Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Historiografi mulai ada dan dikenal oleh manusia pada dasarnya sejak manusia

mengenal tulisan atau ketika manusia memasuki zaman sejarah. Ketika manusia mengenal

tulisan, pada dasarnya mereka sudah tumbuh kesadaran untuk menulis tentang jati dirinya

sebagai manusia dalam keluarga dan hidup berbangsa bernegara.

Fakta-fakta sejarah adalah bagaikan kepingan-kepingan suatu botol yang pecah.

Pecahan-pecahan itu berserakan dimana-mana. Oleh sejarawan kepingan-kepingan (fakta) itu

dikumpulkan satu persatu lantas kemudian disusun kembali menjadi bentuk aslinya. Dalam

penyusunan kepingan (fakta) tersebut, sejarawan tuangkan dalam bentuk tulisan atau cerita

yang sering disebut dengan historiografi (penulisan sejarah).

Pada tahap penulisan, peneliti menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga

akhir, yang meliputi masalah-masalah yang harus dijawab. Tujuan penelitian adalah

menjawab masalah-masalah yang telah diajukan. Penyajian historiografi meliputi (1)

pengantar, (2) hasil penelitian, (3) simpulan. Penulisan sejarah sebagai laporan seringkali

disebut karya historiografi yang harus memperhatikan aspek kronologis, periodisasi,

serialisasi, dan kausalitas.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya antara lain:

1. Pengertian dari historiografi?

2. Jenis-jenis historiografi?

3. Bagaimanakah fungsi, tujuan, prinsip serta kelemahan dari historiografi?


C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan

historiografi, jenis-jenisnya, fungsi, tujuan, prinsip beserta kelemahan historiografi. Agar

lebih memahami mengenai historiografi.

D. Manfaat

Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan tentang historiografi serta digunakan sebagai

acuan dalam penulisan sejarah.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Historiografi

Historigrafi terbentuk dari dua akar kata yaitu history dan grafi. Histori artinya

sejarah dan grafi artinya tulisan. Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu yang

bersifat ilmiah (problem oriented) maupun yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented).

Problem oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi kepada

pemecahan masalah (problem solving), yang tentu saja penulisannya menggunakan

seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan no problem oriented

adalah karya tulis sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada pemecahan masalah dan

ditulis secara naratif, juga tidak menggunakan metode penelitian.

Historiografi merupakan tahap terakhir dalam penyusunan sejarah. Disini diperlukan

kemahiran mengarang oleh seorang sejarawan. Ada cara-cara tertentu yang perlu sekali

diperhatikan oleh sejarawan dalam menyusun ceritera. Dengan kata lain, penulisan atau

penyusunan ceritera sejarah memerlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk menjaga

standart mutu dari ceritera tersebut. Seperti misalnya prinsip serialisasi(cara-cara membuat

urutan-urutan peristiwa), yang mana memerlukan prinsip-prinsip seperti kronologi (urutan-

urutan wakutnya), prinsip kausasi (hubungan dengan sebab akibat) dan bahkan juga

kemampuan imajinasi: kemampuan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terpisah-

pisah menjadi suatu rangkaian yang masuk akal dengan bantuan pemgalaman, jadi membuat

semacam analogi antara peristiwa diwaktu yang lampau dengan yang telah kita saksikan

dengan mata kepala sendiri diwaktu sekarang, terutama bagi peristiwa-peristiwa yang sulit

dicarikan dasar kronologi dan kausasih dalam perhubungannya (G.J. renier,dalam karya IG

widya. Ibid: 24-25).


B. Kelemahan Dari Historiografi

Adapun dalam penyusunan historiografi mengalami hambatan-hambatan yang

disebabkan oleh kelemahan dalam penulisan sejarah (historiografi) yaitu:

1) Sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu.

2) Sejarawan terlalu percaya kepada penukil berita sejarah.

3) Sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta

menurunkan laporan atas dasar persangkaan keliru.

4) Sejarawan memberikan asumsi yang tak beralasan terhadap sumber berita.

5) Ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya.

6) Kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh.

7) Sejarawan tidak mngetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban.

C. Kesubyektifitas Historiografi

Walaupun historiografi adalah langkah terakhir dalam sebuah penelitian yang

menggunakan metode sejarah, namun menurut Soedjatmoko dalam bukunya An Introduction

to Indonesia Historiography (1968) seperti yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:1),

historiografi adalah langkah terberat karena dalam langkah terakhir ini lah pembuktian

metode sejarah sebagai suatu bentuk disiplin ilmiah. Adapun menurut Arthur Marwick dalam

The Nature of History (1971) dalam Poespoprodjo (1987:1), hingga historiografi, langkah-

langkah metodologis yang dikerjakan oleh sejarawan pada umumnya diterima sebagai

langkah yang memiliki validitas objektivitas ilmu. Tapi, langkah selanjutnya disebut art atau

seni sehingga sejarah sesungguhnya tidak mungkin objektif. Padahal sejarah sebagai sebuah

ilmu dituntut memiliki objektivitas.


Mengapa sejarah tak mungkin objektif? Karena sejarah sudah memakai interpretasi

dan seleksi. Interpretasi dapat berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan seleksi

dilakukan dalam memilih fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian

dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tak mau harus melibatkan pendirian

pribadi peneliti. Fakta sejarah yang dibutuhkan dalam historiografi harus diolah terlebih

dahulu oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal ini E.H. Carr dalam bukunya

What is History (1970), mengungkapkan fakta sejarah tidak mungkin dapat objektif karena

kumpulan data sejarah hanya dapat disebut sebagai fakta sejarah apabila diberi arti oleh

peneliti. Maka, dalam sebuah penelitian yang memakai metode sejarah, subjektivitas tidak

dapat dielakkan.

Poespoprodjo (1987) mengungkapkan subjektivitas dalam sebuah penulisan sejarah

adalah ‘halal’ karena tanpa subjektivitas maka tidak akan pernah ada objektivitas. Lebih

lanjut, Poespoprodjo menyatakan yang tidak diperbolehkan mempengaruhi sebuah penulisan

sejarah adalah adanya unsur subjektivisme. Ia mengingatkan perlunya memisahkan arti dari

subjektivitas yang akan mengarah pada objektivitas dengan subjektivisme. Menurutnya,

dalam subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana harusnya, namun dipandang sebagai

‘kreasi’, ‘konstruksi’ akal budi. Berpikir disamakan dengan menciptakan, bukan membantu

kebenaran keluar dari ketersembunyiannya (Pospoprodjo, 1987:23). Agar lebih mudah

dimengerti, subjektivisme adalah kesewenangan subjek dalam mengadakan seleksi,

interpretasi, dalam menyusun periodisasi, namun kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada

dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan subjektivitas sangat erat hubungannya

dengan kejujuran hati dan kejujuran intelektual. Hal inilah yang akan membuat seorang

peneliti sejarah membuat simpulan-simpulan dan hipotesis berdasarkan argumentasi yang

kuat. Salah satu contoh subjektivitas yaitu ketika peneliti sejarah melakukan kritik ekstern

dan intern terhadap sumber atau pengarang/pembuat dokumen.


Dalam kegiatan heuristik dan kritik, serta melakukan perbandingan dengan sumber

lainnya, seorang peneliti sejarah akan memakai teori-teori. Hal ini lah yang dimaksud dengan

subjektivitas.

Poespoprodjo (1987:39) mengungkapkan ada tiga hal yang dapat mempengaruhi

subjektivitas peneliti sejarah yang akan membantu menuju objektivitas yakni :

1. Peranan Human Richness

Keberhasilan sebuah karya sejarah sangat bergantung pada seluruh disposisi

intelektual sejarawan atau peneliti sejarah tersebut. Oleh karena itu merupakan sebuah syarat

bahwa seorang peneliti sejarah atau sejarawan mempunyai suatu filsafat manusia yang sehat,

terbuka terhadap nilai kemanusiaan, dan terbuka terhadap segala koreksi (Poespoprodjo,

1987:40).

Seorang sejarawan atau peneliti sejarah dalam penelitiannya tidak hanya bertemu

dengan beribu fakta, a matter of indicative, tetapi juga beribu nilai, imperatif. Untuk dapat

menangkapnya dengan tepat, seorang peneliti sejarah harus mampu mendalami

permasalahan, masalah nilai, sehingga dapat diperoleh skala yang tepat mengenai nilai-nilai

moral, budaya, politik, religius, teknik, artistik, dan sebagainya (Pospoprodjo, 1987:41).

Jika seorang peneliti sejarah tidak peka terhadap beragam hal yang berasal dari

beragam bidang dan sektor kehidupan, maka bukan tidak mungkin ia tidak akan bisa

menangkap peristiwa sejarah tersebut sebagaimana mestinya, maka objektivitas pun akan

sulit dicapai. Maka, benarlah apa yang dikatakan oleh Jaques Maritain bahwa semuanya

berpulang pada kekayaan intelektual yang dimiliki oleh indicidu peneliti sejarah atau

sejarawan.
2. Titik Berdiri

Cara seseorang untuk memandang sebuah objek akan berbeda satu sama lain akibat

titik berdiri yang berbeda. Masing-masing akan melihat dan memberikan persepsi terhadap

objek sesuai dengan apa yang ia lihat dari titik di mana ia berdiri. Dalam hal ini, masing-

masing persepsi tentunya akan berbeda dan tidak akan ada yang salah dan yang benar.

Dengan mengidentifikasi titik di mana kita beridri, kita juga akan bisa mengidentifikasi sikap

dalam keadaan titik berdiri tertentu itu. Adalah diri kita sendiri yang tahu tentang argumentasi

kita mengapa akhirnya kita bersikap seperti itu dalam titik bediri tertentu.

Hubungan ilustrasi di atas dengan kegiatan penelitian sejarah bahwa kegiata

interpretasi bukan kegiatan yang dilakukan atas kesewenangan subjek. Ketajaman dan

kecermatan subjek dalam melakukan interpretasi harus terpenuhi agar dapat mencapai

objektivitas. Menurut Gordon Leff dalam History and Social Theory (1969:126) yang dikutip

dalam Poespoprodjo (1987:48), interpretasi yang dapat diterima dan memenuhi obejktivitas

harus memenuhi tiga syarat.

3. Mengenal Sumber Distorsi

Seorang peneliti sejarah atau sejarawan seharusnya mengenali sumber-sumber distorsi

yang dapat mengganggu subjektivitas dirinya. Sumber distorsi yang berasal dari dalam diri

sendiri dapat diketahui dengan mempertanyakan kedalaman subjektivitas diri.

Dengan mengenal diri sendiri, maka niscaya tersadarilah bahwasanya subjektivitas

merupakan simpang jalan dunia subjek dan dunia objek. Ini merupakan kesadaran utama. Jika

kita tatap lebih lanjut, maka kita kana memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman

kemerdekaan (untuk mengakui atau menolak, apakah saya merdeka betul tidak diikat oleh

sesuatu sehingga bisa mengatakan sesuatu sebagaimana mestinya dan sebagainya),

kedalaman kritik diri (apakah saya tidak membohong, memutarbalikkan kenyataan yang ada,
apakah tahu betul apa yang dihadapi, apakah reserve tidak perlu dibuat dan sebagainya),

penyesuaian pada tuntutan-tuntutan objek (objek tertentu hhanya dapat dijumpai dengan

semestinya bila menggunakan metode tertentu, objek yang eenmalig contingent, lain dengan

objek yang dapat direproduksi sewaktu-waktu, dan sebagainya) (Poespoprodjo, 1987:56).

D. Jenis-jenis Historiografi

Historiografi Tradisional

Historiografi tradisional adalah karya tulis sejarah yang dibuat oleh para pujangga

dari suatu kerajaan, baik itu kerajaan yang bernafaskan Hindu/Budha maupun

kerajaan/kesultanan yang bernafaskan Islam tempo dulu yang pernah berdiri di Nusantara

Indonesia. Seperti kita ketahui di Nusantara Indonesia, bahwa sejak awal bangsa Indonesia

memasuki zaman sejarah, diiringi pula dengan berdirinya kerajaan-kerajaan terutama yang

dominan dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha.

 Ciri-Ciri Historiografi Tradisional

1. Regio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluarga raja (keluarga

istana).

2. Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum

bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya dan tidak memuat riwayat kehidupan rakyat,

tidak membicarakan segi-segisosial dan ekonomi dari kehidupan rakyat.

3. Regio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib.

4. Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.

5. Bersifat regio-sentris/etnosentrisme (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak

dipengaruhi daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah

tersebut.

6. Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma.


7. Sebagai ekspedisi budaya maksudnya sebagaisarana legitimasi tentang jati dirinya dan asal-

usulnya yang dapat menerangkan keberadaannya dan memperkokoh nilai-nilai budaya yang

dianut.

8. Oral tradition Historiografi jenis ini di sampaikan secara lisan, maka tidak dijamin keutuhan

redaksionalnya.

9. Anakronistik Dalam menempatkan waktu sering terjadi kesalahan-kesalahan, pernyataan

waktu dengan fakta sejarah termasuk di dalamnyapenggunaan kosa kata penggunaan kata

nama dll. Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha penulisan sejarahnyacontohnya seperti

Kitab Mahabrata dan Ramayana. Sedangkan pada masakerajaan-kerajaan Islam sudah

dihasilkan karya sendiri, bahkan sudahmenerapkan sistem kronologi dalam penjelasan

peristiwa sejarahnya.

 Tujuan dari Historiografi Tradisional adalah:

1. Untuk menunjukkan kesinambungan yang kronologis

2. Untuk meningkatkan solidaritas dan integrasi di bawah kekuasaan pusat

3. Untuk membuat simbol identitas baruUntuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja,

dan nama raja, serta wibawa raja.

Historiografi yang selalu berkembang dan menurut jiwa zaman seorang sejarawan,

Menjadikan historiografi diklarifikasikan. Dalam sebuah historiografi terutama dibagi atas

dua historiografi besar yaitu, historiografi tradisional dan historiografi modern.

Historiogarafi tradisional dipengaruhi oleh jiwa zaman yang banyak mengandung unsur-

unsur mitos atau mitologi. Sedang dalam historiografi modern unsur tersebut tidak diketahui,

namun bila dalam penulisan masih terdapat mitos, hal itu dapat dikategorikan dalam

historiografi tradisional. Historiografi tidak dipengaruhai oleh kapan historiografi atau

penulisan sejarah itu ditulis.


Historiografi tradisional lebih banyak dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat mitos.

Sebagai studi awal, maka penekannya adalah pada aspek mitologi dan sangkut paut para

penulis sejarah Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai historiografi tradisonal.

1. Mitos Mengandung Maksud

Mitos merupakan pencampuradukan dewa-dewa manusia, sejarah dan perristiwa

keseharian. Hal-hal itu bercampur dalam sebuah penulisan sejarah. Sehingg auntuk

menjadikan karaya penulisan sejarah itu mejadi sebuah sumber sejarah perlu dilakukan

sebauh kritik sejarah yang relevan. Mitos diperlukan karena keinginan pujangga sebagai

tokoh yang mengadakan penulisan sejarah denagn dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa.

Mitos akan melukiskan sejarah dari perlaku-perilaku supranatural. Perilaku

supranatural menurut akal sehat sangat sulit untuk diterima, melainkan dalam melihat konteks

supranatural tersebut perlu menggunakan kaca mata yang berbeda. Perilaku supranatural

tersebut ada karena pada zaman penulisan hal itu merupakan sebuah sifat linuwih, sehingga

orang itu memiliki sebuah kedudukan dan kehormatan. Selain itu didukung oleh keadaan

masyarakat yang masih percaya akan hal itu, menjadikan hal-hal yang bersifat supranatural

dapat berkembang secara pesat.

Mitos mengangap sejarah sebagai hal yang mutlak kebenarannya dan keramat.

Sejarah erupakan sebuah peristiwa masa lalu, namun peristiwa itu tidak dapat menyampaikan

kebenaran peristiwa tersebut secara mutlak. Sejarah dalam arti objektif adalah peristiwa masa

lampau yang telah terjadi.


Namun, sejarah pada kategori historiografi tradisional mendapatkan sebuah tekanan

ntuk menyakini, bahwa peristiwa terjadi seperti apa yang telah dituliskan oleh pujangga atau

ejarawan yang menulis sebuah peristiwa dalam konteks kebudayaan Jawa. Masyarakan yang

hidup pada masa historiografi tradisional tidak diberikan untuk menginterprestasikan sebuah

peristiwa yang telah terjadi.

Mitos akan selalu menghubungkan antara seseorang dengan ”pencipataan” tentang

keberaan, institusi, dan perilaku. Menghubungkan seorang tokoh dengan proses penciptaan

merupakan sebuah supremai kekuasaan, dan dapat diartikan sebagai sebuah pandangan

sempit tentangtokoh tersebut. Tokoh tersebut diagambarkan seakan-akan sebagai perfect man

atau orang yang sempurna.

Padahal dalam dunia ini tidak ada manusia yang sempurna. Masyarakat akan selalu

berpikir untuk melawan atau berperilaku, dan berhubungan dengan orang tersebut. Dari situ

memunculkan konsep tentang sabdo pandhita ratu yang berrati bahwa ucapan seorang raja

sama dengan sabda Tuhan. Mnejadikan perintah raja tidak boleh ditolak atau tidak boleh

tidak dijalankan.

Mitos dapat sebagai alat untuk mencari asal-usul. Asal-usul hal dalam ini dapat

diartikan sebagi asal-usul sebuah tempat atau asal-usul seseorang. Sebagai contohnya bila

diketahui tentang asal-usul seseorang, orang akan dapat melakukan sebuah kontrol dan

memanipulasi sesuatu sesuai kehendaknya. Kontrol tersebut akan memberikan sebuah

kekuasaan atau legitimasi. Dalam hal tersebut dapat dilihat mengenai asal-usul Sultan Agung

yang dapat diartikan sebagai sebuah mitos. Sultan Agung dalam historiografi tanah Jawa

merupakan keturunan dari Nabi Adam dan tokoh-tokoh pewayangan. Hal itu memnag sulit

untuk diterima apalagi Sultan Agung merupakan keturunan dari seorang tokoh pewayangan.
Dalam sebuah penghayatan mengenai mitos seseorang atau dalam hal yang lebih luas

lagi masyarakat akan hidup dalam alam yang serba keramat. Seseorang yang hidup dalam

alam yang serba keramat akan selalu berhati-hati dalam menjalani hidup. Bila dapat

mengkontrol hal terbut ketertiban masyarakat akan terjamin dan berlangsung sesuai

keinginan seorang penguasa.

Mitos dapat diartikan sebagi alat penertiban tertib sosial. Seorang pujangga akan

berusaha menyampaikan maksud politiknya untyk memperkuat kedudukan sng patrion atau

seorang penguasa. Sebagai contohnya dalam serat cebolek, Pembangunan yang dilakukan

oleh para priyayi adalah pembangunan mentalitas. Pembangunan mentalitas dilaksanakan

karena kerajaan (Kartasura) telah kehilangan ”kekuasaan politiknya”. Kekuasaan yang

dimiliki seorang raja untuk memerintah, terlalu banyak dicampuri oleh kepentingan kompeni.

Raja tidak memiliki kekuasaan untuk memimpin kerajaannya. Untuk tetap memiliki pengaruh

pada rakyat, untuk tetap memiliki kekuasaan pada diri setiap masyarakat Jawa. Sehingga raja

berupaya untuk menanamkan kekuasaannya pada bidang spiritualis dan mentalitas

masyarakat Jawa.

Pembangunan mental spiritual dan mentalitas akan terlaksana bila kerajaan memiliki

alat. Alat inilah sebagai motor penggerak mencapai tujuan pembangunan itu. Motor

penggerak itu berupa kepemimpinan komunitas Islam.

Kepemimpinan komunitas Islam berasal dari golongan elit agama. Golongan itu

berasal dari kalangan guru, haji, dan kiai. Golongan ini memiliki eranan penting dalam

pelaksanaan ritual-ritual keagamaan, dan memberikan pelayanan keagamaan.


2. Pujangga Sebagai Seseorang Pembangun Supremasi Kekuasaan

Pujangga memilki peranan penting dalam penulisan sejarah atau dalam lingkup

klarifikasi pembabakan historiografi, terutama dalam historiografi Indonesia tradisional.

Pujangga memilki perana untuk menulis sebuah peristiwa masa lampau yang dapat disebut

sebagai sebuah enulisan sejarah dalam perspektif pujangga tersebut.

Pujangga dalam arti etimologi kata pujangga berasal dari bahasa sansekerta yaitu

Bujangga,yang berarti ular dan pengikut seorang raja. Sedangkan menurut arti kata dalam

Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah pendeta, pertapa, orang yang cerdik dan pandai,

sifat-sifat pujangga, pengarang, pendeta mengenai kesusastraan pengarang.

Seorang Pujangga harus memilki kemampuan nawungkridha dan sambegan.

Sambegan artinya kuat ingatan, dan nawungkridha berarti waskitha atau mengetahui rahasia

segala sesuatu dengan ketajaman pandangan batinnya. Dalam hal ini Ranggawarsito telah

memberikan batasan-batasan mengenai syarat-syarat menjadi seorang pujangga. Yaitu

sebagai berikut.

Seorang yang pantas menjadi seorang pujangga, syaratnya sebagai berikut.

1. Golongan wirya, yakni orang berderajat.

2. Golongan agama, yakni ulama.

3. Golongan pertapa, yakni pandhita.

4. Golongan sujana, yakni orang yang baik.

5. Golongan aguna, yakni orang pandai.

6. Golongan prawira, yakni golongan prajurit.

7. Golongan supunya, yakni orang yang kaya.

8. Golongan supatya, yakni golongan petani.


Seorang pujangga harus memiliki delapan kemapuan.

1. Ngawiryo atau orang luhur dan memiliki derajat

2. Ngagama atau ulama yang menguasai kitab agama

3. Ngatapa atau petapa atau pendeta yang ahli bertapa

4. Sujana atau orang memiliki kelebihan

5. Ngaguna atau orang yang memiliki ilmu dan kepandaian

6. Prawira atau prajurit yang tersohor

7. Supunya atau orang kaya yang berharta

8. Supatya atau petani yang tekun.

Dalam sebuah kesusastraan Pujangga bertugas.

1. Ingkang anyerat atau orang yang menuliskan naskah

2. Ingkang anganggit atau yang mengarang) naskah

3. Ingkang angiket atau yang mengumpulkan

4. Ingkang akarya sastra atau yang mengerjakan teks

5. Ingkang anedhak atau yang menyalin


E. Fungsi Historiografi

1. Fungsi Genetis

fungsi Genetis untuk mengungkapkan bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa. Fungsi ini

terlihat pada sejumlah penulisan sejarah seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, dan

Prasasti Kutai.

2. Fungsi Didaktis

Fungsi Didaktis merupakan fungsi yang mendidik artinya dalam karya -karya

sejarah banyak memuatpelajaran, hikmah dan suri teladan yang penting bagi para

pembacanya.

3. Fungsi Pragmatis

fungsi yang berkaitan dengan upaya untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar terlihat kuat

dan berwibawa.

F. Tujuan Historiografi

1. Sekedar kenangan pribadi untuk keluarga.

2. Koreksi atau pembelaan peranan sendiri atau golongan.

3. Kisah kepahlawanan.

4. Sebagai apologi atau kepentingan pendidikan.

G. Prinsip-Prinsip Historiografi

1. Kejadian diceritakan secara kronologis, dari awal sampai akhir.

2. Ada penentuan fakta kausal (penyebab dan akibat)

3. Perlu adanya periodisasi berdasarkan kriteria tertentu.

4. Perlu adanya seleksi terhadap peristiwa sejarah.

5. Memerlukan episode-episode tertentu.

6. Bila bersifat deskriptif maka perlu proses mengurutkan peristiwa.

7. Bersifat deskriptif analitis.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Historiografi adalah tahap akhir dari penelitian sejarah yaitu penulisan sejarah, yang

dimana telah melalui proses-proses sebelumnya, seperti heuristik, verifikasi, interpretasi.

Historiografi tradisional merupakan penulisan sejarah yang dalam penulisannya masih

terpengaruh oleh istana sentris, raja sentris, dan masih bersifat kedaerahan.

Fungsi-fungsi dari historiografi ialah:

1. Fungsi Genetis

fungsi Genetis untuk mengungkapkan bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa.

Fungsi ini terlihat pada sejumlah penulisan sejarah seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah

Melayu, dan Prasasti Kutai.

2. Fungsi Didaktis

Fungsi Didaktis merupakan fungsi yang mendidik artinya dalam karya-karya sejarah

banyak memuat pelajaran, hikmah dan suri teladan yang penting bagi para pembacanya.

3. Fungsi Pragmatis

fungsi yang berkaitan dengan upaya untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar terlihat

kuat dan berwibawa.

Tujuan dari historiografi

1. Sebagai kenangan pribadi bagi keluarga

2. Sebagai Koreksi atau pembelaan peranan sendiri atau golongan.

3. Kisah kepahlawanan.

4. Sebagai apologi atau kepentingan untuk pendidikan.


Prinsip-Prinsip Historiografi

1. Kejadian diceritakan secara kronologis, dari awal sampai akhir.

2. Ada penentuan fakta kausal (penyebab dan akibat).

3. Perlu adanya periodisasi berdasarkan kriteria tertentu.

4. Perlu adanya seleksi terhadap peristiwa sejarah.

5. Memerlukan episode-episode tertentu.

6. Bila bersifat deskriptif maka perlu proses mengurutkan peristiwa.

7. Bersifat deskriptif analitis.

DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi, Irwan. (2012). Pengertian dan Kajian Historiografi. [Online].

Tersedia: http://irwan-cahyadi.blogspot.com/2012/05/pengertian-dan-kajian-

historiografi. html [19 November 2012]

Priyadi, Sugeng. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Sjamsuddin, Helius. (2007 ). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Syafri Tanjung, Arby. (2010). Metodelogi Historiografi Sejarah. Skripsi Sarjana pada Alumni

Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan: Online.

Tersedia: http://pussisunimed.wordpress.com/2010/02/05/penulisan-sejarah-historiografi-

indonesia/ html [19 November 2012]


MAKALAH
SEJARAH
“HISTORIOGRAFI TRADISIONAL”

OLEH

NAMA KELOMPOK :

 ARWANDA
 APRILDA
 ELISABET
 SEFRIDA
 ISHAG
 SABAR

KELAS X IPS 4

SMAN 1 PANGKALAN KURAS

Anda mungkin juga menyukai