Anda di halaman 1dari 35

Teknik Pemboran AERASI

(Lumpur+ Udara)

TUJUAN


 Pendahuluan

 Pengertian Lumpur Aerasi

 Komponen Lumpur Aerasi
 Udara

 Lumpur Biasa


 Kelebihan dan Kekurangan Lumpur Aerasi

 Distribusi Gelombang dalam Lumpur Aerasi
 Lumpur Aerasi ketika Bersirkulasi

 Lumpur Aerasi dalam Keadaan Tidak Bersirkulasi

 Pengaruh Tekanan Permukaan terhadap Distribusi Gelembung


 Pola ALiran Dua Fasa

 Sifat-Sifat Lumpur Aerasi
 Densitas

 Viskositas

 Gel Strength


 Kapasitas Pengangkatan Cutting

 Volume Udara Injeksi

 Metoda Poettmann & Begman

 Metoda White

 Metoda PV = konstan

 Metoda PV/T = konstan

 Metoda Pembuatan Lumpur Aerasi

 Peralatan Pemboran

 Prosedur Pemboran

 Operator

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 1


1. Pendahuluan
Pemboran aerasi adalah pemboran yang menggunakan lumpur aerasi sebagai fluida
pemboran. Pemboran aerasi merupakan salah satu metoda pemboran underbalanced
dengan tujuan utama mencegah masalah hilang sirkulasi. Metoda ini pertama kali dilakukan
oleh Philip Petroleum Company pada tahun 1953 di Emory County, Utah8).

2 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


2. Pengertian Lumpur Aerasi
Lumpur aerasi adalah lumpur pemboran yang terdiri dari dua fasa yaitu lumpur biasa
sebagai fasa kontinu dan udara sebagai fasa diskontinu. Penambahan udara ke dalam
lumpur akan memperbesar volume cairan sehingga densitas lumpur aerasi lebih kecil dari
lumpur biasa.
Penurunan densitas tergantung dari perbandingan udara dan cairan dalam lumpur
aerasi, semakin besar volume udara maka densitas lumpur aerasi makin rendah. Menurut
Zhou11), densitas lumpur aerasi berkisar 0,45 - 1,2 gr/cc atau 28,1 - 74,9 pcf.
Lumpur aerasi digunakan pada pemboran di daerah yang mempunyai masalah hilang
sirkulasi. Lumpur aerasi lebih diharapkan sebagai pencegah terjadinya hilang sirkulasi untuk
menekan biaya pemboran daripada sebagai penanggulangan masalah tersebut.
Penanggulangan hilang sirkulasi lebih mudah pelaksanaannya dengan menggunakan LCM,
blind drilling, dan cement plug.

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 3


3. Komponen Lumpur Aerasi
Komponen lumpur aerasi terdiri dari dua bagian utama yaitu udara dan lumpur biasa.
Dalam lumpur aerasi, kedua komponen ini bercampur dengan perbandingan tertentu
sehingga lumpur aerasi mempunyai sifat-sifat turunan dari kedua komponen tersebut.

3.1. Udara
Udara di alam terbentuk dari campuran gas-gas dengan komposisi tertentu,
yaitu 78% nitrogen, 21% oksigen, dan 1% gas-gas lain seperti argon, neon, dan lain-lain.
Karena udara tersedia di bumi dalam jumlah banyak, maka biaya penyediaan udara
sangat murah. Udara juga tidak beracun sehingga setelah digunakan sebagai campuran
lumpur aerasi dapat dibuang langsung ke alam tanpa merusak lingkungan.
Keuntungan menggunakan udara sebagai fluida sirkulasi dalam pemboran
antara lain:
 meningkatkan laju penetrasi karena udara mengurangi tekanan hidrostatis
pada formasi yang sedang dibor, sehingga batuan lebih mudah terlepas
untuk menyeimbangkan perbedaan tekanan. Laju penetrasi di kebanyakan
formasi dapat meningkat 100% dibandingkan menggunakan fluida
pemboran yang lain.
 tidak menyebabkan kerusakan formasi, karena udara memiliki berat yang
sangat ringan dibandingkan fluida pemboran lain.
 fluida formasi dapat diketahui seketika karena udara membentuk sistem
underbalanced di depan formasi sehingga fluida formasi masuk ke dalam
sumur.
 udara dapat digunakan untuk pemboran formasi batuan kering atau
formasi batuan basah. Penginjeksian udara ke dalam lumpur bertujuan
mengimbangi tekanan formasi sehingga tidak terjadi masalah hilang
sirkulasi atau masalah kick.
Udara merupakan fluida kompresibel yang volumenya dipengaruhi tekanan dan
temperatur. Karena densitas lumpur aerasi dipengaruhi oleh volume udara maka
densitas lumpur aerasi berbeda disetiap kedalaman.

3.2. Lumpur Biasa


Lumpur biasa digunakan dalam pemboran overbalanced, dimana komponen
utamanya adalah air (water-base mud), atau minyak (oil-base mud). Komponen lain
adalah aditif yang membentuk sifat-sifat lumpur seperti densitas, viskositas, gel strength,
dan lain-lain.
Kebanyakan pemboran menggunakan air sebagai bahan dasar utama lumpur,
karena lebih mudah diperoleh dan murah dibandingkan dengan minyak. Lumpur
berbahan dasar minyak, khusus dipakai untuk membatasi pengembangan shale.
Pada beberapa daerah operasi pemboran, terdapat formasi-formasi bertekanan
rendah, memiliki permeabilitas tinggi, atau rekahan dan patahan, dimana lumpur biasa
tidak efisien digunakan sebagai fluida pemboran. Ketidakefisienan lumpur biasa karena
tekanan hidrostatis yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hilang sirkulasi. Udara
merupakan fluida yang memiliki densitas jauh lebih ringan dari air, dan ditinjau dari segi

4 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


biaya, penggunaan udara sangat ekonomis. Tapi karena formasi yang hendak ditembus
memiliki fluida formasi yang banyak, maka penerapan udara sebagai fluida pemboran
hanya pada daerah-daerah tertentu.
Minyak memiliki densitas lebih rendah dari air, sehingga bisa digunakan
sebagai komponen utama lumpur menggantikan air. Karena dalam pemboran
memerlukan jumlah lumpur yang banyak maka dari segi biaya pemboran,
penggunaan minyak tidak ekonomis.
Lumpur aerasi merupakan pilihan terbaik pada daerah-daerah yang
memiliki masalah hilang sirkulasi. Lumpur aerasi terdiri dari lumpur pemboran
biasa ditambah penginjeksian udara kedalamnya. Ditinjau dari segi biaya, lumpur
aerasi menghemat biaya karena tidak membutuhkan pembuatan lumpur baru
menggantikan lumpur pemboran yang sedang dipakai, dan hanya membutuhkan
beberapa peralatan tambahan untuk proses penginjeksian udara.

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 5


4. Kelebihan dan Kekurangan Lumpur Aerasi
Lumpur aerasi mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan fluida pemboran
yang lain seperti udara, gas, busa, atau cairan (lumpur biasa).
Setelah bersirkulasi sebagai lumpur pemboran, lumpur aerasi melalui
separator udara-lumpur untuk proses pemisahan udara dan lumpur biasa. Kemudian
lumpur aerasi dibersihkan dari cutting, dan lumpur aerasi kembali menjadi lumpur
biasa. Lumpur biasa akan membentuk kembali menjadi lumpur aerasi dengan
menginjeksikan udara. Kelebihan ini tidak dimiliki oleh pemboran busa yang
menggunakan busa sebagai fluida pemboran, dimana setelah bersirkulasi busa tidak
bisa digunakan lagi.
Lumpur aerasi dapat digunakan untuk pemboran di formasi-formasi
bertekanan rendah dimana masalah hilang sirkulasi terjadi jika menggunakan lumpur
biasa walau hanya menggunakan air ditambah viscosifier. Lumpur aerasi juga dapat
digunakan pada formasi yang mengandung fluida formasi yang banyak dimana
pemboran air/gas tidak dapat berfungsi dengan efisien.
Kemampuan udara/gas dalam meningkatkan laju penetrasi pada pemboran
air/gas juga dimiliki oleh lumpur aerasi dibandingkan laju penetrasi pada pemboran
konvensional yang menggunakan lumpur biasa.
Kemudahan dan kecepatan menembus suatu formasi ketika pemboran
merupakan fungsi dari tekanan hidrostatis terhadap formasi seperti ditunjukkan
Gambar 1. Fenomena ini ditunjukkan oleh Murray dan Cunningham 8).
Kerusakan formasi produktif lebih kecil jika tekanan hidrostatis sirkulasi lumpur lebih
besar sedikit daripada tekanan formasi. Jadi lumpur aerasi dapat berfungsi sebagai fluida
pemboran pada pemboran overbalanced atau pemboran underbalanced, hanya dengan
mengatur perbandingan udara dan lumpur biasa.

 Gambar 1. Hubungan Laju Penetrasi dan Tekanan Hidrostatis8)


Ukuran cutting yang diperoleh dari pemboran dengan menggunakan lumpur aerasi
hampir sama dengan ukuran cutting dari pemboran yang menggunakan lumpur biasa,
dibandingkan ukuran cutting pemboran air/gas yang berbentuk serbuk. Ukuran cutting ini
memudahkan untuk dianalisa dan dijadikan petunjuk formasi yang sedang ditembus.

6 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


Pemboran aerasi tidak menyebabkan terjadinya pembesaran lubang (washout)
dibandingkan dengan pemboran yang menggunakan lumpur biasa. Hambatan pada dinding
lubang sumur akan diperkecil dengan adanya udara dalam lumpur aerasi.
Masalah korosi yang terjadi pada pemboran lumpur aerasi merupakan masalah
korosi paling besar dalam pemboran underbalanced, karena adanya udara dan cairan dalam
lumpur aerasi.
Dengan penanganan yang memadai seperti pemilihan dan penggunaan air,
pengaturan pH > 8, dan penggunaan korosi inhibitor maka masalah korosi dapat
dikurangi, sehingga pemboran dengan menggunakan lumpur aerasi dapat dijadikan
alternatif pemilihan teknik pemboran yang baik.
Masalah keselamatan juga perlu menjadi perhatian karena penggunaan udara
yang mengandung oksigen jika bertemu dengan hidrokarbon dan panas yang cukup
akan mengakibatkan bahaya kebakaran dan ledakan, walaupun masalah ini lebih
kecil daripada pemboran udara/gas karena adanya lumpur biasa.
Pemboran aerasi membutuhkan peralatan tambahan seperti kompresor
penginjeksi udara, penyekat drillstring, pipa udara, dan separator udara-lumpur.
Tetapi biaya pengadaan peralatan tambahan ini bisa ditekan karena penggunaan
udara dan ketersediannya di alam, membuat lumpur aerasi lebih ekonomis
dibandingkan jika penggunaan gas-gas pada pemboran udara/gas.
Pemboran aerasi tidak menjamin proses penyemenan biasa berjalan lancar
tanpa terjadi hilang semen. Hal ini karena lumpur aerasi tidak membentuk penyekat
pada zona loss. Penggunaan Lost Circulating Material (LCM), penyemenan dengan
foam cement, dan mengatur densitas lumpur aerasi agar lebih tinggi dari tekanan
formasi tanpa menyebabkan hilang sirkulasi akan mengatasi masalah ini.

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 7


5. Distribusi Gelembung dalam Lumpur Aerasi
Penginjeksian udara kedalam lumpur akan membentuk distribusi gelembung udara
yang berukuran makin kecil jika berada semakin dalam karena pengaruh tekanan dan
temperatur.
Distribusi gelembung dalam lumpur aerasi terbagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Ketika lumpur aerasi bersirkulasi
2. Ketika lumpur aerasi tidak bersirkulasi

5.1. Lumpur Aerasi ketika Bersirkulasi


a. Di dalam drillstring.
Distribusi gelembung dalam drillstring terjadi ketika udara pertama kali
diinjeksikan ke dalam lumpur di permukaan hingga ke dasar sumur.
Gelembung udara cenderung bergerak ke atas karena densitas yang lebih kecil
daripada densitas lumpur. Kecepatan slip gelembung udara dalam pipa adalah
selisih kecepatan lumpur menuju ke dasar sumur terhadap kecepatan
gelembung untuk bergerak ke permukaan. Perubahan tekanan dan temperatur
yang semakin tinggi ke arah bawah, menyebabkan volume gelembung akan
semakin kecil, sehingga kecepatan slip masing-masing gelembung akan
berbeda. Kecepatan slip harus lebih besar dari nol pada gelembung berukuran
paling besar, sehingga gelembung akan mengikuti aliran lumpur ke bawah.
b. Di anulus
Ketika lumpur aerasi keluar dari bit, terjadi penurunan tekanan yang besar
sehingga menimbulkan efek pengembangan gelembung udara yang
terkompresi. Setelah mengembang, gelembung udara akan terkompresi
kembali menjadi gelembung udara berukuran kecil dan bergerak ke permukaan
bersama dengan aliran lumpur dan cutting.
Gelembung udara bergerak menuju ke permukaan bersama dengan aliran
lumpur sehingga kecepatan gelembung bergerak ke atas merupakan penjumlahan dari
kecepatan slip gelembung terhadap aliran lumpur dan kecepatan aliran lumpur.
Kecepatan gelembung ini akan makin besar bila ukuran gelembung makin besar. Jika
pola aliran slug terbentuk, maka kecepatan gelembung udara akan makin besar dan
memberikan efek piston terhadap lumpur di atasnya sehingga dapat membahayakan
keselamatan disamping terbatasnya kemampuan BOP dalam menahan tekanan dari
dasar sumur.
Cutting bergerak ke bawah dengan kecepatan terminalnya melawan arus
pergerakan gelembung udara dan aliran lumpur. Kecepatan aliran lumpur aerasi harus
lebih besar dari kecepatan slip dan terminal cutting.

5.2. Lumpur Aerasi dalam Keadaan Tidak Bersirkulasi


a. Di dalam drillstring
Lumpur tidak bersirkulasi ketika pemboran sedang melakukan penyambu-ngan
atau pelepasan drillstring (proses tripping). Gelembung udara yang berdensitas
ringan cenderung bergerak ke atas dan menimbulkan pergerakan permukaan
lumpur ke bawah sementara gelembung udara terus keluar dari lumpur.

8 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


Keluarnya gelembung udara dari lumpur tidak diinginkan, karena menyebabkan
densitas lumpur di bagian bawah makin berat dan tekanan udara yang besar
dari gelembung yang keluar dapat membahayakan proses tripping tersebut.
Hal-hal yang harus diperhatikan untuk mengurangi bahaya adalah dengan
memompakan lumpur biasa saja (tanpa injeksi udara) hingga minimal
mencapai satu joint atau mencapai check valve. Tujuan pemasukan lumpur
biasa adalah untuk memberikan tekanan terhadap lumpur sehingga gelembung
akan bergerak lambat ketika menuju permukaan.
b. Dianulus
Berhentinya sirkulasi lumpur aerasi dapat menyebabkan cutting turun ke dasar
sumur. Kecepatan cutting untuk turun (kecepatan terminal) diperkecil karena
sifat gel strength dari lumpur dan gerakan gelembung udara ke permukaan
yang menabrak cutting.

5.3. Pengaruh Tekanan Permukaan terhadap Distribusi Gelembung


Distribusi gelembung dan pola aliran dalam drillstring berbeda daripada di
anulus seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.
Perbedaan distribusi gelembung dan pola aliran tersebut disebabkan:
 Perbedaan arah aliran di dalam drillstring dan anulus
 Perbedaan tekanan di permukaan, dimana tekanan di dalam drillstring
dipengaruhi tekanan lumpur sedangkan tekanan di permukaan anulus
(blooie line) dipengaruhi tekanan udara.
 Adanya cutting dalam aliran lumpur di anulus yang mempe-ngaruhi
densitas lumpur aerasi.


Gambar 2. Pengaruh Tekanan terhadap Distribusi Gelembung Udara14)

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 9


Perhitungan parameter-parameter di anulus tergantung pada hasil perhitu-ngan
parameter-parameter di dalam drillstring. Di dalam drillstring, perhitu-ngan dilakukan
dengan menggunakan metoda White15) untuk mengetahui densitas lumpur aerasi di
setiap kedalaman. Tekanan hidrostatis dalam drillstring di setiap kedalaman, volume
udara, dan temperatur dapat diketahui. Perhitungan di anulus, menggunakan data-data
dari dalam drillstring dan dengan menggunakan hubungan PV/T = konstan, dapat
diketahui densitas lumpur aerasi dan pola aliran di anulus.

10 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


6. Pola Aliran Dua Fasa
Aliran lumpur aerasi ketika bersirkulasi terbagi menjadi dua bagian, yaitu di dalam
drillstring dan di dalam anulus. Pola aliran dua fasa terjadi di dalam drillstring sedangkan di
anulus akan terbentuk aliran tiga fasa, karena adanya cutting yang ikut mengalir bersama
lumpur aerasi.
Karena konsentrasi cutting dalam lumpur aerasi sangat kecil (kurang dari 4%) maka
pola aliran dua fasa dapat juga berlaku di dalam anulus.
Ada empat pola aliran dua fasa, yaitu :
1. Pola aliran Bubble, dimana perbandingan gas dan cairan rendah dan gradien
tekanan alir mula-mula adalah tekanan statis ditambah hambatan cairan. Besar
hambatan tergantung pada kecepatan. Pada pola ini, densitas lumpur sudah
berkurang, namun sifat-sifat cairan masih mendominasi. Pola aliran bubble
adalah pola aliran yang diinginkan. Ciri-ciri pola aliran bubble adalah distribusi
gelembung merata untuk kedalaman yang sama, aliran lumpur ketika keluar dari
anulus tidak terputus-putus (kontinu), densitas lumpur aerasi yang keluar lebih
rendah dari yang masuk.
2. Pola aliran Slug, berlaku untuk kecepatan cairan kurang dari 79 ft/min dan
kecepatan gas lebih cepat sehingga gelembung bergabung dan membentuk
pola aliran slug yang berukuran mendekati diameter pipa. Kecepatan cairan tidak
konstan, kerena slug selalu bergerak ke atas; pada kecepatan tinggi cairan ikut
bergerak ke atas, tetapi pada kecepatan rendah, cairan bergerak ke bawah. Ciri
pola aliran slug antara lain: distribusi gelembung pada pola aliran ini tidak
merata, aliran lumpur yang keluar dari anulus terputus-putus dan menyebar.
Karena terjadi pemisahan antara udara dan lumpur pada pola aliran ini, maka
densitas lumpur yang keluar dari anulus lebih besar diban-dingkan jika pola
aliran lumpur adalah bubble.
3. Pola aliran Transisi Slug-Anular, ketika kecepatan alir udara makin cepat, maka
pola aliran slug akan pecah dan membentuk pola aliran transisi slug-anular. Pada
pola aliran slug dan transisi slug-anular, hambatan dinding pipa diabaikan.
Volume udara yang terkandung dalam slug atau transisi slug-anular jauh lebih
besar dari pada volume udara pada gelembung, hal ini akan mempertinggi
kecepatan gelembung untuk bergerak ke atas sehingga terjadi perbedaan
densitas lumpur aerasi pada bagian slug atau transisi slug-anular dan bagian
bawah slug. Pada pipa vertikal, makin dalam terbentuknya pola aliran slug atau
transisi slug-anular, maka kecepatan slip makin tinggi, dan mendorong lumpur di
atasnya sehingga tekanan lumpur di permukaan akan lebih tinggi. Hal ini dapat
membahayakan operasi pemboran.
4. Pola aliran Mist, jika aliran cairan masih kurang dari 79 ft/min, tetapi kecepatan
aliran udara lebih dari 2953 ft/min, maka pola aliran slug akan berubah menjadi
pola aliran mist. Pada pola aliran ini, fasa gas akan menjadi fasa kontinu dan
cairan akan berbentuk butiran halus (droplet) dan menempel di dinding
membentuk film, pada pola aliran ini hambatan dinding merupakan faktor
terbesar penyebab kehilangan tekanan.
5. Kecepatan gelembung berukuran kecil untuk bergerak ke atas lebih kecil
daripada gelembung yang berukuran lebih besar. Berdasarkan persamaan

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 11


Stoke15) di bawah ini dapat diketahui hubungan diameter gelembung (dianggap
berbentuk bola) dan kecepatan slip gelembung terhadap cairan dalam keadaan
statis (tidak bersirkulasi).

138x( a  m) xdb2


Vslip  ....................................................................................................(1)
m
dimana :
vslip = kecepatan slip (ft/s)
a = densitas udara (ppg)
m = densitas lumpur (ppg)
db = diameter gelembung (ft)
m = viskositas lumpur (cp)
Harga vslip akan negatif yang menunjukkan gelembung bergerak menuju ke atas.
Ketika bersirkulasi harus diperhitungkan juga kecepatan aliran lumpur dan pe-ngaruh dari
putaran drillstring.

 Gambar 3. Pola Aliran Dua Fasa dalam Pipa Vertikal21)

Untuk mengetahui pola aliran yang terjadi dalam pipa, dapat menggunakan bilangan
Froude sebagai berikut :
2
 Qa Qm 
 
 Aa 
Fr  ............................................................................................................................(2)
gc . d av
dimana :
Fr = bilangan Froude (tak berdimensi)
Aa = luas anulus (sq ft)
gc = percepatan gravitasi = 32,174 ft/sec2 = 115826,4 ft/min2

12 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


dav = diameter rata-rata = (D1 + D2)/2 , ft
Perbandingan laju aliran udara di dalam lumpur aerasi diketahui dengan persamaan :
Qa
Xa  ..................................................................................................................................(3)
Qa  Qm
Bilangan Froude dan fraksi udara kemudian diplotkan pada Gambar 4. di bawah ini
untuk mengetahui pola alirannya.

 Gambar 4. Chart Froude Untuk Pola Aliran Dua Fasa dalam


Pipa Vertikal 22)

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 13


7. Sifat-sifat Lumpur Aerasi
Pada dasarnya penginjeksian udara ke dalam lumpur tidak mengubah sifat-sifat kimia
dari lumpur, tetapi hanya sifat fisika. Setelah bersirkulasi, lumpur aerasi kembali menjadi
lumpur biasa. Sifat-sifat fisika yang perlu dibahas antara lain : densitas, viskositas, dan gel
strength.

7.1. Densitas
Densitas lumpur aerasi tergantung dari densitas lumpur awal, volume lumpur,
densitas udara, volume udara, tekanan, dan temperatur. Densitas terendah dicapai ketika
lumpur aerasi terbentuk pertama kali di permukaan, ketika bersirkulasi ke bawah,
densitas lumpur akan semakin besar. Hal ini disebabkan distribusi gelembung yang tidak
merata dalam lumpur aerasi. Karena gelembung udara berdensitas lebih kecil dari
densitas lumpur, maka gelembung cenderung bergerak ke atas.
Berdasarkan persamaan White15) jika Qa, Qm, dan densitas lumpur awal tetap,
maka terdapat hubungan antara densitas lumpur aerasi terhadap kedalaman, seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.

 Gambar 5. Perubahan Densitas Lumpur Aerasi terhadap Kedalaman 51)


Udara merupakan fluida kompresibel, sedangkan lumpur merupakan fluida yang
inkompresibel. Kompresibilitas berhubungan dengan perubahan tekanan dan volume
seperti yang ditunjukkan persamaan kompresibilitas di bawah ini21) :
1 dV
cx   x ...................................................................................................... (5)
V dP
Ketika lumpur aerasi bergerak ke bawah, tekanan sirkulasi lumpur aerasi akan
semakin besar, sehingga ukuran gelembung akan mengecil. Ukuran gelembung yang
mengecil dalam lumpur aerasi menyebabkan volume lumpur akan bertambah besar
dibandingkan volume udara yang semakin kecil, sehingga densitas lumpur aerasi akan
semakin besar bila tekanan dinaikkan.
Setelah melewati bit, lumpur aerasi mengalir melalui anulus dengan densitas
lumpur aerasi yang lebih besar karena adanya cutting dalam lumpur. Penurunan tekanan

14 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


sirkulasi lumpur aerasi ketika menuju permukaan menyebabkan gelembung udara
berekspansi memperbesar volume lumpur aerasi sehingga densitas lumpur aerasi akan
turun kembali dan setelah melalui separator udara-lumpur dan peralatan pembersih
cutting, densitas lumpur akan kembali seperti semula (densitas lumpur biasa).

7.2. Viskositas
Viskositas lumpur aerasi didefinisikan sebagai ketahanan lumpur aerasi terhadap
aliran, dengan menggunakan satuan centipoise. Adanya gelembung udara dalam
lumpur mempengaruhi viskositas lumpur aerasi. Hal ini karena gelembung udara akan
memperkecil gesekan. Besarnya perubahan viskositas ini tergantung pada fraksi udara
dalam lumpur aerasi. Asumsi yang digunakan adalah viskositas udara dan lumpur biasa
bersifat konstan.
Karena fraksi udara aliran lumpur aerasi berbeda-beda tergantung ke
dalamannya, maka viskositas lumpur aerasi memiliki sifat yang sama dengan sifat
densitas lumpur aerasi, dimana semakin dalam letak satu bagian lumpur aerasi, maka
viskositas lumpur akan semakin mendekati viskositas lumpur biasa, dan viskositas
terkecil terjadi ketika lumpur aerasi berada di permukaan.
f  X udara x udara  (1  X udara ) x lumpurbiasa ....................................................... (5)
dimana :
f = viskositas lumpur aerasi (cp)
Xudara = fraksi udara dalam lumpur aerasi
 udara = viskositas udara (cp)
 lumpur biasa= viskositas lumpur awal (cp)
Viskositas berpengaruh terhadap kecepatan slip lumpur untuk mengangkat
cutting ke permukaan, seperti yang ditunjukkan persamaan Stoke (1). Makin besar
viskositas maka kecepatan slip makin kecil sehingga cutting lebih mudah terbawa aliran
lumpur ke permukaan.
Karena viskositas lumpur aerasi makin kecil ketika mengalir ke permukaan, dan
berpengaruh terhadap kemampuan lumpur membawa cutting, maka viskositas lumpur
awal perlu menjadi perhatian dalam pemboran aerasi ini.

7.3. Gel Strength


Sifat gel strength lumpur adalah suatu kemampuan lumpur untuk tetap menahan
cutting ketika sirkulasi dihentikan. Kestabilan gelembung dan kecepatan lumpur aerasi
membentuk gel, tergantung pada gel strength lumpur awal. Gel strength lumpur aerasi
tidak mengalami perubahan berarti dibandingkan gel strength lumpur awal, karena
ketika berhenti sirkulasi dan gelembung bergerak ke atas, maka komponen lumpur awal
lebih mendominasi sifat-sifat gel strength lumpur aerasi ini.

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 15


8. Kapasitas Pengangkatan Cutting
Kapasitas pengangkatan cutting tergantung dari laju alir fasa cair/lumpur. Penurunan
jumlah cairan dalam aliran lumpur akan meningkatkan kecepatan slip cairan terhadap aliran
udara. Karena cairan merupakan media pembawa cutting, penurunan laju injeksi cairan akan
berpengaruh pada kemampuan pengangkatan cutting oleh lumpur aerasi.
Ketika bersirkulasi aliran lumpur di anulus berfungsi membawa cutting,
sehingga diperlukan perhitungan kecepatan minimum yang diperlukan untuk
membawa cutting ke permukaan. Kecepatan slip adalah kecepatan cutting melawan
aliran lumpur ke arah dasar sumur.
Perhitungan kecepatan slip dapat menggunakan persamaan Rittenger12)
dimana drag koefisien diasumsikan = 0,94 , yaitu :
Dc ( c  f )
Vs  7.3 x ................................................................................................................(6)
f
dimana :
Vs = kecepatan slip (ft/s)
Dc = ekivalen diameter cutting (ft)
c = densitas cutting (pcf)
f = densitas lumpur campuran (pcf).

Selain persamaan Rittenger di atas, kecepatan slip bisa dihitung berdasarkan


persamaan Stoke (1), dengan kondisi ekstrim dan memperhitungkan pengaruh viskositas
lumpur pemboran.
Ukuran maksimum cutting dapat diketahui dari laju penetrasi (ft/jam), dan kecepatan
putaran (RPM), sehingga 10):
ROPP
Dc  .................................................................................................................................(7)
RPMX 60
Kecepatan cutting tergantung pada laju penetrasi dan konsentrasi cutting dalam
lumpur, seperti yang ditunjukkan persamaan di bawah ini 10):
ROP
vt  ....................................................................................................................................(8)
Ccx3600
dimana :
vt = laju untuk membawa cutting (ft/s)
ROP = laju penetrasi pemboran (ft/jam)
Cc = konsentrasi cutting (%)
Kecepatan lumpur di anulus merupakan kecepatan fluida 3 fasa dan dapat dihitung
denan menggunakan persamaan 10):
M
vf  .......................................................................................................................................(9)
FxAa

16 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


Qm
Qa   Qc
vf  7.48 ......................................................................................................................(10)
Aa
dimana :
vf = kecepatan lumpur (ft/s)
M = laju alir massa lumpur (lb/s)
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
Qc = laju volume cutting (cfpm)
Aa = luas anulus (ft2).
Cutting akan terbawa ke permukaan, jika kecepatan lumpur di anulus lebih besar dari
kecepatan slip ditambah kecepatan cutting atau vf > vs + vt. Kecepatan aliran lumpur di
anulus ini harus pula didukung dengan viskositas lumpur yang tinggi. Dengan meningkatnya
viskositas lumpur maka efek pembersihan lubang sumur dapat lebih baik. Menurut
Williams18), rotasi drillstring dapat memperbesar efek pembersihan cutting.
Kecepatan lumpur di anulus harus dibatasi agar tidak membentuk pola aliran
turbulen. Aliran turbulen di anulus dapat mengikis mud-cake pada dinding sumur yang
belum diberi casing. Pencegahan aliran turbulen dapat diindikasikan dengan bilangan
Reynolds dengan tidak lebih dari 2000. Batas ini dijadikan pegangan untuk menentukan
kecepatan maksimum aliran lumpur di anulus yang disebut kecepatan kritik18).
8000 xf
Vca  ..............................................................................................................(12)
fxx(dh 2  dp 2 )
dimana :
vca = kecepatan kritik (ft/s)
mf = viskositas lumpur (cp)
dh = diameter lubang (ft)
dp = diameter luar drillpipe (ft)

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 17


9. Volume Udara Injeksi
Penentuan volume udara yang harus diinjeksikan sangat penting dalam keberhasilan
pelaksanaan pemboran aerasi, dimana jika terlalu sedikit maka densitas lumpur aerasi tidak
serendah yang diharapkan, dan masalah hilang sirkulasi tidak dapat dicegah. Jika volume
udara terlalu banyak, maka densitas dan viskositas lumpur aerasi akan terlalu rendah,
disamping dapat membahayakan peralatan permukaan, juga dapat merusak dinding sumur
karena aliran yang terjadi makin cepat.
Makin besar volume udara, maka lumpur aerasi akan kehilangan kapasitas
pengangkatan cutting, karena viskositas lumpur akan makin kecil dan kecepatan slip cutting
terhadap aliran lumpur makin besar.
Metoda yang digunakan untuk menentukan jumlah udara yang diinjeksikan, antara
lain :
1. Metoda Poettmann & Begman
2. Metoda White
3. Metoda PV = konstan
4. Metoda PV/T = konstan

9.1. Metoda Poettmann & Begman


Penentuan jumlah udara yang diinjeksikan berdasarkan kedalaman sumur,
densitas lumpur sebelum dijadikan lumpur aerasi, dan selisih dari densitas lumpur aerasi
dan densitas lumpur biasa. Metoda ini menggunakan grafik yang dibuat oleh Poettmann
dan Begman, dan sudah umum digunakan dalam pemboran aerasi. Menurut Rovig17),
hasil perhitungan dari grafik Poetmann & Begman ini harus dikurangi 10 - 15% ketika
diterapkan di lapangan. Kelemahan grafik ini adalah tidak ada grafik untuk kedalaman
dibawah 3000 ft, sehingga tidak cocok diterapkan di lapangan Duri.
Cara menggunakan grafik Poettmann & Begman :
1. Tentukan kedalaman pemboran dalam satuan feet pada skala bagian bawah
2. Tentukan densitas lumpur aerasi yang diinginkan (Wd)
3. Tentukan selisih densitas lumpur biasa dan densitas lumpur aerasi (Wa - Wd)
4. Tentukan jumlah udara yang dibutuhkan kubik kaki perbarel lumpur pada
skala bagian atas.

18 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


 Gambar 6. Grafik Poettmann & Begman17)

9.2. Metoda White


Tekanan dasar sumur atau tekanan di depan zona loss harus diturunkan dengan
menginjeksikan udara dalam jumlah tertentu. R.J. White15) telah membuat suatu
hubungan kedalaman (H, ft), densitas lumpur mula-mula (ri, pcf), dan densitas lumpur di
kedalaman tersebut (rf, pcf). Persamaan itu adalah:
n
4.72 x10  4 x( i  f )  2,30 x log( 4.72 x10  4.h.f  1) ..................... (12)
100  n
n adalah fraksi udara dalam lumpur, dari fraksi ini dapat diketahui volume
udara yang harus diinjeksikan dalam volume lumpur tertentu.
n Qm
Qa  x .............................................................................................. (13)
100  n 7.48
Dimana:
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
Persamaan (12) digabungkan dengan persamaan (13) sehingga persamaan White
menjadi:

6.31x10 5.H .( i   pf )
Qa  xQm
(2.30.lo (4.72 x10 4.h.f  1) ........................................................... (14)
Volume udara yang diinjeksikan akan menurunkan densitas lumpur, tetapi
jumlah yang diinjeksikan harus memperhatikan kemampuan aliran lumpur di anulus
untuk membawa cutting. Jika laju aliran lumpur lebih besar dari dari kecepatan kritik
akan membuat aliran turbulen dalam anulus, sementara jika lebih kecil dari kecepatan
slip dan kecepatan cutting, maka cutting tidak terbawa ke permukaan dan mengendap
di dasar sumur.

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 19


9.3. Metoda PV = konstan
Karena menggunakan gas (udara) untuk membentuk lumpur aerasi dan gas
adalah fluida kompresibel, maka hukum-hukum gas dapat digunakan untuk
menentukan jumlah udara yang diinjeksikan. Metoda ini dibahas oleh Fatah14).
Hukum gas ideal :
PxV  ZxRxT ........................................................................................................ (15)
Dimana :
P = tekanan (psia)
V = volume (cuft)
Z = faktor kompresibilitas (untuk udara Z = 1)
R = konstanta gas = 10,732 psia.cuft/lb-mole.o
RT = temperatur (oR), yang diasumsikan berharga tetap
untuk sumur dangkal.
Persamaan diatas dapat ditulis menjadi :
PxV  Kons tan .................................................................................................... (16)
Konstanta ditentukan dari harga tekanan dan volume udara di permukaan, dan
digunakan untuk memperhitungkan distribusi tekanan, volume, densitas udara, dan
densitas lumpur aerasi di setiap kedalaman sumur.
mxVm  axVa
f  ......................................................................................... (17)
Vm  Va
dimana :
f = densitas lumpur aerasi (pcf)
m = densitas lumpur biasa (pcf)
Vm = volume lumpur biasa (cuft)
a = densitas udara (pcf)
Va = volume udara (cuft).
Dari densitas lumpur aerasi ini, dapat ditentukan gradien perubahan densitas,
sehingga bisa diketahui tekanan hidrostatik pada kedalaman tertentu, seperti
ditunjukkan pada persamaan:
 f (i  1) 
Pf i   Pf (i  1)    Di  Di  1 ................................................. (18)
 144 
dimana :
Di = kedalaman i (feet).
Volume udara pada kedalaman i ditentukan berdasarkan sifat persamaan (15)
yang berharga konstan.
Psurf  Vsurf
Vai  ............................................................................................ (19)
Pf (i)
Laju alir massa udara ditentukan berdasarkan persamaan berikut :
Wa ( surf )  a( surf ) xQa( surf ) ........................................................................ (20)

20 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


dimana :
Wa(surf) = laju alir massa udara di permukaan (lb/min)
ra(surf) = densitas udara di permukaan (pcf)
Qa(surf) = laju alir volume udara di permukaan (scfm).
Laju alir ini bersifat konstan dan berlaku dalam penentuan densitas udara di
setiap kedalaman.
Kecepatan lumpur aerasi di anulus ditentukan berdasarkan persamaan berikut.

 Qm 
   Qa
Vta   7.48 
................................................................................................ (21)
Aa
dimana :
vfa = kecepatan lumpur aerasi di anulus (ft/min)
Qm = laju alir lumpur biasa (gpm)
Qa = laju alir udara (cuft)
Aa = luas anulus (sqft).

9.4. Metoda PV/T = konstan


Metoda ini tidak jauh berbeda dengan metoda PV = konstan, hanya terdapat
perbedaan variabel temperatur yang dianggap tidak konstan untuk setiap kedalaman.
Persamaan (15) dapat ditulis menjadi :
PxT
= konstan ..................................................................................................... (22)
T
Konstanta ditentukan dari harga tekanan, volume, dan temperatur udara di
permukaan, dan digunakan untuk memperhitungkan distribusi tekanan, volume,
temperatur, densitas udara, dan densitas lumpur aerasi di setiap kedalaman sumur.
Dari densitas lumpur aerasi ini, dapat ditentukan gradien perubahan densitas,
sehingga bisa diketahui tekanan hidrostatik pada kedalaman tertentu, seperti
ditunjukkan pada persamaan (18).
Ketika sumur di bor makin dalam, maka terjadi perubahan tekanan dan
temperatur untuk setiap kedalaman. Pada metoda ini diasumsikan gradien perubahan
temperatur (GT) bersifat tetap dalam satuan oF/100 ft.
Ti  Ti  1  GT xDi ................................................................................................ (23)
Volume udara pada kedalaman i ditentukan berdasarkan sifat persamaan (22)
yang berharga konstan.
PsurfxVsurfxTf (i)
Va(i)  ................................................................................. (24)
P(i) xTsurf
Kecepatan lumpur aerasi di anulus ditentukan berdasarkan persamaan (21).

Metoda penentuan volume injeksi yang biasa dilakukan di dunia internasional


adalah metoda Poettmann & Begman, tetapi karena keterbatasan metoda ini untuk
Lapangan Duri (dengan kedalaman reservoir kurang dari 3000 ft), maka metoda White

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 21


digunakan untuk penentuan volume udara injeksi yang dibutuhkan pada pemboran
aerasi di Lapangan Duri ini.
Perbedaan volume udara injeksi yang dibutuhkan, berdasarkan keempat metoda
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah udara yang dibutuhkan diperoleh dari data-
data berikut :
Qm = 350 GPM ;
ri = 8,6 ppg = 64,3 pcf;
rf = 8,09 ppg = 60,5 pcf;
D = 8500 ft.

 Tabel 1. Perbandingan Metoda Penentuan Volume Udara Injeksi

Perbedaan dari Metode


Metoda Qa(SCFM)
Poetman & Begman
Poetman & Begman 107.9 0%
White 130.44 20.90%
PV = konstan 688.8 519.80%
PV/T = konstan 546 406%

Menurut Rovig17), ketika melakukan pemboran aerasi, lebih baik kekurangan


jumlah udara daripada kelebihan udara yang diinjeksikan, untuk menjaga agar tekanan
hidrostatis tidak terlalu rendah sehingga terlalu banyak fluida formasi yang masuk dan
dinding sumur lebih mudah runtuh.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas dan pendapat Rovig, maka metoda White
lebih baik digunakan daripada metoda PV = konstan atau PV/T = konstan. Penerapan
metoda White dapat dilakukan di Lapangan Duri dimana formasi produktif terletak pada
kedalaman kurang dari 1000 ft.

22 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


10. Metoda Pembuatan Lumpur Aerasi
Pembuatan lumpur aerasi terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan cara menginjeksikan
udara kedalam lumpur, yaitu :
1. Penginjeksian melalui standpipe Metoda yang paling umum dilakukan pada
pemboran aerasi yaitu dengan menginjeksikan udara melalui standpipe.

Gambar 7. Penginjeksian Udara Melalui Standpipe13)

2. Faktor pembatas metoda ini adalah kemampuan memampatkan udara pada


peralatan permukaan dimana tekanan injeksi operasional terbatas pada tekanan
1250 psi. Tekanan injeksi ini dapat mencapai kedalaman sumur bor 8000 - 9000
ft. Dibawah tekanan operasional ini, tekanan injeksi pada standpipe akan terlalu
tinggi untuk diatasi tekanan udara dari kompresor.
3. Penginjeksian melalui parasite string Parasite string adalah pipa tambahan yang
menempel pada casing intermediate dan berfungsi menginjeksikan udara
kedalam anulus diantara casing dan drillpipe.

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 23


 Gambar 8. Penginjeksian Udara Melalui Parasite String13)

Penentuan kedalaman titik injeksi parasite string berdasarkan antisipasi


penurunan tekanan maksimum untuk mencegah terjadinya hilang sirkulasi.
Total penurunan tekanan adalah fungsi dari kedalaman tubing, perbandingan
udara dan lumpur, dan densitas lumpur.
4. Penginjeksian melalui jet subsMetoda penginjeksian melalui jet subs merupakan
kombinasi dua cara penginjeksian di atas. Penginjeksian dilakukan melalui
beberapa jet sub pada drillstring. Penempatan jet sub berdasarkan perbedaan
densitas lumpur dan kedalaman sumur total dan pada posisi drillstring masih
berada di dalam casing intermediate. Menempatkan jet sub ketika drillstring
berada di anulus terbuka (tanpa casing) akan menyebabkan wash out.

24 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


 Gambar 9. Penginjeksian Udara Melalui Jet Subs17)
Untuk sumur yang dalam (10000 feet atau lebih) memerlukan dua atau lebih subs,
tergantung berapa tekanan dasar sumur yang diinginkan.

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 25


11. Peralatan Pemboran
Sebagai fluida pemboran, lumpur aerasi berbeda dengan lumpur biasa. Peralatan-
peralatan yang digunakan pada pemboran aerasi hampir sama dengan peralatan pada
pemboran konvensional. Penambahan peralatan terutama pada proses penginjeksian udara
dan penanganan lumpur aerasi setelah bersirkulasi, seperti kompresor udara bertekanan
tinggi, rotating head, dan separator udara-lumpur.
Peralatan tambahan tersebut antara lain :
a. Kompresor Udara
Volume udara yang dikeluarkan kompresor dapat diketahui dengan menggunakan
persamaan Moss, S.A.16):
axCxP1
W  0.5303x ......................................................................................................................(15)
T1

dimana :
W = laju alir massa (lb/sec)
a = luas orifice (sq. in.)
C = konstanta aliran
P1 = tekanan total upstream (lbs/sq. in.)
T1 = temperatur upstream (oR)
untuk orifice berbentuk bulat C = 0,95 sedangkan jika berbentuk sudut tajam (sharp
edge) C = 0,65 . P1 = tekanan alat ukur (psig) + 14,7 psia. Harga W dikonversi
menjadi satuan cu. ft per menit dengan menggunakan densitas udara kering pada
kondisi standar (14,7 psi dan 70oF) = 0,07494 lbs/cu. ft. Sehingga keluaran dari
kompresor adalah :
axCxP1
Qak  424.58 x
T1 .................................................................................................................(16)
Volume udara yang dihasilkan kompresor berdasarkan batas keluaran pada kondisi
ideal di permukaan laut, sehingga volume udara yang keluar dari kompresor perlu
dikoreksi karena adanya efek dari temperatur, tekanan, dan kelembaban udara.
Tekanan, temperatur dan kelembaban udara di lapangan tergantung pada
ketinggian tempat dari permukaan laut, dan iklim. Ketika menghitung volume udara
maksimum yang dihasilkan kompresor, tekanan, temperatur, dan kelembaban udara
ditentukan pada harga maksimum yang ada di lapangan.
Penentuan koreksi :
1. Koreksi tekanan, Pkor = (Pudara - 0,1) : 14,7 psia ..........................................................(17)
tekanan udara di lapangan dapat diketahui dengan menggunakan barometer.
2. Koreksi temperatur,
Tkor = (460o + 60o) : (460o + Tudara, oF) ..........................................................................(18)
3. Koreksi kelembaban,
Kkor = (Pudara - Kudara x 0, 5068) / Pudara .(19)

26 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


sehingga laju volume maksimum yang bisa dihasilkan kompresor adalah :
Qak max  Qak  Pkor  TkorKkor ..........................................................................................(20)
b. Booster
Berfungsi sebagai penguat aliran udara yang dikeluarkan oleh kompresor, sehingga
tekanan udara yang terkompres mampu memasuki aliran lumpur. Bila volume udara
dari kompresor sebesar 650 scfm dan tekanan 250 psi, maka booster dapat
memperbesar tekanan menjadi 1000 psi dengan volume udara 650 scfm.
c. Pipa Saluran Udara
Udara dari kompresor disalurkan ke standpipe melalui sebuah pipa yang berukuran
cukup besar (biasanya 2") untuk mengurangi masalah friksi. Pada pipa ini terdapat
cek valve untuk mencegah aliran balik udara dan lumpur ke kompresor. Pipa ini juga
harus mempunyai pressure gauge untuk mengetahui tekanan udara yang masuk,
dan mempunyai release valve untuk mengeluarkan udara yang termampatkan
ketika proses penyambungan pipa sedang dilakukan. Manifold juga harus ada
sehingga pompa lumpur dapat digunakan terus jika udara dari kompresor tidak
digunakan.

 Gambar 10. Posisi Pipa Saluran Udara di Standpipe7)


d. Rotating Head
Dipasang di atas BOP. Berfungsi menyekat anulus dan melindungi seluruh
komponen yang berputar di drillstring kecuali bit dan reamer yang berukuran besar.
Lumpur keluar dari anulus, langsung menuju separator udara-lumpur melalui blooie
line.

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 27


 Gambar 11. Rotating Head7)
e. Blooie Line
Blooie line adalah pipa yang terletak di bawah rotating head berfungsi menyalurkan
lumpur aerasi yang keluar dari anulus menuju separator udara-lumpur atau
langsung menuju kolam lumpur jika lumpur aerasi yang keluar tidak dibutuhkan
lagi. Panjang blooie line harus cukup jauh dari sumur, mencegah bahaya kebakaran
yang disebabkan kandungan hidrokarbon dalam lumpur.
f. Separator Udara-Lumpur
Berfungsi memisahkan udara dan lumpur dari lumpur aerasi yang keluar dari anulus.
Peralatan ini menggunakan prinsip gaya sentrifugal yang memisahkan udara dan
lumpur berdasarkan perbedaan densitas. Setelah lumpur bebas dari udara, lumpur
mengalir ke shale shaker untuk memisahkan cutting, dan selanjutnya ke tangki
lumpur.

 Gambar 6.25. Separator Udara-Lumpur14)

28 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


g. Unit Aerasi
Unit aerasi adalah kendaraan yang mengangkut peralatan tambahan seperti
kompresor dan booster, sehingga peralatan ini dapat dipindah-pindahkan dengan
cepat.

 Gambar 13. Skema Unit Aerasi 23)

 Gambar 14. Skema Pemboran Aerasi 17)

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 29


12. Prosedur Pemboran
Prosedur pemboran dengan menggunakan lumpur aerasi berbeda sedikit dari
pemboran biasa. Perbedaan tersebut antara lain adanya sambungan pipa udara pada stand
pipe. Ketika proses tripping, aliran udara ke stand pipe dihentikan dan lumpur dipompakan
hingga mencapai string check valve yang berada dibagian bawah sambungan pertama
drillpipe dibawah kelly atau untuk lebih aman, lumpur disirkulasikan hingga mencapai bit.
Standpipe harus mempunyai bleed valve yang dapat dibuka untuk memastikan tidak adanya
udara bertekanan tinggi yang tersekat dalam hose hingga kelly, kemudian proses
penyambungan atau pelepasan pipa dilakukan seperti biasa.

30 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


13. Operator
Keberhasilan pemboran aerasi ditentukan dari kerjasama tiga pihak yaitu operator
pemboran, operator unit aerasi, dan operator lumpur. Operator pemboran bertindak
melakukan pemboran, dan memerlukan bantuan dari operator lumpur untuk kebutuhan
sirkulasi lumpur seperti laju volume lumpur (GPM) dan tekanan pompa lumpur. Operator
pemboran juga membutuhkan bantuan operator unit aerasi, ketika proses pelepasan dan
penyambungan pipa sedang dilakukan, dimana operator unit aerasi harus menghentikan
injeksi udara, dan ketika pemboran berlangsung, operator unit aerasi harus mengatur jumlah
udara injeksi yang dibutuhkan.
Operator unit aerasi memerlukan informasi tekanan lumpur dari operator
lumpur, selama pemboran berlangsung. Informasi tekanan lumpur ini penting karena
pengaturan jumlah udara yang perlu diinjeksikan bergantung pada tekanan udara
yang harus diberikan agar valve standpipe (check valve) terbuka dan udara dapat
masuk ke dalam lumpur. Ketika proses triping hendak berlangsung, operator unit
aerasi harus menghentikan aliran udara injeksi.
ra(surf) = densitas udara di permukaan (pcf)
Qa(surf) = laju alir volume udara di permukaan (scfm).
vfa = kecepatan lumpur aerasi di anulus (ft/min)
Qm = laju alir lumpur biasa (gpm)
Qa = laju alir udara (cuft)
W = laju alir massa (lb/sec)
a = luas orifice (sq. in.)
C = konstanta aliran
P1 = tekanan total upstream (lbs/sq. in.)
T1 = temperatur upstream (oR)

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 31


DAFTAR PUSTAKA

1. Bourgoyne A.T. et.al., "Applied Drilling Engineering", First Printing Society of Petroleum
Engineers, Richardson TX, 1986.
2. Shale, L.T., "Underbalanced Drilling : Formation Damage Control During Hight Angle or
Horizontal Drilling", SPE paper no. 27351, SPE Inc., 1994.
3. Rizo, T.M., "Aerated Fluid Drilling Observations in Geothermal Operation in Luzon,
Philipines", SPE paper no. 12455, SPE Inc., 1984.
4. Huddleston, Billy Pete, "The Future of Aerated Fluids in Drilling Industry", SPE Paper no.
839-G, SPE, Inc., 1957.
5. Guo, Boyun; Rajtar, J.M., "Volume Requerements for Aerated Mud Drilling", SPE paper
no. 26956, SPE Inc., 1994.
6. Rennels, Dale A., "Air Drilling", Energy Air Drilling Service Co., 1991.
7. Rovig, Joe W., "Air Drilling Handbook", Oiltools International, 1992.

32 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


DAFTAR PARAMETER DAN SATUAN

vslip = kecepatan slip (ft/s)


a = densitas udara (ppg)
m = densitas lumpur (ppg)
db = diameter gelembung (ft)
m = viskositas lumpur (cp)
Fr = bilangan Froude (tak berdimensi)
Aa = luas anulus (sq ft)
gc = percepatan gravitasi = 32,174 ft/sec2 = 115826,4 ft/min2
Dav = diameter rata-rata = (D1 + D2)/2 , ft
f = viskositas lumpur aerasi (cp)
Xudara = fraksi udara dalam lumpur aerasi
 udara = viskositas udara (cp)
 lumpur biasa= viskositas lumpur awal (cp)
vs = kecepatan slip (ft/s)
Dc = ekivalen diameter cutting (ft)
c = densitas cutting (pcf)
f = densitas lumpur campuran (pcf).
vt = laju untuk membawa cutting (ft/s)
ROP = laju penetrasi pemboran (ft/jam)
Cc = konsentrasi cutting (%)
vf = kecepatan lumpur (ft/s)
M = laju alir massa lumpur (lb/s)
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
Qc = laju volume cutting (cfpm)
Aa = luas anulus (ft2).
vca = kecepatan kritik (ft/s)
f = viskositas lumpur (cp)
dh = diameter lubang (ft)
dp = diameter luar drillpipe (ft)
Qa = laju volume udara (cfpm)
Qm = laju volume lumpur (gpm)
P = tekanan (psia)
V = volume (cuft)
Z = faktor kompresibilitas (untuk udara Z = 1)
R = konstanta gas = 10,732 psia.cuft/lb-mole.oR
T = temperatur (oR), yang diasumsikan berharga tetap untuk
sumur dangkal.
f = densitas lumpur aerasi (pcf)
m = densitas lumpur biasa (pcf)
Vm = volume lumpur biasa (cuft)
a = densitas udara (pcf)
Va = volume udara (cuft).

Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 33


Di = kedalaman i (feet).
Wa(surf) = laju alir massa udara di permukaan (lb/min)
ra(surf) = densitas udara di permukaan (pcf)
Qa(surf)= laju alir volume udara di permukaan (scfm).
vfa = kecepatan lumpur aerasi di anulus (ft/min)
Qm = laju alir lumpur biasa (gpm)
Qa = laju alir udara (cuft)
W = laju alir massa (lb/sec)
a = luas orifice (sq. in.)
C = konstanta aliran
P1 = tekanan total upstream (lbs/sq. in.)
T1 = temperatur upstream (oR)

34 Dril-008- Teknik Pemboran AERASI


Dril-008- Teknik Pemboran AERASI 35

Anda mungkin juga menyukai