Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Chronic Kidney Disease

2.1.1 Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang

progresif dan irreversible dimana ginjal gagal untuk mempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang menyebabkan uremia

(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). CKD ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang irreversible pada suatu derajat atau tingkatan yang

memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi

ginjal (Smeltzer, 2010).

2.1.2 Patofisiologi Penyakit

Ginjal merupakan pengatur utama natrium, keseimbangan air, serta

homeostasis asam-basa. Ginjal juga memproduksi hormon yang diperlukan untuk

sintesis sel darah merah dan homeostasis kalsium (Derebail, et al., 2011).

Pada awalnya, ginjal yang normal mempunyai kemampuan untuk

mempertahankan nilai Glomerulus Filtration Rate (GFR). Namun, karena

beberapa faktor, ginjal mengalami penurunan jumlah nefron. Karena penurunan

jumlah nefron, glomerulus mengalami hiperfiltrasi yaitu peningkatan tekanan

glomerular yang dapat menyebabkan hipertensi sistemik di dalam glomerulus.

Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan hipertrofi pada nefron

yang sehat sebagai mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria,

yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat eksresi natrium melalui

urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan

6
Universitas Sumatera Utara
proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat perkembangan dari

gagal ginjal (Derebail, et al., 2011).

2.1.3 Etiologi Penyakit

Penyebab Chronic Kidney Disease (CKD) belum diketahui. Tetapi,

beberapa kondisi atau penyakit yang berhubungan dengan pembuluh darah atau

struktur lain di ginjal dapat mengarah ke CKD. Penyebab yang paling sering

muncul adalah:

a. Diabetes Melitus

Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus. Jika

kadar gula darah mengalami kenaikan selama beberapa tahun, hal ini dapat

menyebabkan penurunan fungsi ginjal (WebMD, 2015).

b. Hipertensi

Tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dapat menjadi penyebab

penurunan fungsi ginjal dan tekanan darah sering menjadi penyebab utama

terjadinya CKD (WebMD, 2015).

Kondisi lain yang dapat merusak ginjal dan menjadi penyebab CKD antara

lain:

a. Penyakit ginjal dan infeksi, seperti penyakit ginjal yang disebabkan oleh kista

b. Memiliki arteri renal yang sempit.

c. Penggunaan obat dalam jangka waktu yang lama dapat merusak ginjal. Seperti

obat Non Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAID), seperti Celecoxib dan

Ibuprofen dan juga penggunaan antibiotik (WebMD, 2015).

7
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Klasifikasi Penyakit

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit ginjal yang ditandai

dengan penurunan nilai laju filtrasi glomerulus atau Glomerular Filtration Rate

(GFR) selama tiga bulan atau lebih. Menurut (Derebail, et al., 2011), klasifikasi

CKD berdasarkan nilai GFR dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi CKD Berdasarkan Nilai GFR

Stage Deskripsi GFR (ml/min per 1.73m2)


1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal >90
Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR 60 – 89
2
ringan
3 Penurunan GFR sedang 30 – 59
4 Penurunan GFR berat 15 – 20
5 Gagal ginjal <15 (atau dialisis)

Menurut (Triplitt, 2011), klasifikasi penyakit diabetes melitus dapat dilihat

pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Pengkategorian Status Glukosa

Parameter Keterangan Nilai


Normal <100 mg/dL
Toleransi Kelainan 100 – 125
Gula Darah Puasa
Glukosa mg/dL
Diabetes Melitus ≥126 mg/dL
Normal <140 mg/dL
Gula Darah Dua Toleransi Kelainan 140 – 199
Jam Setelah Makan Glukosa mg/dL
Diabetes Melitus ≥200 mg/dL

8
Universitas Sumatera Utara
Menurut (Saseen and Maclaughlin, 2011), klasifikasi penyakit hipertensi

dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Klasifikasi Tekanan Darah Pada Orang Dewasa

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal <120 <80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi Stage 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi Stage 2 ≥160 ≥100

2.2 Penyakit Penyerta

2.2.1 Diabetes Chronic Kidney Disease

Diabetes melitus, biasanya dikenal dengan diabetes adalah penyakit

dimana tubuh tidak dapat menghasilkan insulin atau tidak dapat menghasilkan

insulin dalam jumlah normal. Insulin adalah hormon yang meregulasi jumlah

glukosa di dalam darah. Kenaikan kadar gula darah dapat menyebabkan banyak

masalah di dalam tubuh (NKF, 2015).

Terlalu banyak jumlah glukosa di dalam darah dapat mengganggu filtrasi

ginjal. Jika filtrasi terganggu, sebuah protein yang disebut albumin, akan keluar

dari darah dan masuk ke urin. Filtrasi ginjal yang terganggu tidak dapat

mengeluarkan sampah nitrogen di dalam darah (NIDDK, 2016).

2.2.2 Hypertension Chronic Kidney Disease

Hipertensi merupakan penyakit penyerta utama yang ditemukan pada

pasien Chronic Kidney Disease (CKD) dan ditandai dengan pengukuran tekanan

darah >130/80 mmHg. Hipertensi yang tidak terkontrol dapat meningkatkan risiko

penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian, peningkatan status

proteinuria dan mempercepat perkembangan dari penyakit ginjal (Ricchetti and

Leticia, 2012).

9
Universitas Sumatera Utara
Tekanan darah yang tidak terkontrol dalam jangka waktu lama dapat

menaikkan tekanan intraglomerular yang dapat menyebabkan jumlah protein di

dalam urin (mikroalbuminuria atau proteinuria). Mikroalbuminuria adalah tanda

utama dari penyakit CKD (Ricchetti and Leticia, 2012).

2.3 Terapi Pengobatan

2.3.1 Obat Antihipertensi

2.3.1.1 Angiotensin Converting Enzyme (ACE) Inhibitor

ACE-Inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin

II yang memiliki sifat vasokonstriktor sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan

sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar

bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodiltasi ACE-

inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah,

sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium

dan retensi kalium. Contoh obat golongan ini adalah Captopril, Ramipril, dan

Elanapril (Nafrialdi, 2011).

Di ginjal, ACE-Inhibitor menyebabkan vasodilatasi arteri renalis sehingga

meningkatkan aliran darah ginjal dan secara umum akan memperbaiki laju filtrasi

glomerulus. Pada sirkulasi glomerulus, ACE-Inhibitor menimbulkan vasodilatasi

lebih dominan pada arteriol eferen dibanding dengan arteriol aferen sehingga

menurunkan tekanan intraglomerular. Efek ini dimanfaatkan untuk mengurangi

proteinuria pada diabetes nefropati dan sindrom nefrotik dan juga memperlambat

perkembangan diabetes nefropati (Nafrialdi, 2011).

10
Universitas Sumatera Utara
2.3.1.2 Angiotensin Receptor Blocker (ARB)

Obat golongan ini bersifat antagonis terhadap angiotensin II, sehingga

memiliki mekanisme kerja yakni menduduki reseptor angiotensin II yang

memiliki sifat vasokonstriksi. Oleh karena itu, tekanan darah dapat diturunkan.

Contoh obat golongan ini adalah Valsartan, Candesartan, Losartan, dan Irbesartan.

ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan

kadar renin yang tinggi tapi kurang efektif pada pasien hipertensi dengan kadar

renin yang rendah (Nafrialdi, 2011).

2.3.1.3 Diuretik

Diuretik Kuat (Loop Diuretic)

Diuretik kuat bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit

Na+/K+/Cl- di ansa henle asendens bagian epitel tebal, dimana tempat kerjanya

berada di permukaan sel epitel bagian luminal. Perubahan hemodinamik ini akan

menyebabkan turunnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal dan

meningkatkan efek awal diuresis sehingga tekanan darah dapat menurun. Efek

diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid. Oleh karena itu, diuretik kuat

jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan

fungsi ginjal (serum kreatinin >2,5mg/dL). Contoh obat golongan ini adalah

Furosemid dan Bumetanid (Nafrialdi, 2011).

2.3.1.4 Calcium Channel Blocker

Pada otot jantung dan otot polos vaskular, kalsium berperan dalam

peristiwa kontraksi. Pada otot jantung mamalia, masuknya Ca2+ ke dalam sel akan

meningkatkan kontraktilitas dari otot jantung melalui peristiwa repolarisasi dan

depolarisasi sel. Ion Ca2+ masuk ke dalam sel melalui sebuah kanal. Obat

11
Universitas Sumatera Utara
golongan Calcium Channel Blocker akan menghambat masuknya ion Ca2+ ke

dalam sel sehingga kontraktilitas tidak terjadi. Selain itu, obat golongan ini juga

memiliki efek lainnya seperti meningkatkan sedikit konsumsi oksigen pada

jantung sebagai kompensasi akibat penurunan tekanan darah dan denyut jantung.

Contoh obat golongan ini adalah Nifedipin dan Amlodipin (Suyatna, 2011).

2.3.1.5 Beta Blocker

Beta Blocker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik

Nonephineprin dan Ephineprin endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada

adrenoreseptor-β. Efek terhadap sistem kardiovaskuler merupakan efek Beta

Blocker yang terpenting, terutama akibat kerjanya pada jantung. Beta blocker

mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard. Disamping itu, hambatan

sekresi renin dari ginjal melalui reseptor β1 juga menimbulkan efek hipotensif.

Sebagian sekresi renin akibat diet rendah natrium juga diblok oleh Beta Bloker.

Contoh obat ini adalah Propanolol, Bisoprolol, dan Atenolol (Setiyawati dan

Sulistia, 2011).

2.3.2 Obat Antidiabetes

2.3.2.1 Golongan Biguanid

Biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemik tetapi suatu anti

hiperglikemik, tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak

menyebabkan hipoglikemia. Biguanid menurunkan produksi glukosa di hati dan

meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin. Efek ini

terjadi karena adanya aktivasi kinase di sel (AMP-Activated Protein Kinase).

Meski masih kontroversi tentang adanya penurunan produksi glukosa hati, banyak

data yang menunjukkan bahwa efeknya terjadi akibat penurunan glukoneogenesis.

12
Universitas Sumatera Utara
Biguanid tidak mempunyai efek yang berarti pada sekresi glukagon, kortisol,

hormon pertumbuhan, dan somatostatin. Contoh obat golongan ini adalah

Metformin (Suherman dan Nafrialdi, 2011).

Biguanid tidak merangsang ataupun menghambat perubahan glukosa

menjadi lemak. Oleh karena itu pada pasien diabetes yang gemuk, Biguanid dapat

menurunkan berat badan namun mekanismenya belum jelas dan pada orang non

diabetes yang gemuk tidak timbul penurunan berat badan dan kadar glukosa darah

(Suherman dan Nafrialdi, 2011).

2.3.2.2 Insulin

Target organ utama insulin dalam mengatur kadar glukosa adalah hati,

otot, dan jaringan adiposa. Peran utamanya antara lain uptake, utilisasi, dan

penyimpanan nutrien di sel. Proses anabolik insulin meliputi stimulasi, utilisasi,

dan penyimpanan glukosa, asam amino, asam lemak intrasel; sedangkan proses

katabolisme (pemecahan glikogen, lemak, dan protein) dihambat. Semua efek ini

dilakukan dengan stimulasi transport substrat dan ion ke dalam sel, menginduksi

translokasi protein, mengaktifkan dan menonaktifkan enzim spesifik, merubah

jumlah protein dengan mempengaruhi kecepatan transkripsi gen dan translasi

mRNA spesifik (Suherman dan Nafrialdi, 2011).

Stimulasi transport glukosa ke otot dan jaringan adiposa merupakan hal

yang krusial dari respon fisiologis terhadap tubuh. Glukosa masuk ke dalam sel

melalui salah satu jenis glucose-transporter (GLUT), dan 5 dari GLUT ini

(GLUT1 sampai GLUT5) berperan pada difusi glukosa ke dalam sel yang bersifat

Na+-independent. Insulin merangsang transport glukosa dengan menginduksi

enersi untuk mentranslokasi GLUT4 dan GLUT1 dari vesikel intrasel ke membran

13
Universitas Sumatera Utara
plasma. Efek ini bersifat reversibel, GLUT kembali ke pool intrasel saat insulin

tidak bekerja lagi. Gangguan proses regulasi ini dapat menjadi salah satu

penyebab DM tipe 2 (Suherman dan Nafrialdi, 2011).

2.3.3 Tujuan Pengobatan

Tujuan utama pengobatan pada penyakit CKD adalah untuk

memperlambat perkembangan dari Chronic Kidney Disease (CKD), dengan

meminimalkan keparahan komplikasi termasuk penyakit kardiovaskular dan

mencegah perkembangan dari penyakit ginjal stadium akhir. Terapi non

farmakologi dan farmakologi terbukti dapat memperlambat perkembangan CKD.

Terapi non farmakologi pada pasien CKD biasanya dimulai dengan modifikasi

diet protein. Sedangkan terapi farmakologi pada pasien CKD bertujuan untuk

mengontrol kondisi yang tidak terduga seperti diabetes melitus dan hipertensi

yang dapat mempercepat perkembangan CKD. Pada CKD stage V, tujuan

pengobatan adalah mencegah morbiditas dan mortalitas serta meningkatkan

kualitas hidup pasien. (Derebail, et al., 2011).

2.4 RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan

RSUD Dr. Pirngadi beralamat di Jl. Prof. HM Yamin SH No. 47, Medan

dan Jl. Perintis Kemerdekaan, Medan yang merupakan salah satu unit pelayanan

kesehatan di Kota Medan yang berstatus milik Pemerintah Kota Medan. RSUD

Dr. Pirngadi Kota Medan didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan

nama GEMENTE ZIEKEN HUIS pada tanggal 11 Agustus 1928. RSUD Dr.

Pirngadi Kota Medan merupakan salah satu rumah sakit terbesar (kelas B) di

Indonesia yang berfokus pada kepuasan pelanggan (customer oriented) sesuai

dengan motto RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan: “Kepentingan penderita adalah

14
Universitas Sumatera Utara
yang utama”. Sampai saat ini, RSUD Dr. Pirngadi Kota Medan menyandang

predikat Rumah Sakit Kelas B Pendidikan, berdasarkan akreditasi Depkes RI No.

YM.00.03.3.5.1309 pada tanggal 14 Februari 2007.

2.5 Masalah Terapi Obat

Masalah terapi obat dapat didefinisikan sebagai suatu masalah yang

terjadi dalam proses farmakoterapi pada seseorang yang akan atau berpotensi

untuk mengganggu hasil terapi yang diharapkan. Pencegahan masalah terapi obat

dapat dilakukan, namun tidak mungkin selalu diterapkan akibat kompleksitas dari

ilmu farmakoterapi, kurangnya latihan dan pengetahuan dari paramedis atau

tenaga kesehatan, dan tingkah laku dari pasien itu sendiri (Mil, 2005).

Menurut (PCNE, 2006), klasifikasi masalah terapi obat dapat digambarkan

pada Tabel 2.4.

15
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Klasifikasi Masalah Terapi Obat Menurut PCNE V5.01

Kelompok Utama Kode Masalah


1. Reaksi Obat Merugikan. Mengalami efek samping (non-
P1.1
Pasien mengalami reaksi obat alergi)
yang merugikan P1.2 Mengalami efek samping (alergi)
P1.3 Mengalami efek toksik
2. Masalah Pemilihan Obat. Obat tidak tepat (tidak terlalu tepat
P2.1
Pasien menerima atau akan untuk indikasi)
menerima obat (atau tidak Bentuk sediaan obat tidak tepat (tidak
P2.2
menerima obat) yang salah untuk terlalu tepat untuk indikasi)
kondisi penyakitnya Tidak tepat duplikasi obat dari
P2.3
golongan terapi atau zat aktif
Kontraindikasi pemakaian obat
P2.4
(termasuk kehamilan dan menyusui)
Indikasi tidak jelas untuk
P2.5
penggunaan obat
Tidak ada obat yang diberikan tetapi
P2.6
indikasi jelas
3. Masalah Dosis. Dosis obat terlalu rendah atau
Pasien menerima lebih atau P3.1 regimen pemberian obat terlalu
kurang dosis obat yang jarang
dibutuhkan Dosis obat terlalu tinggi atau regimen
P3.2
pemberian obat terlalu sering
P3.3 Durasi pemberian obat terlalu singkat
P3.4 Durasi pemberian obat terlalu lama
4. Masalah Penggunaan Obat. P4.1 Obat tidak diberikan sama sekali
Obat salah atau tidak diberikan P4.2 Obat yang diberikan salah
5. Interaksi-Interaksi.
P5.1 Potensial Interaksi
Terjadi kemungkinan potensial
interaksi obat-obat atau obat-
makanan P5.2 Terjadi Interaksi
6. Lainnya. Pasien tidak puas dengan terapi
P6.1 karena tidak menerima obat dengan
benar
Kurangnya perhatian akan kesehatan
dan penyakit (kemungkinan
P6.2
mengarah pada masalah di masa yang
akan datang)
Masalah tidak jelas. Butuh klarifikasi
P6.3
lebih lanjut
P6.4 Gagal terapi (alasan tidak diketahui)

16
Universitas Sumatera Utara
Asuhan kefarmasian tidak hanya menyediakan obat, namun juga

menyediakan keputusan dalam penggunaan obat yang tepat bagi pasien. Dalam

asuhan kefarmasian, farmasis memberikan kontribusi pengetahuan dan

keterampilan guna memastikan hasil terapi yang optimal dari penggunaan obat

(Siregar dan Amalia, 2004).

Sasaran dari asuhan kefarmasian adalah meningkatkan mutu kehidupan

pasien, melalui berbagai pencapaian hasil terapi, antara lain:

a. menyembuhkan penyakit,

b. meniadakan atau mengurangi gejala sakit,

c. menghentikan atau memperlambat proses penyakit,

d. mencegah penyakit atau gejalanya (Siregar dan Amalia, 2004).

Fungsi dari asuhan kefarmasian adalah untuk:

a. mengidentifikasi masalah terapi obat,

b. memecahkan masalah yang terjadi yang berkaitan dengan terapi obat, dan

c. mencegah terjadinya masalah terapi obat (Siregar dan Amalia, 2004).

17
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai