Anda di halaman 1dari 14

1.

Konsepsi Hukum Islam

A. Pengertian Hukum Islam

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Adapun
konsepsi hukum Islam,dasar kerangkanya ditetapkan oleh Allah. Hukum Islam tidak hanya
mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat,tetapi juga
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan
manusia dengan benda serta alam sekitarnya. Hal ini berbeda dengan konsepsi dari hukum
Barat yaitu hukum yang sengaja dibuat oleh manusia yang hanya mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.

Setiap peraturan, apapun macam dan sumbernya, mengandung norma atau kaidah yakni
ukuran,patokan,pedoman, sebagai intinya. Dalam ilmu hukum Islam kaidah itu disebut
hukum.

B. Hukum Islam Merupakan Bagian Dari Agama Islam

Sebagai sistem hukum, hukum Islam tidak boleh dan tidak dapat disamakan dengan sistem
hukum yang lain, yang pada umumnya berbentuk dan berasal dari kebiasaan-kebiasaaan
masyarakat dan hasil pemikiran manusia serta budaya manusia pada suatu saat di suatu masa.
Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam tidak hanya merupakan hasil
pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan manusia, tetapi dasarnya ditetapkan oleh Allah
Swt. melalui wahyu-Nya yang terkini terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi
Muhammad Saw sebagai Rasul-Nya melalui Sunnah yang terhimpun dalam kitab-kitab
Hadis. Dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum-
hukum lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan dan hasil pemikiran atau buatan manusia
belaka.

Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah, di mana istilah satu
dengan yang lainnya mempunyai persamaan dan sekaligus juga mempunyai perbedaan.
Istilah-istilah tersebut adalah syari’at Islam ( Islamic Law ) dalam bahasa Indonesia
dipergunakan istilah hukum syari’at atau hukum syara’, fikih Islam ( Islamic Jurisprudence )
dipergunakan istilah hukum fikih atau kadang-kadang hukum Islam, dan dalam praktik,
serong kali ke dua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam.

Syari’at dan fikih memiliki hubungan yang sangat erat, karena syari’at merupakan landasan
fikih dan fikih merupakan pemahaman orang yang memenuhi syarat tentang syari’at. Oleh
karena itu, orang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan benar harus dapat
membedakan antara syari’at Islam dengan fikih Islam. Pada prinsipnya, syari’at adalah
wahyu Allah Swt yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw yang terdapat
dalam kitab-kitab Hadis. Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih
luas dari fikih, berlaku abadi dan menunjukkan kesatuan dalam Islam.sedangkan, yang
dimaksud fikih adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at yang
sekarang terdapat dalam kitab-kitab fikih. Oleh karena itu, fikih bersifat instrumental, ruang
lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut
sebagai perbuatan hukum. Karena fikih adalah hasil karya manusia, maka ia tidak berlaku
abadi, dapat berubah dari masa ke masa, dan dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat
lain. Hal ini terlihat dalam aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau
mazhab-mazhab. Oleh karena itu, fikih menunjukkan adanya keragaman dalam hukum Islam.
( M. Daud Ali,1999:45-46).

Dalam fikih seseorang akan menemukan pemikiran-pemikiran para fuqaha’, anatara lain para
pendiri empat mazhab yang ada dalam ilmu fikih, yang sampai sekarang masih berpengaruh
di kalangan umat Islam sedunia, yaitu : Abu Hanifah ( pendiri mazhab Hanafi ), Malik bin
Anas ( pendiri mazhab Maliki), Muhammad Idris asy-Syafi’I ( pendiri mazhab Syafi’i), dan
Ahmad bin Hanbal ( pendiri mazhab Hanbali). (J.Schacht,1964 : 1). Menurut Tahir Azhary,
ada tiga sifat hukum Islam yaitu :

1. Sifat bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi Ketuhanan (ilahi).
Disamping sifat bidimensional yang dimiliki, hukum Islam juga berhubungan dengan
sifatnya yang luas atau komprehensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek
kehidupan saja, tetapi mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Sifat bidimensional
merupakan sifat pertama yang melekat pada hukum Islam dan merupakan fitrah ( sifat asli)
hukum Islam.

2. Sifat Adil. Dalam hukum Islam, keadilan bukan saja merupakan tujuan, tetapi
merupakan sifat yang melekat sejak kaidah-kaidah dalam syari’at ditetapkan. Keadilan
merupakan sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia , baik sebagai individu maupun
masyarakat.

3. Sifat individualistic dan kemasyarakatan yang diikatkan oleh nilai-nilai transcendental,


yaitu wahyu Allah Swt yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan sifat ini
hukum Islam memiliki validitas baik bagi perorangan maupun masyarakat. ( Mohammad
Tahir Azhary,1992 :48-49).

C. Ruang Lingkup Hukum Islam

Hukum Islam baik dalam pengertian syari’at maupun fikih, dibagi ke dalam dua bagian besar,
yaitu bidang ibadah dan bidang muamalah. Ibadah adalah tata cara dan upacara yang wajib
dilakukan seseoarng muslim dalam berhubungan dengan Allah Swt seperti menjalankan
shalat, membayar zakat, menjalankan ibadah puasa dan haji. Tata cara dan upacara ini tetap,
tidak dapat ditambah-tambah maupun dikurangi. Ketentuannya telah diatur dengan pasti oleh
Allah Swt dan dijelaskan oleh Rasul-Nya. Dengan demikian, tidak mungkin ada proses yang
membawa perubahan dan perombakan secara asasi mengenai hukum, susunan,cara, dan tata
cara ibadah sendiri. Yang mungkin berubah hanyalah penggunaan alat-alat modern dalam
pelaksanaannya adapun muamalah, dalam pengertian yang luas adalah ketetapan Allah Swt
yang langsung berhubungan dengan kehidupan social manusia, walaupun ketaatan tersebut
terbatas pada yang pokok-pokok saja. Oleh karena itu, sifatnya terbuka untuk dikembangkan
melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu ( Mohammad
Daud Ali,1999:49).

Hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan publik, seperti
halnya dalam hukum Barat.Hal ini disebabkan karena menurut hukum Islam, pada hukum
perdata ada segi-segi publik dan pada hukum publik ada segi-segi perdata. Dalam hukum
Islam yang disebutkan hanya bagian-bagiannya saja. Menurut H.M. Rasjidi, bagian- bagian
hukum Islam adalah :

1. Munakahat;

2. Wirasah;

3. Mu’amalat dalam arti khusus;

4. Jinayat atau ‘uqubat;

5. Al-ahkam al-sulthaniyah (khilafah);

6. Siyar; dan

7. Mukhashamat ( H.M. Rasjidi,1980:25-26).

Sedangkan, Fathi Osman mengemukakan sistematika hukum Islam sebagai berikut :

1. Al-ahkam al-ahwal syakhsiyah ( hukum perorangan );

2. Al-ahkam al-madaniyah ( hukum kebendaan );

3. Al- ahkam al jinaiyah ( hukum pidana );

4. Al-ahkam al-mrafa’at ( hukum acara perdata,pidana, dan peradilan tata usaha negara );

5. Al-ahkam al-dusturiyah ( hukum tata negara );

6. Al-ahkam al-dauliyah ( hukum internasional );

7. Al-ahkam al-iqtishadiyah wa al-maliyah ( hukum ekonomi dan keuangan ).

(Fathi Osman,1970 ; 65-66 ). Baik yang dikemukankan oleh HM. Rasjidi maupun yang
dikemukankan oelh Fathi Osman,pada prinsipnya tidak ada perbedaan, hanya istilahnya saja
yang berbeda.

Apabila bagian-bagian hukum Islam tersebut disusun menurut sistematika hukum Barat yang
membedakan hukum public dengan hukum perdata, maka susunan hukum muamalat dalam
arti luas, yang termasuk dalam hukum perdata Islam adalah:

1. Munakahat, yakni hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan, perceraian, serta akibat-akibatnya;

2. Wirasah, yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris,ahli


waris, harta peninggala, dan pembagian harta warisan (faraid).

3. Muamalah dalam arti khusus, yakni hukum yang mengatur masalah kebendaan dan
hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam, perserikatan, dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam hukum publik Islam adalah :

1. Jinayat, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam


dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud
dengan jarimah adalah hukum pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah
ditentukan bentuk dan batas hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan batas hukumannya ditentukan oleh
penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya;

2. Al-ahkam al-sulthaniyah, yakni hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan


dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak
dan sebagainya;

3. Siyar, yakni hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan
pemeluk agama dan negara lain;

4. Mukhashamat, yang mengatur peradilan kehakiman, dan hukum acara ( Mohammad


Daud Ali, 1999:51-52 ).

Dalam hal-hal yang sudah dikemukakan, jelas bahwa hukum Islam itu luas, bahkan luasnya
hukum Islam tersebut masih dapat dikembangkan lagi sesuai dengan aspek-aspek yang
berkembang dalam masyarakat yang belum dirumuskan oleh para fuqaha’ ( para yuris Islam)
di masa lampau, seperti hukum bedah mayat, hukum bayi tabung, keluarga berencana, bunga
bank, euthanasia, dan lain sebagainya.

D. Tujuan Hukum Islam

Adapun tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia
dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, menagarahkan mereka pada kebenaran untuk
mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan
mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudharat, yakni yang
tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia. Abu Ishaq al-Satibi merumuskan
lima tujuan hukum Islam, yakni :

a. Memelihara Agama

Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap manusia supaya mertabatnya dapat
terangkat lebih tinggi dari martabat makhluk lain dan memenuhi hajat jiwanya. Beragama
merupakan kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena agamalah yang dapat menyentuh
nurani manusia. Agama Islam harus terpelihara dari ancaman orang-orang yang akan
merusak akidah,syari’ah, dan akhlak, atau mencampur adukkan ajaran agama Islam dengan
paham atau aliran yang batil. Agama Islam memberikan perlindungan kepada pemeluk agama
lain untnuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Agama Islam tidak memaksa
pemeluk agama lain meninggalkan agamanya untuk memeluk agama Islam. Hal ini dengan
jelas di terangkan dalam QS Al-Baqarah ayat 256 :
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memaksa) agama ( Islam);sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut
dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpekang kepada buhul tali yang
amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

b. Memelihara Jiwa

Menurut hukum Islam, jiwa itu harus dilindungi. Untuk itu hukum Islam wajib memelihara
hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Hukum Islam melarang
pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana
yang dipergunakan oleh manusia untuk mempetahankan kemaslahatan hidupnya.

c. Memelihara Akal

Menurut hukum Islam, seseorang wajib memelihara akalnya, karena akal mempunyai
perasaan sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan akal manusia dapat
memahami wahyu Allah, baik yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an maupun wahyu
Allah Swt yang terdapat dalam alam ( ayat-ayat kauniyah ). Dengan akal, mansia dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang tidak akan mampu menjalankan
hukum Islam dengan bbaik dan benar tanpa mempergunakan akal yang sehat. Oleh karena
itu, pemeliharaan akal merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Untuk itu Islam melarang
seseorang meminum minuman yang memabukkan yang disebut dengan istilah khamr, dan
member hukuman pada perbuatan orang yang merusak akal. Larangan khamr ini dijelaskan
dalam QS. Al-Maidah ayat 90 :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,


(berkorban untuk) berhala,mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.

d. Memelihara Keturunan

Dalam hukum Islam, memelihara keturunan adalah hal yang sangat penting. Oleh karena
itu, dalam hukum Islam untuk meneruskan keturunan harus melalui tali perkawinan yang
syah menurut ketentuan-ketentuan yang ada dalam A-Qur’an dan Al-Sunah dan dilarang
melakukan perbuatan zina. Hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan Islam yang ada dalam
Al-Qur’an merupakan hukum yang erat kaitannya dengan pemurnian keturunan dan
pemeliharaan keturunan. Dalam Al-Qur’an, hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah
perkawinan dan kewarisan disebutkan secara rinci, seperti larangan-larangan perkawinan
yang terdapat dalam QS. An-Nisa ayat 23 :

Artinya : Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;anak-anakmu yang perempuan;


saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-
saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-
laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak
istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri,tetapi jika kamu
belum bercampur dengan istrimu itu ( dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sedangkan larangan berzina, dijelaskan dalam QS. Al-Isra’ ayat 32 :

Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina;sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.

e. Memelihara Harta

Menurut hukum Islam, harta merupakan pemberian Allah kepada manusia untuk
melangsungkan hidup dan kehidupannya. Untuk itu manusia sebagai khalifah Allah dimuka
bumi (makhluk yang diberi amanah oleh Allah Swt untuk mengelola ala mini sesuai dengan
kemampuan yang dimilikinya) dilindungi haknya untuk memperoleh harta dengan cara-cara
yang halal, artinya syah menurut hukum dan benar menurut ukuran moral. Pada prinsipnya,
hukum Islam tidak mengakui hak milik seseorang atas sesuatu benda secara mutlak.
Kepemilikan atas suatu benda secara mutlak hanya pada Allah, namun karena keperlukan
adanya kepastian hukum dalam masyarakat,untuk menjamin kedamaian dalam kehidupan
bersama, maka hak milik seseorang atas suatu benda diakui dengan pengertian, bahwa hak
milik itu harus di peroleh secara halal dengan fungsi social ( Anwar Haryono,1968:140).

Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hukum Islam itu ditetapkan oleh Allah untuk
memenuhi keperluan hidup manusia itu sendiri, baik keperluan hidup yang bersifat
primer,sekunder, maupun tersier ( Juhaya S. Praja,1988:196). Oleh karena itu, apabila
seorang muslim mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah, maka ia akan selamat,
baik dalam hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak.

E. Sumber Hukum Islam

Menurut QS. An-Nisa ayat 59, setiap muslim wajib menaati (mengikuti) kemauan
atau kehendak Allah,kehendak Rasul, dan kehendak Ulil Amri, yakni orang yang mempunyai
kekuasaan :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman , taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah ( Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.

Para Ulama menyimpulkan bahwa sumber hukum Islam ada tiga, yaitu Al-Qur’an,
Sunnah dan akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Akal pikiran ini
dalam kepustakaan hukum Islam di istilahkan dengan al-rayu’,yakni pendapat orang atau
orang-orang yang memenuhi syarat untuk memenuhi syarat untuk menentukan nilai dan
norma pengukur tingkah laku manusia dalam segala hidup dan kehidupan. Ketiga sumber itu
merupakan rangkaian kesatuan dengan urutan seperti yang sudah disebutkan. Al-Qur’an dan
As Sunnah merupakan sumber utama ajaran Islam, sedangkan al-ra’yu merupakan sumber
tambahan atau sumber pengembangan.

2. Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat

Ruang lingkup hukum Islam sangat luas karena, yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya
hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya
sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda, dan antara
manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al-Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait
dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi
seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada
kewajiban untuk menaati hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis. Peranan hukum
Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan
ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :

a. Fungsi Ibadah

Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Hukum Islam adalah
ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang
sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.

b. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Hukum Islam sebagai hukum yanh ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat
manusia. Sebagai contoh, pengharaman riba dan khamr, jelas menunjukkan adanya
keterkaitan penetapan hukum Allah Swt dengan subjek dan objek hukum. Pengharaman riba
dan khamr, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali
sosial. Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak dilecehkan.
Secara langsung, akibat buruk dari riba dan khmar memang hanya menimpa pelakunya.
Namun secara tidak langsung lingkungannya juga ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena
itu, kita dapat memahami, fungsi control yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan
khamr, fungsi inilah yang disebut amar ma’ruf nahi mungkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai
tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemadharatan,
baik di dunia maupun di akhirat kelak.

c. Fungsi Zawajir

Fungsi ini mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang
melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang
membahayakan. Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai
dengan ancaman hukum atau sanksi hukum.

d. Fungsi Tandhim wa Islam al-Ummah

Fungsi hukum Islam ini berfungsi sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan
memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis,
aman, dan sejahtera.

3. Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Islam

a. Sejarah Hak Asasi Manusia

Menurut Jan Materson dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Hak Asasi Manusia adalah hak-
hak yang melekat pada manusia, yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup
sebagai manusia. Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, secara kodrati
dianugerahkan hak dasar yang disebut hak asasi, tanpa perbedaan antara satu dengan yang
lainnya. Dengan hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadinya, peranan
dan sumbangan bagi kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai suatu
hak dasar melekat pada diri tiap manusia.

Dilihat dari segi sejarahnya, umumnya para pakar di Eropa berpendapat, bahwa lahirnya
HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 M di Inggris. Magna Charta
antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute ( raja yang
menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi
kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggung jawabannya di muka hukum. Dari
sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi, dan mulai bertanggungjawab kepada hukum.
Sejak saat itu mulai dipraktikan ketentuan bahwa jika raja melanggar hukum harus diadili dan
harus mempertanggung jawabkan kebijakan kepada Parlemen. Dengan demikian, saat itu
mulai dinyatakan bahwa raja terikat pada hukum dan bertanggung jawab pada rakyat,
walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada saat itu lebih banyak berada di
tangannya.

Lahirnya magna charta diikuti dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689.
Pada saat itu mulai ada adagium yang berintikan bahwa manusia sama di muka hukum.
Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya demokrasi dan negara hukum. Pada
prinsipnya, Bill of Rights ini melahirkan persamaan. Perkembangan HAM selanjutnya
ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari
paham Rousseau dan Montesquieu. Selanjutnya pada tahun 1789 lahir pula The
Declaration, dimana hak-hak lebih dirinci, dan kemudian melahirkan The Rule of law.

Dalam The French Decklaration, antara lain disebutkan tidak boleh ada penankapan dan
penahanan yang semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alasan yang syah dan penahanan
tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang syah. Di samping itu dinyatakan juga
adanya presumption of innocence, artinya orang- orang yang ditangkap, kemudian dituduh
dan ditahan, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dalam deklarasi ini juga di tegaskan
freedom of expression, freedom of religion, the right of property; dan hak-hak dasar lainnya.
Semua hak-hak yang ada dalam berbagai instrument HAM tersebut kemudian dijadikan dasar
pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal
dengan The Universal Declaration of Human Rights yang disyahkan oleh PBB pada tahun
1948.

b. Perbedaan Prinsip Antara Konsep HAM Dalam Islam dan Barat.

Ada perbedaan prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut pandangan Barat dan
Islam. Hak asasi manusia menurut pemikiran Barat semata-mata bersifat antroposentris,
artinya segala sesuatu berpusat pada manusia. Dengan demikian, manusia sangat
dipentingkan. Sebaliknya, hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut pandang Islam bersifat
teosentris, artinya segala sesuatu berpusat pada Tuhan. Dengan demikian, Tuhan sangat
dipentingkan.

Pemikiran Barat menempatkan manusia pada posisi bahwa manusialah yang menjadi tolak
ukur segala sesuat. Dalam Islam, melalui firman Allah Swt. dinyatakan Allahlah yang
menjadi tolak ukur sgala sesuatu, sedangkan manusia adalah ciptaan Allah untuk mengabdi
kepada-Nya. Di sinilah letak perbedaan yang fundamental antara hak-hak asasi manusia
menurut pola pemikiran Barat dengan hak-hak asasi manusia menurut pola ajaran Islam.
Makna teosentris bagi orang Islam adalah manusia pertama-tama harus meyakini ajaran
pokok Islam yang dirumuskan dalam dua kalimat syahadat, yakni pengakuan tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad Saw adalah utusan Allah. Barulah setelah itu manusia
melakukan perbuatan- perbuatan yang baik, menurut isi keyakinan itu ( Mohammad Daud
Ali, 1995:304).

Dalam konsep Islam, seseorang hanya mempunyai kewajiban-kewajiban atau tugas-tugas


kepada Allah karena ia harus mematuhi hukum-Nya. Menurut ajaran Islam, manusia
mengakui hak-hak dari manusia lain, karena hal ini merupakan sebuah kewajiban yang
dibebankan oleh hukum agama untuk mematuhi Allah ( A.K. Brohi,1982:204). Oleh karena
itu, hak asasi manusia dalam Islam tidak semata-mata menekankan kepada hak asasi manusia
saja, akan tetapi hak-hak itu dilandasi kewajiban asasi manusia untuk mengabdi kepada Allah
Swt sebagai penciptanya.

Menurut pandangan Islam, konsep HAM bukanlah hasil revokusi dari pemikiran manusia,
namun merupakan hasil dari wahyu Ilahi yang telah diturunkan melalui para nabi dan rasul
dari sejak permulaan eksistensi umat manusia di atas bumi. Menurut ajaran Islam, manusia
diciptakan oleh Allah hanya untuk mengabdi kepada Allah dengan tegas dinyatakan-Nya
dalam QS. Al-Dzariyat ayat 56 :

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-
Ku.

Oleh karena itu, manusia mempunyai kewajiban untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang
di ciptakan oleh Allah Swt.
Aspek khas dalam konsep HAM Islami adalah tidak adanya orang lain yang dapat
memaafkan pelanggaran hak-hak jika pelanggaran itu terjadi atas seorang yang harus
dipenuhi haknya. Bahkan suatu negara islam pun tidak dapat memaafkan pelanggaran HAM
tersebut dan harus memberikan sanksi kecuali bila pihak yang dilanggar HAM-nya
memaafkan pihak yang melanggar tersebut.

Apabila prinsip-prinsip Human right yang terdapat dalam Universal Declaration of Human
Rights dibandingkan dengan HAM yang terdapat dalam ajaran Islam, maka dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah yaitu antara lain prinsip-prinsip human right berikut :

a. Prinsip Martabat Manusia

Dalam Al-Qur’an manusia mempunyai kedudukan atau martabat yag tinggi. Kemudian
martabat yang dimiliki manusia itu sama sekali tidak ada pada makhluk lain. Martabat tinggi
yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia,pada hakikatnya merupakan fitrah yang
tidak dipisahkan dari diri manusia. Penjelasan ini dapat kita temukan dalam QS. Al-Is’ra ayat
33 dan 70 atau QS Al- Ma’idah ayat 32 dan lain-lain :

Surah Al-Is’ra ayat 33 :

Artinya : ‘’ Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya),
kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka
sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada wali(ahli waris)nya, tetapi janganlah
walinya itu melampaui batas dalam pembunuha]. Sesungguhnya dia adalah orang yang
mendapat pertolongan’’.

Surah Al-Isra’ ayat 70 :

Artinya :’’ Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu adam, dan Kami angkut mereka
di daratan dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka di atas banyak makhluk dan Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna’’.

Prinsip-prinsip Al-Qur’an yang telah menempatkan manusia pada martabat yang


tinggi dan mulia dapat dibandingkan dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam
Universal Declaration of Human Rights, antara lain terdapat dalam Pasal 1 (Semua orang
dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal
dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan) dan Pasal 3 (Setiap
orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan, dan keselamatan orang).

b. Prinsip Persamaan

Pada dasarnya semua manusia sama,karena semuanya adalah hamba Allah. Hanya satu
criteria (ukuran) yang dapat membuat seseorang lebih tinggi derajatnya dari yang lain, yakni
ketakwaannya. Hal ini diterangkan dalam QS. Al-Hujarat ayat 13 :

Artinya : ‘’Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sungguh, paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah ialah
orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti’’.

Prinsip persamaan ini dalam Universal Declaration of Human Rights Pasal 6 (Setiap orang
berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi di hadapan UU dimannapun ia berada)
dan pasal 7 (Semua orang sama dihadapan UU dan berhak atas perlindungan yang sama)

c. Prinsip Kebebasan Menyatakan Pendapat

Al-Qur’an memerintahkan kepada manusia agar berani menggunakan akal pikiran mereka
terutama untuk menyatakan pendapat mereka yang benanr. Perintah ini secara khusus
ditujukan kepada manusia yang beriman agar berani menyatakan kebenaran. Ajaran Islam
sangat menghargai akal pikiran, oleh karena itu, setiap manusia sesuai dengan martabat dan
fitrahhnya sebagai makhluk yang berpikir mempunyai hak untuk menyatakan pendapat
dengan bebas, asal tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan dapat dipertanggung
jawabkan. Hak untuk menyatakan pendapat dengan bebas dinyatakan dalam Universal
Declaration of Human Rights pasal 19 (Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan
menyatakan pendapat; hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu
pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi
dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah).

d. Prinsip Kebebasan Beragama

Prinsip kebebasan beragama ini dengan jelas disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 :

Artinya : ‘’Tidak ada pemaksaan untuk ( memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa inkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’’.

Prinsip ini mengandung makna bahwa manusia sepenuhnyya mempunyai kebebasan untuk
menganut suatu keyakinan atau kaidah agama yyangg disenanginya. Ayat lain yang
berkenaaan dengan prinsip kebebasan beragama terdapat dalam QS. Qaaf ayat 45.

Artinya : Kami telah mengetahui tentang apa yang mereka katakana, dan kamu sekali-kali
bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beril peringatanlah dengan Al-Qur’an
yang takut kepada ancaman-Ku.

Dari ayat tersebut dapat disimpulakan bahwa agama Islam sangat menjunjung tinggi
kebebasan beragama . Hal ini sejalan dengan pasal 18 dari Universal Declaration of Human
Rights, yang berbunyi : Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan dan
beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan
kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran,
peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,
di muka umum maupun secara pribadi.

e. Prinsip Hak Atas Jaminan Sosial

Di dalam Al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat yang menjamin tingkat dan kualitas hidup
minimum bagi seluruh masyarakat. Ajaran tersebut antara lain adalah kehidupan fakir miskin
harus diperhatikan oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat yang punya (QS. Az-Zariyat
ayat 19, QS. Al-Ma’arij ayat 24); kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar diantara
orang-orang kaya saja ( QS. Al-Humazah ayat 2 ); jaminan social itu harus diberikan
,sekurang-kurangnya kepada mereka yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai pihak-pihak yang
berhak atas jaminan social ( QS. Al-Baqarah ayat 273 dan QS. At-Taubah ayat 60).

Surah Az-Zariyat ayat 19 :

Artinya :’’ Dan pada harta benda mereka ada hak orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak meminta’’.

Surah Al-Ma’arij ayat 24 :

Artinya : ‘’ dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu,’’

Surah Al-Humazah ayat 2 :

Artinya : ‘’yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,”

Surah Al-Baqarah ayat 273 :

Artinya : ” (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah;
mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya
karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya,
mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang
kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui’’.

Dalam Al-Qur’an juga disebutkan dengan jelas perintah bagi umat Islam untuk melaksankan
zakat kepada pihak-pihak yang memerlukannya. Tujuan zakat itu antara lain : untuk
melenyapkan kemiskinan dan menciptakan pemerataan pendapat bagi segenap anggota
masyarakat. Apabila jaminan social dalam Al-Qur’an diperhatikan, jelas sesuai dengan pasal
22 dari Universal Declaration of Human Rights, yang bunyinya : Setiap orang sebagai
anggota masyarakat berhak atas jaminan sosial dan terwujudnya hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan perkembangan kepribadiannya dengan
bebas, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan
pengaturan dan sumber daya yang ada pada setiap negara .

f. Prinsip Hak Atas Harta Benda

Dalam hukum Islam, hak milik seseorang sangat dijunjung tinggi . sesuai dengan harkat dan
martabat, jaminan dan perlindungan terhadap milik seseorang merupakan kewajiban
penguasa. Oleh karena itu, siapapun juga bahkan penguasa sekalipun, tidak diperbolehkan
merampas hak milik orang lain, kecuali untuk kepentingan umum, menurut tata cara yang
telah ditentukan terlebih dahulu ( Mohammad Daud Ali, 1995: 316). Hal ini sesuai dengan
pasal 17 dari Universal Declaration of Human Rights, yang berbunyi (1) setiap orang berhak
mempunyai hak milik, baik sendiri maupun bersama dengan orang lain; (2) tidak seorangpun
hak miliknya boleh dirampas dengan sewenang-wenang.

Dalam rangka memperingati abad ke-15 H, pada tanggal 12 Dzulkaidah atau 19 September
1981 para ahli hukum Islam mengemukakan “Universal Islamic Declaration of Human
Rights” yang diangkat dari Alqur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Pernyataan HAM menurut
ajaran islam ini terdiri XXIII bab dan 63 pasal yang meliputi seluruh aspek hidup dan
kehidupan manusia. Beberapa hal pokok itu disebutkan dalam deklarasi tersebut antar lain
adalah (1) hak untuk hidup; (2) hak untuk mendapatkan kebebasan;(3) hak atas persamaan;
(4) hak untuk mendapat keadilan; (5) hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap
penyalahgunaan kekuasaan; (6) hak untuk mendapat perlindungan dari penyiksaan; (7) hak
untuk mendapat perlindungan atas kehormatan dan nama baik; (8) hak untuk kebebasan
berfikir dan berbicara; (9) hak untuk bebas memilih agama; (10) hak untk bebas berkumpul
dan berorganisasi; (11) hak untuk mengatur tata kehidupan ekonomi; (12) hhak atas jaminan
social; (13) hak untuk bebas mempunyai keluarga dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya; (14) hak-hak bagi wanita dalam kehidupan rumah tangga; (15) hak untuk
mendapatkan pendidikan; dan lain sebagainya.

4. Konstribusi Umat Islam Dalam Perumusan dan Penegakan Hukum

Konstribusi Umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia tampak jelas
setelah Indonesia merdeka.sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,
hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Penelitian yang dilakukan secara nasional oleh Universitas Indonesia dan
BHPN (1977/1978) menunjukkan dengan jelas kecenderungan umat Islam Indonesia untuk
kembali ke identitas dirinya sebagai muslim dengan mentaati dan melaksanakan hukum
Islam. Kecenderungan ini setelah tahun 60 diwujudkan dalam bentuk kewajiban
menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah dibawah naungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ( sekarang Depertemen Pendidikan Nasional).

Realita kehidupan beragama di Indonesia lainnya adalah maraknya kehidupan beragama


Islam di seluruh dunia. Selain dari itu, perkembangan hukum Islam di Indonesia ditunjang
pula oleh sikap pemerintah terhadap hukum agama ( hukum Islam) yang dipergunakan
sebagai sarana atau alat untuk memperlanjar pelaksanaan kebijakan pemerintah. Setelah
Indonesia merdeka, muncul pemikiran hukum Islam terkemuka di Indoensia, seperti Hazairin
dan TM. Hasbi ash-Shiddieqy, mereka berbicara tentang pengembangan dan pembaharuan
hukum Islam bidang muamalah di Indonesia. Hasbi misalnya menghendaki fikih Islam
dengan pembentukan fikih Indonesia ( 1962), Syarifudin Prawiranegara ( 1967 )
mengemukakan idenya pengembangan sistem ekonomi Islam yang diatur menurut hukum
Islam. Gagasan ini kemudian melahirkan bank Islam dalam bentuk Bank Muamalat.

Kesimpulan :

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Karena,
hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan akal pikiran atau Al-
rayu sebagai sumber tambahan dan pengembangan. Adapun tujuan hukum Islam secara
umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan
bagi mereka, mengarahkan mereka pada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup
manusia di dunia ini dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat
dan mencegah atau menolak yang mudharat, yakni yang tidak berguna bagi hidup dan
kehidupan manusia.Sedangkan, peranan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat yaitu :
sebagai fungsi ibadah,fungsi amal ma’ruf nahi munkar, fungsi Zawajir, dan fungsi Tandhim
wal Islah al- Ummah. Tidak hanya hukum Barat saja yang memiliki prinsip tentang HAM
tetapi dalam ajaran Islam juga memiliki prinsip-prinsip HAM yang bersumber dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah, prinsip-prinsip itu adalah prinsip martabat manusia, prinsip persamaan,
prinsip kebebasan dan menyatakan pendapat, prinsip kebebasan beragama, prinsip hak atas
jaminan sosial dan prinsip hak atas harta benda.

Anda mungkin juga menyukai