Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN HIPERTENSI PADA


PASIEN YANG DIBERIKAN TERAPI HEMODIALISA
DI RUANG HEMODIALISA RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen


Medikal di Ruang Hemodialisa RSUD dr. Saiful Anwar Malang

Miftakhul Jannah
180070300111019
Kelompok 3A

PROGRAM PROFESI NERS


ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DENGAN HIPERTENSI PADA
PASIEN YANG DIBERIKAN TERAPI HEMODIALISA

1. Konsep Dasar Chronic Kidney Disease (CKD)


1.1 Definisi Chonic Kidney Disease (CKD)
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel, dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah. Hal ini terjadi karena terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari
50 mL/min (Smeltzer & Bare, 2000; Price, Wilson, 2002; Suyono, et al, 2001).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m²,
sebagai berikut:
1) Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
- Kelainan patologik
- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2) Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal (Capernito, 2009).

1.2 Klasifikasi Chonic Kidney Disease (CKD)


Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui
penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR
dokter akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk melihat
kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari
aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis menurut KDOQI
sebagai berikut :

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate)/ CCT (Clearance Creatinin Test)
dapat digunakan dengan rumus berikut ini:
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( Kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
Stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
1) Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan
gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini
disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam
kondisi tidak lagi 100%, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui
kondisi ginjalnya dalam stadium.
2) Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga tidak dapat merasakan gejala yang aneh karena
ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik.
3) Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
Pada tingkat ini akumulasi sisa-sisa metabolisme akan menumpuk dalam
darah yang disebut uremia. Gejala-gejala juga terkadang mulai dirasakan
seperti :
a. Fatique, rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
b. Kelebihan cairan, hal ini membuat penderita akan mengalami
pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan.
Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akibat teralu banyak cairan
yang berada dalam tubuh.
c. Perubahan pada urin, urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur
dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang
penderita sering terbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
d. Rasa sakit pada ginjal, rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada
dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal
seperti polikistik dan infeksi.
e. Sulit tidur, sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
4) Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam
waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal/ dialisis atau
melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam
darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Gejala yang mungkin
dirasakan pada stadium 4 adalah fatique, kelebihan cairan, perubahan pada
urin, sakit pada ginjal, sulit tidur, nausea (muntah atau rasa ingin muntah),
perubahan cita rasa makanan (dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi
tidak terasa seperti biasanya), dan bau mulut uremic (ureum yang menumpuk
dalam darah dapat dideteksi melalui bau pernafasan yang tidak enak).
5) Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal
(dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang
dapat timbul pada stadium 5 antara lain kehilangan nafsu makan, nausea, sakit
kepala, merasa lelah, tidak mampu berkonsentrasi, gatal-gatal, urin tidak keluar
atau hanya sedikit sekali, bengkak (terutama di seputar wajah, mata dan
pergelangan kaki), kram otot, dan perubahan warna kulit.
1.3 Etiologi Chonic Kidney Disease (CKD)
Penyebab GGK menurut Price& Wilson (2006), penyebab GGK dibagi
menjadi delapan kelas, antara lain:
Infeksi misalnya pielonefritis kronik
1) Infeksi misalnya pielonefritits
2) Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya timbul
pasca infeksi streptococcus. Untuk glomerulus akut, gangguan fisiologis
utamanya dapat mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen
berkurang sehingga timbul edema dan azotemia, penigkatan aldosteron
menyebabkan retensi air dan natrium. Untuk glomerulonefritis kronik, ditandai
dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat, akan nampak ginjal
mengkerut, berat lebih kurang dengan permukaan bergranula. Ini disebabkan
jumlah nefron berkurang karena iskemia, karena tubulus mengalami atropi,
fibrosis intestisial dan penebalan dinding arteri.
3) Penyakit vaskuler hipertensif
Merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Sebaliknya CKD dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi Na
dan H2O, pengaruh vasopresor dari system renin, angiotensin dan defisiensi
prostaglandin, keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama GGK,
terutama pada populasi bukan orang kulit putih. Misalnya nefrosklerosis
benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis.
4) Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik,
poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif.
5) Gangguan kongenital dan herediter
Penyakit ginjal polikistik yang ditandai dengan kista multiple, bilateral
yang mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan
parenkim ginjal normal akibat penekanan. Asidosis tubulus ginjal merupakan
gangguan ekskresi H+ dari tubulus ginjal /kehilangan HCO3 dalam kemih
walaupun GFR yang mamadai tetap dipertahankan, akibatnya timbul asidosis
metabolic.Misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal.
6) Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
7) Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
8) Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma,
fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat,
striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

1.4 Faktor Resiko Chonic Kidney Disease (CKD)


Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan obesitas atau
perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit
diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney
Foundation, 2009).

1.5 Manifestasi Klinis Chonic Kidney Disease (CKD)


Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti kelainan hemopoeisis,
saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan
kardiovaskular (Sukandar, 2006).
1) Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan
muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi
oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan
iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan
saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.
2) Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat
bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang
dari 25 ml per menit.
3) Sistem respirasi
Gejala yang sering dtemukan adalah edem apulmoner dan pneumonia
yang sering menyertai gagal jantung akibat retensi cairan yang berlebihan.
Gejala lainnya adalah pernafasan kussmaul dan nafas berbau uremik.
4) Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini
akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering
dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost.
5) Sistem reproduksi
Perubahan esterogen, progesteron dan testosteron menyebabkan tidak
teraturnya atau berhentinya menstruasi. Pada kaum pria bisa terjadi impotensi
akibat perubahan psikologis dan fisik yangmenyebabkan atropi organ
reproduksi dan kehilangan hasrat seksual.
6) Sistem muskuloskeletal
Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering disebut
osteodistrofi renal, disebabkan karena perubahan kompleks kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon.
7) Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai
pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Kelainan selaput
serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
8) Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia,
dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental
berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering
dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari
dasar kepribadiannya (personalitas).
9) Kelainan kardiovaskuler
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat kompleks.Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal
jantung.
10) Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil
asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun
anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau
deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye
syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga
dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

1.6 Pastofisiologi Chonic Kidney Disease (CKD)


Terlampir

1.7 Pemeriksaan Penunjang Chonic Kidney Disease (CKD)


1) Pemeriksaan Laboratorium
a. Laju endap darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan
hipoalbuminemia
b. Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan
c. Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis
d. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan
gangguan metabolisme dan diet rendah protein
e. Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada
gagal ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer)
f. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya
disebabkan retensi asam-basa organik pada gagal ginjal.
g. Hb : menurun karena pasien mengalamii anemia Hb < 7-
8 gr/dl
h. BUN/Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap
akhir. Rasio BUN dan kreatinin = 12:1 – 20:1
i. GDA: asidosis metabolic, PH <7,2
j. Protein albumin : menurun (< 3,4-4,8 gr/dl)
k. Natrium serum : rendah. (< 1135-153 mEq/L)
l. Kalium, magnesium : meningkat (Cl: >3,5-5,1 mEq/L, Mg: > 1,5-
2,5 mEq/L)
m. Kalsium : menurun (< 8,5-10,5 mEq/L)
2) Pemeriksaan Urin
a. Volume : biasanya < 400-500ml/24 jam atau bahkan tidak ada urin
(anuria)
b. Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh
zat yang tidak terreabsorbsi maksimal atau terdiri dari pus, bakteri,
lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya
darah, Hb, mioglobin.
c. Berat jenis : < 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal tubular
d. Klirens kreatinin : mungkin menurun.
e. Natrium : > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
f. Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan
kerusakan glumerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
g. Osmolalitas: < 350 mOsm/kg, rasio urin/serum = 1:1
3) Pemeriksaan Radiologi: ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan
menilai derajat dari komplikasi yang terjadi
a. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal,
kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter
proksimal, kandung kemih serta prostat.
b. IVP (Intra Vena Pielografi): untuk menilai sistem pelviokalises dan
ureter. Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada
keadaan tertentu, misalnya: usia lanjut, DM dan nefropati Asam urat.
c. Foto Polos Abdomen : untuk menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah
ada batu atau obstruksi lain. Foto polos yang disertai dengan tomogram
memberikan hasil keterangan yang lebih baik.Dehidrasi akan
memperburuk keadaan ginjal oleh sebab itu penderita diharapkan tidak
puasa.
d. Renogram: untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vaskuler, parenkim, eksresi), serta sisa fungsi ginjal.
e. EKG : untuk mengetahui kemungkinan hipertropi ventrikel kiri dan
kanan, tanda-tanda perikarditis, disritmia, gangguan elektrolit.
f. Renal anterogram : mengkaji terhadap sirkulasi ginjal dan
ekstravaskularisasi serta adanya masa.
g. Rotgen thorak : mengetahui tanda-tanda kardiomegali dan odema paru.
4) Pemeriksaan Patologi Anatomi
Biopsy ginjal : Dilakukan bila ada keraguan diagnostic gagal ginjal kronik
atau perlu diketahui etiologi daru penyakit ini.

1.8 Penatalaksanaan Chonic Kidney Disease (CKD)


1) Terapi konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih
ada, menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas gagal
ginjal sedini mungkin. Selain itu, pengobatan konservatif bertujuan untuk
menghilangkan gejala yang mengganggu penderita, sehingga penderita dapat hidup
secara normal. Yang termasuk pengobatan konservatif gagal ginjal kronis adalah:
a. Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan
- Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga
mengurangi asupan kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion hidrogen yang
berasal dari protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali
kelainan ini dan memperlambat terjadinya gagal ginjal. Jumlah kebutuhan protein
biasanya dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabila penderita mendapatkan
pengobatan dialisis teratur.
- Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan
kalium dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEg/hari. Penggunaan makanan
dan obat-obatan yang tinggi kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia.
- Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na).
Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema
perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.
- Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengelurana cairan
yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Asupan yang bebas
dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan dan edema. Sedangkan asupan
yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal.
Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah jumlah urin
yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL). Asupan cairan
membutuhkan regulasi yang hati-hati dalam gagal ginjal kronik, karena rasa haus
pasien merupakan panduan yang tidak dapat diyakini mengenai keadaan hidrasi pasien
(Wilson, 2006).
Berat badan di bawah berat badan ideal akan muncul gejala dehidrasi dan atau
deplesi volume, misalnya hipotensi, kram, hipotensi postural dan pusing. Berat badan
di atas berat badan idela akan muncul tanda dan gejala kelebihan cairan misalnya
edema dan sesak nafas. Tanda seperti ini akan muncul bila kenaikan berat badan
pasien lebih dari 2 kg. Akumulasi cairan yang dapat ditoleransi adalah 1-2 kg selama
periode intradialitik.
Kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan ini sering menjadi permasalahan.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pasien dalam kepatuhan menjalani terapi,
diantaranya adalah usia, jenis kelamin, pengetahuan dan demografi pasien. hal
tersebut menjadi pertimbangan karena dapat berdampak pada keberhasilan program
diit pada pasien hemodialisa. Selain itu, kepatuhan dalam menjalani program terapi
dapat juga dipengaruhi oleh gaya hidup, aspek psikososial, support sistem dan
kemauan.
Pada gagal ginjal parsial kronis, penumpukan cairan mungkin tidak
terlaluberat, selama asupan garam dan cairan tidak berlebihan, sampai fungsi ginjal
turun 30% dari normal atau lebih rendah lagi. Alasan untuk hal ini, seperti telah
dijelaskan sebelumnya adalah bahwa nefron yang tersisa mengekskresikan garam dan
air dalam jumlah lebih besar. Bahkan bila retensi cairan yang terjadi hanya sedikit,
bersama dengan peningkatan renin dan angiotensin II yang biasanya terjadi pada
penyakit ginjal sistemik, sering menyebabkan hipertensi berat pada gagal ginjal kronik
(Price & Wilson, 2006).
Jika supan air segera dibatasi setelah timbul gagal ginjal akut, kandungan
cairan tubuh total mungkin hanya sedikit meningkat, jika asupan cairan tidak dibatasi
dan pasien tetap minum sebagai responnya terhadap rasa haus, cairan tubuh akan
segera meningkat. Pada pasien dengan fungsi ginjal yang begitu menurun sehingga
memerlukan dialisis untuk mempertahankan hidupnya, hampir seluruhnya mengalami
hipertensi. Pada kebanyakan pasien ini, penurunan asupan garam yang berlangsung
berat atau pengeluaran cairan ekstraseluler melalui dialisis dapat mengendalikan
hipertensi. Selebihnya pasien tetap mengalami hipertensi bahkan setelah natrium
banyak dikeluarkan melalui dialisis.
2) Simptomatik
a. Hipertensi
Ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume
intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan
cairan, diit rendah natrium, diuretik, digitalis atau dobitamine dan dialisis.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu
penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin
diperlukan untuk mengoreksi asidosis.
b. Anemia
Pada CKD ditangani dengan epogen (erytropoitin manusia
rekombinan). Anemia pada pasaien (Hmt < 30%) muncul tanpa gejala spesifik
seperti malaise, keletihan umum dan penurunan toleransi aktivitas.
Abnormalitas neurologi dapat terjadi seperti kedutan, sakit kepala, dellirium
atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari kejang.
c. Asidosis Metabolic
Harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).
Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen
alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila
pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
d. Keluhan Gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi
mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
e. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
f. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
3) Terapi penggantian ginjal atau Renal Replacement Teraphy (RRT)
Terapi penggantian ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap
penyakit gagal ginjal kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk
menghindari komplikasi dan memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti
ginjal dibagi menjadi dua, antara lain dialisis (hemodialisis dan peritoneal
dialisis) dan transplantasi ginjal (Shahgholian et.al, 2008).
a. Dialisis
Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan fungsi tersebut. Tujuan dialisis adalah untuk mempertahankan
kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Dialisis
dilakukan dalam penanganan pasien dengan edema yang tidak responsif
terhadap terapi, koma hepatikum, hiperkalemia, hiperkalsemia, hipertensi dan
uremia. Dialisis akut diperlukan bila terdapat kadar kalium yang tinggi dan
meningkat, kelebihan muatan cairan atau edema pulmoner yang mengancam,
asidosis yang meningkat, perikarditis dan konfusi yang berat. Dialisis kronis atau
pemeliharaan dibutuhkan pada gagal ginjal kronis dalam keadaan berikut : (1)
terjadi tanda dan gejala uremia yang mengenai seluruh sistem tubuh (mual
muntah, anoreksia berat, letargi, dan konfusi mental) ; (2) kadar kalium serum
yang meningkat ; (3) muatan cairan berlebih yang tidak responsif terhadap terapi
diuretik serta pembatasan cairan ; dan (4) penurunan status kesehatan yang
umum. Selain itu, terdengarnya suara gesekan perikardium (pericardial friction
rub) merupakan hasil aukultasi yang merupakan indikasi yang mendesak untuk
dilakukan dialisis untuk pasien gagal ginjal kronis (Brunner & Suddarth, 2002).
- Hemodialisa
Hemodialisa adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser). Dialiser ini memiliki
fungsi seperti nefron yang dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan
mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal
ginjal (Black, 2005; Ignatavicius, 2006 dalam Septiwi, 2011).
Tujuan dilakukan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat
nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan
(Suharyanto, 2002). Tujuan hemodialisis yang lain yaitu mempertahankan
keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa, mengembalikan beberapa
manifestasi kegagalan ginjal yang irreversibel (Smeltzer & Bare, 2008; Black &
Hawk, 2009). Walaupun hemodialisis dapat mencegah kematian namun
demikian tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal, tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan
oleh ginjal dan dampak dari gagal ginjal (Sulistyaningsih, 2011).
Prinsip dari pelaksanaan hemodialisis adalah darah dikeluarkan dari
tubuh melalui sebuah kateter arteri, kemudian masuk ke dalam sebuah mesin
besar, di dalam mesin tersebut terdapat dua ruang yang dipisahkan oleh sebuah
membran semipermeabel. Darah dimasukkan ke salah satu ruang, sedangkan
ruang yang lain diisi oleh cairan perdialisis dan diantara keduanya akan terjadi
difusi. Darah dikembalikan ke tubuh melalui sebuah pirau vena (Corwin, 2009).
Indikasi pemberian hemodialisa pada sindrom uremia, terlihat pada laju
GFR yang hanya tersisa sebesar 15% dari normal atau kurang dari 15
mL/mnt/1,73 m2. Kemudian dalam pemeriksaan laboratorium, ditandai dengan
peningkatan kadar ureum hingga lebih dari 200 mg/dL, kreatinin serum > 6
mEq/L, pH < 7,1 dan ditambah dengan timbulnya gejala-gejala klinis yang nyata
seiring dengan perburukan fungsi ginjal (Rahardjo dkk, 2006).
Proses hemodialisis yang dilakukan dalam waktu cukup lama setiap 1
kali prosesnya (3-4 jam) dapat menyebabkan jumlah cairan dan penggantian
solusi menjadi besar. Sebagai konsekuensinya, terjadi perubahan yang besar
terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga berkontribusi terhadap
ketidakseimbangan hemodinamik. Ketidakseimbangan ini dapat ditandai dengan
hipotensi dan aritmia jantung. Komplikasi jenis ini dialami sekitar 20- 50%
pasien hemodialisis (Reeves et.al, 2001).
- Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal dilakukan dengan cara menanamkan sampai 2 L
larutan glukosa isotonik atau hipertonik dalam rongga peritoneal pasien melalui
pemasangan kateter Silastic permanen. Terjadi ekuilibrium cairan, melalui
membran peritoneal seluas 2 m2 dengan darah di kapiler peritoneum. Setelah
beberapa jam cairan yang mengandung sisa buangan toksik ditarik keluar.
Prosedur ini diulangi tiga atau empat kali sehari. Kelebihan cairan diambil oleh
larutan hipertonik. Komplikasi utama adalah peritonitis, biasanya akibat
Staphylococcus epidermidis atau S.aureus (Rubenstein et.al, 2007).
b. Transplantasi ginjal
Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya adalah
suatu terapi definitif yang paling tepat dan ideal untuk penatalaksanaan suatu
keadaan gagal ginjal yang sangat berat. Prinsip dari pelaksanaan terapi cangkok
ginjal ini adalah pencangkokan ginjal sehat ke dalam tunuh pasien. ginjal sehat
tersebut bisa didapatkan dari donor manusia yang sehat dan masih hidup atau
bisa juga dari donor yang baru saja meninggal. Permasalahan yang paling sering
dihadapi dalam cangkok ginjal adalah adanya reaksi penolakan dari tubuh pasien
sebagai resepien terhadap ginjal baru yang dicangkokkan ke dalam tubuhnya.
Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus dipilih ginjal yang paling cocok
sehingga memberikan reaksi penolakan yang paling minimal. Setelah
pelaksanaan transplantasipun, resepien juga masih harus minum obat
imunosupresan seumur hidupnya untuk menekan reaksi penolakan oleh
tubuhnya terhadap ginjal baru dalam tubuhnya (Aziz, 2008).

1.9 Komplikasi Chonic Kidney Disease (CKD)


1. Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan
masukan diit berlebih.
2. Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
6. Asidosis metabolic, Osteodistropi ginjal & Sepsis, Neuropati perifer,
Hiperuremia (Smeltzer & Bare, 2005).

2. Konsep Dasar Hipertensi


2.1 Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas
140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Hipertensi merupakan penyebab
utama gagal jantung, stroke dan gagal ginjal. Disebut juga “penyakit diam-diam”
karena orang dengan hipertensi sering tidak menampakkan gejala. Institut Nasional
Jantung, Paru dan Darah memperkirakan separuh orang yang menderita hipertensi
tidak sadar akan kondisinya, (Brunner &Suddarth,2001).

2.2 Klasifikasi Hipertensi


1) Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi:
a. Hipertensi primer atau esensial
Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang terbanyak,
yaitu sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat
keluarga,obesitas,diit tinggi natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah faktor
pendukung. Walaupun faktor genetik sepertinya sangat berhubungan dengan
hipertensi primer, tapi mekanisme pastinya masih belum diketahui.
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang
terindentifikasi lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti hipertensi
renovaskuler, feokromositoma, sindrom cushing, aldosteronisme primer, dan
obat-obatan, yaitu sekitar 2-10% dari seluruh pasien hipertensi.
2) Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Pedoman Joint National Committee 8
untuk usia ≥ 18 tahun
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage I 140-159 90-99
Hipertensi stage II ≥ 160 ≥ 100

3) Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut dapat
dibedakan:
a. Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat pada 6-
12% penderita di atas usia 60th, terutama pada wanita. Insioden meningkat
seiring bertambahnya umur.
b. Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara 12-14%
penderita di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi menurun seiring
bertambahnya umur.
c. Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di atas 60th,
lebih banyak pada wanita. Menningkat dengan bertambahnya umur.

2.3 Etiologi Hipertensi


Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat
dikontrol, antara lain:
1) Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
a. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.Namun
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita
yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang
berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar
kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah
terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai
penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada
premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen
yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus
berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan
umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-
55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita
hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%.Hipertensi lebih banyak terjadi
pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang
wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita.
Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause.
b. Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi
orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang
yang berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara
khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun,
karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada
kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. hipertensi sering
terjadi pada usia pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun. Hal ini disebabkan
terjadinya perubahan hormon sesudah menopause. Hanns Peter (2009)
mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah produk
samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama aorta,
dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-arteri ini
dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya penyesuaian diri.
c. Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan
keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada
orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Seseorang
akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika
orang tuanya adalah penderita hipertensi.
2) Faktor resiko yang dapat dikontrol:
a. Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi
penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat
badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia
dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan
pembuluh darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk
menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan
sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih.
b. Kurang Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak
menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer
yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot
jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan
yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas fisik
menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk menjadi
gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak jantung lebih
cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi,
semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pula kekuaan
yang mendesak arteri.
c. Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko
terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.
d. Mengkonsumsi garam berlebih
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko
terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih
dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi
natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan
ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke
luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume
cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah,
sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi.
e. Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung
dan organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol
berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.
f. Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi
mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi
meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.
g. Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten
(tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan
darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka
kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan.
Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok
masyarakat yang tinggal di kota. Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres
akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung
sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini dapat
berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik
personal.

2.4 Manifestasi Klinis


Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menunjukkan gejala
sampai bertahun-tahun. Oleh karena itulah hipertensi dikenal sebagai silent killer.
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang
tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti pendarahan,
eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat
akan mengalami edema pupil.
Corwin, (2000), menyebutkan bahwa sebahagian besar gejala klinis timbul
setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun (Rohaendi, 2008) :
a. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intrakranial
b. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.
c. Ayunan langkah yang tidak mantap akibat susunan saraf pusat telah rusak
d. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus
e. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler
Gejala lainnya yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu
pusing, muka merah, sakit kepala, keluarnya darah dari hidung secara tiba-tiba,
tengkuk terasa pegal dan lain-lain.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan pasien hipertensi memiliki tujuan, yaitu untuk menilai gaya
hidup dan faktor risiko kardiovaskular lainnya atau bersamaan gangguan yang
mungkin mempengaruhi prognosis dan pedoman pengobatan, untuk mengetahui
penyebab tekanan darah tinggi, untuk menilai ada atau tidaknya kerusakan target
organ dan penyakit kardiovaskular (National Institutes of Health, 2003).
Pemeriksaan pada hipertensi menurut PERKI (Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia) (2003), terdiri atas:
1) Riwayat penyakit
a. Lama dan klasifikasi hipertensi
b. Pola hidup
c. Faktor-faktor risiko kelainan kardiovaskular (Tabel 2.3)
d. Riwayat penyakit kardiovaskular
e. Gejala-gejala yang menyertai hipertensi
f. Target organ yang rusak
g. Obat-obatan yang sedang atau pernah digunakan
2) Pemeriksaan fisik
a. Tekanan darah minimal 2 kali selang dua menit
b. Periksa tekanan darah lengan kontra lateral
c. Tinggi badan dan berat badan
d. Pemeriksaan funduskopi
e. Pemeriksaan leher, jantung, abdomen dan ekstemitas
f. Refleks saraf
3) Pemeriksaan laboratorium
a. Urinalisa
b. Darah : platelet, fibrinogen
c. Biokimia : potassium, sodium, creatinin, GDS, lipid profil, asam urat
d. Pemeriksaan tambahan
4) Foto rontgen dada
5) EKG 12 lead
6) Mikroalbuminuria
7) Ekokardiografi

2.6 Penatalaksanaan
Pasien dengan hipertensi harus tahu akan pentingnya mengontrol tekanan
darah sebagai contoh monitor tekanan darah di rumah adalah salah satu aspek
penting dalam manajemen hipertensi. Demikian juga dengan melakukan pola hidup
sehat dan edukasi ke pasien hipertensi adalah metode yang sangat efektif dalam
meningkatkan hasil tekanan darah yang terkontrol. Penatalaksanaan hipertensi ada
dua yakni farmakologi dan non farmakologi:
1) Non farmakologi
a. Olahraga
Olahraga adalah suatu aktivitas yang dapat menurunkan tekanan
darah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Psffenbarger
dari Universitas Stanford yang meneliti 15.000 tamatan Universitas Havard
untuk 6-10 tahun. Selama pendidikan berlangsung didapatkan bahwa 681
tamatan Havard tersebut menderita peningkatan tekanan darah (160/95).
Ternyata alumni yang tidak terlibat olahraga dan kegiatan mempunyai resiko
untuk mendapat peningkatan tekanan darah 35% lebih besar dari mereka yang
berolah raga. Olahraga dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah
kapiler yang baru sehingga dapat mengurangi penyumbatan dalam pembuluh
darah yang berarti dapat menurunkan tekanan darah. Walaupun kesanggupan
jantung untuk melakukan pekerjaannya bertambah melalui olah raga, pengaruh
dari berkurangnya hambatan tersebut memberikan penurunan tekanan darah
yang berarti. Prinsip yang penting dalam olahraga untuk mereka yang menderita
tekanan darah tinggi ialah melalui dengan olahraga ringan lebih dahulu sepert
jalan kaki atau senam. Berjalan kaki secara teratur sekitar 30-45 menit setiap hari
dan makin lama jalan dapat dipercepat akan menurunkan tekanan darah. Dengan
olah raga seperti senam maka sel, jaringan membutuhkan peningkatan oksigen
dan glukosa untuk membentuk ATP (Adenosin Triphosphate). Terkait dengan
pembuluh darah maka dapat digambarkan bahwa pembuluh darah mengalami
pelebaran (vasodilatasi), serta pembuluh darah yang belum terbuka akan terbuka
sehingga aliran darah ke sel, jaringan meningkat. (Darmojo, 2006).
b) Penurunan konsumsi garam
Pengurangan asupan garam dan upaya penurunan berat badan dapat digunakan
sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Jumlah garam dibatasi sesuai dengan
kesehatan penderita dan jenis makanan dalam daftar diet. Pembatasan asupan garam
sampai 60 mmol per hari atau dengan kata lain konsumsi garam dapur tidak lebih
dari seperempat sampai setengah sendok teh garam per hari. Penderita hipertensi
dianjurkan menggunakan mentega bebas garam dan menghindari makanan yang
sudah diasinkan. Adapun yang disebut diet rendah garam, bukan hanya membatasi
konsumsi garam dapur tetapi mengkonsumsi makanan rendah sodium atau natrium.
Pedoman diet merekomendasikan orang dengan hipertensi harus membatasi asupan
garam.
c) Bebas rokok
Merokok sangat besar perananya dalam meningkatkan tekanan darah, hal
tersebut disebabkan oleh nikotin yang terdapat didalam rokok yang memicu
hormon adrenalin yang menyebabkan tekanan darah meningkat. Tekanan darah
akan turun secara perlahan dengan berhenti merokok. Selain itu merokok dapat
menyebabkan obat yang dikonsumsi tidak bekerja secara optimal (Sagala, 2011).
d) Penurunan BB jika BMI ≥ 27
Mengurangi berat badan dapat menurunkan risiko hipertensi, diabetes, dan
penyakit kardiovaskular. Penerapan pola makan seimbang dapat mengurangi berat
badan dan menurunkan tekanan darah. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental,
pengurangan sekitar 10 kg berat badan menurunkan tekanan darah rata-rata 2-3
mmHg per kg berat badan (Sagala, 2011).
Diet rendah kalori dianjurkan bagi orang dengan kelebihan berat badan atau
obesitas yang berisiko menderita hipertensi, terutama pada orang berusia sekitar 40
tahun yang mudah terkena hipertensi. Dalam perencanaan diet, perlu diperhatikan
asupan kalori agar dikurangi sekitar 25% dari kebutuhan energi atau 500 kalori
untuk penurunan 0,5 kg berat badan per minggu (Sagala, 2011).
2) Farmakologi
Penatalaksanaan dengan obat antihipertensi bagi sebagian besar pasien
dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi sesuai dengan
umur, kebutuhan, dan usia. Dosis tunggal lebih diprioritaskan karena kepatuhan
lebih baik dan lebih murah. Sekarang terdapat obat yang berisi kombinasi dosis
rendah dua obat dari golongan berbeda. Kombinasi ini terbukti memberikan
efektivitas tambahan dan mengurangi efek samping. Jenis-jenis obat antihipertensi
untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan adalah diuretik, beta blockers
(carvedilol, nebivolol, dan celiprolol), Calcium antagonist, ACEIs (angiotensin-
converting enzyme inhibitors), dan ARBs (angiotensin receptor blockers)
(ESC/ESH, 2013).
Menurut JNC 8 (2014) dalam Evidence-Based Guideline for the
Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members
Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8) menunjukkan
rekomendasi pengobatan yakni:
a. Rekomendasi 1
Populasi penderita hipertensi umur 60 tahun, pengobatan farmakologi untuk
menurunkan tekanan darah dengan harapan sistolik <150 mmHg dan diastolic <90
mmHg.
b. Rekomendasi 2
Populasi penderita di bawah umur 60 tahun, pengobatan farmakologi untuk
menurunkan tekanan darah dengan harapan diastolik <90 mmHg.
c. Rekomendasi 3
Populasi penderita di bawah umur 60 tahun, pengobatan farmakologi untuk
menurunkan tekanan darah dengan harapan sistolik <140 mmHg.
d. Rekomendasi 4
Populasi penderita berumur 18 tahun dengan chronic kidney disease (CKD),
pengobatan farmakologi untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan sistolik
< 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg.
e. Rekomendasi 5
Populasi penderita berumur 18 tahun dengan diabetes, pengobatan
farmakologi untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan sistolik < 140
mmHg dan diastolik < 90 mmHg.
f. Rekomendasi 6
Populasi umum termasuk dengan diabetes, pengobatan antihipertensi
meliputi diuretik thiazide-type, calcium channel blocker (CCB), angiotensin-
converting enzyme inhibitor (ACEI), atau angiotensin receptor blocker (ARB).
g. Rekomendasi 7
Populasi umum termasuk dengan diabetes, pengobatan antihipertensi
meliputi diuretik thiazide-type atau CCB
h. Rekomendasi 8
Populasi penderita berumur 18 tahun dengan CKD, pengobatan
antihipertensi harus termasuk ACEI atau ARB untuk meningkatkan kerja ginjal.
Aplikasi ini untuk semua pasien CKD dengan tanpa hipertensi atau status diabetik.
i. Rekomendasi 9
Tujuan utama dari pengobatan hipertensi adalah untuk mencapai dan
mempertahankan sasaran tekanan darah. Jika sasaran tekanan darah tidak tercapai
dengan beberapa pengobatan, direkomendasikan untuk meningkatkan dosis obat
atau menambah pilihan obat kedua dari satu kelas. Jika sasaran tekanan darah tidak
tercapai dengan 2 obat, tambahkan dan tetapkan obat ketiga. Jangan gunakan ACEI
dan ARB bersamaan pada pasien yang sama. Jika sasaran tekanan darah tidak
tercapai dengan obat dalam rekomendasi 6 karena kontraindikasi atau kebutuhan
lebih dari 3 obat dalam mencapai tekanan darah, obat antihipertensi dari kelas lain
boleh digunakan.
2.7 Komplikasi
Tekanan darah tinggi apabila tidak diobati dan ditanggulangi, maka dalam
jangka panjang akan terjadi komplikasi serius pada organ-organ sebagai berikut,
yaitu:
1) . Jantung
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung dan
penyakit jantung koroner. Pada penderita hipertensi, beban kerja jantung akan
meningkat, otot jantung akan menyesuaikan sehingga terjadi pembesaran jantung
dan semakin lama otot jantung akan mengendor dan berkurang elastisitasnya, yang
disebut dekompensasi. Akibatnya, jantung tidak mampu lagi memompa dan
menampung darah dari paru sehingga banyak cairan tertahan di paru maupun
jaringan tubuh lain yang dapat menyebabkan sesak nafas atau oedema. Kondisi ini
disebut gagal jantung.
2) . Otak
5
Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan risiko stroke. Tekanan
darah tinggi dapat menyebabkan dua jenis stroke, yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Jenis stroke yang paling sering (sekitar 80% kasus) adalah stroke
iskemik. Stroke ini terjadi karena aliran darah di arteri otak terganggu. Otak
menjadi kekurangan oksigen dan nutrisi. Stroke hemoragik (sekitar 20% kasus)
timbul saat pembuluh darah di otak atau di dekat otak pecah. Penyebab utamanya
adalah tekanan darah tinggi yang persisten. Hal ini menyebabkan darah meresap ke
ruang di antara sel-sel otak. Walaupun stroke hemoragik tidak sesering stroke
iskemik, namun komplikasinya dapat menjadi lebih serius.
3) Mata
Tekanan darah tinggi dapat mempersempit atau menyumbat arteri di mata,
sehingga menyebabkan kerusakan pada retina (area pada mata yang sensitif
terhadap cahaya). Keadaan ini disebut penyakit vaskular retina. Penyakit ini dapat
menyebabkan kebutaan dan merupakan indikator awal penyakit jantung.
4) Ginjal
Tekanan darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan sistem
penyaringan di dalam ginjal, akibatnya lambat laun ginjal tidak mampu membuang
zat-zat yang tidak dibutuhkan tubuh yang masuk melalui aliran darah dan terjadi
penumpukan di dalam tubuh

2.8 Hubungan hipertensi Dengan kejadian Cronic Kidney Deseases (CKD)


H i p e r t e n s i d a p a t m e n ye b a b k a n p e n y a k i t g i n j a l . Hipertensi
dalam jangka waktu yang lama dapat mengganggu ginjal. Beratnya pengaruh hipertensi
terhadap ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi.
Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama makin berat komplikasi yang
mungkin ditimbulkan. Hipertensi merupakan penyebab gagal ginjal kronik kedua terbesar setelah
diabetes militus. Adanya peningkatan tekanan darah yang berkepanjangan nantinya akan merusak
pembuluh darah pada daerah di sebagian besar tubuh. Ginjal memiliki jutaan pembuluh darah
kecil dan nefron yang memiliki fungsi untuk menyaring adanya produksi darah. Ketika pembuluh
darah pada ginjal rusak dapat menyebabkan aliran darah akan menghentikan pembuangan limbah
serta cairan ekstra dari tubuh.
Hubungan antara CKD dan hipertensi dapat dijelaskan oleh beberapa faktor.
CKD dapat menyebabkan retensi garam dan volume overload berikutnya. Hal ini
mungkin atau tidak disertai dengan pembengkakan (edema) bersama dengan
peningkatan tekanan darah. Selain itu, gagal ginjal muncul untuk memicu
peningkatan aktivitas dari sistem saraf simpatik, menyebabkan sesuatu seperti
gelombang adrenalin.
Mekanisme hormonal juga memainkan peran penting dalam hubungan
antara CKD dan hipertensi, terutama melalui sistem renin-angiotensin. Hormon ini
bisa dilepaskan sebagai respons terhadap kerusakan kronis dan jaringan parut pada
ginjal, dan dapat memberikan kontribusi untuk hipertensi pasien dengan
merangsang baik retensi garam, serta penyempitan pembuluh darah.
Hormon lain yang dapat meningkatkan tekanan darah dan telah
meningkatkan jumlah dengan CKD memajukan adalah hormon paratiroid (PTH).
PTH ini menimbulkan kalsium dalam darah, yang juga dapat menyebabkan
penyempitan pembuluh darah, mengakibatkan hipertensi.
Sebuah kondisi yang dapat menyebabkan CKD dan hipertensi arteri stenosis
ginjal (penyempitan pembuluh darah yang mendukung ginjal). Ketika penyempitan
menjadi cukup parah, kurangnya aliran darah dapat menyebabkan hilangnya fungsi
ginjal. Jika suplai darah ke kedua ginjal dipengaruhi, atau aliran darah ke ginjal
berfungsi tunggal, seperti setelah penghapusan ginjal akibat kanker, terganggu,
pasien akan mengembangkan CKD. Penurunan aliran darah memicu sistem renin
angiotensin, menyebabkan hipertensi
Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur
pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding
pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada
ginjal, arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis.
Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen
pembuluh darah intrarenal. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan
kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak. Terjadilah
gagal ginjal kronik.
Gagal ginjal kronik sendiri sering menimbulkan hipertensi. Sekitar 90%
hipertensi bergantung pada volume dan berkaitan dengan retensi air dan natrium,
sementara < 10% bergantung pada renin.
Tekanan darah adalah hasil perkalian dari curah jantung dengan tahanan
perifer. Pada gagal ginjal, volum cairan tubuh meningkat sehingga meningkatkan
curah jantung. Keadaan ini meningkatkan tekanan darah. Selain itu, kerusakan
nefron akan memacu sekresi renin yang akan mempengaruhi tahanan perifer
sehingga semakin meningkat.
Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal
akut maupun penyakit ginjal kronik, baik pada kelainan glumerolus maupun pada
kelainan vaskular. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan dalam :
1) P e n ya k i t g l u m e r o l u s a k u t
H i p e r t e n s i t e r j a d i k a r e n a a d a n ya r e t e n s i n a t r i u m ya n g
m e n ye b a b k a n hipervolemik. Retensi natrium terjadi karena adanya peningkatan reabsorbsi
natrium di duktus koligentes. Peningkatan ini dimungkankan abibat adanya retensi
relatif terhadap Hormon Natriuretik Peptida dan peningkatan aktivitas pompa Na –
K – ATPase di duktus koligentes.
2) P e n y a k i t v a s k u l e r
Pada keadaan ini terjadi iskemi yang kemudian merangsang sistem rennin
angiotensin aldosteron.
3) G a g a l g i n j a l k r o n i k
Hipertensi yang terjadi karena adanya retensi natrium, peningkatan system.
4) Renin Angiotensinogen Aldosteron
Akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, aktifitas saraf simpatik
yang meningkat akibat kerusakan ginjal, hiperparatiroidit sekunder, dan pemberian
eritropoetin.
5) P e n ya k i t g l u m e r o l u s k r o n i k Sistem
Renin-Angiotensinogen-Aldoteron (RAA) merupakan satu system
hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalm
naiknya tekanan darah, pangaturan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit. Dengan
terjadinya kegagalan ginjal berpengaruh terhadap nefron-nefron. Sebagian nefron
(termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak
(hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh akan mengalami hipertrofi dan
memproduksi volume filtrasi yang meningkat dan disertai reabsorpsi walaupun
dalam keadaan penurunan GFR / daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada
yang bisa direabsorpsi sehingga berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak maka oliguri
timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada
pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-
kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang
demikian, nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah dari
itu (Barbara C Long, 1996).
Dengan menurunnya fungsi renal, maka produk akhir metabolisme protein
(yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah, sehingga
Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik
setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001).
3 Konsep Dasar Hemodialisa
3.1. Definsi Hemodialisa
Hemodialisis (HD) merupakan prosedur tindakan untuk memisahkan darah
dari zat-zat sisa atau racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui
membran semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke
cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh
sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti
memindahkan. Berikut adalah gambar tentang hemodialisa:

3.2. Tujuan Hemodialisa


Tujuan hemodialisis adalah untuk mengmbil zat-zat nitrogen yang toksik
dari darah dan mengelurkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis, aliran darah
yang penuh dengan toksik dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke
dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke
tubuh pasien.
3.3. Indikasi dan Kotraindikasi Dilakukan Hemodialisa
1) Indikasi
Panduan dari Kidney Disease Outcome Quality Intiative (KDOQI) tahun
2006 merekomendasikan untuk mempertimbangkan manfaat dan risiko memulai
terapi pengganti ginjal (TPG) pada pasien dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus
(LFG) kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2 (PGK tahap 5). Akan tetapi terdapat bukti-
bukti penelitian baru bahwa tidak terdapat perbedaan hasil antara yang memulai
dialisis dini dengan yang terlambat memulai dialisis (early versus late
dialysis).Olehkarena itu pada PGK tahap 5, inisiasi HD dilakukan apabila ada
keadaan sebagai berikut:
a. Hiperkalemia terhadap restriksi diet dan terapi farmakologis.
b. Asidosis metabolik terhadap pemberian terapi bikarbonat.
c. Hiperfosfatemia terhadap restriksi diet dan terapi pengikat fosfat.
d. Anemia terhadap pemberian eritroprotein dan besi.
e. Adanya penurunan kapasitas fungsional tanpa penyebab yang jelas.
f. Gangguan neurologis (seperti neuropati, ensefalopati, gangguan psikiatri),
pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab lain, serta
diathesis hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan.
g. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama disertai gejala mual dan
muntah.
2) Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut untuk dilakukan hemodialisa adalah apabila tidak
didapatkannya akses vaskular.Kontraindikasi relatif adalah apabila ditemukan
adanya kesulitan akses vaskular. Fobia terhadap jarum, gagal jantung, dan
koagulopati. (Setiati dkk, 2014).

3.4. Komponen Hemodialisa

Terdapat lima komponen esensial pada hemodialisa yaitu: Mesin


hemodialisa, dialyzer, dialisat, akses vaskular dan sistem penyaluran darah
(Pusparini, 2000; Setiati dkk, 2014; Callaghan CO, 2007)
1) Mesin hemodialisa. Mesin hemodialisa merupakan mesin yang dibuat dengan
sistem komputerisasi yang berfungsi untuk pengaturan dan monitoring yang
penting untuk mencapai adekuasi hemodialisa.Mesin hemodialisa terdiri dari
pompa darah, sistem penyaluran dialisis, dan berbagai monitor pengaman.
2) Dialyzer. Dialyzer terdiri atas suatu alat plastik dengan fasilitas untuk
mengalirkan darah dan mendialisis kembali. Proses ini berupa pembilasan
berulang kompartemen darah dan dialisat dengan air, pembersihan dengan bahan
kimiawi disertai reverse infiltrationdari kompartemen dialisat ke kompartemen
darah, menguji patensi dialyzer, dan yang terakhir, disinfeksi dialyzer.
3) Dialisat Konsentrasi kalium dalam dialisat mungkin bervariasi dari 0 sampai 4
mmol bergantung pada konsentrasi kalium plasma sebelum dialisis. Konsentrasi
kalsium dialisat dipusat-pusat dialisis AS biasanya adalah 1,25 mmol meskipun
mungkin diperlukan modifikasi pada situasi-situasi tertentu. Konsentrasi
natrium dialisat yang lazim adalah 140 mmol/L. konsentrasi natrium dialisat
yang lebih rendah lebih berkaitan dengan peningkatan frekuensi hipotensi, kram,
mual, muntah, lesu, dan pusing. Pada pasien yang sering mengalami hipotensi,
selama proses dialisis, sering digunakan sodium modelinguntuk mengimbangi
gradient osmolar akibat urea.
4) Akses vaskular. Hemodialisa idealnya membutuhkan dua titik akses ke sirkulasi:
satu untuk mengeluarkan darah dan satu untuk mengembalikannya dari mesin
dialisis kedalam tubuh (Callaghan CO, 2007). Akses vaskular dialisis diperlukan
untuk memperoleh aliran darah yang cukup besar. Akses ini dapat berupa fistula
(arteri-vena) graft maupun kateter intravena yang berfungsi untuk mengalirkan
darah saat hemodialisa. Fistula dibuat dengan melakukan anastomosis arteri ke
vena (misalnya fistula brescia-cimino dimana dibuat anastomosis end ti side dari
vena sefalika dan arteri radialis) sehingga terbentuk suatu arterialisasi dari vena.
Hal ini memungkinkan untuk dilakukannya penusukan jarum yang besar
kedalam sirkulasi sehingga dapat mengalirkan darah sampai lebih dari 300
ml/menit fistula memiliki patensi jangka panjang paling lama diantara semua
pilihan akses dialisis. Di Amerika Serikat bayak pasien dipasang graft
arteriovenosus (yaitu interposisi bahan prostetik, biasanya politetraflouroetilen,
diantara arteri dan vena).
5) Sistem Penyaluran Darah . Sistem penyaluran darah terdiri dari sirkuit
ekstrakorporeal didalam mesin dan akses dialisis.Pompa darah mengalirkan
darah dari tempat akses, melalui dialyzer, dan kembali ke pasien.Kecepatan
aliran darah dapat berkisar dari 250-500 mL/menit, terutama bergantung pada
jenis dan integritas akses vaskular.Tekanan hidrostatik negatif di sisi dialisat
dapat dimanipulasi untuk memperoleh ultrafiltrasi atau pengeluaran cairan
sesuai keinginan.Membran dialisis memiliki berbagai koefisien ultrafiltrasi
sehingga bersama dengan perubahan hidrostatik, pengeluaran cairan dapat
diubah-ubah.Sistem penyalur larutan dialisis mengencerkan dialisat pekat
dengan air dan memantau suhu sifat hantaran, dan aliran dialisat.

3.5.Proses Hemodialisa
HD adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan
selaput membran semipermeabel (dialiser), yang berfungsi sebagai nefron sehingga
dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black, 2005;
Ignatavicius, 2006 dalam Septiwi, 2011).
Sistem HD terdiri dari sistem vaskuler eksternal yang akan dilewati saat
darah pasien di transfer ke dalam sistem pipa polietilena steril menuju ke filter
dialisis/ dialiser menggunakan pompa mekanik. Darah pasien akan ditransfer
menuju sistem vaskuler eksternal tersebut melalui akses vaskuler, yang merupakan
akses permanen ke aliran darah untuk HD (Dipiro et al, 2011).
Akses vaskuler dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu
arteriovenous (AV) fistula, AV graft, dan venous catheters. AV fistula dibuat
dengan cara anastomosis vena dan arteri (idealnya arteri radialis dan vena sefalika
di lengan bawah). AV fistula membutuhkan waktu lebih kurang 1 sampai 2 bulan
sebelum dapat secara rutin digunakan untuk dialisis. Sedangkan AV graft sintetik,
yang merupakan pilihan lain untuk akses AV permanen, biasanya menggunakan
polytetrafluoroethylene (PTFE) sebagai penghubung. Secara umum memerlukan
waktu sekitar 2-3 minggu sebelum dapat digunakan secara rutin. Venous catheters
merupakan akses vaskuler yang sering digunakan pada pada pasien HD kronik.
Venous catheters dapat ditempatkan di vena femoralis, vena subklavia, atau vena
jugularis interna (Dipiro et al, 2011).
Setelah masuk ke dalam sistem vaskuler eksternal, darah pasien akan
diinjeksikan dengan antikoagulan sistemik (heparin) dan kemudian akan melewati
dialiser. Dialiser adalah tempat dimana darah dan cairan dialisis (dialisat), yang
terdiri dari air murni dan elektrolit, bertemu dan terjadi pergerakan molekul antara
dialisat dan darah melalui membran semipermeabel. Terdapat dua mekanisme
pengangkutan zat terlarut melewati membran semipermeabel, yaitu difusi dan
ultrafiltrasi (konveksi) (Daugirdas et al, 2007).
1) Difusi
Proses difusi pada HD berfungsi untuk membuang produk limbah yang
terdapat dalam darah. Akibat perbedaan konsentrasi antara darah dan dialisat akan
menyebabkan produk limbah dalam darah, yang mempunyai konsentrasi tinggi,
bergerak melewati membran menuju dialisat yang mempunyai konsentrasi lebih
rendah. Jika darah dan dialisat dibiarkan dalam kedaan statis satu sama lain melalui
membran, konsentrasi produk limbah dalam dialisat akan menjadi sama dengan
yang di dalam darah, dan pembuangan lebih lanjut dari produk limbah tidak akan
terjadi. Oleh karena itu, selama proses HD, untuk mencegah konsentrasi
kesetimbangan, gradien konsentrasi antara darah dan dialisat harus dimaksimalkan
dengan terus mengisi kompartemen dialisat dengan cairan dialisis segar dan
mengganti darah dialisis dengan darah yang belum terdialisis. Biasanya arah aliran
dialisat dipompa ke dialiser berlawanan dengan arah aliran darah, hal ini berguna
untuk memaksimalkan perbedaan konsentrasi antara produk limbah dengan dialisat
(Daugirdas et al, 2007).
Proses difusi merupakan proses berpindahnya suatu zat terlarut yang
disebabkan karena adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut dalam darah dan
dialisat. Perpindahan molekul terjadi dari zat yang berkonsentrasi tinggi ke yang
berkonsentrasi lebih rendah. Pada HD pergerakan molekul/zat ini melalui suatu
membrane semi permeable yang membatasi kompartemen darah dan kompartemen
dialisat. Proses difusi dipengaruhi oleh:
a. Perbedaan konsentrasi
b. Berat molekul (makin kecil BM suatu zat, makin cepat zat itu keluar).
c. OB (blood pump)
d. Luas permukaan membrane
e. Temperature cairan
f. Proses konvektik
g. Tahanan/resistensi membrane
h. Besar dan banyaknya pori pada membrane
i. Ketebalan/permeabilitas dari membrane.
Factor-faktor diatas menentukan kliners dialiser. Klirens suatu dialyzer
adalah kemampuan dialyzer untuk mengeluarkan zat-zat yaitu jumlah atau
banyaknya darah yang dapat dibersihkan dari suatu zat secara komplit oleh suatu
dialyzer yang dinyatakan dalam ml/mnt.
2) Proses Osmosis
Berpindahnya air karena tenaga kimiawi yang terjadi karena adanya
perbedaan tekanan osmotic (osmolalitas) darah dan dialisat. Proses osmosis ini
lebih banyak ditemukan pada peritoneal dialysis.
3) Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi selama HD diperlukan untuk mengeluarkan akumulasi air, baik
yang berasal dari konsumsi cairan maupun metabolisme makanan selama periode
interdialitik. Ultrafiltrasi terjadi ketika air didorong oleh tekanan hidrostatik
ataupun tekanan osmotik melalui membran. Air akan terbawa bersama dengan zat
terlarut yang melalui pori-pori membran (Daugirdas et al, 2007).
Setelah terjadi proses HD di dalam dialiser, maka darah akan dikembalikan
ke tubuh pasien. Sedangkan dialisat yang telah berisi produk limbah yang tertarik
dari darah pasien akan dibuang oleh mesin dialisis dengan cairan pembuang yang
disebut ultrafiltrat. Semakin banyak zat toksik atau cairan tubuh yang dikeluarkan
maka bersihan ureum yang dicapai selama HD akan semakin optimal (Depkes,
1999; Brunner & Suddarth, 2001; Black, 2005 dalam Septiwi, 2011).
Pada proses HD, darah pasien dipompakan ke dializer dengan kecepatan
300-600 ml/menit. Sedangkan dialisat dipompakan dengan kecepatan 500-1000
ml/menit. Laju pemindahan cairan dari pasien dikontrol dengan cara menyesuaikan
tekanan dalam kompartemen dialisat (Dipiro et al, 2011).
Gambar 1. Prinsip Kerja HD (Dipiro et al, 2011)
Proses ultrafiltrasi adalah berpindahnya zat pelarut (air) melalui membrane
semi permeable akibat perbedaan tekanan hidrostatik pada kompartemen darah dan
kompartemen dialisat. Tekanan hidrostatik/ultrafiltrasi adalah yang memaksa air
keluar dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat. Besar tekanan ini
ditentukan oleh tekanan positif dalam kompartemen darah (positif pressure) dan
tekanan negative dalam kompartemen dialisat (negative pressure) yang disebut
TMP (trans membrane pressure) dalam mmHg. Perpindahan dan kecepatan
berpindahnya dipengaruhi oleh:
a. TMP
b. Luas permukaan membrane
c. Koefisien ultra filtrasi (KUF)
d. Qd dan QB
e. Perbedaan tekanan osmotic.

3.6. Dosis Hemodialisa


Sampai tahun 1970-an para dokter spesialis dalam bidang ginjal
menentukan dosis hemodialisa atas dasar pertimbangan klinis saja, bahkan lebih
memperhatikan pengeluaran air dibandingkan usaha untuk mengeluarkan sisa
metabolisme. Efisiensi dialisis ditentukan oleh laju aliran darah dan dialisat melalui
dialyzer yang sesuai dengan karakteristik dialyzer.
Panduan hemodialisa dari Inggris menyatakan hemodialisa minimal adalah
3 kali seminggu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hemodialisa yang
semakin sering lebih efektif dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas (Setiati
dkk, 2014).

3.7.Manfaat Hemodialisa
Sebagai terapi pengganti ginjal, hemodialisa mempunyai manfaat
(Jamenson dkk, 2013):
1) Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
2) Membuang kelebihan air.
3) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
4) Memperbaiki status kesehatan penderita.
5) Membuang urea, kreatinin, dan asam urat.

3.8.Efek Samping Hemodialisa


Efek samping dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada saat
dilakukan terapi adalah (Sudoyo dkk, 2009; Widyastuti dkk, 2014; Jamenson dkk,
2013)
1) Hipotensi. Hipotensi disebabkan oleh ultrafiltrasi dengan jumlah besar disertai
mekanisme kompensasi pengisian vaskular yang tidak adekuat, gangguan respon
vasoaktif atau otonom, osmolar shift, pemberian antihipertensi yang berlebihan
dan menurunnya kemampuan pompa jantung.
2) Kram otot. Kram otot disebakan oleh gangguan perfusi otot karena pengambilan
cairan yang agresif dan pemakaian dialisat rendah sodium. Beberapa strategi
yang dipakai untuk mencegah kram otot adalah mengurangi jumlah volume
cairan yang diambil saat hemodialisa, melakukan profiling ultrafiltrasi, dan
pemakaian dialisat yang mengandung kadar natrium tinggi atau modeling
natrium.
3) Mual dan Muntah. Mual dan muntah pada pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa disebabkan oleh penurunan kadar asam amino dan
ketidakseimbangan cairan. Kedua hal tersebut akan menyebabkan pasien
mengalami penurunan nafsu makan dan asupan nutrisi akan berkurang.
Kurangnya asupan nutrisi khususnya protein akan berdampak langsung dengan
proses sintesa IgA. Hal ini akan mempengaruhi kualitas saliva sebagai alat
mekanisme pertahanan rongga mulut sehingga memudahkan bakteri untuk
berkolonisasi dan terjadinya penyakit periodontal.
4) Reaksi hipersensitif. Reaksi hipersensitif terhadap dialyzer, terutama pada
pemakaian pertama, sering dilaporkan terjadi pada membran biokompatibel
yang mengandung selulosa. Reaksi terhadap dialyzer dapat dibagi menjadi dua
tipe, yaitu A dan B. pada reaksi tipe A terjadi reaksi hipersensitivitas
intermediate yang diperantarai ole IgE terhadap etilen oksida yag dipakai untuk
sterilisasi dialyzer yang baru. Reaksi tipe B terdiri atas kumpulan gejala dari
nyeri dada dan punggung yang tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh
aktivasi komplemen dan pelepasan sitokin.

3.9. Adekuasi Hemodialisa


Menurut Konsensus Pernefri (2003) untuk mencapai adekuasi HD
diperlukan dosis 10-12 jam perminggu yang dapat dicapai dengan frekuensi HD 2
kali/minggu dengan lama waktu 5 jam atau 3 kali/minggu dengan lama waktu 4
jam. Dalam penelitian ini, dikatakan pasien HD reguler adalah sesuai dengan
pengertian diatas, yaitu pasien yang menjalani HD minimal 2 kali/minggu dengan
lama waktu 5 jam.

3.10. Penatalaksanaan Pasien Yang Menjalani Hemodialisis Jangka Panjang


1) Diet dan asupan cairan.
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginajal yang rusak tidak mampu
mengekresikan produk akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini akan
menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin yang di
kenal dengan gejala uremik.
2) Pertimbangan medikasi.
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal.
Pasien yang memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk
memastikan agar kadar obat-oabatan dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.

3.11. Komplikasi Hemodialisa


1) Hipertensi dapat terjadi selama terapi dialisis disebabkan kelebihan cairan,
syndrome diseqilibrium, dan respon renin terhadap ultrafiltrasi
2) Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan.
3) Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika
udara memasuki sistem vaskuler pasien.
4) Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh.
5) Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
6) Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral
dan muncul sebagai serangan kejang.
7) Kram otot yang nyeri terjadi ketikacairan dan elektrolit dengan cepat
meningglkan ruang ekstrasel.
8) Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
4. Konsep Asuhan Keperawatan
4.1. Pengkajian
a. Keluhan
Klien dengan hemodialisis biasanya mengeluhkan: Lemas, pusing, gatal, baal-
baal, bengkak-bengkak, sesak, kram, BAK tidak lancar, mual, muntah, tidak
nafsu makan, susah tidur, berdebar, mencret, susah BAB, penglihatan tidak
jelas, sakit kepala, nyeri dada, nyeri punggung, susah berkonsentrasi, kulit
kering, pandangan gelap, nyeri otot, nyeri pada penusukkan jarum, rembes
pada akses darah, keringat dingin, batuk berdahak/tidak.
b. Riwayat Kesehatan Saat Ini
Riwayat Pengembangan Keluhan Utama dengan perangkat PQRST dan
pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Menanyakan adanya riwayat infeksi saluran kemih, infeksi organ lain, riwayat
kencing batu/obstruksi, riwayat konsumsi obat-obatan, jamu, riwayat trauma
ginjal, riwayat penyakit endokrin, riwayat penyakit kardiovaskuler, riwayat
darah tinggi, riwayat kehamilan, riwayat dehidrasi, riwayat trauma.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Menanyakan riwayat polikistik, diabetes, hipertensi, riwayat penyakit ginjal
yang lain. Cantumkan genogram min. tiga generasi.
e. Pemeriksaan Fisik
Aktivitas istirahat/tidur
o Lelah,, lemah atau malaise
o Insomnia
o Tonus otot menurun
o ROM berkurang
Sirkulasi
o Palpitasi, angina, nyeri dada
o Hipertensi, distensi vena jugularis
o Disritmia
o Pallor
o Hipotensi/hipertensi, nadi lemah/halus
o Edema periorbital-pretibial
o Anemia
o Hiperlipidemia
o Hiperparatiroid
o Trombositopeni
o Pericarditis
o Aterosklerosis
o CHF
o LVH
Eliminasi
o Poliuri pada awal gangguan ginjal, olguri dan anuri pada fase lanjut
o Disuri, kaji warna urin
o Riwayat batu pada saluran kencing
o Ascites, meteorismus, diare, konstipasi

Nutrisi/cairan
o Edema, peningkatan BB
o Dehidrasi, penurunan BB
o Mual, muntah, anorexia, nyeri ulu hati
o Efek pemberian diuretic
o Turgor kulit
o Stomatitis, perdarahan gusi
o Lemak subkutan menurun
o Distensi abdomen
o Rasa haus
o Gastritis ulserasi
Neurosensor
o Sakit kepala, penglihatan kabur
o Letih, insomnia
o Kram otot, kejang, pegal-pegal
o Iritasi kulit
o Kesemutan, baal-baal
Nyeri/kenyamanan
o Sakit kepala, pusing
o Nyeri dada, nyeri punggung
o Gatal, pruritus,
o Kram, kejang, kesemutan, mati rasa
Oksigenasi
o Pernapasan kusmaul
o Napas pendek-cepat
o Ronchi
Keamanan
o Reaksi transfuse
o Demam (sepsis-dehidrasi)
o Infeksi berulang
o Penurunan daya tahan
o Uremia
o Asidosis metabolic
o Kejang-kejang
o Fraktur tulang
Seksual
o Penurunan libido
o Haid (-), amenore
o Gangguan fungsi ereksi
o Produksi testoteron dan sperma menurun
o Infertile
f. Pengkajian Psikososial
o Integritaqs ego
o Interaksi social
o Tingkat pengetahuan tentang penyakit dan penatalaksanaannya
o Stress emosional
o Konsep diri
g. Laboratorium
o Urine lengkap
o Darah lengkap meliputi: Hb,Hct, L, Trombosit, LED, Ureum pre dan post,
kreatinin pre dan post, protein total, albumin, globulin, SGOT-SGPT,
bilirubin, gama gt, alkali fosfatase, kalsium, fosfor, kalium, natrium,
klorida, gula darah, SI, TIBC, saturasi transferin, feritin serum, pth, vit D,
kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, asam urat, Hbs Ag, antiHCV, anti
HIV, CRP, astrup:pH/P02/pC02/HCO3
o Biasanya dapat ditemukan adanya: anemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemi, ureumikum, kreatinin meningkat, pH darah rendah, GD klien
DM menurun
h. Radiologi
o Ronsen, Usg, Echo: kemungkinan ditemukan adanya gambaran pembesaran
jantung, adanya batu saluran kencing/ginjal, ukuran korteks, gambaran
keadaan ginjal, adanya pembesaran ukuran ginjal, vaskularisasi ginjal.
o Sidik nuklir dapat menentukan GFR
i. EKG
o Dapat dilihat adanya pembesaran jantung, gangguan irama, hiperkalemi,
hipoksia miokard.
j. Biopsi
o Mendeteksi adanya keganasan pada jaringan ginjal
4.2. Diagnosa Keperawatan
1) Pre Dialisa
a. Resiko tinggi terhadap penurunan curah jantung b.d. peningkatan
afterload, vasokontriksi, iskemia miokardia, hipertrofi d.d. tidak dapat
diterapkan adanya tanda-tanda dan gejala yang menetapkan diagnosis
actual.
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan GFR.
c. Ketidakseimbangan pola nafas b.d edema paru, asites, anemia, keletihan,
penurunan suplai O2 ke jaringan
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia,
mual dan muntah
e. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia
f. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d penurunan Hb, penurunan
suplai O2 ke jaringan
g. Ansietas b.d kurangnya pengetahuan, perubahan status kesehatan saat ini
h. Gangguan pertukaran gas b.d edema paru, penurunan Hb
i. Defisit Pengetahuan b.d kurangnya pajanan informasi tentang hemodialisa
j. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b.d penurunan Hb, penurunan
suplai O2 ke jaringan
2) Intra Dialisa
a. Resiko cedera b.d akses Vaskuler dan komplikasi sekunder terhadap
penususkan dan pemeliharaan akses vaskuler
b. Resiko ketidalstabilan kadar glukosa darah b.d managemen medikal tidak
adekuat
c. Nyeri akut b.d tindakan invasive pada akses vaskuler
d. Resiko tinggi terhadap kehilangan akses vaskuler berhubungan dengan
perdarahan karena lepas sambungan secara tidak sengaja
e. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan ultrafiltrasi
3) Post Dialisa
a. Resiko infeksi b.d prosedur invasif berulang
b. Resiko syok b.d hipotensi, ultrafiltrasi, dialysis disequilibrium syndrome
c. Resiko perdarahan b.d tindakan invasive pada akses vaskuler, penggunaan
dosis heparin yang berlebihan.
4.3 Intervensi
Pre Dialisis
No
Tujuan dan Kreteria Hasil Intervensi Rasional
Dx
1. Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau TD, ukur pada kedua tangan, 1. Perbandingan dari tekanan memberi
keperawatan selama ..x jam, curah gunakan manset dan tehnik yang tepat gambaran yang lebih lengkap tentang
jantung adekuat dengan kriteria hasil: 2. Catat keberadaan, kualitas denyutan keterlibatan masalah vaskuler.
1. Tekanan darah dalam batas sentral dan perifer 2. Mencerminkan efek dari
normal 3. Auskultasi tonus jantung dan bunyi vasokontraksi (peningkatan SVR 0
2. Nadi dalam batas normal napas dan kongesti vena)
4. Amati warna kulit, kelembaban, suhu 3. Dapat mengidentifikasi kongesti paru
dan masa pengisian kapiler sekunder terhadap terjadinya gagal
5. Catat edema umum jantung kronik.
6. Berikan lingkungan tenang, nyaman, 4. Adanya pucat, dingin, kulit lembab
kurangi aktivitas. dan masa pengisian kapiler lambat
7. Pertahankan pembatasan aktivitas mungkin keterkaitan dengan
seperti istirahat ditemapt tidur/kursi vasokonrtiksi atau mencerminkan
8. Bantu melakukan aktivitas perawatan penurunan curah jantung.
diri sesuai kebutuhan 5. Dapat mengidentifikasi gagal jantung,
kerusakan ginjal, atau vaskuler.
9. Lakukan tindakan yang nyaman spt 6. Membantu menurunkan rangsang
pijatan punggung dan leher simpatis meningkatkan relaksasi.
10. Anjurkan tehnik relaksasi, panduan 7. Menurunakn stress dan ketegangan
imajinasi, aktivitas pengalihan yang mempengaruhi TD dan
11. Pantau respon terhadap obat untuk perjalanan penyakit hipertensi.
mengontrol tekanan darah 8. Dapat menurunkan rangsangan yang
12. Berikan pembatasan cairan dan diit menimbulkan stress, membuat efek
natrium sesuai indikasi tenang sehingga tak menurunkan TD.
13. Kolaborasi untuk pemberian obat- 9. Karena efek samping oabat tersebut
obatan sesuai indikasi penting untuk menggunakan obat
dalam jumlah sedikit dan dosis paling
rendah.
2. Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji penyebab nafas tidak efektif 1. Untuk menentukan tindakan yang
keperawatan selama HD pola nafas 2. Kaji respirasi klien harus segera dilakukan
klien menjadi efektif dengan kreteria 3. Berikan posisi semi fowler 2. Mennentukan tindakan
hasil: 4. Berikan O2 3. Melapangkan dada klien sehingga
1. RR dalam rentang normal 5. Evaluasi kondisi klien ada HD nafas lebih longgar
2. Tidak terdapat sesak berikutnya 4. Hb rendah, edema paru, penumonitis,
3. Tidak terdapat penggunaan otot asidosis, perikarditis menyebabkan
bantu nafas suplai O2 ke jaringan berkurang
5. Mengukur keberhasilan intervensi
3. Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji status cairan : timbang BB pre dan 1. Pengkajian merupakan dasar untuk
keperawatan, kesimbangan cairan post HD, intake dan Output, turgor kulit memperoleh data
tercapai dengan kreteria hasil : dan edema, distensi, vena monitor vital 2. Pembatasan cairan akan menentukan
1. Tidak terdapat edema sign dry weight, haluaran urine dan respon
2. Batasi masukan cairan terhadap terapi
3. Lakukan HD dengan UF dan TMP 3. UF dan TMP yang sesuai akan
sesuai dengan kenaikan BB interdialisis menurunkan kelebihan volume cairan
4. Identifikasi sumber masukan cairan sesuai dengan BB target/dry weight
interdialisis 4. Sumber kelebihan cairan dapat
5. Jelaskan pada keluarga dan klien diketahui
rasional pembatasan cairan 5. Pemahaman keluarga dapat
6. Motivasi klien untuk meningkatkan meningkatkan kerjasama klien dan
kebersihan mulut keluarga untuk membatasi cairan
6. Kelebihan mulut mengurangi
kekeringan mulut, sehingga
menurunkan keinginan klien untuk
minum
4. Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji status nutrisi : perubahan BB, nilai 1. Sebagai dasar untuk memantau
keperawatan klien tidak mengalami laboratorium perubahan dan interensi yang sesuai
ketidakseimbangan nutrisi dengan 2. Kaji pola diet’kaji faktor yang berperan 2. Pola diet dulu fan sekarang berguba
kreteria hasil : dalam merubah masukan nutrisi untuk menentukan menu
1. Tidak terjadi penambahan atau 3. Kaji faktor yang berperan dalam 3. Memberikan informasi, faktor mana
penurunan BB yang cepat merubah masukan nutrisi yang bisa dimodifikasi
2. Turgor kulit norml tanpa edema 4. Kolaborasi pemberian infus albumin 1 4. Dapat meningkatkan albumin serum
3. Kadar albumin plasma normal jam terakhir HD 5. Protein lengkap akan meningkatkan
4. Konsumsi diet nilai protein 5. Tingkatkan masukan protein dengan keseimbangan nitrogen
tinggi nilai biologis tinggi : telur, daging, 6. Dapat meningkatkan pemahaman
produk susu klien sehingga mudah menerima
6. Jelaskan rasional pembatasan diet masukan
7. Anjurkan timbang BB tiap Hari 7. Untuk menentukan status cairam dan
8. Kaji adanya masukan protein yang tidak nutrisi
adekuat 8. Penurunan protein dapat menurunkan
9. Kolaborasi menentukan tindakan HD 4- albumin, pembentukan edema dan
5 jam 2-3 minggu perlambatan penyembuhan
9. Tindakan HD yang adekuat dapat
menurunkan mual-muntah dan
anoreksia sehingga dapat
meningkatkan nafsu makan
5. Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji faktor yang dapat menimbulkan 1. Menyediakan informasi tentang
keperawatan, klien mampu keletihan: anemia, ketidakseimbangan indikasi tingkat keletihan
berpartisipasi dalam aktivitas yang cairam dan elektrolit, retensi poduk 2. Meningkatkan aktivitas
dapat itileransi dengan kteria : sampah, depresi ringan/sedang dan memperbaiki harga
1. Berpartisipasi dalam aktivitas 2. Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas diri
perawatan mandiri yang dipilih perawatan diri yang dapat ditoleransi, 3. Mendorong latihan dan aktivitas yang
2. Berpartisipasi dalam bantu jika keletihan terjadi dapat ditoleransi dan istirahat yang
meningkatkan aktivitas dan 3. Anjurkan aktivitas alternatif sambil adekuat
latihan, istirahat dan aktivitas istirahat 4. Istirahat yang adekuat dianjurkan
seimbang/bergantian 4. Anjurkan untuk istirahat setelah dialisis setelah dialisi, karena adanya
perubahan keseimbangan cairan dan
elektrolit yang cepat pada proses
dialisis sangat melelahkan

Intra Dialisis
No.Dx Tujuan dan Kreteria Hasil Intervensi Rasional
1. Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kepatenan AV shunt sebelum HD 1. AV yang sudah tidak baik bila
keperawatan, pasien tidak mengalami 2. Monitor kepatenan kateter sedikitnya dipaksakan bisa terjadi rupture
cidera dengan kreteria hasil : sekitar 2 jam vaskuler
1. Kulit pada sekitar AV shunt 3. Kaji warna kulit, keutuhan kulit, sensasi 2. Posisikan kateter yang berubah dapat
utuh/tidak rusak sekitar shunt terjadi rupture vaskuler/emboli
2. Pasien tiak mengalami 4. Monitor TD setelah HD 3. Kerusakan jariangan dapat didahului
komplikasi HD 5. Lakukan heparinisasi pada shunt kateter tanda kelemahan pada kulit, lecet,
pasca HD bengkak dan penurunan sensasi
6. Cegah terjadinya infeksi pada area shunt 4. Posisikan baring lama setelah HD
penusukan kateter dapat menyebabkan orthostatik
hipotemsi
5. Shunt dapat mengalami sumbatan dan
dapat dihilangkan dengan heparin
6. Infeksi dapat mempermudahkan
kerusakan jaringan
2. Setelah dilakukan tindakan 1. Pertahankan area steril selama 1. Mikroorganisme dapat dicegah masuk
keperawatan, pasien tidak mengalami penusukan kateter ke dalam tubuh saat insersi kateter
infeksi dengan kreteria hasil : 2. Pertahankan teknik steril selama 2. Kuman tidak masuk ke dalam area
1. Tidak ada kemerahan sekitar kontak dengan akses vaskuler : insersi
shunt penusukan dan pelepasam kateter 3. Inflamasi/infeksi ditandai dengan
2. Area shunt tidak nyeri/ 3. Monitor area akses HD terhadap kemerahan, nyeri dan bengkak
bengkak kemerahan, bengkak dan nyeri 4. Gizi yang baik dapat meningkatkan
daya tahan tubuh
4. Beri penjelasan pada pasien 5. Pasien HD mengalami sakit sehingga
pentingnya meningkatkan status dapat menurunkan status imunitas
gizi
5. Kolaborasi pemberian antibiotik

Post Dialisis
No
Tujuan dan Kreteria Hasil Intervensi Rasional
Dx
1 Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tanda dan gejala hipoglikemia 1. sebagai data dasar untuk menentukan
keperawatan pasien tidak menglami 2. monitor kadar glukosa darah pasien intervensi selanjutnya
cidera dengan kteria hasil : 3. berikan karbohidrat sederhana, misalnya 2. sebagai evaluasi keberhasilan
1. Kadar glukosa darah pasien menganjurkan pasien minum minuman intervensi
dalam rentang normal manis 3. karbohidrat sederhana seperti
4. berikan cairan IV dextrose minuman manis dapat meningkatkan
kadar glukosa darah secara cepat
sebesar 15-20 g/Dl
4. Pemberian IV dextrose meningkatkan
kadar glukosa darah pasien apabila
pasien tidak mampu makan atau
terjadi penurunan kesadaran.
4.4 Implementasi dan Evaluasi

Setelah melakukan pengkajian, penyusunan diagnosa keperawatan, dan


perencanaan intervensi, kita melakukan implementasi dengan mengaplikasikan
intervensi yang sudah disusun. Setiap tindakan yang dilakukan didokumentasikan
dengan respon dari klien
Hasil respon dari klien menjadi bahan evaluasi untuk dikaji ulang apakah
tujuan sudah tercapai atau masih perlu modifikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2


Jakarta : EGC
Corwin, E.J. 2001. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000. Alih bahasa: Kariasa,I.M.
Nursing care plans: Guidelines for planning and documenting patients care.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
GInting, Ananda Wibawanta. 2010. Hipotensi IntraDialisis. Medan: Divisi
Nefrologi Hipertensi Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK USU / RSUP H. Adam
Malik / RSU. Dr. Pirngadi Medan.
Long, B.C. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process approach.
Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku asli
diterbitkan tahun 1989)
Mansjoer, Arif dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2006. Pathophysiology:
Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Alih bahasa : Setyono, J. 2001. Medical –
surgical nursing. Jakarta: Salemba Medika.
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2005. Brunner & Suddarth Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI;

Anda mungkin juga menyukai