Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

ANESTESI SPINAL PADA TURP

Pembimbing :
dr. Tendi Novara, Sp.An

Disusun oleh :
1. Fitriyanur Sahrir G1A212108
2. Zuldi Erdiansyah G1A212109
3. Vemy Melinda G4A013041

SMF ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
PURWOKERTO

2013

i
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

Anestesi Spinal pada TURP

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti Ujian


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh:
1. Fitriyanur Sahrir G1A212108
2. Zuldi Erdiansyah G1A212109
3. Vemy Melinda G4A013041

Disetujui dan disahkan


Pada tanggal, september 2013

Pembimbing,

dr. Tendi Novara Sp.An.

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN................................................................. ii
DAFTAR ISI ....................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ......................................................................... iv
I. PENDAHULUAN…………………………………………………. 1
A. Latar Belakang…………………………………………….. 1
B. Tujuan Penulisan…………………………………………... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………... 2
A. Anestesi Spinal ........................................................... 2
B. TURP .................................................................... 3
C. Anestesi Spinal Pada TURP..................................... 6
III. KESIMPULAN .............................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………. 18

iii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa
sehingga referat yang berjudul "Anestesi Spinal pada TURP" dapat terselesaikan
dengan baik.
Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesi dan Reanimasi RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto. Selain hal di atas, tentunya penulis berharap
pembuatan laporan ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Kiranya dapat penulis kemukakan bahwa tidak mungkin laporan ini dapat
diselesaikan tanpa bantuan dan dorongan serta kerjasama berbagai pihak sehingga
dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-
tulusnya kepada :
1. dr. Tendi Novara, Sp.An. selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian
Ilmu Anestesi dan Reanimasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto.
2. Seluruh staf dan karyawan yang banyak membantu selama menjalani
Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi dan Reanimasi RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto.
3. Teman-teman sejawat UNSOED Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi dan
Reanimasi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
referat ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menerima saran
dan kritik yang membangun guna penyempurnaan pembuatan referat ini.

Purwokerto, Juli 2013

Penulis

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trans ureteral Resection Of Prostate (TURP) merupakan operasi yang paling


sering dilakukan kedua setelah katarak pada pria diatas 65 tahun. Perkembangan teknologi
yang begitu pesat telah membuat seorang urologist dapat mencapai berbagai sudut dari
sitem urinary dengan hanya menimbulkan trauma yang minimal pada pasien. Prosedur
endoskopi pada system urinary memerlukan fungsi cairan irigasi yang secara baik
mendilusikan ruang mukosa, darah , jaringan ikat tertentu dan debris dari lapang pandang
operasi dan memberikan pandangan yang lebih baik. Berbagai cara telah dilakukan oleh
urologist untuk dapat mengerti dan mencegah berbagai komplikasi yang berasal dari
prosedur endoskopi, namun ternyata insidensi terjadinya komplikasi masih meningkat dan
menghantui pada urologist. Kegagalan pada system saraf pusat, system kardivaskular
selam dilakukanya TURP dikatakan sebagai sindroam TURP. 2.5-20% pasien yang
melakukan prosedur TURP mengalami sindorma TURP dan sebagian kecil meninggal
dalam keadaan intraoperasi (Moorthy, 2001).

Pada Operasi TURP dari segi anesthesiology dapat dikerjakan secara anestesi
umum dan anestesi local tertentu. Masing-masing pendekatan memiliki keuntungan dan
kekurangan tertentu. Pada berbagai Negara maju telah menjadi sebuah kesepakatan bahwa
dalam tindakan operative TURP yang digunakan adalah anestesi local yaitu anestesi
spinal. Inggris melakukan tindakan anestesi spinal pada 75% kasus TURP, Karen secra
teoritis hal ini meliki keuntungan seperti pendeteksian dini pada sindroma TURP.
Keputusan akan pemberian anestesi sangatlah bergantung dair keadaan pasien dan
pendekatan anesthesiologist dan urologist.

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan pembuatan referat ini adalah untuk membahas mengenai


penatalaksanaan anestesi spinal pada TURP.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anestesi Spinal
Anestesi spinal didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi local secara
langsung ke dalam cairan cerebrospinal di dalam ruang subarachnoid. Jarum spinal
diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis 1. Batas ini dikarenkan
adanya ujung medulla spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra
sakralis yang tidak mungkin dilakukan insersi (Soenarjo et al, 2013).
Tingkat keberhasilan teknik spinalis ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya
dosis obat, volume, posisi pasien serta komplikasi yang mungkin ditimbulkan. Efek
yang ditimbulkan bisa berkaitan dengan farmakologis obat, fisiologis tubuh, teknik, dan
peralatan yang digunakan, terutama jarum spinal (Sutiyono et Winarno, 2009)
1. Teknik anestesi
a. Persiapan
1) Monitor standar, seperti EKG, tekanan darah, pulse oksimetri.
2) Obat dan alat resusitasi, seperti oksigen, bagging, suction, dan set intubasi.

3) Sarung tangan dan masker steril.

4) Perlengkapan desinfeksi dan duk steril.

5) Obat anestesi local untuk anestesi spinal dan untuk infiltrasi local kulit dan

jaringan subkutan.

6) Syringe, kateter, dan jarum spinal.

7) Kasa penutup steril.

b. Pengaturan posisi pasien

2
Terdapat dua posisi pasien yang memungkinkan dilakukannya insersi

jarum, yaitu posisi lateral dengan lutut ditekuk ke perut dan dagu ditekuk ke

dada. Posisi lainnya adalah posisi duduk flesi dimana pasien duduk pada pinggir

troli dengan lutut diganjal bantal. Posisi fleksi akan membantu identifikasi

prosesus spinosus dan memperlebar celah vertebra sehingga dapat

mempermudah akses ruang epidural (Soenarjo et al, 2013).

2. Teknik insersi anestesi spinal


Anestesi spinal menggunakan jarum spinal ukuran 22-29 dengan “Pencil Point”

atau “Tappered Point”. Insersi dilakukan dengan menyuntikkan jarum sampai ujung

jarum mencapai ruang subarachnoid yang ditandai dengan keluarnya cairan

cerebrospinal. Pemakaian jarum dengan diameter kecil bertujuan untuk mengurangi

keluhan nyeri kepala pasca pungsi dura (PDPH) (Soenarjo et al, 2013).

3. Efek samping
1) Hipotensi.

2) Bradikasrdi.

3) Hematome.

4) Luka pada tempat tusukan.

5) Perdarahan.

6) Infeksi.

7) Trauma medulla spinalis.

8) Nyeri kepala pasca anestei spinal.

(Sutiyono et Winarno, 2009)

B. Transuretral Resection of Prostat (TURP)


1. Definisi
TURP merupakan sebuah operasi reseksi kelenjar prostat yang dilakukan

transurethral dengan menggunakan cairan irigan (pembilas) yang dimaksudkan

3
menghilangkan hyperplasia prostat yang menekan uretra. Operasi ini perlu

dilakukan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia, karena dapat menyebabkan

penekanan pada uretra yang dapat menyebabkan penyumbatan yang pada akhirnya

dapat menimbulkan hidronefrosis, dan gagal ginjal (Purnomo, 2011).

Anestesi spinal digunakan pada operasi TURP dengan sedasi, sebuah citoscope

yang dimasukkan melalui uretra sampai ke bladder, kemudian bladder diisi dengan

solution sehingga memudahkan operator memeriksa bagian dari prostat yang

membesar, kemudian dimasukkan surgical loop melalui citoscope untuk meremove

bagian yang membesar, dan kateter akan dibiarkan sampai beberapa hari. Observasi

kesadaran, vital sign, perdarahan, produksi urine. (Purnomo, 2011).

2. Klasifikasi BPH
a. Early BPH

Bladder

Uretra

Enlargement of the

prostate starts to

constrict the uretra

b. Moderate BPH

4
Urethra become

narrowed

c. Severe BPH

Urethra urethra almost


Completely obstructed

Thickened bladder wall due


to obstruction of
Urethra urethra

(Davied et al, 2005)

3. Indikasi dilakukan TURP


a. Meningkatnya frekuensi buang air kecil.
b. Kesulitan memulai buang air kecil.

c. Aliran urin melambat.

d. Berhenti sebentar di tengah aliran.

e. Dribbling setelah urination.

f. Tiba-tiba ada keinginan kuat untuk BAK.

g. Perasaan tidak puas di akhir DAK

h. Nyeri selama BAK.

i. Retensi urin.

5
j. Batu vesica urinaria.

4. Preoperasi
a. Harus diinformasikan tentang kondisi kesehatan, apakah punya riwayat

penyakit seperti hipertensi, diabetes, anemia, alergi, atau riwayat operasi

sebelumnya.

b. Bila menggunakan obat seperti aspirin dan ibuprofen maka harus berhenti

palint tidak 2 minggu sebelum operasi untuk menghindari gangguan proses

penyembuhan.

c. Pemeriksaan darah rutin.

d. Puasa paling tidak 6-8 jam sebelum operasi dilakukan.

e. Bila seorang perokok, maka harus berhenti merokok beberapa minggu

sebelum operasi untuk menghindari gangguan proses penyembuhan.

(Davies et al, 2005)

C. Anestesi Spinal pada TURP


Pasien yang menjalani TURP biasanya pada usia lanjut dan sering disertai
dengan penyakit jantung, paru, atau lainnya sehingga penting untuk membatasi level
blok untuk mengurangi efek cardiopulmonary yang merugikan pada pasien tersebut.
Penggunaan anastesi local dengan dosis yang lebih kecil memberikan beberapa
keuntungan misalnya hipotensi tidak terjadi karena tidak memblok serabut saraf
simpatik di daerah atas serta memperkecil resiko timbulnya toksisitas sistemik obat
anastesi local (Yang, 2009). TURP dengan menggunakan anestesia regional tanpa
sedasi ( Awake TURP ) lebih dipilih daripada anestesia umum karena hal berikut :
1. Manifestasi awal dari Sindrom TURP lebih bisa dideteksi pada pasien yang
sadar
2. Vasodilatasi periferal berfungsi untuk membantu meminimalisir overload
sirkulasi.
3. Komplikasi hiponatremi akibat tertariknya Na+ oleh air irrigator dapat cepat
dikenali dengan adanya penurunan kesadaran, mual, kejang.
4. Kehilangan darah akan lebih sedikit.

6
1. Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concent)

meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.

Pemeriksaan fisis dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk

menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya

skoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah

penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT)

dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah. Kunjungan praoperasi

dapat menenangkan pasien. Dapat dipertimbangkan pemberian obat premedikasi

agar tindakan anestesi dan operasi lebih lancar. Namun, premedikasi tidak berguna

bila diberikan pada waktu yang tidak tepat (Soenarjo, et al., 2013).

2. Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan

operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan

tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal

memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16-G

sampai dengan 30-G. Obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain,

tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi

aliran obat dan perluasan daerah yang teranestesi.

Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis cairan

serebrospinal (hiperbarik), akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya

gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke

atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat

penyuntikan. Pada suhu 37°C cairan serebrospinal memiliki beratjenis 1,003-1,008.

Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alkohol (Yang, 2009).

3. Jenis jarum Spinal

7
Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung

bambu runcing (jenis Quinke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya

seperti ujung pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang

menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal (Yang, 2009).

4. Obat- Obat yang Dipakai sebagai Obat Premedikasi

Narkotik Analgetik
Dosis :
 Papaveratum : 0,3 mg/Kg
 Pethidin : 50-100 mg/Kg
 Phentanyl : 100 mcg
5. Obat yang dipakai untuk induksi spinal
Bupivacain, untuk anestesi spinal, dosis yangdigunakan adalah 7-15 mg (larutan

0,75%).

6. Teknik Anestesi
Adapun tahapan spinal anestesi adalah (Soenarjo et al, 2013):

Teknik untuk melakukan anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk atau posisi

tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling

sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan

hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan

dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

a. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral


atau dengan posisi duduk. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar
prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah duduk.
b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3,
L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma terhadap
medulla spinalis.

8
c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alcohol.
d. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan. Untuk mencapai cairan
serebrospinalis, maka jatum suntik akan menembus : kulit  subkutis 
ligamentum supraspinosum  ligamentum interspinosum  ligamentum
flavum  ruang epidural  duramater  ruang subarachnoid.
e. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G
atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau
29 G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer) yaitu jarum suntik
biasa semprit 10 cc. Tusukan introducer sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit
ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam irisan jarum haruis sejajar
dengan dengan serat duramater untuk menghindari kebocoran likuor yang
dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi
menghilang, mandarin juarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0.5 ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Untuk BAB
anelgesi spinal kontinyu dapat dimasukkan kateter.
f. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6 cm.

7. Pengawasan selama berlangsungnya operasi


Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama berlangsungnya TURP adalah

gejala-gejala komplikasi yang dapat terjadi (Purnomo, 2011). Komplikasi mayor

yang dapat terjadi pada TURP adalah :

a. Pendarahan
Perdarahan pada TURP akan menimbulkan hipovolemia,

menyebabkankehilangan kemampuan mengangkut oksigen secara

signifikan sehingga bisa menuju iskemia myokardial dan infark miokard.

Kehilangan darah berkorelasi dengan ukuran kelenjar prostatyang direseksi,

lamanya pembedahan dan skill dari operator. Rata-rata kehilangan darah

saat TURP adalah 10ml/gram dari reseksi prostat.

9
b. Sindrom TURP
Reseksi prostat transurethral sering membuka jaringan ekstensif sinus

vena pada prostat danmemungkinkan absorbsi sistemik dari cairan irigasi.

Absorbsi dari cairan dalam jumlah yang besar (2 liter atau lebih)

menghasilkan konstelasi gejala dan tanda yang disebut dengan

sindromTURP .

Manifestasi dari Sindrom TURP :

a) Hiponatremia
b) Hipoosmolaritas
c) Overload cairan
d) Gagal jantung kongestif
e) Edema paru
f) Hipotensi
g) Hemolisis
h) Keracunancairan
i) Hiperglisinemia
j) Hiperamonemia
k) Hiperglikemia
l) Ekspansi volume intravaskular
Sindrom TURP adalah satu dari komplikasi tersering pembedahan

endoskopi urologi. Insiden sindrom TURP mencapai 20% dan membawa

angka mortalitas yang signifikan. Walaupunterdapat peningkatan di bidang

anestesi 2,5%-20 % pasien yang mengalami TURP menunjukkansatu atau

lebih gejala sindrom TURP dan 0,5% - 5% diantaranya meninggal pada

waktu perioperatif. Angka mortalitas dari sindrom TURP ini sebesar 0,99%

Reseksi kelenjar prostate transuretra dilakukan dengan mempergunakan

cairan irigasi agar daerah yang di irigasi tetap terang dan tidak tertutup oleh

darah.

10
Syarat cairan yang dapat digunakan untuk TURP adalah: isotonik, non-

hemolitik, electrically inert , non-toksik, transparan, mudah untuk

disterilisasi dan tidak mahal. Akan tetapi sayangnya cairan yang memenuhi

syarat seperti di atas belumditemukan.Untuk TURP biasanya menggunakan

cairan nonelektrolit hipotonik sebagai cairan irigasi seperti air steril, Glisin

1,5%(230 mOsm/L), atau campuran Sorbitol 2,7% dengan Mannitol 0,54%

(230 Osm/L). Cairan yang boleh juga dipakai tapi jarang digunakan adalah

Sorbitol 3,3%,Mannitol 3%, Dekstrosa 2,5-4% dan Urea 1%.

1) Hipovolemi, Hipotensi
Tanda hemodinamika klasik dari Sindrom TURP, ketika glisin

digunakan sebagai cairan irigasi,terdiri dari transient arterial hipertension,

yang bisa tidak muncul jika pendarahan berlebihan, diikuti dengan

perpanjangan hipertensi. Pelepasan substansi jaringan prostatik

danendotoksin menuju sirkulasi dan asidosis mtabolik yang bisa

berkontribusi terhadap hipotensi

2) Gangguan Penglihatan
Salah satu komplikasi dari Sindrom TURP adalah kebutaan sementara,

pandangan berkabut, danmelihat lingkaran disekitar objek. Pupil menjadi

dilatasi dan tidak merespons. Lensa matanormal. Gejala bisa muncul

bersamaan dengan gejala lain dari Sindom TURP atau bisa jugamenjadi

gejala yang tersembunyi.Penglihatan kembali normal 8-48 jam setelah

pembedahan. Kebutaan TURPdisebabkan oleh disfungsi retina yang

kemungkinan karena keracunan glisin. Karena itu persepsidari cahaya dan

refleks mengedipkan mata dipertahankan dan respon pupil terhdap cahaya

danakomodasi hilang pada kebutaan TURP, tidak seperti kebutaan yang

disebabkan karena disfungsi Kortikal serebri.

11
3) Perforasi
Perforasi dari kandung kemih bisa terjadi saat TURP berkaitan dengan

instrumen pembedahan, pada reseksi yang sukar, distensi berlebihan dari

kantung kemih dan letusan didalam kantungkemih. Perforasi instrumen dari

kapsul prostatik telah diestimasi terjadi pada 1% dari pasienyang melakukan

TURP. Tanda awal dari perforasi, yang sering tidak diperhatikan

adalah penurunan kembalinya cairan irigasi dari kantung kemih. Dan diikuti

oleh nyeri abdomen,distensi dan nausea. Bradikardi dan hipotensi arterial

juga ditemukan. Juga ada resiko tinggikesalahan diurese spontan. Pada

perforasi intraperitoneal, gejalanya berkembang lebih cepat. Nyeri alih bahu

yang berkaitan dengan iritasi pada diafragma merupakan gejala

khas Pallor ,diaphoresis, rigiditas abdomen, nausea, muntah dan hipotensi

bisa terjadi. Perforasiekstraperitonial, pergerakan refleks dari ekstemitas

bawah bisa terjadi.Letusan didalam kantung kemih jarang terjadi. Kauter

dari jaringan prostat dipercaya bisamembebaskan gas yang mudah terbakar.

Secara normal, tidak cukup oksigen yang terdapatdidalam kantung kemih

agar bisa terjadi letusan. Tetapi jika udara masuk bersama dengan

cairanirigasi akan bisa berakibat timbulnya ledakan.

4) Koagulopati
DIC ( Disseminated Intravasculer Coagulation) bisa terjadi berkaitan

dengan pelepasan partikel prostat yang kaya akan jaringan thrombopalstin

menuju sirkulasi yang menyebabkan fibrinolisissekunder. Dilutional

trombositopenia bisa memperbusuk situasi. DIC bisa dideteksi pada

darahdengan timbulnya penurunan jumlah platelet, FDP ( Fibrin

Degradation Products) yang tinggi(FDP > 150 mg/dl) dan plasma fibrinogen

yang rendah (400 mg/dl)

12
5) Bakteremia, Septisemia dan Toksemia
Sekitar 30% dari semua pasien TURP memiliki urin yang terinfeksi saat

preoperatif. Ketika prostat sinus vena terbuka dan digunakan irigasi dengan

tekanan tinggi, maka bakteri akanmasuk menuju sirkualsi. Pada 6% pasien,

bakteremia menjadi septisemia. Absorbsi dariendotoksin bakteri dan

produksi toksin dari koagulasi jaringan akan berakibat keadaan toksik pada

pasien postoperatif. Gemetar yang parah, demam, dilatasi kapiler dan

hipertensi bisa terjadisecara temporer pada pasien ini.

6) Hipotermia
Hipotermia merupakan observasi yang selalu dilakukan pada pasien

yang akan dilakukan TURP.Penurunan dari suhu tubuh akan mengubah

situasi hemodinamika, yang mengakibatkan pasienmenggigil dan

peningkatan konsumsi oksigen. Irigasi kandung kemih merupakan sumber

utamadari hilangnya panas dan penggunaan cairan irigasi pada suhu

ruangan menghasilkan penurunansuhu tubuh sekitar 1-2oC. Ini diperburuk

oleh keadaan ruangan operasi yang bersuhu dingin.Pasien geriatri diduga

akan mengalami hipotermia karena disfungsi otonom. Vasokonstriksi

danasidosis bisa berefek pada jantung dan berkontribusi terhadap

manifestasi sistem saraf pusat.Menggigil juga bisa diperparah oleh

pendarahan dari tempat reseksi.

c. Tata laksana sindrom TURP


Terapi Sindrom TURP meliputi koreksi berbagai mekanisme

patofisiologikal yang bekerja padahomeostasis tubuh. Idealnya terapi

13
tersebut harus dimulai sebelum tejadi komplikasi sistem saraf pusat dan

jantung yang serius. Ketika Sindrom TURP didiagnosa, prosedur

pembedahansebaiknya diakhiri secepatnya. Kebanyakan pasien bisa

dimanajemen dengan restriksi cairan dan diuretic loop

Identifikasi gejala awal sindrom TURP dan pencegahan, penting untuk

mencegah efek yang fatal bagi pasien yang mengalami pembedahan

endoskopik. Hiponatremia yang terjadisebelum operasi harus dikoreksi

terutama pada pasien yang menggunakan obat-obatan diureticdan diet

rendah garam. Antibiotic profilaksis memiliki peran dalam pensegahan

bakterimia danseptisemia. Central Venous Pressure (CVP) monitoring atau

kateterisasi arteri pulmonalisdiperlukan untuk pasien dengan penyakit

jantung. Tinggi ideal cairan irigasi adalah 60 cm.Untuk mengurangi

timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk

tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu beberapa operator

memasang sistotomisuprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan

dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik. Untuk kasus dengan operasi

lebih dari satu jam staging TURP harus dilakukan. Kapsul prostat harus

dijaga dan distensi kandung kemih harus dicegah. Caranya dengan

seringmengosongkan kandung kemih.Koreksi hiponatremia sebaiknya

dilakukan dengan diuresis dan pemberian salinhipertonis 3-5% secara

lambat dan tidak lebih dari 0,5 meq/per 1 jam atau tidak lebih cepat dari100

ml/jam. Tepatnya 200 ml salin hipertonis diperlukan untuk mengkoreksi

hiponatremia.Pemberian secara cepat dari salin akan mengakibatkan edema

paru dancentral pontine myelinolysis. Dua pertiga dari salin hipertonis

mengembalikan serum sodium dan osmolaritas,sedangkan 1/ 3

14
meredistribusi air dari sel menuju ruang ekstraseluler, dimana akan

diterapidengan terapi diuretik menggunakan furosemide.Furosemide

sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg bb secara intravena.

Tetapi, penggunaan furosemide dalam terapi Sindrom TURP dipertanyakan

karena meningkatkanekskresi natrium. Oleh sebab itu 15% manitol

disarankan sebagai pilihan, dalam kaitan dengankerjanya yang bebas dari

ekskresi natrium dan kecenderungan untuk meningkatkan

osmolaritasekstraseluler. Oksigen harus diberikan dengan penggunaan nasal

kanul. Edema paru sebaiknya dimanajemen dengan intubasi dan ventilasi

dengan penggunaan 100% oksigen.Gas darah, hemoglobin dan serum

sodium dinilai. Kalsium intravena bisa digunakanuntuk merawat gangguan

gangguan jantung akut saat pembedahan. Kejang sebaiknya diterapidengan

diazepam / midazolam / barbiturat / dilantin aau penggunaan pelemas otot

tergantungdari tingkat keparahannya.

Gejala hiponatremia yang bisa berakibat seizure bisa

dihubungkandengan dosis kecil dari midazolam (2-4mg), diazepam (3-5

mg),thiopental (50-100 mg).

Kehilangan darah diterapi dengan transfusi PRC. Pada kasus dengan

DIC, maka fibrinogen 3-4gram sebaiknya diberikan secara intravena diikuti

dengan infus heparin 2000 unit secara bolus( dan kemudian diberikan 500

unit tiap jam). Fresh Frozen Plasma (FFP) dan platelet juga bisadigunakan

tergantung dari jenis koagulasinya.Drainase pembedahan dari cairan

retroperitoneal pada kasus perforasi bisa menurunkanmorbiditas dan

mortalitas secara signifikan. Arginin dapat diberikan sebagai tambahan

15
infusglisin untuk menurunkan efek toksik dari glisin pada jantung.

Mekanisme bagaimana arginin memproteksi jantung belum diketahui.

Phenytoin yang diberikan secara intravena (10-20 mg/kg) juga harus

dipertimbangkan untuk memperoleh aktivitas antikonvulsan. Intubasi

endotrakeal secara umum disarankan untuk mencegah aspirasi sampai status

mental pasien menjadi normal.Jumlah dan kadar salin hipertonik (3-5 %)

diperlukan untuk mengkoreksi hiponatremia menjadi batas / level yang

aman, yang didasarkan konsentrasi serum sodium pasien. Solusi salin

hipertonis harus tidak diberikan dengan kecepatan tidak lebih dari 100

ml/jam sehingga tidak menimbulkan eksaserbasi overload dari cairan

sirkulasi. Hipotermi dapat dihindari denganmeningkatkan suhu ruang

operasi, penggunaan selimut hangat dan menggunakan cairan irigasidan

intravena yang telah dihangatkan sampai suhu 37oC. Manajemen pasien

yang mengalami koma harus meliputi oksigenasi, sirkulasi yangmemadai,

penurunan tekanan intrakranial, penghentian kejang, terapi infeksi,

menjagakeseimbangan asam basa dan elektrolit dan suhu tubuh.

Pemantauan yang dilakukan glukosa,elektrolit (Na, K, Ca, Cl, CO3, PO4),

urea kreatinin, osmolaritas, glisin, dan amonia. Pemeriksaan gas darah dapat

melihat PH, PO2, PCO2, dan karbonat. Perlu juga dilakukan EKG untuk

memonitor fungsi kardiovaskular.

16
BAB III

KESIMPULAN

Penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan TURP harus diperhatikan sejak


pre-operatif, intra-operatif, dan post-operatif. Pada fase pre-operatif harus kita gali
kemungkinan yang dapat menyebabkan sindroma TURP seperti kelainan elektrolit
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan juga pemeriksaan penunjang yang
mendukung, kita dpaat menentukan pendekatan anestesi terbaik pada pasien. Teknik
Spinal merupakan teknik anestesi regional yang memberikan keuntungan tertentu
selama intraoperative TURP. Hal perlu diperhatikan adalah bagaimana kita melakukan
sebuah tindakan anestesi spinal dan bagaimana mengenali tanda-tanda kelainan yang
diakibatkan terjadinya sindroma TURP untuk mencegah morbiditas dan mortalitas
pasien.
Sindroma TURP merupakan komplikasi tersering yang terjadi selama proses
operasi TURP. Sindroma TURP terjadi akibat terabsorbsi nya cairan irigasi kedalam
sirkulasi tubuh yang dapat mengakibatkan komplikasi tertentu, komplikasi berupa
hiponatremia, hypovolemia, toksisitas cairan. Anestesi spinal dapat mempertahankan
kesadaran pasien, dalam keadaan sadar pasien akan lebih mudah untuk dipantau.pada
kasus ini tindakan anestesi dan tindakan operatif berjalan dengan baik.

17
DAFTAR PUSTAKA

Davies, J., Eden, C., Boot, S., Langley, S. 2005. A patient’s Guide to TURP – Your Prostat
Operation. Prostat Cancer Centre, Guildford.

Moorthy H K, Philip S. 2001. TURP syndrome - current concepts in the pathophysiology and
management. Indian J Urol;17:97-102

Norris HT, Aasheim GM, Sherrard DJ, Tremann JA. 1973. Symptomatology, pathophysiology
and treatment of the transurethral resection of the prostate syndrome. Br J Urol: 45:
420-427.

Olsson J, Nilsson A. Hahn RG. 1995. Symptoms of the transurethral resection syndrome using
glycine as the irrigant. J Urol; 154: 123-128.

Purnomo, Basuki. 2011. Dasar-dasar Urologi edisi ketiga. Sagung seto

Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sel. EGC : Jakarta.

Soenarjo, Jatmiko HD. 2013. Anestesiologi Edisi 2. Semarang : FK Universitas Diponegoro.

Soenarjo, et al. 2013. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FAkultas
Kedokteran UNDIP/dr. Kariadi Semarang

Sutiyono et Winarno. 2009. Jarum Spinal dan Pengaruuh yang Mungkin Terjadi. Jurnal
Anestsiologi Indonesia

Yang Q, Petes TJ, Donovan JL, Wilt TJ, dan Abrams P. 2009. British Journal of Anasthesia.
Comparison of Intrathecal Fentanyl and Sufentanil in Low Dose Dilute Bupivacaine
Spinal Anasthesia for Transurethral Prostectomy”. Vol 103,Number 5. Page 750

18

Anda mungkin juga menyukai