Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

APPENDISITIS DAN APPENDIKTOMI

1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran
3-15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insidens apendisitis pada usia itu (Departemen Bedah UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa
dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah
dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan
pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks
retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale (Departemen Bedah UGM,
2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika
superior dan apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X.
Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus
(Sjamsuhidajat, 2004).
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.
Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, 2004).

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator
yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang

1
saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat,
2004).

2. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Penyakit ini mengenai
semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki
berusia 10 sampai 30 tahun (mansjoer, 2000). Apendisitis adalah infeksi pada apendiks
karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasia jaringan limfoid dan
cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Erosi mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti E. Coli. Apendisitis merupakan penyebab
yang paling umum dari inflamasi akut kuadran kanan bawah rongga abdomen dan
penyebab yang paling umum dari pembedahan abdomen darurat. Pria lebih banyak
terkena daripada wanita, remaja lebih banyak dari orang dewasa. Insiden tertinggi adalah
mereka yang berusia 10 sampai 30 tahun (Baughman, 2000).

3. Klasifikasi Apendisitis
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik
(Sjamsuhidayat, 2005).
 a) Apendisitis akutApendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun
tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut ialah nyeri samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mc Burney. Disini
nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat.
 b) Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik
dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh
dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara
1-5%.

4. Epidemiologi
Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian appendiksitis di sebagian besar
wilayah indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien yang
menderita penyakit apendiksitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di
Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di indonesia, apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari ikut
abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan
abdomen. Insidens apendiksitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara
kasus kegawatan abdomen lainnya (Depkes 2009).

2
Data epidemiologi apendisitis jarang terjadi pada balita, insidennya hanya 1%.
Apendisitis mengalami peningkatan pada masa pubertas, dan mencapai puncaknya pada
saat remaja dan awal 20-an, sedangkan penderita apendisitis mengalami penurunan
menjelang dewasa (Pieter,2005). Hal ini berkaitan dengan bentuk anatomis dari apendiks
pada laki-laki lebih lurus daripada apendiks perempuan, sehingga resiko untuk
masuknya makanan dan terjadi sumbatan lebih tinggi.

5. Etiologi dan faktor resiko Apendisitis


Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris
dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis adalah E. coli (Sjamsuhidajat, 2004).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah
timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, 2004).
6. Patofisiologi
Terlampir

3
6. Manifestasi klinis
Menurut Pieter, 2005 manifestasi klinis apendisitis akut antara lain:
1. Tanda awal
 Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksia
2. Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di
titik Mc Burney
 nyeri tekan
 nyeri lepas
 defans muskuler
3. nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
 nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
 nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
 nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,
 mengedan

7. Pemeriksaan Diagnostik Apendisitis


a) Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan terlihat
distensi perut.
 Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci
diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut
kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri
bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda
Blumberg (Blumberg Sign).
 Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk menentukan
letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa
nyeri, maka kemungkinan appendiks yang meradang terletak di daerah pelvic.
 Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha
kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi
sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang meradang kontak dengan
obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri.
b) Tes laboratorium
Jumlah leukosit berkisar antara 10.000 dan 16.000/mm³ dengan pergeseran ke kiri
(lebih dari 75 persen neutrofil) pada 75 persen kasus yang ada. 96 persen diantaranya
leukositosis atau hitung jenis sel darah putih yang abnormal. Tetapi beberapa pasien
dengan apendisitis memiliki jumlah leukosit yang normal. Pada urinalisis tampak sejumlah
kecil eritrosit atau leukosit.
c) Foto sinar-X
Tak tampak kelainan spesifik pada foto polos abdomen. Barium enema mungkin dapat
untuk diagnosis tetapi tundakan ini dicadangkan untuk kasus yang meragukan

4
d) Appendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang
diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum pemeriksaan
kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram
diexpertise oleh dokter spesialis radiologi.
e) Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning
(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 9697%
f) Analisa
Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi
saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah
g) Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase
untuk membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
h) Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG)
untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan
i) Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
j) Pemeriksaan foto polos abdomen
Tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis, tetapi mempunyai arti penting dalam
membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan

8. Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu -
satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya
tidak diperlukan pemberian antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforate. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi (Sjamsuhidajat, 2004).
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi.
Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada
penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostic pada kasus
meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Sjamsuhidajat,
2004).
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik
berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi
dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik

5
Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah). Alternatif lain operasi
pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi.
Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam
rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga
dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan
bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya
antara satu dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).

Adapun pendapat lain, adalah sebagai berikut :


Penatalaksanaan apendisitis tergantung dari nyeri apendisitisnya akut atau
kronis.Penatalaksanaan bedah ada dua cara yaitu non bedah (non surgical) dan
pembedahan (surgical).

1. Non bedah (non surgical)


Penatalaksanaan ini dapat berupa :
a. Batasi diet dengan makan sedikit dan sering (4-6 kali perhari)
b. Minum cairan adekuat pada saat makan untuk membantu proses pasase makanan
c. Makan perlahan dan mengunyah sempurna untuk menambah saliva pada makanan
d. Hindari makan bersuhu ekstrim, pedas, berlemak, alkohol, kopi, coklat, dan jus jeruk
e. Hindari makan dan minum 3 jam sebelum istirahat untuk mencegah masalah refluks
nonturnal
f. Tinggikan kepala tidur 6-8 inchi untuk mencegah refluks nonturnal
g.Turunkan berat badan bila kegemukan untuk menurunkan gradient tekanan gastro
esophagus
h. Hindari tembakan, salisilat, dan fenibutazon yang dapat memperberat esofagistis.

2. Pembedahan
Yaitu dengan apendiktomi. Operasi apendisitis dapat dipersiapkan hal -hal sebagai
berikut:
Insisi tranversal 5 cm atau oblik dibuat di atas titik maksimal nyeri tekan atau massa yang
dipalpasi pada fosa iliaka kanan. Otot dipisahkan ke lateral rektus abdominalis.
Mesenterium apendikular dan dasar apendiks diikat dan apendiks diangkat. Tonjolan
ditanamkan ke dinding sekum dengan menggunakan jahitan purse string untuk
meminimalkan kebocoran intra abdomen dan sepsis. Kavum peritoneum dibilas dengan
larutan tetrasiklin dan luka ditutup. Diberikan antibiotic profilaksis untuk mengurangi luka
sepsis pasca operasi yaitu metronidazol supositoria (Syamsuhidayat, 2004).

9. Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens
lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah
awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan

6
toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).
Komplikasi yang paling sering adalah perforasi apendisitis.
Perforasi usus buntu dapat mengakibatkan periappendiceal abses (pengumpulan
nanah yang terinfeksi) atau peritonitis difus (infeksi selaput perut dan panggul). Alasan
utama untuk perforasi appendiceal adalah keterlambatan dalam diagnosis dan
perawatan. Secara umum, semakin lama waktu tunda antara diagnosis dan operasi,
semakin besar kemungkinan perforasi. Risiko perforasi 36 jam setelah onset gejala
setidaknya 15%. Oleh karena itu, setelah didiagnosa radang usus buntu, operasi harus
dilakukan tanpa menunda - nunda.
Komplikasi jarang terjadi pada apendisitis adalah penyumbatan usus. Penyumbatan
terjadi ketika peradangan usus buntu sekitarnya menyebabkan otot usus untuk berhenti
bekerja, dan ini mencegah isi usus yang lewat. Jika penyumbatan usus di atas mulai
mengisi dengan cairan dan gas, distensi perut, mual dan muntah dapat terjadi. Kemudian
mungkin perlu untuk mengeluarkan isi usus melalui pipa melewati hidung dan
kerongkongan dan ke dalam perut dan usus. Sebuah komplikasi apendisitis ditakuti adalah
sepsis, suatu kondisi dimana bakteri menginfeksi masuk ke darah dan perjalanan ke
bagian tubuh lainnya.

Kebanyakan komplikasi setelah apendektomi adalah (Hugh A.F. Dudle y, 1992):


1. Infeksi luka dan perforasi.
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus
dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari
38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis
2. Abses residual
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula -mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum
3. Sumbatan usus akut,
4. Ileus paralitik
5. Fistula tinja eksternal
6. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang
dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elek trolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.

10. Pencegahan
Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian
appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh kepada
masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain:
a. Diet tinggi serat

7
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insidens
timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet tinggi serat
mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan. Serat dalam
makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa, dan pektin yang membantu
mempercepat sisi -sisa makanan untuk diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi
konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.
b. Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan yang
mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang teratur
mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari
mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan
keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon. Frekuensi defekasi yang jarang akan
mempengaruhi konsistensi feces yang lebih padat sehingga terjadi konstipasi.
Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga terjadi sumbatan fungsional
appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Pengerasan feces
memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks dan menjadi
media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan
pada appendiks
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk
mencegah
timbulnya komplikasi

11. Asuhan Keperawatan Teoritis


Menurut Doenges (2000) pengkajian pada pasien dengan :
a. Pre Appendiktomi
1) Aktivitas
 Gejala : Malaise
2) Sirkulasi
 Tanda: Tachicardia
3) Eliminasi
 Gejala : Konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang)
 Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan penurunan/ tidak ada
bising usus
4) Makanan/ cairan
 Gejala : Anoreksia, mual/muntah
5) Nyeri/ kenyamanan
 Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrum dan umbilikus, yang meningkat berat dan
terlokalisasi pada titik Mc Burney (setelah jarak antara umbilikus dan tulang ileum
kanan). Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau
sekitar (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
berupa nyeri umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di
abdomen kanan bawah somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium
biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk. (W.
De Jong,R. Sjamsuhidajat, 2004)

8
 Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang dengan lutut
ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki
kanan/ posisi duduk tegak.
6) Keamanan
 Tanda : demam (biasanya rendah). Demam terjadi bila sudah ada komplikasi, bila
belum adakomplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-
38,5º
7) Pernafasan
 Tanda : takipnea/ pernafasan dangkal
8) Penyuluhan/ pembelajaran
 Gejala : Riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri abdomen contoh
pielitis akut, batu uretra, dapat terjadi pada berbagai usia

b. Post Appendiktomi
1) Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, edema pulmonal, penyakit vaskuler perifer.
2) Integritas ego
Gejala : perasaan takut, cemas, marah, apati.
Tanda : tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang, stimulasi
simpatis
3) Makanan/ cairan
Gejala : insufisiensi pangkreas, malnutrisi, membran mukosa yang kering
4) Pernafasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok
5) Keamanan
Gejala : alergi, defisiensi imun, riwayat keluarga tentang hipertermi malignan/reaksi
anastesi, riwayat penyakit hepatik, riwayat transfusi darah
Tanda : munculnya proses infeksi yang melelahkah, demam

A. DIAGNOSA KEPERAWATAN PRE OP

1. Hipertermi
DS :
- Klien mengeluh
demam
DO :
- suhu : 38,5 0 c
- Leukosit : 30000/ dl

9
Etiologi

Inflamasi apendiks

apendisitis

Reaksi inflamasi

Merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang

Menstimulasi pusat termoregulator di hypothalamus

Peningkatan suhu tubuh

Hiperthermi

Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolism akibat peradangan

2. Nyeri akut/kronis
DS
 - mengeluh nyeri perut kanan
 - Nyeri hilang timbul
 - Kadang menyebar disektar umbilicus
DO:
- Nyeri tekan lepas
- Nadi : 110x/menit
- RR : 25 x/m

Etiologi

Inflamasi apendiks

apendisitis

Respon peradangan
Nyeri akut
- Skala nyeri 8

Pelepasan mediator nyeri (histamin, bradikinin, prostaglandin, serotonin)

Merangsang nosiseptor pada ujung saraf bebas

Pengiriman impuls nyeri ke medulla spinaslis (N. Thorakalis X)

nyeri

10
B. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolism akibat peradangan

Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, masalah


keperawatan hipertermi dapat diatasi dengan

Kriteria hasil (NOC):


a. Thermoregulation
- Suhu tubuh dalam batas normal (36-37,5 C)
- Kulit tidak teraba panas
- Nadi dan RR dalam rentang normal (RR: 16-20x/menit, N: 60-100x/menit)

Intervensi (NIC)
a. Fever treatment
 Kaji suhu tubuh klien secara berkala
 Monitor warna dan suhu kulit
 Monitor tekanan darah, nadi, dan RR
 Monitor WBC, Hb, dan Hct
 Berikan kompres air dengan suhu normal; hindari penggunaan alkohol.
 Tingkatkan sirkulasi udara
 Catat adanya fluktuasi tekanan darah
 Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membrane mukosa
 Pantau intake dan output pasien
 Dorong pasien untuk meningkatkan intake cairannya
 Kolaborasikan dengan tim medis tentang pemberian antipiretik
 Kolaborasikan pemberian cairan IV

2. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan agen cidera


Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, nyeri dapat diatasi
dengan

Kriteria hasil (NOC):


a. Pain Level
- Melaporkan nyeri berkurang
- Ekspresi wajah menunjukan penurunan nyeri
- RR : 20 x/menit
- Nadi : 80 x/ menit

Intervensi
a. Pain management
 Kaji nyeri (lokasi, karakter, onset/durasi, frekuensi, intensitas).
 Amati isyarat nonverbal ketidaknyamanan.
 Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui riwayat nyeri klien.

11
 Kaji pengetahuan dan kepercayaan klien tentang nyeri.
 Kaji penggunaan metode pereda nyeri farmakologi saat ini.
 Tentukan pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup klien (nafsu makan, aktifitas).
 Berikan informasi kepeda klien tentang penyebab nyeri.
 Kontrol lingkungan yang dapat mempegaruhi respon nyeri klien.
 Kurangi/ hilangkan faktor yang dapat meningkatkan nyeri.
 Pastikan pemberian analgesic farmakologi sebelum prosedur operasi.

A. DIAGNOSA KEPERAWATAN POST OP

1. Resiko Infeksi

- Terdapat luka bekas operasi Post appendiktomi



Teputusnya kontinuitasjaringan akibat insisi

Resiko pemajanan mikro organism

Resiko infeksi

Resiko Infeksi Berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat

2. Nyeri Akut

DS:
 - Klien mengeluh nyeri pada area operasi
DO:
 - Nadi : 110x/menit
 - RR : 25 x/m
Post Appendiktomi

Teputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi

Berkurangnya efek anastesi

Pengiriman impuls nyeri ke medulla spinalis oleh serabut saraf sekitar

Nyeri akut

Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera (post operasi)

12
3. Kerusakan Integritas Jaringan

DS: -
Do : - Terdapat luka bekas
Post operasi

Teputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi Kerusakan integritas jaringan berhubungan
dengan faktor mekanik oprasi pengambilan jaringan apendik yang radang

Kerusakan integritas jaringan

B. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Resiko Infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adequate
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam, resiko infeksi klien dapat diatasi
dengan

Kriteria hasil (NOC):


Tissue Integrity : kulit dan mucous membrane
 - Temperatur kulit disekitar luka sama dengan di temperature di area yang perut
 - Tekstur dan Integritas kulit sekitar luka baik
 - Pigmen warna kulit yang luka merah segar dan tak ada tanda-tanda necrosis
Intervensi (NIC) :
a. Infection Control
 Monitor status hemodynamic pasien (Hb, Ht, Leukosit, Trombosit)
 Kontrol lingkungan untuk mencegah infeksi
 Perawatan dan pergantian peralatan atau protocol yang digunakan pasien (pergantian
balutan sesuai indikasi)
 Lakukan teknik aseptic pada setiap prosedur tindakan invasive yang ditujukan pada
pasien (seperti saat penggantian balutan menggunakan sarung tangan steril)
 Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan pada pasien
 Ajari pasien dan keluarga untuk mengenal tanda dan gejala infeksi
 Berikan antobiotik jika diperlukan
b. Infection Protection
 Monitor tanda dan gejala sistemik yang berhubungan dengan infeksi
 Observasi kulit, jaringan, dan mucous membrane pada luka dan sekitar luka
 Tingkatkan intake nutrisi dan cairan untuk menunjang penyembuhan luka pasienmenjadi
cepat
 Anjurkan meningkatkan istirahat untuk mempercepat proses penyembuhan luka
 Ajari pasien dan keluarga untuk mengenali tanda dan gejala infeksi serta bagaimana
cara untuk menghindari resiko infeksi (misalnya : modifikasi lingkungan untuk mencegah
timbulnya sarang kuman, bakteri atau virus)

13
2. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera (post operasi)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam, nyeri klien berkurang dengan

Kriteria hasil:
Pain level
 - Mengatakan nyeri berkurang
 - Ekspresi wajah menunjukan nyeri berkurang
Pain control
 - Melaporkan nyeri berkurang
Intervensi
NIC:
Pain Management
 Kaji keluhan nyeri klien secara komprehensif termasuk lokasi,karakteristik,
onset/durasi,frekuensi, kualitas, intensitas dan besarnya keluhan nyeri yang dirasakan
klien.
 Observasi tanda non verbal klien akibat nyeri
 Kaji pengaruh budaya terhadap persepsi nyeri klien
 Kaji faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan persepsi nyeri klien, seperti lingkungan,
suhu, suara dan lain-lain
 Jelaskan kondisi yang dialami klien saat ini
 Kolaborasikan pemberian analgesik yang sesuai untuk kondisi klien
 Anjurkan klien untuk istiharahat secara adequate untuk mempercepat penyembuhan.
 Gunakan strategi komunikasi terapeutik dan teknik relaksasi (pemberian music, nafas
dalam, dll) untuk membantu klien untuk meringankan nyeri.
 Monitor kepuasan pasien tehadap manajemen nyeri.

3. Kerusakan Integritas Jaringan berhubungan dengan faktor mekanik


Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam, nyeri klien berkurang dengan

Kriteria hasil (NOC):


a. Tissue integrity : Skin and mucous membranes
- Jaringan bekas luka dapat menutup
- Tidak terjadi nekrosis
- Tidak ditemukan eritema

Intervensi (NIC) :
a. Wound care
 Monitor karakteristik dari luka, termasuk drainase, warna, ukuran dan bau
 Bersihkan dengan normal salin dan nontoxic cleanser
 Berikan salep yang cocok untuk lesi
 Gunakan teknik steril dressing ketika melakukan perawatan luka
 Jelaskan pada pasien untuk menghindari posisi yang dapat menyebabkanketegangan
pada luka
 Ajarkan pada pasien dan keluarga proses perawatan luka Jelaskan pada pasien tentang
tanda-tanda infeksi (rubor, calor, dolor, fungsiolesa)

14

Anda mungkin juga menyukai