Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN CHRONIC KIDNEY


DISEASE (CKD) YANG MENJALANI HEMODIALISA DI POLI
HEMODIALISA RSD dr. SOEBANDI JEMBER

oleh
Septiyana Milla A, S.Kep.
NIM 182311101132

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan pada pasien chronic kidney disease di poli
hemodialisis Rumah Sakit Daerah dr.Soebandi Jember telah disetujui dan
disahkan pada:
Hari, Tanggal :
Tempat: Poli Hemodialisis RSD dr.Soebandi Jember

Jember, 2019

Mahasiswa

Septiyana Milla A, S.Kep


NIM 182311101132

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Fakultas Keperawatan Poli Hemodialisa
Universitas Jember RSD dr. Soebandi

Ns. Jon Hafan Sutawardana, M.Kep., Ns. Mohammad Toha, S.Kep


Sp.Kep.MB,
NIP. 19840102 201504 1 002 NIP. 19670902 199302 1 001

A. Konsep Teori Tentang Penyakit


1. Anatomi Ginjal
Ginjal (Ren) adalah suatu organ yang mempunyai peran penting dalam
mengatur keseimbangan air dan metabolit dalam tubuh dan mempertahankan
keseimbangan asam basa dalam darah. Produk sisa berupa urin akan
meninggalkan ginjal menuju saluran kemih untuk dikeluarkan dari tubuh. Ginjal
terletak di belakang peritoneum sehingga disebut organ retroperitoneal (Snell,
2006). Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada dinding
abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3
(Moore, 2002)
Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya lobus
hepar. Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam adalah
kapsula renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan jaringan terluar
adalah fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini berfungsi sebagai pelindung dari
trauma dan memfiksasi ginjal (Tortora, 2011).

Gambar 1. Anatomi Ginjal


Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang
dan medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa
triangular disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian
apeks yang menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan
hasil ekskresi yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis
ginjal (Tortora, 2011).
2. Fisiologi Ginjal
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan
komposisi kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat
terlarut dan air secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma
darah melalui glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam
jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di
eksresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Price dan
Wilson, 2012).
Menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu:
a. Mempertahankan keseimbangan H₂O dalam tubuh.
b. Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri.
c. Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
d. Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
e. Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.
Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian
akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari
darah pun diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke
ureter. Setelah ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila
orang tersebut merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka
urin yang ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra (Sherwood,
2011).
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu
filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi (Sherwood, 2011).
1. Filtrasi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan
yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman.
Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara bebas
sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman
hampir sama dengan plasma.
2. Reabsorbsi. Reabsorbsi adalah proses penyerapan kembali zat-zat yang
masih diperlukan tubuh. Pada proses ini terjadi penyerapan kembali
sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida fosfat dan beberapa ion
bikarbonat.
3. Proses ketiga adalah sekresi tubulus yang mengacu pada perpindahan
selektif zat-zat dari darah kapiler peritubulus ke lumen tubulus.

Gambar 2. Proses Pembentukan Urine


b. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau biasa dikenal gagal ginjal kronik
atau penyakit renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2002).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten
dan irreversible. Gangguan fungsi ginjal merupakan penurunan laju filtrasi
glomerulus (Glomerolus Filtration Rate/GFR) yang dapat digolongkan ringan
dan berat (Mansjoer, 2000). CKD atau penyakit ginjal kronis didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal untuk sedikitnya 3 bulan dengan atau tanpa penurunan
glomerulus filtration rate (GFR) (Nahas & Levin, 2010).

c. Epidemiologi
Prevalensi PGK atau yang disebut juga Chronic Kidney Disease (CKD)
meningkat setiap tahunnya. Dalam kurun waktu tahun 1999 hingga 2004, terdapat
16.8% dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun mengalami PGK. Persentase
ini meningkat bila dibandingkan data pada 6 tahun sebelumnya, yakni 14.5%
(Chelliah, 2011).
Di negara-negara berkembang, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60
kasus per juta penduduk per tahun. Di Indonesia, dari data di beberapa bagian
nefrologi, diperkirakan insidens PGK berkisar 100-150 per 1 juta penduduk.
Menurut Suhardjono (2001), di Indonesia, berdasarkan Pusat Data dan Informasi
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PDPERS) jumlah penderita PGK
dianggarkan sekitar 50 orang per satu juta penduduk. Pada tahun 2006 terdapat
sekitar 100.000 orang penderita gagal ginjal kronik di Indonesia (Chelliah, 2011).

d. Etiologi
Menurut Mansjoer (2000), penyebab gagal ginjal kronik adalah:
a. Glomerulonefritis
b. Nefropati analgesik
c. Nefropati refluk
d. Ginjal polikistik
e. Nefropati diabetik
f. Hipertensi
g. Obstruksi
h. Gout
i. Tidak diketahui
Penyebab gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di Indonesia
tahun 2000 menunjukkan glomerulonefritis menjadi etiologi dengan prosentase
tertinggi dengan 46,39%, disusul dengan diabetes melitus dengan 18,65%,
obstruksi dan infeksi dengan 12,85%, hipertensi dengan 8,46%, dan sebab lain
dengan 13,65% (Sudoyo, 2006).

e. Klasifikasi
Penyakit gagal ginjal kronik umumnya dibagi menjadi 5 stadium,
pembagiannya dilakukan berdasarkan nilai GFR (Glomerular Filtration Rate)
yaitu:
1) Stadium 1
Kerusakan ginjal dengan GFR normal (> 90 mL/menit/1,73m2).
Kerusakan pada ginjal dapat dideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada
stadium pertama penyakit ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk
memperlambat perkembangan gagal ginjal dan mengurangi resiko
penyakit jantung dan pembuluh darah.
2) Stadium 2
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89
mL/menit/1,73m2). Saat fungsi ginjal mulai menurun, dokter akan
memperkirakan perkembangan gagal ginjal yang dilami pasien dan
meneruskan pengobatan untuk mengurangi resiko masalah kesehatan lain.
3) Stadium 3
Penurunan lanjut pada GFR (30-59 mL/menit/1,73m2). Saat gagal ginjal
sudah berlanjut pada stadium ini, anemia dan masalah tulang menjadi
semakin umum. Sebaiknya konsultasi dengan dokter untuk mencegah atau
mengobati masalah ini.
4) Stadium 4
Penurunan berat pada GFR (15-29 mL/menit/1,73m2). Teruskan
pengobatan untuk komplikasi gagal ginjal dan belajar semaksimal
mungkin mengenai pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-masing
pengobatan membutuhkan persiapan. Bila pasien memilih hemodialisis,
maka akan membutuhkan tindakan untuk memperbesar dan memperkuat
pembuluh darah dalam lengan agar siap menerima pemasukan jarum
secara sering. Untuk dialisis peritonea, sebuah kateter harus ditanam
dalam perut atau mungkin pasien ingin minta anggota keluarga atau teman
menyumbang satu ginjal untuk dicangkok.
5) Stadium 5
Kegagalan ginjal (GFR < 15 mL/menit/1,73m2). Saat ginjal tidak bekerja
cukup untuk menahan kehidupan, pasien akan membutuhkan dialisis atau
pencangkokan ginjal.

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate)/CCT (Clearance


Creatinin Test) dapat digunakan rumus:
CCT (ml/menit) = (140-umur) x berat badan (kg)
72 x creatinin serum
Pada wanita, hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

Nilai normal :
Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m2
Wanita : 88 - 128 mL/menit/1,73 m2

f. Patofisiologi
Pembentukan batu pada ginjal umumnya membutuhkan keadaan
supersaturasi. Namun pada urin normal, ditemukan adanya zat inhibitor
pembentuk batu. Pada kondisi-kondisi tertentu, terdapat zat reaktan yang dapat
menginduksi pembentukan batu. Adanya hambatan aliran urin, kelainan bawaan
pada pelvikalises, hiperplasia prostat benigna, striktura, dan buli bulineurogenik
diduga ikut berperan dalam proses pembentukan batu. Batu terdiri atas kristal-
kristal yang tersusun oleh bahan-bahan organik maupun anorganik yang terlarut
dalam urin. Kristal-kristal tersebut akan tetap berada pada posisi metastable (tetap
terlarut) dalam urin jika tidak ada keadaan-keadaan yang menyebabkan presipitasi
kristal. Apabila kristal mengalami presipitasi membentuk inti batu, yang
kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan yang lain
sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Kristal akan mengendap pada epitel
saluran kemih dan membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran
kemih sehingga nantinya dapat menimbulkan gejala klinis. Krista yang
menumpuk dalam ginjal, nantinya akan meningkatkan beban kerja ginjal yang
apabila terjadi terus- menerus akan dapat menyebabkan kerusakan nefron.
Kerusakan nefron yang terjadi akan berdampak pada sebagian besar fungsi filtrasi
ginjal sehingga dapat menurunkan laju filtrasi ginjal dan ginjal akan mengalami
kehilangan fungsi dan apabila ginjal sudah tidak dapat mengkompensasi akan
terjadilah CKD atau gagal ginjal kronik. Penderita nefrolitiasis sering
mendapatkan keluhan rasa nyeri pada pinggang ke arah bawah dan depan. Nyeri
dapat bersifat kolik atau non kolik. Nyeri dapat menetap dan terasa sangat hebat.
Mual dan muntah sering hadir, namun demam jarang di jumpai pada penderita.
Dapat juga muncul adanya bruto atau mikrohematuria.
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat
dari penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
setiap gejala semakin meningkat, sehingga menyebakan gangguan kliren renal.
Banyak masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus
yang berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunnya
filtrasi glomelurus atau akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin.
Sehingga kadar kreatinin serum akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea
darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator paling
sensitif dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh
tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal tahap akhir, tetapi juga
oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan medikasi seperti
steroid..Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi
cairan dan natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal
tidak mampu untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal
pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan
masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering
tertahan dalam tubuh yang meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal jantung
kongesti, dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin
angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain
mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko
hipotensi dan hipovolemia. Kejadian muntah dan diare menyebabkan penipisan
air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik. Asidosis metabolik
terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk
mensekresi amonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3).
Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal
pada CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi
disertai sesak napas, angina dan keletihan. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat
memendekkan usia sel darah merah defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan karena status pasien, terutama dari saluran gastrointestinal
sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi
normal yang diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sumsum tulang untuk
menghasilkan seldarah merah.
Abnormalitas utamalain pada CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001)
adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat tubuh yang memiliki hubungan
saling timbal balik, jika salah satunya meningkat yang lain menurun. Penurunan
LFG menyebabkan peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan
kadar serum menyebabkan penurunan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Namun pada CKD, tubuh tidak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon dan akibatnya kalsium di tulang menurun,
menyebabkan perubahan pada tulang dan menyebabkan penyakit tulang, selain itu
metabolik aktif vitamin D yang secara normal dibuat didalam ginjal menurun,
seiring dengan berkembangnya CKD terjadi penyakit tulang uremik dan sering
disebut Osteodistrofienal.

g. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer & Bare (2002) setiap sistem tubuh pada gagal ginjal
kronis dipengaruhi oleh kondisi uremia, maka pasien akan menunjukkan sejumlah
tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat
kerusakan ginjal, usia pasien dan kondisi yang mendasari. Tanda dan gejala pasien
gagal ginjal kronis adalah sebagai berikut :
a. Manifestasi kardiovaskuler
Mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki,tangan,sakrum), edema
periorbital, Friction rub perikardial, pembesaran vena leher.
b. Manifestasi dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering, bersisik, pruritus, ekimosis,
kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
c. Manifestasi Pulmoner
Krekels, sputum kental dan liat, napas dangkal, pernapasan Kussmaul
d. Manifestasi Gastrointestinal
Napas berbau amonia, ulserasi dan pendarahan pada mulut, anoreksia,
mual,muntah, konstipasi dan diare, pendarahan saluran gastrointestinal
e. Manifestasi Neurologi
Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan
tungkai, panas pada telapak kaki, perubahan perilaku
f. Manifestasi Muskuloskeletal
Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop
g. Manifestasi Reproduktif
Amenore dan atrofi testikuler

h. Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
1) Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2) Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
3) Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4) EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit
dan asam basa.
b. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
c. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal
ginjal pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
d. USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal, anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi
sistem pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
e. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi gangguan (vaskuler,
parenkhim) serta sisa fungsi ginjal
f. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
g. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
h. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
i. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
j. EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
k. Biopsi Ginjal
dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau
perlu untuk mengetahui etiologinya.
l. Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
1) Laju endap darah
2) Urin
Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak
ada (anuria).
Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh
pus/nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna
kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
tubular, amrasio urine/ureum sering 1:1.
3) Ureum dan Kreatinin
4) Hiponatremia
5) Hiperkalemia
6) Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
7) Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
8) Gula darah tinggi
9) Hipertrigliserida
10) Asidosis metabolic
i. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000), penatalaksanaan medis pada gagal ginjal kronik
adalah:
a. Tentukan dan tatalaksana penyebab
b. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan dan cairan dan garam, pada
beberapa pasien, furosemid dosis besar (250-1000 mg/hari) atau diuretin
loop (bumetarid, asam etokrinat) diperlukan untuk mencegah kelebihan
cairan pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine dan pencatatan
keseimbangan cairan/masukan melebihi keluaran sekitar 500 ml.
c. Diet tinggi kalori dan rendah protein (20-40 g/hari) menghilangkan gejala
anoreksia dan nausea dari uremia, menyebabkan penurunan ureum dan
perbaikan gejala. Hindari masukan dan berlebihan dari kalium dan garam.
d. Kontrol Hipertensi
Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal, keseimbangan garam dan
cairan di atur sendiri tanpa tergantung tekanan darah. Sering diperlukan
diuretik koop, selain obat anti hipertensi.
e. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit
Hal yang sering ditemukan adalah hiperglikemia dan asidosis berat hindari
kalium yang besar (batasi hingga 60 mmol/hari), diuretik hemat kalium,
obat-obatan yang berhubungan dengan ekskresi kalium (misalnya
menghambat ACE dan obat anti inflasi nonsteroid). Asidosis berat atau
kekurangan garam yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan ikut
dalam kaniresis. Deteksi melalui kalium plasma EKG. Gejala-gejala
asidosis baru jelas bila bikarbonat plasma kurang dari 15 mmol/liter.
f. Mencegah dan tatalaksana tulang ginjal
Hiperpospatemia dikontrol oleh obat yang mengikat posfat seperti
alumunium hidroks (330-800 mg) atau kalsium karbonat (500-3000 mg)
pada setiap makan.
g. Deteksi dini dan terapi infeksi
Pasien uremia harus di terapi sebagai pasien imunosupresif dan di terapi
lebih ketat.
h. Modifikasi terapi obat dan fungsi ginjal
Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya misalnya digoksin
aminogikosid, analgetik opiat, amfoteris dan alopurinol.
i. Deteksi dan terapi komplikasi
Awasi dengan ketat kemungkinan enselopati uremia, perikarditis neunpari
perifer, hiperkolemia yang meningkat kelebihan cairan infeksi yang
mengancam jiwa, kegagalan untuk bertahan sehingga diperlukan dialisis.
j. Persiapan dialisis dan program transplantasi
Segera dipersiapkan setelah gagal ginjal kronik diabetes. Indikasi
dilakukan dialisa biasanya adalah gagal ginjal dengan gejala klinis yang
jelas mesti telah dilakukan terapi konservatif atau terjadi komplikasi.

j. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan dapat bermacam-macam tergantung organ
yang terkena antara lain:
a. Jantung: edema paru, aritmia, efusi pericardium, tamponade jantung
b. Gangguan elekrolit: hiponatremia, asidosis, hiperkalemia (akibat
penuruan ekskresi, asidosis mertabolik, katabolisme dan masukan diet
yang berubah)
c. Neurologi: iritabilitas, neuromuscular, flap, tremor, koma, gangguan
kesadaran, kejang
d. Gastrointestinal: nausea, muntah, gastritis, ulkus peptikum,
pendarahan gastrointestinal
e. Hematologi: anemia (akibat penurunan eritropeitin penurunan tentang
usia sel darah merah, perdarahan gastrom testinal akibat iritasi diet
toxin, dan kehilangan darah selama hemodialisis), diatesis, hemoragik
f. Infeksi: pneumonia, septikemia, infeksi nosokomial
g. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
renin – angiotensin – aldosteron
h. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat refensi fosfat, kadar
kalsium peningkatan kadar aluminium
B. Konsep Hemodialisa
1. Pengertian Hemodialisa
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan
sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK
stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan
terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).
Hemodialisa perlu dilakukan untuk menggantikan fungsi ekresi ginjal
sehingga tidak terjadi gejala uremia yang lebih berat. Pada pasien dengan fungsi
ginjal yang minimal, hemodialisa dilakukan untuk mencegah komplikasi
membahayakan yang dapat menyebabkan kematian (Pernefri, 2003).

2. Indikasi Hemodialisis
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD
kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
a. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
1) Kegawatan ginjal
a) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
b) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
c) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
d) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5
mmol/l )
e) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
f) Uremia ( BUN >150 mg/dL)
g) Ensefalopati uremikum
h) Neuropati/miopati uremikum
i) Perikarditis uremikum
j) Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
k) Hipertermia
2) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
b. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut
K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai
GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu
dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al.,
2007):
1) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
2) Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
3) Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
4) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
5) Komplikasi metabolik yang refrakter

3. Komponen hemodialisa
a. Mesin hemodialisa
Mesin hemodialisa merupakan mesin yang dibuat dengan sistim
komputerisasi yang berfungsi untuk pengaturan dan monitoring yang penting
untuk mencapai adekuasi hemodialisa.

b. Dialiser
Dialiser merupakan komponen penting yang merupakan unit fungsional
dan memiliki fungsi seperti nefron ginjal.Berbentuk seperti tabung yang terdiri
dari dua ruang yaitu kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang
dipisahkan oleh membran semi permeabel. Di dalam dialiser cairan dan molekul
dapat berpindah dengan cara difusi, osmosis, ultrafiltrasi, dan konveksi. Dialiser
yang mempunyai permebilitas yang baik mempunyai kemampuan yang tinggi
dalam membuang kelebihan cairan, sehingga akan menghasilkan bersihan yang
lebih optimal (Brunner & Suddarth, 2001; Black, 2005 ).
c. Dialisat
Diasilat merupakan cairan yang komposisinya seperti plasma normal dan
terdiri dari air dan elektrolit, yang dialirkan kedalam dialiser. Dialisat digunakan
untuk membuat perbedaan konsentrasi yang mendukung difusi dalam proses
hemodialisa. Dialisat merupakan campuran antara larutan elektrolit, bicarbonat,
dan air yang berperan untuk mencegah asidosis dengan menyeimbangkan asam
basa.Untuk mengalirkan dialisat menuju dan keluar dari dialiser memerlukan
kecepatan aliran dialisat menuju dan keluar dari dialiser memerlukan kecepatan
aliran dialisat yang disebut Quick Of Dialysate (Qd). Untuk mencapai
hemodialisa yang adekuat Qd disarankan adalah 400-800 mL/menit (Pernefri,
2003).
d. Akses vascular
Akses vascular merupakan jalan untuk memudahkan pengeluaran darah
dalam proses hemodialisa untuk kemudian dimasukkan lagi kedalam tubuh
pasien. Akses yg adekuat akan memudahkan dalam melakukan penusukan dan
memungkinkan aliran darah sebanyak 200-300 mL/menit untuk mendapat hasil
yang optimal. Akses vaskular dapat berupa kanula atau kateter yang dimasukkan
kedalam lumen pembuluh darah seperti sub clavia, jungularis, atau femoralis.
Akses juga dapat berupa pembuluh darah buatan yang menyambungkan vena
dengan arteri yang disebut Arteorio Venousus Fistula/Cimino (Pernefri, 2003).

e. Quick of blood
Qb adalah banyaknya darah yang dapat dialirkan dalam satuan menit dan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bersihan ureum. Peningkatan Qb
akan meningkatkan peningkatan jumlah ureum yang dikeluarkan sehingga
bersihan ureum juga meningkat. Dasar peningkatan aliran (Qb) rata rata adalah 4
kali berat badan pasien. Qb yang disarankan untuk pasien yang menjalani
hemodialisa selama 4 jam adalah 250-400 m/Lmenit (Daugirdas, 2007; Gatot,
2003).
4. Prinsip dan cara kerja hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)
kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah
dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu, kemudian
masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi proses dialisis,
darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik, selanjutnya beredar didalam
tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas et al.,
2007).
Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu
larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini
dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel
(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.
Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah
perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi
adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran
kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air
melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme
hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau
mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,
2007). Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan
gerakan cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al.,
2007).
Gambar 1. Skema Mekanisme Kerja Hemodialisis

5. Manfaat Hemodialisa
Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan:
a. Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam
urat.
b. Membuang kelebihan air.
c. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
d. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
e. Memperbaiki status kesehatan penderita (Lumenta, 2001).

6. Komplikasi hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari
fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik
(PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini
mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita
yang mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering
terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik.
Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan cairan
saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani
HDreguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru
meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic
hypertension (HID) (Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi
kronik (Daurgirdas et al., 2007).
a. Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung.
Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala,
sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007; Bieber
dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan
hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang
jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi
komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).
Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi
antihipertensi, infark jantung, tamponade,
reaksi anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi
yang tidak adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin,
besi, lateks
Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan
Emboli Udara elektrolit
Dialysis disequilibirium Udara memasuki sirkuit darah
Perpindahan osmosis antara intrasel dan
ekstrasel menyebabkan sel menjadi
bengkak, edema serebral. Penurunan
konsentrasi urea plasma yang terlalu
Masalah pada dialisat / kualitas cepat
air
Chlorine
Hemolisis oleh karena menurunnya
Kontaminasi Fluoride kolom charcoal
Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop,
tetanus, gejala neurologi, aritmia
Kontaminasi bakteri / endotoksin Demam, mengigil, hipotensi oleh karena
kontaminasi dari dialisat maupun sirkuti
air
b. Komplikasi kronik
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik.
Komplikasi kronik yang sering terjadi antara lain (Bieber dan Himmelfarb, 2013):
1) Penyakit jantung
2) Malnutrisi
3) Hipertensi / volume excess
4) Anemia
5) Renal osteodystrophy
6) Neurophaty
7) Disfungsi reproduksi
8) Komplikasi pada akses
9) Gangguan perdarahan
10) Infeksi
11) Amiloidosis
12) Acquired cystic kidney disease
Gangguan vaskuler (HT)

arteriosklerosis

C. Clinical Pathway suplai darah ginjal turun

Kerusakan pembuluh
darah ginjal

Gangguan dalam menyaring produksi limbah (hiperfiltrasi)


Seluruh nefron
rusak
Klasifikasi Penyakit gagal ginjal kronik
umumnya dibagi menjadi 5 stadium
Gagal Ginjal Kronis

muskuloskeletal integumen Neuro +sensori Eritopoitin Eliminasi urin Gastrointestinal Respirasi kardiovaskuler
Terganggu Hb
Rendah: Anemia
Urea asam uric Uremik Oliguri+anuria Edema dalam GI
hipokalsemia Diafragma
menumpuk encepalopati Pelepasan renin
terdesak cairan
pada kulit
Kelebihan volume cairan
Nyeri otot Perubahan hiperkalemi hipertensi
dan tulang kesadaran a
Pruritus: gatal Imun: Asidosis
penurunan metabolik
Urea menumpuk Anoreksia, disritmia
Koma kejang produksi
Nyeri kronis Bubuk uremik kulit antibodi
Uremik halitosis
Resiko cedera mual Resiko Penurunan kardiak
hiperventilasi ouput

Gangguan citra tubuh Nutrisi kurang dari


Resiko
HEMODIALISIS
kebutuhan tubuh Ketidakefektifan pola nafas
infeksi
Kerusakan integritas kulit

Pola napas tidak efektif


Pra-Hemodialisis Intra-Hemodialisis Post-Hemodialisis

Proses Ultrafiltrasi
Pemberian terapi Tindakan invasif saat Penggunaan cairan
Kecemasan menghadapi
heparin pemasangan fistula & dialisat asetat
terapi hemodialisa Penarikan cairan ↑penyaringan &
AV Shunt
berlebih & cepat ke pemasukan Ca
Terapi antikoagulan
Bersifat asam asetat dalam dializer a
Ansietas
Menghambat faktor – Adanya jalur masuk
Depolarisasi Ca
faktor pembekuan mikroorganisme Gangguan
↓volume cairan tubuh
darah hemodinamik
(hipovolemi)
Resiko infeksi Kontraksi otot
Mudah terjadi Menimbulkan suasana terus menerus
pendarahan asam dalam darah Resiko syok
Meningkatkan
Resiko pendarahan produksi asam Penumpukan asam Kram otot
lambung laktat pada otot

Nyeri
Merangsang pusat mual di medula Nyeri pada otot

Nyeri akut Nyeri akut


Mual
D. Proses Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu
pada Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut:
1) Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal
seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD
dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai
peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja
dengan duduk/berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak
menyediakan cukup air minum/mengandung banyak senyawa/zat logam dan
pola makan yang tidak sehat. Wanita mempunyai insiden infeksi traktus
urinarius dan pielonefritis lebih tinggi daripada pria yang dapat berlanjut
menjadi gagal ginjal kronik.
2) Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo
nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih,
dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan
terjadinya CKD.
3) Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun
waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi
dan air naik atau turun.
4) Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input.
Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi
peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan
darah dan suhu.

5) Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran
pasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan
nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning/kotor, konjungtiva pucat/putih, telinga
kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran
hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut
pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
peningkatan vena jugularis sebagai akibat dari peningkatan tekanan
pengisian pada atrium kanan pada kondisi gagal jantung kanan
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat
otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara
tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung,
terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut
buncit.
h. Pemeriksaan Ginjal
Kaji daerah abdomen pada garis midklavikula kiri dan kanan atau
daerah costovertebral angle (CVA), normal keadaan abdomen simetris,
tidak tampak masa dan tidak ada pulsasi, bila tampak ada masa pulsasi
kemungkinan ada polikistik, hidronefrosis ataupun nefroma. Apakah
adanya bunyi vaskuler aorta maupun arteri renalis, bila ada bunyi
desiran kemungkinan adanya RAS (Renal Arteri Stenosis), nefro
scelerotic. Bila terdengar desiran, jangan melakukan palpasi, cedera
pada suatu aneurisme di bawah kulit terjadi sebagai akibatnya tes CVA
bila adanya nyeri tekan di duga adanya implamasi akut.
Keadaan normal, ginjal tidak teraba. Apabila teraba membesar dan
kenyal, kemungkinan adanya polikistik maupun hidroneprosis. Bila
dilakukan penekanan pasien mengeluh sakit, hal ini tanda kemungkinan
adanya peradangan.
i. Pemeriksaan Kandung Kemih
Di daerah supra pubis dipalpasi apakah ada distensi. Normalnya
kandung kemih terletak di bawah sympisis pubis, tetapi setelah
membesar organ ini dapat terlihat distensi pada supra pubis, pada
kondisi normal yang berarti urine dapat dikeluarkan secara lengkap dari
bendung kemih, kandung kemih tidak teraba. Bila ada obstuksi di
bawah dan prodiksi urine normal maka urine tidak dapat dikeluarkan,
hal ini mengakibatkan distensi kandung kemih.
j. Pemeriksaan Meatus Uretra
Inspeksi pada meatus uretra apakah ada kelainan sekitar labia, untuk
warna dan apakah ada kelainan pada orifisium uretra pada laki-laki dan
juga lihat cairan yang keluar.
k. Pemeriksaan Prostat Melalui Anus
Mengidentifikasi pembesaran kelenjar prostat bagi laki-laki yang
mempunyai keluhan mengarah kepada hypertropu prostat. Akibat
pembesaran prostat, berdampak penyumbatan partial atau sepenuhnya
kepada saluran kemih bagian bawah normalnya prostat dapat teraba
dengan diameter sekitar 4 cm dan tidak ada nyeri tekan.
l. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.

m. Ekstremitas
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refill Time lebih dari 2 detik.
n. Kulit
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan
mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada CKD adalah sebagai
berikut:
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan beban jantung
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan (edema)
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2
darah ke jaringan sekunder
e. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia mual muntah.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen
g. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
3. Rencana Tindakan Keperawatan
Tujuan dan
No Diagnosa Keperawatan Intervensi keperawatan Rasional
Kriteria Hasil
1. Penurunan curah NOC NIC
jantung berhubungan Cardiac Pump Effetiveness Cardiac Care
dengan peningkatan Setelah dilakukan tindakan 1. Evaluasi adanya nyeri dada 1. Mengetahui adanya iskemia
beban jantung keperawatan selama 3x24 jam (intensitas, lokasi, durasi) pada jantung
penurunan curah jantung pasien 2. Catat adanya disritmia jantung 2. Mengetahui adanya gangguan
teratasi dengan kriteria hasil: 3. Monitor status pernafasan denyut jantung
1. Tanda vital dalam rentang normal 4. Monitor balance cairan 3. Pernafasan abnormal
(TD: 120/80 mmHg, RR 16-20 5. Atur periode latihan dan menandakan gagal jantung
x/mnt, Nadi 80-100 x/mnt, Suhu instirahat menghindari 4. Mengetahui adanya
36,5-37,5o C) kelelahan penumpukan cairan yang akan
2. Dapat mentoleransi aktivitas 6. Monitor toleransi aktivitas memberatkan jantung
3. Tidak ada penurunan kesadaran pasien 5. Menjaga pasien tetap toleransi
4. Tidak ada edema paru, perifer, dan 7. Monitor adanya dispnea, terhadap aktivitas
tidak ada asites fatigue, tekipneu dan ortopneu 6. Membantu pasien agar dapat
5. Tidak ada penurunan kesadaran 8. Anjurkan untuk menurunkan melakukan aktivitas sesuai
6. Tidak ada distensi vena leher stress kemampuannya
7. Warna kulit normal 7. Mengetahui secara dini tanda-
tanda gagal jantung
8. Stress dapat memperberat gejala
gagal jantung

2. Ketidakefektifan pola NOC NIC


nafas berhubungan Respiratory Status : ventilation Airway Management
dengan hiperventilasi Setelah dilakukan tindakan 1. Posisikan pasien semi fowler 1. Meningkatkan pembukaan
sekunder keperawatan selama 3x24 jam pola 2. Buka jalan nafas pasien jika saluran nafas
nafas pasien kembali efektif dengan perlu 2. Menigkatkan kepatenan jalan
kriteria hasil: 3. Auskultasi suara nafas, catat nafas
1. Menunjukkan jalan nafas yang adanya suara tambahan (cracles) 3. Suara tambahan menandakan
paten (pasien tidak merasa 4. Monitor respirasi dan status O2 adanya gangguan (penumpukan
tercekik, irama nafas, frekuensi 5. Berikan terapi oksigenasi secret)
6. Pertahankan jalan nafas yang 4. Status oksigenasi menunjukan
pernafasan dalam rentang normal,
paten jalan nafas yang paten
tidak ada suara nafas abnormal)
7. Observasi adanya tanda-tanda 5. Meningkatkan status O2 dalam
2. Tanda vital dalam batas normal
hipoventilasi tubuh
(TD: 120/80 mmHg, RR 16-20
8. Monitor adanya kecemasan 6. Mempertahankan suplai
x/mnt, Nadi 80-100 x/mnt, Suhu
pasien terhadap oksigenasi oksigen yang maksimal ke
36,5-37,5o C)
dalam tubuh
7. Hipoventilasi dapat
menyebabkan tubuh
kekurangan oksigen
8. Kecemasan/gelisah dapat
mempengaruhi status
pernapasan

3. Kelebihan volume NOC NIC


cairan berhubungan Fluid balance Fluid Management
dengan akumulasi cairan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor masukan makanan dan 1. Mengetahui adanya retensi
(edema) keperawatan selama 3x24 jam volume cairan dengan catatan intake cairan dalam tubuh
cairan pasien seimbang dengan kriteria dan output 2. Mengetahui kelainan dari nilai
hasil: 2. Monitor status hemodinamik CVP
1. Terbebas dari edema dan efusi 3. Monitor vital sign 3. Vital sign yang abnormal
2. Terbebas dari distensi vena 4. Kaji luas edema digunakan untuk mengetahui
5. Pasang urin kateter jika adanya gagal jantung
jugularis
3. Tanda vital normal (TD: 120/80 diperlukan 4. Mengetahui tingkat keparahan
6. Monitor hasil laboratorium yang retensi cairan
mmHg, RR 16-20 x/mnt, Nadi 80-
sesuai dengan retensi cairan 5. Memonitor eliminasi urin
100 x/mnt, Suhu 36,5-37,5o C) (BUN, Hematokrit, osmolalitas secara berkala dan untuk
4. Bunyi nafas bersih, tidak ada urin) mengurangi ketidaknyamanan
dispnea/ortopnea 7. Kolaborasi dalam pemberian ketika BAK
5. Terbebas dari distensi vena diuretik (Wilkinson, 2006) 6. Hasil laboratorium membantu
jugularis dalam penegakan diagnosa
6. Terbebas dari kelelahan, 7. Menurunkan tingkat retensi
kecemasan atau bingung cairan

4. Gangguan perfusi NOC NIC


jaringan berhubungan Circulation Status Circulatory Care
dengan penurunan Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Lakukan penilaian secara 1. Mengetahui tingkat keparahan
suplai O2 darah ke selama 3x24 jam perfusi jaringan komprehensif fungsi sirkulasi gangguan perfusi jaringan yang
jaringan sekunder adekuat dengan kriteria hasil: perifer. (cek nadi perifer, terjadi
1. Membran mukosa merah muda oedema, kapiler refil, 2. Mengetahui tingkat nyeri
2. Conjunctiva tidak anemis temperatur ekstremitas). 3. Mengidentifikasi turgor kulit
3. Akral hangat 2. Kaji nyeri 4. Mengurangi kondisi gangguan
4. TTV dalam batas normal. 3. Inspeksi kulit dan Palpasi perfusi jaringan pada
5. Tidak ada edema anggota badan ekstremitas bawah
4. Atur posisi pasien, ekstremitas 5. Mengetahui keseimbangan
bawah lebih rendah untuk asupan cairan
memperbaiki sirkulasi. 6. Mengetahui tanda-tanda oedema
5. Monitor status cairan intake dan
dan gangguan perfusi jaringan
output
7. Membantu memperbaiki
6. Evaluasi nadi, oedema
sirkulasi
7. Kolaborasi pemberian therapi
antikoagulan.
5. Ketidakseimbangan NOC NIC
nutrisi: kurang dari Nutritional Status Nutritional Management
kebutuhan tubuh Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Monitor adanya mual dan 1. Me
berhubungan dengan selama 3x24 jam nutrisi seimbang dan muntah ngidentifikasi terjadinya mual
anoreksia mual muntah. adekuat dengan kriteria hasil: 2. Monitor adanya kehilangan dan muntah
1. Nafsu makan meningkat berat badan dan perubahan 2. Me
2. Tidak terjadi penurunan BB status nutrisi. ngetahui perubahan BB untuk
3. Masukan nutrisi adekuat 3. Monitor albumin, total protein, menentukan status nutrisi
4. Menghabiskan porsi makan hemoglobin, dan hematocrit 3. Me
5. Hasil lab normal (albumin, level ngindikasikan status nutrisi dan
kalium) 4. Monitor intake nutrisi dan untuk perencanaan treatment
kalori klien. selanjutnya
5. Berikan makanan sedikit tapi 4. Me
sering ngetahui asupan nutrisi dan
6. Berikan perawatan mulut sering
jumlah kalori yang masuk
7. Kolaborasi dengan ahli gizi
5. Me
dalam pemberian diet sesuai
ningkatkan intake nutrisi
terapi
6. Me
ningkatkan kebersihan mulut
untuk menunjang peningkatan
status nutrisi
7. Un
tuk mendapatkan nutrisi yang
sesuai
4. Evaluasi
Setelah dilakukan implementasi terkait perencanaan tindakan keperawatan
(intervensi) yang telah dibuat, perlu adanya evaluasi terkait:
a. Penurunan curah jantung
pasien teratasi
 Tanda vital dalam rentang normal (TD: 120/80 mmHg, RR 16-20 x/mnt,
Nadi 80-100 x/mnt, Suhu 36,5-37,5o C)
 Dapat mentoleransi aktivitas
 Tidak ada penurunan kesadaran
 Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada asites
 Tidak ada penurunan kesadaran
 Tidak ada distensi vena leher
 Warna kulit normal
b. Pola napas pasien kembali
efektif
 Menunjukkan jalan nafas yang paten (pasien tidak merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
 Tanda vital dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, RR 16-20x/mnt, Nadi
80-100 x/mnt, Suhu 36,5-37,5o C)
c. Volume cairan pasien
seimbang
 Terbebas dari edema dan efusi
 Terbebas dari distensi vena jugularis
 Tanda vital normal (TD: 120/80 mmHg, RR 16-20 x/mnt, Nadi 80-100
x/mnt, Suhu 36,5-37,5o C)
 Bunyi nafas bersih, tidak ada dispnea/ortopnea
 Terbebas dari distensi vena jugularis
d. Perfusi jaringan adekuat
 Membran mukosa merah muda
 Konjunctiva tidak anemis
 Akral ekstremitas hangat
 Tanda-tanda vital dalam batas normal.
 Tidak ada tanda-tanda edema
e. Nutrisi seimbang dan adekuat
 Nafsu makan meningkat
 Tidak peningkatan BB
 Masukan nutrisi adekuat
 Menghabiskan porsi makan
 Hasil lab normal (albumin, kalium)
 Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau bingung

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria, et al. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) edisi


keenam, edisi Bahasa Indonesia. Alih bahasa: Intansari N. dan Roxsana
Devi T. Singapore: Elsevier
Chelliah, 2011. Gambaran Tingkat Depresi dan Kualitas Hidup Pasien penyakit
Ginjal Kronik Yang menjalani Haemodialisis di RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2011. Karya Tulis Ilmiah. Medan: Universitas Sumatera
Utara
Herdman, T. & Shigami, K. 2015. NANDA International Inc. Diagnosis
Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017, Ed. 10. Alih Bahasa:
Budi Anna Keliat dkk. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arief. dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
Moorhead, Sue, et al. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) edisi kelima,
edisi Bahasa Indonesia. Alih bahasa: Intansari N. dan Roxsana Devi T.
Mosby: Elsevier.
Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA : Oxford University Press. 2010
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC.
Suhardjono, dkk., 2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Anda mungkin juga menyukai