KLASIFIKASI: kolam fakultatif (aerob-anaerob), kolam aerasi, kolam aerobik, dan kolam
anaerobik
Kolam stabilisasi dapat diklasifikasikan menjadi kolam fakultatif (aerob-anaerob), kolam
aerasi, kolam aerobik, dan kolam anaerobik yang didasarkan pada tipe reaksi atau aktivitas
biologi yang sering terjadi di dalam kolam. Pengelompokan lain juga dapat dilakukan
berdasarkan jenis influen (eflluen yang belum terolah, telah tersaring, telah diendapkan, atau
eflluen yang berasal dari pengolahan sekunder (seperti lumpur akif)), lama pengurasan (tidak
diemisikan, menengah, atau terus menerus), dan berdasarkan proses pemberian oksigen (dari
proses fotosintesis, dari udara dipermukaan, atau aerasi mekanis).
UNTUK LIMBAH: Industri dengan limbah pekat seperti CPO dan limbah domestik
Kolam stabilisasi baik diterapkan di daerah tropis dengan intensitas cahaya matahari yang
berlimpah. Wilayah tropis sangat diuntungkan oleh karakter biofisikokimia mikroba dalam
kaitannya dengan temperatur air dan temperatur udaranya. Juga keragaman nutrisinya yang
mempengaruhi pertumbuhan bakteri aerob-anaerob dan produktivitas algae. Namun sayangnya
kolam stabilisasi masih jarang di terapkan di daerah tropis seperti Indonesia. Sebab, kolam
stabilisasi membutuhkan lahan yang luas karena mayoritas kedalaman masing-masing kolam
yang tidak terlalu dalam atau dangkal sehingga membutuhkan kerja optimum masing-masing
peran mikroba dan algae dalam mendapatkan nutrisi dan energinya. Sedangkan, di Indonesia
sudah sangat sulit mencari lahan yang luas dan kosong.
Kolam anaerobik biasanya digunakan untuk mengolah limbah pekat industri dan
pertanian. Kolam ini telah digunakan sebagai pretreatment kolam fakultatif atau kolam aerobik
untuk air limbah pekat industri dan limbah area domestik di daerah pedesaan yang memiliki
beban organik yang tinggi, seperti sisa-sisa makanan. Namun kolam ini tidak terlalu banyak
digunakan pada pengolahan air limbah kota.
PRINSIP:
Prinsip dasar dari kolam stabilisasi adalah
1. menyeimbangkan dan menjaga fluktuasi beban organik dan beban hidrolis limbah air,
2. mengendapkan partikel padatan dari air limbah di kolam pertama,
3. memanfaatkan proses fotosintesis yang dilakukan oleh algae sebagai sumber utama oksigen,
4. proses penguraian zat organik secara biologis yang dilakukan oleh mikroorganisme (baik
secara aerobik maupun anaerobik), dan
5. pengurangan organisme patogenik melalui beberapa proses interaktif antara alga dan
bakteria.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN:
Pada kolam fakultatif dibagi kedalam 2 lapisan, yaitu lapisan bawah anaerobik dan lapisan atas
aerobik, kemudian diantara keduanya terdapat lapisan fakultatif. Pada lapisan anaerobik, zat
organik yang mengendap di bawah kemudian diuraikan kembali oleh bakteri anaerob secara
biokimiawi sesuai dengan yang ada di kolam anaerob. Degradasi senyawa organik dengan
bakteri anaerob menghasilkan gas C02 dan CH4 yang diperlukan pada peristiwa yang terjadi
pada lapisan atas. Berikut persamaan reaksi perubahan zat organik dengan selulosa sebagai
substrat:
Proses fisika berupa sedimentasi padatan di dalam air limbah menjadi sludge
Prinsip dari reaksi biologi adalah pembentukan asam dan fermentasi metana. Proses ini mirip
dengan yang terjadi pada proses kondisi anaerobik pada pengolahan lumpur. Pada proses ini
juga dihasilkan penyebab bau seperti asam-asam organik dan hidrogen Sulfida (H2S)
proses biokimia adalah proses degradasi senyawa organik di dalam lumpur dengan bantuan
bakteri anaerob untuk menghasilkan gas dan produk terlarut yang dibutuhkan di kolam
selanjutnya
WHY ANAEROBIK:
Bakteri yang digunakan untuk menguraikan zat organik pada air limbah merupakan bakteri
anaerob. Pada unit pengolahan limbah saat ini pun bakteri yang lebih banyak dipilih adalah
bakteri anaerob. Sebab, bakteri anaerob memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bakteri
aerob. Salah satu keunggulan utamanya yang berhubungan dengan kolam anaerob di kolam
stabilisasi ini adalah mampu menghasilkan biomassa (sludge) yang lebih sedikit dibandingkan
bakteri aerob. Sludge yang dihasilkan dari pengolahan air limbah akan diolah lebih lanjut.
Pengolahan sludge pada saat ini tidaklah murah dan membutuhkan banyak tambahan biaya. Oleh
sebab itu, unit pengolahan limbah mengharapkan hasil biomassa (sludge) yang sedikit agar biaya
pengolahan slude yang dikeluarkan tidak banyak. Selain itu, terdapat beberapa keunggulan
bakteri anaerob diantaranya adalah :
1. Membutuhkan energi yang lebih sedikit
2. Membentuk energi dalam bentuk gas metana
3. Membutuhkan sedikit nutrien (Nitrogen dan phospat)
4. Memiliki kemampuan untuk mengubah beberapa pelarut berbahaya, seperti chloroform,
trichloroethylene, dan trikloroethena.
5. Mampu menyimpan banyak ruangan, sebab bekerja pada kecepatan pembebanan organik
yang tinggi (KPO) hanya membutuhkan volume reaktor yang kecil.
Namun, kelemahannya adalah proses ini menghasilkan senyawa yang menyebabkan timbulnya
bau. Oleh karena itu untuk menstabilisasi limbah dibutuhkan proses pengolahan lanjutan berupa
proses aerobik. Pada proses dekomposisi senyawa organik, suhu yang terjadi pada kondisi
anaerob ini relatif lebih tinggi.
Beban organik (organik loading rates) pada kolam stabilisasi dinyatakan dalam kg BOD5 per ha
permukaan kolam per hari (lb BOD/acre.d), atau terkadang dinyatakan sebagai populasi ekivalen
BOD per unit luas. Nilai tipikal loading rates adalah 22-26 kg BOD/ha.d (20-60 lb BOD/acre.d).
Waktu detensi tipikal yang digunakan adalah 25 hingga 180 hari. Sedangkan dimensi tipikal
yang sering digunakan adalah kedalaman 1,2-2,5 m (4-8 ft) dengan luas area 4-60 ha (10-
150 acres) (USEPA, 1983b).
Kolam fakultatif biasanya dirancang untuk menurunkan nilai BOD menjadi sekitar 30 mg/L,
tetapi, dalam prakteknya, penurunan nilai BOD berkisar dari 30 sampai 40 mg/L atau lebih
tergantung dari kandungan ganggang. Penguraian zat organik yang mudah menguap berkisar
antara 77-96%. Penurunan kadar Nitrogen mencapai 40-95%. Setelah diamati kadar phophorus
berkurang menjadi < 40%. Nilai TSS efluen berkisar 40-100 mg/L, terutama ditentukan oleh
kandungan ganggang (WEF dan ASCE, 1991b). Kehadiran ganggang di kolam limbah
merupakan salah satu faktor yang paling menentukan kinerja kolam fakultatif. Kolam ini juga
efektif dalam penurunan nilai fecal coliform (FC). Dalam kebanyakan kasus, nilai FC efluen
densitasnya kurang dari 200 FC/100 ml.
PROSES PERANCANGAN:
Rumus yang digunakan untuk merencanakan kolam fakultatif menggunakan beberapa data
operasional disajikan dalam panduan manual perancangan (USEPA, 1974b). Perhitungan dan
ilustrasi dari ukuran kolam fakultatif memuat loading rate, persamaan Gloyna, persamaan
Marais-Shaw, model aliran, dan persamaan Wehner-Wilhelm. Kemudian untuk perancangan
parsial-mix aerated lagoon dijelaskan pada bagian lain (WPCF, 1990). Pada bagian ini akan
dibahas mengenai metode perancangan loading rate area dan permodelan Wehner-Wilhelm
Pada proses pengoperasian pada kondisi normal, untuk mencapai efisiensi penyisihan BOD
minimal 75 persen, diperlukan loading rates sebesar 0,32 kg BOD/(m3 . d) atau 20 lb/(1000 ft3 .
d), waktu detensi minimal 4 hari, dan suhu operasi minimum 24o C (75o F) (Hammer, 1986
Kolam Tersier
Kolam tersier juga disebut sebagai kolam pelengkap, terakhir atau kolam maturasi atau
(pemasakan), merupakan tahap ketiga untuk mengolah efluen yang berasal dari proses lumpur
aktif atau trickling filter. Kolam ini juga digunakan pada tahap kedua setelah proses di kolam
fakultatif dan kolam aerobik.
Kedalaman air pada kolam tersier ini biasanya berkisar 1 – 1,5 m (3 – 4,5 ft). Loading
Rate BODnya kecil dari 17 kg/ha . d atau 15 lb/acres . d. Sedangkan waktu detensinya relatif
singkat, yaitu 4 hingga 15 hari
Kolam maturasi dapat tidak perlu digunakan apabila standart mikroorganisme yang terkandung
dalam air limbah yang telah diproses telah masuk kedalam batas aman. Untuk itu, biasanya
sebelum ditetapkan penggunaan kolam maturasi ini dilakukan perhitungan dan pengukuran
mikroorganisme yang terkandung dalam air yang telah diolah di kolam anaerob dan fakultatif.
Apabila penggunaan kolam maturasi ditiadakan, maka akan mengurangi pengeluaran biaya
operasional dalam unit pengolahan limbah dengan kolam stabilisasi.
pada kolam maturasi terjadi pembersihan terakhir air limbah dari pencemar berupa padatan
tersuspensi, zat organik terlarut dan yang utama adalah pengurangan bakteri sebelum air limbah
dibuang ke badan air atau sungai. Karena kedalamannya yang sangat dangkal, maka sinar
matahari dapat menembus keseluruhan ketebalan lapisan air sehingga dapat membasmi
bakterinya. Namun juga membutuhkan lahan yang semakin luas juga karena kolamnya semakin
dangkal. Di kolam inipun terjadi simbiosis mutualisme pada bakteri aerob dan algae. Hubungan
saling menguntungkan ini dikarenakan oleh oksigen yang dihasilkan algae digunakan oleh
bakteri aerob untuk metabolisme serta menghasilkan karbon dioksida yang dibutuhkan algae
untuk tumbuh. Kemudian proses tersebut terjadi secara kontinu atau terus menerus. Hanya saja,
tujuan akhirnya mengharapkan bakteri yang masih ada dalam air dapat dibasmi dan dihilangkan
sebelum dibuang ke sungai. Kandungan algae juga jangan sampai banyak yang masuk ke sungai
agar tidak menurunkan kulaitas air sungai atau danau, waduk di hilirnya karena terbentuknya
eutrofikasi.