TINJAUAN PUSTAKA
4
Gambar 2.1. Faktor resiko Penyakit TB
5
dikenal sebagai kompleks primer (Ranke complex). Semua proses ini memakan
waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus) dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi
karena kuman yang dorman.
3. Berkomplikasi dan menyebar dengan cara :
a) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus
lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan
obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.
Bakteri tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini
ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan.
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi bakteri. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat
imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup
gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa. Penyebaran ini
juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya
tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan kesembuhan yang meninggalkan
sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau meninggal. Semua kejadian diatas
adalah perjalanan tuberkulosis primer (Alshagaff & Mukti, 2008).
6
a. Tanda-tanda infeksi sudah kelihatan, tetapi luas dan aktivitas penyakit tidak
diketahui.
b. Uji kulit dengan tuberkulin (PPD) masih negatif.
c. Radiologis tidak tampak kelainan.
3. Tuberkulosis primer yang manifest (manifest primary tuberculosis) Uji kulit
tuberkulin positif, terlihat kelainan radiologis.
a. Tuberkulosis primer dengan perkapuran. Radiologis ada kalsifikasi di hilus
atau parenkim paru.
b. Tuberkulosis primer dengan pembesaran kelenjar limfe mediastinum, hilus
dan para trakea.
c. Tuberkulosis primer dengan komplikasi = Epituberkulosis. Akibat adanya
proses endobronkial, pembesaran kelenjar, sembab mukus, penebalan
jaringan granulasi, penyumbatan oleh sekret yang kental, perforasi atau
stenosis yang dapat menyebabkan kelainan parenkim paru, distal dari
bronkus dengan akibat atelektasis dan emfisema.
d. Tuberkulosis primer progresif dengan penyebaran bronkogen:
a) Merupakan gambaran akhir manifestasi penyakit tuberkulosis.
b) Sumber penyebaran berasal dari parenkim paru atau dari caseous node
yang pecah ke bronkus.
c) Klinis merupakan pneumonia yang menahun (Alsagaff & Mukty, 2008).
7
1. Direabsorpsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang tadi mula-mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan kaseosa dan menimbulkan kavitas bila jaringan kaseosa
dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas
sklerotik). Kavitas ini dapat menjadi:
a) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan
diatas.
b) Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kavitas lagi.
Komplikasi kronik kavitas adalah kolonisasi oleh fungus seperti Aspergillus
dan kemudian menjadi misetoma (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2006).
Kavitas bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kavitas menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, dan menciut sehingga
kelihatan seperti bintang (stellate shaped) (Alsagaff dan Mukty, 2008).
8
Gambar 2.2. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Postprimer dan
Perjalanan Penyembuhannya
Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006
9
Menurut WHO 2011, Prevalensi kasus TB baru di Indonesia masih sangat
tinggi yaitu 100-299 per 100.000 populasi Menurut WHO 2011, Prevalensi kasus
TB baru di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 100-299 per 100.000 populasi.
10
Dampak pandemi infeksi HIV.
Meskipun secara nasional terdapat peningkatan perkembangan dalam
penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat provinsi masih
menunjukkan disparitas antar wilayah. Sebanyak 28 provinsi di Indonesia belum
dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi
menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan (KEMENKES, 2011)
11
2.5. Diagnosis
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda :
1. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dan lain-lain).
2. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
3. Sekret di saluran nafas dan ronki.
4. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung
dengan bronkus.
2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis)
3. Pemeriksaan sputum BTA Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa
ditegakkan dengan ditemukannya kuman tuberkulosis. Semua suspek
tuberkulosis diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
a. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
Fasyankes.
c. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi (Depkes RI, 2011).
4. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase) Merupakan uji serologi
imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidase staining untuk
menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.
5. Tes Mantoux/Tuberkulin
6. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis
tuberkulosis, yaitu :
1. Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus
bawah.
2. Bayangan berawan (patchy) atau bercak (nodular).
3. Adanya kavitas, tunggal atau ganda.
4. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.
12
5) Adanya kalsifikasi.
6) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
7) Bayangan milier (Mansjoer, Triyanti, Savitri, et al., 2000).
13
Gambar 2.6. Alur Diagnostik TB
14
3. Kasus setelah putus berobat (Default ) adalah pasien yang telah berobat dan
putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus lain: adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
Catatan: Meskipun sangat jarang, TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru juga
dapat mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik, dan kasus-
kasus seperti ini harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan),
radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik (Alsagaff & Mukty, 2008).
2.6.2. Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
15
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB
BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
16
Dalam guideline WHO tahun 2009 tentang panduan pengobatan
tuberculosis WHO memberikan rekomendasi dosis untuk tiap jenis obat
berdasarkan berat badan seperti yang tertera dalam tabel di bawah ini
17
2.6.4. Pengobatan TB kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya yaitu pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan
setelah putus berobat (default).
Untuk streptomisin, pasien yang berumur lebih dari 60 tahun mungkin tidak
bisa menoleransi dosis lebih dari 500-750 mg sehari, oleh karena itu
direkomendasikan untuk mengurangi dosis 10 mg/kg per hari pada pasien dengan
umur tersebut. Selain itu, pasien dengan berat kurang dari 50 kg mungkin tidak bisa
menoleransi dosis di atas 500-750 mg sehari.
18
Tabel 2.4. Dosis KDT untuk Sisipan
19
2.6.7. Pemantauan Dan Hasil Pengobatan TB
20
Tabel 2.8. Tatalaksana pasien yang tidak berobat teratur
Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan lama
pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan: lanjutkan pengobatan dulu sampai
seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus diperiksa dahak
(Depkes RI, 2007).
21