Swara. Artinya, Bunda sudah sampai di ibukota. Jangan coba- coba mengingkari satu janji pun, atau Bunda tidak akan menemui Swara. Masih ingat dua janji Swara, kan? Ingatlah selalu itu. Percaya pada Bunda, anak Bunda bisa menepati janjinya. ** “Bunda, kalau Swara gak bisa nepatin salah satu dari janji itu, Bunda gak bakal nemui Swara, dong.” Suara katak bernyanyi bersahutan, nyanyian pujian atas datangnya hujan meredam volume suaraku yang merajuk pada Bunda. Aku terus merengek agar Bunda mau melupakan janji yang sekrang jauh dari jangkauan. Tidak ada jawaban atau pertanyaan balik karena Bunda memang tidak mendengarku. Malam sepenuhnya gelap. Sedikitpun tidak memberi ruang bagi bulan atau bintang untuk berpendar. Meski waktu isya telah berlalu tiga jam yang lalu, manik mata ini belum bosan jua menatap langit. Semilir angin malam membawa hawa dingin, menubruk semua benda yang menghalangi lajunya. Menusuk pelan, menembus lapisan kulit, menyebar, lalu membuat tubuh menggigil. Asa mendapat rengkuhan hangat keluarga hanya sebatas bayangan pelupuk mata. Ratusan malam berlalu membawa tubuh yang haus akan kehangatan. nun apalah adanya hanya angin yang merengkuhku. Menghilangkan kehangatan yang pernah dikenal oleh indera perabaku. Mata ini mulai memanas. Memburam. Embun-embun hangat itu akan sempurna mengalir dan menetes jatuh sebentar lagi. Tidak akan ada yang menahannya. Apa lagi? Keinginan itu berada di ujung tebing. Pilihannya hanya satu, menunggu kesempatan lain untuk menepati janji yang akan membawaku pada Bunda, dan itu bukanlah pilihan. “Masih ingat dua janji Swara, kan?” Urung. Suara lembut menenangkan itu menggema, memenuhi ruang pada indera pendengaranku. Rangkaian kata yang selalu Bunda katakan di kala aku mengeluh. Di saat aku memaki-maki takdir dan menyalahkan kepergian Ayah. Rangkaian kata itu sama persis dengan sepotong kalimat yang Bunda tuliskan di sepucuk surat. “Swara ingat, sangat ingat. Bukankah Bunda menyuruh Swara untuk percaya pada Bunda?” Aku menunduk, tidak ingin memejamkan mata. Takut kalau bulir bening ini mencuri kesempatan untuk keluar melalui celah tersempit sekalipun. Pandangan ini tanpa sengaja merekam aksi diamnya jajaran sandal di bawah sana, di depan pintu gedung asrama berwarna jingga itu. Berbaris rapi berpasang-pasang. Bahkan sepasang alas kaki yang kodratnya hanya untuk diinjakpun tidak pernah sendiri, apalagi merasakan kesepian. Kembali, aku memandangi langit yanag masih enggan menyingkap tabir. Mendongak. Hawa dingin menampar pipiku seketika. “Bunda, kenapa sih Bunda harus kerja di Ibukota. Kan, kalau begini Swara jadi susah untuk nepatin janji. Paskibraka Nasional gak gampang buat Swara.” Satu persatu rasa yang asing oleh lidah, mulai mengisi satu ruang yang Allah ciptakan khusus untuknya. Perasaan rindu yang tidak akan pernah tersampaikan. Perasaan takut yang tidak beralasan. Perasaan kosong ketika rasa penyesalan tentang betapa cerobohnya aku kembali muncul. Tanpa segan ia mengundang ingatan malangku untuk memutar memori pada tempo itu. Siang yang berangin di kantin sekolah membuatku ingin angkat tangan atas penantian sendu ini. Dan tabir siang yang memberiku sebuah arti final. Sebenarnya, selepas pengajian pagi aku kehilangan semangat sekolah. Gairahku benar-benar hancur. Sampai pada jam kesekian, nama Nareswara Arendra terdengar di seluruh penjuru pesantren putri setelah nama Paku Nalabela disebutkan. Pada detik-detik itulah rona hatiku berputar ke lain titik derajat. “Tapi, aku masih tidak percaya. Bisa-bisanya kamu dikirim untuk menjalani karantina dengan Nala si modelnya pesantren itu! Kalau dibandingkan dengan kamu, kamu punya apa?” Imbuh Ragil sarkasme. Memang aku sempat heran. Dibandingkan dengan Nalabela sang model yang wajah ayunya sering tercetak di brosur dan banner. Aku jelas lewat. Apalagi dia yang notabene seorang mantan Ketua Paskibraka semasa SMP. Sudah dapat dipastikan keahliannya berdasarkan pengalaman yang ia miliki. Satu kesimpulan yang dapat aku tarik, aku beruntung. Surat berstempel ini semakin mendekap anganku akan seorang paskibraka yang penuh kharisma melenggang tegap mengiringi bendera merah putih. Istimewanya, ada Bunda yang akan merengkuh paskibraka itu. “Simpan dulu, Neng. Biar ndak kusut” Sindir Ragil menanggapi tingkahku yang memberlakukan surat dari Pihak Penyeleksi Paskibraka Nasional layaknya surat cinta. Tanpa ia sindir pun sebenarnya aku sudah berniat untuk memasukkannya kembali kedalam amplop tempatnya berasal. Sayangnya, jikalau aku tidak terhanyut dalam timangan anganku, mungkin aku bisa menyimpannya untuk waktu yang lebih lama. Apalah adanya, semua sudah terjadi begitu cepat di depan mataku. Aku mengingat semuanya dengan lekang, dan aku menyesalinya. Kertas berkop itu membelah jadi dua secara perlahan, sesaat setelah sadar kertas itu tidak kupegang lagi. Nafasku tertahan. Mataku membulat. Aku kaget, bahkan tidak sempat menyadari mengenai kehadiran seseorang di sampingku. Dia dengan santainya menyobek pelan kertasku. Seorang gadis anggun setinggi 160 sentimeter. Lebih tinggi tiga senti dariku. Dialah Nalabela. “Eh, kok ada kop resminya, ya? Upppss, sepertinya ini berharga untukmu” aku terdiam memandangi surat itu. Ia menyeringai licik serambi melempar surat itu ke wajahku. “Maaf ya” Lanjutnya dengan nada yang dibuat sok bersalah. Habis kesabaran Ragil. Tanpa seperizinanku dia berdiri dari duduknya, disusul suara gebrakan meja ulah sepasang telapak tangannya yang mengeras akibat luapan emosi. Ragil yang temperamental tidak bisa mengontrol rasa kesalnya. Kegaduhan tidak terelakkan. Semua berantakan. Menjadi kusut, sekusut kertas berkop tadi yang sekarang melayang lalu meringkuk kesepian. Pasalnya, ia sudah terlepas dari masalah. Sedangkan untukku, masalah itu malah menjerat kuat. Aku yang semula tidak ingin terlibat ujung-ujungnya terseret ke depan meja dewan kepesantrenan. Satu kasus yang sudah aku ketahui benar apa konsekuesinya. ”Kalian bertiga. Saya tidak tahu alibi kalian. Semuanya akan mendapat hukuman yang sama. Kamu, Nareswara! Karena satu kesalahan kamu, kami pihak kepesantrenan membatalkan karantinamu sebagai peserta Paskibraka.” Ucapan Ustaz yang menduduki posisi dewan kepesantrenan itu kurekam dengan jelas dalam kompilasi album sedih yang kutata rapi di rak kenanganku. Kisah yang aku angan-angan penuh warna, tentang pembuktian sebuah kepercayaan. Tidak seindah perealisasiannya. Kisah selanjutnya begitu buram. Seburam cermin tua yang terbengkalai di sudut kamarku. Aura malam semakin mencekam. Hawa dingin yang semula memeluk menggigilkan berubah haluan menjadi mencengkeram membekukan. Aku masih berdiri pada posisiku. Menjadikan pagar balkon kamarku sebagai tumpuan kedua lengan yang tidak bertenaga. Tidak biasanya aku merenung terlampau lama. Semua rasa yang mengisi ruang khusus itu semakin absurd. Hanya tertinggal nanas putus asa, membuat dadaku penuh sesak. “Bunda, apa Allah lupa dengan Swara? Bukankah janji Allah bakal nyata?” suaraku mengecil. “Apa Swara kurang percaya pada Bunda? Semenjak mendapatkan surat itu. Swara semakin percaya, janji ini gak sia-sia. Swara akan mengibarkan bendera Merah Putih di Istana Negara. Di tempat itu akan teramat mudah untuk memelukmu. Masa bodoh dengan janji yang kedua”. Kembali, aku menahan suaraku agar tidak berucap lagi. Pelan, aku berusaha mengeja apa yang hatiku tuliskan. Menjaga agar janji itu tetap tekontrol oleh sistem otakku. ”Bunda, Tujuh kali lagi bertemu malam. Maka Swara tidak bisa lagi bertemu denganmu. Apakah ini nyata, Bunda?” Kilatan cahaya putih melukisi kanvas langit malam ini. Air jatuh untuk kesekian kali. Langit malam pun menumpahkan kesedihan, menguraikan semua beban miliknya selama menemani Bumi. Lalu, kapan aku bisa seperti langit? Pagi ini, langit masih terbawa suram. Seakan mengerti lebih tentang perasaanku yang semakin buram dari pandangan bahagia. Ditambah lagi dengan keberadaan seorang laki-laki di depanku yang mengaku sebagai ayahku. “Swara?” “Diam!!!” potongku tegas. Pikiranku kalut, perasaanku kacau. Hilang semua ilmu tentang etika yang selama ini aku jaga. Apa maksud sang takdir pada jalan hidupku. Aku sudah menganggapnya tidak pernah ada. Karena dia, Bunda harus pergi ke ibukota. Karena dia juga, terpetik janji itu. Lalu untuk apa dia sekarang datang, di saat Bunda sudah benar-benar tidak akan menemuiku. Abaikan janji keduaku pada Bunda. Biarlah, aku terlanjur membencinya. “Tunggu, jangan potong ucapan Ayah. Semua tidak seperti yang Swara pikirkan. Swara harus tahu sesuatu” Aku terdiam mendengarkan suaranya yang teramat dirindukan oleh indera pendengaranku dalam menyebut namaku. Aku mengamatinya, gerakannya ketika mengambil sepucuk kertas dari saku kemeja. “Baca sekarang juga. Ayah harap Swara mengerti”. Aku menerima kertas yang ia sodorkan padaku. Kertas ini seperti tidak asing bagiku. Kertas ini sama dengan surat Bunda yang berada di kantong jubahku. Aku membukanya pelan, mengamati sekilas. Manik mataku bergetar. Retina ini menangkapnya, tulisan Bunda yang lain. Apa mungkin... “Itu potongan surat dari Bunda untukmu. Ayah menemukannya di lantai rumah. Mungkin terjatuh.” Aku membungkam mulutku. Menunduk, memandangi lamat kertas di tanganku. Sebuah kenyataan yang baru terungkap untukku. Ayahku seorang non-muslim, dan Bunda mualaf ketika usiaku menginjak 10 tahun. Jelas sekali alasan mereka berpisah dan tidak bisa kembali bersama. Hukum fasakh1 berlaku untuk Bunda, dan untuk masalah ini Bunda menyembunyikannya. Seharusnya janjiku bukan untuk tidak membenci ayah, melainkan untuk membencimu. “Ayah, bawa Swara pada Bunda?” Ucapku akhirnya, wajahnya pias. “Ayo, ikut Ayah” Mobil Avanza Hitam yang aku tumpangi berhenti mengeluarkan bunyi erangan. Di jendela kaca, terlihat pemandangan yang tidak pernah ingin aku lihat. Tanpa menunggu dipersilahkan, aku membuka knop mobil. Turun dengan tergesa dan berlari secepat yang tenagaku bisa keluarkan. Di sana, di bawah pohon kamboja yang sedang berguguran bunga kuningnya. Titik fokusku terkunci pada satu objek mati. Aku tersungkur, mengabaikan jubah putihku yang nantinya kotor karena tanah. Aku memeluknya, takdir membiarkanku memeluknya. “Bunda, Swara menuntut atas kepercayaan yang Swara berikan pada Bunda. Bangun Bunda... Semua janji itu omong kosong. Kenapa Bunda diam, ayo jelaskan Bunda!” Perkataan Ayah saat di mobil kembali terngiang.“Bundamu kecelakaan dalam perjalanan ke Ibukota”. Pipi ini basah oleh embun yang menetes dari pelupuk mataku. Aku menangis. Melepaskan janji yang pernah kubuat dengan Bunda. Melepaskan Bunda yang pernah membuat janji bersamaku. “Bolehkah Swara membencimu, Bunda?”