Anda di halaman 1dari 59

MAKALAH

BATUAN KARBONAT

OLEH :

MUHAMMAD AQRAM

FIB2 14 072

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUIAN

UNIVERSITAS HALI OLEO

KENDARI

2016
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

I.1. Rumusan Masalah.....................................................................

I.2. Tujuan Penulisan.......................................................................

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pengertian Batuan Karbonat......................................................

II.2 Diagenesa Batuan Karbonat......................................................

II.3 Komponen Batuan Karbonat................................................

II.4 Klasifikas Batuan Karbonat..................................................

II.5 Komposisi Kimia dan Mineralogi Batuan Karbonat..............

II.6 Fasies dan Lingkungan Pengendapan Batuan Karbonat........

BAB III. PENUTUP

III.1 Kesimpulan.........................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

Bagian luar bumi tertutupi oleh daratan dan lautan, dimana bagian lautan

lebih besar daripada bagian daratan. Akan tetapi daratan adalah bagian dari kulit

bumi yang dapat diamati langsung dengan dekat, maka banyak hal-hal yang dapat

diketahui secara cepat dan jelas. Salah satu diantaranya adalah kenyataan bahwa

daratan tersusun oleh jenis batuan yang berbeda satu sama lain dan berbeda-beda

materi penyusun serta berbeda pula dalam proses terbentuknya.

Batuan karbonat sebenarnya telah banyak dipergunakan orang dalam

kehidupan sehari-hari hanya saja kebanyakan orang hanya mengetahui cara

mempergunakannya saja, dan sedikit yang mengetahui asal kejadian dan seluk-

beluk mengenai batuan karbonat ini. Secara sederhana adalah batuan dengan

kandungan material karbonat lebih dari 50 % yang tersusun atas partikel

karbonat klastik yang tersemenkan atau karbonat kristalin hasil presipitasi

langsung (Rejers & Hsu, 1986).


I.1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membatasi dengan hanya

mengkaji masalah - masalah sebagai berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan batuan karbonat.?

2. Diagenesa batuan karbonat.?

3. Komponen batuan karbonat.?

4. Klasifikasi batuan karbonat.?

5. Komposisi mineral batuan karbonat.?

6. Fasies dan lingkungan pengendapan batuan karbonat.?

I.2. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dibuat tujuan masalah sebagai

berikut:

1. Menjelaskan apa itu batuan karbonat

2. Menjelaskan bagaimana proses terbentuknya batuan karbonat

3. Menjelaskan komponen batuan karbonat

4. Menjelaskan klasifikasi batuan karbonat

5. Menjelaskan komposisi mineral batuan karbonat

6. Menjelaskan fasies dan lingkungan pengendapan batuan karbonat


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pengertian Batuan Karbonat

Batuan karbonat adalah batuan dengan kandungan material karbonat lebih

dari 50 % yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau

karbonat kristalin hasil presipitasi langsung (Rejers & Hsu, 1986).Bates &

Jackson (1987) mendefinisikan batuan karbonat sebagai batuan yang komponen

utamanya adalah mineral karbonat dengan berat keseluruhan lebih dari 50 %.

Sedangkan batugamping menurut definisi Reijers &Hsu (1986) adalah batuan

yang mengandung kalsium karbonat hingga 95 %. Sehingga tidak semua batuan

karbonat adalah batugamping.

secara umum batuan karbonat ini mengandung fase primer, sekunder dan

butiran reworked. Fase primer ini merupakan mineral presipitasi yang dihasilkan

oleh organisme, sementara mineral karbonat sekunder dihasilkan oleh presipitasi

alami non organik yang terjadi saat proses diagenesis berlangsung. Material

reworked ini sama dengan mekanisme yang terjadi pada batuan terigen klastik

yaitu hasil abrasi pelapukan batuan sebelumnya.

lime mud merupakan istilah untuk material karbonat dengan butiran yang

sangat halus lebih kecil dari ukuran pasir (kurang lebih kayak matrik or lempung

versi karbonatlah) dibagi dua jenis yaitu micrite yaitu butiran karbonat berukuran

<0.004 mm dan microsparite berukuran atnara 0.004 dan 0.06 mm (Raymond,

2002). Komponen - komponen lainnya ada juga semen karbonat yang genetiknya
lebih kearah diagenesis (sementasi) karbonat dan fragmen yang lebih kasar dalam

batuan karbonat dikenal sebagai allochem (memliki jenis yang macam-macam.

Secara umum dibagi dua , yaitu: yang berasal dari cangkang fosil atau skeletal

grain dan fragmen yang bukan dari tubuh fosil atau murni hasil presiptasi).

II.2. Diagenesa Batuan Karbonat

Batuan karbonat merupakan salah satu jenis batuan sedimen non

silisiklastik. Pada batuan ini terkandung fraksi karbonat yang lebih besar

jumlahnya daripada fraksi non karbonat, jumlah fraksi karbonatnya lebih dari

50%. Selama pembentukannya, batuan karbonat melalui serangkaian proses-

proses yang disebut diagenesa. Dengan kata lain diagenesa adalah perubahan yang

terjadi pada sedimen secara alami, sejak proses pengendapan awal hingga batas

(onset) dimana metamorfisme akan terbentuk. Setelah proses pengendapan

berakhir, sedimen karbonat mengalami proses diagenesa yang dapat menyebabkan

perubahan kimiawi dan mineralogi untuk selanjutnya mengeras menjadi batuan

karbonat.

Proses diagnesa sangat berperan dalam menentukan bentuk dan karakter akhir

batuan sedimen yang dihasilkannya. Proses diagenesa akan menyebabkan

perubahan material sedimen. Perubahan yang terjadi adalah perubahan fisik,

mineralogi dan kimia. Pada batuan karbonat, diagenesa merupakan proses

transformasi menuju batugamping atau dolomit yang lebih stabil. Faktor yang

menentukan karakter akhir produk diagenesa antara lain :

1. Komposisi sedimen mula-mula


2. Sifat alami fluida interstitial dan pergerakannya

3. Proses kimia dan fisika yang bekerja selama diagenesa

Dengan melihat faktor-faktor tersebut dapat diketahui bahwa batuan karbonat

dengan komposisi utama kalsit akan mengalami proses diagenesa yang berbeda

dibandingkan dengan batuan karbonat yang berkomposisi dominan aragonit

maupun juga dolomit. Lingkungan pelarutan dan lithifikasi yang berbeda, misal di

lingkungan air laut dan air tawar akan menghasilkan batuan yang berbeda.

Demikian juga halnya dengan tekstur semen dan butiran batuan, juga akan

bervariasi bergantung pada tekanan dan temperatur lingkungan diagenesanya.

Lingkungan diagenesa yang berbeda akan memiliki proses kimia dan fisika yang

relatif berbeda pula, sehingga produk diagenesanya pun akan berbeda. Hal inilah

yang dapat dijadikan indikator untuk mengetahui lingkungan diagenesa yang

bersangkutan. Ada beberapa lingkungan diagenesa beserta produknya, yaitu:

1. Marine (dicirikan oleh kehadiran semen aragonit, High Mg-Calcite)

2. Lagoon (dicirikan oleh adanya dolomititsasi akibat proses evaporasi)

3. Phreatic (dicirikan oleh kehadiran kalsit hasil pelarutan)

4. Vadose (dicirikan oleh kehadiran kalsit hasil pelarutan)

5. Burial (dicirikan oleh kehadiran kalsit hasil pelarutan tekanan/pressure

solution

Proses-proses diagenesa batuan karbonat meliputi:

 Pelarutan (Dissolution)

Merupakan proses melarutnya komponen karbonat yang terjadi saat fluida pori

tidak jenuh (undersaturated) oleh mineral-mineral karbonat. Pelarutan akan


terbantu oleh adanya mineral yang bisa larut (mineral karbonat yang tidak stabil

seperti aragonit dan Mg-calcite), serta nilai pH yang rendah (lingkungan menjadi

asam). Fluida air pori yang ada dalam ruang antar butiran pada batuan karbonat

biasanya akan sangat “agresif” melarutkan karbonat jika terkandung konsentrasi

gas CO2 yang disumbangkan oleh lingkungan sekitar (misalnya karbon dan

oksigen yang dilepaskan oleh jasad oganik). Pelarutan karbonat kurang banyak

terjadi di lingkungan laut. Tapi justru banyak terjadi pada lingkungan darat atau

manapun yang ada perkolasi (rembesan) dari air meteorik (air hujan maupun air

tawar). Bentang alam karst merupakan hasil dari proses pelarutan batuan

karbonat. Pembentukkannya dipengaruhi oleh proses pelarutan yang sangat tinggi

di bandingkan dengan batuan di tempat lainnya dimanapun. Proses pelarutan

tersebut umumnya dibarengi dengan proses-proses lainnya seperti runtuhan,

transport dalam bentuk larutan melalui saluran bawah tanah, juga longsoran dan

amblesan dipermukaan. Pelarutan yang terjadi secara terus menerus, pada

akhirnya menciptakan bentukan alam yang sangat beragam. Proses pelarutan

tersebut dapat digambarkan dalam reaksi kimia yaitu :

CaCO3 + CO2+H2O ==> Ca2- + 2HCO3-

(batu gamping) (air hujan) (larutan batu gamping)

Salah satu bentangan Karst yang ada di Indonesia yaitu Kawasan Karst Gunung

Sewu, dimana daerah ini memiliki topografi Karst yang terbentuk oleh proses

pelarutan batuan kapur. Kabupaten Wonogiri merupakan bagian dari bentangan

Karst Gunung Sewu yang dimana daerah ini memiliki topografi karst yang

terbentuk oleh proses pelarutan batuan kapur.


Secara umum, pelarutan karena pergerakan air melewati batuan karbonat akan

melarutkan mineral karbonat yang dilewatinya, maka imbasnya: (1) air akan

berubah kimianya (karena adanya konsentrasi ion karbonat di dalamnya), (2) air

akan masuk ke litologi berbeda atau sebaliknya air datang membawa material

”asing” dari batuan lain sebelum menerobos karbonat dan membawa sistem baru,

(3) perilaku pelarutan bergantung pada variabel kontrol kelarutannya (misalnya P,

T, Eh, PCO2, dll) (Raymond, 2002).

Pelarutan karbonat lebih intensif terjadi di daerah permukaan, sedangkan hal

sebaliknya terjadi di daerah bawah permukaan. Hal ini disebabkan karena

peningkatan temperatur pada kedalaman cenderung akan menurunkan tingkat

kelarutan karbonat. Kelarutan karbonat akan meningkat di kedalaman atau

dimanapun asalkan ada penambahan gas CO2 dalam air pori (yang bisa saja

berasal dari hasil pembusukan jasad organisme yang tertimbun), maka meskipun

temperatur meningkat kalau terdapat konsentrasi gas CO2 dalam air pori, mineral-

mineral karbonat yang ada tetap akan larut.

Berikut adalah gambar sayatan batuan karbonat yang memperlihatkan bentukan

akibat proses pelarutan:


 Sementasi (Cementation)

Merupakan proses presipitasi yang terjadi pada saat lubang antar pori batuan

karbonat terisi oleh fluida jenuh karbonat. Dalam proses ini butiran-butiran

sedimen direkat oleh material lain yang terbentuk kemudian, dapat berasal dari air

tanah atau pelarutan mineral-mineral dalam sedimen itu sendiri. Proses ini

merupakan proses diagenetik yang penting untuk semua jenis batuan sedimen,

termasuk didalamnya batuan karbonat. Di lantai laut, sementasi terjadi di air

hangat dalam pori dari butiran ruangan antar butiran karbonat. Di meteoric realm

(lingkungan meteorik dimana pengaruh air yang hadir hanya dari hujan saja)

sementasi juga hadir disini, semennya dominan kalsit. Meskipun kondisi yang

mengontrol sementasi pada kedalaman kurang dipahami pasti, tapi beberapa

faktor dapat diketahui mengontrol hal ini. Air pori, peningkatan temperatur, dan

penurunan tekanan parsial dari karbondioksida merupakan faktor-faktor yang

diperlukan untuk presipitasi semen kalsit ini. Pada proses sementasi ini diperlukan

suplai kalsium karbonat secara mutlak. Sifat sementasi ini berlawanan dengan

pelarutan, dimana sementasi membuat mineral semen (karbonat) terpresipitasi,

sementara pelarutan akan merusak struktur mineral yang telah terbentuk.

 Dolomitisasi (Dolomitization)

Merupakan proses penggantian mineral-mineral kalsit menjadi dolomit. Dolomit

mempunyai komposisi CaMg(CO3)2 dan secara kristalografi serupa dengan kalsit,

namun lebih besar densitasnya, sukar larut dalam air, dan lebih mudah patah

(brittle). Secara umum, dolomit lebih porous dan permeable dibandingkan


limestone. Dalam proses dolomitisasi, kalsit (CaCO3) ditransformasikan menjadi

dolomite (CaMg(CO3)2) menurut reaksi kimia :

2CaCO3 + MgCl3 ==> CaMg(CO3)2 + CaCl2

Menurut para ahli, batugamping yang terdolomitasi mempunyai porositas yang

lebih besar dari pada batugamping itu sendiri. Dolomitisasi bisa terjadi dilaut

dangkal-campuran fresh dan sea water, tidal flat, di danau, lagoon, dll, apalagi

kalau ada batuan yang mengandung Mg yang dilewati sungai-sungai dan

membawanya ke lingkungan dimana batu gamping berada atau terjadi.

 Aktivitas Organisme (Microbial Activity)

Aktifitas organisme akan mempercepat atau memacu terjadinya proses diagenesis

lainnya. Organisme yang menyebabkan proses ini merupakan organisme yang

sangat kecil (mikrobia) dimana aktivitas jasad renik sangat berhubungan dengan

proses dekomposisi material organik. Proses dekomposisi material organik akan

mempengaruhi pH air pori sehingga mempercepat terjadinya reaksi kimia dengan

mineral penyusun sedimen. Aktifitas mikrobia antara lain fermentasi, respirasi,

pengurangan nitrat, besi, sulfat dan pembentukan gas metana. Organisme dalam

lingkungan pengendapan karbonat merework sedimen dalam bentuk jejak boring,

burrowing, dan sedimen-ingesting activity (memakan dan mencerna sedimen).

Aktivitas ini akan merusak struktur sedimen yang berkembang pada sedimen

karbonat dan meninggalkan jejak-jejak aktivitasnya saat organisme ini

beraktivitas. Kebanyakan bioturbasi terjadi pada sedikit di bawah permukaan

pengendapan, setelah pengendapan material sedimen dengan kedalaman beberapa


puluh sentimeter. Proses ini akan membentuk kenampakan yang khas pada batuan

sedimen yang disebut struktur sedimen.

Semua jenis organisme kecil macam fungi bakteri, dan alga, membentuk

microboring dalam fragmen skeletal dan butiran karbonat lainnya yang berukuran

besar. Boring dan presipitasi mikrit dapat intensif di lingkungan yang berair

hangat dimana butiran karbonat menjadi berkurang dan terubah menjadi mikrit,

proses pada kondisi ini dikenal sebagai mikritisasi (Boggs, 2006). Di beberapa

kasus, aktivitas organisme ini dapat meningkatkan kompaksi batuan dan biasanya

merusak struktur sedimen yang halus seperti paralel laminasi (Purdy, 1965).

Selama proses ini beberapa organisme melepaskan material presipitasi yang bisa

menjadi fase semen dalam batuan (Raymond, 2002).

 Mechanical Compaction

Merupakan proses diagenesa yang terjadi akibat adanya peningkatan tekanan

overburden. Seperti halnya pada batuan silisiklastik, kompaksi terjadi karena

adanya pembebanan sedimen yang berada diatasnya. Proses kompaksi ini

menyebabkan berkurangnya porositas batuan, karena terjadi juga thining

(penipisan) dari bed (perlapisan batuan) pada kedalaman dangkal. Seiring

bertambahnya kedalaman, tekanan juga akan bertambah, sedangkan porositas

karbonat berkurang sampai setengahnya atau lebih (porositas saat batuan

mengendap) sekitar 50-60% pada kedalaman sekitar 100 m (Boggs, 2006). Proses

kompaksi ini terjadi karena adanya gaya berat/gravitasi dari material-material

sedimen yang semakin lama semakin bertambah sehingga volume akan berkurang

dan cairan yang mengisi pori-pori akan bermigrasi ke atas, menyebabkan


hubungan antar butir menjadi lebih lekat dan juga air yang dikandung dalam pori

terperas keluar.. Kompaksi menyebabkan berkurangnya porositas batuan karena

adanya rearangement (penyusunan ulang) dari butiran butiran yang jarang (tidak

bersentuhan) menjadi saling bersentuhan atau makin rapat. Ketika sedimen

pertama kali terendapkan tentu saja berupa material lepas (loose) dan sifatnya

porous (berpori), ketika kompaksi terjadi material lepas ini akan menjadi lebih

rapat dan padat yang otomatis akan mengurangi porositasnya.

 Chemical Compaction

Pada kedalaman burial sekitar 200-1500 m, kompaksi kimia dari sedimen

karbonat dimulai. Tekanan larutan pada kontak antar butiran seperti pada

diagenesa sedimen klastik lainnya akan melarutkan permukaan butiran mineral

dan pada karbonat dapat membentuk kontak bergerigi. Pada skala yang lebih

besar pressure solution pada batuan karbonat membentuk pola bergerigi (zig-zag)

yang kita kenal sebagai struktur styolite. Styolite umumnya hadir pada batuan

karbonat berbutir halus. Jadi pressure solution pada batuan karbonat diikuti

perkembangan strktur styolite, mencirikan hilangnya porositas dan thining

(penipisan) dari bed (perlapisan batuan).

Pada batuan karbonat terkadang tidak mengalami semua proses diagenesa

tersebut, namun biasanya justru hanya melalui beberapa proses diagenesa saja.

Proses diagnesa ini akan sangat berperan dalam menentukan bentuk dan karakter

akhir batuan sedimen yang dihasilkannya.


II.3. Komponen Batuan Karbonat

Komponen penyusun batuan karbonat secara garis besar dibagi menjadi 3

(tiga) bagian yaitu: a. Butiran (skeletal, non-skeletal), b. matrix dan c. semen.

Komponen tersebut tersusun oleh mineral-mineral karbonat yang berbeda.

Gambar 1 Diagram yang memperlihatkan hubungan antara zona-zona mineral

karbonat terhadap lingkungan pengendapan pada laut modern.

A. BUTIRAN

Butiran atau grain adalah semua komponen dalam batuan karonat yang

berkomposisi kalsium karbonat (CaCO3) baik yang berasal dari proses biologi

seperti terumbu maupun dari proses biokimia. Butiran ini merupakan komponen

yang menunjukkan kesan berbutir dengan batas-batas antar butir. Komponen

tersebut dapat berupa hasil rombakan batuan karbonat itu sendiri atau batuan

karbonat yang telah terbentuk sebelumnya (luar lingkungan pengendapan),

fragmen-fragmen organisme ataupun hasil aktifitas organisme dan presipitasi

mineral-mineral karbonat atau hasil diagenesis.

Jika dianalogikan terhadap batuan silisiklastik, butiran merupakan fragmen yang

berada dalam massa matriks dan semen. Butiran dibagi menjadi dua kelompok
yaitu yang berasal dari organisme atau skeletal dan yang berasal dari non-

organisme atau non-skeletal.

 Skeletal

Skeletal adalah komponen batuan karbonat yang berasal dari organisme baik

dalam bentuk utuh maupun berupa fragmental. Komponen tersebut merupakan

penyusun batuan karbonat yang umum dijumpai. Komponen ini dapat berupa

organisme utuh (dikenal dengan fosil) atau sebagai fragmen-fragmen organisme.

Jenis organisme yang bertindak sebagai komponen skeletal dalam batuan karbonat

bervariasi sepanjang sejarah geologi. Penyusun batuan karbonat dalam hal ini

diambil referensi adalah terumbu mulai dari kala Paleozoikum hingga

Kenozoikum terlihat pada tabel 2.1.

Tabel 1 Kelompok utama pembentuk reef sepanjang sejarah geologi (sejak

Archaean – Cenozoic) (Heckel, 1974).


Menurut Heckel (1974) terdapat unsur (organisme) utama yang menyusun batuan

karbonat dari waktu ke waktu. Masing-masing Era mempunyai ciri khas

organisme penyusunnya. Stromatolit umum dijumpai pada Era Proterozoic hingga

Paleozoic. Namun pada mulanya organisme yang menyusun batuan karbonat

(terumbu) tersebut keaneka ragaman masih sangat kecil dan semakin ke arah resen

(umur muda) keaneka ragaman organisme pembentuk batuan karbonat semakin

banyak. Diversitas (keaneka ragaman) jenis organisme mulai berkembang pesat

pada Era Mesozoikum khususnya pada Zaman Karbon. Khusus untuk Tersier,

organisme yang umum dijumpai adalah koral, algae dan foraminifera dengan

spesies yang cukupberagam. Selain itu juga dijumpai molluska, stromatoporoid

dan lain-lain.

Pada umumnya untuk batuan berumur Tersier, terutama pada kala Neogen maka

komponen skeletalnya atau fosilnya hampir sama dengan yang hidup sekarang ini.

Ada tiga kelompok utama penyusun batuan karbonat pada kala Tersier yaitu

Algae, Koral dan Foraminifera (Gambar 2).


Gambar 2 Jenis-jenis skeletal yang umum dijumpai pada batuan karbonat. Sketsa

organisme yang hidup sekarang berupa algae (A), koral (B), dan Sponge (C).

Organisme sebagai penyusun batuan karbonat khususnya pada kala Tersier (sejak

65 juta tahun lalu) sangat beragam. Berdasarkan tabel 2.1 terlihat bahwa jenis,

sebaran dan bentuk organisme berkembang pesat pada waktu tertentu. Beberapa

jenis organisme yang umum dijumpai pada Zaman Tersier adalah Koral, Algae,

sponges dan Foram (Gambar 3- 5).

Gambar 3 Kenampakan singkapan dari koral yang dijumpai pada lower teras

batugamping Selayar di daerah Bira, Kab. Bulukumba (A). Foto sayatan tipis

yang memperlihatkan fosil foraminifera besar (B) yang juga tersebar luas dalam

batuan karbonat.
Gambar 4 Komponen batuan karbonat berupa fragmen-fragmen algae merah

(Corallinaceae) (A), Foram besar (B) dan koral (C). A dan B dalam sayatan tipis,

C dalam bentuk poles. Lokasi batugamping Selayar, Bira.

Gambar 5 Komponen batuan karbonat berupa koral soliter dari skerattinian dalam

hand specimen (A), sayatan tipi yang memperlihatkan fragmen Halimeda, tanda

panah (B). Lokasi batugamping Selayar, Bira.

 Non-Skeletal

Komponen Non-skeletal adalah material penyusun batuan karbonat yang berasal

dari non organisme. Material tersebut terakumulasi pada suatu cekungan atau

lingkungan pengendapan dengan proses yang berbeda-beda. Komponen-

komponen tersebut adalah lithoklas (intraklas dan ekstraklas), ooids, peloids dan

coated grain. Sedangkan yang berasal dari organisme dengan proses tertentu

misalnya onkoliths, rhodoliths.

Lithoklas.

Lithoklas dalam beberapa literatur dikenal sebagai lime-clast atau intraclast.

Dalam buku ini peristilahan lithoklas diambil dari Tucker & Wright (1990) yang

mencakup intraklas & ekstraklas (Gambar 2.11). Intraklas adalah komponen

karbonat yang merupakan hasil rombakan batuan karbonat dalam lingkungan


pengendapan yang sama, sedangkan ekstraklas adalah komponen karbonat hasil

rombakan dari batuan karbonat yang telah ada di luar lingkungan

pengendapannya.

Ooid (oolit)

Ooid (atau oolite) adalah butiran yang berbentuk bulat, lonjong dan

memperlihatkan struktur dalam baik secara konsentris maupun tangensial dengan

suatu inti (nuclei) yang komposisinya bervariasi. Cortex tersebut adalah halus dan

terlaminasi secara rata pada bagian luarnya, tetapi laminae individu mungkin lebih

tipis pada titik-titik sudut tajam intinya. Bentuk nucleus tersebut tipikal spheroid

atau elipsoid dengan derajat sphericity meningkat kearah luar (Gambar 6).

Gambar 6 Komponen dalam batuan karbonat berupa lithoklas jenisnya belum

diketahui dengan pasti. Contoh setangan (hand speciment) berupa slab dari

batugamping Selayar (A), sayatan tipis yang menunjukkan beberapa ukuran dan

batas butir yang tegas (Kendall, 2005) (B).

Ooid dapat diklasifikasikan berdasarkan microfabriknya atau mineraloginya.

Namun ooid dapat menjadi sulit dikenali bilamana mengalami diagenesis yang

terutama terjadi pada ooid berasal dari aragonit yang telah terganti oleh kalsit.

Proses pembentukan ooid bisa pada daerah beragitasi atau bernergi tinggi dan

akan menghasilkan ooid dengan struktur dalam yang konsentris. Selain itu ooid
juga terbentuk pada lingkungan air tenang dengan struktur dalam tangensial

(Gambar 8 B).

Gambar 7 Sketsa kenampakan melintang sayatan oolit (ooid) yang

memperlihatkan struktur dalam (radial dan konsentris). (Sumber: An Overview of

Carbonates, Kendall, 2005).

Gambar 8 Fotograf dari ooid (bulat putih bersih) dan mineral terrigenous (kuarsa)

warna bening (A), ooid dalam bentuk sayatan tipis yang memperlihatkan struktur

dalam dan beberapa ooid intinya telah melarut (B). (Sumber: An Overview of

Carbonates, Kendall, 2005).

Peloid (Pellet)

Peloid merupakan suatu komponen karbonat berukuran pasir, dengan ukuran rata-

rata 100-500µm yang tersusun oleh kristal-kristal karbonat. Peloid umumnya


berbentuk rounded – subrounded, spherical, ellipsoid hingga tak beraturan dan

tidak mempunyai struktur dalam. Istilah tersebut murni deskriptif yang

dikemukakan oleh McKee & Gutschick (1969). Istilah Pellet juga umum

digunakan tetapi mempunyai konotasi untuk peloid yang berasal dari aktifitas

organisme atau faecal pellet (Gambar 9).

Peloid merupakan komponen penting didalam batuan karbonat dangkal. Seperti

pada Great Bahama bank bagian barat dari P. Andros, dimana pelet menutupi

kurang lebih 10.000 km2. Peloid menyusun lebih dari 30% total sedimen dan 75%

pasir. Pada daerah-daerah berenergi rendah seperti sedimen-sedimen lagun di

daerah Balize, peloid juga umum dijumpai pada batugamping berenergi rendah di

daerah laut dangkal, atau pada lingkungan laut yang tertutup.

Gambar 9 Sketsa kenampakan butiran peloid dengan lingkungan

pembentukannya. Berbeda dengan ooid yang terbentuk pada daerah agitasi, maka

peloid merupakan komponen batuan karbonat yang terbentuk pada lingkungan

enrgi rendah seperti lagoon.


Gambar 10 (A) kenampakan butiran peloid modern, (B) kenampakan peloid

dalam bentuk sayatan tipis yang tidak memperlihatkan struktur dalam.

Banyak peloid merupakan butiran yang telah mengalami diagenesa atau

mikritisasi seperti fragmen-fragmen organisme dan akhirnya membentuk peloid.

Sumber lain dari peloid adalah berasal dari butiran karbonat (lithoklas) yang telah

mengalami mikritisasi dan tidak menampakkan struktur asal sehingga membentuk

peloid.

Coated grains

Sejumlah carbonated-coated grains kadang tidak konsisten dalam penggunaan

terminologinya sehingga kadang memunculkan masalah dalam interpretasinya.

Memang hampir semua ahli petrografi batuan karbonat nampaknya mempunyai

defenisi sendiri-sendiri. Coated grains terjadi secara poligenetik dengan perbedaan

proses yang membentuk tipe butiran sama dan banyak dari proses ini belum

dimengerti. Selanjutnya coated grain sama dapat terjadi pada lingkungan yang

berbeda sama sekali yang menjadikan penggunaannya dalam interpretasi

lingkungan pengendapan sangat susah.

Beberapa ahli masih memberikan istilah yang berbeda pada obyek yang sama.

Istilah-istilah tersebut misalnya macro-oncoid, pisovadoid, cyanoid, bryoid,

turberoid, putroid dan walnutoid (Peryt, 1983a). Peristilahan ini sudah terlalu jauh

dan barangkali istilah yang membingungkan tersebut tidak akan dibahas dalam
buku ini. Penjelasan yang paling baru mengenai istilah coated grain yakni yang

dilakukan oleh Peryt (1983b) yang mengajukan klasifikasi lain yang

menggunakan sistem genetik dan generik untuk pengklasifikasian butiran ini.

Banyak klasifikasi, termasuk klasifikasi Peryt, membedakan dua kategori besar

tentang coated grains: terbentuk secara kimia (khususnya ooids) dan terbentuk

secara biogenik (oncoids). Tetapi sering tidak mungkin untuk membuktikan

apakah suatu coated grain telah terbentuk secara biogenik dan banyak ooid

(biasanya yang diklasifikasikan terbentuk secara kimia) terbentuk langsung secara

biogenik atau mungkin pertumbuhannya dipengaruhi secara biokimia. Didalam

klasifikasinya, Flügel (1982) dan Richter (1983a) mengambil suatu pendekatan

kearah lebih deskriptif terhadap istilah ooid dan oncoid. Defenisi berikut

dimodifikasi dari peneulis tersebut diatas dan menekankan pada sifat dari bentuk

cortikal laminae dan kontinuitas.

Oncoid (atau oncolith) merupakan suatu coated grain dengan cortex kalkareous

dari laminae yang irreguler dan sebagain overlapping. Bentuk oncoid tersebut

irregular dan dapat memperlihatkan struktur biogenik. Beberapa bentuk tidak

mempunyai nucleus jelas (Gambar 10).


Gambar 10 Kenampakan sayatan tipis oncoid dimana intinya merupakan ooid

yang mengalami perkembangan membentuk oncoid. (Sumber: An Overview of

Carbonates, Kendall, 2005).

Oncoids dapat diklasifikasikan pada tipe struktur biogenik yang dikandungnya,

contoh oncoid yang terbentuk oleh coating algae merah disebut rhodolith (atau

rhodoids). Suatu batuan terbuat dari oncoid harus disebut oncolite. Beberapa

peneliti membatasi istilah terhadap nodul algae tetapi penggunaan ini penuh

dengan masalah.

Istilah pisoid utamanya digunakan dalam petrografi tetapi tidak ada konsensus

muncul untuk defenisinya. Flügel (1982) menganggap pisoid sebagai non marine

ooid, sedangkan kebanyakan peneliti menekankan pisoid untuk ooid dengan

diameter lebih besar dari 2 mm (Leighton & Pendexter, 1962; Donahue, 1978).

Disamping lebih besar dari ooid, pisoid mempunyai laminae yang kurang teratur.

Peryt (1983b) telah mendefinisikan tiga kategori ukuran untuk coated grain yang

didasarkan pada diameternya: microid (<2 mm), pisoid (2 - 10 mm) dan macroid

(> 10 mm). Pembagian ini telah digunakan oleh Peryt sebagai prefiks (contoh
untuk mendefinisikan oncoid besar sebagai macro-oncoid), tetapi sistemnya

kemudian diketahui tipe genetik, interpretatif yang masih sangat diragukan

(Richter, 1983a).

Krumbein (1984) mengklasifikasikan ooid dan oncoid pada sifat keteraturan

bentuk dan kontinuitas laminae, dan dia mengenali micro-oncoid seperti

dijelaskan diatas tetapi kemudian menambahkan suatu termiologi genetik

berdasarkan pada apakah secara keseluruhan butiran merupakan biogenik atau

abiogenik. Klasifikasi ini memperkenalkan oolite dan oncolite sebagai suatu

kumpulan dari coated grain yang terbentuk secara biogenik dan ooloid serta

oncoloid sebagai kumpulan dari butiran yang terbentuk secara abiogenik. Karena

tidak mungkin menjelaskan apakah banyak coated grain adalah biogenik atau

tidak, sistem klasifikasi terakhir tidak digunakan dan diharapkan tambahan istilah

membingungkan terakhir tersebut tidak akan dipakai dalam literatur.

Cortoid adalah tipe lain dari coated grain yang dikenal oleh beberapa peneliti

(Flügel, 1982). Cortoid adalah butiran yang diselimuti oleh micrite envelope,

dianggap terbentuk oleh endholitic micro-organisme. Butiran ini bukan

sebenarnya butiran tetapi memperlihatkan alterasi pada permukaan butiran. Tetapi

banyak micrite envelope berasal dari penambahan yan terbentuk oleh enkrustasi

dari micro-organisme yang sebagian merupakan endolithic dan sebagian epilithic

(Kobluk & Risk, 1977a,b). Butiran ini mengandung suatu tipe coated grain non

laminated, untuk itu istilah cortoid beralasan untuk dapat digunakan.


B. MATRIKS (MIKRIT)

Matriks adalah komponen batuan karbonat yang secara teoritis berukuran halus

(<4 mm). Matriks atau mikrit (Folk, 1962) atau mud (Dunham, 1962) adalah

komponen batuan karbonat yang terbentuk bersama butiran dan bertindak sebagai

matriks. Komponen ini sangat umum dijumpai dalam batuan karbonat dan

diinterpretasi terbentuk pada lingkungan berenergi rendah. Matriks harus

dibedakan dengan mikrit yang terbentuk melalui proses diagenesis (mikritisasi).

Mikrit yang terbentuk dengan proses tersebut bisa berasal dari komponen lain

seperti butiran atau semen. Jika dianalogikan dengan batuan sedimen silisiklastik,

matriks disamakan dengan lempung yang terendapkan pada lingkungan berenergi

rendah. Konsekwensinya adalah warnanya menjadi relatif lebih gelap baik dalam

bentuk outcrop (Gambar 2.17B) maupun dalam bentuk sayatan tipis (Gambar

11C).

Gambar 11 Endapan mikrit atau matrik yang terperangkap pada sea grass di

daerah dangkalan (A). Outcrop yang menunjukkan mikrit (warna abu-abu) dengan

tekstur wackestone (B). Internal sedimen yang terdiri atas mikrit (panah) (C).

(Sumber: An Overview of Carbonates, Kendall, 2005).


C. SEMEN

Semen merupakan komponen batuan karbonat yang mengisi pori-pori dan

merupakan hasil diagenesis atau hasil presipitasi dalam pori batuan dari batuan

yang telah ada. Semen sering disamakan dengan sparit hasil neomorphisme,

padahal sparit hasil neomorphisme adalah perubahan (rekristalisasi) dari

komponen karbonat yang telah ada.

Beberapa jenis semen yang dikenal dalam batuan karbonat moderen adalah

fibrous, botroidal, isophaceous, mesh of needles dll (Gambar 12). Jenis semen

tersebut tergantung pada lingkungan pembentuk semen yang dikenal sebagai

lingkungan diagenesis. Penjelasan lebih lengkap tentang semen dibahas pada bab

diagenesis batuan karbonat.

Kenampakan lapangan dari semen adalah bening seprti kaca, sedangkan dibawah

mikroskop memperlihatkan warna tranparan. Semen dapat terbentuk pada ruang

antar komponen dan dapat juga terbentuk pada ruang dalam komponen atau ruang

hasil pelarutan (Gambar 12).

Gambar 12 Kenampakan jenis-jenis semen dan jenis mineral pembentuk semen

pada batuan karbonat. Jenis semen yang umum dijumpai pada laut dangkal

menurut James & Choquette, 1990.


Beberapa contoh semen dalam batuan karbonat yang banyak dijumpai pada

karbonat modern khususnya pada daerah terumbu adalah fibrous dan botryoidal.

Jenis semen tersebut dapat dijumpai pada batugamping Selayar yang

memperlihatkan beberapa jenis (Gambar 13) yaitu fibrous, granular dan bladed.

Gambar 13 Semen jenis fibrous dan granular yang dijumpai pada batugamping

Selayar. Radial fibrous cement yang menyemen fragmen Halimeda (A) dan

stratigrafi semen dengan tiga fase pekembangan (B).

Selain tinjauan morfologi semen, semen juga dapat dianalisis melalui bentuk

kristalnya seperti granular (equant), bladed, dan menjarum (fibers) (Gambar 2.20).

Bentuk kristal semen tersebut dibedakan dengan memperhatikan perbandingan

panjang sumbu-sumbu kristalnya. Bentuk equant memiliki sumbu kristal yang

sama panjang antara sumbu a, b, dan c atau 2 : 1. Sedangkan bentuk kristal blades

adalah semen dengan panjang sumbu kristal yang tidak sama dimana

perbandingannya antara 1 : 2 sampai 1:6 antara sumbu a, b dengan sumbu c.

Bentuk kristal menjarum (fibers) jika panjang sumbu c-nya lebih besar dari 1:6.
Gambar 14 Bentuk kristal semen karbonat yang terdiri atas granular (equants),

melembar (blades) dan menjarum (fibers). Sumber Tucker & Wright (1990).

Selain dari bentuk kristalnya jenis semen juga dapat dibedakan berdasarkan

morfologi semennya seperti blade rim cement, granular cement, meniscus cement

dan microstalactitic cement (Gambar 15).

Gambar 15 Morfologi semen seperti bladed cement (A), meniscus cements (B),

granular cements (C) dan microstalactitic cements (D). Bar adalah 1 mm.
II.4. Klasifikas Batuan Karbonat

Berbicara klasifikasi karbonat berbeda dengan klasifikasi batuan sedimen

silisiklastik lainnya. Perbedaannya terletak pada pada material komposisi karena

batuan karbonat itu cenderung satu jenis yang dominan (mineral karbonat saja)

maka penamaan yang dipakai lebih ke arah tekstural pada batuan (kalo batuan

silisiklatik kan dominasi kristal yang hadir serta komposisi matriknya untuk pasir

dan konglomerat) dikarbonat kombinasi komponen berbanding kombinasi persen

matrik dan semen menjadi faktor utama penamaan batuan, ditambah mekanisme

kenampakan genetis matrik yang mengikat fragmen (untuk yang biogenik). mari

kita lihat.

Setidaknya ada tiga klasifikasi yang paling populer untuk batuan karbonat

ini : dari R.L Folk (1959/62), Dunham (1962), dan Embry dan Klovan (1971), dan

satu lagi dari Wright (1992).

Beberapa klasifikasi batuan karbonat telah diterbitkan oleh APPG pada

Memoir 1 tahun 1962. Namun yang paling banyak digunakan oleh para ahli

batuan karbonat adalah yang dikemukakan oleh Folk (1959, 1962), Dunham

(1962). Klasifikasi batuan karbonat oleh Dunham (1962) kemudian

disempurnakan oleh Embry and Klovan, (1971). Dalam pembahasan ini

klasifikasi akan difokuskan pada klasifikasi batuan karbonat yang dikeluarkan

oleh Dunham,1962.

Leighton & Pendexter (1962) telah membedakan batuan karbonat

berdasarkan kandungan kalsit, dolomit dan mineral pengotornya (non-karbonat).

Klasifikasi tersebut menyebutkan bahwa batuan karbonat (dolostone dan


limestone) jika batuan tersebut berkomposisi mineral karbonat di atas 50%.

Sedangkan Tucker dan Wright (1990) mendefenisikan bahwa batuan karbonat

harus mempunyai mineral karbonat di atas 50%. Sementara batuan yang memiliki

kandungan karbonat kecil dari 50% dan signifikan dipertimbangkan dapat

menjadi awalan yang menunjukkan sifat karbonatan.

Berdasarkan pengertian batuan karbonat tersebut di atas kemudian

mengelompokkannya berdasarkan klasifikasi batuan pada buku AAPG Memoir 1

(1962). Secara umum dalam buku ini akan dijelaskan klasifikasi batuan karbonat

berdasarkan Dunham (1962) dan penyempurnaannya dan klasifikasi oleh Folk

(1962).

Perbedaan kedua klasifikasi tersebut terletak dari cara pandangnya. Folk

membuat klasifikasi berdasarkan apa yang dilihatnya melalui mikroskop atau

lebih bersifat deskriptif, sedangkan Dunham lebih melihat batuan karbonat dari

aspek deskriptif dan genesis, sehingga dalam klasifikasinya tidak hanya

mempertimbangkan kenampakan dibawah mikroskop tetapi juga kenampakan

lapangan (field observation).

Klasifikasi Folk menuntun kita untuk mendeskripsi batuan karbonat

tentang apa yang dilihat dan hanya sedikit untuk dapat menginterpretasikan apa

yang dideskripsi tersebut. Sebenarnya batuan karbonat merupakan batuan yang

mudah mengalami perubahan (diagenesis) oleh karena itu studi tentang batuan

karbonat tidak akan memberikan hasil yang maksimal jika tidak mengetahui

proses-proses yang terjadi pada saat dan setelah batuan tersebut terbentuk.

Kelemahan klasifikasi Folk tersebut diperbaiki oleh Dunham dan membuat


klasifikasi baru dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Kelebihan klasifikasi

Dunham (1962) adalah adanya perpaduan antara deskriptif dan genetik dalam

pengklasifikasian batuan karbonat. Selanjutnya klasifikasi ini disempurnakan oleh

Embry dan Klovan (1971) yang lebih mempertimbangkan kepada genetik

batuannya. Dengan menggunkan klasifikasi tersebut maka secara implisit akan

menggambarkan proses yang terjadi selama terbentuknya batuan tersebut

demikian pula dengan lingkungan pengendapannya. Oleh karena itu klasifikasi

tersebut menjadi lebih populer dibanding dengan klasifikasi Folk.

Menurut Dunham 1962 bahwa tekstur batugamping atau batuan karbonat dapat

menggambarkan genesa pembentukannya, sehingga klasifikasi ini dianggap

mempunyai tipe genetik dan bukan deskriptif seperti yang dikemukakan oleh Folk

(1962). Terdapat empat dasar klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham 1962

yaitu kandungan lumpur karbonat (mud), kandungan butiran, keterikatan

komponen, dan kenampakan tekstur hasil diagenesis (Tabel 3.1). Tekstur batuan

karbonat yang didominasi oleh kehadiran mud (mikrit) atau mud supported

terbagi dua yaitu batuan yang mengandung butiran lebih dari 10% dan

dimasukkan kedalam mudstone, sedangkan batuan yang kandungan butirannya

lebih besar dari 10% dimasukkan kedalam wackestone.

Grain supported atau batuan yang didominasi oleh butiran adalah tekstur

batuan karbonat yang terendapkan pada lingkungan berenergi sedang – tinggi.

Tekstur ini terbagi dua yaitu yang masih mengandung matriks digolongkan

menjadi packstone dan yang tidak mengandung matriks sama sekali atau

grainstone.
Tabel Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan Dunham 1962 yang didasarkan

pada kehadiran mud (mikrit) dan butiran (grain).

Kelompok ketiga dalam klasifikasi Dunham adalah batuan dimana komponennya

saling terikat satu sama lainnya atau tersusun oleh organisme. Dalam klasifikasi

tersebut tekstur seperti ini dimasukkan kedalam boundstone. Selain ketiga

kelompok tekstur di atas, maka batuan karbonat juga dikelompokkan berdasarkan

diagenetiknya, yaitu jika komponen penyusunnya tidak lagi memperlihatkan

tekstur asalnya. Kelompok batuan ini dikenal sebagai kristallin karbonat (calcite

crystalline rocks dan dolomite crystalline rocks).

Tekstur ini oleh Embry & Klovan 1971 menyempurnakannya klasifikasi Dunham

(1962) dengan mempertimbangkan pengaruh energi dan sedimen-sedimen yang

terbawa dan terakumulasi pada batuan tersebut. Embry & Klovan melihat

pentingnya ukuran fragmen (butiran) yang terakumulasi pada batuan yang

didominasi oleh matriks. Batuan dengan tekstur wackestone dengan kandungan

butiran lebih besar dari 2 mm, maka menurut Embry & Klovan bahwa batuan ini

erat hubungannya dengan sumber butiran (fragmen) sehingga perlu memberikan

nama khusus yaitu floatstone untuk menggambarkan lingkungan pengendapannya.


Sedangkan pada tekstur grainstone Embry & Klovan menamakannya sebagai

rudstone untuk batuan dengan butiran lebih besar dari 2 mm.

Klasifikasi batuan karbonat yang dibedakan berdasarkan tekstur pengendapannya,

tipe butiran, dan faktor lainnya seperti yang diperkenalkan oleh Dunham 1962.

Klasifikasi ini dimodifikasi oleh Embry dan Klovan (1971) yang

mempertimbangkan ukuran butir dan bentuk perkembangan organisme

pembentuk batuan.

Selain berdasarkan pada ukuran fragmen dalam batuan, Embry & Klovan juga

memberikan perhatian pada organisme yang menyusun batuan karbonat yang

dalam klasifikasi Dunham (1962) menamakan boundstone. Menurutnya bahwa

cara sedimen terperangkap pada organisme penyusun boundstone perlu dibedakan

menjadi tiga yaitu bindstone, bafflestone dan framestone.

Seperti yang terlihat pada illustrasi di atas bahwa masing-masing tekstur

mempunyai kekhasan tersendiri. Bindstone adalah orgnisme yang menyusun

batuan karbonat dimana cara hidupnya dengan mengikat sedimen yang

terakumulasi pada organisme tersebut. Organisme yang seperti ini biasanya hidup

dan berkembang didaerah berenrgi sedang – tinggi. Batuan ini umumnya terdiri
dari kerangka ataupun pecahan-pecahan kerangka organik, seperti koral, bryozoa

dll, tetapi telah diikat kembali oleh kerak lapisan-lapisan (encrustation) gamping

yang dikeluarkan oleh ganggang merah.

Penyempurnaan klasifikasi Dunham oleh Embry dan Klovan yang membagi

boundstone menjadi tiga yaitu bafflestone, bindstone dan framestone. Selain itu

wackestone menjadi floatstone dan grainstone manjadi rudstone jika butiran lebih

besar dari 2 mm.

Bafflestone adalah tekstur batuan karbonat yang terdiri dari organisme penyusun

yang cara hidupnya menadah sedimen yang jatuh pada organisme tersebut.

Tekstur ini umumnya dijumpai pada daerah berenergi sedang. Bafflestone terdiri

dari kerangka organik seperti koral (branching coral) dalam posisi tumbuh

(growth position) dan diselimuti oleh lumpur gamping. Kerangka organik

bertindak sebagai “baffle” yang menjebak lumpur gamping. Tekstur yang ketiga

adalah framestone. Batuan ini tersusun oleh organisme yang hidupnya pada
daerah yang berenergi tinggi sehingga tahan terhadap gelombang dan arus.

Penyusun batuan ini seluruhnya dari kerangka organik seperti koral, bryozoa,

ganggang, sedangkan matriksnya < 10% dan semen mungkin kosong. Secara

umum pembagian zona energi dan batuan penyusun meurut Embry & Klovan

(1971) diperlihatkan pada gambar berikut.

Penampang melintang kompleks terumbu yang menggambarkan perbedaan zona

dan batuan penyusun setiap zona menurut James N.P,1983

Selain klasifikasi Dunham, maka klasifikasi batuan karbonat yang sering

digunakan adalah klasifikasi Folk (1959/1962). Klasifikasi ini lebih menekankan

kepada pendekatan deskriptif dan tidak mempertimbangkan masalah genetiknya.

Dasar pembagiannya adalah kehadiran sparit (semen) dan mikrit (matriks). Selain

itu klasifikasi ini juga melihat volume butiran (allochem) dalam batuan yang

diurut seperti intraklas, ooid, fosil/pellet.

Kehadiran sparit dan mikrit menjadi komposisi utama dimana jika sparitnya lebih

besar daripada mikrit maka nama batuannya akan berakhiran ......sparit, demikian

pula jika mikrit yang lebih dominan maka nama batuannya akan berakhiran

......mikrit. Awalan dalam penamaan batuan karbonat menurut Folk tergantung

pada komposisi intraklas, jika intraklas di atas 25% maka nama batuannya
menjadi intasparit atau intramikrit. Namun jika butiran ini tidak mencapai 25%

maka butiran kedua menjadi pertimbangan yaitu ooid, sehingga batuan dapat

berupa oosparit atau oomikrit.

Pertimbangan lainnya adalah jika kandungan ooid kurang dari 25%, maka

perbandingan pellet dan fosil menjadi penentu nama batuan. Terdapat tiga model

perbandingan (fosil : pellet) yaitu 3:1, 1:3, dan antara 3:1 – 1:3. Jika fosil lebih

besar atau 3 : 1 maka nama batuannya biosparit atau biomikrit demikian pula

sebaliknya akan menjadi pelsparit atau pelmikrit. Jika oerbandingan ini ada pada

komposisi 3:1 – 1:3 maka menjadi biopelsparit atau biopelmikrit.

Klasifikasi ini juga masih menganut paham Grabau dengan menambahkan akhiran

rudit jika allochemnya mempunyai ukuran yang lebih besar dari 2 mm dengan

prosentase lebih dari 10%. Dengan demikian penamaan batuan karbonat menurut

klasifikasi ini akan menjadi ……….rudit (misalnya biosparudit, oomikrudit dst).

Klasifikasi batuan karbonat menurut Folk (1959) yang membagi batuan karbonat

secara deskriptif. Kehadiran sparit dan mikrit menjadi pertimbangan utama dalam

klasifikasi ini.
II.5. Komposisi Kimia dan Mineralogi Batuan Karbonat

Batuan karbonat tersusun oleh ion kalsium (Ca2+), ion Magnesium

(Mg2+), dan tentu saja karbonat (CO3-). kalsium adalah logam umum yang

dijumpai pada hampir semua batuan karbonat (baik batugamping maupun

dolomit) dan magnesium merupakan komponen yang penting dalam dolomit.

Kadar SiO2nya rendah. Kelimpahan silika yang banyak pada batuan karbonat

tergantung pada kandungan lempung silisiklastik yang ikut terendapkan bersama

butiran karbonat yang mengakibatkan kadar besi, silikat, dan alumina juga

meningkat saat dianalisis kandungan kimianya.

Banyak juga unsur lain yang hadir sebagai komponen minor atau elemen

jejak. Elemen-lemen jejak ini seperti: B, Be, Ba, Sr, Br, Cl, Co, Cr, Cu, Ga, Ge,

dan Li. Konsetnrasi elemen jejak ini dikontrol bukan hanya oleh mineralogi dari

batuan tapi juga oleh tipe dari kelimpahan relatif dari butiran fosil skeletal dalam

batuan. Banyak konsetnrat organisme dan unsur jejak yang ikt terbawa oleh fosil

konsentrat ini diantaranya Ba, Sr, dan Mg dalam struktur sekeltalnya.

Pada batuan karbonat secara umum komposisi mineral utamanya adalah

aragonite. Aragonit ini akan berubah menjadi kalsit dan dolomit. Kalsit (CaCO3)

juga mengandung magnesium dalam formulanya. Pada kristal rombohedral kalsit

kalsium dapat diganti oleh magnesium yang mampu ‘mempertahankan’ struktur

yang sama ketika kalsium ini larut dalam air untuk membentuk polimorf dolomit.

Ion magnesium dan ionkalsium ini mempunyai ukuran yang sama. Maka, kita

mengenal istilah low-magnesium calcite (atau disebut kalsit) nilai MGCO3nya

kurang dari 4% dan high magnesian calcite mengandung MgCO3 lebih dari 4%.
Kandungan kalsit yang tinggi ini menjadikan batugamping berubah menjadi

dolomit. Dikenal juga istilah stoichiometric dolomite, merupakan jenis dolomite

dengan perbandingan mol massa Mg dan Ca dalam dolomite 50% dan susunan

ioannya teratur, beberapa sumber lain menyebutkan (wikipedia dimana lagi)

bahwa suhu yang tinggi (mencapai 100 deg C) mampu mempercepat pertukaran

ion Mg dan Ca dalam struktur yang teratur maka produknya disebut

stoichiometric dolomite tadi.

Mineralogi dan kimia dari sedimen karbonat dapat secara kuat dipengaruhi

oleh komposisi fosil organisme kalkareous yang hadir, sebagai contoh, banyak

moluska seperti pelecypoda, gastropoda, pteropoda, chotons, dan chepalopoda,

alga hijau, stromatoporoid, scleractinian corals, dan annelida (skeletal grain

semua) membentuk cangkang aragonit. Echinoid, crinoid, foram bentik, dan

corallin alga merah secara umum kaya akan magnesium kalsit. Beberapa

organisme lain yang mensekresi karbonat seperti foram planktonik, coccolith, dan

brachiopoda, memiliki low-magnesian calcite pada cangkangnya.

Beberapa studi elemen jejak telah dilakukan pada mienral karbonat

(Parekh et al 1977., Tlig dan M’RAbet 1985; Thomas, 1993). Secara umum nilai

elemen rendah, karena kebanyakan unsur jejak tidak mengganti secara langsung

unsur unsur lain dalam mineral karbonat (originnya gak bareng sama

keterbentukan karbonat itu sendiri). Sebagai contoh dolostone dan batugamping

(induk) yang berhubungan di Tunisia memiliki kelimpahan REE yang rendah

(Tlig dan M’RAbet, 1985). lebih jauh lagi, kerja Tlig dan M’Rabet ini

menunjukan bahwa dolomitisasi tidak menghasilkan perubhan radikal dari bentuk


pola REE yang hadir tapi menurunkan nilai REE secara umum. maka, jika pola

REE terntentu menggambarkan provenance atau kondisi lingkungan

pengendapan, pola ini dapat terpreservasi selama proses diagensis.

Analisis isotop dari material karbonat lebih umum dipakai dalam aspek

geokimia karbonat dibandingkan studi unsur jejak. Studi-studi isotop yang

digunakan, dimanfaatkan untuk menunjukan nature (ciri alami) dan jumlah relatif

dari kehadiran air selama pengendapan atau diagenesis (Land, 1980). isotop stabil

yang dipakai disini adalah hidrogen, karbon, dan oksigen (rasio oksigen 18 dan 16

sering dipake disini).

Mekanisme dasar bagaimana presipitasi karbonat ini terbentuk secara kimiawi

Ketika karbon dioksida (CO2) larut dalam air akan menghasilkan asam

karbonat (carbonic acid), selanjutnya asam karbonat ini akan terdisosiasi (terurai)

ketika berada dalam air melepaskan ion hidrogen (H+) dan ion asam bikarbonat

(HCO3-). Terlepasnya ion Hidrogen dari terurainya (terdisosiasi) asam bikarbonat

(HCO3-) meningkatkan keasaman larutan (nilai pH menurun) rekasi terkahir (6.3)

diatas menunjukan bahwa ion karbonat (CO3-) yang lepas inilah yang akan

berikatan dengan kation-kation logam lain pembentuk mineral karbonat. menurut

Boggs, penambahan CO2 pada reaksi ini menyebabkan disolusi (pelarutan) dari

ion karbonat yang akan menurunkan pH (atau meningkatnya keasaman penyebab

terlepasnya ion H dalam air pada reaksi pertama).

Jika kristal kalsit atau aragonit dapat bereaksi dengan larutan asam

karbonat (carbonic acid) H2CO3 maka mineral mienral ini akan mudah larut

(dissolved), reaksinya bisa disingkat seperti dibawah:


Presipitasi Karbonat Secara Anorganik

Kehilangan karbon dioksida yang signifikan melalui berbagai mekanisme

mesti memicu terjadinya perseiptasi mineral kalsium karbonat. Dari data rekaman

geologi yang diketahui air dekat permukaan di laut kelewat jenuh oleh larutan

karbonat (diperkirakan enam kali disumbangkan oleh kalsit terlarut dan empat kali

aragonit) (Morse dan Mckenzie, 1990). indikasi kelewat jenuh (oversaturasi) ini

mengindikasikan keengganan (reluktansi) kalsium karbonat untuk mengendap.

Ada dua alasan kenapa mineral kalsium karbonat ini tidak terpresipitasi di luat.

Pertama, magnitud perubahan pH yang hadir pada laut terbuka karena

hilangnya karbon dioksida secara relatif kecil, hal ini disebabkan oleh air laut

adalah larutan buffer yang baik. Bufferingi ini terjadi karena porsi cukup dari

karbon dioksida trlaurt dalam air laut membentuk disoisasi H2CO3 daripada harus

melepas ion H+ (yang akan membuat larutan semakin asam), HCO3-, dan CO3-

yaitu membentuk persamaan persamaan 6.2 dan 6.3 diatas. Reaksi buffer ini

disebabkan oleh tingginya alkalinitas dari ari laut; maka, onsentrasi besar dari ion

karbonat dan bikarbonat yang sudah ada sebelumnya di permukaan air di laut ini

mencegah rusaknya (terurai or disosiasi) dari H2CO3 untuk membentuk ion ion

tadi. Menurut beberapa penulis, pH yang dipertahankan oleh air laut ini berkisar

antara 7.8-8.4 (Bathurst, 1975) (jadi air laut itu sifatnya larutan penyangga basa).

Kedua, kehadiarn ion Mg2+ pada konsetrasi yang dijumpai dalam air laut

telah ditunjukan berdasarkan eksperimen cukup kuat mencegah presipitasi dari

kalsit (CaCO3). Eksperimen oleh Berner (1975) menunjukan bahwa Mg2+ ini

akan langsung menyerap permukaan dari kristal kalsit dan masuk kedalam
struktur keristalnya. menurut Berner, adanya konsenrasi kation Mg di laut ini akan

mencegah nukleasi pertumbuhan kalsit dan meningkatkan kelarutan kristal kalsit,

karena stabilitas kristal kalsit menjadi menurun. Aragonit yang juga teridiri dari

rumus kimia CaCO3 tapi memiliki struktur kristal yang berbeda (ortorombik)

dengan kalsit (rombohedral). ion Mg y ang hadir akan menyerap nuclei aragonit

dan mengganggu pertumbuhan kristal. maka, aragonit tidak terpesipitasi sempurna

secara bebas di air laut, meskipun permukaan air jenuh dengan kalsium karbonat,

kemungkinan juga organophospathic coating (selubung organofosfatik) yang tipis

pada aragonit menjadi benih dari nuclei ini juga menghalangi pertumbuhan kristal

(Berner, 1978).

Meskipun kalsit tidak terpresitpitasi secara bebas di laut modern karena

kelimpahan ion Mg2+, akumulasi bukti terbentuknya presipitasi kalsit dan

aragonit di laut purba dapat terjadi dengan menurnnya konsentrasi ion Mg2+

(Sandberg, 1983). Stanley dan Hardie menghubungkan nama nama dari prespitasi

kalsit terhadap tingkat pergerakan dari pemekaran lantai samudra (rate of

spreading). dimana pada fase ini terjadi penyerapan Mg di air laut oleh basalt di

lantai samudra. maka karbonat seletal dan on skeletal terendapkan selama kamrian

awal sampai missisippian tengah dan jurasik tengah dan tersier akhir secara

dominan kalsitnya adalah low magnesian calcite, sementara pada missisipian

tengah-jurasik tengah dan tersier aihir-kuarter secara dominan aragonit dan hihg-

magnesian calcite (perhatikan ilustrasi dibawah).


Presipitasi Karbonat Secara Organik

Presipitasi karbonat yang dibantu oleh organisme ada berbagai jenis

mekanisme: bisa langsung dari ekstraksi CaCO3 yang terlarut dalam air, bisa

lewat fotosintesis dari bakteri atau hewan laut yang bisa melakukan fotosintesis

(kayak cyaobacteria) yang mengekstraksi CO2 di air buat biin karbohidrat, atau

melalui mediasi bakteri, organic decay (matinya organisme yang mensekresi CO2,

serta yang terkahir generasi pellet (peloid).

1. Ekstraksi Langsung Caco3 Dair Air Untuk Membentuk Elemen Skeletal.

Peranan yang paling penting dari organisme dalam menghasilkan karbonat

adalah mengambil kandungan karbonat terlarut dalam air untuk membangun

struktur cangkannya. Semua jenis sel hewan laut kebanyakan terbentuk melalui

mekanisme ini. bentonik, planktonik, alga, coral, moluska, dan echinodermata

mampu menyerap saturasi CaCO3 di air laut khususnya di daerah tropis.

Kebanyakan organisme yang membangung material cangkang (skeletal)

terbentuk dari kalsit magnesian rendah (low magnesian calcite), Sementara ada

juga cangkang hewan yang tersusun dari hihg-magnesian calcite atau aragonit. Di

dasar laut ditutupi oleh calcareous ooze yang secara dominan merupakan

cangkang foraminifera, ada yang menyebutnya coccolithophores alga dan

pteropods.

2. Mediasi Bakteri Untuk Presipitasi Karbonat

Bakteri dapat memerankan peranan tidak langsng dalam presipitasi

beberapa sedimen karbonat. Sebagai contoh Chafetz (1986) beranggapkan bahwa

beberapa peloid marine berasal dari prespitasi kalsit atau magnesian kalsit halus
disekitar gumpalan aktif produk aktifitas bakteri. Menyebabkan litifikasi dari

microbial mats membentuk stromatolit (Buczynski dan Chafetz, 1993). Presipitasi

kalsium karbonat melalui media mikroba berhubungan juga dengan fotosintesis

dan transportasi ion melalui dinding sel. kalsifikasi hadir dibagian luar dari

dindingn sel dalam lingkungan mikro alkalin ini, yang akan melepaskan Ca2+

yang diangkut dari sel dan akan terjadi pertukaran dengan mengangkur 2H+.

kalsifikasi dihasilkan dari diserapnya CO2 (microalga) atau HCO3-

(cyanobacteria). Melimpahnya karbon organik dalam dinding sel akan diserap dari

sel ke lingkungan microalkaline, menyediakan sumber tambahan dari karbon

untuk laksifikasi (Yates dan Robbins, 2001).

3. Membusuknya Organisme Yang Mati (Decay Of Dead Organism)

Decay (pembusukan) akan melepaskan berbagai asam organik dan karbon

dioksida ke air, menyebabkan keasaman bertambah (pH menurun). dengan kata

lain, beberapa produk dari pembusukan dapat berupa alkaline (pH menurun)

alkalinitias dapat meningkat karena material organik, berkaitan dengan reduksi

sulfat oleh bakteri. meningkatnya alkainitas ini akan membantu presipitasi

CaCO3.

Pembentukan mineral karbonat tidak lepas dari kondisi air (tawar dan asin)

dimana batuan karbonat tersebut terbentuk. Walaupun mineral karbonat dapat

terbentuk pada air tawar dan laut, namun informasi banyak diperoleh dari kondisi

air laut.

Terdapat variasi kedalaman laut (hingga ribuan meter) dimana mineral-mineral

karbonat dapat terbentuk, namun produktifitas terbentuknya mineral karbonat


hanya pada wilayah dimana cahaya matahari dapat tembus (Light saturation

zone). Tingkat produktifitas mineral karbonat paling tinggi yaitu pada kedalaman

0 – 20 meter (Gambar 1) dimana cahaya matahari efektif menembus kedalaman

ini.

Gambar 2.1 Penampang yang memperlihatkan hubungan produksi mineral

karbonat terhadap kedalaman laut (Tucker & Wright, 1990).

Selain kedalaman laut, produktifitas mineral karbonat juga ditentukan oleh

organisme penyusun batuan karbonat. Beberapa jenis organisme mempunyai

komposisi mineral karbonat yang tertentu seperti koral yang umum dijumpai

sebagi penyusun batuan karbonat modern memiliki komposisi mineral aragonit,

sedangkan organisme lainnya seperti algae, foraminifera umumnya tersusun oleh

mineral kalsit (Tabel 1)


Tabel 1 Komposisi mineral setiap organisme yang umum dijumpai pada batuan

karbonat modern. (Sumber: Flügel, 1982).

Indikasi organisme tersebut sebenarnya juga menjadi indikasi lingkungan

pengendapan yang paling baik. Hal ini juga berlaku jika ditinjau dari segi

mineralogi organisme tersebut. Koral misalnya yang berkomposisi aragonit,

dimana aragonit hanya ditemukan pada kedalaman hingga 2000 meter, maka

dapat dikatakan bahwa koral yang menyusun batuan karbonat umumnya pada

lingkungan laut dangkal.

Mineral utama penyusun batuan karbonat

Menurut Milliman (1974), Folk (1974) dan Tucker dan Wright (1990)

mengungkapkan bahwa mineral karbonat yang penting menyusun batuan karbonat


adalah aragonit (CaCO3), kalsit (CaCO3) dan dolomit (CaMg(CO3)2). Selain

mineral utama tersebut beberapa mineral sering pula dijumpai dalam batuan

karbonat yaitu magnesit (Mg CO3), Rhodochrosite (MnCO3) dan siderit (Fe

CO3) (Tabel 2).

Tabel 2 Sifat petrografis mineral pembentuk batuan karbonat (Flügel (1982)

Calcite Mg- Calcite

Aragonite (Low-Mg (High-Mg Dolomite

Calcite) Calcite)

Rumus CaCO3 CaCO3 CaCO3 CaMg(CO3)2

Kimia

Sistem rhombik Hexagonal (rhombohedral) crystal trigonal

Kristal

Trace elemen Sr, Ba, Pb, Fe, Mn, Zn,


Mg, Fe, Mn, Zn, Cu
yang umum K Cu

Mol% - <4 > 4 s/d > 20 40 - 50

MgCO3

Indeks 0,155 0,172 0,177

refraksi

ganda

Berat jenis 2.94 2,72 2,86

Kekerasan 3,5 - 4 3 3,5 - 4


Kenampakan Umumnya Sering dalam Micrite, sering Sering dalam

kristal dalam bentuk dalam bentuk bentuk

bentuk isometric acicular isometric

acicular (sparry calcite) (fibrous) (sparry

(fibrous) micrite dolomite)

micrite micrite

Pembentukan Dominan Dominan pada Dominan pada Utamanya

pada lingkungan laut lingkungan laut pada

lingkungan dalam, umum dangkal lingkungan

laut pada laut sangat

dangkal lingkungan air dangkal

tawar (transisi)

Jenis mineral yang umum dijumpai tersebut mempunyai kharakteristik yang tidak

jauh berbeda seperti yang ditunjukkan pada tabel di atas. Walaupun ketiganya

umum dijumpai pada batuan karbonat namun yang paling umum adalah kalsit

hususnya untuk batuan-batuan tua. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan

atau diagenesa dimana mineral aragonit cenderung berubah menjadi kalsit.

Bentuk kristal dari mineral kalsit dikontrol oleh kandungan Mg++ dalam air dan

bentuk ikatan kimianya dengan Ca. Semakin besar kandungan Mg++ maka bentuk

kristalnya cenderung kurus dan panjang seperti jarum dan sebaliknya cenderung

memipih (Gambar 2).


Gambar 2 Bentuk kristal mineral kalsit yang dikontrol oleh kondisi air (dikutip

dari Folk, 1972).

Struktur dasar yang umum dalam mineral karbonat adalah grup CO3. struktur ini

memiliki 3 atom oksigen dengan pusat kristal pada atom C. ikatan ini merupakan

ikatan yang relatif lebih kuat dibanding dengan ikatan kimia lainnya dalam

mineral karbonat (Tucker dan Wright, 1990). Bentuk struktur kristal dari ketiga

mineral utama karbonat seperti disebutkan pada tabel 2 digambarkan dalam tiga

dimensi untuk menjelaskan lapisan-lapisan setiap unit (Gambar 3).

Khusus untuk kalsit dan dolomit mempunyai kesamaan system kristal tetapi

berbeda secara struktur. Pada kalsit terdapat perselingan lapisan antara atom Ca

dan kelompok CO3. Setiap kelompok CO3 dalam satu lapisan mempunyai

orientasi 180O terhadap lapisan didekatnya (Gambar 2.3).


Gambar 3 Morfologi kristal mineral karbonat (kalsit dan dolomit).

Ketiga mineral utama tersebut mempunyai lingkungan pembentukan tersendiri.

Mineral aragonit terbentuk pada lingkungan yang mempunyai temperatur tinggi

dengan penyinaran matahari yang cukup, sehingga batuan karbonat yang tersusun

oleh komponen dengan mineral aragonit merupakan produk laut dangkal dengan

kedalaman sekitar 2000 meter, namun perkembangan maksimum adalah hingga

kedalaman 200 meter. Sedangkan mineral kalsit merupakan mineral yang stabil

dalam air laut dan dekat permukaan kulit bumi. Mineral kalsit tersebut masih bisa

ditemukan hingga kedalam laut mencapai 4500 meter (Gambar 2.4).

Dolomit adalah mineral karbonat yang stabil dalam air laut dan dekat permukaan.

Dolomit menurut sebagian ahli merupakan batuan karbonat yang terbentuk oleh

hasil diagenesa batuan yang telah ada. Dengan demikian maka dolomit hanya

umum dijumpai pada daerah evaporasi atau transisi.

Wilayah atau kedalaman dimana mineral aragonit mulai melarut pada kedalaman

sekitar 600 meter disebut lysocline dan pada kedalaman sekitar 2000 meter

merupakan zona dimana aragonit tidak terbentuk lagi atau dikenal sebagai
Aragonite Compensation Depth (ACD). Sedangkan mineral kalsit mulai melarut

pada kedalaman sekitar 3000 meter dan pada kedalaman sekitar 4200 meter tidak

ditemukan lagi mineral karbonat atau disebut Calcite Compensation depth (CCD)

(Gambar 4).

Gambar 4 Diagram yang memperlihatkan posisi relatif mineral aragonit dan kalsit

terhadap kedalaman air laut dan tingkat solubilitas mineral yang ditunjukkan oleh

garis ACD dan CCD pada daerah tropis. Pembagian zona menjadi 4 zona yaitu

zona presipitasi (I), zona dissolusi parsial (II), zona dissolusi aktif (III) dan zona

dimana tidak ditemukan lagi mineral karbonat (IV).

Terjadinya perbedaan tersebut tidak hanya terjadi oleh karena perbedaan sinar

matahari yang bisa masuk tetapi juga disebabkan oleh temperatur air laut,

kandungan Mg2+, saturasi dari konsentrasi CO32- serta fisiologi biotanya (Tucker

dan Wright, 1990).

Diagram yang diperlihatkan pada gambar 4 di atas secara berangsur berubah atau

mendangkal seiring dengan perubahan latitude, damana semakin ke arah kutup,

maka zona-zona tersebut semakin mendangkal (Gambar 5). Perubahan tersebut


terjadi oleh perbedaan cahaya matahari yang bisa masuk kedalam air laut.

Kedalaman air laut yang bisa tertembus oleh sinar matahari semakin tinggi pada

posisi dekat dengan equator atau khatulistiwa. Oleh karena itu pada daerah-daerah

equatorial merupakan wilayah yang menjadi tempat berkembangnya terumbu

modern yang baik. Sebaliknya zona yang menjauh dari daerah equatorial maka

kedalaman air yang dapat ditembus oleh cahaya matahari semakin dangkal

sehingga semakin kurang baik perkembangan terumbunya,

Gambar 5 Diagram yang memperlihatkan posisi relatif zona presipitasi (I), zona

dissolusi parsial (II), zona dissolusi aktif (III) dan zona dimana tidak ditemukan

lagi mineral karbonat (IV) terhadap latitude.

Khusus untuk daerah tropis, pembagian zona tersebut CCD mencapai kedalaman

laut sekitar 4500-an meter atau hingga laut dalam (deep sea). Jika zona- zona

tersebut diintegrasikan dengan panampang lingkungan pengendapan laut secara

dua dimensi (Gambar 6), maka zona dimana masih bisa ditemukan adanya

mineral kalsit termasuk kedalam laut dalam (deep sea) pada zona III.
Gambar 6 Diagram yang memperlihatkan hubungan antara zona-zona mineral

karbonat terhadap lingkungan pengendapan pada laut modern

II.6. Fasies dan Lingkungan Pengendapan Batuan Karbonat

Batuan karbonat dilaut bisa terbentuk diberbagai tempat mulai dari laut

transisi sampai deep basin (laut dalam).

Terdapat sembilan lingkungan pengendapan dari marine carboante rock

yang diketahui dari rekaman geologi (Bathurst 1975, J.L Wilson, 1975; J.F Read,

1980), lingkungan lingkungan ini adalah: basin, slope, ramps, shelf margin,

foreslope, reefs, dan carbonte builds up lainnya, open shelves, shoals, dan

platform marine environment. tiap lingkungan ini dicirikan oleh KEHADIRAN

fasies karbonat yang khas: litofasies, struktur, dan foisl yang hadir. Konfigurasi

batas kontinental yang hadir adalah satu dimana ada reef dan lereng curam di

depanya (ke arah laut dalam) kedua contental rise dengan carbonate ramp.

Menurut Tucker tahun 1985 dijelaskan bahwa endapan karbonat pada laut

dangkal terbentuk pada 3 macam lokasi yaitu Platform, shelf, dan ramps.
 Fasies karbonat ramp

Fasies karbonat ramp merupakan suatu tubuh karbonat yang sangat besar

yang dibangun pada daerah yang positif hingga ke daerah paleoslope, mempunyai

kemiringan yang tidak signifikan, serta penyebaran yang luas dan sama. Pada

fasies ini energi transportasi yang besar dan dibatasi dengan pantai atau inter tidal

 Fasies karbonat platform

Fasies karbonat platform merupakan suatu tubuh fasies karbonat yang

sangat besar dmana pada bagian atas lebih kurang horisontal dan berbatasan

langsung dengan shelf margin. Sedimen sedimen terbentuk dengan energi yang

tinggi.
 Batas platform

Transisi dari shelf ke slope berpengaruh pada perubahan yang cepat dari

pola fasies karbonat. Pola pertama yang dicari oleh kebanyakan interpreter adalah

bentuk mound yang merepresentasikan reef. Beberapa contoh dengan seismik

yang bagus adalah karbonat Cretaceous di timur laut Amerika Serikat dan Teluk

Meksiko, karbonat Jurassic di Maroko, karbonat Miosen di Papua Nugini dan

karbonat Permian di Texas Barat. Beberapa buildup dapat mencapai ketinggian

melebihi 1000 meter. Salah satu signature kunci adalah adanya refleksi shingled

kecil yang miring ke arah lingkungan paparan (shelf). Ini adalah hasil dari

transpor endapan karbonat oleh badai dan arus dari puncak reef menuju bagian

dalam platform. Signature internal dari buildup biasanya adalah hilangnya

amplitudo dan kemenerusan walaupun ini tidak selalu benar. Karena kemiringan

utama dari slope karbonat dapat melebihi 300 maka transisi dari buildup ke slope

bagian atas dapat terjadi secara mendadak.


 Fasies Shelves

Fasies Shelves (shelf) lokasi pengendapan karbonat relatif sempit ratusan

meter sampai beberapa km saja). Endapan karbonat pada daerah ini dicirikan

dengan adanya break slope pada daerah tepi paparan, terdapatnya terumbu dan

sand body karbonat. Kompleks terumbu pada fasies ini terbagi menjadi : Fasies

terumbu muka (Force reef), inti terumbu (reef core) dan terumbu belakang (back

reef).
 Model Terumbu Karbonat
BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Batuan karbonat adalah batuan dengan kandungan material karbonat lebih

dari 50 % yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau

karbonat kristalin hasil presipitasi langsung (Rejers & Hsu, 1986). Bates &

Jackson (1987) mendefinisikan batuan karbonat sebagai batuan yang komponen

utamanya adalah mineral karbonat dengan berat keseluruhan lebih dari 50 %.


DAFTAR PUSTAKA

Boggs, Sam. 2009. Petrologi of Sedimentary Rock. New York: Cambridge


University.

http://www.Maranatha.blog-batuan-karbonat.htm/3/11/2016.

http://www.Mineralogi-batuan-karbonat.htm/3/11/2016.

http://www.kapalabatu43-komponen-batuan-karbonat.htm/4/11/2016.

http://www.kapalabatu43-klasifikasi-batuan-karbonat.htm/4/11/2016.

http://www.novieutami.blogspot.com/4/11/2016/klasifikasi-batuan-karbonat.html

http://www.scribd.com/doc/24234609/10/II-3-2-Batuan-Sedimen-Karbonat

http://geologi08.wordpress.com/2016/4/11.

http://www.Fasies-dan-diagenesa-batuan-karbonat_Himpunan,Geofisika,
Indonesia-HMGI.htm/4/11/2016

Anda mungkin juga menyukai