indo-Australia. Zona subduksi ini membentang di
sepanjang lengan utara Sulawesi, meliputi Sulawesi Utara, Gorontalo, dan wilayah
Sulawesi Tengah bagian utara. Zona subduksi ini termasuk ke dalam sistem penunjaman
yang relatif tua (dying subduction) yang robekannya berkembang ke arah timur sepanjang
tepian utara Sulawesi dengan sudut kemiringan sekitar 14° dan zona Benioff menunjam
sampai kedalaman 170 – 180 km dengan sudut kemiringan slab sekitar 45° (Kertapati,
2006). Aktivitas zona subduksi ini menyebabkan banyak kejadian gempabumi di sekitar
pesisir Laut Sulawesi, khususnya wilayah Gorontalo Utara dengan kedalaman dangkal
5
hingga di wilayah daratan Gorontalo hingga Teluk Tomini di sebelah selatan Gorontalo
dengan kedalaman menengah.
b. Zona Tunjaman Busur Sangihe sebagai bagian dari sistem tumbukan ganda (double
subduction) Laut Maluku selain busur Halmahera. Zona tumbukan ini memiliki struktur
geologi yang paling rumit dimana lempeng mikro Laut Maluku hampir seluruhnya
tersubduksi dan berada di antara tiga lempeng konvergen, yaitu Eurasia, Pasifik, dan
Filipina. Busur Sangihe ini memiliki mekanisme sesar normal dengan pergerakan 13
mm/tahun dengan panjang kurang lebih 567 km dengan potensi magnitudo maksimumnya
mencapai Mw = 8.47. Aktivitas dari busur Sangihe seringkali menimbulkan gempabumi
dengan kedalaman dangkal di wilayah busur kepulauan Siau dan kedalaman menengah
hingga dalam di wilayah Laut Maluku, Semenanjung Minahasa, hingga Teluk Tomini
yang berdekatan dengan wilayah Bolaang Mongondow Selatan hingga ke Bone Bolango
bagian timur.
c. Sesar-sesar aktif di daratan Gorontalo. Ada beberapa sesar aktif yang membentuk dataran
Gorontalo, seperti Sesar Gorontalo yang membentang dari arah Barat laut Gorontalo Utara
memotong daratan Gorontalo hingga ke arah Tenggara di wilayah Gorontalo Selatan
hingga perairan Teluk Tomini dengan mekanisme sesarnya adalah sesar menganan (right
lateral strike-slip). Berdasarkan hasil penelitian Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010,
sesar Gorontalo memiliki pergerakan sejauh 11 mm/tahun dengan panjang sesar sekitar 93
km dengan potensi magnitudo maksimumnya mencapai Mw = 7.06. Menurut T.Apandi
dan S.Bachri (1997) sesar Gorontalo yang menghasilkan fault trap dan kemudian
membentuk depresi graben dengan memotong struktur yang terbentuk sebelumnya. Jalur
sesar Gorontalo ini juga menjadi pemicu timbulnya manifestasi panas bumi pada daerah
panas bumi Suwawa. Selain sesar Gorontalo, ada beberapa sesar-sesar lainnya yang belum
diberi nama (penamaan dilakukan mandiri berdasarkan wilayah yang dilewatinya) yang
memiliki historis kejadian gempabumi, seperti sesar Tibawa yang terletak sejajar dengan
sesar Gorontalo, sesar Tolinggula-Tilamuta yang berarah baratlaut dari Gorontalo Utara
membentang ke arah tenggara di wilayah Boalemo, sesar Taluditi yang berarah timur-barat
melintasi wilayah Kec. Taluditi Kab. Pohuwato, sesar Bolango yang berarah timur-barat
melintasi wilayah Bulango Utara – Bone Bolango, dan sesar Pinogu yang berarah timur
laut-barat daya di wilayah perbukitan Bone Bolango bagian timur.
6
BAB III
3.1 Alat
Dalam pengamatan aktivitas gempa bumi di wilayah Gorontalo, digunakan beberapa
sensor seismik yang berasal dari jaringan grup Libra (Indonesia), GFZ (Jerman), Jisnet
(Jepang) dan CEA (CIna) yang terhimpun dalam perangkat lunak Seiscomp. Sensor tersebut
terdiri dari tiga sensor yang terletak di wilayah administrasi Gorontalo (GTOI, SMSI, MRSI)
serta beberapa sensor di luar wilayah Gorontalo untuk mengoptimalkan hasil parameter gempa
bumi yang diperoleh. Selain itu, untuk membantu pengamatan gempa bumi lokal dengan
magnitudo yang cukup kecil digunakan sensor seismik independen short period yang
dioprasikan secara mandiri dengan kode stasiun GTSI.
Data gempa bumi yang diperoleh dalam periode dua tahun terakhir (2016 – 2018)
dipadukan dengan data yang diperoleh dari repositori BMKG selama periode tahun 2009
7
hingga 2015 dengan rentang wilayah 119o – 126 BT 2 LS – 4 LU. Data tersebut kemudian
menjadi acuan dalam menentukan tingkat keaktifan tiap patahan. Selain itu, kajian dari literatur
juga diperlukan untuk mendukung hasil analisis gempa bumi.
8
BAB IV
HASIL DAN KAJIAN
Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, Data Gempa 2009-2015
menggunakan data repositori BMKG karena Stasiun Geofisika Gorontalo belum mempunyai
perangkat untuk melokalisasi gempa secara pasti. Baru sejak Januari 2016 pengamatan gempa
sudah menggunakan Metoda Multistation memanfaatkan jaringan INA-TEWS ditambah satu
seismometer short period. Sejak 2016, Stageof Gorontalo berhasil mencatat gempa sebanyak
3400 even. Gempa yang berhasil ditentukan parameternya menggunakan multi-station
sebanyak 3046 even. Tidak semua gempa bisa dideterminasi menggunakan multi-station
karena gempa terlalu kecil (biasanya magnitudo di bawah 1.5), Jaringan gempa kurang rapat,
dan ketersediaan data dari jaringan INA TEWS tidak menerus.Gempa tersebut dicari
parameternya semaksimal mungkin menggunkan metoda single-station menggunakan program
DIMAS-WGSNPlot semaksimal mungkin. Hanya Gempa yang terdeteksi pada salah satu
Stasiun GTOI, SMSI, atau MRSI saja yang ditentukan. Biasanya gempa sangat lokal
mempunyai onset gelombang yang sangat jelas. Dari penentuan tersebut didapatkan jumlah
gempa sebanyak 354.
Data Gempa yang berhasil dikumpulkan mempunyai rentang RMS antara 0-6 . Semakin
kecil nilai RMS semakin besar tingkat kepastian lokasi hiposenter gempa. Data Gempa yang
disajikan dalam laporan ini mayoritas dibawah 1. Selengkapnya dapat dilihat pada gambar
berikut.
2000
1500 Jumlah
1000
500
174 490 156 19 5 3 1
0
0 0-1 1-2 2-3 3-4 4-5 5-6 6-7
9
Distribusi Hiposenter Gempa
3000
2426
2500
2000
1489
1500
Jumlah
1000
500
75
0
0-60 61-300 >300
DIstribusi Magnitudo
2000
1890
1500
1000
Jumlah
Selama kurun waktu 2009 sampai dengan 2017 tercatat sebanyak 3990 kali. Gempa
Signifikan sebanyak kejadian . Gempa M ≤ 3 sebanyak 2446 kejadian, gempa dengan
magnitudo antara 3 sampai dengan 4 sebanyak 704 kejadian , dan gempa dengan magnitudo di
atas 5 sebanyak 188. Berdasarkan distribusi hiposenter gempa dangkal dengan kedalaman
kurang dari 60 km sebanyak 2426 kejadian , Gempa menengah dengan kedalaman antara 60
s/d 300 Km sebanyak 1489 kejadian , dan gempa dalam lebih dari 300 km sebanyak 75
kejadian. Berdasarkan interpretasi menggunakan data geologi maka gempa di Gorontalo dapat
dikaitkan berdasarkan 3 sumber utama yaitu aktivitas subduksi Sulawesi, subduksi Laut
Maluku / busur Sangihe, dan sesar lokal di darat.
10
Gambar Peta sebaran seismisitas wilayah Gorontalo tahun 2009-2017
11
4.1 Daftar Gempa Signifikan dan Merusak
Gorontalo tercatat pernah mengalami gempa merusak sebanyak 9 kali. Gempa terbesar
terjadi pada 16 November 2008 dengan magnitudo 7.7. Gempa kerusakan parah terjadi pada
tahun 1990 dan 1991 dengan kerusakan hingga mencapai 1500 rumah rusak berat.
12
2008. Semua ber magnitudo di atas 7. Sejak 2015 telah terjadi 10 gempa signifikan. Jumlah
Gempa pada wilayah ini relatif sedikit dibandingkan dengan Sumber gempa subduksi Laut
Maluku. Namun magnitudo gempa kebanyakan di atas 3 dengan kedalaman hiposenter kurang
dari 50 Km. Menjadikan daerah ini sangat rawan terhadap gempa merusak. Slab laut sulawesi
menununjam dalam ke bawah Gorontalo. Gempa paling banyak akibat subduksi ini terjadi di
barat Gorontalo dengan kedalaman menengah.
Gambar Irisan melintang seismisitas dari sumber gempa subduksi Laut Maluku
Peta Seismisitas dari repositori BMKG menunjukkan Slab Laut maluku menyusup di
bawah Gorontalo. Bagian utara Slab menyusup dari timur ke arah barat. Ditandai dengan
kedalaman hiposenter semakin ke timur semakin dalam. Sedangkan slab bagian selatan
berbelok ke arah timur pada sekitar lintang 0 derajat. Slab bagian selatan subduksi laut maluku
menyusup dari tenggara ke arah barat laut. Slab bagian selatan ini menyebabkan banyak gempa
dangkal hingga menengah yang merupkan daerah paling katif di wilayah semenanjung
sulawesi. Dari 2015 telah teradi 17 gempa signifikan di daerah ini.
13
Gambar Irisan melintang seismisitas dari sumber gempa subduksi Laut Sulawesi
Sumber gempa akibat dari pergerakan sesar Gorontalo mangakibatkan adanya aktivitas
gempa bumi dengan magnitudo yang relatif kecil dengan kedalaman dangkal tapi gempa yang
dihasilkan signifikan tidak merusak. Secara geomorfologi sesar Gorontalo merupakan sesar
menganan (right lateral fault) produk dari subduksi Minahasa yang bagian utara menyambung
dengan Minahasa Trench sedangkan dibagian selatan menyambung dengan Teluk Tomini.
Gempa yang terjadi akibat sesar lokal Tibawa relatif kecil dengan hiposenter yang lebih dalam
di bagian utara dan kedalman dangkal di bagian selatan. Menilik sejarah kegempaan, tidak
pernah tercatat adanya gempa merusak pada kedua sesar ini. Namun catatan dari tahun 2016,
permah terjadi dua kali gempa terasa di kecamatan Batudaa sebelah selatan Danau Limboto.
Dua gempa tersebut berhubungan dengan sesar Gorontalo. Sedangkan sesar Tibawa tercatat
satu gema signifikan di daerah sekitar kecamatan Asparaga.
14
Gambar Peta episenter sesar Gorontalo dan Tibawa
15
Gambar Peta episenter Tolinggula, Tilamuta dan Taluditi
16
Gambar Peta episenter Bolango dan Pinogu
17
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil pengamatan dan analisa kejadian gempabumi yang terjadi di sekitar wilayah
Gorontalo, baik gempabumi mikro maupun gempabumi signifikan selama kurun waktu 2009
sampai dengan 2017 tercatat sebanyak 3990 kali, dengan rincian gempa M ≤ 3 sebanyak 2446
kejadian, gempa dengan magnitudo antara 3 sampai dengan 4 sebanyak 704 kejadian , dan
gempa dengan magnitudo di atas 5 sebanyak 188 kejadian. Sedangkan berdasarkan distribusi
hiposenter gempa dangkal dengan kedalaman kurang dari 60 km sebanyak 2426 kejadian ,
Gempa menengah dengan kedalaman antara 60 s/d 300 km sebanyak 1489 kejadian , dan
gempa dalam lebih dari 300 km sebanyak 75 kejadian. Sumber-sumber gempabumi yang
terjadi di Gorontalo secara garis besar berasal dari tiga sumber utama, yaitu aktvitas subduksi
Laut Sulawesi, aktivitas busur Sangihe sebagai bagian dari sistem tumbukan ganda Laut
Maluku, serta sesar-sesar lokal di Gorontalo. Sebagian besar gempabumi signifikan yang terasa
bahkan merusak bersumber dari aktivitas subduksi Laut Sulawesi dengan letak episenter berada
di pesisir utara Gorontalo, sedangkan beberapa gempa menengah yang terjadi di bagian selatan
Gorontalo juga berpotensi menghasilkan kekuatan yang besar dan dirasakan masyarakat. Dan
gempabumi yang bersumber dari sesar-sesar lokal yang terdapat di wilayah Gorontalo
meskipun tidaklah sebanyak dibandingkan dengan sumber gempa dari aktivitas subduksi,
namun tidak menutup kemungkinan berpotensi dirasakan walaupun memiliki magnitudo yang
tidak terlalu besar. Kejadian gempabumi mikro yang berhasil dianalisa di sekitar wilayah
Gorontalo akibat dari aktivitas sesar lokal mengindikasikan adanya potensi yang cukup besar
untuk menghasilkan gempabumi signifikan di masa mendatang, sehingga perlu menjadi
perhatian lebih untuk memonitoring aktivitas gempabumi mikro untuk melihat trend
seismiknya. Oleh karena itu, perlu dibentuk jaringan seismik yang lebih rapat lagi yang mampu
mengakomodir monitoring itu, baik dalam bentuk jaringan portable atau jaringan mini-region.
18