Anda di halaman 1dari 5

Keterlibatan Pulmonal dalam Crohn’s Disease: Laporan Kasus

Abstrak

Crohn’s Disease (CD) adalah penyakit inflamatorik granulomatosa yang dapat melibatkan
berbagai bagian saluran pencernaan, mulai dari mulut hingga anus. Pada kebanyakan kasus, CD
kambuh di ileum terminal, sehingga membutuhkan tatalaksana melalui bolus steroid. Namun,
pada kasus yang jarang, CD dapat melibatkan sistem pulmonal dengan manifestasi klinis dispnea
saat aktivitas dan batuk kering. Penulis menyajikan sebuah laporan kasus tentang seorang pria
berusia 38 tahun yang mengalami sesak napas, batuk, dan mengi selama satu bulan setelah
prosedur kolektomi karena megakolon toksik rekuren. Pasien ini sembuh dan berhasil
mentoleransi ekstubasi dan kemudian diresepkan mesalamine sebagai terapi pemeliharaan
(maintenance) untuk CD. Gejala pulmonal yang muncul setelah kolektomi, bersamaan dengan
hasil pemeriksaan imaging dan tes fungsi paru, menunjukkan keterlibatan pulmonal sebagai
bentuk progresif dari inflammatory bowel disease (IBD) primer. Setelah diagnosis ini
ditegakkan, pasien dirawat dengan steroid oral dosis tinggi, dan gejala pasien membaik secara
signifikan. Kasus ini menyoroti keterlibatan CD bronkopulmoner yang sering diabaikan pada
periode pasca operasi.

Kata kunci: Crohn’s Disease, inflammatory bowel disease, steroid, kambuh, mesalamine,
kolektomi
Pendahuluan

Crohn’s Disease (CD) adalah penyakit radang usus granulomatosa (inflammatory bowel disease /
IBD) yang dapat melibatkan bagian mana pun dari saluran pencernaan. Penyakit ini biasanya
sering kambuh. Tujuan pengobatan utama untuk pasien dengan pengobatan CD adalah untuk
mencapai dan mempertahankan remisi. Kekambuhan CD biasanya merupakan munculnya gejala
pada pasien yang sudah menggunakan terapi pemeliharaan (maintenance) kronis. Hingga
sebanyak 25% dari pasien CD dapat memiliki manifestasi ekstraintestinal, seperti eritema
nodosum, artritis, dan pioderma gangrenosum. Keterlibatan paru bukanlah manifestasi klasik
CD, tetapi bisa terjadi, mulai dari laten tanpa gejala hingga manifestasi klinis yang parah.
Berbagai faktor risiko dapat menyebabkan perkembangan IBD ke paru, dan kolektomi adalah
sebuah penyebab yang umum. Penulis menyajikan kasus keterlibatan paru dalam CD dengan
manifestasi klinis dispnea saat aktivitas, batuk, dan mengi setelah prosedur bedah.

Presentasi kasus

Seorang pria Afrika-Amerika berusia 38 tahun dengan riwayat CD selama tiga tahun datang ke
dokter pelayanan primernya dengan keluhan dispnea saat aktivitas dan batuk kering selama satu
bulan setelah kolektomi parsial dan rawat inap karena megakolon toksik. Selama dirawat di
rumah sakit sebelumnya, ia berhasil diekstubasi dan dapat mentoleransi prosedur dengan baik.
Pasien dipulangkan dengan dosis pemeliharaan mesalamine yang stabil. Pasca operasi, ia mulai
mengalami sesak napas progresif dan batuk kering. Pasien mengatakan bahwa ia tidak memiliki
riwayat asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), sarkoidosis, sindrom Goodpasture, atau
kerusakan paru kronis. Pada pemeriksaan fisik, mengi ditemukan selama auskultasi paru. Nilai-
nilai laboratoriumnya saat ini disajikan pada Tabel 1.

Tes fungsi paru (TFP) menunjukkan pola obstruktif karena penurunan volume ekspirasi paksa
pada detik pertama (VEP1) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Bronchoalveolar lavage (BAL) menunjukkan dominasi limfositik yang tinggi (Tabel 1). X-ray
dada (Gambar 1) dan CT scan dilakukan dan tidak ada hasil yang khusus.
Pada manifestasi klinis pertamanya, dokter meresepkan moxifloxacin empiris karena dugaan
(suspek) infeksi pernapasan pasca operasi. Namun, pasien tetap menunjukkan gejala klinis
setelah satu minggu pengobatan antibiotik. Hasil tes fungsi paru dan gejala yang dialaminya
tidak membaik dengan percobaan antibiotik. Riwayat CD-nya selama tiga tahun terakhir,
kolektomi baru-baru ini, temuan BAL-nya, dan hasil TFP-nya menunjukkan bahwa gejala klinis
yang dialaminya adalah akibat keterlibatan CD pada sistem pernapasannya. Pasien didiagnosis
dengan bronkitis karena CD, kemudian diresepkan steroid oral dosis tinggi, yang menghasilkan
perbaikan yang signifikan dalam gejala klinisnya. Pasien menjalani TFP berulang, dan VEP1-
nya kembali normal. Dokter memantaunya dengan steroid oral dan mengurangi dosis hingga ke
tingkat maintenance secara bertahap.

Diskusi

CD adalah penyakit granulomatosa kronis dengan kecenderungan melibatkan bagian mana pun
dari saluran pencernaan. CD biasanya memiliki pola remisi / relaps, dan lokasi keterlibatan CD
yang paling umum adalah ileum terminal. Namun, CD dapat melibatkan organ ekstraintestinal,
seperti mata, kulit, sendi, hati, dan paru. Satu lokasi CD yang tidak biasa adalah sistem
pulmonal. Keterlibatan pernapasan dalam IBD, termasuk CD, pertama kali dideskripsikan pada
tahun 1976 oleh Kraft et al., yang menunjukkan bahwa enam pasien mengalami keterlibatan
bronkopulmoner pada 3 hingga 13 tahun setelah onset awal IBD. Peneliti lain telah menemukan
faktor risiko yang menyebabkan keterlibatan paru dalam IBD. Penelitian oleh Camus et al.
menunjukkan keterlibatan paru yang tercatat dalam CD sering terjadi pada pasien setelah
kolektomi, timbul beberapa hari hingga beberapa minggu setelah prosedur bedah. Camus
mencatat bahwa sebanyak 8 dari 28 pasien mengalami gejala pulmonal setelah kolektomi pada
kasus IBD. Secara umum, CD dapat melibatkan saluran respiratorik mana pun — mulai dari
saluran udara yang lebih besar (mis., Trakea) hingga saluran napas terkecil (mis., Alveoli).

Patofisiologi keterlibatan saluran pernapasan pada CD belum dipahami dengan jelas,


tetapi mungkin terkait dengan turunan embriologis yang sama dari foregut primordial antara
sistem gastrointestinal dan sistem pulmonal. Mekanisme lain yang mungkin menyebabkan
keterlibatan saluran pernapasan adalah bahwa usus dan paru memiliki mucosal-associated
lymphatic tissue (MALT) yang berperan penting dalam respons mukosa terhadap patogen.
Respons mukosa terhadap antigen eksternal patologis ini dapat menjadi nidus untuk perubahan
inflamatorik yang terlihat dalam patogenesis CD dan menghasilkan produksi interleukin dan
tumor necrosis factor (TNF) alfa, yang dapat menyebabkan kerusakan paru akibat munculnya
reactive oxidative stress .

Keterlibatan CD pada paru dapat asimtomatik maupun menimbulkan gejala klinis.


Penyakit paru laten asimptomatik dalam CD sangat umum terjadi dan dapat dideteksi secara
tidak sengaja melalui tes skrining, seperti BAL dan TFP. Meskipun relaps/kekambuhan
simptomatik pada paru terkait CD jarang terjadi, kondisi ini dapat meliputi obstruksi saluran
napas atas, seperti stenosis trakea, trakea-bronkitis, bronkitis kronis, bronkiolitis granulomatosa,
dan bronkiektasis. Ada beberapa faktor risiko terjadinya kekambuhan CD pada paru, tetapi
prosedur bedah, seperti kolektomi, adalah faktor risiko yang umum terjadi. Riwayat CD dan
kolektomi terbaru pasien kami mungkin menyebabkan kondisinya berkembang hingga
melibatkan sistem pulmonal. Diagnosis banding untuk penyakit paru pada pasien dengan riwayat
CD termasuk infeksi, PPOK, penyakit granulomatosa kronis, dan penyakit paru akibat obat.
Khusus untuk populasi ini, sangat penting untuk membedakan antara kerusakan paru yang
diinduksi obat dan kekambuhan paru murni dari CD. Kerusakan paru yang diinduksi obat
menunjukkan jumlah eosinofil yang tinggi pada BAL sementara jumlah limfosit yang tinggi
biasanya terlihat pada kekambuhan primer CD. Pasien kami memiliki jumlah limfosit yang
tinggi pada pemeriksaan BAL, yang ditunjukkan oleh peningkatan rasio CD4 / CD8 seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 3.

Berbagai gejala pulmonal, riwayat IBD, TFP, imaging, bronkoskopi, dan temuan biopsi
dapat membantu dalam mendiagnosis keterlibatan paru pada CD. Kasus laten asimptomatis
biasanya terdetksi pada pemeriksaan TFP dan studi imaging. TFP direkomendasikan dalam kasus
laten asimptomatik karena dapat menunjukkan keterlibatan paru lebih awal dibandingkan
pemeriksaan radiologis. Abnormalitas fisiologis dalam pertukaran gas dapat dilihat pada kasus
laten dan sering digambarkan oleh nilai faktor transfer paru yang rendah untuk karbon
monoksida. Keterlibatan paru yang simtomatik bermanifestasi sebagai bronkitis, yaitu salah satu
presentasi yang paling umum.TFP dapat menunjukkan pola obstruktif yang sama dalam kasus
simptomatik. Seperti dalam kasus kami, bronkitis biasanya menunjukkan hasil x-ray yang biasa-
biasa saja. Temuan radiografi mungkin negatif pada kasus asimptomatik dan simptomatik.
Bronkoskopi adalah prosedur diagnostik pilihan yang dapat menunjukkan perubahan inflamasi,
termasuk kemerahan, pembengkakan, dan bercak dalam sistem trakeobronkial. Biopsi dapat
mengungkapkan granuloma non-caseating di paru. Setelah pasien didiagnosis CD dengan
keterlibatan paru, pengobatan steroid harus dimulai sesegera mungkin. Steroid aerosol, oral, atau
intravena sangat efektif dalam mengobati gejala klinis keterlibatan paru, dan efek ini dapat
diperkuat oleh normalisasi TFP setelah perawatan. Pasien kami secara klinis merespons
pengobatan steroid dengan baik, dan hal ini didukung oleh normalisasi TFP pada pemeriksaan
follow up seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Kesimpulan

Manifestasi klinis, pemeriksaan laboratorium, dan temuan imaging pasien kami mengkonfirmasi
keterlibatan bronkopulmoner dalam CD. Kolektomi adalah faktor risiko yang sering dikaitkan
dengan keterlibatan paru pada CD. Dokter harus mempertimbangkan kemungkinan CD dalam
diagnosis bandingnya jika pasien memiliki riwayat CD dan mengalami gejala pulmonal.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki patofisiologi keterlibatan bronkopulmoner
dalam CD. Setelah diagnosis ditegakkan oleh kombinasi temuan gejala klinis, imaging, dan hasil
TFP, steroid dosis tinggi harus dimulai dan dikurangi secara bertahap selama beberapa minggu
selanjutnya. Pasien biasanya merespon terapi steroid dengan baik, dan pemeriksaan TFP
berulang disarankan selama follow up untuk mendeteksi perbaikan kondisi obstruktif.

Anda mungkin juga menyukai