Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis paru


2.1.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis yang sering disebut juga basil tahan asam (BTA). Mycobacterium
tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan
tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3-0,6 mm dan panjang 1-4 mm.
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi
(60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna
tersebut dengan larutan asam-alkohol (Pewarnaan Ziehl-Nielsen) (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2006).
Penularan Tuberkulosis (TB) terjadi melalui udara (airborne spreading)
dari droplet infeksi. Sumber infeksi adalah penderita TB paru yang membatukkan
dahaknya, dimana pada pemeriksaan hapusan dahak umumnya ditemukan BTA
positif. Pada sekali batuk akan dikeluarkan 3000 droplet infeksi. Penularan
umumnya terjadi dalam ruangan dengan ventilasi kurang. Penyakit ini merupakan
penyakit menahun, bahkan dapat seumur hidup. Setelah seseorang terinfeksi bakteri
Tuberkulosis, hampir 90% penderita secara klinis tidak sakit, hanya didapatkan uji
tuberkulin yang positif. Dari 10% penderita yang sakit, bila tanpa pengobatan,
setelah 5 tahun, 50% penderita TB paru akan mati, 25% sehat dengan pertahanan
tubuh yang baik, dan 25% sisanya akan menjadi kronik dan infeksius (Alshagaff,
2008)

4
Gambar 2.1. Faktor resiko Penyakit TB

2.2. Patogenesis Tuberkulosis


2.2.1. Tuberkulosis Primer
Paru merupakan tempat masuk lebih dari 98% kasus infeksi tuberkulosis,
karena ukurannya sangat kecil, kuman TB yang terhirup dapat mencapai alveolus.
Tempat Mycobacterium tuberculosis yang terhirup dan masuk ke paru akan ditelan
oleh makrofag alveolar, selanjutnya makrofag akan melakukan 3 fungsi penting,
yaitu : 1) menghasilkan enzim proteolitik dan metabolit lain yang mempunyai efek
mikobakterisidal; 2) menghasilkan mediator terlarut (sitokin) sebagai respon
terhadap M. tuberculosis berupa IL-1, IL-6, TNF-α (Tumor Necrosis Factor alfa ),
TGF-β (Transforming Growth Factor beta ) dan 3) memproses dan
mempresentasikan antigen mikobakteri pada limfosit T.
Bakteri tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang
primer atau afek primer (Ghon Lession). Sarang primer ini mungkin timbul di
bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer
akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional

5
dikenal sebagai kompleks primer (Ranke complex). Semua proses ini memakan
waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus) dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi
karena kuman yang dorman.
3. Berkomplikasi dan menyebar dengan cara :
a) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus
lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan
obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.
Bakteri tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini
ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan.
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi bakteri. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat
imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup
gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa. Penyebaran ini
juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya
tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan kesembuhan yang meninggalkan
sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau meninggal. Semua kejadian diatas
adalah perjalanan tuberkulosis primer (Alshagaff & Mukti, 2008).

Pembagian Tuberkulosis Paru Primer:


1. Tuberkulosis paru yang potensial (primary tuberculosis potential) Terjadi
kontak dengan kasus terbuka, tetapi uji tuberkulin masih negatif.
2. Tuberkulosis primer laten (latent primary tuberculosis)

6
a. Tanda-tanda infeksi sudah kelihatan, tetapi luas dan aktivitas penyakit tidak
diketahui.
b. Uji kulit dengan tuberkulin (PPD) masih negatif.
c. Radiologis tidak tampak kelainan.
3. Tuberkulosis primer yang manifest (manifest primary tuberculosis) Uji kulit
tuberkulin positif, terlihat kelainan radiologis.
a. Tuberkulosis primer dengan perkapuran. Radiologis ada kalsifikasi di hilus
atau parenkim paru.
b. Tuberkulosis primer dengan pembesaran kelenjar limfe mediastinum, hilus
dan para trakea.
c. Tuberkulosis primer dengan komplikasi = Epituberkulosis. Akibat adanya
proses endobronkial, pembesaran kelenjar, sembab mukus, penebalan
jaringan granulasi, penyumbatan oleh sekret yang kental, perforasi atau
stenosis yang dapat menyebabkan kelainan parenkim paru, distal dari
bronkus dengan akibat atelektasis dan emfisema.
d. Tuberkulosis primer progresif dengan penyebaran bronkogen:
a) Merupakan gambaran akhir manifestasi penyakit tuberkulosis.
b) Sumber penyebaran berasal dari parenkim paru atau dari caseous node
yang pecah ke bronkus.
c) Klinis merupakan pneumonia yang menahun (Alsagaff & Mukty, 2008).

2.2.2. Tuberkulosis Post-Primer


Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (TB post-
primer/sekunder). Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah
kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis sekunder
terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna,
diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil pada
parenkim paru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai
berikut :

7
1. Direabsorpsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula-mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan kaseosa dan menimbulkan kavitas bila jaringan kaseosa
dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas
sklerotik). Kavitas ini dapat menjadi:
a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan
diatas.
b) Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kavitas lagi.
Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus
dan kemudian menjadi misetoma (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2006).
Kavitas bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kavitas menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, dan menciut sehingga
kelihatan seperti bintang (stellate shaped) (Alsagaff dan Mukty, 2008).

8
Gambar 2.2. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Postprimer dan
Perjalanan Penyembuhannya
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006

2.3. Epidemiologi Tuberkulosis


Sumber infeksi yang paling sering adalah manusia yang mengekskresikan
kuman tuberkulosis dalam jumlah besar, terutama dari saluran pernapasan. Kontak
yang erat dalam keluarga dapat menginfeksi anggota keluarga lainnya. Kepekaan
terhadap tuberkulosis adalah suatu akibat dari dua kemungkinan yaitu, resiko
memperoleh infeksi dan resiko menimbulkan penyakit setelah terjadi infeksi. Bagi
orang dengan tes tuberkulin positif, kemungkinan memperoleh kuman tuberkulosis
tergantung pada kontak dengan sumber kuman yang dapat menimbulkan infeksi
terutama dari penderita dengan dahak positif. Resiko ini sebanding dengan tingkat
penularan pada masyarakat, keadaan ekonomi yang rendah dan pemeliharaan
kesehatan yang kurang. Resiko kedua yaitu berkembangnya penyakit secara klinis
yang dipengaruhi oleh umur (resiko tinggi ada pada bayi baru lahir dan usia 16-21
tahun), jenis kelamin (resiko wanita lebih tinggi dari pada pria), kekurangan gizi,
dan keadaan status imunologi dan penyakit yang menyertainya (Davies, 2008).

9
Menurut WHO 2011, Prevalensi kasus TB baru di Indonesia masih sangat
tinggi yaitu 100-299 per 100.000 populasi Menurut WHO 2011, Prevalensi kasus
TB baru di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 100-299 per 100.000 populasi.

Gambar 2.3. Perkiraan angka insidensi penyakit TB tahun 2010


Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:


 Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara
yang sedang berkembang
 Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya
komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB
(akses yang kurang oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak
sesuai standar, penyediaan obat tidak terjamin, tidak dilakukan pemantauan,
pencatatan dan pelaporan sesuai standar, dan sebagainya), tidak memadainya
tatalaksana kasus, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis,
kesalahan persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG, dan infrastruktur
kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau
pergolakan masyarakat.
 Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umur kependudukan.

10
 Dampak pandemi infeksi HIV.
Meskipun secara nasional terdapat peningkatan perkembangan dalam
penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih
menunjukkan disparitas antar wilayah. Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum
dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi
menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan (KEMENKES, 2011)

Gambar 2.4. Pencapaian program pengendalian TB nasional 1995-2009


Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011

2.4. Manifestasi Klinis


Gejala utama pasien tuberkulosis paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan (Depkes RI, 2011). Gejala-gejala khusus atau khas
pula tergantung dari organ tubuh mana yang terkena. Bila terjadi sumbatan di
sebagian bronkus akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, ia akan
menimbulkan suara "mengi" yaitu suara nafas melemah yang disertai sesak. Jika
ada cairan di rongga pleura, ia dapat disertai dengan keluhan sakit dada (Al-Amin,
2010).

11
2.5. Diagnosis
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda :
1. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dan lain-lain).
2. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
3. Sekret di saluran nafas dan ronki.
4. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung
dengan bronkus.
2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis)
3. Pemeriksaan sputum BTA Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa
ditegakkan dengan ditemukannya kuman tuberkulosis. Semua suspek
tuberkulosis diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
a. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
Fasyankes.
c. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi (Depkes RI, 2011).
4. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase) Merupakan uji serologi
imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidase staining untuk
menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
5. Tes Mantoux/Tuberkulin
6. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis
tuberkulosis, yaitu :
1. Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus
bawah.
2. Bayangan berawan (patchy) atau bercak (nodular).
3. Adanya kavitas, tunggal atau ganda.
4. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.

12
5) Adanya kalsifikasi.
6) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
7) Bayangan milier (Mansjoer, Triyanti, Savitri, et al., 2000).

Gambar 2.5. Gambaran Foto Rontgen Dada pada Pasien Tuberkulosis


Sumber : Herchline,2013

13
Gambar 2.6. Alur Diagnostik TB

2.6. Tatalaksana Tuberkulosis


2.6.1. Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
1. Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur).

14
3. Kasus setelah putus berobat (Default ) adalah pasien yang telah berobat dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain: adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

Catatan: Meskipun sangat jarang, TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru juga
dapat mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik, dan kasus-
kasus seperti ini harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan),
radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik (Alsagaff & Mukty, 2008).

2.6.2. Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)


Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular

15
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB
BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia adalah: kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 dan kategori 2:
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan panduan
obat sisipan (HRZE) dan kategori Anak: 2HRZ/4HR.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak
sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat
dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket
untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB yaitu: 1)
Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping. 2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga
menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisan resep, dan 3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga
pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

16
Dalam guideline WHO tahun 2009 tentang panduan pengobatan
tuberculosis WHO memberikan rekomendasi dosis untuk tiap jenis obat
berdasarkan berat badan seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini

Tabel 2.1. Rekomendasi dosis OAT untuk orang dewasa.

2.6.3. Pengobatan TB kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru yaitu: Pasien baru TB paru
BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, dan pasien TB ekstra
paru (Depkes RI, 2007)
Tabel 2.2. Dosis Untuk Paduan OAT KDT Kategori-1

17
2.6.4. Pengobatan TB kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya yaitu pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan
setelah putus berobat (default).

Tabel 2.3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori-2

Untuk streptomisin, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun mungkin tidak
bisa menoleransi dosis lebih dari 500-750 mg sehari, oleh karena itu
direkomendasikan untuk mengurangi dosis 10 mg/kg per hari pada pasien dengan
umur tersebut. Selain itu, pasien dengan berat kurang dari 50 kg mungkin tidak bisa
menoleransi dosis di atas 500-750 mg sehari.

2.6.5. OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

18
Tabel 2.4. Dosis KDT untuk Sisipan

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida


(kanamisin, dll) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien
baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah
daripada OAT lini pertama. Disamping itu penggunaan obat ini juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
2.6.6. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya
Tabel berikut menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan
pendekatan gejala
Tabel 2.5. Efek samping ringan OAT

Tabel 2.6. Efek samping berat OAT

Sumber: Depkes RI 2011

19
2.6.7. Pemantauan Dan Hasil Pengobatan TB

Pemantauan kemajuan pengobatan TB


Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara
mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam
memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk
memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau
kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu
dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif.
Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang
dahak tersebut dinyatakan positif. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak
mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Depkes RI, 2007)

Tabel 2.7. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak

20
Tabel 2.8. Tatalaksana pasien yang tidak berobat teratur

Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama
pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan: lanjutkan pengobatan dulu sampai
seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak
(Depkes RI, 2007).

21

Anda mungkin juga menyukai