Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Revitalisasi

1. Pengertian Revitalisasi

Revitalisasi berasal dari kata “Re” dan “Vitalisasi”. Re berarti kembali dan
vitalitas berarti daya hidup (vita: hidup). Revitalisaasi adalah upaya meningkatkan
nilai lahan/ kawasan melalui pembangunan kembali dalam suatu kawasan yang dapat
meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya. Revitalisasi kawasan adalah rangkaian
upaya menghidupkan kembali kawasan yang mengalami penurunan kualitas fisik dan
non fisik, meningkatkan nilai-nilai vitalitas yang strategis dan signifikan dari
kawasan yang mempunyai potensi atau mengendalikan kawasan yang cenderung
tidak teratur, untuk mengembalikan atau menghidupkan kembali kawasan dalam
ikatan kota sehingga berdampak pada kualitas hidup warganya, melalui peningkatan
kualitas lingkungan kawasan. (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 18/ PRT/
M/ 2011 tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan)
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia tahun 2010 tentang Cagar
Budaya Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Butir 31, Revitalisasi adalah kegiatan
pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai nilai penting Cagar
Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan
prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.
Berdasarkan Departemen Kimpraswil (2005), definisi revitalisasi adalah upaya
untuk menghidupkan kembali kawasan yang mati, yang pada masa silam pernah
hidup, atau mengendalikan, dan mengembangkan kawasan untuk menemukan
kembali potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki atau seharusnya dimiliki oleh
sebuah kota.
Seiring dengan bertambahnya usia kawasan di Indonesia, maka muncul kawasan
yang tidak teratur, terdapat kawasan yang produktivitas ekonominya menurun,

4
adanya kawasan yang terdegradasi lingkungannya akibat layanan prasarana sarana
tidak memadai, bahkan beberapa warisan budaya perkotaan (urban heritage) menjadi
rusak, dan tidak sedikit kawasan yang nilai lokasinya menurun. Muncul pula kawasan
yang kepemilikan tanah menjadi tidak jelas dan kepadatan fisiknya rendah. Kondisi
di atas diperparah karena komitmen pemda yang rendah dalam menata kawasan
tersebut.
Dilihat dari tipenya, kawasan-kawasan tersebut dapat berupa kota warisan budaya
(heritage town), kota lama (old town), kawasan strategis berpotensi ekonomi,
permukiman kumuh, dan atau kawasan/permukiman yang vitalitasnya tidak
berkembang (stagnant).
Agar vitalitas kawasan-kawasan tersebut tidak terus merosot, maka perlu
direvitalisasi yang melibatkan intervensi pemerintah, peranserta masyarakat dan
swasta dari segi keruangan (setting) kawasan sehingga kawasan tersebut akan lebih
terintegrasi dalam satu kesatuan yang utuh dengan sistem kota, yang pada akhirnya
berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Dengan adanya revitalisasi kawasan diharapkan dapat memecahkan permasalahan
perkotaan, diantaranya meningkatnya vitalitas kawasan perkotaan, berkurangnya
kantong-kantong kawasan kumuh, meningkatnya pelayanan jaringan sarana dan
prasarana, dan meningkatkan nilai lokasi kawasan.
Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan aspek
fisik dan aspek ekonomi dari bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi aspek fisik
merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya
peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi aspek fisik diyakini dapat
meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang publik) kota, namun tidak untuk
jangka panjang. Untuk itu tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas
ekonomi (economic revitalization) yang merujuk kepada aspek social budaya serta
aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena
melalui pemanfaatan yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah

5
mekanisme perawatan dan control yang langgeng terhadap fasilitas dan infrastruktur
kota.
Penataan dan Revitalisasi Kawasan penting sebagai rangkaian upaya
menghidupkan kembali kawasan yang cenderung mati, meningkatkan nilai-nilai
vitalitas yang strategis dan siginifikan dari kawasan yang masih mempunyai potensi
serta pengendalian lingkungan kawasan. Penataan dan Revitalisasi Kawasan
dilakukan melalui pengembangan kawasan tertentu yang layak untuk direvitalisasi
baik dari segi setting (bangunan dan ruang kawasan), kualitas lingkungan, sarana,
prasarana dan utilitas kawasan, sosio-kultural, sosio-ekonomi dan sosio-politik.
Kegiatan konservasi bisa berbentuk preservasi dan pada saat yang sama
melakukan pembangunan atau pengembangan, restorasi, replikasi, reskontruksi,
revitalisasi dan atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu. Untuk
melakukannya perlu upaya lintas sektoral, multidimensi dan disiplin serta
berkelanjutan. Revitalisasi sendiri bukan sesuatu yang hanya berorientasi pada
penyelesaian keindahan fisik saja, tapi juga harus dilengkapi dengan peningkatan
ekonomi masyarakatnya serta pengenalan budaya yang ada. Untuk melaksanakan
revitalisasi perlu adanya keterlibatan masyarakat. Keterlibatan yang dimaksud bukan
sekedar ikut serta untuk mendukung aspek formalitas yang memerlukan adanya
partisipasi masyarakat, selain itu masyarakat yang terlibat tidak hanya masyarakat di
lingkungan kawasan tertata, tapi masyarakat dalam arti luas. Untuk itu, perlu
mekanisme yang jelas. Aspek lain yang penting dan sangat berperan dalam
revitalisasi, yaitu penggunaan peran teknologi informasi, khususnya dalam mengelola
keterlibatan banyak fihak untuk menunjang kegiatan revitalisasi.
Kegiatan revitalisasi dapat dilakukan dari aspek keunikan lokasi dan tempat
bersejarah. Demikian juga, revitalisasi juga dilakukan dalam rangka untuk mengubah
citra suatu kawasan.
Skala upaya revitalisasi bisa terjadi pada tingkatan mikro kawasan, seperti pada
sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bisa mencakup kawasan
yang lebih luas. Apapun skalanya tujuannya adalah sama, yaitu memberikan

6
kehidupan baru yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif
pada kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi kawasan.
2. Aspek Revitalisasi Kawasan
Menurut Danisworo (2000) dan Tiesdell (1996) sebagai sebuah kegiatan yang
sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui beberapa pendekatan atau tahapan yang
membutuhkan kurun waktu tertentu. Beberapa pendekatan yang bisa diacu dalam
upaya revitalisasi kawasan pusat kota atau kawasan cagar budaya meliputi hal-hal
sebagai berikut:
1. Intervensi fisik

Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan dilakukan secara


bertahap, meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas dan kondisi fisik
bangunan, tata hijau, sistem penghubung, sistem tanda/reklame dan ruang terbuka
kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya dengan
kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan pengunjung,
intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental sustainability)
menjadi penting, sehingga intervensi fisik pun sudah semestinya memperhatikan
konteks lingkungan. Perencanaan fisik tetap harus dilandasi pemikiran jangka
panjang.
2. Rehabilitasi sosial-ekonomi
Revitalisasi yang diawali dengan proses peremajaan artefak urban harus
mendukung proses rehabilitasi kegiatan ekonomi. Perbaikan fisik kawasan yang
bersifat jangka pendek, diharapkan bisa mengakomodasi kegiatan ekonomi
informal dan formal (local economic development), sehingga mampu memberik
nilai tambah bagi kawasa kota (P. Hall / U. Pfeiffer, 2001) .
Dalam konteks revitalisasi perlu dikembangkan fungsi campuran yang bisa
mendorong terjadinya aktivitas ekonomi dan sosial (vitalitas barn). Keberhasilan
revitalisasi sebuah kawasan akan terukur bila mampu menciptakan lingkungan
yang menarik (interesting), jadi bukan sekedar membuat beautiful place.

7
Maksudnya, kegiatan tersebut harus berdampak positif serta dapat meningkatkan
dinamika dan kehidupan sosial masyarakat / warga (public realms).
3. Rehabilitasi institutional
Arahan memvitalkan kembali kawasan yang menurun vitalitasnya melalui
perbaikan fisik dan merehabilitasi ekonomi, perlu didukung dengan tegas dan
mantap oleh institusi atau pemerintah. Menurut Budiharjo (1997) revitalisasi akan
selalu berkaitan dengan peraturan perundangan, kebijakan perencanaan dan
perancangan kawasan yang didalamnya mencangkup penerapan sistem intensif
dan disinsentif serta reward dan punishments.

3. Pendekatan Dalam Revitalisasi


Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa Revitalisasi adalah upaya untuk
memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian Kota yang dulunya pernah
vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran / degradasi. Untuk itu,
Revitalisasi dapat dikatakan sebagai salah satu pendekatan dalam meningkatkan
vitalitas suatu Kawasan Kota yang bisa berupa:
1. Penataan kembali pemanfaatan lahan dan bangunan;
2. Renovasi Kawasan maupun bangunan-bangunan yang ada, sehingga dapat
ditingkatkan dan dikembangkan nilai ekonomis dan sosialnya;
3. Rehabilitasi kualitas lingkungan hidup; dan
4. Peningkatan intensitas pemanfaatan lahan dan bangunannya.
Keberhasilan pendekatan Revitalisasi dalam suatu kawasan dipengaruhi oleh
aspek sosial dan karakteristik kawasan yang merupakan image atau citra suatu
kawasan, bukan pada ide atau konsep yang diterapkan tanpa penyesuaian dengan
lingkungan kawasan tersebut. Pendekatan Revitalisasi berdasarkan tingkat, sifat
dan skala perubahan yang terjadi di dalam Kawasan dapat dilakukan dengan
Preservasi/Konservasi, Rehabilitasi dan pembangunan kembali.
Revitalisasi Kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha
menghidupkan kembali aktivitas perkotaan/perdesaan dan vitalitas kawasan untuk

8
mewujudkan kawasan layak huni (Livable), mempunyai daya saing pertumbuhan
dan stabilitas ekonomi lokal, berkeadilan sosial, berwawasan budaya serta
terintegrasi dalam kesatuan sistem kota/desa.
Revitalisasi pada prinsipnya tidak hanya menyangkut masalah konservasi
bangunan dan ruang kawasan bersejarah saja, tetapi lebih kepada upaya untuk
mengembalikan atau menghidupkan kembali kawasan dalam konteks kota yang
tidak berfungsi atau menurun fungsinya agar berfungsi kembali, atau menata dan
mengembangkan lebih lanjut Kawasan yang berkembang sangat pesat namun
kondisinya cenderung tidak terkendali.

4. Isu dan Permasalahan Revitalisasi


Revitalisasi kawasan perlu dilakukan mengingat adanya isu dan permasalahan
antara lain:
1. Isu
1. Kemerosotan vitalitas/produktivitas kawasan terbangun perkotaan.
2. Pentingnya peningkatan ekonomi lokal dalam pembangunan kota dan
pembangunan nasional.
3. Pemberdayaan pasar dan masyarakat (market & community enablement).
4. Degradasi kualitas lingkungan kawasan.
5. Pentingnya kebhinnekaan budaya terbangun bagi persatuan dan kesatuan
bangsa.
6. Meningkatnya peran pemangku kepentingan.
7. Pergeseran peran dan tanggung jawab pusat ke daerah.
2. Permasalahan Pembangunan Kawasan Terbangun
1. Penurunan vitalitas ekonomi kawasan terbangun, disebabkan oleh:
a) Sedikitnya lapangan kerja.
b) Kurangnya jumlah usaha.
c) Sedikitnya variasi usaha.
d) Tidak stabilnya kegiatan ekonomi.

9
e) Penurunan laju pertumbuhan ekonomi.
f) Penurunan produktivitas ekonomi.
g) Dis-ekonomi kawasan (dis-economic of a neighbourhood).
h) Nilai properti kawasan rendah dibandingkan kawasan sekitarnya.
2. Kantong kumuh yang terisolir (enclave), disebabkan oleh:
a) Kawasan semakin tidak tertembus secara spasial.
b) Prasarana sarana tidak terhubungkan dengan sistem kota.
c) Kegiatan ekonomi, sosial dan budaya cenderung tidak terkait dengan
lingkungan sekitarnya.
3. Prasarana sarana kurang memadai.
4. Degradasi kualitas lingkungan (environmental quality) dari aspek:
a) Kerusakan ekologi perkotaan.
b) Kerusakan fasilitas kenyamanan kawasan.
5. Bentuk dan ruang kota dan tradisi lokal rusak oleh:
a) ”Perusakan diri-sendiri” (self-destruction).
b) ”Perusakan akibat kreasi baru” (creative-destruction).
6. Tradisi sosial dan budaya setempat dan kesadaran publik pudar.
7. Manajemen kawasan yang terabaikan.
8. Kurangnya kompetensi dan komitmen pemda dalam mengembangkan
kawasan perkotaan.

5. Tujuan dan Sasaran Revitalisasi Kawasan


1. Tujuan revitalisasi kawasan
Tujuan Tujuan revitalisasi kawasan adalah meningkatkan vitalitas
kawasan terbangun melalui intervensi perkotaan yang mampu menciptakan
pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, terintegrasi dengan sistem kota, layak
huni, berkeadilan sosial, berwawasan budaya dan lingkungan.

10
2. Sasaran Revitalisasi Kawasan
1) Meningkatnya stabilitas ekonomi kawasan melalui intervensi untuk:
a) Meningkatkan kegiatan yang mampu mengembangkan penciptaan
lapangan kerja, peningkatan jumlah usaha dan variasi usaha serta
produktivitas kawasan.
b) Menstimulasi faktor-faktor yang mendorong peningkatan
produktivitas kawasan.
c) Mengurangi jumlah capital bergerak keluar kawasan dan
meningkatkan investasi yang masuk ke dalam kawasan.
2) Mengembangkan penciptaan iklim yang kondusif bagi kontinuitas dan
kepastian usaha
3) Meningkatnya nilai properti kawasan dengan mereduksi berbagai faktor
eksternal yang menghambat sebuah kawasan sehingga nilai properti
kawasan sesuai dengan nilai pasar dan kondusif bagi investasi jangka
panjang.
4) Terintegrasinya kantong-kantong kawasan kumuh yang terisolir dengan
sistem kota dari segi spasial, prasarana, sarana serta kegiatan ekonomi,
sosial dan budaya.
5) Meningkatnya kuantitas dan kualitas prasarana lingkungan seperti jalan
dan jembatan, air bersih, drainase, sanitasi dan persampahan, serta sarana
kawasan seperti pasar, ruang untuk industri, ruang ekonomi informal dan
formal, fasilitas sosial dan budaya, dan sarana transportasi.
6) Meningkatnya kelengkapan fasilitas kenyamanan (amenity) kawasan
guna mencegah proses kerusakan ekologi lingkungan.
7) Terciptanya pelestarian asset warisan budaya perkotaan dengan
mencegah terjadinya “perusakan diri-sendiri” (self-destrction),
melestarikan tipe dan bentuk kawasan, serta mendorong kesinambungan
dan tumbuhnya tradisi sosial dan budaya local.

11
8) Penguatan kelembagaan yang mampu mengelola, memelihara dan
merawat kawasan revitalisasi.
9) Penguatan kelembagaan yang meliputi pengembangan SDM,
kelembagaan dan peraturan/ ketentuan perundang-undangan.
10) Membangun kesadaran dan meningkatkan kempetensi pemda agar tidak
hanya fokus membangun kawasan baru.

B. Tinjauan Tentang Sungai


1. Pengertian Sungai
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011
tentang Sungai yang dimaksud dengan:
1. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan
pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan
dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.
2. Danau paparan banjir adalah tampungan air alami yang merupakan bagian
dari sungai yang muka airnya terpengaruh langsung oleh muka air sungai.
3. Dataran banjir adalah dataran di sepanjang kiri dan/atau kanan sungai yang
tergenang air pada saat banjir.
4. Pengelolaan sumber daya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan,
memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.
5. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan.

12
6. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya
kurang dari atau sama dengan 2.000 Km2 (dua ribu kilo meter persegi).
7. Banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai.
8. Bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul
sebelah dalam yang terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai.
9. Garis sempadan adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang
ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai.
10. Masyarakat adalah seluruh rakyat Indonesia, baik sebagai orang
perseorangan, kelompok orang, masyarakat adat, badan usaha, maupun yang
berhimpun dalam suatu lembaga atau organisasi kemasyarakatan.
2. Garis Sempadan
Sempadan sungai meliputi ruang di kiri dan kanan palung sungai di antara
garis sempadan dan tepi palung sungai untuk sungai tidak bertanggul, atau di
antara garis sempadan dan tepi luar kaki tanggul untuk sungai bertanggul.
a. Garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan
sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 38 Tahun 2011 yaitu:
a) paling sedikit berjarak 10 m (sepuluh meter) dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang
dari atau sama dengan 3 m (tiga meter);
b) paling sedikit berjarak 15 m (lima belas meter) dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih
dari 3 m (tiga meter) sampai dengan 20 m (dua puluh meter); dan
c) paling sedikit berjarak 30 m (tiga puluh meter) dari tepi kiri dan kanan
palung
b. Sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan terdiri atas:
a) sungai besar dengan luas DAS lebih besar dari 500 Km2 (lima ratus
kilometer persegi); dan

13
b) sungai kecil dengan luas DAS kurang dari atau sama dengan 500 Km2
(lima ratus kilometer persegi).
1) Garis sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan
ditentukan paling sedikit berjarak 100 m (seratus meter) dari tepi kiri dan
kanan palung sungai sepanjang alur sungai.
2) Garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan
ditentukan paling sedikit 50 m (lima puluh meter) dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang alur sungai.
c. Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditentukan
paling sedikit berjarak 3 m (tiga meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang
alur sungai.
d. Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan ditentukan
paling sedikit berjarak 5 m (lima meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang
alur sungai.
e. Penentuan garis sempadan yang terpengaruh pasang air laut, dilakukan
dengan cara yang sama dengan penentuan garis sempadan sesuai huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d yang diukur dari tepi muka air pasang rata-rata.
f. Garis sempadan mata air ditentukan mengelilingi mata air paling sedikit
berjarak 200 m (dua ratus meter) dari pusat mata air.
g. Garis sempadan sebagaimana yang dimaksud ditetapkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.penetapan garis sempadan. Penetapan garis sempadan dilakukan
berdasarkan kajian penetapan garis sempadan. Dalam penetapan garis
sempadan harus mempertimbangkan karakteristik geomorfologi sungai,
kondisi sosial budaya masyarakat setempat, serta memperhatikan jalan akses
bagi peralatan, bahan, dan sumber daya manusia untuk melakukan kegiatan
operasi dan pemeliharaan sungai.
h. Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam huruf g menunjukkan
terdapat bangunan dalam sempadan sungai maka bangunan tersebut

14
dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk
mengembalikan fungsi sempadan sungai. Ketentuan sebagaimana dimaksud
tidak berlaku bagi bangunan yang terdapat dalam sempadan sungai untuk
fasilitas kepentingan tertentu yang meliputi:
a) bangunan prasarana sumber daya air;
b) fasilitas jembatan dan dermaga;
c) jalur pipa gas dan air minum; dan
d) rentangan kabel listrik dan telekomunikasi.

3. Pengelolaan Sungai
Pengelolaan sungai (Peratuan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2011) meliputi:
a. Konservasi sungai
b. Pengembangan sungai
c. Pengendalian daya rusak air sungai
a) Konservasi sungai
Konservasi sungai dilakukan melalui kegiatan:
1) perlindungan sungai; dan
2) pencegahan pencemaran air sungai
Perlindungan sungai sebagaimana dimaksud dilakukan melalui
perlindungan terhadap:
1) palung sungai;
2) sempadan sungai;
3) danau paparan banjir; dan
4) dataran banjir.
Perlindungan sebagaimana dimaksud dilakukan pula terhadap:
1) aliran pemeliharaan sungai; dan
2) ruas restorasi sungai.

15
Perlindungan ruas restorasi sungai ditujukan untuk mengembalikan sungai
ke kondisi alami. Perlindungan ruas restorasi sungai sebagaimana dimaksud
dilakukan melalui:
1) kegiatan fisik; dan
2) rekayasa secara vegetasi.
Kegiatan fisik sebagaimana dimaksud meliputi penataan palung sungai,
penataan sempadan sungai dan sempadan danau paparan banjir, serta
rehabilitasi alur sungai.

b) Pengembangan Sungai
Pengembangan sungai dilakukan melalui pemanfaatan sungai.
Pemanfaatan sungai sebagaimana dimaksud meliputi pemanfaatan untuk:
1) Rumah tangga
2) Pertanian
3) Sanitasi lingkungan
4) Industry
5) Pariwisata
6) Olahraga
7) Pertahanan
8) Perikanan
9) Pembangkit tenaga listrik, dan
10) Transportasi
Pengembangan sungai sebagaimana dimaksud dilakukan dengan tidak
merusak ekosistem sungai, mempertimbangkan karakteristik sungai,
kelestarian keanekaragaman hayati, serta kekhasan dan aspirasi
daerah/masyarakat setempat.
Pemanfaatan sungai dilakukan dengan ketentuan:
1) mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian
rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada; dan

16
2) mengalokasikan kebutuhan air untuk aliran pemeliharaan sungai.

Dalam melakukan pemanfaatan sungai dilarang:


1) mengakibatkan terjadinya pencemaran; dan
2) mengakibatkan terganggunya aliran sungai dan/atau keruntuhan tebing
sungai.
c) Pengendalian Daya Rusak Sungai
Pengendalian daya rusak air sungai dilakukan melalui pengelolaan resiko
banjir. Pengelolaan resiko banjir dilakukan secara terpadu bersama pemilik
kepentingan. Pengelolaan resiko banjir ditujukan untuk mengurangi kerugian
banjir. Pengelolaan resiko banjir sebagaimana dimaksud dilakukan melalui:
1) pengurangan resiko besaran banjir; dan
2) pengurangan resiko kerentanan banjir.

Pengurangan resiko besaran banjir dilakukan dengan membangun:


a. prasarana pengendali banjir; dan
b. prasarana pengendali aliran permukaan.

C. Tinjauan Tentang Sungai Jeneberang


1. Wilayah dan Penggunaan Tanah
Sungai Jeneberang merupakan sungai besar yang terletak pada bagian barat
dalam wilayah administrasi Kotamadya Makassar (Ujung Pandang), ibukota dari
Provinsi Sulawesi Selatan. Sungai ini berasal dan mengalir dari bagian timur
Gunung Bawakaraeng (2,833 mdpl) dan Gunung Lampobatang (2,876) yang
kemudian menuju hilirnya di Selat Makassar. Pada Daerah Aliran Sungai
Jeneberang, terdapat dua daerah penampungan air (reservoir) utama yaitu di Kota
Bili-bili dan Jenelata.
Secara geografis wilayah Sungai Jeneberang berada pada posisi antara 4 O 25’
15,6” LS sampai 6O 28’40” LS dan 119O 20’ 20.4” BT sampai 120O 19’ 12” BT

17
yang mempunyai luas wilayah sungai 9.389,47 km2 dengan potensi air
permukaan 13.229 juta m3/tahun dan potensi air tanah 1.504 m3/tahun dan
potensi air tanah 1.504 m3/tahun. Meliputi 9 kabupaten dan 1 kota yang tersebar
di sulawesi selatan (Kota Makassar, Kab. Maros, Kab. Gowa, Kab. Takalar, Kab.
Jeneponto, Kab. Bantaeng, Kab. Bulukumba, Kab. Sinjai, Kab. Selayar dan Kab.
Sinjai).

Gambar 1. Peta Wilayah Daerah Aliran Sungai Jeneberang


Sumber :http://bbwspompenganjeneberang.org/profil/wilayah-administratif/

Wilayah Sungai Jeneberang terdiri dari 58 DAS. Sungai utama di WS


Jeneberang yaitu sungai Jeneberang (panjang = 80 km, Luas DAS = 784,80 km2),
sungai Tangka (panjang = 65 km, luas DAS = 476,76 km2). Bendungan Bili-Bili
yang berada di Desa Bili-bili Kec. Parangloe Kab. Gowa merupakan Salah satu

18
bendungan yang menjadi pengendali banjir sungai Jeneberang yang mampu
menyediakan air baku sebesar 3,300 ltr/det dengan luas areal irigasi 24.585 Ha.
Bendungan ini juga memiliki pembangkit tenaga listrik tenaga air (PLTA) dengan
kapasitas terpasang 20,1 MW.

Tabel 1. Sungai Utama dan Anak Sungai yang melewati Daerah Aliran
Sungai Jeneberang.

Sumber : flood.dpri.kyoto-u.ac.jp.

Wilayah penggunaan tanah atau tutupan lahan yang diliputi oleh Daerah Aliran
Sungai ini sebesar 727 kilometer persegi dengan ketentuan luas (dalam persen)
sebagai berikut :
Tabel 2. Luas dan Persentase Penggunaan Tanah yang ada pada Daerah Aliran
Sungai Jeneberang.
Penggunaan Tanah Luas (Km2) Persentase (%)
Hutan 501.63 69
Sawah Padi 36.35 5
Pertanian 87.24 12
Perkotaan 101.78 14
Jumlah 727 100
Sumber : diolah dari table of basic data Kyoto University (1993).

19
Lahan perkotaan yang meliputi luas 101.78 kilometer persegi dengan persentase
sebesar 14 persen terlihat berada pada bagian barat mendekati hilir dari Daerah
Aliran Sungai Jeneberang yaitu Selat Makassar.
Sebagai sebuah ekosistem Daerah Aliran Sungai, Sungai Jeneberang sebenarnya
masih mampu bertahan dari kondisi yang kritis sebagai sebuah DAS dimana
penggunaan tanah hutan masih diatas 50% (parameter sebagai DAS kritis ialah jika
kondisi hutan sudah dibawah 50%)1 yaitu sebesar 501.63 kilometer persegi atau 69
persen dari luas penggunaan tanah dalam satu Daerah Aliran Sungai Jeneberang.

2. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat


Daerah Aliran Sungai Jeneberang di Sulawesi Selatan melintasi salah satu
kota besar yaitu Kota Makassar. Keberadaan sungai Jeneberang ini memberikan
sumber harapan, kebahagiaan, kebanggaan dan kesenangan bagi Suku Makassar
dan Suku Bugis. Kesemuanya ini dapat dilihat dari cerita-cerita dan lagu-lagu
rakyat terhadap keberadaan sungai ini dan masih sering dilantunkan oleh anak-
anak muda pada sukusuku tersebut.
Lagu-lagu rakyat yang terkenal yaitu “Maranno-ranno ri binange Jeneberang”
yang berarti mengadakan kesenangan bersama-sama setiap hari di Sungai
Jeneberang. Ada beberapa pengertian mengenai asal usul kata Jeneberang, yang
dalam terminology Makassar dan Bugis dibagi menjadi “Jene” yang berarti air
dan “Binanga” yang berarti hubungan antara suku-suku tersebut dengan daerah
aliran sungai ini.
Sampai akhirnya ketika dibangun dam di Bili-bili dan Jenelata pada Daerah
Aliran Sungai Jeneberang, hal ini berdampak pada bertambahnya harapan,
kebanggaan, kesenangan, dan kebahagiaan bagi suku-suku di daerah aliran sungai
Jeneberang ini.

20
D. Tinjauan Teori Kawasan Tepi Air
1. Pengertian Kawasan Tepi Air atau Waterfront City
Kawasan tepi air adalah area yang di batasi oleh air dari komunitasnya yang
dalam pengembangannya mampu memasukkan nilai manusia, yaitu kebutuhan
akan ruang publik dan nilai alami (Carr, 1992). Disamping itu secara lebih luas
kawasan tepi air dapat dimaknai dengan beberapa hal seperti berikut :
a. Kawasan yang dinamis dan unik dari suatu kota (dengan segala ukuran) di
mana daratan dan air (sungai, danau, laut, teluk) bertemu (kawasan tepian air)
dan harus dipertahankan keunikannya.
b. Kawasan yang dapat meliputi bangunan atau aktivitas yang tidak harus secara
langsung berada di atas air, akan tetapi terikat secara visual atau historis atau
fisik atau terkait dengan air sebagai bagian dari "scheme" yang lebih luas.

2. Fenomena Waterfront City


Waterfront merupakan sebuah asset yang di miliki oleh suatu kota yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan publik dengan berbagai tujuan seperti
diungkapkan dalam jurnal “prinsip perancangan kawasan tepi air” (sastrawati,
isfa, vol 14, no.3, ITB, 2003).
Pada proses pengembangan kawasan tepi air pada dasarnya merupakan
permasalahan yang sangat kompleks di suatu kawasan perkotaan yaitu adanya
perbedaan pengembangan antara kepentingan publik dan kepentingan swasta dari
orientasi pengembangan fungsi ruang publik menjadi fungsi properti.
Pengembangan ruang publik merupakan pengembangan yang di orientasikan
kepada kesejahteraan masyarakat luas sedangkan pengembangan fungsi property
berorientasi kepada keuntungan sebahagian pihak. Oleh sebab itu usaha untuk
melindungi kawasan tepi air sebagai ruang publik yang terbebas dalam proses
konstruksi diperlukan adanya kerjasama dan kesatuan visi dari berbagai pihak
yaitu masyarakat, pemerintah dan swasta untuk mewujudkan karakter kawasan
tepi air sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh beberapa stakeholder

21
yang ada. Dalam proses pengembangan suatu kawasan waterfront pada dasarnya
dapat di bagi atas tiga jenis pengelompokan yaitu :
a) Konservasi
Merupakan pengembangan yang bertujuan untuk memanfaatkan kawasan
tua yang berada di tepi air dimana pada kondisi sekarang masih terdapat
potensi yang dapat di kembangkan secara maksimal.
b) Redevelopment
Pengembangan jenis ini merupakan suatu usaha untuk menghidupkan atau
membangkitkan kembali kawasan pelabuhan dengan tujuan yang berbeda
sebagai suatu kawasan penting bagi kehidupan masyarakat kota dengan
mengubah fasilitas yang ada pada kawasan yang di gunakan oleh kapasitas
yang berbeda pula.
c) Development
Pengembangan jenis ini merupakan contoh perencanaan yang sengaja
dibentuk dengan menciptakan sebuah kawasan tepi air dengan melihat
kebutuhan masyarakat terhadap ruang di kota dengan cara penataan kawasan
tepi air
3. Prinsip Pengembangan Kawasan Tepi Air
Pengembangan kawasan tepi air merupakan suatu potensi yang sangat tinggi
bagi suatu kawasan untuk mengembangkan fungsit komersial seperti restoran dan
kawasan perbelanjaan. Adapun prinsip yang di kembangkan dalam
pengembangan kawasan tepi air yang diungkapkan oleh L. Azeo Torre dalam
bukunya Waterfront Development pada dasarnya terdiri atas empat hal pokok
yaitu konsep, aktivitas, tema dan fungsi yang di kembangkan. Berikut gambaran
prinsip yang digunakan dalam pengembangan kawasan kawasan tepi air adalah :
a. Adanya kerjasama berbagai pihak dalam pengembangan kawasan tepi air
sebagai suatu daya tarik bagi pengunjung.
b. Pengembangan konsep tepi air melalui potensi yang ada pada kawasan
sebagai suatu daya tarik bagi pengunjung untuk datang ke kawasan tersebut.

22
c. Pengembangan aktivitas di kawasan tepi air dan menikmati aktivitas di sekitar
pelabuhan sebagai sebuah potensi untuk memberikan pengalaman yang
berharga bagi pengunjung seperti makan malam, berbelanja dll.
d. Pengembangan tema pada pintu masuk dari sungai, danau menjadi
pengembangan aktivitas utama di kawasan tepi air.
Pengembangan kawasan tepi air sebagai orientasi rekreasi dapat berupa
aktivitas berenang, olah raga dayung, ski air dan fasilitas pendukung lainnya
seperti tempat beristirahat, taman, hunian dan perdagangan.

4. Struktur Pengembangan Kawasan Tepi Air


Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh pusat penelitian dan pengembangan
permukiman pada tahun 1995-2000 melihat bahwa struktur peruntukkan kawasan
kota pantai atau kota tepi air dapat diarahkan pada 7 (tujuh) pengembangan, yaitu :
a. Kawasan Komersil (Commercial Waterfront)
Adapun kriteria pokok pengembangan kawasan komersial di kota pantai adalah :
1) Harus mampu menarik pengunjung yang akan memanfaatkan potensi
kawasan pantai sebagai tempat bekerja, belanja maupun rekreasi (wisata)
2) Kegiatan diciptakan tetap menarik dan nyaman untuk dikunjungi (dinamis)
3) Bangunan harus mencirikan keunikan budaya setempat dan merupakansarana
bersosialisasi dan berusaha (komersial).
4) Mempertahankan keberadaan golongan ekonomi lemah melalui pemberian
subsidi.
5) Keindahan bentuk fisik (profil tepi pantai) kawasan pantai diangkat sebagai
faktor penarik bagi kegiatan ekonomi, sosial-budaya, dll.

b. Kawasan Budaya, Pendidikan dan Lingkungan Hidup (Cultural, Education,


dan Environmental Waterfront)
Kriteria pokok pengembangannya adalah:

23
1) Memanfaatkan potensi alam pantai untuk kegiatan penelitian, budaya dan
konservasi.
2) Menekankan pada kebersihan badan air dan suplai air bersih yang tidak hanya
untuk kepentingan kesehatan saja tetapi juga untuk menarik investor.
3) Diarahkan untuk menyadarkan dan mendidik masyarakat tentang kekayaan
alam tepi pantai yang perlu dilestarikan dan diteliti.
4) Keberadaan budaya masyarakat harus dilestarikan dan dipadukan dengan
pengelolaan lingkungan didukung kesadaran melindungi atau
mempertahankan keutuhan fisik badan air untuk dinikmati dan dijadikan
sebagai wahana pendidikan (keberadaan keragaman biota laut, profil pantai,
dasar laut, mangrove, dll.
5) Perlu ditunjang oleh program-program pemanfaatan ruang kawasan, seperti
penyediaan sarana untuk upacara ritual keagaman, sarana pusat-pusat
penelitian yang berhubungan dengan spesifikasi kawasan tersebut, dll.
6) Perlu upaya pengaturan/pengendalian fungsi dan kemanfaatan air/badan air.

c. Kawasan Peninggalan Bersejarah (Historical/Herritage Waterfront)


Kriteria pokok pengembangannya adalah:
1) Pelestarian peninggalan-peninggalan bersejarah (landscape, situs, bangunan
dll) dan/atau merehabilitasinya untuk penggunaan berbeda (modern);
2) Pengendalian pengembangan baru yang kontradiktif dengan pembangunan
yang sudah ada guna mempertahankan karakter (ciri) kota;
3) Program-program pemanfaatan ruang kawasan ini dapat berupa pengamanan
pantai dengan pemecah gelombang untuk mencegah terjadinya abrasi
(melindungi bangunan bersejarah di tepi pantai), pembangunan tanggul,
polder dan pompanisasi untuk menghindari terjadinya genangan pada
bangunan bersejarah, dll.

24
d. Kawasan Wisata/Rekreasi (Recreational Waterfront)
Kriteria pokok pengembangan kawasan rekreasi/wisata di kota pantai adalah :
1) Memanfaatkan kondisi fisik pantai untuk kegiatan rekreasi (indoor atau
outdoor).
2) Pembangunan diarahkan di sepanjang badan air dengan tetap
mempertahankan keberadaan ruang terbuka.
3) Perbedaan budaya dan geografi diarahkan untuk menunjang kegiatan
pariwisata, terutama pariwisata perairan.
4) Kekhasan arsitektur lokal dapat dimanfaatkan secara komersial guna menarik
pengunjung.
5) Pemanfaatan kondisi fisik pantai untuk kegiatan rekreasi/wisata pantai.

e. Kawasan Permukiman (Residential Waterfront)


Kriteria pokok pengembangan kawasan permukiman di kota pantai adalah :
1) Perlu keselarasan pembangunan untuk kepentingan pribadi (private) dan
umum.
2) Perlu memperhatikan tata air, budaya lokal serta kepentingan umum.
3) Pengembangan kawasan permukiman dapat dibedakan atas kawasan
permukiman penduduk asli dan kawasan permukiman baru.
4) Pada permukiman/perumahan nelayan harus dilakukan upaya penataan dan
perbaikan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan kawasan. Penempatan
perumahan nelayan baru hendaknya disesuaikan dengan potensi sumber daya
sekitar dan “market” hasil budidaya perikanan.
5) Program pemanfaatan kawasan yang dapat diterapkan untuk kawasan
permukiman penduduk asli (lama) antara lain: revitalisasi/penataan bangunan,
penyediaan utilitas, penanganan sarana air bersih, air limbah dan
persampahan, penyediaan dermaga perahu, serta pemeliharaan drainase.
6) Program pemanfaatan kawasan yang dapat diterapkan untuk kawasan
permukiman baru antara lain : penataan bangunan dengan memberi ruang

25
untuk public access ke badan air, pengaturan pengambilan air tanah,
reklamasi, pengaturan batas sempadan dari badan air, program penghijauan
sempadan, dll.

f. Kawasan Pertahanan dan Keamanan (Defence Waterfront)


Kriteria pengembangan kawasan pertahanan dan keamanan di kota pantai :
1) Dipersiapkan khusus untuk kepentingan pertahanan dan keamanan
bangsanegara;
2) Perlu dikendalikan untuk alasan hankam dengan dasar peraturan khusus;
3) Pengaturan tata guna lahan (land-use) untuk kebutuhan dan misi hankam
negara.
(Sumber: Studi dampak timbal balik antar pembangunan Kota dan Perumahan di
Indonesia dan lingkungan global, Departemen KIMPRASWIL, Surabaya )

5. Komponen Penataan Ruang Kawasan Tepi Air


Penyusunan ketentuan norma penataan kawasan waterfront city didasarkan pada
kajian normatif terhadap norma teori, standar, dan peraturan perundangundangan
yang berlalu dan terkait dengan unsur penataan pada koridor jalan komersial.
Menurut Sirvani (1985; hal 7-8) bahwa eleman rancang kota terbagi menjadi 8
(delapan) elemen atau komponen, yaitu tata guna lahan, bentuk dan tata massa
bangunan, sirkulasi parkir, ruang terbuka, jalur pendestrian, pendukung aktifitas, tata
informasi dan Preservasi.

a. Tata Guna Lahan (Land Use)


Pada Pada prinsipnya land use adalah pengaturan penggunaan lahan untuk
menentukan pilihan yang terbaik dalam mengalokasikan fungsi tertentu, sehingga
secara umum dapat memberikan gambaran keseluruhan bagaimana daerah pada suatu
kawasan tersebut seharusnya berfungsi.

26
b. Bentuk dan Tata Massa Bangunan (Building Form and Massing)
Bentuk dan masa bangunan tidak semata - mata ditentukan oleh ketinggian atau
besarnya bangunan, penampilan maupun konfigurasi dari masa bangunannya, akan
tetapi ditentukan juga oleh :
1) Besaran Bangunan
2) Intensitas bangunan
3) Ketinggian bangunan
4) Sempadan Bangunan
5) Ragam – Fasade
6) Skala
7) Material
8) Tekstur, dan
9) warna
c. Sirkulasi Dan Perparkiran (Circulation and Parking)
Masalah sirkulasi kota merupakan persoalan yang membutuhkan pemikiran
mendasar, antara prasarana jalan yang tersedia, bentuk struktur kota, fasilitas
pelayanan umum dan jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat.
d. Ruang Terbuka (Open Space)
Ruang terbuka bisa menyangkut lansekap; elemen keras (hardscape yang
meliputi : jalan, trotoar dsb) serta elemen lunak (softscape) berupa taman dan ruang
rekreasi dikawasan kota.
e. Area Pedestrian (Pedestrian Area)
Sistem pedestrian yang baik akan mengurangi keterikatan terhadap kendaraan
dikawasan pusat kota, mempertinggi kualitas lingkungan melalui sistem perancangan
yang manusiawi, menciptakan kegiatan pedagang kaki lima yang lebih banyak dan
akhirnya akan membantu kualitas udara di kawasan tersebut.

27
f. Tanda-Tanda (Signage)
Tanda- tanda petunjuk jalan, arah kesuatu kawasan tertentu pada jalan tol atau di
jalan kawasan pusat kota semakin membuat semarak atmosfir lingkungan kota
tersebut.
g. Pendukung Kegiatan (activity support)
Pendukung kegiatan adalah semua fungsi bangunan dan kegiatan - kegiatan yang
mendukung ruang publik suatu kawasan kota. Bentuk, lokasi dan karakter suatu
kawasan yang memiliki ciri khusus akan berpengaruh terhadap fungsi, penggunaan
lahan dan kegiatan - kegiatannya.
h. Konservasi (Concervation)
Perlindungan Konservasi suatu individual bangunan harus selalu dikaitkan
dengan keseluruhan kota. Konsep tentang konservasi kota memperhatikan aspek :
bangunan-bangunan tunggal, struktur dan gaya arsitektur, hal yang berkaitan dengan
kegunaan, umur bangunan atau kelayakan bangunan.

E. Tinjauan Teori Penataan Kawasan


Dalam melihat kota sebagai suatu produk atau hasil, maka dalam proses
analisis kota pada dasarnya akan menemui bahwa kota memiliki sifat yang sangat
kompleks. Oleh sebab itu sebagai tokoh perancangan kota Roger Trancik melihat
bahwa analisis suatu kota dapat di lakukan dengan 3 pendekatan sebagai landasan
perancangan kota , dimana landasan ini pada dasarnya dapat mendefenisikan pola
massa perkotaan dan tata ruang perkotaan dengan melihat kota sebagai struktur yang
jelas seperti Void (ruang tertutup/terbuka) dan Solid (massa), tiga pendekatan
menurut Roger Trancik (1986) yaitu teori Figure Ground, Linkage dan place.

1. Teori Figure Ground


Kota secara fisik merupakan hasil bentukan antara bangunan dengan ruang
terbuka yang mendukung identifikasi tekstur dan pola bentukan ruang kota. Teori-
teori figure/ground dipahami dari tata kota sebagai hubungan tekstural antara bentuk

28
yang dibangun (Building Massa) dan ruang terbuka (Open Space). Analisis
figure/ground adalah alat yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur
dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan (Urban Fabric), serta mengidentifikasikan
masalah ketidakteraturan massa/ruang perkotaan.
Teori Figure Ground adalah teori yang mengambarkan total suatu kawasan.
Sedangkan fungsi teori ini adalah untuk menunjukan tekstur kota melalui bentuk
massa bangunan (Building Massa) sebagai solid dan ruang terbuka (Open Space)
sebagai void.
Hubungan massa dan ruang dibentuk oleh bentuk dan lokasi bangunan,
perancangan unsur-unsur tapak (tanaman dinding), dan terusan pergerakan
menghasilkan 6 pola yaitu : grid, angular, curvilinear, radial /concentric, axial, dan
organic (Trancik,1986:101). Analisis Figure Ground adalah alat yang baik untuk :
1) Mengidentifikasi sebuah tekstur dan pola-pola ruang perkotaan (Urban
Fabric).
2) Mengidentifikasi masalah keteraturan massa atau ruang perkotaan.

Pola-pola kawasan secara tekstural dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok,


yang meliputi:
 Homogen, adalah susunan kawasan yang bersifat sejenis dimana hanya ada
satu pola penataan. Sebagai contoh adalah Kota Algier, Maroko dan
Amsterdam, Belanda. Kedua kota ini memiliki pola kawasan yang bersifat
homogen.

Gambar 2. Pola kawasan yang bersifat homogen


Sumber: Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu, 1999

29
 Heterogen, susunan kawasan yang bersifat beberapa jenis dimana ada dua
atau lebih pola berbenturan, sebagai contoh adalah dua buah kawasan di Kota
Aachen, Jerman. Kedua kawasan tersebut memiliki pola yang bersifat
heterogen.

Gambar 3. Pola kawasan yang bersifat heterogen


Sumber: Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu, 1999

 Menyebar, susunan kawasan yang bersifat menyebar dan kecenderungan


kacau. Sebagai contoh adalah Kota Bonn dan Hamburg, Jerman. Kedua
kawasan ini memiliki pola yang bersifat agak kacau.

Gambar 4. Pola kawasan yang bersifat menyebar


Sumber: Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu, 1999
1.1. Solid dan Void Sebagai Elemen Perkotaan
Sistem hubungan di dalam tekstur figure/ground mengenal dua kelompok
elemen, yaitu solid (bangunan) dan void (ruang terbuka). Ada tiga elemen dasar yang
bersifat solid dan empat elemen dasar yang bersifat void. Tiga elemen solid tersebut
adalah:

30
a) Blok tunggal, bersifat individu, namun juga dapat dilihat sebagai bagian dari
satu unit yang lebih besar.
b) Blok yang mendefinisi sisi, yang berfungsi sebagai pembatas secara linier.
c) Blok medan yang memiliki bermacam-macam massa dan bentuk, namun
masing-masing tidak dilihat sebagai individu-individu.
Berikut di bawah ini merupakan gambar mengenai tiga buah elemen solid.

Gambar 5. Tiga Elemen Solid


Sumber: Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu, 1999

Sedangkan empat elemen void terdiri dari:


a) Sistem tertutup linier, elemen yang paling sering dijumpai di kota.
b) Sistem tertutup yang memusat, pola ruang yang terfokus dan tertutup
misalnya pusat kota.
c) Sistem terbuka yang sentral, bersifat terbuka namun masih tampak fokus,
misalnya alun-alun besar, taman kota, dan lain-lain.
d) Sistem terbuka linier, contoh pola tersebut adalah kawasan sungai.

Gambar 6. Empat Elemen Void


Sumber: Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu, 1999

31
1.2. Solid dan Void Sebagai Unit Perkotaan
Elemen solid dan void di dalam tekstur perkotaan jarang berdiri sendiri,
melainkan dikumpulkan dalam satu kelompok, disebut juga “unit perkotaan”. Di
dalam kota keberadaan unit adalah penting, karena unit-unit berfungsi sebagai
kelompok bangunan bersama ruang terbuka yang menegaskan kesatuan massa di kota
secara tekstural. Melalui kebersamaan tersebut penataan kawasan akan tercapai lebih
baik kalau massa dan ruang dihubungkan dan disatukan sebagai suatu kelompok.
Pola kawasan kota secara tekstural dibedakan mejadi enam, yaitu grid, angular,
kurvilinier, radial konsentris, aksial, dan organis. Artinya, setiap kawasan tersebut
dapat dimengerti bagiannya melalui salah satu cara tekstur tersebut. Mengacu pada
penjelasan di atas, perlu diketahui bahwa fungsi pola sebuah tekstur perlu juga
diperhatikan karena massa dan ruang selalu berhubungan erat dengan aktivitas di
dalam kawasannya, dibutuhkan suatu keseimbangan yang baik antara kuantitas dan
kualitas massa dan ruang yang bersifat publik dan privat sehingga pola pembangunan
kota memungkinkan kehidupan. didalamnya berjalan dengan baik.

Gambar 7. Pola Tekstur Kota Secara Diagramatis.


Sumber: Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu, 1999

2. Teori Linkage
Teori Linkage adalah teori yang mengambarkan bentuk suatu kota yang tidak
dapat lepas dari jaring-jaring sirkulasi kota (network circulation). Jaring-jaring

32
tersebut dapat berupa jalan, jalur pedestrian, ruang terbuka yang berbentuk linier dan
bentuk-bentuk yang secara fisik menjadi penghubung antar bagian kota atau suatu
kawasan.
Teori Linkage dapat digunakan untuk memahami segi dinamika tata ruang
perkotaan yang dianggap sebagai generator kota itu. analisis Linkage adalah alat yang
baik untuk memperhatikan dan menegaskan hubungan-hubungan serta gerakan-
gerakan sebuah tata ruang perkotaan (urban fabric). Ringkasannya linkages adalah:
1) Merefleksikan sarana dan prasarana penunjang pergerakan dari dan ke nodes.
2) Secara hirarkis, dapat berupa jalan lingkungan, jalan lokal, jalan sekunder
maupun arteri. (Zahnd, 1999)

2.1. Linkage Visual


Dalam linkage yang visual dua atau lebih banyak fragmen kota yang
dihubungkan menjadi satu kesatuan secara visual. Karena sebuah linkage yang visual
mampu menyatukan daerah kota dalam berbagai skala. Pada dasarnya ada dua pokok
perbedaan linkage visual, yaitu:
 Yang menghubungkan dua daerah secara netral.
 Yang menghubungkan dua daerah dengan menggunakan satu daerah.

Terdapat lima elemen yang dapat menjelaskan linkage visual, yaitu:


a) Elemen garis, menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu
deretan massa. Untuk massa tersebut bisa dipakai sebuah deretan bangunan
ataupun sebuah deretan pohon yang memiliki rupa masif.
b) Elemen koridor, yang dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau
pohon) membentuk sebuah ruang.
c) Elemen sisi, sama dengan elemen garis yang menghubungkan dua kawasan
dengan satu massa. Perbedaannya dibuat secara tidak langsung,sehingga tidak
perlu dirupakan dengan sebuah garis yang massanya agak tipis, bahkan hanya
merupakan sebuah wajah yang massanya kurang penting.

33
d) Elemen sumbu, mirip dengan elemen koridor yang bersifat spasial, namun
perbedaannya ada pada dua daerah yang dihubungkan oleh elemen tersebut
yang sering mengutamakan salah satu daerah tersebut.
e) Elemen irama, menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang.

Gambar 8. Lima Elemen Linkage Visual.


Sumber: Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu, 1999
2.2. Linkage Struktural
Dalam linkage struktural yang baik, pola ruang perkotaan danbangunannya
sering berfungsi sebagai sebuah stabilisator dan koordinator di dalam lingkungannya,
karena setiap kolase (penghubung fragmen-fragmen) perlu diberikan stabilitas
tertentu dan koordinasi tertentu dalam strukturnya. Tanpa ada daerah-daerah yang
polanya tidak dikoordinasikan serta distabilisasikan tata lingkungannya, maka
cenderung akan muncul pola tata kota yang kesannya agak kacau.

Terdapat tiga elemen linkage struktural yang mencapai hubungan secara


arsitektural, yaitu:
a) Elemen tambahan, melanjutkan pola pembangunan yang sudah ada
sebelumnya. Bentuk-bentuk massa dan ruang yang ditambah dapat berbeda,
namun pola kawasannya tetap dimengerti sebagai bagian atau tambahan pola
yang sudah ada di sekitarnya.

34
b) Elemen sambungan, elemen ini memperkenalkan pola baru pada lingkungan
kawasannya. Diusahakan menyambung dua atau lebih banyak pola di
sekitarnya, supaya keseluruhannya dapat dimengerti sebagai satu kelompok
yang baru memiliki kebersamaan melalui sambungan itu.
c) Elemen tembusan, elemen ini tidak memperkenalkan pola baru yang belum
ada, sedikit mirip dengan elemen tambahan, namun lebih rumit polanya
karena di dalam elemen tembusan terdapat dua atau lebih pola yang sudah ada
di sekitarnya dan akan disatukan sebagai pola-pola yang sekaligus menembus
di dalam satu kawasan.

Gambar 9. Tiga Elemen Linkage Struktural


Sumber: Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu, 1999

3. Teori Place
Proses rancang kota harus dapat merespon dan mewadahi nilai-nilai konstekstual
yang ada dengan memperhatikan nilai budaya, sejarah, dan hal-hal yang lain secara
arsitektural. Dalam teori ini membahas mengenai makna sebuah kawasan di
perkotaan secara arsitektural. Manusia memerlukan suatu tempat untuk
mengembangkan kehidupan dan budayanya, tidak hanya sekedar space tetapi lebih
dirasakan sebagai place. Kebutuhan itu timbul karena adanya kesadaran orang
terhadap suatu tempat yang lebih luas daripada hanya sekedar masalah fisik saja.

35
Gambar 10. Proses Pemilahan Figure Ground, Linkage Dan Place.
Sumber: Markus Zahnd, Perancangan Kota Secara Terpadu, 1999
F. Tinjauan Tentang Permukiman Bantaran Sungai
Dalam UU RI No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pasal 140 menjelaskan Bahwa Setiap orang dilarang membangun, perumahan,
dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi
barang ataupun orang. Pada pasal penjelas diterangkan bahwa Yang dimaksud
dengan “tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya” antara lain, sempadan
rel kereta api, bawah jembatan, daerah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi
(SUTET), Daerah Sempadan Sungai (DSS), daerah rawan bencana, dan daerah
kawasan khusus seperti kawasan militer.
Permukiman bantaran sungai pada umumnya merupakan permukiman marjinal,
karena menempati lahan yang semestinya tidak untuk bangunan.
Solusi mengenai permukiman liar di daerah bantaran sungai adalah dengan
penggusuran atau penghunian kembali penduduk lama ke tempat baru (relokasi).
Konsep pelaksanaan Resettlement menurut World Bank Organisation harus
memperhatikan:
a) Replacement cost
Masyarakat yang terkena proyek pemindahan lokasi (penggusuran) harus
mendapatkan ganti rugi atau kompensasi. Ganti rugi tersebut harus sebanding dengan

36
kondisi tempat yang akan ditinggal, khususnya dalam segi harga, harga lahan dan
biaya pembangunan kembali tanpa adanya unsur depresiasi.
b) Income Restoration
Program ini harus dirancang untuk membantu meningkatkan standar hidup dan
pendapatan masyarakat yang terkena imbas dari penggusuran, sehingga setelah
program dilaksanakan semua pihak telah tertangani dengan baik.
c) Squatters and Eucroachers
Adalah orang yang tinggal di lahan dan bangunan yang tidak memiliki ijin resmi
dari pemerintah. Squatters lebih kepada mereka yang menggunakan lahan untuk
tempat tinggal atau tujuan komersial, sedangkan Eucroachers adalah orang yang
menggunakan lahan untuk tujuan penelitian. Secara sosial, orang-orang ini tidak
boleh diabaikan, berdasarkan Bank Resettlement Police, mereka perlu dibantu dan
tetap diberi kompensasi walaupun mereka tidak memiliki ijin resmi.
d) Displacement
Program penggusuran dilakukan atas dasar yang jelas, akibat dari pentingnya
program tersebut dilaksanakan, contohnya sosial ekonomi, dan memang perlu untuk
dipindahkan dan meningkatkan taraf kehidupan.
e) Indigenous Peoples
Proyek resettlement harus dipersiapkan secara matang dan disesuaikan dengan
kondisi sosial budaya setempat.
f) Baselines Surveys
Persiapan dan pelaksanaan rencana settlement dilakukan dengan metode baselines
surveys. Yang terdiri atas dua tahap :
a) Sensus masyarakat yang akan dipindahkan beserta hak miliknya.
b) Survei kondisi sosial ekonomi masyarakat yang akan dipindahkan.
Ada dua teori besar perumahan dan permukiman yang merupakan paradigma
dalam menyelesaikan permasalahan perumahan dan permukiman bagi masyarakat
golongan berpenghasilan menengah kebawah, yakni :

37
a) Masalah perumahan dan permukiman dapat diselesaikan hanya dengan
keterlibatan penuh pemerintah. Teori ini lebih menekankan masalah
perumahan dan permukiman sebagai masalah kekurangan jumlah rumah.
b) Masalah perumahan dan permukiman dapat diselesaikan hanya dengan
memperbaiki kondisi sosial ekonomi penghuninya. Teori ini menganggap
penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah
tidaklah dapat menyelesaikan masalah perumahan tanpa dibarengi dengan
perbaikan yang mendasar dari penghuni permukiman.

G. Studi Banding
1. Kawasan Kota Tua, Jakarta

Gambar 11. Kawasan Kota Tua


Sumber:https://mmc.tirto.id/image/otf/974x548/2018/07/14/wisata_kali_besar_ja
karta_arimacs_wilander_tirto-7_ratio-16x9.jpg

Kota Tua Jakarta, juga dikenal dengan sebutan Batavia Lama (Oud Batavia),
adalah sebuah wilayah kecil di Jakarta, Indonesia. Wilayah khusus ini memiliki luas
1,3 kilometer persegi melintasi Jakarta Utara dan Jakarta Barat (Pinangsia, Taman
Sari dan Roa Malaka).

38
Pada masa lalu, Jakarta Kota (Oud Batavia) adalah ibukota Batavia dan
merupakan pusat penting kegiatan ekonomi dan politik Pemerintah Hindia Belanda.
Berdasarkan buku harian seorang prajurit tua Gedenkschrijften van een oud
koloniaal, Clockener Brousson mengungkapkan bahwa Kota Tua Jakarta pernah
mengalami masa kejayaan pada pertengahan abad ke-17, sehingga sempat mendapat
julukan sebagai Queen of the East (Sejarah Kota Tua, Dinas Kebudayaan &
Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, 2007).

Jakarta Kota menyajikan keindahan bangunan tua yang masih terawat. Selain itu
panorama pada malam di kali besar berbeda dengan siang hari. Begitu cantik dengan
lampu lampu yang menghiasinya. Dan tidak jarang di plaza fatahillah terdapat event
event. Masyarakat yang bersepeda menjadi pemandangan yang klasik. Beberapa kali
daerah tersebut dibuat untuk pengambilan film.

Beberapa tempat dan bangunan yang dapat dinikmati di kawasan Jakarta Kota
Tua :

a) Sunda Kelapa
b) Kampung Luar Batang
c) Museum Maritim Pasar Ikan (Museum Bahari)
d) Galangan Benteng
e) Kampung Bandan
f) Kali Besar
g) Roa Malaka
h) Taman Fatahilah
i) Stasiun Kota
j) Pintu Kecil
k) Pasar Pagi Perniagaan
l) Glodok Pinangsia

39
Adapun beberapa kegiatan yang dapat ditemui di daerah tersebut :

a) Berkeliling sambil bersepeda


b) Fotografi
c) Mengunjungi museum
d) Jika ada event – event tertentu dapat ikut menikmati
e) Wisata kuliner
f) Wisata religi di kampong luar batang dan kampong bandan

2. Boat Quay, Singapura

Gambar 12. The Boat Quay di Singapura

Sumber:https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/e1/1_clarke_quay
_singapore_night_2014.jpg/1200px-1_clarke_quay_singapore_night_2014.jpg

Sungai di Singapura telah menjadi pusat pembangunan kota sejak abad ke-19.
Daerah tersebut dikenal sebagai Boat Quay yang merupakan pemukiman linier yang
terdiri dari 2 sampai 3 lantai ruko sepanjang sungai. Namun semakin lama daerah
tersebut mulai kehilangan karakternya. Untuk itu dibuatlah suatu skema untuk
mempertahankan bangunan yang ada dan mengembangkan kembali Boat Quay
sebagai budaya lokal dan kompleks rekreasi. Akhirnya dibuatlah suatu proposal yang

40
mencakup renovasi dan konservasi foodstalls, pedagang tradisional dan toko-toko
kerajinan. Tujuannya adalah untuk melestarikan arsitektur dan meningkatkan titik
penting daya tarik wisata. Selain itu juga untuk membuat pengaturan terhadap
kegiatan traditional yang ada. Dari segi ekonomi juga untuk membuktikan kestabilan
suatu kawasan konservasi tanpa subsidi pemerintah.

41

Anda mungkin juga menyukai