Anda di halaman 1dari 6

Kabupaten Bone adalah salah satu Daerah otonom di provinsi Sulawesi

Selatan, Indonesia. Ibu kotakabupaten ini terletak di kota Watampone. Berdasarkan data
Kabupaten Bone Dalam Angka Tahun 2015 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bone, jumlah penduduk Kabupaten Bone Tahun 2015 adalah 738.515 jiwa,
terdiri atas 352.081 laki‐laki dan 386.434 perempuan. Dengan luas wilayah Kabupaten Bone
sekitar 4.559 km2 persegi, rata‐rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Bone adalah
162 jiwa per km2.

Kabupaten Bone sebagai salah satu daerah yang berada di pesisir timur Sulawesi Selatan
memiliki posisi strategis dalam perdagangan barang dan jasa di Kawasan Timur
Indonesia yang secara administratif terdiri dari 27 kecamatan, 328 desa dan 44 kelurahan.
Kabupaten ini terletak 174 km ke arah timur Kota Makassar, berada pada posisi 4°13'- 5°6'
LS dan antara 119°42'-120°30' BT. Luas wilayah Kabupaten Bone 4.559 km² dengan rincian
lahan sebagai berikut

 Persawahan: 88.449 Ha
 Tegalan/Ladang: 120.524 Ha
 Tambak/Empang: 11.148 Ha
 Perkebunan Negara/Swasta: 43.052,97 Ha
 Hutan: 145.073 Ha
 Padang rumput dan lainnya: 10.503,48 Ha
Batas Wilayah

Utara Kabupaten Wajo, Soppeng

Selatan Kabupaten Sinjai, Gowa

Barat Kabupaten Maros, Pangkep, Barru

Timur Teluk Bone

Iklim
 Wilayah Kabupaten Bone termasuk daerah beriklim sedang. Kelembaban udara
berkisar antara 95%-99% dengan temperatur berkisar 26 °C – 34 °C.
 Selain kedua wilayah yang terkait dengan iklim tersebut, terdapat juga wilayah
peralihan, yaitu: Kecamatan Bontocani dan kecamatan Libureng yang sebagian
mengikuti wilayah barat dan sebagian lagi wilayah timur. Rata-rata curah hujan
tahunan di wilayah Bone bervariasi, yaitu: rata-rata < 1.750 mm; 1750 – 2000 mm;
2000 – 2500 mm dan 2500 – 3000 mm.
 Pada wilayah Kabupatan Bone terdapat juga pengunungan dan perbukitan yang dari
celah-celahnya terdapat aliran sungai. Disekitarnya terdapat lembah yang cukup
dalam. Kondisinya sebagian ada yang berair pada musim hujan yang berjumlah
sekitar 90 buah. Namun pada musim kemarau sebagian mengalami kekeringan,
kecuali sungai yang cukup besar, seperti sungai
Walenae, Cenrana, Palakka, Jaling, Bulu-bulu, Salomekko, Tobunne dan Lekoballo.

A.Bahasa

Bahasa Bugis adalah salah satu dari rumpun bahasa Austronesia yang digunakan oleh
etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di sebagian Kabupaten Maros,
Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Parepare, Kabupaten Pinrang, sebahagian
kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu,
Kabupaten Sidenreng Rappang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone,
Kabupatent Sinjai, sebagian Kabupaten Bulukumba, dan sebagian Kabupaten Bantaeng.

Bahasa yang digunakan masyarakat Bone mempunyai dialek yang berbeda karna
dipengaruhi oleh pelaut Makassar yang bermukim di Bone sehingga masyarakat bone
menggunakan bahasa bugis namun masyarakat bone tetap mempertahankan nada suaranya
atau dialek asli khas bone yang lembut.

B.Sistem Mata Pencaharian

Mata pencaharian yang ada di kabupaten Bone adalah


pertanian,peternakan,pedangang,buruh,PNS/ASN,dan Buruh. Penghasilan pertanian berupa
padi,jagung,kacang-kacangan,bawang merah,tembakau,mentimun,Lombok dan tomat.
Peternakan berupa sapi,kuda,ayam,bebek dan kambing.

C.Sistem Kepercayaan

Agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bugis Bone sejak abad ke-17 adalah
Islam. Adalah masyarakat Minangkabau yang membawa Islam ke tanah Bugis, utamanya
pada da’i dari daerah Sumatera Barat. Pesyiar atau para da’i membagi wilayah penyebaran
Islam dalam tiga wilayah yang berbeda. Ada Abdul Makmur yang ditugaskan untuk
menyiarkan Agama Islam di tanah Gowa dan Tallo. Suleiman diperintah untuk mengajarkan
Islam di daerah Luwu, sedangkan untuk daerah Bulukumba, Nurdin Ariyani terpilih untuk
bersyiar disana.Adapun upacara yang dilakukan untuk memusyawarahkan hal-hal yang
penting yang menyangkut pemerintahan atau permasalahan yang dihadapi oleh kerajaan
untuk mencapai kesepakatan dan muafakat.

Tudang Ade
1. Nama : Upacara Tudang Ade (duduk secara Adat)
2. Tempat pelaksanaan : 108 (seratus delapan) orang
3. Waktu pelaksanaan : 108 (seratus delapan) orang
4. Maksud diadakannya upacara :

o Hal ini menunjukkkan bahwa dalam pemerintahannya Raja Bone tidak bersifat otoriter
melainkan Demokrasi, karena Raja senantiasa melibatkan seluruh Dewan Kerajaan dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut Kerajaan dan kepentingan Rakyat. Selain itu
upacara ini juga menunjukkan bahwa Raja Bone adalah seorang Raja yang murah hati dan
ramah terhadap bawahannya dengan menjamu mereka makanan ringan khas kerajaan serta
perlu untuk diterima secara adat.
o Apabila Kerajaan kedatangan tamu resmi dari kerajaan lain dan dianggap perlu untuk
diterima secara adat.
5. Unsur pelaksanaan Upacara sebanyak 110 orang
6. Rangkaian Upacara sebagai berikut :
o Tomarilaleng, Makedang Tana, Ponggawa, Anreguru, Anakarung dan Ade Pitu mengambil
tempat yang sudah ditentukan.
o Arung Palili datang dan mengambil tempat yang sudah ditentukan.
o Para isteri Ade Pitu dan isteri Bangsawan lain melakukan hal tersebut di atas.
o Para Joa juga melakukan hal yang sama.
o Raja dan Permaisuri memasuki ruang pertemuan dan duduk pada tempat yang telah
disiapkan.
o Acara Mappaota, seluruh hadirin disuguhi sirih dan nampak oleh beberapa orang pria untuk
tamu pria dan wanita bagi tamu wanita.
o Arungpone mulai bersabda kemudian terjadi dialog dengan para anggota Dewan Kerajaan
dan Para Bangsawan, membicarakan hal penting dalam kerajaan serta mencari jalan
pemecahannya melalui musyawarah.
o Setelah pembicaraan selesai, dihidangkan minuman dan makanan kecil o1eh parakka'
(pe1ayan) sesuai adat dan tata cara kerajaan.
o Arungpone meninggalkan ruang pertemuan diikuti seluruh peserta ”tudang ade”.
D.Kesenian

 BOLA SOBA

Rumah adat bangsawan bugis di watampone, Sulawesi selatan yang disebut bola
soba, arsitekturnya mirip dengan rumah adat gowa yakni bola lompoa. Bola soba atau
dalam bahasa Indonesia yang diartikan “ rumah persahabatan” merupakan salah satu
peninggalan saejarah masa lampau.
Bangunan tradisional bugis bermaterial ini berdiri di atas lahan seluas ½ hektar diruas jalan
latenriatatta, watampone. Kokohnya bangunan ini menandakan bahwa masyarakat bone
yang masa lampau telah menguasai pengetahuan teknik arsitektur dan sipil yang mumpuni.
Memasuki bagian dalam bangunan, tak ada benda-benda monumental yang bisa
menjelaskan historis bengunan tersebut dengan detail, sedangkan di bagian lain ruangan
terdapat “ bangkai” meriam tua, potret lukisan arung palakka, silsilah raja bone, serta
beberapa benda-benda tertentu yang disengaja disimpan pengunjung sebagai bentuk
melepas nazar. Nampak yang jelas hanya beberapa perlengkapan kesenian, kostum tali dan
gong dimana setiap harinya bangunan bola soba menjadi tempat latihan salah satu sanggar
seni yang ada di bone kota ini.

 MAPPERE

Merupakan salah satu pesta rakyat dan telah menjadi tradisi tahunan masyarakat
dibeberapa desa desa di kecamatan Tellu Siattingnge, kbupaten bone, Sulawesi selatan.
Sebagian besar masyarakat yang berada dikecamatan tersebut, menjadikan
permainan mappere sebagai ritual dan bentuk kesyukuran atas hasil panen yang telah
mereka peroleh
Waktu pelaksanaan tradisi mappere tidaklah menentu, namun biasanya mappere
digelar pada akhir tahun, antara bulan oktober hingga bulan desember.
Mappere, berasal dari bahasa bugis yang berarti permainan ayunan.Ketika ribuan
warga telah memadati lapangan terbuka, serta pemuda adat telah membaca mantra untuk
keselamatan para gadis agar tidak terjadi sesuatu hal yang tudak diinginkan pada saat tradisi
sedang berlangsung. Maka itu suatu perdanda acara mappere akan segera dimulai.
Permainan tersebut dipastikan mendebarkan jantung dan membuat penonton
terpukau. Bahkan tak jarang penonton berteriak dengan nada khawatir ketika menyaksikan
keberanian para gadis desa yang secara bergantian berayun-ayun diudara sambil
melenggak-lenggokkan kedua tanganya. Dan beberapa pria dewasa bertugas menarik tali
ayunan tersebut dengan sekuat-kuatnya.
Serta rakyat tersebut memang cukup menantang, karena pelakunya harus memiliki
nyali untuk diayunkan hingga belasan meter dengan mencapai putaran 180 derajat.
Dalam pelaksanaan tradisi itu, terbuat dari pohon randu yang diikat dengan
beberapa pohon bamboo sebagai penyangga. Serta beberapa pohon bamboo lainnya
digunakan sebagai gantungan tali rotan yang berfungsi sebagai tali ayunan.
Sementara itu, ketika acara sedang berlangsung, sejumlah ibu rumah tangga sibuk di
rumah masing-masing untuk mempersiapkan santapan siang bagi warga yang dating dari
luar desa tersebut.
Tradisi mappere telah menjadi ritual turun-temurun dan menjadi salah satu symbol
bahwa dalam menghadapi segala tantangan duniawi, kaum pria harus setia menuntun dan
menjaga kaum wanita.setelah tradisi mappera telah selesai dilaksanakan maka dilanjutkan
dengan tradisi massempe ini di gelar, tak jarang warga menyembeli puluhan ekor kuda
untuk dijadikan hidangan para tamu yang juga disimbolkan sebagai bentuk kesyukuran
mereka.
 SERAWU SULO, TRADISI PERANG API WARGA BONE

Ada tradisi menarik yang dilakukan warga dusun tengnga-tengnga, desa pongka,
kecamatan tellu siattingnge, kebupaten bone, Sulawesi selatan, dalam memperingati leluhur
mereka. Mereka menggelar tradisi perang api atau dikenal dengan “SERAWU SULO”. Tradisi
ini hanya digelar sitiap tiga tahun sekali oleh masyarakat setempat.
Dalam tradisi ini, puluhan warga saling lempar api dengan menggunakan obor
berbahan daun kelapa kering yang diikat menyerupai lembing, tak ayal tradisi ini banyak
memakan korban luka bakar. Uniknya, meski tradisi ini terkesan eksrim dan konyol, namun
malah menjadi ajang silaturrahmi wagra setempat.
Sementara warga yang akan menjadi peserta perang api membasuh sekujur
tubuhnya dengan minyak kelapa muda yang diserahkan oleh tokoh adat.
Dilapangan terbuka inilah puluhan warga saling serang dengan menggunakan obor
disaksikan ribuan warga yang sengaja dating dari berbagai pelosok tempat. Saling lempar api
hingga saling membakarlawan disertai sorakan bercampur tabuhan gendang mewarnai
tradisi ini.
Kalau ditanya rasanya yang memeang sakit karena kulit melepuh tapi lukanya besok
sudah sembuh karena sudah dikasih minyak kelapa oleh “sandro” ujar lahu, salah seorang
peserta perang api yang sekujur tubuhnya nyaris melepuh.
Sejatinya tradisi ini bermula dari nenek moyang mereka yang merupakan penduduk
kebupaten soppeng. Dahulu kala, mereka mengunsi lantaran tidak sepakat dengan
kebijakan salah seorang raja yang memerintah kerajaan soppeng kala itu. Merekapun
meninggalkan harta kekayaan dan kampong halamannya dengan hanya hanya sejumlah
ekor ternak ayam dengan menggunakan obor sebagai alat penerangan di malam hari.
Setelah memempuh perjalanan beberapa hari, merekapun menemukan lahan yang
kini masuk dalam wilayah kabupaten bone. Lahan itu mereka nilai layak untuk dihuni, dan
tersembunyi dari kerajaan. Merekapun bersukacita dengan melemparkn obor mereka,
sebagai luapan kegembiraan.luapan kegembiraan inilah yang terus dipengaruhi oleh anak
cucu dari generasi kegenerasi hingga sekarang. “ini hanya cerita turun temurun tidak tahu
betul atau tidak kerena kisahnya tidak ada secara tertulis tetapi memeng kami laksanakan
disini selama tiga tahun sekali, konon nenek moyang kami adalah orang soppeng yang dulu
satu kampung dulu mengungsi kesini karena raja di sana sangat kejam, “kata Alimuddin,
kepada desa (kades) setempat.
Sayangnya tradisi yang jika dikelola dengan baik ini mampu menjadi daya Tarik
pariwisata dan menghasilkan pendapatan, namun tidak mendapat apresiasi dari pemerintah
kabupaten setempat. Hal initerbukti dengan minimnya sarana dan prasarana di desa ini,
termasuk akses jalan yang berbatu dan berdebu tanpa pengaspalan.
“begitu terus di sini kampong tidak pernah diperbaiki. Lihat saja jalanannya kalau
musim kemarau berdebu dah kalau musim hujan berlumpur untung baik kalau motor bisa
lewat,” keluh Ahmad salah seorang warga setempat.

Anda mungkin juga menyukai