Anda di halaman 1dari 39

I

Pendahuluan

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata, dan jaringan lainnya (membran

mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan bilirubin yang meningkat kadarnya dalam

sirkulasi darah. (Sulaiman, 2009).

Pentahapan metabolisme bilirubin terdapat 5 fase : 1) Pembentukan bilirubin, 2) Transpor

plasma, 3) Liver uptake, 4) Konjugasi, dan 5) Ekskresi bilier. (Sulaiman, 2009).

Hepatitis A adalah infeksi yang disebabkan oleh Hepatitis A Virus, Virus ini termasuk

virus RNA tanpa selubung yang diklasifikasikan sebagai picornavirus. (CDC, 2015).

Infeksi Hepatitis A Virus (HAV) terjadi di seluruh dunia, Sekitar 1,4 juta kasus terjadi

tiap tahunnya. HAV menyebar melalui rute fekal-oral (Lemon, 1985).

Infeksi HAV terjadi secara predominan pada area dengan status sosio-ekonomi yang

rendah, standar higiene yang buruk, terutama pada negara berkembang dan negara beriklim

tropis (Faillon, 2012).

Patofisiologi dari kolesistitis akalkulus selama infeksi hepatitis virus akut tidak diketahui

secara jelas. Hipoalbuminemia, peradangan hati yang lama dan peningkatan tekanan porta, dapat

menyebabkan edema dinding kandung empedu. (Safak, Ahmet, Nurettin, Biro,et.al, 2013)

1
Bab II

Kasus

Dihadapkan seorang pria berinisial S berumur 39 tahun, dengan alamat di Cisaat.

Keluhan utama penderita adalah demam. Dari riwayat penyakit sekarang didapatkan lima

hari sebelum masuk rumah sakit Kartika Medical Center (SMRS) penderita mengalami demam

tinggi terus menerus, serta terdapat mual dan muntah lebih dari 3x, muntah darah (-). Penderita

juga mengatakan bahwa tiga hari SMRS terdapat nyeri pada perut bagian kanan atas dan pada

ulu hati. Nafsu makan berkurang. Penderita juga mengeluhkan buang air kecil berwarna seperti

teh meskipun sudah minum lebih banyak, serta buang air besar tidak lancar dan berwarna lebih

pucat tidak seperti biasanya. Penderita mengatakan seluruh badannya pegal-pegal. Penderita

merasa matanya terlihat kekuningan, hal ini juga terjadi pada teman-teman sekelasnya sekitar 2

bulan SMRS. Riwayat meminum alkohol disangkal, merokok disangkal, dan penggunaan obat-

obat an disangkal, penggunaan jarum suntik disangkal. Penderita sudah ke dokter dan dilakukan

USG. Riwayat penyakit dahulu, alergi, asma disangkal. Riwayat penyakit keluarga seperti asma,

alergi, darah tinggi, kencing manis disangkal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran

kompos mentis, gizi cukup. Tanda vital : tekanan darah 120/80 mmHg; frekuensi nadi 88x/mnt;

frekuensi napas 21x/mnt; temperatur 36,5C. Pada pemeriksaan kepala : sklera ikterik,

konjungtiva tidak anemis. Pada pemeriksaan leher limfonodi tidak teraba. Pada pemeriksaan
2
dada : Jantung konfigurasi normal, suara jantung satu dan dua regular, tidak terdapat gallop

ataupun murmur. Paru sonor, suara napas bronkovesikuler, tidak ada suara tambahan. Pada

pemeriksaan abdomen datar, spider naevi (-), bising usus normal, perabaan supel, nyeri tekan

epigastrium dan hipokondria kanan, Murphy sign (-), hepar teraba membesar 1 jari dibawah

arcus costae, konsistensi lunak, teraba tajam, tidak ada nodul, teraba nyeri. Lien tidak teraba.

Pada ekstremitas akral hangat dan tidak ada sianosis.

Pada pemeriksaan laboratorium pada tanggal 7 Juli 2019 Hb : 12,5 g/dl,Ht : 40,0 %,

Leukosit : 15.2 /uL. Pemeriksaan USG abdomen pada tanggal 8 Juli 2019 : cholesistitis, organ

intra abdomen lain dbn. Pemeriksaan elektrokardiografi menunjukkan sinus ritme.

Gambar 1. USG Abdomen


3
Gambar 2. Hasil EKG

Berdasarkan data diatas dibuat diagnosis kerja Observasi Ikterik ec Susp Kolesistitis DD/

Hepatitis.

Terapi yang diberikan saat di IGD, konsul dr. Niko, Sp.PD : Periksa lab : Darah rutin,

CT/BT, IgM anti HAV, HbsAg kualitatif, Anti HCV kualitatif, Bilirubin darah, SGOT/SGPT,

Gamma GT, Alkali fosfatase, total protein, globulin, albumin, Ur/Cr, GDS. Inf. RL 20 tpm, Inj

Levofloxacin 1x1 flash IV, Inj Pantoprazol 2x40mg IV, Inj Ketorolac 3x10mg IV, Inj

Ondansentron 3x8mg IV, Oral : Metronidazol 3x1, Curcuma 3x1.

4
Perawatan hari pertama, tanggal 7 Juli 2019, penderita mengatakan masih terdapat nyeri

perut kanan atas. Demam (+), Mual (+), Tangan kanan kemerahan dan gatal sejak diinfus dengan

antibiotik Levofloxacin, KU tampak sakit sekala nyeri 5 (0-10). TD : 110/70, Nadi : 78x/mnt,

RR : 20x/mnt, Suhu : 37,9C. Hasil pemeriksaan laboratorium di RS Kartika Medical Center,

dengan hasil Hb : 12,5 g/dl, Ht : 40%, Leukosit : 15.200/uL, Trombosit : 400.000/uL. Masa

perdarahan : 1 menit 30 detik, masa pembekuan 9 menit 30 detik. Ureum darah : 23,00 mg/dl,

kreatinin darah 0,70 mg/dl. Bilirubin total : 5,7 mg/dl, Bilirubin direk : 4,10 mg/dl, Bilirubin

Indirek : 1,60 mg/dl, SGOT : 217, SGPT : 366, Gamma GT : 363, Alkali fosfatase : 144 U/L,

Glukosa sewaktu 98 mg/dl, Protein total 6,80 g/dl, Albumin : 4,70 g/dl, Globulin : 2,20 g/dl

Diagnosis obs ikterik ec Kolesistitis DD/ Hepatitis.

Perawatan hari kedua tanggal 8 Juli 2019, Penderita masih merasakan demam, mual (+),

mata kuning (+), nyeri perut kanan atas (+). Keadaan pasien skala nyeri 5 (0-10), TD : 100/60,

Nadi : 80x/mnt, RR : 18x/mnt, Suhu 37,8C, Anti HAV IgM reaktif Anti HCV Kualitatif

negative, HBsAg Kualitatif Negatif. Pemeriksaan urinalisis, warna : kuning muda, kerjernihan :

jernih, berat jenis : 1.010, pH : 6.5, protein urin : negative, glukosa : negative, keton : negative,

bilirubin : negative, urobilinogen : normal, Lekosit esterase : negative, Nitrit : negative, blood :

negative, leukosit : 1-5, eritrosit : 0-1, epitel sel positif, silinder : negative, Kristal : negative,

bakteri : negative, ragi : negative. Diagnosa menjadi Hepatitis A akut. Terapi lanjut, Urdahex

250mg tab 3x1, Dexametason 3x1 IV. Cek ulang SGOT, SGPT, Serum Bilirubin, 2 hari

kemudian.

Perawatan hari ketiga, tanggal 9 Juli 2019 penderita mengatakan mual berkurang, nyeri

perut berkurang. Tanda vital, TD : 110/70, Nadi 88 x/mnt, RR 21x/mnt, Suhu 36C. Dilakukan

5
USG pada tanggal 9 Juli 2019 dengan hasil susp hepatitis dengan kolesistitis, tidak tampak

cholelitiasis, nefrolitiasis dan vesicolitiasis. Hepatitis A, Kolesistitis. Terapi sesuai dengan dokter

penyakit dalam.

Perawatan hari keempat, tanggal 10 Juli 2019. Penderita sudah tidak ada keluhan lagi.

Tanda vital, TD : 120/80, Nadi 82 x/mnt, RR 18x/mnt, Suhu 36C. Hasil pemeriksaan lab

Bilirubin total : 1,18 mg/dl, bilirubin direk : 0,59 mg/dl, bilirubin indirek 0,59 mg/dl, SGOT : 95

U/L, SGPT 205 U/L. Diagnosa Hepatitis A dengan Kolesistitis. Terapi lanjut. Penderita sudah

diperbolehkan pulang.

Penderita pulang pada tanggal 10 Juli 2019 dengan dagnosa akhir Hepatitis A dengan

Kolesistitis. Obat pulang Levofloxacin 500 mg 1x1, Curcuma® (Ekstrak Curcuma xanthorrhiza

20 mg) tab 1x1.

6
Bab III

Pembahasan

A. Ikterik

I. Definisi

Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata, dan jaringan lainnya (membran

mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan bilirubin yang meningkat kadarnya dalam

sirkulasi darah. Bilirubin dibentuk akibat pemecahan cincin heme, biasanya sebagai akibat

metabolisme sel darah merah. Ikterus sebaiknya diperiksa di bawah cahaya terang siang hari,

dengan melihat sklera mata. Ikterus yang ringan dapat terlihat paling awal pada sklera mata,dan

kalau ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34 sampai 43 mol/L). Jika

ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenarnya sudah

mencapai angka 7mg%. (Sulaiman, 2009).

II. Patofisiologi

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3

fase : prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik masih relevan, walaupun diperlukan penjelasan

akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin. Tahapan yang baru

menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase : 1)

Pembentukan bilirubin, 2) Transpor plasma, 3) Liver uptake, 4) Konjugasi, dan 5) Ekskresi

bilier. (Sulaiman, 2009).

7
Fase prehepatik

1. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg

berat badan terbentuk setiap harinya. 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah

yang matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labelled bilirubin) datang dari protein

heme lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari

protein heme dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan

enzim hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin menjadi

bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel sistem retikuloendotelial (mononuklear

fagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama

peningkatan pembentukan bilirubin. Pembentukan early labelled labirin meningkat pada

beberapa kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis kurang

penting. (Sulaiman, 2009).

2. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkonjugasi ini

transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membrane

glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam beberapa

keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat

berlomba pada tempat ikatan dengan albumin. (Sulaiman, 2009).

Fase Intrahepatik

3. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan

pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan

8
bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk

pengambilan albumin. (Sulaiman, 2009).

4. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi

dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida atau bilirubin konjugasi

atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukuronil-

transferase menghasilkan bilirubin yang larut dalam air. Dalam beberapa keadaan reaksi

ini hanya menghasilkan bilirubin monoglukuronida, dengan bagian asam glukuronik

kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui sistem enzim yang berbeda, namun

reaksi ini tidak dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya selain diglukuronid juga

terbentuk namun kegunaannya tidak jelas. (Sulaiman, 2009).

Fase Pascahepatik

5. Ekskresi Bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan

lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini.

Di dalam usus, flora bakteri men”dekonjugasi” dan mereduksi bilirubin menjadi

sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna

cokelat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah

kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida

tetapi tidak bilirubin unkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap yang

khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonjugasi

bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak

terkonjugasi dapat melewati barrier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel

9
hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim

glukuronlitrasnferase dan larut dalam empedu cair. (Sulaiman, 2009)

Gambar 3. Metabolisme Bilirubin

10
Penyebab Hiperbilirubinemia :

1. Overproduksi bilirubin

2. Gangguan uptake, konjugasi dan ekskresi

3. Regurgitasi dari bilirubin direk dan indirek akibat gangguan hepatosit ataupun duktus

bilier. (John dan Pratt,2014).

Penyakit Gangguan Metabolisme Bilirubin :

1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi

2. Hiperbilirubinemia konjugasi (Sulaiman, 2009)

Hiperbilirubinemia Tak Terkonjugasi

Hemolisis

Walaupun hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan bilirubin, namun

peningkatan kadar bilirubin pada keadaan hemolisis dapat melampaui kemampuannya. Pada

keadaan hemolisis yang berat kadar bilirubin jarang lebih dari 3-5 mg/dl (> 51-86 umol/L)

kecuali kalau terdapat kerusakan hati juga. Namun demikian kombinasi hemolisis yang sedang

dan penyakit hati yang ringan dapat mengakibatkan keadaan ikterus yang lebih berat, dalam

keadaan ini hiperbilirubinemia bercampur, karena ekskresi kanalikular terganggu. (Sulaiman,

2009)

Gangguan hemolisis yang menyebabkan berlebihnya produksi heme seperti pada

penyakit Sferositosis, sickle cell anemia, thalassemia, defisiensi dari enzim piruvat kinase dan

11
glucose-6-phosphate dehydrogenase. Dalam kondisi ini level serum bilirubin jarang melebihi 86

mol/L (5mg/dL). Level yang lebih tinggi dapat terjadi pada keadaan gangguan ginjal atau

disfungsi hepatoseluler atau pada hemolisis akut, seperti pada sickle cell crisis. (John dan

Pratt,2104).

Gangguan hemolisis yang didapat termasuk didalamnya adalah anemia hemolitik

mikroangiopati, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, spur cell anemia, hemolisis autoimun,

dan infeksi parasit. (John dan Pratt,2104).

Sindrom Gilbert

Gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemia indirek (tak terkonjugasi), yang

menjadi penting secara klinis, karena keadaan ini sering disalah-artikan sebagai penyakit

hepatitis kronik. Penyakit ini menetap, sepanjang hidup dan mengenai sejumlah 3-5% penduduk

dan ditemukan pada kelompok umur dewasa muda dengan keluhan tidak spesifik secara tidak

sengaja. Beberapa anggota keluarga sering terkena tetapi bentuk genetika yang pasti belum dapat

dipastikan. Patogenesisnya belum dapat dipastikan adanya gangguan (defek) yang kompleks

dalam proses pengambilan bilirubin dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5 mg/dl (34-86

umol/L) yang cenderung naik dengan berpuasa dan keadaan stress lainnya. Keaktifan enzim

glukuroniltransferase rendah, karenanya mungkin ada hubungan dengan sindrom Crigler-Najjar

tipe II. Banyak pasien juga mempunyai masa hidup sel darah merah yang berkurang, namun

demikian tidak cukup untuk menjelaskan keadaan hiperbilirubinemia. Sindrom Gilbert dapat

dengan mudah dibedakan dengan hepatitis dengan tes faal hati yang normal, tidak terdapatnya

empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin indirek yang dominan. Hemolisis dibedakan dengan

tidak terdapatnya anemia atau retikulositosis. Histologi hati normal, namun biopsi hati tidak
12
diperlukan untuk diagnosis. Pasien harus diyakinkan bahwa tidak ada penyakit hati. (Sulaiman,

2009).

Sindrom Crigler-Najjar

Penyakit yang diturunkan dan jarang ini disebabkan oleh karena adanya keadaan

kekurangan glukuroniltransferase, dan terdapat dalam 2 bentuk. Pasien dengan penyakit otosom

resesif tipe I (lengkap=komplit) mempunyai hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya

meninggal pada umur 1 tahun. Pasien dengan penyakit otosom resesif tipe II (sebagian=parsial)

mempunyai kadar hiperbilirubinemia yang kurang berat (<20 mg/dl, < 342 umol/L) dan biasanya

bisa hidup sampai masa dewasa tanpa kerusakan neurologic. Fenobarbital, yang dapat

merangsang kekurangan glukuroniltransferase, dapat mengurangi kuning. (Sulaiman, 2009).

Hiperbilirubinemia shunt primer

Keadaan yang jarang, yang bersifat jinak dan familial dengan produksi yang berlebihan

early labeled bilirubin. (Sulaiman, 2009).

Hiperbilirubinemia Konjugasi

1. Non-kolestasis

2. Kolestasis

13
Hiperbilirubinemia Konjugasi Non-Kolestasis

Sindrom Dubin-Johnson

Penyakit autosom resesif ditandai dengan ikterus yang ringan dan tanpa keluhan.

Kerusakan dasar terjadinya gangguan ekskresi berbagai anion organik seperti juga bilirubin,

namun ekskresi garam empedu tidak terganggu. Berbeda dengan sindrom Gilbert

hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin konjugasi dan empedu terdapat dalam urin. Hati

mengandung pigmen sebagai akibat bahan serap melanin, namun gambaran histologi normal.

Penyebab deposisi pigmen belum diketahui. Nilai aminotansferase dan fosfatase alkali normal.

Oleh karena sebab yang belum diketahui gangguan yang khas ekskresi korpoporpirin urin

dengan rasio reversible isomer I; III menyertai keadaan ini. (Sulaiman, 2009).

Sindrom Rotor.

Penyakit yang jarang ini menyerupai sindrom Dubin Johnson, tetapi hati tidak mengalami

pigmentasi dan perbedaan metabolik yang nyata yang lain ditemukan. (Sulaiman, 2009).

Hiperbilirubinemia Konjugasi Kolestasis

1. Kolestasis Intrahepatik

2. Kolestasis Ekstrahepatik

Kolestasis Intrahepatik.

Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian ikterus obstruktif sebab obstruksi yang

bersifat mekanis tidak perlu selalu ada. Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja

dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampula Vateri. Untuk kepentingan klinis membedakan
14
penyebab sumbatan intrahepatik atau ekstrahepatik sangat penting. Penyebab yang kurang sering

adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metatastik dan penyakit

lain yang jarang. Virus hepatitis, alkohol, keracunan obat (drug induced hepatitis), dan kelainan

autoimun merupakan penyebab yang tersering. Peradangan intrahepatik mengganggu transport

bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan

dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering

tidak menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik dan menahun dan

mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati. Tidak jarang

penyakit hati menahun juga disertai gejala kuning, sehingga kadang-kadang didiagnosis salah

sebagai penyakit hepatitis akut. Alkohol bisa mempengaruhi ganguan pengambilan empedu dan

sekresinya, dan mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alkohol secara terus menerus bisa

menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan berbagai tingkat ikterus.

Perlemakan hati merupakan penemuan yang sering, biasanya dengan manifestasi yang ringan

tanpa ikterus, tetapi kadang-kadang bisa menjurus ke sirosis. Hepatitis karena alkohol biasanya

memberi gejala ikterus sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika

ada nekrosis sel hati ditandai dengan peningkatan tranasminase yang tinggi. Penyebab lebih

jarang adalah hepatitis autoimun yang biasanya sering mengenai kelompok muda terutama

perempuan. (Sulaiman, 2009).

Kolestasis Ekestrahepatik

Penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus dan

kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi

terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus, pancreatitis atau pseudocyst

15
pancreas dan kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi empedu.

Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanis. Efek patofisiologi

mencerminkan efek backup konstituen empedu ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya

untuk masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin menghasilkan campuran

hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering

berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan

garam empedu dalam sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab gatal, walaupun sebenarnya

hubungannya belum jelas sehingga patogenesis gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti.

Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K, gangguan ekskresi garam

empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotombinemia. Pada keadaan kolestasis yang

berlangsung lama, gangguan penyerapan Ca dan Vitamin D dan vitamin larut lemak lain dapat

terjadi dan menyebabkan osteoporosis dan osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid

mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis di hati berkurang dalam darah koleseterol turut

berperan. (Sulaiman, 2009).

16
17
Gambar 4. Kondisi Kolestatik yang dapat Menyebabkan Ikterik

(Harrison 19th edition, 2014)

III. Diagnosis

Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting, karena kesalahan

diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang kurang atau penilaian gangguan

laboratorium yang berlebihan. Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan

18
sakit bilier atau kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pankreas sering

timbul kuning yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut. Kadang-kadang bila bilirubin telah

mencapai kadar yang lebih tinggi sering warna kuning sklera mata member kesan berbeda di

mana ikterus lebih member kesan kehijauan pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan pada

kolestasis intrahepatik. (Sulaiman, 2009).

IV. Laboratorium

Mempunyai keterbatasan diagnosis. Kelainan laboratorium yang khas adalah peninggian

nilai fosfatase alkali, yang diakibatkan terutama peningkatan sintesis daripada karena gangguan

ekskresi, namun tetap belum bisa menjelaskan penyebabnya. Nilai bilirubin juga mencerminkan

beratnya tetapi bukan penyebab kolestasisnya, juga fraksinasi tidak menolong membedakan

keadaan intrahepatik dari ekstrahepatik. Nilai aminotransferase bergantung terutama pada

penyakit dasarnya, namun seringkali meningkat tidak tinggi. Jika peningkatan tinggi sangat

mungkin karena proses hepatoseluler, namun kadang-kadang terjadi juga pada kolestasis

ekstrahepatik, terutama pada sumbatan akut yang diakibatkan oleh adanya batu di duktus

koledokus. Peningkatan amilase serum menunjukkan sumbatan ekstrahepatik. Perbaikan waktu

protrombin setelah pemberian vitamin K mengarah kepada adanya bendungan ekstrahepatik,

namun hepatoselular juga dapat berespon. Ditemukannya antibodi terhadap antimitokondria

mendukung keras kemungkinan sirosis bilier primer. (Sulaiman, 2009).

V. Pencitraan

Pemeriksaan saluran bilier sangat penting. Pemeriksaan sonografi, CT dan MRI

memperlihatkan adanya pelebaran saluran bilier, yang menunjukkan adanya sumbatan mekanik,

19
walaupun jika tidak ada tidak selalu berarti sumbatan intrahepatik, terutama dalam keadaan

masih akut. Penyebab adanya sumbatan mungkin bisa diperlihatkan, umumnya batu kandung

empedu dapat dipastikan dengan ultrasonografi, lesi pancreas dengan CT. Kebanyakan pusat

menggunakan terutama USG untuk mendiagnosis kolestasis karena biayanya yang rendah.

Endoscopic Retrograde Cholangio-Pancreatgraphy (ERCP) memberikan kemungkinan untuk

melihat secara langsung saluran bilier dan sangat bermanfaat untuk maksud ini. Kedua cara

tersebut diatas mempunyai potensi terapeutik. Pemeriksaan MRCP dapat pula untuk melihat

langsung saluran empedu dan mendeteksi batu dan kelainan duktus lainnya dan merupakan cara

non-invasif alternative terhadap ERCP. (Sulaiman, 2009).

B. Peningkatan Serum Bilirubin dengan Abnormalitas Pemeriksaan Fungsi Hati

I. Riwayat

Penggunaan beberapa bahan kimia atau obat-obatan. Paparan melalui jalur parenteral,

meliputi transfusi, penggunaan obat intravena dan intranasal, tato, dan aktivitas seksual. Hal

penting lainnya adalah riwayat berpergian, kontak dengan pasien ikterik, terpapar oleh makanan

yang terkontaminasi, pajanan hepatotoksin, dan konsumsi alkohol. (John dan Pratt,2104).

Lamanya ikterik serta tanda dan gejala yang menyertai seperti atralgia, myalgia, rash,

anorexia, penurunan berat badan, nyeri perut, demam, pruritus, dan perubahan urin dan feses.

Riwayat atralgia dan myalgia merupakan tanda awal ikterik yang disebabkan oleh hepatitis, baik

virus ataupun obat. Ikterik yang disertai dengan nyeri perut kanan atas yang mendadak dan berat,

dapat disebabkan karena koledolitiasis dan kolangitis. (John dan Pratt,2014).

20
VI. Pemeriksaan Fisik

Penilaian secara keseluruhan termasuk evaluasi status gizi pasien. Kekurangan otot

temporal dan proksimal menunjukkan penyakit yang berlangsung lama seperti kanker pankreas

atau sirosis. Tanda stigmata dari penyakit hati kronis termasuk spider naevi, palmar eritema,

ginekomastia, caput medusa, kontraktur Dupuytren, pembesaran kelenjar parotis dan atrofi

testikular, yang umumnya terlihat pada sirosis alkoholik lanjut (Laennec) dan kadang- kadang

pada tipe lain dari sirosis. Pembesaran dan nodul supraklavikula kiri (Virchow’s) atau nodul

periumbilikal (Sister Mary Joseph) menunjukkan keganasan abdomen. Pelebaran vena jugular,

sebagai tanda gagal jantung kanan, menunjukkan kongesti hati. Efusi pleura kanan dapat terlihat

pada sirosis yang sudah lanjut. (John dan Pratt,2014).

Pemeriksaan abdomen fokus pada ukuran dan konsistensi hati, begitu juga dengan limpa

apakah teraba membesar dan adanya asites. Pasien dengan sirosis mungkin terdapat pembesaran

lobus kiri hati, yang dapat teraba di bawah xypoid serta pembesaran limpa. Pembesaran hati

nodular atau massa abdomen yang jelas menunjukkan keganasan. Pembesaran hati dengan

konsistensi lunak menunjukkan hepatitis virus ataupun alkoholik. Nyeri perut kanan atas yang

berat dengan adanya henti nafas saat inspirasi (tanda Murphy) dicurigai kolesistitis. Asites

dengan ikterik menunjukkan sirosis ataupun keganasan dengan penyebaran peritoneum. (John

dan Pratt,2014).

II. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium membantu evaluasi awal pada pasien dengan ikterik yang

tidak dapat dijelaskan. Pemeriksaan laboratorium termasuk penilaian serum bilirubin, serum

21
aminotransferase alanine aminotranferas (ALT). aspartat aminotrasnferase (AST), alkaline

phosphatase (ALP), konsentrasi albumin, dan protombin time. ALT, AST, dan ALP sangat

membantu untuk membedakan antara proses hepatoseluler dengan proses kolestatik. Pasien

dengan proses hepatoseluler biasanya terdapat peningkatan pada serum aminotransferase yang

tidak sebanding dengan ALP, sebaliknya dengan kasus kolestatik terdapat penigkatan pada ALP

yang tidak sebanding dengan serum aminotransferase. Serum bilirubin dapat meningkat pada

proses hepatoseluler ataupun kolestatik dan tidak terlalu membantu dalam membedakan

keduanya. (John dan Pratt,2014).

Semua pasien ikterik sebaiknya diperiksa level albumin dan protrombin time. Level

albumin yang rendah menunjukkan proses kronik seperti pada sirosis atau kanker. Level albumin

normal menunjukkan proses akut seperti pada virus hepatitis atau koledolitiasis. Peningkatan

protombin time mengindikasikan adanya defisiensi vitamin K yang disebabkan oleh ikterik yang

berkepanjangan dan malabsorbsi vitamin K atau disfungsi hepatoseluler secara signifikan. (John

dan Pratt,2014).

Kondisi hepatoseluler

Penyakit hepatosesuler yang dapat menyebabkan ikterik termasuk hepatitis virus, obat-

obatan dan lingkungan toksik, alkohol, dan sirosis tahap akhir. Penyakit Wilson terjadi secara

primer pada dewasa muda. Hepatitis autoimun secara khas terlihat pada wanita usia pertengahan

dan dapat mengenai laki-laki ataupun perempuan pada tiap usia. Hepatitis alkoholik dapat

dibedakan dengan hepatitis virus dan hepatitis akibat toxin dengan pola dari aminotransferase,

pasien dengan hepatitis alkoholik biasanya memiliki rasio AST : ALT 2: 1, dan level AST jarang

melebihi 300 U/L. Pasien-pasien dengan hepatitis virus akut biasanya memiliki level
22
aminotransferase > 500 U/L, dengan ALT biasanya lebih tinggi dari AST. Sedangakan nilai ALT

dan AST tidak lebih dari 8 kali nilai normal dapat terlihat pada gangguan hepatoseluler ataupun

penyakit hati kolestatik, nilai lebih dari 25 kali nilai normal atau lebih dapat terlihat pada

gangguan hepatoseluler akut. Pasien dengan ikterik yang berasal dari sirosis dapat memiliki nilai

normal atau hanya terjadi sedikit peningkatan level aminotransferase. (John dan Pratt,2014).

Pada pasien dengan gangguan hepatoseluler, sebaiknya dilakukan tes untuk pemeriksaan

hepatitis virus akut, termasuk antibodi IgM, HbSAg, Hbc-IgM, Tes hepatitis C. Karena

membutuhkan waktu berminggu-minggu agar antobodi hepatitis C terdeteksi, tidak disarankan

pada kecurigaan hepatitis C akut. Ceruloplasmin adalah tes screening untuk penyakit Wilson.

Tes untuk hepatitis autoimun termasuk antibody antinuclear dan spesifik immunoglobulin. (John

dan Pratt,2014).

Kerusakan hepatosesluler karena obat dapat diklasifikasikan dengan dapat diprediksi dan

tidak dapat diprediksi. Reaksi obat yang dapat diprediksi adalah dengan dosis yang dapat

mempengaruhi semua pasien yang mengkonsumsi dosis obat. Contohnya adalah acetaminophen.

Reaksi obat yang tidak dapat diprediksi adalah tidak tergantung dosis dan terjadi pada minoritas

dari pasien. (John dan Pratt,2014).

Kondisi Kolestatik

Ketika tes fungsi hari menunjukkan kelainan kolestatik, hal yang dilakukan berikutnya

adalah menentukan kelainannya berasal dari intrahepatik atau ekstrahepatik. Membedakan

keduanya mungkin sulit. Pemeriksaan berikutnya adalah dengan menggunakan ultrasound. Dapat

mendeteksi pelebaran dari duktus bilier intra dan extrahepatik. Meskipun USG dapat

23
menentukan kolestatik extrahepatik, tetapi jarang dapat menentukan letak atau penyabab

sumbatannya. Pemeriksaan berikutnya adalah CT , magnetic resonance

cholangiopancreatography (MRCP), endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP),

dan endoscopic ultrasound (EUS). Pada pasien dengan kolestatik intrahepatik, diagnosis biasa

dibuat dengan tes serologic dikombinasi dengan biopsi hati. (John dan Pratt,2014).

Gambar 5. Kondisi Hepatoseluler yang dapat menyebabkan Ikterik

(Harrison 19th edition, 2014)

24
Gambar 6. Algoritma Pasien Ikterik

(Harrison 19th edition, 2014)

C. Hepatitis A

I. Definisi

Hepatitis A adalah infeksi yang disebabkan oleh Hepatitis A Virus (HAV). Virus ini

merupakan virus RNA, tanpa selubung, dan diklasifikasikan sebagai picornavirus. Virus ini

pertama kali diisolasi pada tahun 1979. HAV dapat stabil di lingkungan selama beberapa bulan,

bergantung pada kondisi. Virus ini relatif stabil dengan pH yang rendah dan pada suhu biasa,

25
tetapi dapat diinaktivasi dengan temperature yang tinggi (185F 85C), formalin dan

klorin.(CDC, 2015).

II. Epidemiologi

Hepatitis A terjadi diseluruh dunia. Endemik pada beberapa area seperti Amerika tengah

dan Amerika selatan, Afrika, Timur Tengah, Asia, dan Pasifik Barat. Manusia adalah reservoir

natural dari virus. HAV kronis tidak pernah dilaporkan. (CDC, 2015)

Infeksi HAV sering terjadi pada tempat-tempat dengan status sosio-ekonomi yang rendah

dan higiene yang buruk. Kelompok yang beresiko tinggi adalah petugas kesehatan, tentara,

pasien psikiatri, dan pria yang berhubungan seksual dengan pria. (Pischke dan Wedemeyer,

2016).

III. Transmisi

Infeksi HAV didapat secara primer dengan rute fekal-oral oleh kontak orang-perorangan

atau menelan makanan atau minuman yang terkontaminasi. Virus muncul di darah selama fase

prodormal, HAV dapat ditransmisikan dengan transfusi, tetapi jarang terjadi. Meskipun HAV

dapat ditemukan di saliva, transmisi melalui saliva tidak pernah dilaporkan. Wabah yang

disebabkan oleh penularan lewat air jarang terjadi dan biasanya disertai dengan limbah yang

terkontaminasi. Transmisi ibu kepada janin tidak pernah dilaporkan. (CDC, 2015).

IV. Patogenesis

HAV ditularkan melalui transmisi fekal-oral dan bereplikasi di hati. Setelah 10-12 hari

virus dapat dideteksi di darah yang kemudian diekskresi oleh sistem bilier menuju feses. Titer

26
tertinggi terjadi 2 minggu sebelum onset gejala muncul. Eksresi virus mulai berkurang pada saat

gejala muncul dan berkurang secara signifikan 7-10 hari setelah onset gejala muncul. Banyak

orang yang terinfeksi tidak ada ekskresi virus pada feses setelah 3 minggu gejala muncul. Anak-

anak mungkin mengekskresi virus lebih lama daripada dewasa. (CDC, 2015).

Lima hari sebelum gejala muncul, virus dapat diisolasi dari feses pasien. (Dienstag,

1975). Ekskresi virus melalui feses dapat terjadi hingga lima bulan setelah infeksi, biasanya

terjadi pada anak-anak dan orang dengan imunokompromais. (Rodrigues-Lima, 2013).

V. Gejala Klinis

Masa inkubasi hepatitis A adalah 28 hari (antara 15-50 hari). Gejala klinis pada hepatitis

A tidak dapat dibedakan dengan hepatitis virus akut lainnya. Gejala khas biasanya demam,

malaise, anorexia, nausea, tidak nyaman pada perut, urin hitam dan kuning. Gejala klinis

umumnya tidak lebih dari 2 bulan, meskipun 10-15% orang mengalami tanda dan gejala lebih

lama dan menunjukkan relaps sampai 6 bulan. Virus dapat diekskresi selama relaps. Keparahan

penyakit dari infeksi HAV tergantung dari faktor usia, pada anak-anak dengan usia lebih dari 6

tahun, 70% kasus tanpa gejala. Pada orangtua dan dewasa, infeksi virus biasanya bergejala

dengan ikterik terjadi lebih dari 70% persen.(CDC, 2015).

Gejala awal biasanya tidak spesifik seperti kelemahan, mual, muntah, anorexia, demam,

tidak nyaman pada perut, dan nyeri pada perut kanan atas. Sejalan dengan progresifitas penyakit,

beberapa orang menjadi ikterik, urin kehitaman, feses tidak berwarna, dan gatal. Gejala

prodormal biasanya hilang ketika muncul ikterik. (Lednar, 1985)

27
Sekitar 10 % kasus mengalami fase bifasik atau relaps. Episode awal biasa terjadi 3-5

minggu, diikuti dengan perbaikan biokimia dengan nilai enzim hati yang normal selama 4-5

minggu. Relaps dapat menyerupai episode awal dari hepatitis akut dan normalisasi dari ALT dan

AST dapat memakan waktu hingga beberapa bulan (Tong, 1995).

Kasus dari infeksi HAV fulminan menuntun terjadinya gagal hati yang terjadi lebih

sering pada seseorang dengan penyakit hati yang mendasari. (Vento, 1998). Faktor resiko

lainnya adalah usia, malnutrisi, dan imunokompromais. (Kim, 2011).

VI. Komplikasi

Gejala klinis yang berat pada infeksi hepatitis A jarang terjadi, meskipun komplikasi

tidak khas mungkin terjadi, termasuk imunologi, neurologi, hematologi, pankreatik, dan

manifestasi renal extrahepatik. Hepatitis yang berulang, Hepatitis A kolestatik, Hepatitis A

dipicu autoimun, Hepatitis subfulminan, Hepatitis fulminan juga sering dilaporkan. Hepatitis

fulminan adalah komplikasi paling jarang, tetapi tingkat kematian nya mencapai 80%. Vaksinasi

pada orang dengan resiko tinggi dapat menurunkan komplikasi hepatitis fulminan. (CDC, 2015).

28
Gambar 7. Kemungkinan Perjalanan Penyakit Infeksi HAV

VII. Diagnosis Laboratorium

Hepatitis A tidak dapat dipisahkan dari virus hepatitis lain hanya berdasarkan klinis atau

fitur epidemiologik saja. Pemeriksaan serologis dibutuhkan untuk memastikan diagnosis.

Sebenarnya, semua pasien dengan hepatitis A akut dapat dideteksi dengan IgM anti-HAV.

Infeksi HAV akut dapat dikonfirmasi selama fase akut atau fase penyembuhan awal. IgM

biasanya dapat dideteksi 5-10 hari sebelum onset gejala dan dapat masih dideteksi sampai 6

bulan. IgG anti HAV muncul pada fase penyembuhan, dapat muncul seumur hidup yang

menandakan perlindungan terhadap penyakit. Tes antibodi pada total anti-HAV untuk mengukur

IgG dan IgM anti HAV. Orang dengan total anti-HAV positif dan IgM anti HAV negatif,

menunjukkan infeksi terdahulu ataupun riwayat vaksinasi. (CDC, 2015).

29
IgM dan IgG anti-HAV juga menjadi positif setelah dilakukan vaksinasi. (Tseng, 2012)

Metode virologi molecular seperti polymerase chain reaction (PCR) dapat memperkuat

penentuan genome virus. Metode ini membantu dalam menginvestigasi sumber wabah hepatitis

A yang terjadi. (CDC, 2015)

VIII. Management Medis

Tidak ada terapi antivirus yang spesifik untuk hepatitis A. Penelitian terbaru

mempertunjukkan bahwan cyclosporine A dan silibinin menghambat replikasi in vitro.(Esser-

Nobis, 2015) .

Studi terakhir dari Belanda menginvestigasi penggunaan vaksinasi setelah terpapar HAV

dengan profilaksis dengan immunoglobulin pada pasien riwayat kontak dengan HAV. Pada studi

ini pasien yang medapat profilaksis immunoglobulin tidak ada yang berkembang menjadi

hepatitis A akut, kontras dengan pasien yang mendapat vaksinasi. Studi ini menyatakan bahwa

vaksinasi HAV lebih baik digunakan pada pasien dengan usia < 40 tahun, sedangakan pasien

dengan usia > 40 tahun lebih menguntungkan dengan penggunaan immunoglobulin. (Whelan,

2013).

Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi virus hepatitis A. Pengobatan dari infeksi HAV

adalah terapi suportif. (CDC, 2015).

IX. Vaksin Hepatitis A

Orang-orang yang beresiko tinggi terkena hepatitis A (CDC,2015).

1.Wisatawan luar negeri

30
2.Kontak dengan anak adopsi yang berasal dari Negara dengan endemik hepatitis A yang

tinggi.

3.Laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki.

4.Orang yang menggunakan obat ilegal.

5.Orang dengan gangguan pembekuan darah.

6.Orang dengan resiko kerja.

7.Orang dengan hepatitis kronik.

8.Pekerja kesehatan : tidak selalu direkomendasi.

9.Pusat perawatan anak : tidak selalu direkomendasi.

10. Penjahit atau tukang ledeng : tidak selalu direkomendasi.

11. Pemegang makanan : tergantung epidemiologik lokal.

Tabel.1 Vaksin Hepatitis A

Formulasi HAVRIX VAQTA

Pediatrik

Usia 1 hingga 18 tahun 1 hingga 18 tahun

Volume 0,5 mL 0,5 mL

31
Dosis 720 (EL.U) 25 U

Jadwal 0, 6-12 0, 6-18

Dewasa

Usia 19 tahun ke atas 19 tahun ke atas

Dosis 1,0 mL 1,0 mL

Jadwal 0, 6-12 bulan 0, 6-18 bulan

Tabel 2. Vaksin Kombinasi Hepatitis A dengan Hepatitis B :

TWINRIX

Usia 18 tahun ke atas

Jadwal 0,1,6 bulan

Atau

0, 7, 21 sampai 30 hari dan dosis booster 12

bulan setelah dosis pertama

Wisatawan yang memilih tidak menerima vaksin harus diberikan dosis tunggal IG (0,02

mL/kg), yang mana memberikan perlindungan hingga 3 bulan. Orang yang berpergian lebih dari

32
2 bulan harus diberikan IG 0,06 mL/kg. IG harus diberikan berulang 5 bulan kemudian jika

memperpanjang berpergian. (CDC, 2015).

D. Kolesistitis

Kolesistitis Akut

I. Definisi

Radang kandung empedu (kolesistitis akut) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung

empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. (Pridady, 2009)

II. Etiologi dan Patogenesis

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan

empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut

adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis

cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis

akut akalkulus). Bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, masih

belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan empedu,

kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu

diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (Pridady, 2009).

Kolesistitis akut akalkulus dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup lama dan

mendapat nutrisi secara parenteral, pada sumbatan karena keganasan kandung empedu, batu di

saluran empedu atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain seperti demam tifoid dan

diabetes mellitus. (Pridady, 2009).

33
III. Gejala Klinis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah

kanan atas atau epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit

menjalar ke pundak atau scapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat

ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan

sampai dengan gangrene atau perforasi kandung empedu. (Pridady, 2009).

Pada pemeriksaan fisis teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai tanda-tanda

peritonitis local (tanda Murphy). (Pridady, 2009).

Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl).

Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikiran adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.

(Pridady, 2009).

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis serta kemungkinan peninggian

serum tranaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu

tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi

kandung empedu perlu dipertimbangkan. (Pridady, 2009).

IV. Diagnosis

Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada

15% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radioopak) oleh karena

mengandung kalsium cukup banyak. (Pridady, 2009).

34
Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan kandung empedu bila ada obstruksi

sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. (Pridady, 2009).

Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat

bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan

saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 – 95%.

(Pridady, 2009).

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99n Tc6

Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah.

Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada

pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut. (Pridady,

2009).

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitive dan mahal tapi mampu memperlihatkan

adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan

USG. (Pridady, 2009).

Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba-tiba perlu dipikrkan seperti

penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti apendiks yang

retrosekal, sumbatan usus, perforasi , ulkus peptikum, pankreatitis akut, dan infark miokard.

(Pridady, 2009).

V. Pengobatan

Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, obat

penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotic pada fase awal
35
sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan

ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman-kuman yang

umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E.coli, Strep. Faecalis dan Klebsiella. (Pridady,

2009).

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya

dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaan

umum pasien lebih baik. Sebanyak 50% kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah

yang pro operasi dini menyatakan, timbulnya gangren dan komplikasi kegagalan terapi

konservatif dapat dihindarkan, lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya

dapat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan

penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi

akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi. (Pridady, 2009).

VI. Prognosis

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu menjadi

tebal, fibrotic, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis

rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema,

fistel, abses hati atau peritonitis umum. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotic yang

adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (> 75 tahun) mempunyai

prognosis yang jelek disamping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah. (Pridady,

2009).

36
Kolesistitis Kronik

I. Gejala Klinis

Diagnosis kolesistitis kronik sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya sangat

minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di epigastrium dan nausea khususnya

setelah makan makanan berlemak tinggi, yang kadang-kadang hilang setelah bersendawa.

Riwayat penyakit batu empedu di keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri lokal di daerah

kandung empedu disertai tanda Murphy positif, dapat menyokong menegakkan diagnosis.

(Pridady, 2009).

Diagnosis banding seperti intoleransi lemak, ulkus peptic, kolon spastik, karsinoma kolon

kanan, pankreatitis kronik dan kelainan duktus koledokus perlu dipertimbangkan sebelum

diputuskan untuk melakukan kolesistektomi. (Pridady, 2009).

II. Diagnosis

Pemeriksaan kolesistografi oral, ultrasonografi dan kolangiografi dapat memperlihatkan

kolelitiasis dan afungsi kandung empedu. Endoscopic retrograde choledochopancreaticography

(ERCP) sangat bermanfaat untuk memperlihatkan adanya batu di kandung empedu dan duktus

koledokus. (Pridady, 2009).

III. Pengobatan

Pada sebagian besar pasien kolesistitis kronik dengan atau tanpa batu kandung empedu

yang simtomatik, dianjurkan untuk kolesistektomi.Keputusan untuk kolesistektomi agak sulit

37
untuk pasien dengan keluhan minimal atau disertai penyakit lain yang mempertinggi risiko

operasi. (Pridady, 2009).

E. Kolesistitis Akalkulus Akut yang Disebabkan oleh Hepatitis A

Patofisiologi dari kolesistitis akalkulus selama infeksi hepatitis virus akut tidak diketahui

secara jelas. Hipoalbuminemia, peradangan hati yang lama dan peningkatan tekanan porta, dapat

menyebabkan edema dinding kandung empedu. Diagnosis berdasarkan klinis dan dipastikan

dengan ultrasonografi. Kriteria ultrasonografi untuk diagnosis kolesistitis akalkulus akut (1)

Distensi pada kandung empedu, (2) Penebalan dinding kandung empedu (>3,5 mm), (3) Tidak

ada bayangan akustik atau ‘sludge’, (4) Akumulasi cairan perivesical, dan (5) Tidak ada

pelebaran duktus bilier. Sensitivitas ultrasonografi dalam mendeteksi adalah 88,9%.

Penatalaksanaan awal berupa terapi konservatif, dengan indikasi kegawatdaruratan untuk

dilakukan kolesistektomi pada kasus-kasus terjadinya gangrene atau perforasi pada dinding

kandung empedu. Penatalaksaan kolesistitis akalkulus akut bervariasi tergantung dari presentasi

klinis. Banyak kasus mengalami perbaikan dengan sendirinya, dan kandung empedu mengecil

secara spontan dengan penatalaksanaan penyakit sistemik yang mendasarinya dalam waktu

kurang lebih dua minggu. (Safak, Ahmet, Nurettin, Biro,et.al, 2013).

38
Daftar Pustaka

Fauci AS, Kasper DL, Longo D, Braunwald E, Hauser SL, Loscalzo J, et al. Harrison's

Principles of Internal Medicine, 19th Edition. P. 279-285

Hamborsky, J. Kroger, A. Wolfe, S. 2015. Hepatitis A. In : Epidemiology and Prevention

of Vaccine-Preventable Diseases (Pink book). P. 135-147.

Mauss, S. Berg, T. Rockstroh, J. Wedemeyer, H. Sarazzin, C. 2016. Hepatology a

clinical textbook. P.31-37.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid I edisi V. P 422-425. 479-480.

Safak, Ahmet, Nurettin, Birol, Mehmet, Bahadir, Arzu, Recai. 2013. Acute Acalculous

Cholecystitis due to Viral Hepatitis A. Available at

https://www.hindawi.com/journals/criid/2013/407182/. Diakses pada tanggal 17 November

2016.

39

Anda mungkin juga menyukai