Arsad Handoyo
Juni 2017
1
Penulis menuangkan kisah ini berdasarkan penuturan
pihak-pihak (bukan satu orang) yang secara langsung
mengalami dan menyaksikan peristiwa ini. Nama-
nama orang, nama-nama keluarga atau kelompok,
nama-nama tempat, dan waktu sengaja dikaburkan
oleh penulis, demi menjaga tali silaturahmi.
2
BAGIAN SATU
3
Rahman juga menambahkan, semua pesan Ustaz Syarifuddin
sudah dilaksanakan sebaik-baiknya – mulai dari memandikan
jenazah secara lemah lembut, pengkafanan, salat jenazah,
sampai kepada proses pemakaman, talkin, dan tahlil setelah
pemakaman.
4
memasuki areal pemakaman. “Itu makamnya di sana, Tad,”
kata Rahman, sambil menunjuk ke suatu arah.
“Lantas bagaimana ini pak Boyke? Kok bisa salah lubang, sih?
Saya tak habis pikir,” ujar seseorang di antara mereka, dengan
nada sangat kecewa.
5
tidak ada kesalahan pak Mukhsin sama sekali di sini.” Seorang
lainnya menimpali, “Ya okelah kami maafkan kesalahan ini,
lantas apa solusinya?”
6
“kalau boleh tahu, ada keperluan apa pak Ustaz datang ke
sini?”
7
Pak Boyke nampak lega sekali. Tanpa disadari, hadirin hening
sejenak saat ada suara-suara yang tak mereka kenali
terdengar sayup-sayup, namun nampaknya tak satupun dari
mereka yang ingin membicarakannya. “Kalau begitu, saya
tangguhkan ziarahnya,” kata Ustaz Syarifuddin, “barangkali
nanti diputuskan ada pemindahan jenazah, biar sekalian saya
yang mengurusinya.” Ayah almarhum tersenyum lebar sekali
dan berulang kali mengucapkan terima kasih.
8
Boyke mendadak memotong, “Maaf sekali, pak,” katanya,
“kesalahan seluruhnya ada pada saya selaku pengawas.
Keluarga almarhum Donny maupun para tukang gali….”
Namun belum sempat pak Boyke menyelesaikan kalimatnya,
“Sudahlah,” orang yang disebut sebagai ayah almarhum Dian
Kusuma tadi gantian memotong. “Tidak ada yang
menginginkan ini terjadi. Saya yakin ini semua
ketidaksengajaan.” Semua terdiam. “Mengenai solusinya,”
kata pak Basyir, “saya serahkan kepada keluarga almarhum
yang sudah terkubur. Bagi kami tidak masalah, di lubang
kubur yang mana almarhum anak saya akan dimakamkan.”
9
BAGIAN DUA
10
lalu bertanya, “Ada apa pak?” Pak Mukhsin, yang kini
wajahnya sepucat kertas HVS, berkata, “Itu.... Itu...,” sambil
menunjuk ke arah deretan kayu penutup. Ustaz Syarifuddin
menoleh ke arah yang ditunjuk pak Mukhsin, lalu
menyerukan sesuatu dalam bahasa Arab dengan nada
tertahan. Pak Wanto kontan penasaran, “Ada apa, sih?” Ia
bersiap untuk turun ke liang makam, namun Ustaz
Syarifuddin mencegahnya. “Jangan turun, pak. Bapak di sana
saja, di sini penuh sekali.” Ayah almarhum Donny itu
mengurungkan niatnya lalu bertanya, “Ya, okelah, tapi ada
apa di situ?” Ustaz Yusuf berdiri dari jongkoknya, “Sebentar,
saya naik dulu,” katanya, sambil satu tangannya berpegangan
ke tepian liang lahat lalu ditarik ke atas oleh dua orang
hadirin. Ia berjalan mendekati pak Wanto sambil berkata,
“Pak Mukhsin, hentikan dulu penggaliannya.”
Tampak pada tepian salah satu kayu penutup, ada empat jari
tangan keluar dari arah liang lahat dan mencengkeram kayu
tadi kuat-kuat. Seluruh jari itu tak terbungkus kafan, tampak
hitam legam, hangus, kering, tetapi sebagiannya masih
meneteskan darah yang kini telah agak mengering pada
tepian kayu penutupnya. Seluruh kuku yang ada terlihat
pecah berantakan dan terlihat juga berdarah di bawah kuku-
kukunya. Satu dua di antara kuku-kuku itu nampak sudah
11
tidak lengkap. Napas pak Wanto memburu, menjadi
tersengal-sengal. Ia merunduk lebih rendah, kini tampak jelas
olehnya ada guratan-guratan pada kayu penutup tadi.
Guratan-guratan yang tampak seperti bekas cakaran empat
jari. Ia mendadak menangis.
12
Pak Mukhsin naik ke tepian liang lahat lalu mempersilakan
Ustaz Syarifuddin untuk turun lagi, sementara dua penggali
lain tetap di dasar. “Pak Wanto,” ujar Ustaz Syarifuddin di
dasar makam, “apakah bapak berkenan untuk turun dan ikut
dalam proses ini atau tidak? Tidak ada kewajiban demikian
bagi bapak, jadi bapak boleh tetap berada di atas.” Tak
disangka, pak Wanto mengangguk. “Ya,” katanya sambil
bergerak ke arah liang lahat, “Bismillah, saya turun.” Para
hadirin tak mampu berkata-kata. Rahman nampak ingin
mencegah pak Wanto, namun ia sudah tahu hasilnya akan
percuma.
13
liang lahat – lalu terdengar muntah, sementara lainnya sibuk
berzikir menyebut nama Allah sambil satu persatu menutup
hidung. Bau busuknya teramat sangat menyengat, tak seperti
bau busuk lainnya.
Kain kafan itu juga tidak utuh lagi, karena terlihat compang-
camping seperti pakaian gembel yang sudah bertahun-tahun.
Padahal ketika almarhum Donny dimakamkan, kain kafan itu
putih bersih. Laipula ini belum 24 jam sejak jenazah itu
dimakamkan. Kain kafan pada bagian di atas telinga kiri
jenazah, nampak agak kendur dan mengerut layu ke dalam,
seperti membungkus sesuatu yang kopong. Pada bagian-
bagian itu, terlihat darah yang merembes keluar dan
sebagiannya telah mengering.
14
mendekati liang lahat, semuanya sontak menutup hidung
mereka. Sebagian berhenti di tempat, sebagian lagi
meneruskan langkahnya sambil berujar soal dahsyatnya bau
bangkai yang tercium. Setibanya di tepi liang kubur, semua
terkejut mendapati pemandangan yang sangat mengerikan
itu.
15
dan berakhlak sangat baik itu akhirnya menangis juga. Kini ia
hanya dapat berusaha agar pak Wanto tak melihatnya
menangis.
16
melihat sebagian tulang rusuk dan tulang punggung mayat
itu, kini tak lagi ditutupi kulit dan daging. Ustaz Syarifuddin
menundukkan kepala lagi, menghela napas lagi, lalu berusaha
melihat lebih baik. Pada daging yang tersisa di tengkuk dan
sebagian punggung, nampak alur-alur seperti bekas
cambukan – tetapi entah tercambuk apa – dan sudah mulai
membusuk. Pada tiap bekas cambukan itu sudah hilang kulit
dan dagingnya, sementara pada setiap tepi dagingnya tampak
terbakar. Hangus dan kering.
17
menghadap kiblat, dan memanjatkan doa-doa – sementara itu
pak Wanto yang pingsan dibopong keluar dari liang lahat
secara susah payah.
BAGIAN TIGA
18
katanya perlahan sambil tersenyum, “apakah bapak kuat dan
bersedia untuk salat Asar berjamaah bersama kami semua?”
Air muka ustaz muda itu benar-benar menenangkan.
Siapapun yang melihat ke dalam sorot matanya, pastilah
menemukan kesejukan. “Jika bapak kuat dan bersedia,
marilah kita salat berjamaah dulu. Setelah itu, kita putuskan
apakah pemindahan jenazah almarhum Donny akan
diteruskan atau tidak.”
19
Pak Wanto, pensiunan TNI berpangkat kolonel itu, masih
terisak-isak – namun sudah tidak terlalu emosional seperti
sebelumnya. Air matanya masih saja mengalir, tetapi ia sudah
dapat mengendalikan diri. Siapapun yang ada di posisinya,
pastilah akan mengalami reaksi serupa dengannya. Orang tua
mana yang rela melihat anaknya tersiksa dalam kehidupan –
apalagi dalam kematiannya?
20
Pak Wanto tak menyahut. Ia menundukkan lagi wajahnya.
Setelah beberapa lama, ia berdiri dan berjalan menghampiri
ayah almarhum Dian Kusuma, lalu memeluknya erat sambil
berujar, “Terima kasih, pak. Terima kasih banyak. Terima
kasih banyak sekali.” Dua orang tua itu kemudian berpelukan
dan terlarut dalam tangisan mereka.
BAGIAN EMPAT
21
Keluarga almarhum Dian Kusuma, Sang Pemilik liang lahat
yang sejati, sudah tidak nampak. Mereka mohon diri sebelum
dimulainya proses penutupan ulang liang lahat almarhum
Donny. “Kami mesti kembali dan mempersiapkan prosesi
jenazah almarhum anak kami,” kata pak Basyir.
22
BAGIAN LIMA
23
sabar untuk mulai bertanya. “Pak ustaz, tolong jelaskan
kepada saya, apa yang kita lihat di makam kemarin.”
24
“Rasanya tidak harus,” kata pak Wanto sambil nampak
berpikir. “Ah, tidak tahulah. Saya ini bukan ustaz, mana
mungkin saya paham apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dalam dakwah?”
“Yah,” kata pak Wanto, “saya pasti tidak terima. Mungkin saya
akan marah pada orang itu.”
“Pasti, pak. Bapak pasti tidak terima dan bapak pasti marah,”
kata Ustaz Syarifuddin. “Itulah mengapa Kanjeng Nabi tidak
pernah satu kalipun mencontohkan perbuatan seperti itu.
Jangankan mengkafirkan, Kanjeng Nabi bahkan tidak pernah
25
mengkritik ibadah orang lain – bahkan ibadahnya orang
nonmuslim sekalipun.”
26
berkewajiban untuk menjalankan fikih sesuai mazhab A yang
ia yakini tadi.”
“Lah itu malah gila namanya,” kata pak Wanto. “Masa kita
menilai perilaku ibadah orang lain berdasarkan standar
ibadah kita sendiri? Ibadah sendiri saja belum tentu benar di
hadapan Allah, lebih baik urusi ibadah sendiri-sendiri.”
27
kafir, bapak bidah, dan sebagainya, dengan mengambil jalan
yang D?”
“Ya, pak Ustaz benar sekali,” kata pak Wanto, “tetapi…,” lalu ia
terdiam. Matanya mendadak berkaca-kaca. “Agaknya saya
sudah paham, mengapa saya menyaksikan apa yang saya
saksikan di makam kemarin.”
28
komat-kamit tak bersuara sambil memegang seuntai tasbih
kayu.
“Eh, sebentar,” tukas pak Wanto, “tadi pak Ustaz bilang, tak
satupun pendiri mazhab yang menuding mazhab lainnya
sesat, kafir, bidah dan lain-lain?”
29
“Begini, pak,” kata Ustaz Syarifuddin, “ada satu golongan yang
gemar sekali menuding-nuding golongan lain, sebagaimana
dilakukan oleh almarhum anak bapak. Itu adalah golongan
Wahhabi.”
30
lewat di daerah mereka. Jika kabilah itu tidak berkenan,
mereka akan menggarongnya dan malah membinasakannya
jika perlu.
31
perilaku ibadahnya sudah jauh dari ajaran Islam, sehingga
harus ditumpas. Padahal ketika itu, hubungan antarmazhab
di dunia baik-baik saja.
32
kekejian dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab, akan
berhadapan dengan kekejian senjata Bani Saud.
33
– padahal bentuk negara kerajaan jelas-jelas dilarang oleh
Allah dan nabi-Nya. Kemudian mereka menjadi satu-satunya
negara di dunia yang diberi nama berdasarkan nama
keluarganya, yaitu Kerajaan Arab Saudi.”
34
termasuk pemakaman para nabi, keluarga nabi, para sahabat
nabi, para wali, dan para syuhada yang bernama Jannatul
Baqi. Dalam rangka itu, Kerajaan Arab Saudi juga
mencanangkan akan menghancurkan makam Kanjeng Nabi
dan meratakannya dengan tanah.
35
“Pak Ustaz,” kata pak Wanto memecah keheningan. “Saya
ingat betul, almarhum anak saya memang sering
mengkafirkan orang lain atas peribadahannya.
36
“Bahkan karena perkataannya itu, kelompok Wahhabi di
Indonesia yang bersembunyi dengan mengklaim sebagai
Sunni sempat menuduh Gus Dur sendiri adalah Syiah.
37
Ia menunduk, membungkus wajah dengan kedua telapak
tangannya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Berarti
yang saya saksikan di makam kemarin, adalah siksa kubur.”
Ia lalu terdiam sesaat. “Lantas bagaimana ustaz?” tanya pak
Wanto sambil mengangkat lagi wajahnya, “apa yang dapat
saya perbuat untuk meringankan dosa-dosa almarhum anak
saya?”
Pak Wanto terdiam lagi. Namun kini, sorot matanya jauh lebih
hidup. Ia tampak seperti seorang kehausan di padang pasir
yang baru saja menemukan mata air.
“Apa yang ustaz jelaskan tadi sangat berharga buat saya yang
buta soal agama ini,” kata pak Wanto sambil berdiri.
38
39