Pendahuluan
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata, dan jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan bilirubin yang meningkat kadarnya dalam
Hepatitis A adalah infeksi yang disebabkan oleh Hepatitis A Virus, Virus ini termasuk
virus RNA tanpa selubung yang diklasifikasikan sebagai picornavirus. (CDC, 2015).
Infeksi Hepatitis A Virus (HAV) terjadi di seluruh dunia, Sekitar 1,4 juta kasus terjadi
Infeksi HAV terjadi secara predominan pada area dengan status sosio-ekonomi yang
rendah, standar higiene yang buruk, terutama pada negara berkembang dan negara beriklim
Patofisiologi dari kolesistitis akalkulus selama infeksi hepatitis virus akut tidak diketahui
secara jelas. Hipoalbuminemia, peradangan hati yang lama dan peningkatan tekanan porta, dapat
menyebabkan edema dinding kandung empedu. (Safak, Ahmet, Nurettin, Biro,et.al, 2013)
1
Bab II
Kasus
Keluhan utama penderita adalah demam. Dari riwayat penyakit sekarang didapatkan lima
hari sebelum masuk rumah sakit Kartika Medical Center (SMRS) penderita mengalami demam
tinggi terus menerus, serta terdapat mual dan muntah lebih dari 3x, muntah darah (-). Penderita
juga mengatakan bahwa tiga hari SMRS terdapat nyeri pada perut bagian kanan atas dan pada
ulu hati. Nafsu makan berkurang. Penderita juga mengeluhkan buang air kecil berwarna seperti
teh meskipun sudah minum lebih banyak, serta buang air besar tidak lancar dan berwarna lebih
pucat tidak seperti biasanya. Penderita mengatakan seluruh badannya pegal-pegal. Penderita
merasa matanya terlihat kekuningan, hal ini juga terjadi pada teman-teman sekelasnya sekitar 2
bulan SMRS. Riwayat meminum alkohol disangkal, merokok disangkal, dan penggunaan obat-
obat an disangkal, penggunaan jarum suntik disangkal. Penderita sudah ke dokter dan dilakukan
USG. Riwayat penyakit dahulu, alergi, asma disangkal. Riwayat penyakit keluarga seperti asma,
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
kompos mentis, gizi cukup. Tanda vital : tekanan darah 120/80 mmHg; frekuensi nadi 88x/mnt;
frekuensi napas 21x/mnt; temperatur 36,5C. Pada pemeriksaan kepala : sklera ikterik,
konjungtiva tidak anemis. Pada pemeriksaan leher limfonodi tidak teraba. Pada pemeriksaan
2
dada : Jantung konfigurasi normal, suara jantung satu dan dua regular, tidak terdapat gallop
ataupun murmur. Paru sonor, suara napas bronkovesikuler, tidak ada suara tambahan. Pada
pemeriksaan abdomen datar, spider naevi (-), bising usus normal, perabaan supel, nyeri tekan
epigastrium dan hipokondria kanan, Murphy sign (-), hepar teraba membesar 1 jari dibawah
arcus costae, konsistensi lunak, teraba tajam, tidak ada nodul, teraba nyeri. Lien tidak teraba.
Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 7 Juli 2019 Hb : 12,5 g/dl,Ht : 40,0 %,
Leukosit : 15.2 /uL. Pemeriksaan USG abdomen pada tanggal 8 Juli 2019 : cholesistitis, organ
Berdasarkan data diatas dibuat diagnosis kerja Observasi Ikterik ec Susp Kolesistitis DD/
Hepatitis.
Terapi yang diberikan saat di IGD, konsul dr. Niko, Sp.PD : Periksa lab : Darah rutin,
CT/BT, IgM anti HAV, HbsAg kualitatif, Anti HCV kualitatif, Bilirubin darah, SGOT/SGPT,
Gamma GT, Alkali fosfatase, total protein, globulin, albumin, Ur/Cr, GDS. Inf. RL 20 tpm, Inj
Levofloxacin 1x1 flash IV, Inj Pantoprazol 2x40mg IV, Inj Ketorolac 3x10mg IV, Inj
4
Perawatan hari pertama, tanggal 7 Juli 2019, penderita mengatakan masih terdapat nyeri
perut kanan atas. Demam (+), Mual (+), Tangan kanan kemerahan dan gatal sejak diinfus dengan
antibiotik Levofloxacin, KU tampak sakit sekala nyeri 5 (0-10). TD : 110/70, Nadi : 78x/mnt,
dengan hasil Hb : 12,5 g/dl, Ht : 40%, Leukosit : 15.200/uL, Trombosit : 400.000/uL. Masa
perdarahan : 1 menit 30 detik, masa pembekuan 9 menit 30 detik. Ureum darah : 23,00 mg/dl,
kreatinin darah 0,70 mg/dl. Bilirubin total : 5,7 mg/dl, Bilirubin direk : 4,10 mg/dl, Bilirubin
Indirek : 1,60 mg/dl, SGOT : 217, SGPT : 366, Gamma GT : 363, Alkali fosfatase : 144 U/L,
Glukosa sewaktu 98 mg/dl, Protein total 6,80 g/dl, Albumin : 4,70 g/dl, Globulin : 2,20 g/dl
Perawatan hari kedua tanggal 8 Juli 2019, Penderita masih merasakan demam, mual (+),
mata kuning (+), nyeri perut kanan atas (+). Keadaan pasien skala nyeri 5 (0-10), TD : 100/60,
Nadi : 80x/mnt, RR : 18x/mnt, Suhu 37,8C, Anti HAV IgM reaktif Anti HCV Kualitatif
negative, HBsAg Kualitatif Negatif. Pemeriksaan urinalisis, warna : kuning muda, kerjernihan :
jernih, berat jenis : 1.010, pH : 6.5, protein urin : negative, glukosa : negative, keton : negative,
bilirubin : negative, urobilinogen : normal, Lekosit esterase : negative, Nitrit : negative, blood :
negative, leukosit : 1-5, eritrosit : 0-1, epitel sel positif, silinder : negative, Kristal : negative,
bakteri : negative, ragi : negative. Diagnosa menjadi Hepatitis A akut. Terapi lanjut, Urdahex
250mg tab 3x1, Dexametason 3x1 IV. Cek ulang SGOT, SGPT, Serum Bilirubin, 2 hari
kemudian.
Perawatan hari ketiga, tanggal 9 Juli 2019 penderita mengatakan mual berkurang, nyeri
perut berkurang. Tanda vital, TD : 110/70, Nadi 88 x/mnt, RR 21x/mnt, Suhu 36C. Dilakukan
5
USG pada tanggal 9 Juli 2019 dengan hasil susp hepatitis dengan kolesistitis, tidak tampak
cholelitiasis, nefrolitiasis dan vesicolitiasis. Hepatitis A, Kolesistitis. Terapi sesuai dengan dokter
penyakit dalam.
Perawatan hari keempat, tanggal 10 Juli 2019. Penderita sudah tidak ada keluhan lagi.
Tanda vital, TD : 120/80, Nadi 82 x/mnt, RR 18x/mnt, Suhu 36C. Hasil pemeriksaan lab
Bilirubin total : 1,18 mg/dl, bilirubin direk : 0,59 mg/dl, bilirubin indirek 0,59 mg/dl, SGOT : 95
U/L, SGPT 205 U/L. Diagnosa Hepatitis A dengan Kolesistitis. Terapi lanjut. Penderita sudah
diperbolehkan pulang.
Penderita pulang pada tanggal 10 Juli 2019 dengan dagnosa akhir Hepatitis A dengan
Kolesistitis. Obat pulang Levofloxacin 500 mg 1x1, Curcuma® (Ekstrak Curcuma xanthorrhiza
6
Bab III
Pembahasan
A. Ikterik
I. Definisi
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata, dan jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan bilirubin yang meningkat kadarnya dalam
sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk akibat pemecahan cincin heme, biasanya sebagai akibat
metabolisme sel darah merah. Ikterus sebaiknya diperiksa di bawah cahaya terang siang hari,
dengan melihat sklera mata. Ikterus yang ringan dapat terlihat paling awal pada sklera mata,dan
kalau ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34 sampai 43 mol/L). Jika
ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenarnya sudah
II. Patofisiologi
fase : prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik masih relevan, walaupun diperlukan penjelasan
akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin. Tahapan yang baru
7
Fase prehepatik
1. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg
berat badan terbentuk setiap harinya. 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah
yang matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labelled bilirubin) datang dari protein
heme lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari
protein heme dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan
bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel sistem retikuloendotelial (mononuklear
beberapa kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis kurang
2. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkonjugasi ini
transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membrane
glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam beberapa
keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat
Fase Intrahepatik
3. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan
pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan
8
bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk
4. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi
atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukuronil-
transferase menghasilkan bilirubin yang larut dalam air. Dalam beberapa keadaan reaksi
kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui sistem enzim yang berbeda, namun
reaksi ini tidak dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya selain diglukuronid juga
Fase Pascahepatik
lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini.
sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna
cokelat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah
kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida
tetapi tidak bilirubin unkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap yang
khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonjugasi
bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak
terkonjugasi dapat melewati barrier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel
9
hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim
10
Penyebab Hiperbilirubinemia :
1. Overproduksi bilirubin
3. Regurgitasi dari bilirubin direk dan indirek akibat gangguan hepatosit ataupun duktus
Hemolisis
peningkatan kadar bilirubin pada keadaan hemolisis dapat melampaui kemampuannya. Pada
keadaan hemolisis yang berat kadar bilirubin jarang lebih dari 3-5 mg/dl (> 51-86 umol/L)
kecuali kalau terdapat kerusakan hati juga. Namun demikian kombinasi hemolisis yang sedang
dan penyakit hati yang ringan dapat mengakibatkan keadaan ikterus yang lebih berat, dalam
2009)
penyakit Sferositosis, sickle cell anemia, thalassemia, defisiensi dari enzim piruvat kinase dan
11
glucose-6-phosphate dehydrogenase. Dalam kondisi ini level serum bilirubin jarang melebihi 86
mol/L (5mg/dL). Level yang lebih tinggi dapat terjadi pada keadaan gangguan ginjal atau
disfungsi hepatoseluler atau pada hemolisis akut, seperti pada sickle cell crisis. (John dan
Pratt,2104).
Sindrom Gilbert
menjadi penting secara klinis, karena keadaan ini sering disalah-artikan sebagai penyakit
hepatitis kronik. Penyakit ini menetap, sepanjang hidup dan mengenai sejumlah 3-5% penduduk
dan ditemukan pada kelompok umur dewasa muda dengan keluhan tidak spesifik secara tidak
sengaja. Beberapa anggota keluarga sering terkena tetapi bentuk genetika yang pasti belum dapat
dipastikan. Patogenesisnya belum dapat dipastikan adanya gangguan (defek) yang kompleks
dalam proses pengambilan bilirubin dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5 mg/dl (34-86
umol/L) yang cenderung naik dengan berpuasa dan keadaan stress lainnya. Keaktifan enzim
tipe II. Banyak pasien juga mempunyai masa hidup sel darah merah yang berkurang, namun
demikian tidak cukup untuk menjelaskan keadaan hiperbilirubinemia. Sindrom Gilbert dapat
dengan mudah dibedakan dengan hepatitis dengan tes faal hati yang normal, tidak terdapatnya
empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin indirek yang dominan. Hemolisis dibedakan dengan
tidak terdapatnya anemia atau retikulositosis. Histologi hati normal, namun biopsi hati tidak
12
diperlukan untuk diagnosis. Pasien harus diyakinkan bahwa tidak ada penyakit hati. (Sulaiman,
2009).
Sindrom Crigler-Najjar
Penyakit yang diturunkan dan jarang ini disebabkan oleh karena adanya keadaan
kekurangan glukuroniltransferase, dan terdapat dalam 2 bentuk. Pasien dengan penyakit otosom
meninggal pada umur 1 tahun. Pasien dengan penyakit otosom resesif tipe II (sebagian=parsial)
mempunyai kadar hiperbilirubinemia yang kurang berat (<20 mg/dl, < 342 umol/L) dan biasanya
bisa hidup sampai masa dewasa tanpa kerusakan neurologic. Fenobarbital, yang dapat
Keadaan yang jarang, yang bersifat jinak dan familial dengan produksi yang berlebihan
Hiperbilirubinemia Konjugasi
1. Non-kolestasis
2. Kolestasis
13
Hiperbilirubinemia Konjugasi Non-Kolestasis
Sindrom Dubin-Johnson
Penyakit autosom resesif ditandai dengan ikterus yang ringan dan tanpa keluhan.
Kerusakan dasar terjadinya gangguan ekskresi berbagai anion organik seperti juga bilirubin,
namun ekskresi garam empedu tidak terganggu. Berbeda dengan sindrom Gilbert
hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin konjugasi dan empedu terdapat dalam urin. Hati
mengandung pigmen sebagai akibat bahan serap melanin, namun gambaran histologi normal.
Penyebab deposisi pigmen belum diketahui. Nilai aminotansferase dan fosfatase alkali normal.
Oleh karena sebab yang belum diketahui gangguan yang khas ekskresi korpoporpirin urin
dengan rasio reversible isomer I; III menyertai keadaan ini. (Sulaiman, 2009).
Sindrom Rotor.
Penyakit yang jarang ini menyerupai sindrom Dubin Johnson, tetapi hati tidak mengalami
pigmentasi dan perbedaan metabolik yang nyata yang lain ditemukan. (Sulaiman, 2009).
1. Kolestasis Intrahepatik
2. Kolestasis Ekstrahepatik
Kolestasis Intrahepatik.
Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian ikterus obstruktif sebab obstruksi yang
bersifat mekanis tidak perlu selalu ada. Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja
dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampula Vateri. Untuk kepentingan klinis membedakan
14
penyebab sumbatan intrahepatik atau ekstrahepatik sangat penting. Penyebab yang kurang sering
adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metatastik dan penyakit
lain yang jarang. Virus hepatitis, alkohol, keracunan obat (drug induced hepatitis), dan kelainan
bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan
dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering
tidak menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik dan menahun dan
mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati. Tidak jarang
penyakit hati menahun juga disertai gejala kuning, sehingga kadang-kadang didiagnosis salah
sebagai penyakit hepatitis akut. Alkohol bisa mempengaruhi ganguan pengambilan empedu dan
sekresinya, dan mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alkohol secara terus menerus bisa
menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan berbagai tingkat ikterus.
Perlemakan hati merupakan penemuan yang sering, biasanya dengan manifestasi yang ringan
tanpa ikterus, tetapi kadang-kadang bisa menjurus ke sirosis. Hepatitis karena alkohol biasanya
memberi gejala ikterus sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika
ada nekrosis sel hati ditandai dengan peningkatan tranasminase yang tinggi. Penyebab lebih
jarang adalah hepatitis autoimun yang biasanya sering mengenai kelompok muda terutama
Kolestasis Ekestrahepatik
Penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus dan
kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi
terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, pancreatitis atau pseudocyst
15
pancreas dan kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi empedu.
Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanis. Efek patofisiologi
mencerminkan efek backup konstituen empedu ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya
untuk masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin menghasilkan campuran
hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering
berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan
garam empedu dalam sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab gatal, walaupun sebenarnya
hubungannya belum jelas sehingga patogenesis gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti.
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K, gangguan ekskresi garam
empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotombinemia. Pada keadaan kolestasis yang
berlangsung lama, gangguan penyerapan Ca dan Vitamin D dan vitamin larut lemak lain dapat
terjadi dan menyebabkan osteoporosis dan osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid
mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis di hati berkurang dalam darah koleseterol turut
16
17
Gambar 4. Kondisi Kolestatik yang dapat Menyebabkan Ikterik
III. Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting, karena kesalahan
diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang kurang atau penilaian gangguan
laboratorium yang berlebihan. Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan
18
sakit bilier atau kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pankreas sering
timbul kuning yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut. Kadang-kadang bila bilirubin telah
mencapai kadar yang lebih tinggi sering warna kuning sklera mata member kesan berbeda di
mana ikterus lebih member kesan kehijauan pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan pada
IV. Laboratorium
nilai fosfatase alkali, yang diakibatkan terutama peningkatan sintesis daripada karena gangguan
ekskresi, namun tetap belum bisa menjelaskan penyebabnya. Nilai bilirubin juga mencerminkan
beratnya tetapi bukan penyebab kolestasisnya, juga fraksinasi tidak menolong membedakan
penyakit dasarnya, namun seringkali meningkat tidak tinggi. Jika peningkatan tinggi sangat
mungkin karena proses hepatoseluler, namun kadang-kadang terjadi juga pada kolestasis
ekstrahepatik, terutama pada sumbatan akut yang diakibatkan oleh adanya batu di duktus
V. Pencitraan
memperlihatkan adanya pelebaran saluran bilier, yang menunjukkan adanya sumbatan mekanik,
19
walaupun jika tidak ada tidak selalu berarti sumbatan intrahepatik, terutama dalam keadaan
masih akut. Penyebab adanya sumbatan mungkin bisa diperlihatkan, umumnya batu kandung
empedu dapat dipastikan dengan ultrasonografi, lesi pancreas dengan CT. Kebanyakan pusat
menggunakan terutama USG untuk mendiagnosis kolestasis karena biayanya yang rendah.
melihat secara langsung saluran bilier dan sangat bermanfaat untuk maksud ini. Kedua cara
tersebut diatas mempunyai potensi terapeutik. Pemeriksaan MRCP dapat pula untuk melihat
langsung saluran empedu dan mendeteksi batu dan kelainan duktus lainnya dan merupakan cara
I. Riwayat
Penggunaan beberapa bahan kimia atau obat-obatan. Paparan melalui jalur parenteral,
meliputi transfusi, penggunaan obat intravena dan intranasal, tato, dan aktivitas seksual. Hal
penting lainnya adalah riwayat berpergian, kontak dengan pasien ikterik, terpapar oleh makanan
yang terkontaminasi, pajanan hepatotoksin, dan konsumsi alkohol. (John dan Pratt,2104).
Lamanya ikterik serta tanda dan gejala yang menyertai seperti atralgia, myalgia, rash,
anorexia, penurunan berat badan, nyeri perut, demam, pruritus, dan perubahan urin dan feses.
Riwayat atralgia dan myalgia merupakan tanda awal ikterik yang disebabkan oleh hepatitis, baik
virus ataupun obat. Ikterik yang disertai dengan nyeri perut kanan atas yang mendadak dan berat,
20
VI. Pemeriksaan Fisik
Penilaian secara keseluruhan termasuk evaluasi status gizi pasien. Kekurangan otot
temporal dan proksimal menunjukkan penyakit yang berlangsung lama seperti kanker pankreas
atau sirosis. Tanda stigmata dari penyakit hati kronis termasuk spider naevi, palmar eritema,
ginekomastia, caput medusa, kontraktur Dupuytren, pembesaran kelenjar parotis dan atrofi
testikular, yang umumnya terlihat pada sirosis alkoholik lanjut (Laennec) dan kadang- kadang
pada tipe lain dari sirosis. Pembesaran dan nodul supraklavikula kiri (Virchow’s) atau nodul
periumbilikal (Sister Mary Joseph) menunjukkan keganasan abdomen. Pelebaran vena jugular,
sebagai tanda gagal jantung kanan, menunjukkan kongesti hati. Efusi pleura kanan dapat terlihat
Pemeriksaan abdomen fokus pada ukuran dan konsistensi hati, begitu juga dengan limpa
apakah teraba membesar dan adanya asites. Pasien dengan sirosis mungkin terdapat pembesaran
lobus kiri hati, yang dapat teraba di bawah xypoid serta pembesaran limpa. Pembesaran hati
nodular atau massa abdomen yang jelas menunjukkan keganasan. Pembesaran hati dengan
konsistensi lunak menunjukkan hepatitis virus ataupun alkoholik. Nyeri perut kanan atas yang
berat dengan adanya henti nafas saat inspirasi (tanda Murphy) dicurigai kolesistitis. Asites
dengan ikterik menunjukkan sirosis ataupun keganasan dengan penyebaran peritoneum. (John
dan Pratt,2014).
Pemeriksaan laboratorium membantu evaluasi awal pada pasien dengan ikterik yang
tidak dapat dijelaskan. Pemeriksaan laboratorium termasuk penilaian serum bilirubin, serum
21
aminotransferase alanine aminotranferas (ALT). aspartat aminotrasnferase (AST), alkaline
phosphatase (ALP), konsentrasi albumin, dan protombin time. ALT, AST, dan ALP sangat
membantu untuk membedakan antara proses hepatoseluler dengan proses kolestatik. Pasien
dengan proses hepatoseluler biasanya terdapat peningkatan pada serum aminotransferase yang
tidak sebanding dengan ALP, sebaliknya dengan kasus kolestatik terdapat penigkatan pada ALP
yang tidak sebanding dengan serum aminotransferase. Serum bilirubin dapat meningkat pada
proses hepatoseluler ataupun kolestatik dan tidak terlalu membantu dalam membedakan
Semua pasien ikterik sebaiknya diperiksa level albumin dan protrombin time. Level
albumin yang rendah menunjukkan proses kronik seperti pada sirosis atau kanker. Level albumin
normal menunjukkan proses akut seperti pada virus hepatitis atau koledolitiasis. Peningkatan
protombin time mengindikasikan adanya defisiensi vitamin K yang disebabkan oleh ikterik yang
berkepanjangan dan malabsorbsi vitamin K atau disfungsi hepatoseluler secara signifikan. (John
dan Pratt,2014).
Kondisi hepatoseluler
Penyakit hepatosesuler yang dapat menyebabkan ikterik termasuk hepatitis virus, obat-
obatan dan lingkungan toksik, alkohol, dan sirosis tahap akhir. Penyakit Wilson terjadi secara
primer pada dewasa muda. Hepatitis autoimun secara khas terlihat pada wanita usia pertengahan
dan dapat mengenai laki-laki ataupun perempuan pada tiap usia. Hepatitis alkoholik dapat
dibedakan dengan hepatitis virus dan hepatitis akibat toxin dengan pola dari aminotransferase,
pasien dengan hepatitis alkoholik biasanya memiliki rasio AST : ALT 2: 1, dan level AST jarang
melebihi 300 U/L. Pasien-pasien dengan hepatitis virus akut biasanya memiliki level
22
aminotransferase > 500 U/L, dengan ALT biasanya lebih tinggi dari AST. Sedangakan nilai ALT
dan AST tidak lebih dari 8 kali nilai normal dapat terlihat pada gangguan hepatoseluler ataupun
penyakit hati kolestatik, nilai lebih dari 25 kali nilai normal atau lebih dapat terlihat pada
gangguan hepatoseluler akut. Pasien dengan ikterik yang berasal dari sirosis dapat memiliki nilai
normal atau hanya terjadi sedikit peningkatan level aminotransferase. (John dan Pratt,2014).
Pada pasien dengan gangguan hepatoseluler, sebaiknya dilakukan tes untuk pemeriksaan
hepatitis virus akut, termasuk antibodi IgM, HbSAg, Hbc-IgM, Tes hepatitis C. Karena
pada kecurigaan hepatitis C akut. Ceruloplasmin adalah tes screening untuk penyakit Wilson.
Tes untuk hepatitis autoimun termasuk antibody antinuclear dan spesifik immunoglobulin. (John
dan Pratt,2014).
Kerusakan hepatosesluler karena obat dapat diklasifikasikan dengan dapat diprediksi dan
tidak dapat diprediksi. Reaksi obat yang dapat diprediksi adalah dengan dosis yang dapat
mempengaruhi semua pasien yang mengkonsumsi dosis obat. Contohnya adalah acetaminophen.
Reaksi obat yang tidak dapat diprediksi adalah tidak tergantung dosis dan terjadi pada minoritas
Kondisi Kolestatik
Ketika tes fungsi hari menunjukkan kelainan kolestatik, hal yang dilakukan berikutnya
keduanya mungkin sulit. Pemeriksaan berikutnya adalah dengan menggunakan ultrasound. Dapat
mendeteksi pelebaran dari duktus bilier intra dan extrahepatik. Meskipun USG dapat
23
menentukan kolestatik extrahepatik, tetapi jarang dapat menentukan letak atau penyabab
dan endoscopic ultrasound (EUS). Pada pasien dengan kolestatik intrahepatik, diagnosis biasa
dibuat dengan tes serologic dikombinasi dengan biopsi hati. (John dan Pratt,2014).
24
Gambar 6. Algoritma Pasien Ikterik
C. Hepatitis A
I. Definisi
Hepatitis A adalah infeksi yang disebabkan oleh Hepatitis A Virus (HAV). Virus ini
merupakan virus RNA, tanpa selubung, dan diklasifikasikan sebagai picornavirus. Virus ini
pertama kali diisolasi pada tahun 1979. HAV dapat stabil di lingkungan selama beberapa bulan,
bergantung pada kondisi. Virus ini relatif stabil dengan pH yang rendah dan pada suhu biasa,
25
tetapi dapat diinaktivasi dengan temperature yang tinggi (185F 85C), formalin dan
klorin.(CDC, 2015).
II. Epidemiologi
Hepatitis A terjadi diseluruh dunia. Endemik pada beberapa area seperti Amerika tengah
dan Amerika selatan, Afrika, Timur Tengah, Asia, dan Pasifik Barat. Manusia adalah reservoir
natural dari virus. HAV kronis tidak pernah dilaporkan. (CDC, 2015)
Infeksi HAV sering terjadi pada tempat-tempat dengan status sosio-ekonomi yang rendah
dan higiene yang buruk. Kelompok yang beresiko tinggi adalah petugas kesehatan, tentara,
pasien psikiatri, dan pria yang berhubungan seksual dengan pria. (Pischke dan Wedemeyer,
2016).
III. Transmisi
Infeksi HAV didapat secara primer dengan rute fekal-oral oleh kontak orang-perorangan
atau menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi. Virus muncul di darah selama fase
prodormal, HAV dapat ditransmisikan dengan transfusi, tetapi jarang terjadi. Meskipun HAV
dapat ditemukan di saliva, transmisi melalui saliva tidak pernah dilaporkan. Wabah yang
disebabkan oleh penularan lewat air jarang terjadi dan biasanya disertai dengan limbah yang
terkontaminasi. Transmisi ibu kepada janin tidak pernah dilaporkan. (CDC, 2015).
IV. Patogenesis
HAV ditularkan melalui transmisi fekal-oral dan bereplikasi di hati. Setelah 10-12 hari
virus dapat dideteksi di darah yang kemudian diekskresi oleh sistem bilier menuju feses. Titer
26
tertinggi terjadi 2 minggu sebelum onset gejala muncul. Eksresi virus mulai berkurang pada saat
gejala muncul dan berkurang secara signifikan 7-10 hari setelah onset gejala muncul. Banyak
orang yang terinfeksi tidak ada ekskresi virus pada feses setelah 3 minggu gejala muncul. Anak-
anak mungkin mengekskresi virus lebih lama daripada dewasa. (CDC, 2015).
Lima hari sebelum gejala muncul, virus dapat diisolasi dari feses pasien. (Dienstag,
1975). Ekskresi virus melalui feses dapat terjadi hingga lima bulan setelah infeksi, biasanya
V. Gejala Klinis
Masa inkubasi hepatitis A adalah 28 hari (antara 15-50 hari). Gejala klinis pada hepatitis
A tidak dapat dibedakan dengan hepatitis virus akut lainnya. Gejala khas biasanya demam,
malaise, anorexia, nausea, tidak nyaman pada perut, urin hitam dan kuning. Gejala klinis
umumnya tidak lebih dari 2 bulan, meskipun 10-15% orang mengalami tanda dan gejala lebih
lama dan menunjukkan relaps sampai 6 bulan. Virus dapat diekskresi selama relaps. Keparahan
penyakit dari infeksi HAV tergantung dari faktor usia, pada anak-anak dengan usia lebih dari 6
tahun, 70% kasus tanpa gejala. Pada orangtua dan dewasa, infeksi virus biasanya bergejala
Gejala awal biasanya tidak spesifik seperti kelemahan, mual, muntah, anorexia, demam,
tidak nyaman pada perut, dan nyeri pada perut kanan atas. Sejalan dengan progresifitas penyakit,
beberapa orang menjadi ikterik, urin kehitaman, feses tidak berwarna, dan gatal. Gejala
27
Sekitar 10 % kasus mengalami fase bifasik atau relaps. Episode awal biasa terjadi 3-5
minggu, diikuti dengan perbaikan biokimia dengan nilai enzim hati yang normal selama 4-5
minggu. Relaps dapat menyerupai episode awal dari hepatitis akut dan normalisasi dari ALT dan
Kasus dari infeksi HAV fulminan menuntun terjadinya gagal hati yang terjadi lebih
sering pada seseorang dengan penyakit hati yang mendasari. (Vento, 1998). Faktor resiko
VI. Komplikasi
Gejala klinis yang berat pada infeksi hepatitis A jarang terjadi, meskipun komplikasi
tidak khas mungkin terjadi, termasuk imunologi, neurologi, hematologi, pankreatik, dan
dipicu autoimun, Hepatitis subfulminan, Hepatitis fulminan juga sering dilaporkan. Hepatitis
fulminan adalah komplikasi paling jarang, tetapi tingkat kematian nya mencapai 80%. Vaksinasi
pada orang dengan resiko tinggi dapat menurunkan komplikasi hepatitis fulminan. (CDC, 2015).
28
Gambar 7. Kemungkinan Perjalanan Penyakit Infeksi HAV
Hepatitis A tidak dapat dipisahkan dari virus hepatitis lain hanya berdasarkan klinis atau
Sebenarnya, semua pasien dengan hepatitis A akut dapat dideteksi dengan IgM anti-HAV.
Infeksi HAV akut dapat dikonfirmasi selama fase akut atau fase penyembuhan awal. IgM
biasanya dapat dideteksi 5-10 hari sebelum onset gejala dan dapat masih dideteksi sampai 6
bulan. IgG anti HAV muncul pada fase penyembuhan, dapat muncul seumur hidup yang
menandakan perlindungan terhadap penyakit. Tes antibodi pada total anti-HAV untuk mengukur
IgG dan IgM anti HAV. Orang dengan total anti-HAV positif dan IgM anti HAV negatif,
29
IgM dan IgG anti-HAV juga menjadi positif setelah dilakukan vaksinasi. (Tseng, 2012)
Metode virologi molecular seperti polymerase chain reaction (PCR) dapat memperkuat
penentuan genome virus. Metode ini membantu dalam menginvestigasi sumber wabah hepatitis
Tidak ada terapi antivirus yang spesifik untuk hepatitis A. Penelitian terbaru
Nobis, 2015) .
Studi terakhir dari Belanda menginvestigasi penggunaan vaksinasi setelah terpapar HAV
dengan profilaksis dengan immunoglobulin pada pasien riwayat kontak dengan HAV. Pada studi
ini pasien yang medapat profilaksis immunoglobulin tidak ada yang berkembang menjadi
hepatitis A akut, kontras dengan pasien yang mendapat vaksinasi. Studi ini menyatakan bahwa
vaksinasi HAV lebih baik digunakan pada pasien dengan usia < 40 tahun, sedangakan pasien
dengan usia > 40 tahun lebih menguntungkan dengan penggunaan immunoglobulin. (Whelan,
2013).
Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi virus hepatitis A. Pengobatan dari infeksi HAV
30
2.Kontak dengan anak adopsi yang berasal dari Negara dengan endemik hepatitis A yang
tinggi.
Pediatrik
31
Dosis 720 (EL.U) 25 U
Dewasa
TWINRIX
Atau
Wisatawan yang memilih tidak menerima vaksin harus diberikan dosis tunggal IG (0,02
mL/kg), yang mana memberikan perlindungan hingga 3 bulan. Orang yang berpergian lebih dari
32
2 bulan harus diberikan IG 0,06 mL/kg. IG harus diberikan berulang 5 bulan kemudian jika
D. Kolesistitis
Kolesistitis Akut
I. Definisi
Radang kandung empedu (kolesistitis akut) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung
empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. (Pridady, 2009)
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut
adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis
cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis
akut akalkulus). Bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, masih
belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu
Kolesistitis akut akalkulus dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup lama dan
mendapat nutrisi secara parenteral, pada sumbatan karena keganasan kandung empedu, batu di
saluran empedu atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain seperti demam tifoid dan
33
III. Gejala Klinis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah
kanan atas atau epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit
menjalar ke pundak atau scapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat
ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan
Pada pemeriksaan fisis teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).
Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikiran adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.
(Pridady, 2009).
serum tranaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu
tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi
IV. Diagnosis
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada
15% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radioopak) oleh karena
34
Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan kandung empedu bila ada obstruksi
sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. (Pridady, 2009).
bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan
saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 – 95%.
(Pridady, 2009).
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99n Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah.
Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada
pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut. (Pridady,
2009).
Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitive dan mahal tapi mampu memperlihatkan
adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan
Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba-tiba perlu dipikrkan seperti
penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti apendiks yang
retrosekal, sumbatan usus, perforasi , ulkus peptikum, pankreatitis akut, dan infark miokard.
(Pridady, 2009).
V. Pengobatan
Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, obat
penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotic pada fase awal
35
sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan
ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman-kuman yang
umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E.coli, Strep. Faecalis dan Klebsiella. (Pridady,
2009).
dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaan
umum pasien lebih baik. Sebanyak 50% kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah
yang pro operasi dini menyatakan, timbulnya gangren dan komplikasi kegagalan terapi
konservatif dapat dihindarkan, lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya
dapat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan
penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi
VI. Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu menjadi
tebal, fibrotic, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis
rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema,
fistel, abses hati atau peritonitis umum. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotic yang
adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (> 75 tahun) mempunyai
prognosis yang jelek disamping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah. (Pridady,
2009).
36
Kolesistitis Kronik
I. Gejala Klinis
Diagnosis kolesistitis kronik sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya sangat
minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di epigastrium dan nausea khususnya
setelah makan makanan berlemak tinggi, yang kadang-kadang hilang setelah bersendawa.
Riwayat penyakit batu empedu di keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri lokal di daerah
kandung empedu disertai tanda Murphy positif, dapat menyokong menegakkan diagnosis.
(Pridady, 2009).
Diagnosis banding seperti intoleransi lemak, ulkus peptic, kolon spastik, karsinoma kolon
kanan, pankreatitis kronik dan kelainan duktus koledokus perlu dipertimbangkan sebelum
II. Diagnosis
(ERCP) sangat bermanfaat untuk memperlihatkan adanya batu di kandung empedu dan duktus
III. Pengobatan
Pada sebagian besar pasien kolesistitis kronik dengan atau tanpa batu kandung empedu
37
untuk pasien dengan keluhan minimal atau disertai penyakit lain yang mempertinggi risiko
Patofisiologi dari kolesistitis akalkulus selama infeksi hepatitis virus akut tidak diketahui
secara jelas. Hipoalbuminemia, peradangan hati yang lama dan peningkatan tekanan porta, dapat
menyebabkan edema dinding kandung empedu. Diagnosis berdasarkan klinis dan dipastikan
dengan ultrasonografi. Kriteria ultrasonografi untuk diagnosis kolesistitis akalkulus akut (1)
Distensi pada kandung empedu, (2) Penebalan dinding kandung empedu (>3,5 mm), (3) Tidak
ada bayangan akustik atau ‘sludge’, (4) Akumulasi cairan perivesical, dan (5) Tidak ada
dilakukan kolesistektomi pada kasus-kasus terjadinya gangrene atau perforasi pada dinding
kandung empedu. Penatalaksaan kolesistitis akalkulus akut bervariasi tergantung dari presentasi
klinis. Banyak kasus mengalami perbaikan dengan sendirinya, dan kandung empedu mengecil
secara spontan dengan penatalaksanaan penyakit sistemik yang mendasarinya dalam waktu
38
Daftar Pustaka
Fauci AS, Kasper DL, Longo D, Braunwald E, Hauser SL, Loscalzo J, et al. Harrison's
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Safak, Ahmet, Nurettin, Birol, Mehmet, Bahadir, Arzu, Recai. 2013. Acute Acalculous
2016.
39