Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN CITY TOUR

DISUSUN OLEH :

YESSICA FANESSA YOSANTO

X UPW 1

SMK NEGERI 8 MAKASSAR


KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya saya dapat melaksanakan City Tour sehingga saya bisa
menyelesaikan penulisan laporan ini. Sekalipun waktu yang tersedia cukup singkat
namun dengan bantuan berbagai pihak, akhirnya saya dapat menyelesaikan laporan
ini sebagai dokumen, pertanggung jawaban, dan sumber pengalaman.

Tujuan saya menuliskan laporan ini adalah untuk memberikan kesimpulan


serta faka mengenai apa yang telah saya dapatkan dari kegiatan City Tour tersebut.
Dalam laporan ini saya akan membahas mengenai sejarah, budaya, dan keunikan
beberapa tempat wisata yang terletak di Sulawesi Selatan.

Terwujudnya laporan ini tidak terlepas dari peran keluarga, para guru, dan
teman-teman sekalian. Untuk itu saya mengucapkan banyak terima kasih. Saya tahu
bahwa dalam laporan ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih memerlukan
perbaikan. Oleh karena itu, berbagai masukan dan saran sangat saya harapkan untuk
penyempurnaan laporan ini.

Penulis
DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI .....................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ..................................................................... 1


B. TUJUAN CITY TOUR ..................................................................... 1
C. MANFAAT CITY TOUR ................................................................. 2

BAB II ISI LAPORAN

A. ITINERARY ..................................................................................... 3
B. OBJEK WISATA YANG DIKUNJUNGI ........................................ 4
1. Makam Sultan Hasanuddin ........................................................ 4
2. Museum Balla Lompoa .............................................................. 8
3. Masjid Cheng Hoo ................................................................... 10
4. Pelabuhan Paotere .................................................................... 11
5. Makam Raja Gowa Tallo ......................................................... 13
6. Hutan Mangrove ....................................................................... 15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................... 17
B. Saran ............................................................................................... 17

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sulawesi Selatan adalah salah satu provinsi di Indonesia yang
terletak di bagian selatan Sulawesi dengan ibukotanya, yaitu Makassar.
Selawesi Selatan memiliki begitu banyak tempat wisata yang dapat kita
kunjungi. Mulai dari tempat wisata sejarah, wisata alam, wisata religi,
bahkan wisata pendidikan.
Pada tanggal 11 April 2019, para siswa kelas X jurusan Usaha
Perjalanan Wisata SMK Negeri 8 Makassar melaksanakan kegiatan City
Tour. Apa itu City Tour? City Tour adalah perjalanan wisata dengan
mengunjungi objek-objek wisata yang berada di dalam kota. Tempat yang
dikunjungi antara lain, Makam Sultan Hasanuddin, Museum Balla Lompoa,
Masjid Cheng Hoo, Pelabuhan Paotere, Makam Raja Gowa Tallo, dan
Hutan Mangrove.
Setelah melakukan City Tour, para siswa diwajibkan untuk
membuat karya tulis berupa laporan. Karya tulis merupakan hasil dari suatu
kegiatan yang telah dilaksanakan. Dalam karya tulis berupa laporan ini
membahas tentang objek wisata yang dikunjungi para siswa SMK Negeri 8
daat melakukan City Tour.
B. Tujuan City Tour
Tujuan dari diadakannya City Tour ialah :
1. Mencari suasana baru atau suasana lain
2. Memenuhi rasa ingin tahu
3. Untuk menambah wawasan
4. Berpetualang untuk mencari pengalaman baru
C. Manfaat City Tour
Ada beberapa manfaat dari City Tour, yaitu :
1. Memperkaya informasi actual
2. Mengembangkan sikap ingin tahu
3. Memperluas pengertian
4. Mendapatkan pengalaman melalui objek, tempat, dan situasi yang
tidak dapat disediakan di kelas
5. Mempererat keakraban antar siswa
6. Melatih kerjasama antar siswa dalam suatu kelompok
7. Memberikan suasana relaksasi di tengah rutinitas yang terkadang
menjemukan
BAB II

ISI LAPORAN

A. Itinerary

Kegiatan &
No Jam Pelaksana Keterangan
Destinasi
Prepare, Breefing, &
1 08.20-08.30 Mam Ira Lancar
Berdoa
Pak Mone
2 08.30-08.55 On Board
(Supir)
Makam Sultan
3 08.55-09.34 Pak Syahrul
Hasanuddin
4 09.34-09.53 On Board
Pak Andi
Museum Balla
5 09.53-11.25 Jupri Tanri
Lompoa
Baso
6 11.25-11.53 On Board
7 11.53-13.20 Masjid Cheng Hoo -
8 13.20-13.55 On Board
9 13.55-14.21 Paotere -
10 14.21-14.40 On Board
Makam Raja Gowa
11 14.40-15.10 -
Tallo
12 15.10-15.33 On Board
13 15.33-17.25 Hutan Mangrove
14 17.25-18.09 On Board
15 18.09 Sampai di sekolah
B. Objek Wisata yang diKunjungi
1. Makam Sultan Hasanuddin
Kompleks makam Sultan Hasanuddin adalah salah satu objek
cagar budaya peniggalan kerajaan Gowa, yang masih dapat kita saksikan
sampai sekarang. Menempati puncak bukit Tamalate, tepatnya di jalan
Pallantikang, kelurahan Katangka, kecamatan Somba Opu, kabupaten
Gowa. Mengunjungi objek tersebut dapat melalui rute dari
sungguminasa ibu kota Kabupaten Gowa melalui jalan Sultan
Hasanuddin, kemudian berbelok Arah timur mengambil rute jalan
Pallantikang.
Selain dimanfaatkan menjadi objek penelitian dalam
pengembangan khazanah sejarah kebudayaan Nusantara, kompleks
Makam Sultan Hasanuddin menjadi salah satu alternatif objek wisata
sejarah dan juga banyak dikunjungi oleh peziarah, menandakan bahwa
tempat tersebut masih memiliki ikatan emosional masa lalu dengan
masyarakat.
Kerajaan Gowa adalah adalah salah satu kerajaan besar yang
pernah ada di kawasan Nusantara. Pada masa lalu berkembang sebagai
kerajaan maritim dengan kekuatan ekonomi politik yang memilki
pengaruh kuat utamanya di bagian timur Nusantara. Mencapai puncak
kejayaannya pada masa abad 16-17 Masehi, Sebelum jatuh di bawah
kekuasaan VOC melalui pertempuran sengit dan panjang yang dikenal
dengan “perang Makassar” tahun 1667.
Salah satu Raja Gowa yang terkenal dalam menentang usaha
VOC dalam melancarkan usaha penjajahan adalah Sultan Hasanuddin.
Beliau lahir pada 12 Juni 1629 dengan nama I Mallombasi Dg.
Mattawang Muhammad Bakir Karaeng Bonto Mangape. Merupakan
putra dari Raja Gowa ke XV, Sultan Malikusaid. Sultan Hasanuddin
diangkat menjadi raja Gowa XVI mengantikan ayahnya yang mangkat
pada tahun 1653. Atas sikap kepemimpinan dan usaha beliau dalam
mempertahankan kedaulatan wilayahnya yang tidak kompromi terhadap
praktik Penjajahan pada lalu, Sultan Hasanuddin dikukuhkan menjadi
pahlawan Nasional melalui surat keputusan Presiden pada tahun 1973.
Selain nama beliau juga di abadikan menjadi kompleks pemakaman
untuk raja-raja Gowa juga di abadikan menjadi nama Bandara dan
Perguruan Tinggi di Makassar.
Pada kompleks makam Sultan Hasanuddin terdapat 21 makam,
yang merupakan makam raja-raja Gowa. Selain itu, terdapat juga
beberapa makam keluarga dan kerabat lingkungan kerajaan. Orientasi
makam adalah Utara-selatan sebagaimana ciri makam Islam. Secara
umum makam-makam tersebut terbagi dalam 3 tipe yaitu ,makan
berbentuk punden berudak dengan teknik susun timbun sebagai cungkup
makam, makam berkubah dan makam dengan bentuk sederhana berupa
jirat atau kijing.
Beberapa tokoh yang dimakamkan pada kompleks pemakaman
ini adalah adalah :
 Makam Raja Gowa ke-XI
 Sombangta I Mappasomba Daeng Manguraga, Sultan Amir Hamzah
Tumenanga Ri Allu, Raja Gowa ke-XVII
 Sombangta I Mappadulung, Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone,
Sultan Abdul Djalil, Tumenanga Ri Lakiung, Raja Gowa ke-XIX
 Karaengta I Mallingkaang Daeng Mannjonri, Karaeng Katangka
Sultan Abdullah Awalul Islam, Tumenanga Riagamana
 Sombangta I Manggaranngi Daeng Manrabia, Sultan Alauddin,
Tumenanga Rigaukanna, Raja Gowa ke-XIV
 Sombangta I Mannuntungi Daeng Mattola, Karaeng Udjung/Karaeng
Lakiung, Sultan Malikussaid (Moh. Said), Tumenanga
Ripapambatuna, Raja Gowa ke-XV
 Sultan Hasanuddin, Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng
Bontomangape, Mohammad Bakir, Tumenanga Riballa Pangkana
 Sombangta I Mappaosong Daeng Manngewai, Karaeng Bisei, Sultan
Ali, Tumenanga Ridjakarta, Raja Gowa ke-XVIII
 Arung Lamontjong
Dalam legenda orang-orang Gowa, diceritakan bahwa Raja
yang pertama memerintah di Kerajaan Gowa bernama Tumanurung
Bainea (Putri yang turun dari Kayangan) . Beliau sengaja diutus ke
Butta Gowa untuk menjadi pemimpin, dimana saat itu, Gowa dilanda
perang saudara. Tumanurung pertama kali memerintah di Gowa pada
tahun 1320 hingga 1345. Tumanurung adalah bukanlah nama aslinya.
Namanya tidak diketahui sehingga masyarakat pada saat itu
memberinya nama Tumanurung.
Tak ada satu catatan sejarahpun masa itu yang bisa
mengungkapkan kedatangan Tumanurung di Butta Gowa. Hanya saja,
pemikiran masyarakat Gowa saat itu yang menganut animisme
ditambah dengan pengaruh Hindu sebagai akibat dari pengaruh
Kerajaan Majapahit (Abd IV – XV), dimana agama hindu juga ada
pengaruhnya di wilayah timur nusantara ini.
Dalam konsep animisme ataupun Hindu, mempercayai adanya
Dewa yang turun dari kayangan juga ada Dewa dari air. Berdasarkan
konsep pemikiran itulah, muncul nama Tumanurung yang berarti Ratu
Putri yang turun dari Negeri Kayangan, sedang Raja yang datang dari
air disebut Karaeng Bayo (Bayo= air) yang menjadi suami Ratu
Tumanurung.
Konsep Tumanurung sebagai Raja Gowa pertama ini juga
dianut oleh beberapa daerah bekas kerajaan di Sulawesi Selatan,
seperti di Luwu, Bone, Toraja, Enrekang, Mandar dan beberap daerah
lainnya.. Sebelum datangnya Tumanurung di Butta Gowa yakni pada
masa Gowa Purba, dapat diketahui bahwa ada empat Raja yang pernah
mengendalikan Gowa yakni;
 Batara Guru
 Saudara Batara Guru yang dibunuh oleh tatali (tak diketahui nama
aslinya)
 Ratu Supu atau Maranca
 Karaeng Katangka yang nama aslinya juga tidak diketahui

Saat itu Gowa masih terdiri dari 9 perkampungan kecil yang


disebut Kasuwiang. Kesembilan Kasuwiang itu dimaksud adalah :
Tombolo, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne,
Kalling dan Sero. Pada masa itu, rakyat di 9 kasuwiang dilanda perang
saudara antara Gowa di bagian utara dan Gowa di bagian selatan
seberang sungai je’neberang. Paccallaya sebagai ketua Federasi ke 9
negeri itu tak mampu mengatasi perang saudara tersebut. karena
fungsi Paccallaya hanya sebagai lambang dan tak punya pengaruh
kuat pada anggota persekutuan yang masing-masing punya hak
otonom. Untuk meredakan peperangan, diperlukan seorang figur yang
bisa diterima oleh semua pemimpin kaum dan rakyatnya.
Suatu saat, terdengar berita oleh Paccallaya, bahwa ada
seorang putri Ratu yang turun di atas Bukit Tamalate, tepatnya di
Taka’bassia. Paccallaya dan ke 9 Kasuwiang bergegas menuju Bukit
itu, saat penantian, orang-orang yang berdiam di kampung Bonto
Biraeng melihat seberkas cahaya dari atas langit. Cahaya itu kemudian
perlahan-lahan turun ke bawah hingga sampai di Taka’bassia.
Paccallayadan ke 9 kasuwiang itu duduk mengelilingi
taka’bassia sambil bertafakkur. Ketika cahaya itu turun di
Taka’bassia kemudian menjelma menjadi seorang putri cantik yang
memakai mahkota emas bertahtakan berlian, kalung emas, rantai
emas, serta gelang emas. Putri Ratu itu kemudian diberi nama
Tumanurung Bainea.
Paccallaya dan kasuwiang salanga, kemudian sepakat
mengangkat putri ratu sebagai rajanya. Kasuwiang Salapanga dan
Paccallaya kemudian mendekati Putri Ratu seraya bersembah;
“Sombangku”! (Tuanku..) kami datang semua ke hadapan
Sombangku, kiranya Sombangku sudi menetap di negeri kami dan
Sombangku yang merajai kami.
Ketika Tumanurung menjadi Raja di Gowa, kondisi keamanan
di Gowa yang tadinya dilanda peperangan, tiba-tiba berubah menjadi
Negeri yang damai. Rakyat Gowa kala itu bersatu padu untuk
membangun Istana di atas Bukit Tamalate. Istana itu kemudian
diberinama “Istana Tamalate”.
2. Museum Balla Lompoa
Daerah Gowa, Makassar, Sulawesi Selatan memiliki sarana wisata
sejarah yang menarik yaitu Museum Balla Lompoa. Arti kata Balla dalam
bahasa Makassar yaitu rumah, dan Lompoa artinya besar. Arti keseluruhan dari
nama Balla Lompoa adalah rumah yang besar. Museum Balla Lompoa berdiri
megah sebagai bagian dari kota Sungguminasa. Sejarah museum Balla Lompoa
berkaitan dengan Kerajaan Gowa, karena bangunan museum merupakan
rekonstruksi dari Istana Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan
Raja Gowa ke 31 bernama Mangngi – mangngi Daeng Matutu pada tahun 1936.
Kerajaan Gowa dulunya adalah kerajaan besar di Nusantara yang
terkenal diantara banyak kerajaan besar lainnya. Gowa termasuk dalam sejarah
kerajaan Islam di Indonesia dan merupakan salah satu kerajaan di Indonesia
yang memiliki pengaruh dan kekuasaan besar. Kejayaan Kerajaan Gowa
berpuncak pada abad XVI dengan pusat yang selalu berganti tempat, mulai dari
bukit Tamalate sampai ke delta sungai Jenebrang karena dipindahkan oleh Raja
Gowa IX yang bernama Tumapakrisika Kallongna dalam waktu yang
berdekatan dengan pembangunan Benteng Somba Opu.
Pemindahan pusat kerajaan pada tahun 1510 membuat Gowa perlahan
menjadi pusat perdagangan yang dapat menggantikan peranan Malaka. Ketika
itu Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Kekuasaan Kerajaan
Gowa bertahan selama satu abad lebih sebelum kekalahannya di tangan VOC
lewat perang Makassar yang berlangsung lama dan melelahkan. Perang
Makassar yang berlangsung sejak tahun 1666 – 1669 terjadi melawan VOC
pada sejarah VOC Belanda. Sultan Hasanuddin dibantu oleh Kesultanan Bone
yang dikuasai oleh dinasti Suku Bugis dengan raja bernama Arung Palakka.
Pada 18 November 1667 diadakan Perjanjian Bungayya yang
menyebutkan bahwa Kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin
mengakui kekalahannya dari VOC dan sejak saat itu Kerajaan Gowa semakin
mengalami kemunduran perlahan. Benteng Somba Opu yang juga pernah
sangat terkenal sebagai pusat perdagangan dunia kemudian juga turut meredup
pamornya dan ditinggalkan. Kemudian pusat kerajaan dipindahkan kembali
oleh Sultan Hasanuddin ke area perbukitan hingga Raja Gowa ke 36
membangun Balla Lompoa sebagai istana terakhir Kerajaan Gowa.
Koleksi dalam sejarah museum Balla Lompoa ini bernilai tinggi bukan
hanya karena mengandung banyak nilai sejarah namun juga karena koleksi –
koleksi tersebut dibuat dari emas atau batu mulia lainnya. Ada sejumlah 140
koleksi benda – benda kerajaan yang bernilai tinggi seperti mahkota, gelang,
keris dan benda – benda lain yang pada umumnya terbuat dari emas murni dan
berhiaskan berlian serta batu – batu permata lainnya.
Di ruang pribadi raja terdapat mahkota raja yang bentuknya seperti lima
kelopak bunga teratai dengan berat 1,768 gram dan bertabur 250 buah permata
dan berlian. Mahkota raja dibuat pada abad ke 14 dan dipakai oleh Raja Gowa
pertama, dan selanjutnya menjadi simbol pusaka milik Kerajaan Gowa yang
digunakan dalam upacara – upacara pelantikan raja – raja Gowa lainnya.
Mahkota ini dapat dilihat dalam bentuk replika di museum La Galoga, dan
mahkota asli disimpan di museum Balla Lompoa ini.
Sejarah museum Balla Lompoa juga memuat sejarah para penguasa dari
Kerajaan Gowa dimulai dari Raja Gowa I Tomanurunga di abad ke-13 sampai
Raja Gowa terakhir Sultan Moch Abdulkadir Aididdin A. Idjo Karaeng
Lalongan (1947 – 1957). Silsilah para raja tersebut dipajang di sebelah payung
kerajaan di ruang utama museum. Di ruang utama ini bagian tengah juga
terdapat singgasana Raja dan dekorasinya didominasi warna kuning dan merah.
Koleksi lukisan dan patung Sultan Hasanuddin serta raja Gowa lainnya juga
dipajang di museum ini, dan foto pemimpin tiga suku besar di Sulawesi Selatan
yaitu Gowa, Bone dan Wajo.
3. Masjid Cheng Hoo
Selain berfungsi sebagai objek wisata religi bagi para pelancong khusus
di bulan suci Ramadan, Masjid Muhammad Cheng Hoo yang terletak di Jalan
Danau Tanjung Bunga, Kecamatan Tamalate, Makassar, ini rupanya juga
menyimpan sejumlah cerita menarik. Khususnya untuk para penganut
kepercayaan.
Didirikan sejak 13 Oktober 2012 silam, masjid megah dengan desain
Tionghoa ini, menjadi saksi bisu dari puluhan manusia beragaman etnik,
budaya, ras. Khususnya agama yang datang hanya untuk mengkuti proses
mualaf menjadi Islam, sebelum akhirnya betul-betul mendalami tentang hakikat
keislaman.
Berdiri sejak, 13 Oktober 2012 silam, nama Cheng Hoo dilekatkan pada
masjid 2 lantai ini sebagai bentuk atau wujud penghargaan bagi Laksamana
Cheng Hoo. Sosok bahariwan muslim Tionghoa yang tangguh dan berjasa besar
terhadap pembauran, penyebaran dan perkembangan Islam di nusantara.
Cheng Hoo sendiri, adalah pria muslim keturunan Tionghoa yang berasal
dari propinsi Yunnan di Asia Barat Daya. Hingga kini, jejak kebesaran Cheng
Hoo di Indonesia tetap dijaga untuk mengingat jasanya bagi penyebaran ajaran
Islam oleh orang-orang Tionghoa. Faktor mendasar itulah dijelaskan
Badaruddin, membuat nama Cheng Hoo dijadikan sebagai ikon utama masjid
ini.
Sebagaimana masjid pada umumnya, terdapat mimbar dan barang-
barang lainnya di dalam masjid ini. Yang berbeda adalah, masjid ini
menampilkan suasana yang cukup memanjakan mata. Mimbar yang di jadikan
tempat para pengkhotbah hingga di sisi kiri dan kanan disediakan rak-rak, bak
perpustakaan mini, tempat Alquran dan buku-buku Islam disajikan.
Disisi Utara masjid, mata kembali akan dimanjakan dengan rindangnya
pepohonan dan danau yang membentang. Suasana itu menambah nikmat dan
sejuknya kondisi masjid ini. Dari luar, arsitektur bagunan masjid kental dengan
budaya Tionghoa.
Warna merah pada bagian atap hingga dinding-dinding luar masjid,
ditambah kuning pada bagian sisi dan putih menjadi ikon tersendiri yang
bermakna keberagaman paling ditonjolkan masjid ini. Kubah utamanya
menjulang tinggi seperti bentuk pagoda.
Empat kubah kecil ditiap-tiap sudut masjid menjelaskan tentang makna
filosofis unsur semesta, yakni air, udara, api dan tanah.
Kapasitas masjid ini bisa menampung sebanyak 700 orang. Mengingat
bangunan ini berlantai 2, kapasitas penampungan juga pastinya akan maksimal.
Untuk pengelolaan, masjid ini sendiri dikelola sepenuhnya oleh Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia (PITI) Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Sulsel.
4. Pelabuhan Paotere
Dewasa ini, salah satu tempat pelelangan ikan yang murah sekaligus
tempat bersandarmya kapal-kapal kecil di Makassar, dikenal dengan nama
Pelabuhan Paotere.
Pelabuhan ini berada di sebelah utara Kota Makassar yang terletak di
Kecamatan Ujung Tanah, Makassar, Sulawesi Selatan. Sebagaimana tempat-
tempat di Makassar yang memiliki sejarah khasnya masing-masing, Paotere
juga menyimpan sejarah besar yang layak kita ketahui.
Lalu seperti apakah dulunya Pelabuhan Paotere sebelum menjadi
pelabuhan seperti sekarang? Dikutip dari buku Makassar Doloe, Makassar Kini,
Makassar Nanti, yang digagas oleh Yayasan Losari Makassar, Pelabuhan
Paotere merupakan pelabuhan andalan yang dimiliki oleh kerajaan Gowa-Tallo
pada abad ke 14 sewaktu memberangkatkan konvoi penyerangan sekitar 200
perahu Pinisi ke Malaka.
Selanjutnya, pada abad ke-15, Pelabuhan Paotere sudah terkenal sampai
ke luar negeri sebagai salah satu bandar niaga.
Pelabuhan ini juga dikelola secara otonom dan berperan sebagai salah
satu pintu gerbang ekspor pengiriman beragam komoditi dari kawasan timur
Nusantara ke Mancanegara.
Barang-barang komoditi seperti kopi, damar, beras, serta hasil bumi
lainnya, diekspor dengan cap 'Haven Makassar', diangkut di pelabuhan ini oleh
perahu Pinisi yang saat itu berukuran tiga kali lebih besar dari ukurannya
sekarang.
Namun pada awal abad ke-19, pelabuhan ini ditutup sebagai pelabuhan
bebas oleh Belanda yang saat itu menjajah Indonesia. Penutupan ini berakibat
timbulnya perang antara pihak Belanda dengan tiga kerajaan besar yang ada di
Sulawesi Selatan saat itu, Bone, Gowa, dan Luwu. Perang ini pun
mengakibatkan kemasyhuran pelabuhan Paotere perlahan memudar.
Sejak perang tersebut, pelabuhan ini tidak lagi menjadi pelabuhan
terbesar dan hanya sedikit roda perekenomian yang bisa bertahan di tempat ini.
Tetapi pada awal abad ke 21, cucu Raja Gowa terakhir, Thamrin Andi Mansyur,
menggalakkan peningkatan kualitas kawasan pelabuhan Paotere Makassar.
Ia ingin agar nama pelabuhan Paotere yang pada beberapa abad yang lalu
terkenal hingga ke luar negeri kembali. Ia pun menuntut pelabuhan ini diberi
hak pengelolaan otonom.
Hingga pada tahun 1991 seperti dilansir dari situs Pusat Informasi
Pelabuhan perikanan, Dinas Perikanan dan kelautan Provinsi Sulawesi Selatan
bersama Direktorat Jenderal Perikanan, melaksanakan proyek Pengembangan
Prasarana Perikanan Tahun Anggaran 1991/1992 untuk pengadaan sarana
Pelabuhan Paotere kota Makassar.
Pelabuhan Paotere pun kembali difungsikan setelah pembangunan fisik
yang terlaksana selama 11 bulan, mulai dari bulan Maret 1991 sampai dengan
bulan Januari 1992. Sejak saat itu, Pelabuhan Paotere mengalami renovasi
hingga menjadi tempat bersandarnya perahu-perahu nelayan kecil dan menjadi
tempat penjualan ikan yang sangat ramai.
Ikan-ikan seperti ikan kerapu,cepak, dan ikan baronang, merupakan ikan
yang paling sering dijumpai. Ada juga kepiting, udang, dan cumi cumi, di
pelabuhan ini. Tak ketinggalan jenis ikan seperti ikan teri, ikan kakap merah,
cakalang, dan berbagai ikan asin juga ada di tempat ini.
Tak salah jika pelabuhan Paotere di Kota Makassar menjadi salah satu
destinasi wisata yang mulai menjanjikan di Kota Makassar.
5. Makam Raja Gowa Tallo
Makam Raja-Raja Tallo Makassar adalah kompleks makam Raja-Raja
Sulawesi Selatan yang mengesankan karena keunikan bentuk makam, dan
lingkungan yang hijau teduh.
Tengara Makam Raja-Raja Tallo Makassar yang dibawahnya ditulis
beberapa nama-nama raja atau keluarga raja yang makamnya masih bisa
dikenali, yaitu: Sultan Mudafar (Imanginyarrang Dg Makkiyo, Raja Tallo VII,
1598 - 1641), Sawerannu (istri Raja Tallo VII), Sultan Abd. Kadir
(Mallawakkang Dg Matinri, Raja Tallo IX), Sultan Syaifuddin (Imakkasumang
Dg Mangurangi, Raja Tallo XII, 1770 - 1778), Sultana Sitti Saleha (Madulung,
Raja Tallo XIII), Sultan Muh Zainal Abidin (La Oddang Riu Dg Mengeppe,
Raja Tallo XV, Raja Gowa XXX), Yandulu (Krg Sinrijala), Pakanna (Raja
Sanrobone XI), Sultana Sitti Aisyah (Mangati Dg Kenna), I Malawakkang Dg
Sisila (Abd Kadir), Abdullah Bin Abd Gaffar (Duta Bima di Tallo), >Linta Dg
Tasangnging (Krg Bonto Sunggua Tumabicara Butta Gowa), Abdullah Daeng
Riboko, Arif Krg Labbakang, Imanuntungi Dg Mattola, Karaeng Parang-
Parang (Krg Bainea Ri Tallo), Saribulang (Krg Campagana Tallo), Mang
Towayya, Sinta (Karaeng Samanggi), Karaenta Yabang Dg Talomo (Krg
Campagaya Krg Bainea Ri Tallo), Karaeng Mangarabombang (Krg Bainea
Ritallo).
Kompleks Makam Raja-Raja Tallo Makassar dibangun abad ke-17, dan
dipergunakan sebagai makam penguasa Tallo sampai abad ke-19. Adalah
Tunatengkalopi, Raja Gowa VI (1445-1460), yang membagi Gowa menjadi dua
kerajaan, Tallo dan Gowa. Ia membentuk persekutuan dan menjadi kekuatan
dominan di kawasan ini, sampai pasukan Belanda dibawah Speelman
mengakhiri dominasi Gowa, dengan dibantu La Tenri Tatta Arung Palakka dari
Bone.
Pemandangan di dalam kompleks Makam Raja-Raja Tallo Makassar
terlihat hijau asri, di bawah naungan pohon-pohon tua berukuran besar yang
rindang daunnya mampu meneduhkan pengunjung dari ganasnya matahari.
Sebuah dangau kecil di bawah pohon merupakan tempat nyaman untuk
perhentian barang sejenak. Di bagian kanan depan terdapat beberapa makam
yang bentuknya belum terlalu istimewa berjejer di samping jalanan kompleks
yang disemen dengan rapi.
Di bagian depan tengah kompleks Makam Raja-Raja Tallo Makassar ada
kubur unik dengan dasar tumpukan batu setinggi enam lapis. Kijingnya
bertingkat dengan badan berlekuk-lekuk seperti lubang dakon namun ditata
tegak pada dinding batunya. Di latar belakang kiri adalah kubur dengan bentuk
menyerupai kubah yang bagian atasnya melengkung ke dalam.
Cukup banyak bangunan kubur di kompleks makam ini yang bentuknya
sangat unik. Beragam bentuk makam khas mengesankan bisa dijumpai di sini.
Ada yang terbuat dari susunan batu yang dasarnya berbentuk segi empat, dan
diatasnya terdapat lagi susunan batu berlekuk seperti peti mati bertingkat dua.
Agak jauh di kanan belakang area makam terdapat rumah panggung yang
tampaknya juga bisa digunakan sebagai tempat beristirahat, setelah berkeliling
di dalam kompleks makam yang cukup luas ini. Saat itu ada petugas kebersihan
yang tengah melaksanakan tugasnya dengan menyapu bersih semua sampah
dedaunan yang jatuh dari pohon. Mereka lah yang membuat kompleks makam
menjadi tempat yang asri, sejuk, bersih dan nyaman. Suatu penghormatan bagi
para mendiang yang dimakamkan di sini.
Diantara makam yang lain di dalam kompleks Makam Raja-Raja Tallo
Makassar, makam Sultan Abd. Kadir (Mallawakkang Dg Matinri, Raja Tallo
IX) tampaknya merupakan makam yang paling tinggi. Sayangnya, diantara
sekitar 78 kuburan di Makam Raja-Raja Tallo ini, hanya 20 yang bisa dikenali.
Sebagian besar kubur di tempat wisata jiwa ini terbuat dari batu, dan
sebagian kecil lainnya dari susunan batu bata merah yang tampaknya ada
pengaruh budaya Hindu Majapahit. Sedikitnya ada tiga makam berkubah di
makam yang bersih dan sangat terawat ini. Bentuk makam kubah seperti ini
juga ditemukan juga di daerah Timor dan Tidore. Ada ornamen di sebuah
makam yang benar-benar sangat memikat, menunjukkan keagungan pemilik
makam, dan ketinggian citarasa pembuatnya.
Berjalan di sekitar kompleks makam yang teduh dan tenang, mengagumi
bentuk dan ornamen makam, memberi kedamaian pikir dan rasa, sementara
sang jiwa bertualang ke alam keabadian dibalik tabir kekinian. Suasana yang
jauh dari keramaian kota, lingkungannya yang asri, bersih dan terawat, dengan
bentuk ragam bangunan makam yang sangat unik dan mengesankan, membuat
Makam Raja-Raja Tallo Makassar ini sangat layak untuk menjadi tempat wisata
sejarah dan budaya Sulawesi Selatan.
6. Hutan Mangrove
Makassar memiliki hutan bakau yang luas. Terletak di Kelurahan Bira,
Kecamatan Tamalanrea, sisi kiri jalan tol jika kita dari arah kota. Untuk
menemukan lokasinya terbilang mudah. Ada plang nama bertuliskan Mangrove
Center Makassar, Lantebung, sebagai penunjuk, begitu kita memasuki wilayah
kelurahan Bira.
Hutan bakau di sini memanjang sekira 2 kilometer ke laut lepas, tepat
menghadap ke Selat Makassar. Meski terkesan luas, namun kawasan yang
diapit Sungai Tallo dan Sungai Maros ini masih butuh penanaman lagi.
Kehadiran hutan bakau sangat dirasakan manfaatnya oleh warga Bira yang
sebagian besar hidup sebagai nelayan. Apalagi setelah dibangunnya jalur
tracking sepanjang 270 meter. Di jalur ini para nelayan memanfaatkannya untuk
menambatkan perahu-perahu mereka.
Jalur jalan menuju pantai ini terlihat kontras karena dicat warna-warni.
Sehingga pengunjung bisa menikmati pemandangan pantai dan hutan bakau
dengan leluasa. Jalur ini dilengkapi juga dengan Pondok Informasi dan sebuah
gazebo. Pengunjung bisa memanfaatkan kedua tempat ini untuk duduk-duduk
beristirahat atau sebagai spot foto.
Bakau boleh dikata merupakan rumah yang nyaman bagi kepiting.
Karena kepiting dipengaruhi oleh kehadiran bakau. Di sanalah tempat kepiting
rajungan itu bertelur dan berkembang biak. Erat kaitan antara mangrove dengan
karang. Tempat bertelur di mangrove, pembuahannya di terumbu karang
Selain itu, fungsi mangrove juga untuk menahan abrasi dan menghisap
limbah-limbah kiriman dari kapal dan lain-lain.
Di Bira ini, ada pengumpul kepiting yang tergabung dalam Kelompok
Melati. Kepiting yang tidak masuk kategori ekspor karena ukurannya di bawah
15 cm kemudian diolah menjadi berbagai penganan yang gurih dan enak.
Untuk keperluan ekspor ukuran kepiting berada pada kisaran 15-25 cm.
Pada musim kepiting, yakni bulan April-Mei, per orang bisa peroleh 7 kilogram
dalam 1 kali tarik. Sementara dalam sehari dia bisa 2 kali tarik. Jadi minimal
bisa dapat 10 kilogram.
Kini manfaat mangrove sangat dirasakan karena sudah membantu
peningkatan ekonomi warga. Masih butuh beberapa spot menarik agar orang
tertarik ke daerah ini. Apalagi sekarang era selfie di medsos akan sangat
membantu promosi kawasan bakau ini. Warga di kawasan mangrove Lantebung
perlu didukung oleh Dinas Pariwisata serta pelaku usaha lainnya melalui
berbagai program pemberdayaan masyarakat.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pengalaman yang saya dapatkan dari perjalanan wisata
City Tour di Makassar ini, dapat saya simpulkan bahwa Makassar memiliki
begitu banyak tempat wisata yang menarik dan dapat digunakan sebagai
objek untuk menarik para wisatawan luar negeri dan menjadi penambah
devisa negara.
B. Saran

City Tour ini sangat bermanfaat bagi para siswa, agar mereka kaya
akan sejarah dan ilmu pengetahuan. Semoga kegiatan ini juga menambah
kesadaran para siswa untuk menjaga dan melestarikan objek wisata yang
berada di Makassar.
LAMPIRAN

A. Makam Sultan Hasanuddin


B. Balla Lompoa
C. Masjid Cheng Hoo
D. Pelabuhan Paotere
E. Makam Raja-Raja Tallo
F. Hutan Mangrove

Anda mungkin juga menyukai