Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTEK LAPANG

GEOGRAFI BUDAYA

OLEH :

JAMILA (1615140005)
YENNI FEBRIANI (1615140009)
NURUL AFRIANI (1615142010)
MUH. RIZAL DARWIS (1615142012)

PROGRAM STUDI GEOGRAFI


JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala


pencipta semesta alam, yang telah membimbing dan memberikan taufik serta
hidayahNya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan lengkap ini.
Tak lupa pula shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita
Nabi besar Rasullullah Muhammad Shallallahu`alaihi Wa Sallam, yang telah
menggulung tikar kebatilan dan menghemparkan tikar kebenaran dari peradaban
jahiliah ke peradaban yang intelektuan dan modernitas serta menjadi guru dan
teladan umat manusia sepanjang zaman.
Dalam penyusunan laporan ini tidak terlepas dari kesulitan dan hambatan
yang dihadapi. Berkat izin dan karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala disertai
dengan bimbingan dari semua pihak, maka penulis dapat menyelesaikan Laporan
ini. Mudah-mudahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala membalas dengan balasan yang
setimpal.
Penulis menyadari dalam penyusunan Laporan ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, untuk perbaikan pembuatan Laporan selanjutnya,
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Desember 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . …….. . . . . . . . . . . . . . 1


DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ……. . . . . . . . . 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ……………. . . . . . . . . 3
B. Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ……………... . . . . . . . . . 3
C. Manfaat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ……………. . . . . . 5
BAB II KAJIAN TEORI
A. Asal - Usul . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ……………. . . . . 6
B. Sejarah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ……………. . . . . 7
C. Ciri Khas Suku Toraja . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . …………... 7
D. Kesenian dan Kebudayaan . . . . . . . . . . . . . . . . . ……………. . . . . . . . . . . 7
BAB III METODE PELAKSANAAN PRAKTEK LAPANG
A. Pemilihan Daerah Praktikum . . . . . . . . . . . . . . . …………... . . . . . . . . . . 11
B. Pengumpulan dan Pengamatan Data di Lapangan . ……………. . . . . . . . 11
C. Waktu Pelaksaan Praktikum. . . . . . . . . . . . . . ………….. . . . . . . . . . . 11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Praktek. . . . . . . . . . ………….. . . . . . . . .. . . 12
B. Hasil dan Pembahasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . …………. .. . . 12
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ………….. 30
B. Saran . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ………….. . 30
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULIAN

A. Latar Belakang
Indonesia terkenal dengan keragaman budayanya. Manusia dan
kebudayaan adalah satu hal yang tidak bisa di pisahkan karena di mana
manusia itu hidup dan menetap pasti manusia akan hidup sesuai dengan
kebudayaan yang ada di daerah yang di tinggalinya.
Manusia merupakan makhluk sosial yang berinteraksi satu sama lain dan
melakukan suatu kebiasaan-kebiasaan yang terus mereka kembangankan
dan kebiasaan-kebiasaan tersebut akan menjadi kebudayaan. Setiap manusia
juga memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, itu disebabkan mereka
memiliki pergaulan sendiri di wilayahnya sehingga manusia di manapun
memiliki kebudayaan yang berbeda masing-masing. Perbedaan kebudayaan
disebabkan karna perbedaan yang dimiliki seperti faktor Lingkungan, faktor
alam, manusia itu sendiri dan berbagai faktor lainnya yang menimbulkan
Keberagaman budaya tersebut Seiring dengan berkembangnya teknlogi
informasi dan komunikasi yang masuk ke Indonesia diharapkan dapat dapat
memberikan pengaruh yang positif terhadap kebudayaan masing – masing
daerah, karena kebudayaan merupakan jembatan yang menghubungkan
dengan manusia yang lain.
B. Tujuan Praktek Lapang
1. Untuk memiliki pengetahuan dan sikap positif pada budaya nasional dan
suku budaya bangsa yang menopang pertumbuhan budaya nasional.
2. Untuk memahami peranan kebudayaan dalam membina persatuan dan
kesatuan sikap melalui sikap menghargai dan mencintai budaya suku
bangsanya sendiri.
3. Untuk melakukan observasi tentang posisi permukiman penduduk di
Toraja, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan hubungan kondisi
geografis dengan distribusi permukiman di Toraja.
4. Untuk melakukan wawancara dengan tokoh atau budayawan masyarakat
Toraja mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan wujud kebudayaan
material dan kebudayaan non material Suku Toraja dalam kaitannya
dengan keadaan geografis daerah itu.
5. Untuk mengamati tempat-tempat yang memiliki bentuk-bentuk
kebudayaan dan nilai budaya Suku Toraja.
C. Manfaat Praktek Lapang
1. Dapat memiliki pengetahuan dan sikap positif pada budaya nasional dan
suku budaya bangsa yang menopang pertumbuhan budaya nasional.
2. Dapat memahami peranan kebudayaan dalam membina persatuan dan
kesatuan sikap melalui sikap menghargai dan mencintai budaya suku
bangsanya sendiri.
3. Dapat melakukan observasi tentang posisi permukiman penduduk di
Toraja, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan hubungan kondisi
geografis dengan distribusi permukiman di Toraja.
4. Dapat melakukan wawancara dengan tokoh atau budayawan masyarakat
Toraja mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan wujud kebudayaan
material dan kebudayaan non material Suku Toraja dalam kaitannya
dengan keadaan geografis daerah itu.
5. Dapat mengamati tempat-tempat yang memiliki bentuk-bentuk
kebudayaan dan nilai budaya Suku Toraja.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Asal-Usul
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhi yang
berarti akal. Maka budaya adalah hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional/lokal dan
kebudayaan asing yang telah ada di Indonesia. Budaya nasional adalah
budaya yang benar-benar berasal dari Indonesia sendiri dan lebih dikenal
dengan budaya timur. Sedangkan budaya barat adalah budaya yang berasal
dari luar Negara Indonesia. Budaya nasional di Indonesia sangat beragam dan
dibutuhkan adanya toleransi antar masyarakat.
Tana Toraja merupakan salah satu daya tarik wisata Indonesia, dihuni oleh
Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan gaya
hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup AUSTRONESIA yang
asli dan mirip dengan budaya Nias. Daerah ini merupakan salah satu obyek
wisata di Sulawesi Selatan. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman,
rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan
orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Menurut legenda, nenek moyang orang Toraja berasal dari Hindia
Belakang (Siam). Mereka ber-imigrasi ke daerah selatan untuk mencari
daerah baru. Mereka menggunakan kapal yang menyerupai rumah adat orang
Toraja sekarang ini. Asal-usul tentang pengertian Toraja, ada dua versi. Versi
pertama mengatakan bahwa kata Toraja berasal dari kata “to” yang artinya
orang dan kata “raja” yang artinya raja. Jadi Toraja artinya orang-orang
keturunan raja. Versi lain mengatakan bahwa Toraja berasal dari dua kata
yaitu “to” yang artinya orang dan “ri aja” (bahasa Bugis) yang artinya orang-
orang gunung. Jadi Toraja artinya orang-orang gunung. Kedua versi tersebut
memiliki alasan yang berbeda-beda dan masuk akal.
B. Sejarah
1. Tahun 1926 Tana Toraja sebagai Onder Afdeeling Makale-Rantepao
dibawah Self bestur Luwu.
2. Tahun 1946 Tana Toraja terpisah menjadi Swaraja yang berdiri
berdasarkan Besluit Lanschap Nomor 105 tanggal 8 Oktober 1946.
3. Tahun 1957 berubah menjadi Kabupaten Dati II Tana Toraja berdasarkan
UU Darurat Nomor 3 tahun 1957.
4. UU Nomor 22 tahun 1999 Kabupaten Dati II Tana Toraja berubah
menjadi Kabupaten Tana Toraja.
Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari
Luwu. Orang Sidendereng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan
To Riaja yang mengandung arti “orang yang berdiam di negeri atas atau
pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya
adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata
Toraya asalnya To= Tau (orang), Raya= dari kata Maraya (besar), artinya
orang-orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi
Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku
Toraja dikenal dengan nama Tana Toraja.
C. Ciri Khas Suku Toraja
Salah satu ciri khas suku Toraja adalah tempat pemakamannya. Rante,
yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100
buah menhir/megalit, yang dalam bahasa Toraja disebut Simbuang batu. 102
bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran
besar, 24 buah ukuran sedang, dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini
mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor
perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu.
D. Kesenian dan Kebudayaan
1. Adat Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan
a) Melamar
Dalam melamar ada beberapa tahapan yang harus dijalankan, antara lain
dengan cara pendekatan oleh pihak pria kepada pihak wanita, seperti
menanyakan apa sang gadis masih belum ada ikatan dengan pria lain dan
sebagainya. Bilamana sang gadis masih belum ada ikatan, pihak keluarga pria
mengirim beberapa utusan yang terdiri dari keluarga terdekat sang pria. Tugas
mereka adalah untuk melamar sang gadis secara resmi yang disebut massuro.
Bila lamaran diterima oleh pihak wanita, maka kedua pihak lalu berembuk
untuk menetapkan besarnya mas kawin atau sompa, juga biaya perkawinan
dan hari yang baik untuk melangsungkan pernikahan.
b) Persiapan dan Upacara Pernikahan
Beberapa hari menjelang pernikahan, keluarga mengadakan mappaci, yaitu
malam berbedak, bersolek, dan memerahi kuku atau berinai. Pada hari yang
telah ditetapkan, kedua mempelai melakukan akad nikah menurut agama
Islam yang dilakukan oleh penghulu, kemudian kedua mempelai melakukan
upacara adat, yaitu mempelai pria menyentuh salah satu anggota badan
mempelai wanita, seperti ibu jari atau tengkuk. Itu berarti bahwa mempelai
wanita telah syah menjadi mempelai pria. Setelah itu, keluarga
mempersandingkan kedua pengantin di pelaminan, disaksikan oleh para tamu.
Seluruh upacara perkawinan yang diramaikan dengan pesta ini berlangsung di
rumah mempelai wanita dan upacara ini dinamakan marola.
c) Pakaian Pengantin
Pakaian pengantin pria dari Bugis-Makasar berupa baju jas model tertutup
yang disebut baju bella dada, kain sarung songket yang disebut rope. Di
pinggang bagian depan terselip sebuah keris pasang timpo (keris yang
terbungkus emas separuhnya) atau keris tataroppeng (keris yang terbungkus
emas seluruhnya), sedangkan di kepala terdapat hiasan kepala yang disebut
sigara. Pengantin wanita memakai baju bodo, kain sarung songket atau rope,
dan selendang di bahu. Sanggul pengantin wanita berhiaskan kembang
goyang dan perhiasan lainnya berupa kalung bersusun, sepasang bassa atau
gelang panjang bersusun, dan anting-anting.
2. Lagu-Lagu khas Toraja
a) Siulu’
b) Lembang Sura’
c) Marendeng Marampa’
d) Siulu’ Umba Muola
e) Passukaranku
f) Katuoan Mala’bi’
g) Susi Angin Mamiri
h) Kelalambunmi Allo
i) Tontong Kukilalai
Lampako Mampie adalah sebuah taman suaka margasatwa yang berada di
Pulau Sulawesi dengan luas hampir 2000 ha. Suaka margasatwa ini tepatnya
berada di bagian barat Provinsi Sulawesi Selatan yang berlokasi pada
kabupaten Polewali Mamasa. Kondisi lapangan dari taman suka margasatwa
tersebut terdiri atas daerah wet land yang terdiri dari daerah berawa-rawa
dengan secondary forest seluas 300 ha swamp forest dan beberapa daerah
isolasi mangrove. Daerah suaka margasatwa ini merupakan daerah yang
sangat penting bagi tumbuhan dan hewan. Hewan utamanya adalah burung
Mandar Sulawesi atau Ballidae atau Celebes Rails (Aramidopsis plateni) yang
merupakan burung endemis yang hidup pada kawasan tersebut. Disamping
itu, kawasan ini juga merupakan daerah untuk berkembang biak beberapa
hewan lainnya, bahkan menjadi tempat persinggahan burung-burung yang
bermigrasi.
Dengan melihat dari berbagai pengertian ekowisata, potensi yang dimiliki
oleh daerah tersebut, pengelolaan kawasan suaka yang mulai ditangani daerah
dan keinginan masyarakat lokal untuk dapat membangun sebuah kawasan
yang berasaskan lingkungan hidup, sehingga timbulah keinginan masyarakat
daerah tersebut untuk dapat mengelola langsung kawasan suaka ini dengan
tetap memperhatikan alam, disamping mereka juga mendapatkan insentif
secara ekonomis untuk kelangsungan anak.
BAB III
METODE PELAKSANAAN PRAKTEK LAPANG

A. Pemilihan Daerah Praktek


Tana Toraja merupakan sebuah kawasan wisata yang terkenal dengan
kebudayaannya, kebudayaan yang paling terkenal di daerah ini ialah acara
pemakaman, tentunya acara pemakaman yang dilakukan didaerah ini berbeda
dengan acara kematian yang dilakukan oleh masyarakat umum yang ada di
suatu daerah.
Sesuatu yang terlihat jelas dari perbedaan acara pemakaman Tana Toraja
dengan daerah lain yaitu dari segi biaya yang dipakai dalam acara ini, dimana
masyarakat Tana Toraja mengeluarkan uang ratusan juta rupiah untuk biaya
pemakaman masyarakat Tana Toraja. Dengan adanya perbedaaan dan
kebudayaan khas tersendiri yang dimiliki oleh Tana Toraja maka lokasi ini
sangat tepat untuk melakukan sebuah praktek lapang dengan maksud
mengetahui kebudayaan-kebudayaan yang ada didaerah ini.
B. Pengumpulan dan Pengamatan Data di Lapangan
Teknik pengumpulan data yaitu dengan mendatangi objek-objek wisata
yang ada kemudian melakukan wawancara dengan masyarakat umum yang
berdiam dilokasi tersebut, dan pemberian arahan atau gambaran lokasi dari
dosen dan asisten pembimbing.
C. Waktu Pelakasanaan Praktek
Adapun waktu pelaksanaan praktek lapang ini, yaitu pada tanggal 19-21
Oktober 2018.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Praktek Lapang


Kabupaten Tana Toraja merupakan salah satu dari 23 kabupaten yang ada
di propinsi Sulawesi Selatan yang terletak diantara 2º20´ LS sampai 3º30´ LS
dan 119º30´ BT sampai 120º10´ BT. "Ibukota" Tator yakni kota kecil
Rantepao adalah kota yang dingin dan nyaman, dibelah oleh satu sungai
terbesar di Sulsel yakni sungai Saddang, sungai inilah yang memberikan
tenaga pembangkit listrik untuk menyalakan seluruh Makasar. Secara Sosio
linguistik, bahasa Toraja disebut bahasa Tae oleh Van Der Venn. Ahli bahasa
lain seperti Adriani dan Kruyt menyebutnya sebagai bahasa Sa'dan. Bahasa
ini terdiri dari beberapa dialek, seperti dialek Tallulembangna (Makale),
dialek Kesu (Rantepao), dialek Mappapana (Toraja Barat).
Batas-batas Kabupaten Tana Toraja adalah:
Sebelah Utara : Kabupaten Toraja Utara
Sebelah Timur : Kabupaten Luwu
Sebelah Selatan : Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang
Sebelah Barat : Kabupaten Polmas
Luas wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 3.205,77 km² atau sekitar
5% dari luas propinsi Sulawesi Selatan, yang meliputi 15 (lima belas)
kecamatan. Jumlah penduduk pada tahun 2001 berjumlah 404.689 jiwa yang
terdiri dari 209.900 jiwa laki-laki dan 199.789 jiwa perempuan dengan
kepadatan rata-rata penduduk 126 jiwa/km² dan laju pertumbuhan penduduk
rata-rata berkisar 2,68% pertahun.
B. Hasil dan Pembahasan Praktek Lapang
1. Tongkonan Papa’ Batu Kecamatan Rembon
Tongkonan batu ini, terkenal dengan papa’ batu oleh masyarakat
setempat, berada di desa Banga’, kecamatan Rembon, Kabupaten Tana
Toraja. Papa’ batu ini adalah satu-satunya tongkonan yang memiliki atap
dari batu. Rumah adat yang dipercaya telah berumur 700 tahun ini, di
wariskan turun temurun kepada keturunan pemiliknya. Badan dan rangka
atap, di topang oleh 55 buah tiang kayu pilihan. Atapnya yang unik,
terbuat dari batu pahatan berbetuk segi empat, dengan dua lubang kecil di
sisi atas, yang berfungsi untuk mengikatkan papan batu tersebut pada
rangka atap. Untuk mengikatnya, “hanya” diperlukan rotan yang kuat.
Orang-orang tua dahulu tidak mengenal alat ukur yang jelas seperti
penggaris. Jadi mereka memahat batu itu selebar kira-kira tiga jengkal
orang dewasa, dengan tebal sekitar 5 cm. Konon, setiap atap batu itu
berbobot 10 kilogram. Jumlah atap batu ini sekitar 1000 keping. Jadi
kira-kira, beratnya 10 ton. Selain menggunakan atap bamboo dan seng,
ternyata ada sebuah rumah tongkonan di toraja yang atapnya terbuat dari
batu dan beratnya diperkirakan mencapai 10 ton.
Rumah tongkonan ini terletak di Desa Banga' Kecamatan Rembon
Kabupaten Tana Toraja. Masyarakat menyebut tongkonan ini dengan
tongkonan "papa batu" yang artinya tongkonan yang atapnya terbuat dari
batu. Menurut informasi Tongkonan ini diperkirakan sudah berumur
kurang lebih 700 tahun. Pendiri dan sekaligus penghuni tongkonan ini
yang pertama kalinya disebut Nenek Buntu Datu, dan sekarang
Tongkonan ini dihuni oleh salah satu keluarga dari rumpun pemilik
tongkonan ini yaitu seorang nenek yang bernama Nenek Toyang yang
merupakan Turunanke 10 dari tongkonan ini, umurnya diperkirakan
sekitar 110 tahun.
Menurut informasi pemilik tongkonan, selama berdirinya
Tongkonan ini baru dua kali mengganti atap, penggantiannya tidak
menyeluruh dan hanya dibeberapa titik saja untuk mengganti tali rotan
yang sudah putus. Sangat sulit dipercaya namun itulah kenyataannya
sebuah tongkonan yang berat atapnya 10 ton di ikat dengan tali rotan dan
hanya ditopang oleh tiang kayu berjumlah 55 tiang masih mampu berdiri
kokoh sampai sekarang. Lantai Tongkonan Papa Batu ini terbuat dari
Papan yang dindingnya berukiran toraja yang masing-masing ukiran
memiliki makna tersendiri dan tidak dan ukiran ini tidak sembarang
digunakan di rumah tongkonan lain. Selain itu tongkonan ini memilik 4
ruang, dan hanya ruang utama yang boleh dilihat itupun atas izin dari
penghuni tongkonan ini yaitu Nenek Toyang.
Bangunan ini sangat disakralkan oleh pemilik Tongkonan,
sehingga pengunjung yang ingin melihat bagian dalam dari Tongkonan ini
harus mendapat izin dari penghuni Tongkonan, menurut cerita orang yang
masuk tanpa izin atau didampingi oleh pemilik tongkonan akan jatuh sakit
dan hanya satu obat yang bisa menyembuhkan penyakit ini yaitu meminta
maaf kembali kepada leluhur Tongkonan Papa Batu ini. Masuk dalam
ruangan Tongkonan Papa Batu ini, tidak hanya dengan minta izin dari
pemilik Tongkonan ini namun ada ritual khusus yang harus dijalani.
Sebelum naik di atas tongkonan, terlebih dahulu penghuni akan naik
keatas untuk meminta izin dari leluhur tongkonan ini, setelah itu anda
akan disuruh naik dan saat berada di depan pintu masuk tongkonan,
pemilik tongkonan akan menyuruh anda untuk mengetok kepala anda
sendiri sebanyak tiga kali. Sangat unik bukan? Berbeda dengan kebiasaan
kita bertamu dimana pintu rumah yang akan diketok bukan kepala. Ritual
ini harus dilakukan kalau tidak, saat anda kembali anda akan jatuh sakit
dan obatnya hanya satu kembali ke Tongkonan ini dan meminta maaf
kepada leluhur tongkonan.
Ada beberapa benda yang disakralkan dalam rumah tongkonan ini
bentuknya seperti sesajen yang terdiri dari kulit pa'piong ( bekas bambu
yang dibakar untuk memasak daging yang dicampur dengan sayur-
sayuran seperti mayana dll), padi, keranjang nasi tempo dulu, daun
bamboo dan kepala kerbau yang masih utuh dengan tanduknya. Salah
satu bagian yang sangat disakralkan dalam tongkonan ini adalah tiang
besar yang terdapat di tengah tongkonan, satu-satunya tiang yang paling
besar yang menopang tongkonan ini. Fungsi dari tiang ini dulunya
digunakan sebagai tempat menambat kerbau yang akan dikurbankan jika
ada salah satu dari rumpun tongkonan yang meninggal yang akan
diupacarakan. Karena bagian ini sangat sacral dan dikeramatkan sehingga
penghuni atau keluarga dari tongkonan pun tidak sembarang masuk dan
menyentuh tiang ini.
Situs warisan budaya toraja ini tentunya memiliki cerita budaya
masa lampau yang masih kental. Tongkonan yang berdiri 700 tahun yang
lalu dengan atap batu dengan berat 10 ton yang hanya ditopang oleh tiang
kayu sebanyak 55 mampu berdiri sampai sekarang, serta kesakralan dari
tongkonan ini menjadi kantong konan ini memiliki nilai histori yang
sangat menarik untuk dikaji dan diteliti lebih jauh tentang sejarah dari
Tongkonan Papa Batu ini.
Tentunya sebagai masyarakat Toraja sangat berharap Tongkonan
ini bisa menjadi salah satu warisan dunia dan terdaftar dalam UNESCO
untuk mendapat perlindungan dunia. Tentunya suatu kebanggaaan
tersendiri bagi masyarakat Indonesia khususnya Masyarakat Toraja jika
situs warisan Budaya ini bisa masuk dalam salasatu warisan dunia yang
perlu dijaga kelestariannya. Akses kelokasi ini cukup mudah, anda bisa
menggunakan roda dua atau roda empat untuk menjangkau tempat ini,
jarak dari kota makale sekitar 10 km arah barat Tana Toraja.
Jumlah dari atap Tongkonan ini sekitar 1000 keping pahatan batu,
dimana setiap pahatan batu memiliki ukuran 5 x 3 jengkal orang dewasa
dengan berat 10 kg. Dengan struktur tongkonan ini yang hanya ditopang
oleh 55 tiang yang seluruhnya terbuat dari kayu untuk menopang berat
beban atap yang beratnya 10 ton membuat tongkonan ini memiliki
keunikan tersendiri. Tidak hanya itu, atap2 batu yang tersusun rapi ini
hanya diikat oleh rotan, luar biasa bukan kekuatannya.
2. Pasar Bolu
Bagi masyarakat penghuni Tana Toraja, hewan kerbau dan juga
babi memiliki arti penting dalam kehidupan mereka. Hewan kerbau
adalah syarat mutlak yang mesti dipenuhi dalam upacara-upacara adat,
terutama pemakaman salah seorang anggota keluarga yang telah
meninggal dunia. Masyarakat Toraja percaya bahwa hewan kerbau
menjadi media bagi roh sang jenazah agar cepat sampai ke alam akherat.
Kedudukan dan posisi keluarga yang tengah berduka dapat diketahui dari
banyaknya hewan kerbau yang di sembelih pada upacara tersebut. Sebuah
refleksi keluhuran budaya dan ilmu pengetahuan yang telah di wariskan
secara turun temurun oleh leluhur suku Toraja.
Golongan bangsawan Toraja mampu menyembelih 25 sampai 100
ekor kerbau dalam suatu upacara pemakaman. Sementara untuk golongan
menengah, 8 ekor kerbau dan 50 babi merupakan ketentuan wajib yang
mesti di penuhi dalam pelaksanaan ‘Rambu Solo’, sebutan lain bagi
upacara pemakaman jenazah masyarakat Toraja.
Di Rantepao, terdapat pasar tempat terjadinya transaksi jual beli
kerbau dan babi. Namanya Pasar Bolu. Untuk mencapainya hanya
memerlukan waktu tak sampai 15 menit dari Rantepao, ibukota kabupaten
Toraja Utara. Lokasi persis nya ada di Jl. Poros yang menghubungkan
kota Rantepao dan Palopo di wilayah desa Kolla, kecamatan Tondun.
Uniknya, pasar ini hanya buka satu kali dalam rentang waktu enam
hari mengikuti ‘pasa’ tedong’, demikian masyarakat Toraja menyebut hari
dibuka nya pasar ini. ‘Pasa’ berarti pasar dan ‘tedong’ berarti kerbau.
Sebagian besar hewan yang diperjual belikan di pasar yang sebagian besar
area nya terdiri dari padang rumput ini pun hanya lah kerbau dan babi.
Upacara adat yang kerap kali di selenggarakan secara serentak di
berbagai pelosok wilayah Toraja menyebabkan pasar Bolu selalu ramai
oleh pembeli. Dalam sehari, transaksi jual beli kerbau di pasar Bolu bisa
mencapai milyaran rupiah. Lima ratus sampai tujuh ratus ekor bisa terjual
dalam sehari. Ukuran tubuh, warna bulu beserta motifnya adalah faktor-
faktor yang mempengaruhi harga kerbau yang di tawarkan. Kerbau hitam
berukuran kecil, ditawarkan seharga 5 juta rupiah. Kerbau berwarna hitam
(Tedong Pu’du) yang ukuran nya lebih besar harga nya sekitar 10-15 juta
rupiah. Meski ukuran nya sama besar namun bila warna bulu kerbau
belang (putih) dengan motif tertentu di seluruh permukaan badan nya
maka seekor kerbau bisa di tawarkan dengan harga 60-250 juta rupiah.
Kerbau jenis terakhir ini sering disebut ‘Tedong Bunga’ atau juga
‘Tedong Bunga Saleko’. Ada juga motif-motif warna bulu kerbau tertentu
yang lain berdasarkan letak warna di bagian tubuh kerbau seperti ‘Tedong
Bonga Sori’, ‘Tedong Todi’, dan ‘Tedong Sambao’. Semuanya memiliki
ragam harga yang berbeda. Tawar menawar dan penyerahan sejumlah
uang seharga kerbau yang telah dibeli juga terjadi di Pasar Bolu. Cukup
seru menikmatinya. Bila kerbau di hari itu belum laku terjual, maka
pedagang kerbau akan menawarkan nya di lain waktu. Bagi para
pendatang dan wisatawan ini merupakan pemandangan tersendiri yang tak
akan di temukan di tempat lain.
Berjalan-jalan di sela-sela barisan ratusan kerbau yang berjejer
juga merupakan pengalaman yang menyenangkan. Namun kewaspadaan
harus tetap dijaga mengingat tanduk-tanduk kerbau dewasa cukup runcing
untuk bisa melukai anggota badan atau merobek pakaian yang
dikenakan. Para penjual nya berdiri tak jauh dari kerbau-kerbau mereka,
dengan mengenakan sarung mereka menawarkan kerbau-kerbau dagangan
mereka sambil sesekali menerangkan kelebihan hewan-hewan tersebut
dibandingkan dengan yang lain.
Hewan Babi juga di tawarkan di pasar rakyat yang luasnya kira-
kira 2,5 Ha ini. Di salah satu sudut pasar, tepatnya di bagian dalam,
terdapat pula babi-babi yang siap dijual baik dalam keadaan hidup
ataupun sudah mati. Ukuran badan dan umur babi pun berbeda-beda.
Pembeli yang berminat tinggal memilih, menawar dan membawa pulang.
Kisaran harga nya adalah 1,5-2 juta rupiah. Untuk hewan yang satu ini
pembeli kerap kali menggotong sendiri babinya sampai ke rumah. Bilah-
bilah bambu sering digunakan untuk menggotongnya.
3. Tongkonan Pallawa'
Pallawa adalah salah satu desa Tana Toraja yang terkenal akan
barisan Tongkanan (rumah tradisional Toraja) yang masih terjaga
kelestariannya walaupun sudah berdiri selama ratusan tahun. Jajaran
Tongkanan yang nampak gagah berhadapan dengan jajaran alang atau
lumbung padi yang sederhana, membuat aura etnik desa ini menjadi
sangat kental.
Tradisi budaya yang menarik serta pemandangan alam yang
mempesona seolah sudah terlebur menjadi satu paket yang bisa di nikmati
bila berkunjung ke Tana Toraja. Di Toraja, kemanapun kita pergi untuk
menikmati budaya masyarakat setempat, hampir pasti panorama alam
yang cantik akan selalu menjadi bagian dari perjalanan. Demikian pula
sebaliknya, bila kita mengunjungi suatu tempat unuk menikmati pesona
alam nya maka tradisi warisan leluhur Toraja yang umurnya sudah
ratusan tahun selalu pula bisa di saksikan. Bila pilihan nya adalah
menikmati sensasi elok yang di miliki oleh alam Toraja, sebuah wilayah
di kaki Gunung Sasean bisa di datangi. Daerahnya begitu hening namun
asri, jauh dari hiruk pikuk kepadatan kota.
Nama lokasinya adalah ‘Batutumonga’. Destinasi wisata alam yang
persisnya menjadi bagian dari area Sa’dan ini berada di Toraja bagian
utara. Perjalanan bisa di mulai dari kota Rantepao yang merupakan
ibukota kabupaten Tana Toraja ke arah Sa’dan yang berjarak sekitar 20
km-an.
Rute Rantepao-Batutumonga melewati tempat-tempat lain yang
juga bisa di singgahi seperti Bori, Pangli, Tinimbayo dan Deri. Sebuah
pertigaan di Bori akan menjadi penanda untuk merubah arah perjalanan,
belokan ke kirinya akan mengarah ke Batutumonga. Dari sini jalanan
akan menanjak ke atas hingga di wilayah Batutumonga. Sebuah wilayah
yang bernama Tinimbayo akan terlewati, yang juga berarti Batutumonga
berada tak jauh lagi. Di wilayah yang cocok digunakan sebagai tempat
peristirahatan perjalanan ini bisa ditemui banyak penjual makanan dan
minuman. Panorama dataran tinggi sebenarnya sudah bisa terasa di
Tinimbayo. Beberapa gazebo yang ada di Tinimbayo bisa digunakan
sebagai tempat bercengkrama sambil menikmati kesegaran udara
pegunungan. Rerimbunan pohon yang tumbuh lebat di wilayah ini
menjadikan sinar matahari tidak terlalu terasa menembus kulit, menambah
suasana menjadi lebih nyaman dan sejuk. Pepohonan yang segar
menghijau dan tumbuh subur bisa di saksikan dari ketinggian. Tongkonan
dan ‘Alang’ (lumbung padi) juga bisa terlihat nun jauh di bawah nya.
Hamparan sawah yang mengelilingi bangunan-bangunan
tradisional tersebut membuat sensasi alami menjadi lebih lengkap dan
indah. Sebuah bonus yang sempurna dari perjalanan menuju ke
Batutumonga. Meski berada di kaki Gunung Sasean, Batutumonga masih
berada di dataran tinggi, karena nya kabut akan banyak terlihat di pagi
hari. Awan pun kerap menutupi daerah ini, tak heran bila banyak
wisatawan menyebut Batutumonga sebuah lokasi yang berada di atas
awan. Wilayah yang sunyi dan tenang ini memiliki beberapa penginapan
yang bisa di jadikan tempat bermalam. Namun jangan berharap banyak
untuk bisa mendapatkan derap aktivitas kota di malam hari karena
Batutumonga berada jauh dari pusat kota.
Meski tak ada tempat duduk atau Gazebo, dari jalan ini bisa
dinikmati bentangan sawah dan batu-batu makam yang berpadu dengan
kontur bumi yang ‘terpahat’ secara alami. Warna hijau segar menjadi
warna dominan yang memanjakan penglihatan siapa saja yang
menikmatinya. Hilir mudik warga Toraja yang sedang memberi pakan
ternak-ternak mereka juga bisa dinikmati, beberapa diantaranya juga bisa
terlihat sedang bekerja di petak-petak sawah berundak yang menghampar
bak permadani. Sajian kopi hangat khas Toraja pun bisa dipilih untuk di
jadikan teman menikmati suasana.
4. Kalimbuang Bori' Pusat Purbakala Kompleks Megalit
Satu di antaranya yakni situs megalitik Bori Parinding di
Kalimbuang Bori Kec. Sesean, Kab. Toraja Utara, Sulsel. Situs megalitik
tersebut berjarak sekitar 328 KM dari Kota Makassar.
Bori adalah tempat di mana pengunjung akan menemukan ratusan
megalith kuno yang digunakan penduduk setempat untuk mengadakan
upacara pemakaman. Ada 114 megalith di sini dan megalith tertinggi
tercatat setinggi sekitar 7 meter.
Untuk menikmati keindahan kebudayaan purba tersebut, wisatawan
cukup membayar tiket masuk sebesar Rp 10.000 per orang. Situs
purbakala Bori Parinding merupakan kawasan kuburan batu dan rante
yakni lapangan rumput yang khusus digunakan untuk upacara
penguburan.
Batu Menhir tersebut didirikan untuk menghormati pemuka adat
atau keluarga bangsawan yang meninggal. Konon, bebatuan menhir ini
ada yang berusia hingga ratusan tahun.
5. Baby Grave Kalimbuang Bori'
Baby Grave di Kalimbuang cuma terdapat 1 bayi yang meninggal
dan dimakamkan di pohon syaratnya berusia di bawah 6 bulan, belum
tumbuh gigi susu, belum bisa jalan, dan masih menyusui. maka akan
dimakamkan di salah satu pohon yang mengeluarkan getah berwarna
putih seperti air susu, pemakaman bayi pada sebatang pohon ini dalam
bahasa Toraja disebut Passilliran dan hanya dilakukan oleh masyarakat
Toraja yang menganut Aluk Todolo (kepercayaan terhadap leluhur).
Pohon taraa' sengaja dipilih sebagai tempat menguburkan bayi
karena memiliki banyak getah yang dianggap sebagai pengganti air susu
ibu (ASI). Dengan menguburkan bayi di pohon taraa', orang Toraja
menganggap bayi tersebut dikembalikan ke rahim ibunya.
6. Ke'te' Kesu
Kete Kesu merupakan satu dari sekian banyak lokasi wisata di
Kabupaten Toraja Utara yang cukup menarik minat turis manca negara
maupun domestik. Setiap wisatawan yang ke Toraja, akan menyempatkan
diri berkunjung ke objek wisata yang masih menyimpan panorama
kepurbakalaan berupa kuburan batu yang diperkirakan berusia sekitar 500
tahun bahkan lebih tua lagi. Berusia lebih dari 400 tahun. Konon,
kondisinya tetap seperti 400 tahun lalu. Kete Kesu adalah kompleks
tongkonan (rumah tradisional Toraja) yang paling populer dan paling
indah di Toraja.
Kete Kesu terletak di kampung Bonoran, Kelurahan Tikunna
Malenong, Kecamatan Sanggalangi, Toraja Utara, Sulawesi Selatan,
Indonesia. Berada sekitar empat kilometer sebelah selatan kota Rantepao
atau 14 kilometer sebelah utara Makale. Sebagai tempat wisata, Kete
Kesu cukup lengkap, terutama bagi yang hendak memotret kehidupan
komunal tradisional orang Toraja. Kete Kesu adalah sebuah area di mana
beberapa tongkonan berdiri berjajar, dilengkapi dengan lumbung padi
(alang sura), area upacara pemakaman (rante), dan tempat pertemuan
adat.
Tongkonan-tongkonan lengkap dengan berbagai ornamen seperti
ukiran khas Toraja dan tanduk kerbau yang disusun di muka. Semakin
banyak dan semakin tinggi tanduk yang tersusun menandakan semakin
tinggi derajat sosial penghuninya. Di dalam kompleks Kete Kesu ada juga
museum yang menyimpan berbagai artefak kuno.
Sementara di sekitar kompleks Kete Kesu ada liang (pekuburan
tradisional) berupa lubang-lubang pada batu cadas. Ada pula panorama
persawahan yang indah menghampar. Dengan itu semua Kete Kesu
adalah sebuah poros di mana masyarakat hidup, menentukan pranata,
menjalani kehidupan, dan memenuhi berbagai kebutuhan.
Tongkonan tersebut didirikan oleh Puang Ri Kesu dan diwariskan
secara turun temurun kepada kekerabatannya. Turunan Puang Ri Kesu
masih hidup sekarang. Kompleks itu menjadi cagar budaya, tetap
digunakan sebagai ajang kegiatan adat tapi tidak ditinggali. Kete Kesu
adalah potret kebudayaan megalitik di Tana Toraja yang paling lengkap.
Berbagai souvenir dijajakan penduduk di sekitar kompleks
tongkonan itu. Ada nampan, tatakan gelas, gelang, kalung, patung, hiasan
dinding, dan lukisan. Semuanya bermotif ukiran Toraja karya tangan
mereka. Tatakan gelas dijual Rp 1.000, nampan Rp 20.000 Rp 25.000,
sedangkan lukisan yang diukir bisa jutaan rupiah.
Kete’ Kesu adalah salah satu tujuan wisata paling populer di
Toraja. Kete’ Kesu berarti “pusat kegiatan”. Sebutan itu sesuai dengan
apa yang bisa ditemui di sana, yaitu adanya perkampungan, tempat
kerajinan ukiran, dan kuburan. Pusat kegiatan adalah deretan rumah adat
yang disebut “tongkonan”, berasal dari kata “tongkon” yang berarti
“duduk bersama-sama”. Deretan tongkonan ini (sebagian masih dihuni),
berhadapan dengan deretan lumbung padi yang disebut “alang”.
Di Kete’ Kesu juga terdapat pengukir-pengukir yang handal
membuat ukiran untuk rumah adat, hiasan dinding, souvenir, dan tau-tau
(patung untuk menghormati orang meninggal yang dikuburkan). Di Kete’
Kesu juga terdapat dua jenis kuburan, yaitu kuburan di bukit batu dan
kuburan yang berupa bangunan. Kuburan di bukit batu ini sudah sangat
tua. Tumpukan “erong” (peti mati) sudah banyak yang lapuk, dan tulang-
tulang berserakan di alam terbuka.
7. Baby Grave Kambira
Desa Kambira terletak di Kecamatan Sangalla, sekitar 20 kilometer
dari Rantepao, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Di tempat ini, ada
kompleks kuburan bayi yang disebut Passiliran, dan kini menjadi salah
satu obyek wisata yang sering dikunjungi.
Hanya bayi yang meninggal dan belum tumbuh gigi yang
dikuburkan di sini, tepatnya di dalam sebatang pohon Tarra. Bayi yang
belum memiliki gigi dianggap masih suci. Sementara dipilihnya pohon
Tarra sebagai kuburan bayi karena jenis pohon ini memiliki banyak getah
yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Dengan menguburkan bayi
di dalam pohon Tarra seolah mengembalikan bayi tersebut ke dalam
rahim ibunya. Terselip harapan, bahwa dengan mengembalikan bayi ke
rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang lahir kemudian.
Jenazah bayi diletakkan dalam posisi berdiri dengan anggapan bayi juga
akan tumbuh di dalam pohon.
Pohon Tarra yang menjadi kuburan bayi ini memiliki diameter
sekitar 80 – 100 centimeter. Batangnya dilubangi sedemikian rupa agar
jenazah bayi bisa dimasukkan dalam posisi berdiri, kemudian lubang
tersebut akan ditutup dengan ijuk pohon Enau. Jenazah bayi ditempatkan
menghadap ke arah tempat tinggal keluarganya yang berduka.
Posisi lubang penempatan jenazah bayi di pohon ini disesuaikan
dengan stratasosialnya. Semakin tinggi posisi lubang, menandakan
semakin tinggi juga kasta keluarganya. Cara pemakaman seperti ini hanya
dilakukan oleh orang Toraja pengikut Aluk Todolo (kepercayaan kepada
leluhur). Upacara pemakamannya juga sangat sederhana, dan bayi yang
dikuburkan tidak dibungkus dengan apapun, sama seperti bayi yang masih
berada di rahim ibunya.
Setelah puluhan tahun, lubang pada Pohon Tarra akan tertutup
sendiri dan jenazah-jenazah bayi itu akan tetap bersemayam di sana. Dari
jauh, pohon ini terlihat seperti penuh dengan tambalan-tambalan
berbentuk kotak berwarna hitam. Cara menguburkan bayi seperti ini
sudah lama tidak dilaksanakan lagi. Namun, pohon Tarra yang buahnya
mirip buah sukun ini masih tetap tegak berdiri dan mempunyai daya tarik
tersendiri bagi para wisatawan.
Desa Kambira bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan
pribadi atau bemo dari Makale atau Rantepao. Lokasi pekuburan ini
dikelola oleh masyarakat setempat, dan wisatawan yang datang
berkunjung akan diminta membayar Rp 5.000 per orang untuk biaya
pemeliharaan.
8. Objek Wisata Suaya
Suaya adalah kuburan Raja-raja Sangalla. Kuburan ini berada di
satu sisi dinding bukit cadas yang dipahat dan dibentuk kantung-kantung.
Patung-patung (tau-tau) para raja dan keluarga raja diberi pakaian seperti
pakaian saat mereka hidup dulu. Lokasi ObyekSitus pemakaman gua
Suaya terletak 23 kilometer di sebelah selatan kota Rantepao atau lima
kilometer sebelah barat kota Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan,
Indonesia.
Gua-gua itu terletak cukup tinggi dari permukaan tanah. Sebagai
tempat bersemayamnya raja, masyarakat sekitar telah menjadikannya
tempat ziarah rutin. Sebagaimana tradisi mereka yang sangat
menghormati orang-orang besar dan para leluhur. Tersedia tangga batu
yang memudahkan wisatawan untuk melihat-lihat ke dalamnya.
Warga sekitar menyebutkan, tangga batu itu sudah ada sejak raja-raja itu
masih hidup. Digunakan oleh para raja Sangalla untuk menyendiri dan
melakukan semacam pertapaan. Banyak peninggalan para raja, termasuk
pusaka-pusaka. Karena itu, pemerintah setempat berencana membangun
sebuah museum untuk menyimpannya. Suaya dapat diakses dari Rantepao
maupun Makale dengan kendaraan pribadi atau fasilitas transportasi hotel.
Tarif Untuk masuk lokasi situs ini, wisatawan dikenai biaya
sebesar Rp 5.000 per orang sebagai kontribusi untuk perawatan.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tana Toraja adalah salah satu tempat konservasi peradaban budaya
PROTO MELAYU AUSTRONESIA yang masih terawat hingga kini.
Kebudayaan adat istiadat, seni musik, seni tari, seni sastra lisan, bahasa,
rumah, ukiran, tenunan dan kuliner yang masih sangat Tradisional, membuat
Pemerintah Indonesia mengupayakan agar Tana Toraja bisa dikenal di dunia
Internasional, salah satunya adalah mencalonkan Tana Toraja
ke UNESCO untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 2009.
B. Saran
Adapun saran yang bisa menjadi indikator untuk titik temu dari kebenaran
yang sebenarnya adalah :
Pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan kelestarian budayanya, agar
budaya-budaya itu masih tetap selalu ada tidak hilang dari masyarakat Tana
toraja. Meningkatkan kemampuan penduduk dalam mengelolah sarana
pariwisata yang ada sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan
pendapatan penduduk yang memadai
DAFTAR PUSTAKA

Kautsar Ikbal. 2014. Suaya King's grave : Makam ningrat


Sangalla'. http:///www.DIASPORA-
IQBAL.blogspot.com/2014/Tana-Toraja- (Bagian III)-Suaya-King's-Grave-
Makam-Ningrat-Sangalla'.html. Diakses pada tanggal 23 November 2018.
Tim Indonesia Exploride. 2012. Baby Grave.
http//www.IndonesiaKaya.com/2012/baby-grave.html. Diakses pada tanggal 23
November 2018.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai