Anda di halaman 1dari 39

MENYAKSIKAN SIKSA KUBUR

- Sebuah Kisah Nyata -

Arsad Handoyo
Juni 2017

1
Penulis menuangkan kisah ini berdasarkan penuturan
pihak-pihak (bukan satu orang) yang secara langsung
mengalami dan menyaksikan peristiwa ini. Nama-
nama orang, nama-nama keluarga atau kelompok,
nama-nama tempat, dan waktu sengaja dikaburkan
oleh penulis, demi menjaga tali silaturahmi.

2
BAGIAN SATU

Ustaz Syarifuddin mendapat kabar melalui pesan singkat dari


seorang saudaranya, Rahman, bahwa seorang sahabat karib
saudaranya tersebut baru saja meninggal dunia. Tadinya
Rahman berniat meminta tolong kepada Ustaz Syarifuddin
untuk melakukan prosesi jenazah, sayangnya Sang Ustaz
sedang berada di luar kota dan baru akan kembali malamnya.
“Donny yang wafat ini, bukankah sahabatmu yang sedang
kamu ajak bertaubat itu?” tanya Ustaz Syarifuddin via
telepon. “Ya, benar 'Tad,” kata Rahman.

Ustaz Syarifuddin tertunduk di ujung telepon, lalu bertanya


lagi, “Waktu wafat, apakah almarhum dalam keadaan masih
suka mengkafir-kafirkan orang lain selain golongannya?”
Rahman menjawab, “Yah..,” ujar Rahman sambil menghela
napas panjang, “itulah sayangnya, Tad. Saya berharap dia bisa
menjadi lebih baik, tetapi Allah berkehendak lain.”

Ustaz Syarifuddin lalu bilang, “Sekali lagi saya mohon maaf


tidak dapat berperan dalam prosesi jenazah. Silakan tanya
kepada orang tuanya, siapa yang akan diserahkan hak dan
tanggung jawab untuk memprosesi jenazah almarhum.”
Setelah beberapa pesan disampaikan pada Rahman, Ustaz
Syarifuddin mohon diri.

Setibanya di Bandung pada malam hari menjelang dini


harinya, Ustaz Syarifuddin langsung menelepon Rahman lagi
dan mengonfirmasi apakah prosesi jenazah sudah selesai
atau belum. “Alhamdulillah sudah, Tad,” kata Rahman,
“almarhum Donny dikebumikan tadi sore setelah salat
Ashar.”

3
Rahman juga menambahkan, semua pesan Ustaz Syarifuddin
sudah dilaksanakan sebaik-baiknya – mulai dari memandikan
jenazah secara lemah lembut, pengkafanan, salat jenazah,
sampai kepada proses pemakaman, talkin, dan tahlil setelah
pemakaman.

“Awalnya sempat ada penolakan, Tad,” kata Rahman, “dari


pihak keluarga almarhum dan terutama dari kelompok
pengajiannya.” Rahman menjelaskan, bahwa ketika
menyampaikan amanat Ustaz Syarifuddin kepada ayah
almarhum, beberapa orang dari keluarga almarhum justru
menolak atas desakan kelompok pengajian almarhum.

“Menurut mereka, tahlil, talkin, dan mendoakan jenazah


setelah dikebumikan itu bidah dan haram hukumnya.” Pada
ujung telepon, Ustaz Syarifuddin menggeleng-gelengkan
kepala. “Alhamdulillah,” lanjut Rahman, “ayah almarhum
mengambil keputusan bahwa prosesi jenazah harus
dilakukan dengan cara saya dan rekan-rekan.”

“Alhamdulillah kalau begitu,” ujar Ustaz Syarifuddin, “semoga


almarhum husnul khotimah, mendapatkan limpahan rahmat
Allah, diampuni dosa-dosanya, dimaafkan semua
kesalahannya, dan dilipatgandakan pahalanya.” Ustaz
Syarifuddin pamit, lalu menutup teleponnya setelah berpesan
pada Rahman untuk menemaninya berziarah pada almarhum
Donny sebelum salat Zuhur di hari yang sama.

Sekitar pukul 10 pagi, Ustaz Syarifuddin datang menemui


Rahman yang menanti di gerbang Taman Pemakaman Umum
(TPU) Ciharus di Bandung. Lalu sambil berbincang kecil soal
bagaimana kewafatan almarhum Donny, mereka berdua

4
memasuki areal pemakaman. “Itu makamnya di sana, Tad,”
kata Rahman, sambil menunjuk ke suatu arah.

Pada arah yang ditunjuk Rahman tadi, terlihat ada


kerumunan beberapa orang – sekitar tujuh atau delapan
orang. Ustaz Syarifuddin berfirasat tidak enak, namun
mengabaikannya dengan asumsi itu adalah para peziarah
yang kemarin tak sempat ikut pemakaman almarhum.

Rahman dapat mengenali tiga orang di antaranya; Pak Wanto,


ayah dari almarhum Donny, lalu ada pak Boyke, pengawas
TPU, dan satu lagi adalah pak Mukhsin, tenaga penggali kubur
sekaligus orang yang merawat kuburan di sana.

Ketika semakin mendekati makam almarhum Donny, Ustaz


Syarifuddin dan Rahman sama-sama dapat mendengar
perbincangan di antara kerumunan orang itu. Berdasarkan
nada bicara dan mimik wajah mereka, itu bukanlah suatu
perbincangan yang baik.

“Lantas bagaimana ini pak Boyke? Kok bisa salah lubang, sih?
Saya tak habis pikir,” ujar seseorang di antara mereka, dengan
nada sangat kecewa.

Lawan bicaranya yang disebut sebagai pak Boyke menjawab,


“Saya mengakui bahwa ini adalah murni kesalahan saya
sebagai pengawas dan saya mohon maaf sebesar-besarnya.
Seharusnya saya hadir saat pemakaman kemarin, untuk
memastikan semuanya lancar. Ternyata anak saya tertabrak
motor, jadi saya harus ke rumah sakit.”

Pak Boyke melanjutkan, “Sementara itu, tugas pak Mukhsin


dan kawan-kawan memang hanya menggali dan menutup
lubang makam, sesuai dengan apa yang saya perintahkan. Jadi

5
tidak ada kesalahan pak Mukhsin sama sekali di sini.” Seorang
lainnya menimpali, “Ya okelah kami maafkan kesalahan ini,
lantas apa solusinya?”

“Kalau bapak-bapak tidak berkeberatan, kita tunggu sampai


pemilik lubang ini datang,” kata pak Boyke sambil menyeka
keringat dingin yang menitik di dahinya, “karena tak lama lagi
mereka akan tiba di sini.”

Sambil berlipat dahi, orang pertama tadi menjawab, “Ya


sudahlah, kita tunggu saja. Kita harus dengar pendapat
mereka, karena ini lubang untuk jenazah dari keluarga
mereka dan bukan untuk almarhum anak saya.” Rupanya
orang yang sedang menahan amarah itu adalah pak Wanto,
ayah dari almarhum Donny.

“Asalamualaikum,” sapa Rahman diikuti oleh Ustaz


Syarifuddin. “Wa alaykum salaam,” sahut kerumunan orang
tadi berbarengan. “Eh, Rahman!” seru ayah almarhum Donny,
“kok datang lagi? Terima kasih sekali ya, kemarin sudah
banyak membantu.” Rahman berkata, “Tidak apa-apa, Om.
Donny kan sudah seperti saudara kandung bagi saya.” Mereka
berdua berjabat tangan lalu berpelukan.

“Oh iya,” kata Rahman sambil melepaskan pelukan,


“perkenalkan, Om, ini Ustaz Syarifuddin. Awalnya saya minta
tolong Ustaz Syarifuddin untuk memproses jenazah Donny
kemarin, tetapi beliau sedang di luar kota sampai dini hari
tadi.” Singkat kata, keduanya berkenalan, bersalaman, dan
berpelukan.

“Saya turut berduka cita sedalam-dalamnya, pak,” kata Ustaz


Syarifuddin, disambung dengan doa dan harapan untuk
almarhum. “Terima kasih, pak Ustaz,” sahut ayah almarhum,

6
“kalau boleh tahu, ada keperluan apa pak Ustaz datang ke
sini?”

Rahman menjawab duluan, “Ustaz Syarifuddin pernah


mengenal almarhum, Om. Walau baru tiga kali bertemu,
tetapi merasa ada kewajiban untuk menziarahinya.” Ayah
almarhum terlihat terharu, “Wah, luar biasa. Terima kasih,
Ustaz, terima kasih banyak. Mohon doakan agar almarhum
terampuni dosa-dosanya.” Ustaz Syarifuddin mengucapkan
inshaAllah, kemudian berkata, “Pak, mohon maaf sekali, tadi
saya lihat ada semacam argumentasi di antara bapak-bapak
di sini. Ada apa pak?”

Ayah almarhum tertunduk, lalu mengatakan, “Kami


menguburkan jenazah Donny di lubang yang salah.” Rahman
nampak terkejut, namun Ustaz Syarifuddin seperti datar-
datar saja dan bertanya mengenai solusinya. Ayah almarhum
berkata, “Almarhum anak saya, Donny, itu juga ustaz –
barangkali Ustaz Syarifuddin mengetahuinya. Makanya saya
luar biasa terkejut dan sangat malu mengenai peristiwa ini.
Masa seorang ustaz bisa salah pemakamannya? Nah,
mumpung ada ustaz juga di sini, saya sekalian mau
konfirmasi,” disimak semua orang yang ada di situ. “Apakah
diperbolehkan memindahkan jenazah dari satu lubang kubur
ke lubang kubur lainnya?”

Ustaz Syarifuddin tersenyum, “Boleh, pak,” katanya, “Selama


kuasa warisnya memperbolehkan.” Ayah almarhum terlihat
lega sekali. “Alhamdulillah. Kalau begitu benar pak Boyke
bilang tadi, kita tunggu sampai keluarga pemilik liang lahat ini
datang, lalu kita musyawarahkan dengan mereka.”

7
Pak Boyke nampak lega sekali. Tanpa disadari, hadirin hening
sejenak saat ada suara-suara yang tak mereka kenali
terdengar sayup-sayup, namun nampaknya tak satupun dari
mereka yang ingin membicarakannya. “Kalau begitu, saya
tangguhkan ziarahnya,” kata Ustaz Syarifuddin, “barangkali
nanti diputuskan ada pemindahan jenazah, biar sekalian saya
yang mengurusinya.” Ayah almarhum tersenyum lebar sekali
dan berulang kali mengucapkan terima kasih.

Setelah salat Zuhur berjamaah di musala di kantor TPU,


Rahman bertanya pada Ustaz Syarifuddin. “Tad,” katanya
sambil berbisik, “tadi waktu di sebelah makam almarhum,
Ustaz mendengar ada suara-suara aneh tidak?” Ustaz
Syarifuddin, dengan mimik wajahnya yang datar, balik
bertanya, “Suara apa?” Rahman berbisik lagi, “Tadi saya
mendengar ada suara-suara seperti tulang dipatahkan. ‘Krak!
Krak! Krak!’ Juga ada suara orang yang berteriak-teriak
menjerit kesakitan.” Ustaz Syarifuddin tertunduk lemas, lalu
gantian berbisik, “Nanti sajalah kita bahas.”

Tak lama kemudian, datanglah serombongan orang – lima


orang pria, dan mereka terdengar memperkenalkan diri
sebagai keluarga almarhum Dian Kusuma. Pak Boyke berdiri
dari tempat duduknya, lalu mempersilakan rombongan tadi
untuk mengikutinya. “Pak Wanto,” kata pak Boyke pada ayah
almarhum Donny, “perkenalkan, ini pak Basyir, ayah
almarhum Dian Kusuma, pemilik liang lahat yang sekarang
digunakan oleh almarhum Donny.” Kedua ayah para
almarhum itu berjabat tangan, saling mengucap bela
sungkawa, berpelukan, lalu bertukar senyum ala kadarnya.

“Sebelumnya,” kata pak Wanto, “saya memohon beribu maaf


kepada seluruh keluarga almarhum Dian Kusuma atas….” Pak

8
Boyke mendadak memotong, “Maaf sekali, pak,” katanya,
“kesalahan seluruhnya ada pada saya selaku pengawas.
Keluarga almarhum Donny maupun para tukang gali….”
Namun belum sempat pak Boyke menyelesaikan kalimatnya,
“Sudahlah,” orang yang disebut sebagai ayah almarhum Dian
Kusuma tadi gantian memotong. “Tidak ada yang
menginginkan ini terjadi. Saya yakin ini semua
ketidaksengajaan.” Semua terdiam. “Mengenai solusinya,”
kata pak Basyir, “saya serahkan kepada keluarga almarhum
yang sudah terkubur. Bagi kami tidak masalah, di lubang
kubur yang mana almarhum anak saya akan dimakamkan.”

Mendengar ujaran itu, kedua mata pak Wanto langsung


berbinar. Ia menoleh ke Ustaz Syarifuddin lalu berkata,
“Bagaimana sebaiknya pak Ustaz?” Ustaz Syarifuddin berkata
sambil tersenyum, “Itu sepenuhnya hak dan tanggung jawab
kuasa waris dari almarhum, pak. Silakan bapak tentukan. Jika
dirasa perlu berembuk dengan anggota lain dari keluarga,
juga dipersilakan. Nanti saya bantu seratus persen jika
diputuskan untuk memindahkan jenazahnya dan sebaiknya
kita langsung lakukan sekarang sebelum hujan.”

Pak Wanto langsung mengambil keputusan, “Saya ayahnya,


sayalah yang paling berhak dan bertanggung jawab atas ini.
Jadi saya putuskan untuk memindahkan jenazah ke lubang
kubur aslinya.” Hadirin di sana nampak puas akan keputusan
itu, juga keluarga almarhum Dian Kusuma. Pak Boyke lalu
memanggil pak Mukhsin dan memerintahkannya untuk
mengumpulkan para penggali kubur yang lain. Setelah itu,
prosesi pemindahan jenazah dimulai.

9
BAGIAN DUA

Para hadirin berdiri mengelilingi makam almarhum Donny


pada siang hari yang mendung itu, mengamini doa yang
dipanjatkan oleh Ustaz Syarifuddin. Ia berdiri dekat posisi
kepala makam, dikelilingi hadirin lainnya. Setelah itu mereka
menyaksikan para tukang beraksi dengan keahliannya,
menggali ulang kuburan yang baru saja ditutup sehari
sebelumnya. Untunglah baru selang sehari, tanahnya masih
sangat gembur – sama seperti sewaktu kuburan itu ditutup
kemarin. Tak perlu lama, tanah di bawah kaki tiga penggali itu
sudah berkurang sampai batas lutut mereka. Beberapa menit
kemudian, mereka sudah dapat melihat kayu penutup
jenazah di bagian sisi pada dasar liang lahat.

“Eh, stop, stop!” kata pak Mukhsin sambil mengangkat tangan


kirinya. Dua penggali lainnya langsung berhenti dan menoleh
ke pak Mukhsin. Ia ketuk-ketuk kayu penutup menggunakan
pacul yang di tangan kanannya, lalu sebagian tanah yang
menempel pada deretan kayu tadi berjatuhan. Ia
mengerutkan dahinya, lalu berjongkok mendekati posisi
jenazah. “Astagfirullah!” seru pak Mukhsin dengan suara
lantang, “Astagfirullah! Astagfirullah!”

Ustad Syarifuddin langsung melompat masuk ke liang lahat


tanpa perlu diperintah. Ia berjongkok di dekat pak Mukhsin

10
lalu bertanya, “Ada apa pak?” Pak Mukhsin, yang kini
wajahnya sepucat kertas HVS, berkata, “Itu.... Itu...,” sambil
menunjuk ke arah deretan kayu penutup. Ustaz Syarifuddin
menoleh ke arah yang ditunjuk pak Mukhsin, lalu
menyerukan sesuatu dalam bahasa Arab dengan nada
tertahan. Pak Wanto kontan penasaran, “Ada apa, sih?” Ia
bersiap untuk turun ke liang makam, namun Ustaz
Syarifuddin mencegahnya. “Jangan turun, pak. Bapak di sana
saja, di sini penuh sekali.” Ayah almarhum Donny itu
mengurungkan niatnya lalu bertanya, “Ya, okelah, tapi ada
apa di situ?” Ustaz Yusuf berdiri dari jongkoknya, “Sebentar,
saya naik dulu,” katanya, sambil satu tangannya berpegangan
ke tepian liang lahat lalu ditarik ke atas oleh dua orang
hadirin. Ia berjalan mendekati pak Wanto sambil berkata,
“Pak Mukhsin, hentikan dulu penggaliannya.”

Berdiri di sebelah pak Wanto, Ustaz Syarifuddin berkata, “Pak


Wanto, silakan lihat ke arah yang ditunjuk oleh pacul yang
dipegang pak Mukhsin.” Pak Wanto agak merundukkan badan
dan menopangkan kedua lengan pada kedua lututnya, lalu
memicingkan matanya. Tiba-tiba ia berseru,
“Astaghfirullaaaaah..!!!” Apa yang dilihatnya saat itu, belum
pernah ia lihat seumur hidupnya yang telah berjalan 65
tahun. “Ustaz! Itu apa? Anak saya kenapa?”

Tampak pada tepian salah satu kayu penutup, ada empat jari
tangan keluar dari arah liang lahat dan mencengkeram kayu
tadi kuat-kuat. Seluruh jari itu tak terbungkus kafan, tampak
hitam legam, hangus, kering, tetapi sebagiannya masih
meneteskan darah yang kini telah agak mengering pada
tepian kayu penutupnya. Seluruh kuku yang ada terlihat
pecah berantakan dan terlihat juga berdarah di bawah kuku-
kukunya. Satu dua di antara kuku-kuku itu nampak sudah

11
tidak lengkap. Napas pak Wanto memburu, menjadi
tersengal-sengal. Ia merunduk lebih rendah, kini tampak jelas
olehnya ada guratan-guratan pada kayu penutup tadi.
Guratan-guratan yang tampak seperti bekas cakaran empat
jari. Ia mendadak menangis.

“Mohon maaf, pak, saya harus bertanya,” kata Ustaz


Syarifuddin, “apakah bapak sebagai ayah dan penerima kuasa
waris dari almarhum, akan tetap meneruskan pemindahan
jenazah atau tidak? Silakan pak, semuanya terserah kepada
bapak. Ini tidak perlu dilanjutkan jika bapak tidak
menginginkan.” Pak Wanto berusaha menghentikan
tangisannya, namun tak berhasil. Sambil tersengal-sengal ia
menjawab, “Ya, ustaz. Silakan lanjutkan.” Ustaz Syarifuddin
menoleh ke arah pak Mukhsin lalu berkata, “Ayo pak Mukhsin,
kita teruskan.”

Pak Mukhsin terdiam sejenak, menggambarkan


keengganannya yang mendalam. Namun, dalam hatinya, ia
merasa tak dapat berbuat apa-apa. Bagaimanapun, ia bukan
keluarga almarhum dan bukan pula ustaz. Tiga penggali
kembali meneruskan tugasnya, kali ini secara jauh lebih
perlahan dan nampak berhati-hati sekali – terdengar mereka
saling berbicara sesekali.

Ketika tanah sudah tergali semua, tampaklah jelas deretan


kayu penutup bagian sisi jenazah di dasar liang lahat itu. Jari-
jari tadi, kini tampak lebih jelas. Siapapun yang melihatnya,
pastilah terbalut kengerian yang luar biasa. Pak Wanto,
sambil menunjuk deretan kayu penutup itu, berkata hampir
gagap, “Ka, ka, kayunya... itu kayunya… seperti hangus….”

12
Pak Mukhsin naik ke tepian liang lahat lalu mempersilakan
Ustaz Syarifuddin untuk turun lagi, sementara dua penggali
lain tetap di dasar. “Pak Wanto,” ujar Ustaz Syarifuddin di
dasar makam, “apakah bapak berkenan untuk turun dan ikut
dalam proses ini atau tidak? Tidak ada kewajiban demikian
bagi bapak, jadi bapak boleh tetap berada di atas.” Tak
disangka, pak Wanto mengangguk. “Ya,” katanya sambil
bergerak ke arah liang lahat, “Bismillah, saya turun.” Para
hadirin tak mampu berkata-kata. Rahman nampak ingin
mencegah pak Wanto, namun ia sudah tahu hasilnya akan
percuma.

Pak Wanto menapakkan telapak kakinya secara kokoh di


dasar makam, lalu berdiri di sebelah Ustaz Syarifuddin yang
ada di posisi kepala jenazah. Ustaz Syarifuddin lalu
memimpin suatu doa yang panjang, diamini oleh para hadirin.
Pak Wanto tak kuasa menahan tangisnya lagi. Usai berdoa,
Ustaz Syarifuddin berjongkok menghadap ke arah jenazah,
diikuti pak Wanto di sebelahnya. Ia memegang kayu penutup
yang paling ujung – yang menutupi bagian kepala jenazah.
Kini ia dapat melihat lebih jelas apa yang pak Wanto lihat dari
atas tadi: Bagian tepi semua kayu penutup jenazah almarhum
Donny, memang tampak terbakar. “Bismillah,” kata Ustaz
Syarifuddin sambil memengang kayu penutup bagian kepala
tadi, “Allahumma shollii alaa Muhammadin wa alaihi wa
shohbihi wa barik wa salim.” Ia lalu menarik kayu tadi
perlahan ke arahnya.

Saat kayu tadi terlepas dari kedudukannya, mendadak sontak


menyeruak bau busuk yang luar biasa tajam dan menusuk
hidung. Ustaz Syarifuddin menguatkan diri, sementara pak
Wanto tertegun – ia tak sabar ingin melihat kondisi jenazah
anaknya. Seorang hadirin terburu-buru menjauh dari tepi

13
liang lahat – lalu terdengar muntah, sementara lainnya sibuk
berzikir menyebut nama Allah sambil satu persatu menutup
hidung. Bau busuknya teramat sangat menyengat, tak seperti
bau busuk lainnya.

Ustaz Syarifuddin meneruskan, diangkatnya kayu penutup


bagian kepala tadi seluruhnya. Beberapa gumpal tanah
tampak berjatuhan, lalu terlihatlah pemandangan yang luar
biasa mengerikan: Kain kafan yang seharusnya menutup
kepala tidak lagi putih, melainkan usang kekuningan dan
tampak seperti bekas terbakar. Lalu terlihatlah yang tak kalah
luar biasa: Darah. Merah tua. Merembes ke dalam kain kafan
dan nampak sangat jelas masih agak basah. Tampak pula
cairan lain yang berwarna kekuningan. Entah apa, tetapi
nampak kental, lengket, dan sangat menjijikan.

Kain kafan itu juga tidak utuh lagi, karena terlihat compang-
camping seperti pakaian gembel yang sudah bertahun-tahun.
Padahal ketika almarhum Donny dimakamkan, kain kafan itu
putih bersih. Laipula ini belum 24 jam sejak jenazah itu
dimakamkan. Kain kafan pada bagian di atas telinga kiri
jenazah, nampak agak kendur dan mengerut layu ke dalam,
seperti membungkus sesuatu yang kopong. Pada bagian-
bagian itu, terlihat darah yang merembes keluar dan
sebagiannya telah mengering.

Melihat itu semua, pak Wanto mendadak menjerit melolong


seperti seekor rusa yang kesakitan. Kepalanya tertunduk
dalam. Kedua lengannya menahan tubuhnya di tanah, tanpa
disadari tangannya mencengkeram dasar makam. Tubuhnya
gemetar. Tangisannya membahana ke mana-mana. Beberapa
orang yang sedang berziarah di pemakaman itu berdatangan
satu persatu, didorong keingintahuannya. Namun saat

14
mendekati liang lahat, semuanya sontak menutup hidung
mereka. Sebagian berhenti di tempat, sebagian lagi
meneruskan langkahnya sambil berujar soal dahsyatnya bau
bangkai yang tercium. Setibanya di tepi liang kubur, semua
terkejut mendapati pemandangan yang sangat mengerikan
itu.

“Pak Mukhsin,” kata Ustaz Syarifuddin sambil mendongakkan


wajah ke atas, “tolong halau mereka menjauh. Hanya keluarga
almarhum yang boleh ada di sisi makam ini. Sekalian tolong
mintakan kesediaan mereka untuk mendoakan almarhum.”
Pria tua itu bergegas menghalau mereka satu persatu, dibantu
anggota keluarga almarhum Donny. Keluarga almarhum Dian
Kusuma, sang pemilik liang lahat yang sejati, perlahan
mundur beringsut menjauh tanpa diminta. Tak satupun
mampu berkata-kata. Pak Mukhsin meminta bantuan hansip
setempat untuk mengamankan, melarang siapapun untuk
mendekati liang lahat almarhum Donny.

Ustaz Syarifuddin berusaha melihat lebih jelas ke dalam


cerukan tempat di mana jenazahnya berada. Kini ia dapat
melihat, tanah yang berada di bawah kepala jenazah sudah
berubah warna. Lebih gelap daripada tanah di sekelilingnya.
Bukan karena bayangan jenazahnya, tetapi karena sesuatu
yang lain. Tumpahan darah yang kini telah mengering.

Sesaat itu Ustaz Syarifuddin langsung tahu, bahwa tulang


tengkorak kepala almarhum telah hancur, pecah berantakan.
Ia pun mengetahui bahwa apa yang disaksikannya adalah
hasil daripada siksa kubur yang Allah timpakan kepada
almarhum Donny. Ustaz Syarifuddin menundukkan kepala,
berusaha untuk menahan tangis karena kepiluan yang dirasa
pada hatinya. Namun percuma, Sang Ustaz yang lemah lembut

15
dan berakhlak sangat baik itu akhirnya menangis juga. Kini ia
hanya dapat berusaha agar pak Wanto tak melihatnya
menangis.

Selesai orang-orang dihalau pergi, Ustaz Syarifuddin


mengoper kayu penutup bagian kepala tadi kepada pak
Mukhsin, lalu beralih untuk mengangkat kayu kedua – yang
menutupi bagian tengkuk jenazah. Mendengar suara kegiatan
di depannya, tangisan pak Wanto terhenti. Ia mendongakkan
wajah ke arah tangan Ustaz Syarifuddin yang sedang
menggenggam kayu kedua. Sorot matanya nampak kosong.
Bibirnya terkatup rapat, namun isak tangisnya masih
terdengar jelas.

Ustaz Syarifuddin mengangkat kayu kedua yang menutupi


bagian tengkuk itu secara perlahan. “Bismillah wa billah,”
katanya. Begitu kayu kedua tadi terangkat, bau bangkai
langsung menyeruak lagi memenuhi liang lahat dan
sekitarnya. Kini, baunya jauh lebih pekat dan lebih dahsyat
daripada sebelumnya. Ustaz Syarifuddin mengerutkan dahi
dan hidungnya, berusaha menangkal bau tadi. Seorang
keluarga almarhum terdengar berlari menjauhi liang lahat.
Sementara pak Wanto, menggelegar tangisannya.

Kain kafan pembungkus jenazah almarhum Donny, sudah tak


jelas bentuknya. Bagian tengkuk dan sebagian punggung
jenazah itu terlihat jelas, karena kain kafannya sudah
tercabik-cabik – entah oleh apa. Seperti cabikan kuku
binatang buas, namun lebih besar.

Sama seperti sebelumnya, kain kafan yang tersisa juga


nampak bekas terbakar. Darah masih mengalir dari arah
kepala, tengkuk, dan punggung. Ustaz Syarifuddin dapat

16
melihat sebagian tulang rusuk dan tulang punggung mayat
itu, kini tak lagi ditutupi kulit dan daging. Ustaz Syarifuddin
menundukkan kepala lagi, menghela napas lagi, lalu berusaha
melihat lebih baik. Pada daging yang tersisa di tengkuk dan
sebagian punggung, nampak alur-alur seperti bekas
cambukan – tetapi entah tercambuk apa – dan sudah mulai
membusuk. Pada tiap bekas cambukan itu sudah hilang kulit
dan dagingnya, sementara pada setiap tepi dagingnya tampak
terbakar. Hangus dan kering.

Tangisan pak Wanto sesaat terdengar meninggi melolong.


Sangat memilukan dan menyayat hati. Sesaat kemudian suara
tangisan itu mendadak hilang. Rupanya ia tak sadarkan diri.
Pingsan.

Ustaz Syarifuddin secara spontan melepaskan papan kedua


tadi dan serta merta menangkap kepala pak Wanto yang
hendak terkulai ke arahnya. Ia langsung meminta para
penggali kubur untuk menahan tubuh pak Wanto dari
belakang. Para hadirin panik, mereka bersegera berusaha
untuk mengeluarkan pak Wanto yang tak siuman dari dalam
liang lahat.

Upaya itu tidak mudah. Selain berat tubuh pak Wanto


memang lumayan, posisinya yang berada di dasar liang lahat
juga mempersulit. Sementara, para penolong itu harus
menahan tajamnya bau busuk yang tak kunjung reda. Ustaz
Syarifuddin mengoper kepala pak Wanto dari kedua
tangannya ke tukang gali di sebelahnya, lalu menoleh ke arah
jenazah. Bekas-bekas darah yang mengalir dari luka-luka
pada tengkuk dan punggung jenazah almarhum Donny, kini
telah mengering dan menghitam. Ustaz Syarifuddin
menunduk dan menyeka air matanya, lalu berdiri,

17
menghadap kiblat, dan memanjatkan doa-doa – sementara itu
pak Wanto yang pingsan dibopong keluar dari liang lahat
secara susah payah.

BAGIAN TIGA

Azan Asar berkumandang di sekitar TPU Ciharus. Pak Wanto


nampak duduk terkulai di lantai musala, tubuhnya ditopang
oleh salah seorang kerabatnya. Ia sudah siuman, namun
belum mampu berkata-kata. Ustaz Syarifuddin terlihat
sedang berbincang dengan Rahman di luar, sementara
keluarga almarhum Dian Kusuma – sang pemilik liang lahat di
mana tragedi mengerikan tadi disaksikan – sedang
bercengkerama secara serius. Pak Boyke, si Pengawas TPU,
sedang duduk dalam lingkaran bersama para tukang gali di
dalam musala. Air wajah mereka mengatakan, mereka juga
sedang membicarakan sesuatu yang penting.

Ustaz Syarifuddin menghampiri pak Wanto, duduk bersila di


hadapannya, lalu memegang tangannya. “Pak Wanto,”

18
katanya perlahan sambil tersenyum, “apakah bapak kuat dan
bersedia untuk salat Asar berjamaah bersama kami semua?”
Air muka ustaz muda itu benar-benar menenangkan.
Siapapun yang melihat ke dalam sorot matanya, pastilah
menemukan kesejukan. “Jika bapak kuat dan bersedia,
marilah kita salat berjamaah dulu. Setelah itu, kita putuskan
apakah pemindahan jenazah almarhum Donny akan
diteruskan atau tidak.”

Pak Wanto menatap Ustaz Syarifuddin dengan sorot mata


yang lesu. Ia terdiam sejenak, lalu bibirnya bergerak-gerak –
nampaknya ia sedang berusaha untuk mengatakan sesuatu.
Beberapa detik berlalu, air matanya menetes lagi. Tidak
sedikit. Sambil terisak-isak, pak Wanto mengatakan, “Ya,
Ustaz. Terima kasih. Mari kita salat dulu. Terima kasih.
Terima kasih.”

Usai salat berjamaah yang dipimpin oleh pak Boyke, Ustaz


Syarifuddin memimpin pembacaan surat-surat al-Quran yang
dihadiahkan kepada nabi, keluarga terdekat nabi, para
sahabat setia nabi, para wali, para ulama, para syuhada, dan
almarhum Donny. Ia lalu bertawasul dan memanjatkan doa-
doa untuk para jemaah serta untuk almarhum Donny.
Kemudian, Ustaz Syarifuddin menggeser posisi duduknya
mendekati pak Wanto. “Pak,” kata Ustaz Syarifuddin secara
lembut dan perlahan, “maaf jika kami mengusik ketenangan
bapak, tetapi apakah bapak akan memutuskan mengenai
kelanjutan pemindahan jenazah almarhum Donny?” Para
hadirin, termasuk para pengurus TPU, keluarga kedua
almarhum, dan beberapa orang tak dikenal yang masih
menantikan kelanjutan daripada kisah memilukan ini,
terlihat duduk mengelilingi mereka berdua.

19
Pak Wanto, pensiunan TNI berpangkat kolonel itu, masih
terisak-isak – namun sudah tidak terlalu emosional seperti
sebelumnya. Air matanya masih saja mengalir, tetapi ia sudah
dapat mengendalikan diri. Siapapun yang ada di posisinya,
pastilah akan mengalami reaksi serupa dengannya. Orang tua
mana yang rela melihat anaknya tersiksa dalam kehidupan –
apalagi dalam kematiannya?

“Ustaz…,” kata pak Wanto sambil sesekali diselingi isak


tangisannya, “saya mohon maaf, saya mohon beribu-ribu
maaf. Saya tidak mampu untuk meneruskan pemindahan
jenazah ini.” Tangisannya menguat, namun kali ini tertahan.
Pundaknya naik turun, terbawa deru tangisnya. Seorang
kerabat yang duduk di sampingnya, menopangkan kepala pak
Wanto pada pundaknya. Ia merangkulnya dan mengusap-
usap punggungnya. Mendengar itu, Ustaz Syarifuddin
menoleh ke arah pak Basyir – ayah almarhum Dian Kusuma –
yang kemudian mengangguk. “Baiklah, pak,” kata Ustaz
Syarifuddin sambil berangsur berdiri. “Saya berdiskusi dulu
dengan pemilik liang lahat yang digunakan oleh almarhum
Donny.” Ustaz Syarifuddin lalu menghampiri pak Basyir dan
keduanya terlihat berbincang dalam suasana bersedih. Tak
lama, keduanya berpelukan sambil menangis, lalu
bersalaman erat.

“Pak Wanto,” kata Ustaz Syarifuddin. Ayah almarhum Donny


itu menengadahkan wajahnya. Air matanya telah mengering
di kedua pipinya, sementara kedua matanya nampak sembap
sekali. Air wajahnya kusut, menambah kesan tua yang timbul
dari uban di kepalanya. “Pak Basyir, ayah almarhum Dian
Kusuma, sudah berlapang dada. Mereka rela dan sangat ikhlas
jika bapak memutuskan untuk tidak memindahkan jenazah
almarhum Donny.”

20
Pak Wanto tak menyahut. Ia menundukkan lagi wajahnya.
Setelah beberapa lama, ia berdiri dan berjalan menghampiri
ayah almarhum Dian Kusuma, lalu memeluknya erat sambil
berujar, “Terima kasih, pak. Terima kasih banyak. Terima
kasih banyak sekali.” Dua orang tua itu kemudian berpelukan
dan terlarut dalam tangisan mereka.

BAGIAN EMPAT

Awan hujan menggelantung di atas TPU Ciharus. Para hadirin


terlihat berdiri mengelilingi makam almarhum Donny bin
Wanto dan mengamini doa-doa yang dipanjatkan oleh Ustaz
Syarifuddin. Makam yang tadi terbuka dan mempertontonkan
pemandangan menyeramkan sebagai bukti atas janji Illahi
mengenai siksa kubur, kini sudah ditutup kembali. Rapi,
seperti sedia kala. Angin semilir berembus, mengiringi aliran
air mata dari kedua mata pak Wanto yang menatap kosong ke
arah kuburan anaknya. Ia tak lagi menangis, namun air
matanya mengalir terus. Para leluhur kita mengatakan,
seperti itulah air mata kesedihan yang paling pedih dan
mendalam.

21
Keluarga almarhum Dian Kusuma, Sang Pemilik liang lahat
yang sejati, sudah tidak nampak. Mereka mohon diri sebelum
dimulainya proses penutupan ulang liang lahat almarhum
Donny. “Kami mesti kembali dan mempersiapkan prosesi
jenazah almarhum anak kami,” kata pak Basyir.

Hujan mulai berjatuhan dari langit, mengiringi kepulangan


para hadirin. Suasananya sunyi sekali. Hanya terdengar bunyi
rintik hujan yang jatuh ke atap dan dedaunan. Tak ada yang
mampu berkata-kata, setelah mereka menyaksikan
pemandangan yang paling mengerikan dan paling mencekam
sepanjang umur hidup mereka. Rasanya, tak satupun akan
mampu melupakan apa yang sudah mereka saksikan hari ini,
yaitu siksa kubur yang Allah timpakan pada siapapun yang
Allah tidak sukai.

“Pak Ustaz,” kata pak Wanto, “jika berkenan, datanglah ke


rumah bersama Rahman besok. Banyak pertanyaan di benak
saya yang harus segera dijawab secara benar. Entah mengapa,
saya punya firasat bahwa Ustaz Syarifuddin adalah orang
yang dapat menjelaskan ini semua.”

Ustaz berkulit putih itu tersenyum. “Baik, pak,” katanya,


“inshaAllah saya bersilaturahmi ke rumah bapak diantar
Rahman besok.” Ia menjabat tangan ayah almarhum Donny
lalu memeluknya. Kemudian orang-orang itu saling berpisah
menuju arahnya masing-masing. Ustaz Syarifuddin melaju
perlahan di atas motornya, seakan mengabaikan hujan yang
meliputinya. Benaknya kembali ke apa yang dilihatnya di
dalam liang lahat tadi.

Keyakinannya semakin tinggi, bahwa janji-janji dan ancaman-


ancaman Allah pasti terjadi.

22
BAGIAN LIMA

“Asalamualaikum,” sapa Ustaz Syarifuddin. Ia berdiri di depan


pagar rumah pak Wanto, bersama Rahman di sebelah
kanannya. Kali ini, ustaz murah senyum itu tak mengenakan
gamis. Ia malah tidak tampak seperti seorang ustaz, dengan
paduan celana jeans dan kemeja lengan pendeknya. Kaca
mata minus menghiasi bola matanya yang bulat dan berseri.
Rambut pendeknya yang kini tak tertutupi peci, nampak
tersisir rapi berbelah pinggir.

“Wa alaykum salaam,” seru pak Wanto. “Oh, ustaz! Rahman!


Tunggu sebentar, ya… Saya bukakan dulu kunci pagarnya.”

Tak lama setelah duduk di ruang tamu dan saling


menanyakan kabar masing-masing, pak Wanto nampak tidak

23
sabar untuk mulai bertanya. “Pak ustaz, tolong jelaskan
kepada saya, apa yang kita lihat di makam kemarin.”

Ustaz Syarifuddin meletakkan gelas minumnya, berdeham


membersihkan tenggorokannya, lalu mulai berbicara.
“Sebelumnya, pak Wanto, saya minta tolong pak Wanto jawab
dulu pertanyaan saya,” kata Ustaz Syarifuddin. “Apakah pak
Wanto mengetahui kegiatan almarhum Donny semasa
hidupnya?”

Pak Wanto langsung menjawab, “Oh, sudah pasti. Saya


ayahnya dan orang yang paling dekat dengan almarhum.
Sepengetahuan saya, almarhum sebagai ustaz selalu berbuat
amr ma’ruf nahi munkar (menyerukan kebaikan, menjauhkan
keburukan) kepada lingkungannya. Ia sangat rajin shalat –
baik wajib maupun sunah, mengaji al-Quran, mengajar,
berdakwah, dan sudah beberapa kali umrah.”

Pak Wanto kemudian menjelaskan hampir terperinci


bagaimana sosok almarhum Donny menghabiskan waktu
semasa hidupnya.

“Sepengetahuan saya, pak,” kata Ustaz Syarifuddin,


“almarhum sering sekali mengkafir-kafirkan golongan selain
golongannya.” Rahman yang duduk di sebelah Ustaz
Syarifuddin, tampak menundukkan kepalanya.

“Pak Ustaz,” kata pak Wanto sambil mengernyitkan dahinya,


“bukankah itu wajar dalam rangka mengingatkan muslimin
dan amr ma’ruf nahi munkar?”

“Pak Wanto,” kata Ustaz Syarifuddin, “menyerukan kebaikan


apakah harus dengan mencela orang lain yang tidak
sepaham?”

24
“Rasanya tidak harus,” kata pak Wanto sambil nampak
berpikir. “Ah, tidak tahulah. Saya ini bukan ustaz, mana
mungkin saya paham apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dalam dakwah?”

“Baiklah,” kata Ustaz Syarifuddin, “saya coba jelaskan sedikit,


jika bapak berkenan.”

“Silakan, pak Ustaz,” kata pak Wanto, “silakan.”

“Begini, pak,” kata Ustaz Syarifuddin sambil membetulkan


posisi duduknya. “Islam adalah agama yang membawa
kebaikan, membawa cahaya dalam kegelapan, mengajak
manusia untuk berbuat kebaikan agar meninggalkan
keburukan. Islam membawa kebaikan bukan hanya kepada
pemeluknya, tetapi kepada seluruh umat manusia, kepada
seluruh makhluk, bahkan kepada seluruh alam semesta.
Kebaikan, adalah kata kunci dalam Islam.

“Sekarang, coba pak Wanto bayangkan,” kata Ustaz


Syarifuddin, “bapak sedang beribadah sesuai dengan
keyakinan bapak dan sesuai dengan pengetahuan bapak.
Tiba-tiba, muncul seseorang yang mengatakan bahwa bapak
adalah kafir, bapak bukan Islam, bapak berbuat kesesatan,
bapak berbuat bidah, dan bapak bakal masuk neraka. Kira-
kira, bagaimana rasanya?”

“Yah,” kata pak Wanto, “saya pasti tidak terima. Mungkin saya
akan marah pada orang itu.”

“Pasti, pak. Bapak pasti tidak terima dan bapak pasti marah,”
kata Ustaz Syarifuddin. “Itulah mengapa Kanjeng Nabi tidak
pernah satu kalipun mencontohkan perbuatan seperti itu.
Jangankan mengkafirkan, Kanjeng Nabi bahkan tidak pernah

25
mengkritik ibadah orang lain – bahkan ibadahnya orang
nonmuslim sekalipun.”

Pak Wanto terdiam sejenak. “Iya juga, ya,” ujarnya.

“Nah, bapak memang bukan ustaz,” lanjut Ustaz Syarifuddin,


“tetapi hati nurani bapak pasti mengakui, bahwa perbuatan
mengkafirkan orang lain, menuding-nuding orang lain salah,
sesat, bidah, dan sebagainya, tidak sesuai dengan ajaran Islam
karena itu pasti menimbulkan keburukan, yaitu perasaan
marah, benci, dan akhirnya timbul perpecahan.”

“Astagfirullah!” seru pak Wanto sambil menepuk dahinya, “itu


kebiasaan almarhum!”

“Pak Wanto,” kata Ustaz Syarifuddin, “harap bapak ketahui,


ada lima mazhab dalam Islam, yaitu Ja’fari atau Syiah, Hanafi,
Maliki, Syafii, dan Hanbali. Setiap mazhab memiliki fikihnya
masing-masing, memiliki tata cara ibadahnya masing-masing,
dan memiliki hukumnya masing-masing. Ada di antara tata
cara atau fikih-fikih itu yang sama atau serupa, namun tidak
jarang juga yang berbeda antara satu mazhab dengan lainnya.
Apa yang menurut salah satu mazhab benar, belum tentu
benar menurut mazhab lainnya.

“Mazhab-mazhab ini, atau aliran-aliran ini, dibuat oleh para


ulama terdahulu, agar umat dapat memilih jalan yang
terdekat untuk mencapai rida Kanjeng Nabi dan Allah.
Sebelumnya, tentu umat harus mengetahui dulu setiap
mazhab itu, siapa saja para pendirinya, siapa saja imam-
imamnya, apa saja ajarannya, dan lain sebagainya.

“Jika setelah mengetahui setiap mazhab itu seorang umat


merasa bahwa ia meyakini mazhab A yang benar, maka ia

26
berkewajiban untuk menjalankan fikih sesuai mazhab A yang
ia yakini tadi.”

“Wah,” kata pak Wanto, “saya tidak pernah mengetahui soal


itu!”

“Nah, para ulama mazhab, baik Syiah maupun Sunni, tidak


pernah berselisih. Soal tata cara peribadahan umat,
sebagaimana Kanjeng Nabi dahulu bilang, adalah urusan
manusia kepada Tuhannya. Jadi tidak dapat dikritisi, apalagi
dipersalahkan.”

Pak Wanto terkesima. “Itu sangat dapat diterima hati nurani!”


serunya.

“Sekarang, coba pak Wanto pikirkan,” kata Ustaz Syarifuddin,


“jika ada seorang penganut mazhab A yang menilai dan
menghakimi bahwa perilaku para penganut mazhab B adalah
sesat, kira-kira apa jadinya?”

“Lah itu malah gila namanya,” kata pak Wanto. “Masa kita
menilai perilaku ibadah orang lain berdasarkan standar
ibadah kita sendiri? Ibadah sendiri saja belum tentu benar di
hadapan Allah, lebih baik urusi ibadah sendiri-sendiri.”

“Ya, betul, pak. Makanya tidak ada satupun pendiri mazhab


yang menuding pendiri mazhab lain sesat, bidah, dan lain-
lain,” kata Ustaz Syarifuddin. “Kita dapat mengibaratkan,
setiap mazhab adalah sebuah jalan raya dengan segala
undang-undang, peraturan, dan hukumnya masing-masing.
Bapak pelajari jalan yang A, B, C, D, dan E, lalu bapak merasa
cocok dengan jalan yang D. Apakah orang lain boleh
memaksakan agar bapak berada di jalan yang lain? Apakah
boleh orang lain menuduh bapak telah sesat, bapak telah

27
kafir, bapak bidah, dan sebagainya, dengan mengambil jalan
yang D?”

“Enak saja!” tukas pak Wanto. “Tidak boleh, dong,” serunya


lagi sambil merengut. “Terserah saya mau ada di jalan yang
mana. Kalaupun ternyata saya nantinya tersesat, semua
risikonya saya sendiri yang menanggung. Jikalau ternyata
benar, semua hadiahnya juga saya sendiri yang menerima.”

“Itulah mengapa ajaran Islam sangat dapat diterima akal dan


hati nurani, pak,” jelas Ustaz Syarifuddin lagi. “Itulah mengapa
mazhab-mazhab itu ada, untuk memberikan pilihan kepada
umat, jalan mana yang terdekat kepada rida Kanjeng Nabi dan
Allah. Maka masing-masing memiliki undang-undang,
peraturan, dan hukumnya sendiri-sendiri.”

Pak Wanto nampak berpikir. “Pak Ustaz,” katanya, “usia saya


sekarang sudah 65 tahun dan saya muslim sejak saya lahir,
tetapi baru kali ini ada orang yang menjelaskan soal mazhab
ini kepada saya. Mengapa bisa begitu?”

“Wah, pak,” jawab Ustaz Syarifuddin, “kalau bapak bertanya


mengapa bisa begitu, saya tidak dapat memberikan jawaban
yang memuaskan. Akan tetapi, yang dapat kita pastikan
bersama, tidak terlambat bagi bapak untuk mulai
mempelajari mazhab-mazhab ini.”

“Ya, pak Ustaz benar sekali,” kata pak Wanto, “tetapi…,” lalu ia
terdiam. Matanya mendadak berkaca-kaca. “Agaknya saya
sudah paham, mengapa saya menyaksikan apa yang saya
saksikan di makam kemarin.”

Ustaz Syarifuddin juga terdiam. Ia membiarkan pak Wanto


untuk berpikir. Rahman yang duduk di sebelahnya, nampak

28
komat-kamit tak bersuara sambil memegang seuntai tasbih
kayu.

“Itu,” kata pak Wanto sambil menunjuk ke tasbih yang


dipegang Rahman, “kata almarhum Donny juga sesat dan
bidah, karena nabi tidak mengajarkannya.”

Rahman kontan seperti tersedak. Ustaz Syarifuddin


tersenyum, lalu berkata, “Bagaimana menurut bapak
sendiri?”

“Menurut saya pribadi, maaf jika saya salah, jika berzikir


menggunakan tasbih dapat membuat Rahman lebih
mengingat Allah dan menunjang ibadahnya, silakan saja
lanjutkan dan tidak perlu mencari-cari dalil dari nabi.
Lagipula, itu urusan antara Rahman dengan Allah – bukan
urusan antara Rahman dengan saya, bukan juga urusan
antara saya dengan Allah.”

“Nah!” seru Ustaz Syarifuddin, “itu dia pak!” katanya seraya


tersenyum lebar.

“Eh, sebentar,” tukas pak Wanto, “tadi pak Ustaz bilang, tak
satupun pendiri mazhab yang menuding mazhab lainnya
sesat, kafir, bidah dan lain-lain?”

“Ya,” jawab Ustaz Syarifuddin, “betul.”

“Kalau begitu,” lanjut pak Wanto, “almarhum anak saya


belajar Islam mazhab apa?”

Ustaz Syarifuddin menoleh pada Rahman, bersamaan dengan


Rahman juga menoleh pada Ustaz Syarifuddin. “Sudahlah,
Tad,” kata Rahman, “beritahu saja.”

29
“Begini, pak,” kata Ustaz Syarifuddin, “ada satu golongan yang
gemar sekali menuding-nuding golongan lain, sebagaimana
dilakukan oleh almarhum anak bapak. Itu adalah golongan
Wahhabi.”

“Wahhabi? Apa itu?” tanya pak Wanto keheranan.

“Wahhabi,” lanjut Ustaz Syarifuddin, “adalah golongan yang


didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Arab Saudi
pada kisaran abad ke-18 Masehi.”

“Lho,” seru pak Wanto, “sangat baru, dong!”

“Ya, memang sangat baru,” kata Ustaz Syarifuddin, “tetapi


cukup pesat dalam perkembangannya.”

“Oke,” kata pak Wanto, “lanjutkan.”

“Wahhabi ini didirikan sebenarnya bukan dalam rangka


kepentingan agama,” lanjut Ustaz Syarifuddin, “namun dalam
rangka kepentingan politik semata. Pada zaman itu, wilayah
yang sekarang bernama Arab Saudi adalah bernama Hejaz
yang dipimpin oleh seorang sultan bernama Syarif Husein.”

Ia kemudian melanjutkan, “Kesultanan Hejaz waktu itu


makmur dan sejahtera. Siapapun yang hendak haji atau
umrah, tidak dipungut biaya. Bahkan bisa dibilang, relatif
tidak ada penduduk miskin di sana. Namun ini tidak
berlangsung lama, karena di mana ada kemakmuran pastilah
ada yang dengki atasnya.

“Kedengkian ini datang dari sekelompok orang Yahudi yaitu


suku Saud, atau Bani Saud, yang berasal dari daerah Najd.
Kelompok ini berisi rata-rata perompak dan penjagal yang
mencari nafkah dengan cara memeras kabilah dagang yang

30
lewat di daerah mereka. Jika kabilah itu tidak berkenan,
mereka akan menggarongnya dan malah membinasakannya
jika perlu.

“Kedengkian Bani Saud ini kemudian dijadikan sarana oleh


imperialis Inggris untuk memecah belah agar dapat
menguasai daerah Hejaz, yaitu melakukan politik Devide et
Impera. Inggris mendatangkan utusan untuk menemui Bani
Saud, menawarkan mereka bantuan dana, persenjataan,
pasukan, dan lain-lain, jika Bani Saud mau melakukan kudeta
kepada Syarif Husein.”

Pak Wanto yang memang seorang pensiunan TNI, semakin


tertarik akan kisah ini.

“Pucuk dicita ulampun tiba,” kata Ustaz Syarifuddin,


“kedengkian Bani Saud kepada kecemerlangan Syarif Husein
kini bermodal, sehingga mereka punya peluang untuk
menghancurkan orang yang dianggap sebagai musuh. Namun
Inggris, dengan pengalaman melakukan Devide et Impera di
seluruh dunia selama ratusan tahun, merasa urusannya tidak
akan semudah itu. Wilayah Hejaz tidak akan dapat dikuasai,
jika bermodalkan hanya kekuatan fisik.

“Mereka mengerti bahwa jika Bani Saud tidak mendapatkan


dukungan tokoh dan penduduk setempat, maka perjuangan
kudeta mereka akan sangat berat karena mengalami
penentangan yang tidak sedikit. Demi memuluskan rencana
iblisnya, Inggris memperkenalkan para pemimpin Bani Saud
dengan seorang ulama yang bernama Muhammad bin Abdul
Wahhab.

“Muhammad bin Abdul Wahhab ini sangat menentang Syarif


Husein yang bermazhab Syiah dan mengatakan bahwa

31
perilaku ibadahnya sudah jauh dari ajaran Islam, sehingga
harus ditumpas. Padahal ketika itu, hubungan antarmazhab
di dunia baik-baik saja.

“Inggris menempatkan Muhammad bin Abdul Wahab sebagai


pemecah keyakinan, sekaligus sebagai penggalang opini
bahwa Syarif Husein memang harus digulingkan.

“Timbullah kesepakatan antara Bani Saud dengan


Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa mereka akan
menumbangkan kesultanan Hejaz di bawah Syarif Husein dan
menggantikannya dengan kerajaan. Sementara Muhammad
bin Abdul Wahhab bertugas mendakwahkan pendapatnya,
yaitu memurnikan ajaran Islam dari bidah-bidah yang ada.
Keduanya, baik Bani Saud maupun Muhammad bin Abdul
Wahhab, mendapatkan dukungan penuh dari Inggris dan
sekutu-sekutunya sebagai satu kelompok persekutuan.”

Pak Wanto tampak mendengarkan penjelasan Ustaz


Syarifuddin itu sambil berpikir keras. Bibirnya terkatup
rapat, dahinya berkerut.

“Singkat kata,” lanjut Ustaz Syarifuddin, “Dakwah kebencian


khas Muhammad bin Abdul Wahhab muncul di mana-mana,
diiringi dengan teriakan-teriakan untuk menggulingkan
Syarif Husein. Mereka mengadu domba muslimin dengan
menyebut Syiah bukan Islam, selagi mereka sendiri
mengklaim sebagai Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni –
padahal mereka sendiri tidak mengamalkan ajaran Sunni.

“Bahkan mereka selalu mencerca berbagai peribadahan khas


Sunni seperti tawasul, tahlil, talkin, bertasbih, ziarah kubur,
dan sebagainya. Namun siapapun yang tidak setuju dengan

32
kekejian dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab, akan
berhadapan dengan kekejian senjata Bani Saud.

“Suasana semakin memanas di seluruh Hejaz, lalu terjadilah


pergolakan di sana-sini. Orang Syiah diburu, disiksa, dan
dibunuh. Rumah-rumah mereka dibakar, keluarganya diusir.
Ini juga terjadi kepada orang Sunni yang melindungi Syiah,
atau orang Sunni yang tidak setuju atas kekejian ini. Namun
Muhammad bin Abdul Wahhab telah membuat kesan, seolah-
olah Syiah bukan Islam dan siapapun yang tidak
menyetujuinya berarti sama dengan Syiah dan boleh dibunuh.

“Pada saat momentumnya sudah dianggap pas, gerakan


bersenjata dimulai. Maka terjadilah salah satu peperangan
yang paling keji dalam sejarah. Gerilyawan pimpinan Bani
Saud menumpahkan darah di mana-mana, termasuk di kota
Mekah dan Madinah, bahkan juga di sekeliling dua tempat
suci yaitu Kakbah dan makam nabi di Madinah. Siapapun yang
bertentangan dengan dakwah Muhammad bin Abdul
Wahhab, akan mengalami ajal yang mengenaskan.

“Situasi menjadi tidak terkendali, kerusuhan terjadi di mana-


mana. Mayoritas masyarakat yang ada hanya dapat terdiam
atau ikut-ikutan, sementara yang melawan pasti mati.
Kekuatan kelompok-kelompok di bawah Bani Saud dan
Muhammad bin Abdul Wahhab benar-benar tak dapat
dilawan, berkat dukungan penuh Inggris dan sekutu-
sekutunya. Syarif Husein dan keluarganya dipaksa mengungsi
ke Turki, dengan demikian Kesultanan Hejaz habis masanya.

“Setelah menang dengan darah muslimin yang tak berdosa


berlumur di sekujur tangan mereka, Bani Saud
memproklamasikan pendirian negara dalam bentuk kerajaan

33
– padahal bentuk negara kerajaan jelas-jelas dilarang oleh
Allah dan nabi-Nya. Kemudian mereka menjadi satu-satunya
negara di dunia yang diberi nama berdasarkan nama
keluarganya, yaitu Kerajaan Arab Saudi.”

“Astagfirullah!” seru pak Wanto, “saya baru menyadari bahwa


nama kerajaan Arab Saudi adalah nama keluarganya sendiri!
Sebegitu congkaknya mereka?”

“Ya, betul pak,” kata Ustaz Syarifuddin, “bahkan Vatikan dan


Israel sekalipun tidak diberi nama berdasarkan nama
pendirinya.”

“Lalu bagaimana?” ujar pak Wanto, “silakan lanjutkan.”

“Ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab ini,” lanjut Ustaz


Syarifuddin, “kemudian dipandang oleh Inggris dan sekutu-
sekutunya sebagai senjata pamungkas untuk menghancurkan
Islam, karena sudah terbukti efektif dalam menumbangkan
Hejaz. Setelah perang Hejaz usai, ajaran ini dikembangkan
dan disebarluaskan ke seluruh dunia dari Kiblat Islam dunia
yaitu Mekah dan dengan dibiayai dana yang diperoleh dari
minyak, haji, serta umrah. Lantaran berkembangnya ajaran
Muhammad bin Abdul Wahhab, para ulama di Indonesia
pernah bersitegang dengan Arab Saudi.”

“Oh ya?” tanya pak Wanto, “soal apa?”

“Waktu itu para ulama Saudi menyerukan bahwa ziarah


kubur adalah perbuatan bidah dan sesat, serta
melambangkan kebiasaan yang tidak Islami. Alhasil
pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengeluarkan fatwa yang
melarang ziarah kubur, lalu menghancurkan dan meratakan
semua makam yang ada di wilayah kekuasaan mereka –

34
termasuk pemakaman para nabi, keluarga nabi, para sahabat
nabi, para wali, dan para syuhada yang bernama Jannatul
Baqi. Dalam rangka itu, Kerajaan Arab Saudi juga
mencanangkan akan menghancurkan makam Kanjeng Nabi
dan meratakannya dengan tanah.

“Pada saat itulah ulama-ulama Indonesia bangkit untuk


melawan kekejian ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab,
dengan mendirikan Nahdlatul Ulama. Mereka lalu
menyerukan kepada seluruh muslimin di dunia untuk
melakukan pemboikotan atas haji dan umrah, jika makam
Kanjeng Nabi dihancurkan atau diratakan.”

“Iya, dong,” seru pak Wanto, “masa makam nabinya sendiri


dihancurkan? Gila!”

“Ketika itu dunia Islam menjadi tegang, pak. Sangat tegang,”


lanjut Ustaz Syarifuddin. “Terjadi komunikasi intens di antara
ulama-ulama Islam sedunia dan rata-rata mendukung upaya
ulama Indonesia untuk memboikot haji dan umrah tadi.
Akhirnya, karena merasa takut pendapatannya dari haji dan
umrah akan berkurang drastis, Kerajaan Arab Saudi akhirnya
membatalkan rencana penghancuran makam nabi.

Sayangnya, pemakaman keramat lainnya sudah kadung


dihancurkan, bersama dengan peninggalan-peninggalan
bersejarah lain yang berasal dari zaman nabi. Bahkan rumah
di mana nabi dilahirkan juga sudah tidak ada.”

Pak Wanto nampak termenung dan berpikir. Tangannya


mengusap-usap dagunya. Suasana di ruang tamu itu menjadi
sunyi sekali. Ustaz Syarifuddin mengambil kesempatan itu
untuk membasahi tenggorokannya, ia mengambil air sirop
yang disuguhkan dalam cangkir di depannya.

35
“Pak Ustaz,” kata pak Wanto memecah keheningan. “Saya
ingat betul, almarhum anak saya memang sering
mengkafirkan orang lain atas peribadahannya.

“Ia juga sering bercerita ke saya, bahwa saya harus berhati-


hati terhadap ajaran Syiah karena katanya Syiah bukan Islam.
Ia bahkan pernah bertengkar dengan sepupunya sendiri,
karena mendapati sepupunya itu Syiah.

“Nampaknya, anak saya telah terbawa dalam doktrin


Muhammad bin Abdul Wahhab ini.”

“Sepertinya demikian, pak,” kata Ustaz Syarifuddin, “padahal


Syiah sama saja dengan Sunni, sama-sama mazhab dalam
Islam dan tidak ada perselisihan antara ulama keduanya.
Sunni menganggap Syiah adalah saudara dan Syiah
menganggap Sunni adalah saudara. Sunni yang benci kepada
Syiah, adalah Sunni buatan Amerika. Syiah yang benci kepada
Sunni, adalah Syiah buatan Inggris.

“Dua organisasi muslim terbesar di dunia ada di Indonesia,


yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dan keduanya
berafiliasi kepada Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni.

“Bukti bahwa Sunni dan Syiah adalah sama dan bersaudara,


baik NU maupun Muhammadiyah sudah sejak lama
mengatakan bahwa Syiah tidak sesat.

“Almarhum Gus Dur pernah mengatakan, orang NU yang


bilang bahwa Syiah sesat, berarti menyesatkan dirinya
sendiri karena NU adalah Syiah tanpa imamah dan Syiah
adalah NU dengan imamah. Gus Dur juga pernah mengatakan,
tidak masalah jika ada orang NU yang menjadi Syiah.

36
“Bahkan karena perkataannya itu, kelompok Wahhabi di
Indonesia yang bersembunyi dengan mengklaim sebagai
Sunni sempat menuduh Gus Dur sendiri adalah Syiah.

“Sementara itu Din Syamsudin, Ketua Umum PP


Muhammadiyah, mengatakan bahwa Syiah adalah Islam dan
bahkan mempersilakan para kader Muhammadiyah untuk
mempelajari ajaran Syiah.

“Dua lembaga tadi menggaungkan fatwa dari Mufti Agung


Ahlussunnah wal Jamaah yaitu Sheikh al-Azhar Kairo, yang
berulang kali menegaskan bahwa Syiah tidak sesat dan
merupakan mazhab yang benar dalam Islam.

“Jadi, isu tidak baik mengenai Sunni-Syiah, kabar bahwa


Sunni berselisih dengan Syiah, berita bahwa Syiah adalah
sesat, dan sebagainya, adalah murni kampanye musuh-musuh
Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Sayangnya,
kampanye ini dibantu oleh orang-orang Islam sendiri, yaitu
oleh mereka yang tidak paham tetapi gemar bersuara lantang
sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan konflik di
antara muslimin.

“Padahal Kanjeng Nabi dulu sudah pernah mewanti-wanti,


‘Siapa yang menuduh seorang yang beriman sebagai kafir,
maka tuduhannya itu akan kembali pada dirinya sendiri!’”

Pak Wanto terkehenyak. “Rupanya,” kata pak Wanto, “itulah


yang dialami oleh almarhum anak saya. Ia begitu rajin
beribadah sampai menghitam dahinya, tetapi justru dianggap
mati sebagai kafir oleh Allah karena ia mengkafirkan orang
lain. Astagfirullah! Astagfirullah! Astagfirullah!”

37
Ia menunduk, membungkus wajah dengan kedua telapak
tangannya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Berarti
yang saya saksikan di makam kemarin, adalah siksa kubur.”
Ia lalu terdiam sesaat. “Lantas bagaimana ustaz?” tanya pak
Wanto sambil mengangkat lagi wajahnya, “apa yang dapat
saya perbuat untuk meringankan dosa-dosa almarhum anak
saya?”

“Bapak doakan sebanyak-banyaknya,” jawab Ustaz


Syarifuddin, “bacakan surat-surat al-Quran dan hadiahkan
untuknya, juga seringlah menziarahi kuburannya terutama
pada hari Senin, Jumat, atau Sabtu. Bapak sendiri,
perbanyaklah berselawat kepada nabi dan keluarganya.”

Pak Wanto terdiam lagi. Namun kini, sorot matanya jauh lebih
hidup. Ia tampak seperti seorang kehausan di padang pasir
yang baru saja menemukan mata air.

“Apa yang ustaz jelaskan tadi sangat berharga buat saya yang
buta soal agama ini,” kata pak Wanto sambil berdiri.

“Sekarang, sudikah kiranya pak Ustaz menemani saya untuk


menziarahi almarhum anak saya? Saya yakin Allah
Mahapengampun karena Allah Mahapengasih dan
Mahapenyayang, jadi saya setuju untuk mendoakannya
selama saya masih hidup. Namun sejujurnya, saya tidak
paham tata cara yang benar dalam berziarah.”

Ustaz Syarifuddin berdiri sambil tersenyum lebar lalu


berkata, “Dengan sangat senang hati, pak Wanto.”

“Terima kasih, pak Ustaz,” kata pak Wanto sambil memeluk


Ustaz Syarifuddin. “Terima kasih banyak.”

38
39

Anda mungkin juga menyukai