Anda di halaman 1dari 6

Memimpin RS bukan Hal Yang Sulit.....

Tidak pernah terbayangkan bahwa memimpin sebuah rumah sakit adalah pekerjaan yang tidak
mudah, semula saya beranggapan asalkan punya bakat dan bekal ilmu manajemen perumahsakitan
maka segalanya akan berjalan dengan lancar, tinggal mengaplikasikan setiap teori yang pernah
diterima. Ternyata bayangan tersebut jauh dari kenyataan.

Memimpin suatu organisasi yang sumber daya manusianya sangat beragam, adalah suatu tantangan
besar yang mengharuskan seorang pimpinan belajar terus menerus untuk menemukan jurus mana
yang bisa diterapkan pada orang atau kelompok yang satu dan cara mana yang sesuai untuk
kelompok lainnya. Diperlukan pendekatan yang berbeda-beda terhadap masing-masing unit kerja.

Sumber daya manusia di rumah sakit sangat bervariasi dengan jenjang pendidikan yang juga
beragam, namun semuanya terlibat dalam kegiatan menghasilkan produk yang berkualitas secara
keseluruhan di mata pelanggan. Setiap orang yang melakukan kontak dengan pelanggan menjadi
faktor yang ikut mempengaruhi kesimpulan pelanggan terhadap mutu pelayanan rumah sakit,
sekalipun hanya seorang cleaning service ataupun petugas parkir. Hal tersebut sesuai dengan
keunikan karakteristik layanan jasa, dimana orang yang menyampaikan produk jasa adalah juga
produk itu sendiri (yang akan dinilai oleh consumer). Oleh karena itu pengelolaan terhadap sumber
daya yang satu ini menjadi hal yang sangat krusial. Seorang pimpinan rumah sakit harus mampu
menanamkan tujuan organisasi pada seluruh bawahan (follower) dan menjadikan tujuan ini sejalan
dengan tujuan pribadinya sebagai anggota organisasi, sehingga secara sadar dan sukarela, bawahan
akan berupaya untuk mencapai tujuan tersebut.

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kepemimpinan yang seperti apa yang efektif bagi
suksesnya suatu rumah sakit ?

Banyak studi ataupun riset yang telah dilakukan untuk mempelajari tentang kepemimpinan.
Penelitian-penelitian tersebut melahirkan berbagai macam teori mengenai kepemimpinan, antara
lain : Kepemimpinan menurut Teori sifat (Trait Theory).

Teori ini menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah sifat atau bakat yang dibawa sejak lahir. Teori ini
mengasumsikan seseorang dilahirkan sebagai pemimpin atau tidak sebagai pemimpin. Jika kita dapat
mengidentifikasi karakter bawaan ini, maka kita dapat menemukan seorang pemimpin.

Judith R Gordon merumuskan karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah sebagai
berikut :

Kemampuan dalam melakukan pengawasan (Supervisory ability)

kemampuan ini meliputi kemampuan dalam hal merencanakan (planning), mengorganisir


(organizing), mempengaruhi (influencing) dan melakukan pengawasan (controlling) pada pekerjaan
orang lain
Need for occupational achievement

Intelligence

kreatif dan memiliki kemampuan verbal termasuk dalam membuat keputusan, berargumentasi,
penalaran

Tegas (Decisiveness)

kemampuan untuk membuat keputusan dan memiliki kecakapan/keterampilan dalam


menyelesaikan masalah

Self-assurance

Initiative

kemampuan dalam menemukan cara baru (inovatif) dalam melakukan sesuatu

Didalam buku The Leadership Challenge diidentifikasi 20 karakter yang secara umum berkaitan
dengan pemimpin yang baik, dan 5 diantaranya adalah :

Honest (Jujur)

Inspiring

Forward-Looking /Melihat kedepan (visioner)

Competent

Intelligent

Ternyata sekalipun seseorang memiliki ciri-ciri karakter diatas, hal tersebut belum bisa meramakan
efektifitas kepemimpinan, karenanya kemudian dikembangkan suatu studi yang khusus mengamati
perilaku pemimpin dalam menghasilkan kepemimpinan yang efektif.
Teori ini dikenal sebagai Teori Perilaku (Behaviorist theories).

Teori kepemimpinan perilaku dicetuskan antara lain oleh Lewin, White & Lippit pada tahun 1930 an,
mereka menjelaskan ada tiga (3) tipe perilaku pemimpin, yaitu :Authoritarian, Democratic & Laissez
Faire

Teori-teori yang saya pelajari tersebut, kemudian menjadi referensi saya dalam menentukan diri
saya termasuk tipe pemimpin dan mempunyai gaya kepemimpinan seperti apa, dan sebagai hasilnya
saya lantas kemudian merasa punya bekal dan kemampuan menjadi seorang pemimpin, tetapi
ternyata (eh ternyata.....) , di KEHIDUPAN NYATA(dalam memimpin rumah sakit), pemahaman
terhadap teori-teori diatas ternyata tidak terlalu banyak menolong ketika saya harus berhadapan
langsung dengan sekian banyak manusia dalam perusahaan yang memiliki latar belakang pendidikan,
kematangan pribadi dan motivasi kerja yang berbeda-beda.

Dengan karakteristik yang demikian variatif, apalagi dalam sebuah perusahaan yang budaya
organisasinya belum mengakar kuat dalam setiap insan, maka kesulitan-kesulitan satu demi satu
menjadi tantangan yang tidak pernah putus-putusnya harus di hadapi.

Berdasarkan insting (dan kemudian mencari pembenaran secara ilmiah), hal pertama yang saya
lakukan adalah mencoba mengenali siapa bawahan saya, bagaimana karakter dan apa jenis
pekerjaannya. Secara alami, seorang bawahan selalu mengharapkan pimpinannya adalah seseorang
yang memiliki kemampuan lebih baik dari mereka dalam arti sebenarnya, menjadi tempat bertanya
dan tempat mereka mencari dan mendapatkan solusi dari permasalahan yang dihadapi.

Bagaimana mungkin seorang pimpinan dapat memberikan jawaban dan solusi yang diharapkan, jika
pekerjaan yang digeluti bawahannya tidak dimengerti secara detail. Oleh karena itu, diawal kerja,
saya jarang sekali berada dalam ruangan, saya lebih senang berkeliling dan bertanya-tanya,
mengamati dan mempelajari mengenai detail pekerjaan bawahan, apalagi untuk bidang yang sama
sekali asing bagi saya.

Semua jenisdan teknis pekerjaan harus saya pelajari dari masing-masing “pakarnya”, setiap staf atau
bagian pelaksana menjadi guru buat saya dalam bidang pekerjaannya.

Terus Belajar menjadi kewajiban utama seorang pimpinan. Dengan mempelajari jenis pekerjaan
yang mereka laksanakan setiap hari, saya kemudian menjadi mengerti “bahasa” yang mereka
gunakan, dengan menggunakan bahasa merekalah saya berkomunikasi dan dengan demikian
mereka kemudian dapat mengkomunikasikan kendala-kendala yang dihadapi, tanpa menyimpan
pertanyaan “ si bos ngerti nggak ya apa yang saya maksud?”

(Ternyata,dorongan naluri untuk belajar merupakan salah satu prinsip, yang oleh Stephen R Covey
disebutkan sebagai salah satu ciri dari Kepemimpinan yang berprinsip. Ini adalah pembenaran ilmiah
yang saya temukan melalui membaca. Membaca adalah juga bagian dari proses belajar).
Terus belajar kemudian menjadi kebutuhan dasar bagi saya untuk selalu mengembangkan diri.
Sekalipun ada pakar di bidang leadership mengatakan bahwa kepemimpinan adalah seni, namun
saya juga percaya bahwa kepemimpinan adalah ilmu yang bisa dipelajari oleh setiap orang,
kepemimpinan juga adalah keterampilan. karenanya, saya merasa perlu untuk terus mempelajari
dan mengasah keterampilan sebagai seorang pemimpin. Karena pada dasarnya kepemimpinan
berkaitan dengan keterampilan seseorang untuk menggerakkan orang lain melalui pengaruh yang
dimiliki.

Pendekatan yang dilakukan untuk mengarahkan bawahannya tidak seragam untuk setiap orang.
Misalnya, pendekatan yang dilakukan terhadap staf medik yang minimalnya adalah seorang dokter
tentu akan lebih memudahkan bagi saya yang juga seorang dokter, karena paling tidak kami
mempunyai cara dan pola berpikir yang hampir sama, sementara berbicara dengan petugas
kebersihan kadang kala serasa "gak nyambung", bukan saja oleh sebab perbedaan tingkat
pendidikan, tapi lebih utama karena “bahasa” yang digunakan saat berkomunikasi berbeda.
Karenanya dengan mengenali karakter bawahan, penerapan metode kepemimpinan pada bawahan
dapat disesuaikan dengan kebutuhannya.

Seorang pemimpin tidak harus mengadop/menerapkan satu jenis gaya kepemimpinan saja ketika
berhadapan dengan bawahan yang bervariasi tadi, ia harus mampu mengenali metode pendekatan
yang cocok bagi bawahannya, hal ini sesuai dengan Model Kepemimpinan Situasional (Situational
Theory) dicetuskan oleh Paul Harsey dan Kenneth Blanchard.

Mereka menyatakan bahwa pembawaan yang harus dimiliki seorang pemimpin dapat berbeda-beda
tergantung dari situasi yang dihadapinya.

Dr Djokosantoso Moeljono dalam bukunya More about Beyond Leadership menyebutkan bahwa
”Kemampuan seorang pemimpin untuk mengerti dan mendalami kemampuan dan kedewasaan
bawahannya sangat berpengaruh pada gaya yang dipilihnya”.

Model kepemimpinan situasional memberikan pemahaman pada kita bahwa pemimpin yang mampu
memodifikasi gaya kepemimpinannya berdasarkan berbagai jenis situasi yang mereka hadapi akan
mencapai kriteria pemimpin yang efektif.

Harsey & Blanchard mengembangkan model kepemimpinan situasional efektif dengan memadukan
tingkat kematangan anak buah dengan pola perilaku yang dimiliki pimpinannya.

Ada 4 tingkat kematangan bawahan (maturity of folowers), yaitu:

M1

bawahan tidak mampu dan tidak mau atau tidak ada keyakinan

M2
bawahan tidak mampu tetapi memiliki kemauan dan keyakinan bahwa ia bisa

M3

bawahan mampu tetapi tidak mempunyai kemauan dan tidak yakin

M4

bawahan mampu dan memiliki kemauan dan keyakinan untuk menyelesaikan tugas.

Ada empat (4) Gaya kepemimpinan situasional yang dikemukakan oleh Harsey-Blanchard, yang
efektif untuk diterapkan,tergantung tipe dari bawahan yaitu :Telling, Selling, Participating dan
delegating.

Telling:

Gaya kepemimpinan ini cocok diterapkan pada tipe bawahan yang termasuk kategori M1 atau jika
anggota organisasi adalah orang baru , mereka yang belum berpengalaman dan membutuhkan
bantuan, arahan dan dorongan untuk melakukan tugasnya (orang yang kurang memiliki motivasi).
Pemimpin memberi instruksi teknis secara detail dan mengawasi pelaksanaan tugas dan kinerja anak
buahnya, kadangkala menghadapi bawahan seperti ini, pimpinan harus berlaku sebagai polisi
pengawas

Selling :

Gaya ini berguna ketika bawahan yang dipimpin mau melaksanakan tugasnya namun tidak memiliki
keterampilan yang diharapkan ( belum dapat melakukan tugasnya sesuai dengan standar yang
berlaku), memiliki motivasi untuk bekerja dengan baik.Gaya ini cocok untuk diterapkan pada
bawahan yang termasuk dalam kelompok M2, dimana pemimpin menjelaskan keputusannya dan
membuka kesempatan untuk bertanya bila kurang jelas.

Participating :

Gaya ini diterapkan pada tipe bawahan M3, dimana mereka sebenarnya mampu melakukan tugas
yang diberikan tetapi tidak mau memulai atau menyelesaikan tugasnya. Dalam menghadapi tipe
bawahan M3, pemimpin memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan ide-ide,
membangun komunikasi dua arah yang aktiv , memberi semangat dengan begitu diharapkan
bawahan termotivasi karena ide dan gagasannya didengar dan menjadi dasar pertimbangan bagi
pengambilan keputusan.
Delegating :

Pemimpin melimpahkan keputusan dan pelaksanaan tugas kepada bawahannya. Gaya ini bisa
diterapkan apabila bawahannya termasuk memiliki tingkat kematangan yang tinggi (M4), dimana
mereka mau dan mampu melaksanakan tanggung jawabnya. Menghadapi bawahan tipe ini,
pemimpin dapat berkipas-kipas atau menselonjorkan kakinya sejenak karena bawahan mengerti dan
paham apa yang diinginkan atasannya dan mengerti bagaimana merealisasikan keinginan tersebut.
Pimpinan tidak perlu memberikan petunjuk maupun arahan yang terperinci, cukup dengan
menegaskan tujuan yang hendak dicapai, bawahan akan segera menterjemahkannya.

(Dari berbagai sumber, msh bersambung ya....!!)

Anda mungkin juga menyukai