Anda di halaman 1dari 9

KAMPUNG PUSTAKA

“Rekonstruksi Ruang Publik Melalui Industri Kognitif Kearifan Lokal


dan Kecerdasan Lokal Masyarakat Walesi”

Karya ini dibuat untuk mengikuti:


Lomba Essay Competition Event Hunter Indonesia
“KEMANDIRIAN DALAM PEMBANGUNAN”

Disusun Oleh:
Ahmad Syarif Makatita

AL-AHWAL AS-SYAKSIYYAH / SYARI’AH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) AL-FATAH
JAYAPURA
2017
A. PENDAHULUAN
Aku adalah anak kampung, inilah yang seharusnya kita banggakan hari ini,
namun pada faktanya pembangunan dan pengembangan kampung yang
dimaksudkan pada pembahsan Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa,
tidaklah sejalan dengan kenyataan yang terjadi. Hal ini yang dirasa menjadi sebuah
ganjalan bagi generasi muda Indonesia dewasa ini untuk membanggkan identitas
mereka sebagai ‘Anak Kampung’. Jika dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa
mengamanatkan untuk mengeksplorasi dan mengembangkan kemandirian kampung
melalui perangkat sumber daya yang dimiliki oleh Kampung, hal nyata yang terjadi
justeru sebaliknya, Pembangunan yang kini tengah didengungkan oleh Pemerintah,
terasa seperti sebuah paham agama baru yang mengantarkan masyarakatnya pada
kemusnahan massal, hal ini bukan tidak beralasan, agresivitas dan keserakahan
dalam mengeksploitasi alam dan lingkungan adalah jalan terbaik bagi bangsa ini
menggali kuburan bagi rakyatnya1. Freeport Indonesia adalah satu diantara sekian
banyak perusahaan yang digaungkan sebagai wujud pengembang potensi sumber
daya di Papua, namun kini justeru memaksa suku Kamoro dan Amungme2 menjadi
korban eksploitasi wilayah alam mereka. Pada akhirnya migrasi dan menjalani
kehidupan yang termarjinalkan menjadi pilihan terakhir yang dapat mereka lakukan
saat ini3. Masyarakat lokal sebagai pemilik kekayaan intelektual telah terabaikan
dan dipaksa untuk hengkang dari wilayah mereka.
Kekayaan intelektual masyarakat lokal yang merupakan sebuah entitas yang
yang menentukan harkat dan martabat komunitas dalam tatanan kehidupan sosial4,
kini hanya menjadi hiasan yang tidak lagi memberikan makna tentang pentingnya
sebuah identitas. Kearifan lokal yang menjadi bagian dari kekayaan interlektual pun
semakin termajinalkan dengan rendahnya minat generasi muda untuk mendatangi
ruang pengetahuan guna melawan kebodohan dan ketertinggalan pengetahuan.

1 Hermen Malik, Bangun Industri Kampung Selamatkan Bangsa: Strategi Pembangunan Industri

Kampung di Kabupaten Kaur, Bengkulu, (IPB Press, Bogor, 2015) h. 127-128


2 Dua suku asli Mimika yang kini keberadaanya berada dalam garis batas marjinal
3 Septian Tri Prianto Dampak adanya Pertambangan PT. Freeport di Indonesia Makalah Tugas Akhir

Semester Sosiologi Ekonomi, Univertas Jember, 2015/ http: septianto.web.unej.ac.id/wp-


content/uploads/sites/13976/2015/12/SEPTIAN-TRI-PRIANTO-130910302021-SOSIOLOGI-
EKONOMI.docx
4 Greetz dalam Respati Wikantiyoso Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota untuk

mewujudkan Arsitektur kota yang berkelanjutan Group Konservasi dan Arsitektur dan Kota, Malang,
2009, h. 7-8
Mungkin semua kini dapat diakses dengan mudah dengan menggunakan ruang
maya, namun bila hal tersebut telah dipublikasikan, sementara kekayaan intelektual
masyarakat lokal kini mengalami kondisi pembusukan dan terdestruksi oleh
gelombang globalisasi.
Ruang perustakaan kini hanya menjadi tempat yang membosankan dan
tidak memiliki nilai ideal lagi sebagai penyedia pengetahuan dan ruang diskusi bagi
intelektual. Sementara kebutuhan akan pengetahuan semakin meningkat, hal ini
tidak hanya dibutuhkan untuk menghadapi ancaman global namun pula demi
menjaga eksistensi kekayaan intelektual lokal sebagai penopang intelektual
nasional.
Uraian diatas kiranya telah menggambarkan kebutuhan legitimasi kekayaan
intelektual sebagai instrumen yang mampu memberikan penguatan pada rasa
kemandirian dalam pembangunan. Selain itu kampung sebagi ruang publik dirasa
mampu menjadi ruang industri pengetahuan kearifan lokal (local wisdom) dan
reproduksi kecerdasan lokal (local genius). Selain itu, hal ini pun dirasa mampu
menjadi sebuah solusi dari perdebatan panjang nasib identitas bangsa yang selalu
digerus oleh gelombang perubahan, sehingga dengan hadirnya kampung pustaka
dianggap mampu menjadi wadah pembangunan yang tidak berorientasi pada fisik
semata, namun lebih menitik-beratkan pada rekonstruksi kognitif tentang identitas
generasi muda sebagai generasi emas bangsa.

B. KEARIFAN LOKAL DALAM RUANG PEMBANGUNAN


Membahas tentang ruang dan pembangunan, rasanya Indonesia bukanlah
tempat yang terlampau sempit untuk mengkontruksikan kearifan lokal sebagai
perekat bagi keberagaman yang ada. Pada bagian lain, mengenai penataan ruang
dan juga kearifan lokal telah diamanatkan dalam undang-undang no 26 tahun 20075
tentang penataan ruang yakni agar dalam bentuk apapun, penataan ruang
seharusnya mampu memperhatikan dan tidak bersifat destruktif terhadap kearifan
lokal, kecerdasan lokal dan juga budaya masyarakat setempat yang ada
didalamnya, karena hal tersebut seyogyanya dipertahankan sebagai sebuah identitas

5
bangsa.6 Dalam konteks kemandirian dalam pembangunan sebenarnya pula telah
dilegitimasi dalam Undang-Undang Otonomi Khusus No 21 tahun 20017 untuk
wilayah pulau Papua, yang hinga kini masih menemui bebatuan terjal untuk bisa
berjalan sesuai kehendak negara. Sebenarnya hal ini bukanlah sesuatu yang
demikian rumit, ketika karakter bangsa di bangun di atas kepentingan masyarakat,
atau dengan kata lain kemandirian dalam membangun dapat difasilitasi oleh
kearifan lokal yang ditransformasikan sebagai karakter bangsa8.
Hal yang hingga kini (mungkin) tidak diketahui oleh publik adalah
bagaimana kehidupan di Papua masih tidak dapat terlepas dari pola yang
menitikberatkan kebersamaan sebagai poros mempertahankan identitasnya. Ada
tiga hal yang senantiasa dijaga oleh masyarakat Papua agar dapat memiliki hidup
yang baik (ineluk opakina hano)9, yakni menajga relasi dengan sesama, dengan
alam dan pula leluhurnya. Nilai-nilai luhur ini bukan hanya sebuah konsep yang
pasif, namun nilai-nilai ini hidup dan terkontekstualisasikan dalam wujud pola
hidup bersama dalam perkampungan (O-Ukul) yang terdiri dari rumah(silimo) yang
saling terintegrasi10.
Bahkan silimo sebagai level terendah dalam merefleksikan konsep hidup
bersama itu baik, telah diatur sedemikan rupa sehingga mampu memenuhi
fungsinya. Silimo yang hanya memiliki satu rumah utama sebagai tempat tinggal
kaum laki-laki dengan satu pintu rendah yang diharapkan bagi siapapun yang
memasukinya harus menunduk, rumah utama ini disebut juga honai11.

Hal-hal diatas kiranya telah menguraikan sedikit tentang pentingnya


kearifan lokal sebagai pilar pembangunan karakter bangsa yang mandiri. Alam
telah memberikan kecerdasan yang demikian kompleks pada manusia, sehingga

6 Respati Wikantiyoso Kearifan Lokal dalam Perencanaan dan Perancangan Kota untuk mewujudkan
Arsitektur kota yang berkelanjutan Group Konservasi dan Arsitektur dan Kota, Malang, 2009, h.10
7Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua.pdf
8 Rasid Yunus, Nilai-Nilai Kearifan Lokal (local genius) sebagai penguat karakter bagsa, Deepublish,

Jogjakarta, 2014, h.5


9 Ineluk opakina hano adalah paham falsafah orang balim yang berarti hidup bersama itu baik yakni hidup

yang penuh, utuh meliputi dan menyeluruh, selaras dan seimbang, harmoni dan familier.
10 Agus A. Alua Nilai-Nilai hidup masyarakat Hubula di Lembah Balim Papua, Biro Penelitian STFT

Fajar Timur, Jayapura, 2006, h.1-30


11
mampu membentuk sebuah pola sistematis yang harmonis dalam kelangsungan
hidup sebagai kelompok.
Tidak berhenti hanya pada bagian itu, hal lain muncul dari pemahaman
mereka tentang agama, dalam sejarah awal tercatat bahwa agama orang balim
adalah animisme, yang kemudian bertransformasi menjadi wilayah Kristen pada
tahun 1954 ketika misionaris dari The Christian And Missionary Aliance
menyebarkan agama Kristen,[ Lieshout:2009]12. Di Walesi13 hal sebalikya terjadi,
sebagai bagian dari masyarakat Dani orang-orang walesi telah menjadi minoritas di
antara mayoritas. Walaupun mereka mempercayai agama yang berbeda, namun
hingga kini belum pernah terjadi peristiwa in-toleran disana.

C. WALESI SEBAGAI RUANG PUSTAKA


Sebagai wilayah perkembangan agama Islam yang konstan,
Walesi telah menjadi ruang perjumpaan budaya tradisional dan modern.
Hal ini bukan terletak pada teknologi atau kemampuan nalar
masyarakat walesi, namun bagaimana nilai kultural yang bersifat
hakikat bercumbu mesra dengan nilai religi, tanpa mendapatkan
resistensi ataupun saling mendestruksi

12Albertus Heriyanto Pengaruh Agama Samawi TerhadapPerubahan Sosial-Budaya di Assolokobal


Lembah Baliem dalam KHAZANAH, Jurnal Studi Islam dan Humaniora Vol.13 No. 2, Desember 2015
13
D. ‘KAMPUNG PUSTAKA’ INSTRUMEN KEMANDIRIAN
DALAM PEMBANGUNAN
Kampung pustaka mungkin sesuatu yang belum pernah ada di Indonesia,
dalam rencana inovasi yag ditujukan untuk mengembangkan perekonomian
masyarakat pastilah digunakan model industri yang memanfaatkan sumber daya
alam sebagai komoditi barang, ataupun jasa yang berupa pariwisata, kuliner
ataupun wisata alam, sementara untuk mengembangkan serta menginovasi
kecerdasan lokal masihlah terbilang langka. Satu-satunya yang memanfaatkan
pengetahuan sebagai sebuah sumber komoditi, adalah kampung bahasa di Pare-
Kediri. Sementara kebutuhan pengetahuan berbasis kecintaan pada dan ruang
penguatan identitas kebangsaan masih tersedia dalam
“Pemberdayaan Masyarakat Kampung adalah upaya mengembangkan
kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan,
sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber
daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang
sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Kampung”14

14 Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa.pdf/www.hukumonline.com


Gambar : Model Relasi Aktor Triple Helix

E. KESIMPULAN
Kampung sebagai ruang pustaka adalah sebuah konsep sebagai tawaran
untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang mandiri serta memberikan
ruang bagi kekayaan masyarakat lokal yang berupa kearifan lokal dan
kecerdasan lokal untuk hidup dan berdampingan dengan dunia industri yang
pula mereproduksi pengetahuan lokal sebagai kekayaan nasional. Selain itu
kampung pustaka bukanlah sesutu yang hanya terbatas pada ruang mati penuh
tumpukan buku, namun sebagai taman pengetahuan yang hidup dan memberikan
nilai edukasi melalui penangkapan indera setiap individu yang datang.
Dapat juga dikatakan bahawa kampung pustaka adalah ruang penelitian
yang didalamnya terdapat akulturasi kognitif dengan alur yang saling
melengkapi dan menguatkan. Sehingga dengan kehadiran kampung pustaka ini
akan mengundang perhatian generasi muda kepada fakta bahwa teorisasi,
penggunaan bahasa, tindakan sosial dan perilaku-perilaku komunitas, hanya
dapat dipahami dan mendapatkan nilainya dari konteks-konteks tempat hal
tersebut berada, yang tidak lain adalah konteks-konteks yang dibangun
berdasarkan perilaku secara komunitas15.
Kampung sebagai ruang yang menyediakan pengetahuan lokal akan
mampu menjadi garda teredepan dalam menopang kemandirian Negara dalam
pembangunan, namun hal ini hanya akan terjadi ketika kampung dikonstruksi
menjadi ruang utama yang memberikan penguatan terhadap pengembangan
identitas kebangsaan serta menjadi pusat peragaan ilmu pengetahuan yang
berbasis pada keunggulan lokal.16

15 Darin Weinberg dalam Bryan S. Turner Teori Sosial dari Klasik sampai Post-Modern—Terj. The

Blackwell companion to Social Theory, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2012, h. 497


16
DAFTAR BAHAN BACA

Anda mungkin juga menyukai